nulisbuku.comnulisbuku.com/books/download/samples/7bf86f16971dc9bac499320358370...portland sehingga...
TRANSCRIPT
UNDERNEATH THE STARS
oleh D. Wijaya
© D. Wijaya
Desain sampul oleh D. Wijaya
322 halaman
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
Untuk kalian yang belum melepaskan,
yang sudah melepaskan,
dan yang masih belajar untuk melepaskan.
“Beri aku satu kesempatan lagi,” kata Cath.
Gadis kecil itu membalas, “Aku sudah memberimu dua.”
“Satu lagi. Kumohon...”
“Kau belum mengerti juga? Kau tidak akan melangkah ke mana-mana.”
“Jadi, apa yang harus kulakukan?”
“Maafkanlah. Kemudian terimalah.”
—Change My Past
1
1
NTUK sementara, dari ruang tamu ini hanya terdengar
suara keriang-keriut kipas angin yang berputar lambat di
langit-langit. Alasan penting kenapa kipas angin itu sampai
dihidupkan adalah karena musim panas sedang membakar kota
Portland sehingga sampai awal atau pertengahan bulan September
nanti, Portland yang biasanya hampir tidak mendapat jatah sinar
matahari akan menjadi kota yang kering dan berlimpah sinar
matahari. Suhunya sulit diprediksi dan hari ini suhu mencapai kira-
kira 28 derajat Celcius.
Selain kipas angin itu—yang memang mendatangkan banyak
angin, tapi tidak banyak membantu dalam mengusir gerah, ruang
tamu dijejali dengan satu set sofa dan sebuah meja kopi. Bibi
Marla meletakkan dua gelas jus jeruk di atas meja itu dan berkata,
“Kau harus melakukan sesuatu, Drew. Buatlah perubahan.”
Aku meraih salah satu gelas dan menandaskan isinya.
Kemudian aku mendaratkan punggungku yang berkeringat ke
sandaran. “Aku baik-baik saja.”
“Hidup seperti sebatang ranting kering dengan ranting-ranting
lain berada di luar radius minimal sepuluh meter tidaklah sehat
dilihat dari segi mana pun. Itu artinya kau tidak baik-baik saja.”
U
2
“Tidak seburuk itu.”
“Oh, ya?” Paman Luke datang dengan seember cat dinding,
dua kuas rol, dan beberapa lembar koran bekas. “Kalau benar
tidak seburuk itu,” kata Paman sambil meninggalkan ember di
lantai, “coba ceritakan kepada kami apa saja yang sudah
kaulakukan untuk mengisi liburan musim panasmu sebulan
belakangan.”
Aku merasa tertantang. “Aku menonton film.”
“Sendirian,” timpal Bibi.
“Membaca buku.”
“Sendirian.”
“Lihatlah,” kata Paman, “betapa banyak teman yang sudah
kaudapatkan selama liburan musim panas tahun ini.”
Paman menghampiri meja kopi dan menyambar gelas yang
satunya. Ia minum dan mendesah puas. Aku terdiam dan menekuk
bibir.
“Omong-omong, perasaanku saja atau kau memang tidak pergi
ke pesta ulang tahun temanmu? Siapa namanya sekali lagi?” Bibi
bertanya.
“Sarah. Dan tidak, aku memang tidak pergi.”
“Nah...”
“Ayolah, Bi. Dia mengundangku cuma karena dia ingin
menyombong dengan mengundang sebanyak mungkin orang yang
bisa dia undang. Aku bahkan tidak benar-benar mengenalnya.”
“Kau tahu, Drew,” ujar Paman, “pikiran seperti itulah yang
membuatmu tertahan di sini, membantu kami membersihkan
gudang dan mengecat ruang tamu alih-alih menghabiskan waktu
3
mudamu yang menyenangkan di perkemahan musim panas entah
apa dan mencoba berteman.”
“Bukannya kami tidak suka kau berdiam diri terus di rumah,”
sambung Bibi. (Paman dan Bibi melakukan ini kadang-kadang—
menyambung perkataan satu sama lain. Seperti pikiran mereka
saling terkoneksi. Aku penasaran bagaimana rasanya menyambung
perkataan orang lain dan membiarkan orang lain menyambung
perkataanmu; bagaimana rasanya terkoneksi dengan seseorang?)
“Tapi, cobalah cari teman. Kau sudah tujuh belas tahun. Kau
punya hak yang sama seperti semua remaja umur-tujuh-belas-
tahun lainnya untuk menikmati hidup.”
Menikmati hidup. Itu hal yang asing buatku.
“Ikutilah saran kami,” kata Paman. “Cobalah sekolah asrama.”
Aku mendesah. Ide itu lagi.
Kami sudah pernah membahas ini sebelumnya. Menurut
mereka, aku tidak punya teman di sekolah biasa mungkin karena
aku hanya bertemu dengan “teman-teman” sekolahku selama
beberapa jam dan itu hanya di sekolah. (Aku tidak terlalu ingin
bertemu dengan mereka di luar sekolah.) Sementara jika di sekolah
asrama, aku tidak hanya akan bertemu dengan “teman-teman”
sekolahku di sekolah, tapi juga di asrama. Jadi, mungkin itu bisa
membantu.
Pertama kali mereka mencetuskan gagasan itu, aku nyaris
mengkritik betapa kesimpulan itu diambil dengan begitu mudah
dan hampir menjurus ke percobaan untuk membodoh-bodohiku.
Tapi, sungguh, ketika aku mulai mempertimbangkan gagasan itu,
aku bukannya berhasil dibodoh-bodohi. Aku hanya merasa telah
4
berutang banyak kepada mereka, dan jika pergi ke sekolah asrama
bisa membuat mereka senang dan berhenti—atau menjadi lebih
sedikit—mencemaskanku (karena sepertinya mereka tidak akan
pernah berhenti mencemaskanku), aku bersedia saja
melakukannya.
Lagi pula, aku ini tidak antisosial—aku tidak separah itu walau
Bibi bilang aku separah itu. Sama seperti orang banyak, aku juga
ingin memiliki teman. Tidak perlu banyak, cukup beberapa teman
dekat saja. Tapi, setiap kali aku berada dalam sebuah lingkaran
pertemanan, aku selalu merasa tidak pantas berada di sana. Mereka
tidak mengatakannya, hanya saja aku yang terlalu sadar diri.
Mereka punya banyak hal yang bisa dibagi: cerita-cerita lucu, masa
lalu yang seru dan menyenangkan, sementara kehidupanku tidak
menyisakan apa-apa untuk dibagi. Pada akhirnya, aku akan
menarik diri dan keluar dari lingkaran itu. Kemudian aku mencoba
masuk ke lingkaran lain dan merasakan hal yang sama. Lingkaran
lain, lalu menarik diri lagi. Sampai aku enggan mencoba lagi karena
lelah merasa tidak pantas berada di lingkaran mana pun.
“Drew...” Bibi memanggil.
“Kalau aku pergi ke sekolah asrama, kalian harus janji tidak
akan memaksaku mengunjungi Mom untuk waktu yang sangat
lama.”
Bibi Marla menatapku. Air mukanya berubah. Aku menyesal
telah menyebut-nyebut Mom.
“Ayolah, Bi. Jangan menatapku dengan tatapan kasihan seperti
itu.”
5
Bibi menipiskan bibirnya. Ia mendekat dan memelukku. Semua
yang aku pikirkan waktu itu adalah betapa pelukan itu sangat tidak
menentramkan.
Bibi mendesah. “Kau masih terlalu muda...”
“Kami janji,” kata Paman.
Bibi menguraikan pelukannya. “Tapi, Luke—“
“Kita tidak bisa terus-menerus memaksanya,” sela Paman.
Bibi tidak membalas.
