saparuddin etika bisnis masyarakat ekonomi syariah.docx

Upload: saparuddin-siregar

Post on 12-Oct-2015

40 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ETIKA BISNIS MASYARAKAT EKONOMI SYARIAH( Pandangan Tentang Tingkat Keuntungan dan Bagi Hasil Usaha)

Oleh : Dr. Saparuddin Siregar, SE. Ak, MA

A. Pendahuluan

Pembahasan Etika Bisnis dalam Masyarakat Ekonomi Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut upaya mencapai keridhaan/suka sama-suka ( ) diantara para pihak yang bertransaksi sebagaimana perintah Allah dalam Alquran surah An-Nisa: 29 Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar) , kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu[footnoteRef:1] [1: Departemen Agama RI, Al-Hidayah Al-Quran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, (Jakarta: PT Kalim, 2010), h. 83]

Transaksi bisnis adalah berbagai aktifitas ekonomi, antara lain aktifitas produksi barang dan jasa, konsumsi, distribusi, pertukaran barang melalui perdagangan (jual beli), pertukaran jasa melalui pengupahan/penyewaan, serta kerjasama dalam kegiatan usaha. Melalui makalah yang disampaikan pada forum Diskusi Ramadhan MUI Propinsi Sumatera dengan waktu yang terbatas, maka pembahasan mengenai Etika berbisnis ini penulis batasi pada uraian tentang etika dalam pengambilan keuntungan dalam transaksi perdagangan serta kerjasama usaha sebagai bentuk yang berbeda dengan pinjam meminjam yang mengandung unsur riba.

B. Saling Ridha ( )Pengertian RidhaSaling Ridha dalam tafsir Jalalain diartikan sebagai Thayyibu Nafsin ( ) [footnoteRef:2] yaitu hati senang atau tercapainya kepuasan (satisfaction). Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah memaknai an taradhin minkum sebagai kerelaan kedua belah pihak. Adapun indikator dari kerelaan itu adalah ijab qabul atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah terima yang menunjukkan kerelaan.[footnoteRef:3] [2: Jalaluddin Muhammad bin ahmad al-Mahalli dan Jalaluddin abd al Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991 ), h. 68] [3: Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, volume 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 499]

Tenggang Waktu Khiyar sebagai ukuran telah RidhaApabila dikaitkan dengan waktu, Ibn al-Arabi (1165-1240) dalam kitabnya Ahkam al-Quran, menyebutkan :Sebagian ulama berpendapat bahwa taradhin adalah adanya khiyar sesudah akad jual beli, sebelum berpisah dari majlis. Yang berpendapat demikian adalah ibn Umar, Abu Hurairah, Syuraih, al-Syabi, Ibn Sirin, Syafii, berdasarkan hadis dari ibn Umar: Sebahagian ulama lainnya berpendapat, keridhaan tercapai apabila telah dijawab dengan qabul dengan perkataan saling ridha. Ini diriwayatkan dari Umar dan selainnya, demikian juga pendapat Abu Hanifah, Malik dan sahabat.[footnoteRef:4] [4: Abi Bakr Muhammad ibn Abdullah (ibn al-Arabi), Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah, 1988) h. 522-523]

Mengenai batas waktu keridhaan setelah akad sepanjang belum berpisah dari majlis, Abdul Halim Hasan Binjai (1901-1969) dalam tafsir Ahkam menyebutkan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa, sempurna berlaku keridhaan sebelum mereka berpisah setelah dilakukan akad. Walaupun diantara mereka telah dilangsungkan akad jual beli, namun akad itu masih dapat dirombak selama mereka belum berpisah. [footnoteRef:5] keterangan ini adalah sejalan dengan keterangan ibn Arabi diatas. [5: Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Ahkam, Editor Azhari Akmal Tarigan, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006) h. 258-259]

