sejarah desa pagundan
DESCRIPTION
SEJARAH DESA PAGUNDANTRANSCRIPT
BAB III
DESA PAGUNDAN
A. Riwayat Singkat
Asal mula nama Desa Pagundan diambil dari beberapa sejarah terutama
dari sejarah perjuangan Pangeran Aria Sutajaya yang sekaligus menjadi pokok
ceritera nama Desa Pagundan. Orang tua sejak dahulu pandai membuat karangan
untuk memberi nama terhadap suatu tempat, misalnya hal ini terbukti orang tua di
Desa Pagundan guguritan Pamuradan seperti tersebut dibawah ini :
1. Pamuradan Jatipiring
2. Terusanase Pagundan
3. Laju Ka Kuningan Wae
4. Cisantana Panulisan
5. Cihideng Jeng Wanayasa
6. Aya Heur Pinggir Sumur
7. Kubang Tengah Pasawahan
Guguritan diatas menurut Titi Magsa dari Elang Raden Maskud.
Walaupun guguritan-guguritan diatas baik pupuk kinanti maupun pupuh
pamuradang dibuatnya oleh para pengarang pada jaman pemerintahan Hindia
Belanda dan ceritaranya dibelokan. Tetapi isi guguritan itu adalah sindiran bagi
penjajah Pemerintahan Belanda. Tahun 1800 s/d 1942 disamping itu maksud
untuk menjadi peringatan putra-putri pejuang Indonesia adapun kejadiannya pada
zaman VOC Belanda dahulu.
Adapun guguritan pamuradan pelaksanaannya seperti tersebut dibawah ini
membawa hikmah yang tidak sedikit artinya.
Pangeran Aria Sutajaya berserta rombongan dari kampungan pamuradan
perangkat menuju balai permusyawaratan (paguneman) di Gunung Simpe. Jalan
lewat Jatipiring baru saja sampai di Pertelon, putranya Masjaya merasa lelah
kecape anilalau haturan keayahnya.
1. Rama ingsun emonggiri
2. Nyawis yen bali malu enteni ningkene
3. Gawe sanggar sasukamu
4. Sanggarening Tuk Angsane
5. Manggarayi mongmong enku yang anaku
Maksudnya demikian :
Putra Pangeran Sutajaya ialah Pangeran Masjaya merasa lelah tidak mau
ikut ke gunung. Kata ayahnya ialah pangeran Aria Sutajaya menjawab : Yah
sudah kalau tidak mau tidak tumbuh saja disini buatlah pesanggrahan (kemah)
sesukamu. Lebih baik buat perkemahannya disitu didekat Tuk Angsane.
Selanjutnya, Pangeran Aria Sutajaya memerintahkan kepada adiknya Senopati :
Manggarayi, maksudnya silahkan adikku ikuti dan jaga anakku yah anakmu.
Setelah itu, Pangeran Aria Sutajaya dikawal oleh beberapa orang penjurit
melanjutkan perjalanan menuju ke Paguneman Gunung Simpe.
Adapun sebagian pasukan menunggu di Pertelon menjaga Pangeran
Masjaya membuat perkemahan didekat Tuk Angsana.
Angsana yang selanjutnya disekitar Tuk Angsana menjadi kampung
disebut kampung dana suka yang artinya ambon suka.
Kemudian perintah Pangeran Aria Sutajaya kepada adiknya terdengar oleh
seluruh masyarakat pertelon, diantaranya ada kata-kata yang terdengarnya agak
ganjil ialah perkataan Manggarayi sehingga menjadi buah bibir masyarakat pada
waktu itu, yang selanjutnya pertelon itu disebut pertelon manggarayi, lama
kelamaan menjadi kampung disebut kampung Manggari.
Selanjutnya perjalanan Pangeran Aria Sutajaya dari pertelon menuju
paguneman gunung simpe, jalan lewat pintu gerbang padepokan embah H. Gunda,
lalu pada malam harinya, malam tanggal 15 Sa’ban, 1 malam suntuk diadakan
perundingan para pangeran yang anti penjajahan pimpinan panembahan Kuncung
Amarrulloh, dan hasil perundingan dalam catatan Elang Raden Maskud tidak
disebutkan hanya setelah pagi harinya bubar.
Pada pagi harinya sebelum pangeran Aria Sutajaya melanjutkan perjalanan
ke Kabupaten Kuningan, Beliau mengusulkan kepada Eyangnya ialah
panembahan puncung Amarrulloh untuk peringatan anak cucu agar di Padepokan
kakek tuan Haji Gunda diberi nama Padundan mengambil dari tiga kata :
1. Hari itu diadakan paguneman = Pa
2. Pengawal kekasih paguneman gunda = Gun
3. Tugas Haji Gunda sebagai Gundan = Dan
Atas usul Pangeran Aria Sutajaya itu oleh Eyangnya diterima dengan rasa
gembira, malahan nama Gunung Simpe pun diganti namanya menjadi Fu nung
Simpai artinya selamat.
Diceritakan pula 2 pengikut paguneman ialah Raden Sarageni dan Raden
Pungpulutan perwakilan dari banten. Karena sangat bencinya kepada penjajahan,
beliau mengutuk barang siapa yang masuk dikediamannya kampung mardana,
orang-orang jahat terutama pegawai negeri tidak akan selamat. (mungkin yang
dimaksud pegawai negeri itu ialah pegawai negeri penjajah).
Diceritakan kembali perjalanan Pangeran Aria Sutajaya berangkat menuju
kuningan terus ke cisantana maksud menghubungi para panglima pasukan
pangeran kuningan. Kebetulan sampai di cisantana kosong mungkin sudah
berangkat ke Luragung, lalu beliau menulis bila mungkin masih ada yang tinggal,
setelahnya beliau kembali lagi ke pertelon Manggari untuk menemui masukan
yang ditinggalkan di pasanggrahan Danasuka.
Yang selanjutnya beliau memerintahkan seluruh pasukan yang dipimpin
oleh Senopati Pangeran Gebang supaya berangkat ke Luragung menggabung
dengan pasukan pimpinan Embah Jaksa Turta Manik, adapun Pangeran Aria
Sutajaya beserta putranya Pangeran Masjaya berangkat menuju cihideung,
Wanayasa terus ke Kubang Tengah yang selanjutnya beliau berjuang di daerah
Cirebon Timur sampai akhir hayatnya, beliau dimakamkan di Dukun Jeruk. Serta
perjuangannya dilanjutkan oleh putranya Pangeran Masjaya yang selanjutnya
mengganti nama Pangeran Sutajaya.