Selama beberapa saat tidak ada yang bersuara. Kemudian aku
berdiri, mengambil kuas rol, dan mencelupkannya ke dalam cairan
kental berwarna biru pastel. “Satu lagi. Aku tidak mau ada pesta
perpisahan. Kalau aku akan berpisah dengan „teman-teman‟ dari
sekolah lamaku, hal terakhir yang aku inginkan adalah menghabis-
kan waktu bersama mereka di sebuah pesta perpisahan yang
konyol dan membosankan.”
Aku berbalik. Paman dan Bibi menatapku, tapi tidak
mengatakan apa-apa. Kipas angin di langit-langit masih berkeriang-
keriut.
“Aku serius.”
Lalu mereka tertawa.
6
2
ADI, ini dia daftar sekolah asrama yang Paman dan Bibi
serahkan lima menit setelah aku setuju akan pergi ke sekolah
asrama tahun ini. (Mereka sudah menyiapkan daftar ini dari jauh-
jauh hari.)
1. Walters High School di Portland
2. Lewis Preparatory High School di Beaverton
3. Rockburgh High School di Hillsboro
4. Sprucebrook Boarding High di Seattle
5. Clovepath High di Nebraska (Nebraska? Mereka pasti
bercanda.)1
6. Pinewell High School di Minnesota (Minnesota? Mereka
benar-benar bercanda.)2
7. Autumnmont Preparatory High di Florida3
“Florida?!” Aku menatap Paman dan Bibi bergantian. “Kalian
mau mengusirku dari Portland, ya?”
1 Kira-kira 1.500 mil dari Portland (23 jam perjalanan darat) 2 Kira-kira 1.800 mil dari Portland (28 jam perjalanan darat) 3 Kira-kira 3.000 mil dari Portland (45 jam perjalanan darat)
J
7
Paman terkekeh.
Bibi menjawab, “Sesungguhnya, itulah yang terbaik di antara
enam yang lain. Autumnmont fokus mempersiapkanmu agar kau
bisa masuk ke universitas.”
Aku meletakkan daftar itu di atas meja. “Ada banyak sekolah
yang bisa mempersiapkanku tanpa aku harus terbang ke Florida. Ya
ampun, Bi. Portland ke Florida itu kan dari ujung ke ujung.”
“Well, kami kan tidak memaksamu terbang ke Florida. Ada
tujuh pilihan di kertas itu.”
Aku mendengus. “Aku pilih—”
“Tapi, Autumnmont benar-benar bagus.”
“Aku tidak butuh sekolah yang benar-benar bagus dan aku
tidak butuh Florida.”
“Kau yakin?”
“Bi...”
“Baiklah, baiklah... Terserah kau saja.”
“Aku pilih Walters.”
Paman tiba-tiba tertawa.
Aku menaikkan alis. “Apa?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, Paman malah menoleh ke
Bibi. “Sayang...”
Bibi bangkit dari sofa dan meninggalkan ruang tamu. Ia
kembali sebentar kemudian dan menyerahkan lima puluh dolar
kepada Paman sambil agak bersungut.
Aku mengernyit. “Ada apa?”
“Jadi, begini, Drew,” kata Paman seraya mengantongi lima
puluh dolarnya. “Kami berdua sepakat jika kau memutuskan untuk
8
menarik satu langkah menuju perubahan besar dengan pergi ke
sekolah asrama, maka kemungkinannya cuma dua: kau akan pergi
ke sekolah asrama yang terdekat atau terjauh dari Portland.
Sebenarnya kami berdua sama-sama yakin kau akan memilih yang
terdekat. Tapi, karena kami ingin bertaruh dan kami tidak bisa
bertaruh untuk satu pilihan yang sama, maka kami melakukan undi
dengan koin, yang berakhir dengan bibimu bertaruh untuk „yang
terjauh‟ sementara aku untuk „yang terdekat‟. Dan tentu saja—
bahkan bibimu sendiri yakin—akulah yang bakal memenangkan
taruhan.”
Paman terkekeh. Aku bersumpah, mereka memang sudah
seperti ini sejak aku mengenal mereka. Sebagian dari diri mereka
masihlah remaja laki-laki dan perempuan usia belasan tahun.
Mungkin akan selalu begitu.
“Apa mungkin kau berubah pikiran dan membuatku
memenangkan taruhan?” tanya Bibi berharap.
“Tidak.”
Bibi cemberut. Itu membuat Paman tertawa lagi.
Aku beralih ke daftar sekolah tadi dan menatap pilihan nomor
satu dengan lekat, seolah-olah hurufnya bakal bergerak sendiri
untuk membentuk sesuatu yang lain, seperti anagram.
Walters High School.
Aku bertanya-tanya apakah ini keputusan yang tepat?
9
3
ABTU itu adalah hari keberangkatanku.
Paman dan Bibi sudah menunggu di halaman depan saat
aku keluar rumah dengan menyeret dua koper besar. Paman
membantuku menaikkan koper-koper itu ke bagasi mobil.
“Mau menemui ibumu dulu sebelum berangkat?” tanya Bibi.
“Bi, kita sudah membicarakan ini.”
“Aku tahu. Aku tidak memaksamu. Aku cuma bertanya.”
“Tidak.”
Bibi tampak tidak setuju, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Aku berputar dan memandangi rumah Paman yang tidak
banyak berubah semenjak aku pindah ke sini tujuh tahun yang lalu.
Tinggal bersama Paman dan Bibi membuatku merasa lebih baik.
Sebelum itu, malam-malamku adalah malam-malam yang penuh
dengan tangisan dan mimpi buruk.
“Drew...” Paman memanggil.
Aku memandangi rumah itu beberapa detik lagi. Kemudian aku
masuk ke dalam mobil.
Bibi mengenakan sabuk pengaman. Paman menyalakan mesin.
Sebentar kemudian, wagon hitam Paman pun menjadi satu-satunya
kendaraan yang membelah Northeast Avenue 54.
S
10
Aku membalikkan badan. Rumah Paman mengecil dengan
perlahan, lalu hilang di antara jajaran pohon amur maackia dan
tiang-tiang listrik.
Dua puluh menit berlalu dan hanya butuh sekitar empat puluh
menit untuk tiba di Walters High School. Aku menempelkan
kepala ke kaca jendela. Getaran mesin mobil menggelitik pelipisku.
Pepohonan yang mengapit jalanan melesat semu ke belakang,
daun-daunnya bergoyang ditiup angin, pertanda musim panas akan
segera berakhir sebagaimana seharusnya di bulan September.
Dua puluh menit lagi dan aku akan selangkah lebih dekat
menuju perubahan besar yang dibicarakan Paman.
Perubahan besar.
Dan sementara Paman dan Bibi mengobrol di antara lagu yang
mengalun samar-samar dari radio, aku bertanya-tanya sebesar apa
perubahan yang akan aku dapatkan?
Di hadapanku Walters High School tampak seperti gedung
berbentuk huruf U siku yang terbalik. Berdiri di halamannya,
terkepung oleh bangunannya dari depan, sayap kiri serta sayap
kanan, aku mendongak dan menyaksikan betapa Walters memiliki
gedung yang tinggi dan kokoh. Dindingnya tersusun atas jutaan
batu bata berwarna oranye kecokelatan yang dibiarkan telanjang
tanpa lapisan semen dan cat.
“Kau yakin tidak mau kami antar ke asrama?” tanya Bibi.
Aku menggeleng. “Aku jalan kaki saja. Sekalian mau lihat-
lihat.”
11
Bibi mengangguk. “Salam perpisahan, kurasa?”
Aku tersenyum kecil. “Aku akan merindukan kalian.”
Bibi memberiku pelukan singkat. “Kami juga.”
Paman menepuk pundakku, tersenyum membenarkan.