Ridha yang Hakiki tidak dibatasi waktu.Dalam pandangan penulis, keridhaan tidaklah terbatas sampai dengan berpisah dari majlis, namun Ridha yang hakiki adalah Ridha yang senantiasa akan tetap dirasakan meskipun telah berpisah dari majlis. Dapat dicontohkan, ketika seseorang berbelanja suatu barang (misalkan sebuah kendaraan), maka pembeli senantiasa puas karena kenyamanannya dikendarai (tidak terganggu dengan kerusakan/rewel) dan jikapun mengalami kerusakan, tersedia sentra service untuk pemeliharan dan perbaikan lebih lanjut.Satu contoh tentang ridha yang tercemari adalah ketika seseorang berbelanja barang tertentu pada satu toko, dimana penjual dan pembeli akhirnya sepakat dengan tingkat harga yang ditawarkan dengan merealisasikan jual beli. Namun hanya berselang beberapa toko ia melihat ada barang yang sama, yang ternyata ditawarkan dengan harga yang jauh lebih murah. Mengetahui hal ini tentulah pembeli merasakan kekecewaan, karena toko pertama tempatnya membeli ternyata mengambil keuntungan yang sangat berlebihan dari toko lain sekitarnya. Dengan kondisi demikian keridhaannya beberapa saat sebelumnya telah tercemar dan berubah menjadi kekecewaan.

C. Etika Pengambilan keuntungan

Pendapat yang menyatakan tidak ada pembatasan besarnya keuntunganAli Muhyiddin dalam bukunya Fiqh al-Bunuk al-islamiyyah menegaskan bahwa tidak ditemui dalam Alquran maupun Sunnah, Nash yang terkait dengan kewajiban atau kebolehan menetapkan keuntungan dengan jumlah sepertiga, seperlima atau seumpamanya. Ini adalah pendapat yang dinukilnya dari Yusuf Qhardhawy, yang didasarkan pada riwayat bahwa Rasulullah SAW pernah membenarkan pengambilan keuntungan mencapai 100% dan bahkan sebagian sahabat ada yang berdagang dengan keuntungan melebihi itu [footnoteRef:6]. Riwayat dimaksud dalam shahih Bukhary sebagai berikut [6: Ali Muhyiddin al-Qarhu Dagiy, Fiqh al-Bunuk al-islamiyyah, (Beirut: Dar a-lBasyair al-islamiyyah, 2009), h. 14-15.]

[footnoteRef:7] [7: Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary, Shahih al-Bukhari, Juz-3, selanjutnya disebut Shahih Bukhary, (Tanpa kota, Dar al-Fikr, 1994), Kitab Manaqib, Hadis no. 3642, h. 225-226.]

Urwah melaporkan, bahwa Nabi saw memberikan kepadanya satu dinar untuk membelikan seekor domba untuk rasul. Dengan uang itu urwah ternyata dapat membeli dua ekor domba. Urwah kemudian menjual salah satu Domba dengan memperoleh harga jual satu dinar. Selanjutnya Urwah kembali kepada Rasul dengan menyerahkan seekor domba dan uang satu dinar itu. Atas tindakan ini Rasul SAW mendoakan semoga keberkahan atas jual beli Urwah dan sekiranya urwah memperdagangkan tanah sekalipun, maka diharapkan ia akan mendapat keuntungan dengannya.

Pendapat yang menganjurkan keuntungan maksimum 30%Wahbah Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamiy wa adillatuh berpendapat bahwa salah satu etika jual beli adalah tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan, misalnya tidak melebihi sepertiga modal barang dagangan. Ini adalah pandangan ulama Malikiyah yang mendasarkan pendapat bahwa jumlah itulah yang diperbolehkan dalam berwasiat. [footnoteRef:8] [8: Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid 5, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007), h. 3307]

Ibnu Khaldun (1332-1406), dalam Mukaddimah menegaskan bahwa Pendapatan masyarakat dan penghidupan tergantung pada harga yang ideal dan stabil, serta kondisi pasar yang baik. Harga jual yang murah atas suatu komoditi adalah baik bagi masyarakat umum yang membutuhkan komoditi itu, semisal bahan-bahan kebutuhan pokok.[footnoteRef:9] [9: Ibnu Khaldun, Mukaddimah, terjemahan, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2011), h. 721]

Pendapat yang mengannjurkan keuntugnan pada kisaran 5-10 PersenAl-Ghazali (1058-1111) tidak setuju terhadap laba yang berlebihan. Jika seseorang penjual menawarkan harga yang lebih tinggi dari harga yang berlaku umum, maka pembeli harus menolaknya. Harga normal seharusnya berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga modal pembelian barang. Penjual seharusnya terdorong untuk memeroleh laba yang hakiki di akhirat.[footnoteRef:10] Menurut al-Ghazali, pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral para pelakunya. Mengambil keuntungan dengan cara menimbun barang menyebabkan kelangkaan adalah kezaliman. Iklan palsu adalah kejahatan. Informasi yang salah mengenai berat, jumlah, harga dan kualitas adalah penipuan. Pengendalian pasar melalui perjanjian rahasia dikalangan pedagang dan manipulasi harga adalah tindakan terlarang. Perilaku pedagang hendaklah mencerminkan kebajikan. [footnoteRef:11] [10: Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi ketiga, (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2010. H. 326-327.] [11: Adiwarman Karim, ibid, h. 327-328]

Kecenderungan harga yang senantiasa naik (inflasi) sangat merugikan bagi masyarakat umum, karena merosotnya daya beli. Pedagang yang tidak memperhatikan Etika suka mengambil kesempatan menarik keuntungan melebihi kewajaran. Kenaikan harga pada bahan-bahan pokok akan mendorong kenaikan harga barang lainnya. Kenaikan harga menurut sebab-sebab yang wajar adalah [footnoteRef:12]: [12: M. A Mannan, Islamic Economics Theory and Practice, (Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1980), h. 209]

1. Persediaan uang yang bertambah tidak diimbangi dengan pertambahan produksi barang/jasa2. Berkurangnya pasokan/produksi barang dan jasa, karena kelangkaan atau musiman.3. Peningkatan aktifitas pembangunan yang tidak diimbangi dengan pasokan faktor-faktor produksi.4. Kebijakan Fiskal dan moneter, misalnya kenaikan pajak menyebabkan kenaikan harga. Atau pengurangan subsidi BBM.

Para pedagang hendaknya menyadari dan tidak menaikkan atau menetapkan harga yang tinggi tanpa alasan-alasan ekonomi yang benar seperti ke-empat sebab diatas. Hal ini utamanya terhadap bahan-bahan kebutuhan pokok. Kestabilan harga secara umum perlu dijaga. Segala bentuk tindakan untuk menaikkan harga yang dibuat-buat adalah dilarang [footnoteRef:13]. [13: Ibid, h. 213]

Pemerintah dapat menetapkan harga demi kepentingan umumPemerintah tidak dapat mematok harga suatu barang, karena akan menzalimi para pedagang, inilah yang menjadi pendapat Jumhur Ulama. Namun Imam Malik berpendapat bahwa pemerintah boleh menetapkan harga apabila harga yang tinggi akan membahayakan bagi kepentingan umum. Jika pedagang menjual sesuai aturan tetapi harga tetap naik karena sedikitnya barang dan banyaknya permintaan (sesuai dengan hukum jual beli), maka pemerintah tidak akan mencampuri dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar (dikembalikan kepada Allah). Namun jika pedagang menahan suatu barang, sementara pembeli memerlukannya, dengan maksud agar harga melambung. Maka dalam kasus ini pedagang harus rela menerima penetapan harga oleh pemerintah. Inilah juga yang menjadi pendapat Ibn Taimiyyah (1263-1328). [footnoteRef:14] [14: Yusuf Qardhawy, Daur al-Qiyami wa al-Akhlaqi fi al-Iqtishadi al-Islamiy, (Kairo: maktabah wahbah, 1995), h. 328-329]