“Kau bisa telepon kami kapan pun kau mau. Ada telepon
umum di asrama,” beritahu Bibi untuk yang ke... entahlah, aku
tidak ingat. Meski begitu, aku tetap mengangguk.
Siswa Walters dilarang membawa telepon genggam. Aku tidak
masalah dengan itu karena (1)aku tidak sering menggunakan
telepon genggam, (2)isi telepon genggamku tidak ada yang
sebegitu pentingnya sampai menuntut untuk dibawa ke mana-
mana, (3)tidak akan ada “teman” yang menghubungiku, sehingga
secara keseluruhan (4)telepon genggam agak tidak berguna bagiku.
“Kau akan pulang untuk Thanksgiving, kan?” tanya Bibi.
“Ya.”
Bibi tersenyum.
“Baiklah,” kata Paman. “Asrama siswa ada di belakang gedung
ini. Nanti kau akan melihat dua gedung asrama. Asramamu yang
sebelah kiri. Pembagian kamarnya ada di papan pengumuman di
lantai satu.” Paman yang mengurusi pendaftaranku dan semuanya.
Aku mengangguk mengerti, lalu mulai menyeret kedua
koperku.
“Drew...”
Aku berhenti dan berputar menatap Bibi.
“Bertemanlah,” katanya.
Aku mengangguk.
Bibi melambaikan tangannya. Paman masuk ke dalam mobil.
12
Aku kembali berjalan. Sejenak kemudian aku mendengar deru
halus mesin mobil. Saat aku menoleh ke belakang, wagon hitam
Paman telah melaju melewati gerbang, lalu hilang ditelan persim-
pangan.
Kupandangi gedung sekolah baruku sekali lagi.
Selamat datang di perubahan besar, Drew.
Setelah menarik puluhan langkah—dan kini gedung sekolah ada di
belakangku, aku mendapati padang rumput terbentang luas di
hadapanku. Rumputnya hijau dan tingginya tidak sampai mata kaki
sehingga untuk membayangkan seperti apa padang rumput yang
aku bicarakan ini, kau bisa membayangkan sebuah lapangan sepak
bola, minus gawang dan garis-garis putih itu, lalu bayangkan
luasnya dikali dua—kira-kira begitulah.
Dari kejauhan aku bisa melihat dua asrama yang dibicarakan
Paman. Keduanya identik dan saling berhadapan. Dindingnya juga
berupa susunan batu bata tanpa lapisan semen dan cat.
Aku melintasi padang rumput dan menuju gedung asrama yang
sebelah kiri. Ketika aku sampai di depan pintu, kedua lenganku
yang kurus sudah pegal-pegal padahal kerjanya cuma menyeret
koper. Suasananya masih sepi meski besok adalah tenggat waktu di
mana semua siswa sudah harus berada di asrama.
Aku masuk dan langsung menghampiri papan pengumuman di
dekat pintu. Aku sudah mendapatkan kunci kamarku, tapi aku
belum tahu kamarku yang mana. Jadi, aku membaca salah satu dari
dua selebaran panjang yang berisi informasi pembagian kamar.
13
Selebaran itu dipenuhi coretan pen dengan gaya tulisan dan tingkat
kesulitan untuk dibaca yang bervariasi.
Di kamar 103 ada Chloe Wright dan Ella Allen. Nama Chloe
Wright dicoret satu kali. Di atasnya ada tulisan yang kecil-kecil dan
miring: “Jangan dia lagi!”. Nama Ella Allen pun tercoret. Tulisan di
atasnya berbunyi: “Mimpi buruk!”.
Di kamar 106 ada Jayden Powell dan Riley Hood. Kedua nama
itu tidak tercoret. Jadi, mungkin mereka teman sekamar yang akur
tahun lalu. Mungkin juga mereka separah Chloe dan Ella dan
alasan kenapa mereka belum mencoret nama satu sama lain adalah
karena mereka belum tiba di asrama. Mungkin juga mereka murid
baru, sama sepertiku.
Aku suka memikirkan “mungkin”.
Aku mencari namaku, berusaha mengabaikan tulisan-tulisan
yang lain, sebab jika tidak, aku akan berdiri menghadap papan
pengumuman sampai kira-kira setengah jam ke depan, membaca
tulisan-tulisan mengerikan itu sambil menerka-nerka seperti apa
hubungan mereka sebagai teman sekamar tahun lalu, yang
sebenarnya tidak berguna bagiku.
Agak sulit menemukan namaku karena namaku ternyata sudah
dicoret dan diberi catatan: “Akhirnya dapat teman sekamar!”.
Teman sekamarku bernama Ethan Russell. Sepertinya ia tidak
berbagi kamar tahun lalu. Kami menempati kamar 301 di lantai
tiga. Aku menyeret koper dan naik ke sana.
Tidak ada siapa-siapa di kamar saat aku masuk. Aku
menyisihkan waktu sebentar untuk mengedar pandangan dan
menilai kamar baruku.
14
Tidak terlalu luas. Ada dua ranjang berukuran single yang
masing-masing diletakkan menempel ke sudut kanan dan kiri
kamar. Sebuah meja belajar ditempatkan di antara kedua ranjang
itu, menghadap jendela, sementara meja belajar yang lain
diposisikan di ujung ranjang sebelah kanan. Dua lemari pakaian
didempetkan di ujung ranjang sebelah kiri. Kamar mandi ada di
sebelah kiri dekat pintu masuk dan kulkas ada di sebelah kanan.
Sebuah tas tergeletak di atas ranjang sebelah kanan. Itu berarti
Ethan Russell sudah sampai dan mengklaim ranjang itu sebagai
miliknya sampai setidaknya satu tahun ke depan. Jadi, aku menuju
ranjang sebelah kiri.
Aku mengempaskan bokong ke ranjang, lalu merenggangkan
lenganku yang sesungguhnya butuh sedikit tambahan massa otot.
Aku baru akan berbaring dan mencoba kasurnya saat pintu kamar
mengayun terbuka.
Seorang remaja laki-laki berdiri tepat di bawah gawang pintu.
“Drew Olson, benar?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Siswa baru, benar?”
Aku mengangguk lagi.
Remaja itu menyegir seperti kuda. Giginya putih dan berderet
rapi. “Aku Ethan Russell. Kita teman sekamar. Dan kalau kau
cukup pintar dan sekilas kulihat kau memang cukup pintar, dari
catatan manis yang aku berikan untuk namamu, kau pasti bisa
menebak kalau aku ini anak Walters sejak tahun lalu. Jadi, kurasa
aku perlu mengucapkan ini: Selamat datang di Walters! Tadi
kulihat kau berjalan ke sini—tidak ada mobil mahal. Jadi, kurasa
15
aku juga harus mengucapkan ini: Selamat bergabung di kelompok
anak biasa! Aku mau mencari Emma. Katanya dia tiba hari ini.
Mau ikut?”
(Ya Tuhan, kapan anak ini mengambil napas?!)
“Tidak.” Pertama, aku tidak tahu siapa Emma itu. Kedua—aku
menunjuk koperku dengan dagu—“Aku mau beres-beres dulu.”
Ethan mengangguk. “Lemarimu yang sebelah kanan.”
Kemudian, wush, ia pergi.
Aku menarik salah satu koper mendekat. Aku baru akan
membuka risletingnya saat tiba-tiba saja perkataan Bibi terngiang-
ngiang dalam kepalaku.
Bertemanlah... Bertemanlah... Bertemanlah...
Seperti mantra hipnotis.
Aku bangkit dan beranjak ke pintu. “Hei,” aku berseru kepada
Ethan yang sudah lumayan jauh.
Ia berhenti dan berbalik.
“Aku ikut.”
Ia menyengir. “Kau boleh memanggil namaku atau menjuluki-
ku. Terserah kau,” katanya saat aku berdiri di sampingnya.