D. ETIKA dalam Hutang Piutang

Berhutang adalah suatu yang perlu dihindari.Orang yang berhutang cenderung berdusta dan mengingkarinya, karena itu berhutang patut dihindari agar si berhutang tidak terjerumus pada perbuatan dusta dan ingkar janji. Bahkan Rasul mengajarkan doa agar terhindar dari hutang. Dari Aisyah diriwayatkan oleh Bukhari sbb. [footnoteRef:15] [15: Shahih bukhary, juz- 1, Kitab Azan, Bab al-Dua Qabla al-Salam, hadis no 832]

Dari 'Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dia telah mengabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam shalat membaca do'a: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Al Masihid Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan dosa dan hutang. Tiba-tiba ada seseorang berkata kepada beliau, "Kenapa engkau banyak meminta perlindungan dari hutang?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya seseorang apabila berhutang dia akan cenderung berkata dusta dan berjanji lalu mengingkarinya."

Berniat sungguh-sungguh untuk membayar hutangSeseorang yang beritikad baik untuk membayar hutangnya niscaya akan ditolong Allah untuk dapat membayar hutang-hutangnya. Sebaliknya orang yang bermaksud jahat tidak mengembalikan hutang yang diperolehnya maka Allah akan mencabut keberkahan dirinya sehingga berbagai usahanya akan merugi dan akhirnya ia benar-benar tidak dapat membayar hutangnya.

[footnoteRef:16] [16: Shahih Bukhari, Juz-3, Kitab istiqradhu wa adai al-duyun bab Man Akhaza Amwal al-Nas, hadis no 2387 h. 113]

Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAWbersabda: "Siapa yang mengambil harta manusia (berhutang) disertai maksud akan membayarnya maka Allah akan membayarkannya untuknya, sebaliknya siapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merugikan orang itu".

Mampu Membayar Hutang tapi Menunda, dapat Dikenakan Sanksi.Sikap manusia yang lalai ketika membayar hutang disebutkan Alquran pada surah Ali Imran (3) ayat 75 Di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "tidak ada dosa bagi Kami terhadap orang-orang ummi (orang arab). mereka berkata Dusta terhadap Allah, Padahal mereka mengetahui.

Dalam membayar hutang, disunnahkan untuk menyegerakannya. Seseorang yang memiliki kemampuan membayar hutang, tetapi lalai membayar hutang, maka ia telah melakukan kezaliman dan layak mendapat takzir. Sebagaimana dari Abu Hurairah diriwayatkan oleh Bukhari.[footnoteRef:17] [17: Kitab al-Hiwalah, hadis No. 2287, Al-Bukhari, al-Jami al-Sahih, Juz -2, , (Kairo: al-Mathbaah salafiyah wa Maktabatiha, 1403 H). h. 139]

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman dan apabila seorang dari kalian hutangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia ikuti".

Pembebanan Takzir ini telah diadopsi pada Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) No. 17/DSN-MUI/XI/2000 tentang Anksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-Nunda Pembayaran. Fatwa ini mengatur :1. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. 2. Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. 3. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. 4. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.

Membayar hutang adalah sesuatu keniscayaan yang wajib dipenuhi, sehingga karena keniscayaannya, Allah tidak dapat memberi keampunan kepada orang-orang yang belum menyelesaikan hutangnya. - - . - - . - - . - -

Dari Abu Qatadah , bahwasannya Rasulullah pernah berdiri tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?, Rasulullah menjawab Ya, jika engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri. Kemudian Rasulullah bersabda: Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku. [footnoteRef:18] [18: Kitab al-Imarah, Bab Man Qatala fi Sabilillah , Imam Muslim , Jami al-Shahih, Juz 6, (TK.TP, TT), h. 37.]

Hutang yang dibawa mati menjadi pengurang pahala yang berhutang. . Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah dengan diambilkandari kebaikannya, karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak pula Dirham. [footnoteRef:19] [19: HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani.]