Aku menilainya sebentar. Ethan sedikit lebih tinggi dariku. Aku
bisa menjulukinya “Si Tinggi”. Atau “Si Cokelat” karena kulitnya
berwarna cokelat, mungkin hasil dipanggang musim panas. Bisa
juga “Si Bengkok” karena hidungnya mancung dan sedikit
bengkok. Tapi, aku sudah memutuskan. “Ethan saja.”
Ethan mengangguk. “Ethan Saja bagus juga.”
16
4
THAN dan aku berbelok berkali-kali. Berjalan bersamanya
membuatku capek—tunggu, kami bahkan tidak benar-benar
berjalan bersama—karena (1)kami sepertinya berbelok di setiap
persimpangan koridor yang ada dan (2)selain punya kemampuan
bicara-panjang-tanpa-kehabisan-napas, ternyata Ethan juga punya
kemampuan keren berjalan-tanpa-menapak-lantai sehingga, (3)
setiap kali aku berhasil menyejajarkan langkah dengannya, dua
detik kemudian ia sudah melesat sekitar empat langkah di depan-
ku. Jadi, ketika akhirnya ia berhenti di depan pintu nomor 308, aku
perlu menarik lima langkah lagi sebelum benar-benar berdiri di
dekatnya.
Ethan mengetuk pintu di depan kami dua kali. Ketika aku
berpikir ia berhenti sampai sana, ia mengetuk sekali lagi. Tidak
butuh waktu lama sampai pintu itu berderit terbuka.
“Hai, Kelly. Emma sudah sampai?” Ethan bertanya pada gadis
kurus-tinggi yang membukakan pintu.
“Belum,” sahut Kelly. Ia menoleh padaku.
“Ah, ya, kenalkan,” kata Ethan, “Ini Drew.” Ia meletakkan
sebelah tangannya di pundakku. “Drew, ini Kelly.”
“Kelly Harper,” ujar Kelly tanpa mengulurkan tangan.
E
17
“Drew Olson.” Aku juga tidak mengulurkan tangan.
“Kalau tidak ada lagi yang lain, tolong tinggalkan aku sendiri.
Aku perlu waktu untuk merenung kenapa aku belum juga
memutuskan untuk keluar dari sekolah membosankan ini.”
Dengan berkata seperti itu, bahkan tanpa menunggu Ethan dan
aku membuka mulut (tapi, tentu saja aku tidak akan membuka
mulut), Kelly membanting pintu kamarnya di depan kami dan
meninggalkan suara bedebam yang menjalar ke sepanjang koridor.
Ethan menoleh ke arahku. “Punya sedikit gangguan mental, dia
itu. Kita tunggu Emma di luar saja. Dia pasti tiba sebentar lagi.”
Ethan kembali mengerahkan kemampuan berjalan-tanpa-
menapak-lantai miliknya. Kami turun ke lantai dasar. Ethan
menyapa beberapa orang saat melewati papan pengumuman. Aku
diam saja.
Kami menunggu di luar pintu masuk asrama.
Berbeda dengan beberapa saat yang lalu ketika aku tiba, kini
ada sekumpulan remaja laki-laki di depan pintu masuk asrama
seberang. Mereka tinggi-tinggi dan mengenakan pakaian yang
bagus-bagus. Seorang siswa melintas di depan mereka sambil
menyeret koper, tapi, eh, seseorang dari kumpulan remaja itu
menjegal kakinya sampai siswa itu terjatuh. Kumpulan remaja itu
tertawa.
“Collin,” gumam Ethan.
“Apa?”
“Anak yang dijegal itu, namanya Collin. Dia mengalami masa
yang berat tahun lalu gara-gara tinggal di asrama seberang. Tahun
18
ini tampaknya tidak akan lebih baik. Sebagian besar anak keren
tinggal di asrama seberang.”
“Anak keren?”
“Kaulihat kumpulan anak laki-laki di sana?”
Aku mengangguk.
“Merekalah anak keren. Yang pakaiannya bagus-bagus, yang
diantar ke mana-mana dengan mobil mahal, yang punya rumah
besar untuk pulang setiap liburan.
“Di sini siswa-siswinya terbagi atas dua kelompok: anak biasa
dan anak keren. Kelompok anak biasa terbagi lagi: anak biasa yang
diganggu oleh anak keren dan anak biasa yang tidak atau belum
diganggu oleh anak keren.
“Sampai saat ini aku termasuk dalam kelompok anak biasa yang
tidak atau belum diganggu. Aku sedikit bersyukur untuk itu. Bukan
karena aku takut diganggu atau apa. Aku cuma begitu membenci
mereka sampai-sampai aku tidak mau berurusan dengan mereka
sedikit pun. Dan sebagai orang yang sudah melewatkan satu tahun
di sini tanpa diganggu oleh mereka, saranku adalah jika kau tidak
ingin diganggu, bersembunyilah dari mereka, jauh-jauh dari radar
mereka.”
Aku mengangguk. Satu hal mengenai diriku: aku ahli dalam
“bersembunyi”. Saking ahlinya, tahun lalu, ada tiga orang di kelas
Biologi yang tidak bakal sadar mereka punya teman sekelas
bernama Drew Olson kalau saja tidak ada tugas yang
menempatkan kami dalam satu kelompok. Bibi menyebut itu
sebagai bencana. Andai Bibi tahu keahlian “bersembunyi”-ku
ternyata akan berguna di sini.
19
Kami sudah menunggu agaknya sepuluh menit, dan kumpulan
anak keren itu masih ada di seberang saat sebuah SUV hitam
berhenti di tengah halaman. Seorang remaja laki-laki keluar dari
kursi penumpang. Kumpulan anak keren tadi menghampirinya.
“Biru,” kata Ethan.
“Hah?”
“Dia dijuluki Biru. Anak keren, tapi satu-satunya anak keren
yang tidak—belum—berengsek.”
“Kenapa dijuluki Biru?”
“Kau bakal tahu sendiri.”
Aku memandangi Biru dari tempatku berdiri. Untuk tiga detik
yang singkat, ia balik memandangiku. Kemudian Ethan
mengajakku untuk menunggu Emma di dalam saja.
“Jauh-jauh dari radar mereka,” Ethan mengingatkan.
Ethan berjalan sambil menyanyikan refrain lagu Cool Kids. Ia
mengganti lirik yang seharusnya:
I wish that I could be like the cool kids
Cause all the cool kids, they seem to fit in
I wish that I could be like the cool kids
Like the cool kids
menjadi:
I wish that I could be like the cool kids
Cause all the cool kids easy to kick ass
I wish that I could be like the cool kids
Want to kiss ass
20
Dua puluh menit kemudian Emma yang ditunggu-tunggu
akhirnya tiba. Ia memperkenalkan diri sebagai Emma Morrison. Ia
adalah gadis manis dengan bintik-bintik kecokelatan di hidung dan
pipinya. Seperti bintang-bintang di langit malam, hanya saja tanpa
konstelasi.
21
5
ALAM pertamaku di asrama, Ethan keluar dari kamar
mandi hanya dengan mengenakan celana pendek. Aku
sedang memindahkan isi koperku bergantian ke lemari pakaian dan
meja belajar. (Aku dapat meja belajar yang menghadap jendela.)
Ethan meraih cutter yang kuletakkan di atas meja. Aku merebut
cutter itu darinya dan melemparkan benda itu ke dalam laci. Ethan
mengangkat bahu, lalu berbaring di ranjangnya. Aku meneruskan
memindahkan isi koperku.
M
22
6
AHUN ajaran baru di Walters resmi dimulai hari ini.
Pagi ini, ketika aku bangun, setelah mengucek mata
sambil menguap panjang, aku mendapati Ethan sudah menghilang,
meninggalkan selimut yang bergulung kusut di ujung ranjang.
Aku beringsut dan menurunkan kedua kakiku sampai menyen-
tuh lantai. Aku punya kaki yang panjang. Bibi mengatakan dari
sanalah aku mendapatkan tinggiku yang 174 sentimeter. Aku
melirik jam beker di atas meja belajar. Delapan lewat dua atau tiga
menit. Aku masih punya kira-kira dua puluh lima menit sebelum
menghadiri kelas pertamaku di Walters.
Aku mendapatkan jadwal kelasku kemarin. Di periode pertama
hari ini aku ada kelas Geometri, lalu kosong di periode kedua.
Periode ketiga adalah kelas pilihan dan aku memilih Pemrograman
Komputer. Periode keempat Biologi. Kemudian setelah makan
siang, ada dua kelas berturut-turut: Sejarah Dunia dan Bahasa
Jerman.
Menguap sekali lagi, aku turun dari ranjang dan berjalan
menuju kamar mandi, berulang-ulang memastikan pintu sudah
terkunci sebelum melucuti semua pakaianku. Kamar mandinya
mengenaskan bahkan untuk ukuran kamar mandi sekolah asrama
T
23
sekalipun. Ruangannya sempit, dinding dan lantainya dilapisi
keramik biru yang beberapa sudah retak. Bentuk kemewahan di
kamar mandi itu hanyalah sebuah pancuran yang terkesan sudah
terlalu lama dipakai, sebuah kloset, dan sebuah wastafel, lengkap
dengan cermin di atasnya.
Aku menghabiskan sekitar lima menit di bawah pancuran dan
satu menit di depan wastafel untuk gosok gigi. Karena aku
menolak keluar kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit di
pinggang, maka aku memakai pakaian tidurku kembali. Aku
menyambar hoodie dan celana jins dari lemari, lalu kembali ke
kamar mandi untuk berganti pakaian.
Aku merapikan tempat tidur, lalu duduk di atasnya, tidak yakin
apakah aku sedang membunuh waktu karena belum siap untuk
kelas pertama atau aku sedang menunggu Ethan kembali karena
(1)aku tidak melihat pakaian tidurnya di mana pun. Jadi, (2)besar
kemungkinan ia menghilang masih dengan mengenakan pakaian
tidur sehingga ia bakal kembali untuk berganti pakaian (ia tidak
mungkin masuk kelas dengan pakaian tidur, kan?). Dan (3)aku
setengah berharap kami akan ke kelas bersama-sama (aku satu
kelas Geometri dengannya). Ingat, misiku: berteman.
Tapi, setelah menunggu beberapa saat, sudah pukul delapan
lima belas dan Ethan belum juga kembali, aku akhirnya meraih tas
dan berangkat.
Kau tidak akan tahu seberapa banyak populasi siswa Walters
sampai tahun ajaran baru benar-benar dimulai dan orang-orang
24
keluar dari asrama untuk melintasi padang rumput menuju gedung
sekolah seperti kerumunan semut. Dan jika kaupikir kau sudah
mendapat gambaran tentang berapa banyak populasi siswa Walters
hanya dengan melihat mereka melintasi padang rumput, tunggu
sampai kau melewati pintu masuk utama Walters yang masif itu
dan melihat betapa siswa-siswi tumpah ruah di atrium. Banyaknya
sungguh di luar perkiraan. Mereka berjalan sambil mengobrol dan
suara mereka terdengar seperti dengungan lebah di telingaku.
Aku menarik kerudung hoodie-ku sampai menutupi kepala dan
berjalan di antara mereka menuju deretan loker. Setelah
memindahkan buku Pengantar Biologi dari tas ke dalam loker, aku
melihat-lihat tetangga lokerku tanpa tujuan yang jelas. Yang di
sebelah kanan milik seseorang yang bernama Tyler Cook. Sebelah
kiri milik Noah Mitchell.
Aku tidak kenal mereka dan itu tidak terlalu mengherankan.
Yang mengherankan adalah, dari dua nama yang tidak kukenal itu,
hanya nama Noah Mitchell yang terus beresonansi dalam
kepalaku, seperti mantra Buddha yang diulang-ulang, bahkan
setelah aku meninggalkan loker itu di belakangku.
Berhari-hari kemudian, aku baru tahu kalau saat itu alam
semesta sedang berkonspirasi memberiku pertanda bahwa siapa
pun Noah Mitchell itu, ia akan menjadi bagian dari perubahan
besar yang disebut-sebut oleh Paman. Juga bagian dari ketakutan
terbesarku.
Beruntung aku bertemu dengan Emma yang muncul dari salah
satu simpangan koridor karena kalau tidak, aku sudah pasti akan
25
terlambat masuk kelas—dan catat ini: terlambat masuk kelas di
pertemuan pertama adalah musibah karena sang guru akan
langsung menandai wajahmu (tidak secara harfiah) dengan tanda
silang merah dan mencapmu sebagai siswa bermasalah walaupun
sebenarnya kau alergi berat terhadap masalah—karena menghabis-
kan terlalu banyak waktu untuk mencari letak kelas 311. Ada
terlalu banyak koridor terkutuk di sekolah ini dan jika mereka
bilang keterampilan navigasi spasial laki-laki lebih baik daripada
perempuan, maka sudah pasti aku adalah pengecualian.
“Kelas pertamamu apa?” Emma bertanya. Ia berjalan tepat di
samping kananku. Ia mengenakan kaus oranye, cardigan tipis
berwarna cokelat, dan rok selutut bermotif kotak-kotak.
“Geometri. Kau?”
“Fisika.”
Aku mengangguk. Kelas Fisikaku ada di hari Selasa dan Jumat.
“Kau satu kelas dengan Ethan, kau tahu? Dia juga ada kelas
Geometri di 311. Dia memberikanku salinan jadwalnya setiap
tahun. Katanya agar aku mudah mencarinya.”
“Aku tahu. Ethan memberitahuku kemarin.”
“Aku tidak percaya dengan rumor itu, tentang dia mengencani
Paris Watkins,” ujar Emma tiba-tiba.
Aku menoleh. Pandangan Emma tertumbuk pada sosok remaja
yang berada beberapa langkah di depan kami.
“Biru?”
Emma menoleh sambil menaikkan alis. “Kau kenal dia?”
Aku menggeleng. “Ethan cuma bilang julukannya Biru.”
26
“Dia cukup populer di sini. Banyak siswi Walters yang suka
padanya dan lima puluh persen di antaranya hobi berhalusinasi
sedang berkencan dengannya, termasuk Paris, kurasa.”
“Kau termasuk di antaranya?”
“Eh,” Emma terkesiap. “Tidak, tidak. Kurasa dia bukan, kau
tahu, tipeku.” Emma menatapku sebentar, lalu menunduk.
Kami berjalan melewati Biru. Ketika aku berbalik beberapa
langkah kemudian, ia masih belum beranjak dari tempatnya, masih
mengobrol dengan tiga orang dari kumpulan anak keren yang
kulihat tempo hari.
“Baiklah, Drew,” kata Emma, “kelasku yang ini.” Ia
mengedikkan kepala ke ruang kelas. “Kau tinggal berjalan sampai
ujung koridor, lalu belok ke kiri.”
Aku mengangguk. “Terima kasih.”
Emma tersenyum. “Sampai jumpa,” ujarnya, yang aku balas
dengan, “Sampai jumpa.”
Ia berbalik dan melenggang masuk kelas. Aku kembali berjalan,
belok ke kiri di ujung koridor, dan akhirnya menemukan kelas 311.
Aku masuk dan menempati meja-kursi di baris ketiga.
Ethan muncul tepat sebelum bel berbunyi. Penampilannya
membuat mataku terbelalak. Ingat ketika aku bilang ia tidak
mungkin masuk kelas dengan pakaian tidurnya? Nah, sekarang
coret kata “tidak”-nya karena, coba tebak, ia masih mengenakan
pakaian tidurnya. Serius, anak ini sungguh ajaib!