Orang yang meninggal dunia tapi masih memiliki hutang tidak patut untuk dishalatkan jenazahnya, hingga terdapat orang lain yang bersedia menanggung hutangnya, terutama dari warisnya. Hadis Rasulullah SAW dari Salamah bin akwa diriwayatkan dalam Shahih Bukhari.[footnoteRef:20] [20: Al-Bukhari, Juz 3, Bab Kalam al-Khusumm hadis no 2127, h. 123]

Dari Salamah bin Al Akwa' radliallahu 'anhu berkata: "Kami pernah duduk bermajelis dengan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika dihadirkan kepada Beliau satu jenazah kemudian orang-orang berkata: "Shalatilah jenazah ini". Maka Beliau bertanya: "Apakah orang ini punya hutang?" Mereka berkata: "Tidak". Kemudian Beliau bertanya kembali: "Apakah dia meninggalkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Tidak". Akhirnya Beliau menshalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada Beliau, lalu orang-orang berkata: "Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, holatilah jenazah ini". Maka Beliau bertanya: "Apakah orang ini punya hutang?" Dijawab: "Ya". Kemudian Beliau bertanya kembali: "Apakah dia meninggalkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Ada, sebanyak tiga dinar". Maka Beliau bersabda: "Shalatilah saudaramu ini". Berkata, Abu Qatadah: "Shalatilah wahai Rasulullah, nanti hutangnya aku yang menanggungnya". Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menyolatkan jenazah itu.

Haram mengambil Riba dari hutang.Dalam kaitan dengan hutang-piutang Allah mengharamkan mengambil Riba sesuai Alquran surah al-Baqarah 185 Dan Allah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan riba. Riba adalah segala bentuk tambahan atas pemberian pinjaman, sebagaimana hadis Baihaqy berikut : : [footnoteRef:21] [21: Sunan Baihaqy al-Kubra, juz 5, halaman 350]

Dari Fadhalah bin ubaid bahwasnya Rasulullah SAW bersabda, setiap hutang yang menghasilkan manfaat maka itulah salah satu bentuk dari riba.

Ketika seseorang memberi pinjaman baik berupa uang maupun makanan, maka apabila diperjanjikan ada tambahan ketika pengembaliannya, maka tambahan ini adalah riba. Hutang berupa uang atau makanan timbul karena seseorang sedang mengalami kesulitan, karena itu tidak patut dibebani tambahan (riba) ketika mengembalikannya. Hal yang sama berlaku terhadap seseorang yang berhutang dengan menggadaikan (Rahn) sesuatu barang miliknya, maka tidak patut dibebani tambahan atas hutang yang diberikan itu. Al-Qurtuby (1214-1273) dalam tafsirnya menukil pendapat imam syafii bahwa beban merawat benda yang digadaikan adalah tanggungan pemilik barang gadai dan hasil yang keluar dari barang yang digadaikan kembali kepada pemilik barang, jadi pemberi pinjaman tidak mengambil keuntungan atas transaksi gadai ini, berikut ini kutipannya. : " , ". . . : .[footnoteRef:22] [22: Tafsir Qurtuby juz 3 h. 412]

Dibolehkan Tambahan Harga Karena penjualan Tangguh/Cicilan Pinjam meminjam uang atau makanan berbeda dengan jual beli. Pada jual beli ada benda yang dipertukarkan dengan uang. Pertanyaan yang sering timbul adalah apakah dalam jual beli bertangguh atau cicilan diperkenankan menaikkan harga. Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah, memberi penjelasan bahwa penjual beoleh menambahkan harga atas penjualan bertangguh, karena tangguhan waktu adalah bahagian dari harga. Ini adalah pendapat Hanafiyyah, Syafiiyyah, Zaid bin Ali Zainal Abidin (cucu Husein Bin Ali), Muyid Billah dan Jumhur Fuqaha dan merajihnya Syaukani.[footnoteRef:23] [23: Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid-3, (Kairo, Dar al-Fath li al-Ilam al-Araby, 1990), h. 216]