“Pakaian tidur?”
27
Ethan menyelipkan tubuhnya ke meja-kursi di belakangku dan
menyegir. “Percayalah, teman sekamar, aku pernah lebih buruk
dari ini.”
Aku mengernyit saat menyadari tubuhnya basah dan bau
keringat. “Dari mana?”
“Gym. Hal terbaik yang dimiliki Walters.”
“Gym?”
Ethan mengambil napas panjang, lalu bersandar. “Anggap saja
aku sebegitu miskinnya sampai-sampai tidak mampu membeli
barbel sehingga untuk mengangkat barbel paling ringan sekalipun,
aku harus menunggu sampai tahun ajaran baru dimulai karena di
sini aku tidak perlu membayar untuk mengangkat barbel.
Sesungguhnya, aku memang semiskin itu.”
Aku tidak sempat membalas karena suasana kelas yang tadinya
riuh mendadak hening. Aku menghadap ke depan dan seorang
pria sudah berdiri di belakang meja guru. Ia memakai kacamata
dan rambutnya telah rontok lebih banyak dari yang seharusnya
terjadi di usianya yang kutaksir berada di angka empat puluhan.
Pria itu memperkenalkan diri sebagai Seth Garrett Richards dan
kami bisa memanggilnya Mr. Richards. Tapi, Ethan mencondong-
kan tubuhnya ke depan dan berbisik padaku, “Mr. PHK, dia itu.”
“PHK?”
Sementara Mr. Richards menceritakan pengalaman mengajar-
nya, Ethan menjelaskan, “Pemberi Harapan Kosong. Yang aku
dengar, tiap tahun menjelang akhir semester, dia selalu berkata
„mungkin ini tahun terakhirku mengajar di sini‟. Omong kosong,
semua itu. Karena dia akan muncul lagi di tahun ajaran baru untuk
28
mengecewakan mereka yang benar-benar berharap dia tidak akan
kembali lagi. Tahun lalu dia juga berkata seperti itu dan lihat, dia
muncul lagi seakan-akan dia tidak pernah mengatakan apa-apa.
Aku juga berharap dia tidak akan kembali. Tidak ada yang benar-
benar suka padanya.”
Selama empat puluh menit, Mr. Richards mengoceh, mencoret
whiteboard, mengoceh sambil mencoret whiteboard, duduk sambil
mengoceh, dan semua itu dilakukannya nyaris tanpa jeda. Ketika
kelas usai, wajah kami semua tampak lebih tua dua tahun
sementara wajah Mr. Richards tampak berseri-seri seolah ia puas
telah membuat kami tampak menua dengan menjejali otak kami
dengan teori absurd mengenai sudut-sudut dan segitiga kongruen.
“Sekarang kau tahu, kan kenapa tidak ada yang suka padanya?”
tanya Ethan.
Sekembali kami dari kantin setelah makan malam, aku langsung
berbaring di tempat tidurku sementara Ethan duduk menghadap
meja belajarku. Aku memejamkan mata dan merasakan untuk
pertama kalinya, setelah dua malam, betapa nyamannya tempat
tidurku. Oke, sebetulnya tidak senyaman itu. Hanya saja, jika kau
akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbaring setelah
memaksa tubuhmu menghadapi rutinitas sekolah kembali padahal
kau berharap musim panas bisa berlangsung selama dua belas
bulan dalam satu tahun, berbaring di atas tempat tidur yang diisi
dengan batu pun akan terasa nyaman.
“Orangtuamu?”
29
Aku membuka mata. Ethan sedang mengangkat sebuah bingkai
foto dari meja belajarku. Kupandangi foto di balik bingkai itu.
Foto itu diambil tepat satu bulan sebelum Dad mengalami
kecelakaan dan meninggal seketika. Kami sedang mengecat ulang
ayunan tua di halaman belakang ketika Mom tiba-tiba berinisiatif
untuk mengambil foto kami bertiga. Kami semua tersenyum ke
arah kamera. Itu, kurasa, kali terakhir aku dan Mom benar-benar
tersenyum.
“Drew?”
Aku mengerjap. “Ya.”
Ethan menatap foto itu. “Kau mirip sekali dengan ayahmu,”
komentarnya. “Beruntung kau.”
“Beruntung?”
Ethan mengangguk. “Karena kau tidak perlu capek-capek
meyakinkan orang-orang kalau kau itu anak orangtuamu. Tidak
sepertiku. Aku tidak mirip dengan ayah maupun ibuku. Benar-
benar menyusahkan karena aku jadi punya semacam kewajiban
untuk meyakinkan orang-orang kalau aku benar adalah anak
orangtuaku, bukan anak pungut.”
Aku baru akan membalas ketika seseorang menggedor pintu
kamar. Aku bangkit dan membukakan pintu. Siswa yang mengge-
dor pintu menatapku dan ia tampak tidak senang.
“Yang mana Drew Olson?” tanyanya tidak ramah.
“Aku.”
Pria itu memiringkan bibirnya. “Ada telepon untukmu.”
Aku mengangguk, lalu berjalan melewatinya menuju telepon
umum yang terpasang di koridor dekat kamar. Samar-samar aku
30
mendengar pria itu mengolok, “Dasar anak manja. Baru hari
pertama sudah minta ditelepon.”
Yang ingin kulakukan saat itu: berbalik dan mengatakan
padanya (1)aku bukan anak manja, (2)ini bukan hari pertamaku di
asrama, ini hari ketigaku, (3)aku tidak minta untuk ditelepon! Tapi,
yang kulakukan: terus berjalan dan berpura-pura kalau ia cuma
buang angin.
Aku meraih gagang telepon yang dibiarkan menggantung nyaris
menyentuh lantai. “Halo?”
“Drew...” Bibi Marla.
“Ya, Bi. Ada apa?”
“Tadi sore kami pergi menemui Hannah. Aku dan pamanmu
berpikir, mungkin ada sesuatu dengan Hannah.” Bibi berhenti
sebentar dan saat itu perasaanku mulai tidak enak. “Saat kami
memberitahunya kau pergi ke sekolah asrama tahun ini, dia
bertanya kenapa Charles harus pergi ke sekolah asrama. Drew,
kenapa dia memanggilmu Charles?”
Aku mengulum bibir dan menggenggam gagang telepon
dengan terlalu erat.
“Drew...”
“Tidak usah dipikirkan. Bibi tahu sendiri kondisi Mom. Bibi
ada di sana ketika Dokter Quinn menjelaskannya. Mom memang
membaik, tapi ada saatnya dia tidak sadar apa yang dia katakan.”
Aku bicara dengan Bibi selama beberapa saat lagi.
Saat sambungan telepon akhirnya terputus, aku mengembuskan
napas dan bersandar ke tembok.
Aku tidak seberuntung yang dikatakan Ethan.
31
7
ARI ini aku kosong di periode pertama.
Aku mengurung diri di kamar selama setengah jam
sambil membaca tiga puluh halaman pertama Pengantar Biologi
seperti yang ditugaskan oleh Miss Lindsay, seorang wanita yang
menjadi bukti hidup kalau memakai kacamata yang tepat akan
membuatmu tampak lebih cantik dan pintar—itu perkataan Ethan,
omong-omong, saat kemarin ia bertanya siapa yang mengajar kelas
Biologiku, yang kujawab dengan “Miss Lindsay.”
Aku selesai membaca sembilan belas halaman sebelum
meninggalkan kamar, pergi ke kantin, dan mencomot sepotong
sandwich kalkun untuk sarapan, lalu masuk ke kelas Literatur
Bahasa Inggris di periode kedua. Aku menghabiskan empat puluh
menit di sana sambil mendengarkan Mr. Vang berceloteh tentang
buku The Great Gatsby yang sepertinya merupakan buku wajib di
kelas Literatur Bahasa Inggris se-Oregon.
Ethan menyamperiku setelah periode kedua berakhir. Saat itu
aku sedang duduk di salah satu anak tangga yang membentuk
piramida di depan pintu masuk Walters, membaca Pengantar
Biologi.
“Aku ada kelas Aljabar II setelah ini. Kau?”
H
32
“Aku kosong. Setelah itu ada kelas Seni Kehidupan.”
Sebenarnya itu semacam kelas Filosofi. Hanya saja di Walters kami
menyebutnya Seni Kehidupan.
“Aku juga ada kelas Seni Kehidupan hari ini. Kau di kelas?”
“205.”
“Hebat. Kita bertiga satu kelas.”
Aku menoleh. “Bertiga?”
“Kau, aku, dan Emma,” kata Ethan. Ia membuatnya terdengar
seolah-olah kami bertiga sudah berteman sejak lama. “Aku tidak
banyak satu kelas dengan Emma. Cuma satu kali di kelas Seni
Kehidupan. Siapa pun yang menyusun jadwal tahun ini, dia itu
sangat payah.” Ia mendesah panjang. “Baiklah, aku mau melem-
parkan buku Sejarah Dunia mematikan ini ke dalam loker,”
putusnya sambil mengangkat sebuah buku yang sangat tebal.
Ethan bangkit berdiri. Aku membaca lagi. Beberapa detik
berlalu dan aku masih bisa melihat ujung sepatu Ethan lewat sudut
mata. Belakang leherku terasa panas. Aku menoleh ke kanan
sambil mendongak. Ethan menatapku lurus-lurus.
“Apa?”
“Angkat bokongmu yang menyedihkan itu dan lemparkan
buku terkutuk itu ke dalam loker. Ini bahkan masih minggu
pertama, Drew. Jangan terlalu menyiksa diri.” Ethan berdecak saat
aku bergeming. “Demi Tuhan, Drew, ayolah.”
Mengembuskan napas, aku menutup Pengantar Biologi, lalu
bangkit berdiri. Ketika kami sampai di deretan loker, Ethan
membuka lokernya dan benar-benar melemparkan buku Sejarah
Dunia sampai menimbulkan suara gedebuk keras. Aku membuka
33
loker dan sesuatu yang basah dan berlendir langsung menyembur
wajahku dengan kecepatan seekor cheetah. Mataku terpejam rapat,
orang-orang di sekitarku ber-“oh!” tertahan, dan aku mendengar
Ethan berseru, “Demi para penghuni Surga!”
Aku mengusap lendir dari wajahku dan membuka mata dengan
perlahan. Hal pertama yang aku lihat adalah lokerku sudah
berlumuran lendir. Warnanya kuning menjijikkan seperti feses
manusia. Meskipun bau lendir ini tidak semenjijikkan rupanya,
rasanya aku tetap mau muntah.
Aku mengusap wajahku lagi, mengerjap, lalu menunduk. Kaus
putih yang aku pakai jadi tampak seperti lukisan abstrak yang
hanya berwarna kuning. Ethan menyambar sticky note yang
tertempel di pintu loker sebelah dalam, yang ajaibnya tidak terkena
semburan lendir feses berkecepatan tinggi.
“Lihat ini.” Ia menyerahkan kertas itu kepadaku.
Aku menerima dan membacanya.
Kejutan Natal untuk anak manja.
Salam dari Paman Santa.
Oh, iya, belum Natal, ya?
“Kau tahu kira-kira siapa yang melakukannya?” Ethan
bertanya.
“Yang menggedor kamar kita kemarin malam.”
“Jason McFarland. Anak keren.”
“Mulai sekarang namanya Santa Lendir.” Aku menutup loker
dengan sedikit membanting.
34
“Apa yang akan kaulakukan, Drew?” tanya Ethan begitu kami
kembali ke kamar.
Aku langsung masuk ke kamar mandi. Ethan bersandar ke
gawang pintu kamar mandi. “Mencuci muka dan berganti baju,
kurasa.”
Ethan meringis. “Maksudku, terhadap si Santa Lendir itu.”
Aku menghidupkan keran wastafel dan membasuh wajah.
“Mengadukannya ke kepala sekolah?”
“Tidak,” balas Ethan. “Belum pernah ada yang melaporkan
anak keren ke guru apalagi ke kepala sekolah. Kau dididik di sini
agar menjadi pelajar, Drew, bukan pengadu.”
“Mungkin itu sebabnya.” Aku membasuh wajah sekali lagi, lalu
mematikan keran. “Mereka jadi begitu karena tidak ada yang
mengadukan mereka.”
Ethan menggeleng. “Mereka itu ular berbisa, Drew. Dan kau
tahu apa yang terjadi kalau kau mengganggu ular berbisa? Kau
akan dipatuk dan sekarat.”
Aku menatap Ethan lewat cermin di atas wastafel. “Tapi, aku
tidak mengganggunya. Dia menyalahkanku atas sebuah panggilan
telepon yang berada di luar kendaliku.” Aku berbalik. “Maksudku,
siapa yang bisa mencegah sebuah telepon umum berdering?”
“Masalahnya adalah mereka itu ular berbisa yang punya otak,
tapi tidak tahu cara menggunakannya. Jika kau ada di satu koridor
dengan salah satu dari mereka dan di koridor itu cuma ada kalian
berdua dan tiba-tiba ada bola air yang meluncur ke mukanya, dia
35
akan tetap menyalahkanmu walaupun jelas-jelas bukan kau yang
melemparkan bola air itu. Karena apa? Karena cuma ada kalian
berdua di koridor itu dan dia tidak tahu cara menggunakan
otaknya.”
Ethan menyilangkan tangan di depan dada. “Kali ini kau cuma
sekarat, Drew. Tapi, kalau kau mengadukan dia, kau akan dipatuk
lagi dan tamat.”
“Baiklah.” Aku berjalan melewatinya. “Sebenarnya aku tidak
benar-benar ingin mengadu.”
Aku mengambil kaus baru dari lemari, lalu kembali ke kamar
mandi. Ketika aku hendak menutup pintu, Ethan menahan daun
pintu dengan kakinya dan bertanya dengan nada tidak percaya,
“Serius, nih? Kau mau menutup pintu hanya karena akan berganti
kaus?”
Aku mengangkat alis. “Ada yang salah?”
“Ya, ampun, Drew. Ini Portland, tempat kau bisa menyaksikan
orang-orang bersepeda sambil telanjang bulat dan kau mau
menutup pintu hanya untuk berganti kaus? Dari mana asalmu
sekali lagi?”
“Portland.”
“Itu lebih parah lagi. Aku dari Nebraska, tapi aku tahu tentang
Portland. Jadi, berkelakuanlah seperti orang Portland. Tidak perlu
menutup pintu. Aku tidak akan bernafsu jika itu yang
kautakutkan.”
Aku mencibir. “Kau memang bisa melihat orang-orang
bersepeda sambil telanjang bulat di Portland dan aku tetap mau
berganti kaus di ruang tertutup. Tapi, bukan karena aku takut kau
36
bernafsu. Jadi, permisi.” Kutendang kaki Ethan, lalu kututup pintu
kamar mandi.
Beberapa saat kemudian, aku membuka pintu kamar mandi dan
Ethan belum beranjak dari tempatnya. “Apa kau selalu
mempermasalahkan hal remeh semacam ini?”
“Aku bukannya mempermasalahkan keinginanmu untuk
berganti kaus di ruang tertutup, tapi aku mempermasalahkan
sikapmu yang kelewat kaku. Rilekslah sedikit.”
“Kau tidak masuk kelas?” Aku melirik jam beker. Ethan sudah
terlambat sepuluh menit untuk kelas Aljabar II.