Kerjasama Bagi Hasil sebagai ganti dari memberi pinjamanBagi orang yang memiliki kemampuan menjalankan usaha namun tidak memiliki modal, maka pemilik dana bukan memberi pinjaman modal kepadanya, tapi yang benar adalah melakukan kerjasama usaha baik dalam bentuk akad mudharabah ataupun akad musyarakah. Kerjasama pembiayaan mudharabah adalah pemilik modal (shahibul mal) mempercayakan kepada seseorang yang memiliki keahlian (mudharib) untuk menjalankan usaha, dimana apabila terdapat keuntungan akan berbagi hasil sesuai kesepakatan, sedangkan apabila terjadi kerugian akan menjadi tanggungan pemilik modal. Ketentuan tentang pembiayaan mudharabah ini telah tertuang pada Fatwa DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)Adapun kerjasama pembiayaan musyarkah, adalah pihak-pihak yang bermitra sama-sama memasukkan modal dikdalam kegiatan usaha dan secara bersama pula mengleola usaha. Apabila mendapat keuntungan maka akan berbagi hasil sesuai kesepakatan, sedangkan apabila mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi modal. Ketentuan tentang pembiayaan musyarakah ini telah tertuang pada Fatwa DSN-MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah. E. Kesimpulan

1. Saling Ridha adalah kepuasan yang harus diwujudkan para pihak yang bertransaksi. Ridha yang hakiki adalah kepuasan yang dirasakan para pihak tanpa dibatasi waktu.2. Mengambil keuntungan memang tidak dibatasi jumlah maupun persentasenya, namun akan lebih maslahat bagi perekonomian jika penjual berusaha memberikan harga yang murah, ini diutamakan terhadap kebutuhan pokok masyarakat.3. Kebanyakan yang berhutang lalai melakukan pembayaran, padahal ia mampu. Terhadap mereka ini diperkenankan adanya sanksi.4. Pinjaman dalam bentuk uang atau makanan tidak diperkenankan ada penambahan. Penambahan ini adalah Riba yang diharamkan.5. Terhadap orang yang memiliki kemampuan menjalankan usaha, yang dianjurkan adalah kerjasama bagi hasil usaha dengan mereka dalam bentuk mudharabah atau musyarakah. Dengan prinsip bagi hasil ada penanggungan risiko para pihak (lebih berkeadilan).

DAFTAR BACAAN

Alquran, Departemen Agama RI, Al-Hidayah Al-Quran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, (Jakarta: PT Kalim, 2010)

Ibn al-Arabi, Abi Bakr Muhammad ibn Abdullah, Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah, 1988)

al-Bukhary, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, Juz-3, selanjutnya disebut Shahih Bukhary, (Tanpa kota, Dar al-Fikr, 1994)

Hasan Binjai, Abdul Halim, Tafsir Ahkam, Editor Azhari Akmal Tarigan, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006)Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi ketiga, (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2010)

Ibnu Khaldun, Mukaddimah, terjemahan, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2011)

Qardhawy, Yusuf, Daur al-Qiyami wa al-Akhlaqi fi al-Iqtishadi al-Islamiy, (Kairo: maktabah wahbah, 1995)

al-Qarhu Dagiy, Ali Muhyiddin, Fiqh al-Bunuk al-islamiyyah, (Beirut: Dar a-lBasyair al-islamiyyah, 2009)

Mannan, M. A, Islamic Economics Theory and Practice, (Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1980)

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Jilid-3, (Kairo, Dar al-Fath li al-Ilam al-Araby, 1990)

Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah, volume 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)

al-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad bin ahmad al-Mahalli dan Jalaluddin abd al Rahman bin Abi Bakr, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991 )

al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid 5, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007)

BIODATANama : Saparuddin SiregarAlamat : Jl Suka Cita No. 3 Medan 20146Tempat/Tgl Lahir: Medan 18 Juli 1963Telepon : 085213345981Pekerjaan: Dosen Ilmu ekonomi dan Perbankan FEBI IAIN SU Direktur Utama PT BPRS Puduarta InsaniPendidikan: S-3 Hukum Islam PPS IAIN SU S-2 Ekonomi Islam PPS IAIN SU S-1 Akuntansi Fak. Ekonomi USU MedanMahad Abu Ubaidah al-Jarrah Kerjasama Muslim Asia dan UMSU Medan12