“Tenang saja. Aku dapat Mr. Atkinson untuk Aljabar II. Dia
guru terbaik kedua setelah Mr. Jefferson yang akan mengajar di
Seni Kehidupan nanti. Mr. Atkinson senang memberi toleransi.
Aku bisa saja muncul sepuluh menit sebelum kelas bubar,
beralasan aku menderita mulas parah, dan dia akan tetap
mengizinkan aku masuk.”
Tiba-tiba aku tertawa.
Ethan mengerutkan kening. “Apa yang begitu lucu?”
“Apa ini benar-benar terjadi? Maksudku, aku tidak percaya
hanya butuh satu panggilan telepon untuk mengubah statusku dari
anak biasa yang tidak atau belum diganggu oleh anak keren
menjadi anak biasa yang diganggu oleh anak keren.”
Ethan menepuk bahuku. “Baguslah kau bisa tertawa. Artinya
kau baik-baik saja. Aku masuk kelas dulu.”
Aku bertemu lagi dengan Ethan di kelas Seni Kehidupan. Dia
duduk di sebelah kiriku sementara di sebelah kananku ada Emma.
37
“Aku sudah dengar soal lendir itu dari Ethan,” kata Emma
dengan nada prihatin.
“Bukan masalah besar selama aku tidak mengadu ke kepala
sekolah.”
Ethan menimpal, “Tepat.”
“Nanti kita bersihkan lokermu,” tawar Emma murah hati.
Aku mengangguk.
Lalu aku melihat Santa Lendir masuk kelas bersama dengan
empat anak keren lain, salah satunya adalah Biru. Biru berjalan
santai dengan earbuds di lubang telinga. Ia duduk di kursi paling
depan dan paling kiri, dekat jendela. Santa Lendir duduk di
belakangnya, menoleh ke arahku, dan tersenyum miring. Ia punya
alis mata yang tebal dan tajam sehingga wajahnya tampak marah
permanen.
Kemudian Mr. Jefferson memasuki kelas. Dengan sekali lihat
saja aku langsung bisa menangkap perbedaan guru ini dengan
guru-guru yang lain. Jika guru lain mengenakan kemeja dan celana
panjang formal untuk mengajar, maka Mr. Jefferson hadir dengan
mengenakan kaus polo dan celana jins. Pembawaannya santai.
Mungkin itu sebabnya ia tampak seperti pria berusia dua puluhan
padahal sesungguhnya, kata Mr. Jefferson, ia sudah berusia tiga
puluh satu tahun.
“Jika kalian mengira karena namanya Seni Kehidupan, maka
kita akan belajar tentang macam-macam seni seperti seni musik,
seni rupa, dan lain sebagainya, kusarankan pada kalian agar segera
membuang pikiran itu dari kembang kol ajaib yang ada di dalam
kepala kalian,” kata Mr. Jefferson sambil menopangkan pinggulnya
38
di meja guru. “Kita tidak akan membahas karya Mozart atau
Picasso. Kita akan membahas tentang kehidupan; apa yang
membentuk kehidupan itu sendiri dan bagaimana menjalaninya
dengan lebih baik.
“Kita menyebutnya Seni Kehidupan karena sama halnya seperti
menciptakan lagu atau melukis, menjalani hidup ini adalah seni,
tidak ada ilmu pastinya. Maka, sebenarnya di kelas ini saya tidak
akan mengajari kalian. Kita akan saling berbagi pandangan
mengenai hidup. Dan karena tidak ada ilmu pasti untuk menjalani
hidup, maka saya tidak akan memaksa kalian untuk menerapkan
semua yang saya bagikan di kelas ini dalam kehidupan kalian.
Sesungguhnya, saya sendiri juga tidak bisa menerapkan semua yang
saya bagikan dalam kehidupan saya sendiri. Berbicara itu selalu
lebih mudah daripada mewujudkan. Itulah sebabnya mulut kita
cuma ada satu sementara tangan dan kaki kita ada dua.
“Bersikaplah yang baik, maka kalian akan disegani. Berusahalah
sebaik mungkin, maka kalian akan dihargai. Jika kalian
menancapkan dua kalimat itu di kembang kol kalian, mendapatkan
nilai bagus di kelas ini tidak akan sulit.”
Mr. Jefferson mengakhiri kelasnya tiga puluh menit kemudian
dengan merekomendasikan sebuah buku berjudul Change My Past
bagi mereka yang ingin bacaan bermutu di akhir pekan.
“Ini satu-satunya mata pelajaran yang tidak butuh pemerasan
kembang kol secara berlebihan,” gumam Ethan saat menyelinap
keluar kelas. Emma terkikik. Saat kami akan membersihkan
lokerku, kami tidak melihat ada lendir kuning sedikit pun.
“Siapa yang membersihkannya?” tanya Emma.
39
Aku mengangkat bahu.
Rasanya hari Sabtu datang lebih lambat pekan ini. Jadi, ketika hari
Sabtu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, semua penghuni asrama
tampak berseri-seri seakan wajah mereka baru saja dikeluarkan dari
mesin cuci yang diberi terlalu banyak cairan pembersih nomor
satu.
Sejak bangun tidur, Ethan telah menyanyikan lagu It’s A
Beautiful Day setidaknya sembilan belas kali. Beruntunglah suaranya
bagus, jadi aku tidak terlalu terganggu. Begini-begini, Ethan
ternyata anggota paduan suara Walters. Aku baru tahu dua hari
yang lalu saat aku, Ethan, Emma, dan Kelly mengerjakan tugas
bersama di ruang santai asrama.
Ethan bernyanyi.
Kelly: “Kau boleh bernyanyi sampai pita suaramu rusak di paduan suara
konyolmu itu. Tapi, jangan di sini. Tidak sekarang, ketika aku sedang
mengerjakan tugas sialan ini. Suaramu membuat otakku tidak bisa
bekerja.”
Ethan berhenti bernyanyi.
Aku: “Paduan suara?”
Kelly: “Untuk satu alasan yang tidak jelas, mereka memasukkan dia
ke paduan suara. Aku bisa terima mereka memberinya beasiswa. Tapi,
tempat di paduan suara? Sama sekali tidak masuk akal.”
Ethan tersenyum bangga ke arahku dan kembali bernyanyi. Emma
terkikik pelan.
40
Kelly: “Aku menyerah!”
Ethan keluar dari kamar mandi. “Kau ada rencana apa hari
ini?” ia bertanya setelah menyelesaikan It’s A Beautiful Day untuk
yang kedua puluh kalinya. Aku jadi hapal lagu itu di luar kepala.
“Aku mau ke toko buku dekat sini. Mau ikut?”
Ethan melemparkan handuknya ke ranjang, berbaring di atas
lantai, dan melakukan sit-up dengan bertelanjang dada. “Aku mau
sih, Drew. Hanya saja aku tidak biasa belanja di toko buku. Aku
mencuri baca dan menghapalnya. Tapi, ini akhir pekan. Aku
sedang malas menghapal.”
Aku meringis. “Jadi, apa rencanamu? Sit-up sambil bernyanyi
It’s A Beautiful Day sepanjang hari?”
“Dua belas... Tiga Belas... Ide yang bagus.”
“Yang benar saja.”
Ethan terkekeh dan melanjutkan hitungannya. Aku pergi ke
toko buku.
Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk menemukan Change
My Past yang direkomendasikan oleh Mr. Jefferson. Aku mengu-
lurkan tangan untuk meraih buku itu, namun alih-alih menyentuh
buku itu, tanganku justru menyentuh tangan lain di atas buku itu.
Aku dan pemilik tangan itu menarik tangan di saat yang
bersamaan. Aku menoleh sembari berkata—pemilik tangan itu
juga berkata, “Aku duluan.”