samkhun naji nim: 108011000140 jurusan … · pendidikan akhlak tasawuf (analisis isi novel jack...
TRANSCRIPT
KANDUNGAN NILAI-NILAI
PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF
(ANALISIS ISI NOVEL JACK AND SUFI
KARYA MUHAMMAD LUQMAN HAKIM)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
oleh:
SAMKHUN NAJI
NIM: 108011000140
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
i
ABSTRAK
Nama : Samkhun Naji
NIM : 108011000140
Fak/Jurusan : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/Pendidikan Agama Islam
Judul : Kandungan Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf (Analisis
Isi Novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim)
Tujuan penelitian dari novel Jack and Sufi ini yaitu untuk menemukan bentuk
pendidikan akhlak tasawuf yang ditampilkan dalam novel Jack and Sufi, untuk
memperkaya khazanah keilmuan bagi peneliti karya sastra novel selanjutnya dan
untuk referensi dalam dunia pendidikan. Penelitian ini juga dapat memberikan
manfaat bagi pembaca, yaitu sebagai wahana pemikiran dalam memahami suatu
karya sastra, membantu dalam memahami suatu karya sastra dan sebagai rujukan
dalam bidang pendidikan.
Metode dalam skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research) yaitu suatu jenis penelitian yang mengacu pada khazanah kepustakaan
seperti buku-buku, artikel atau dokumen-dokumen lainnya. Sedangkan teknik
pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu cara
pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku,
surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya. Dalam
menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis isi (content analysis),
yaitu sebuah analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami dan
menangkap isi karya sastra, serta metode deskriptif, yaitu metode yang membahas
objek penelitian secara apa adanya sesuai dengan data-data yang diperoleh.
Penelitian ini menemukan 4 bentuk nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam
novel Jack and Sufi yaitu: tentang nilai kearifan (al-hikmah) meliputi ketajaman
intelegensi, kejernihan dalam berpikir. Nilai menjaga kesucian (al-iffah) meliputi
kedermawanan, keteguhan hati, dan wira’i. Nilai keberanian (al-syaja’ah)
meliputi sikap tenang san kesabaran. Terakhir nilai keadilan (al-‘adl) meliputi
kasih sayang, bersahabat, dan tawadhu’.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah swt atas taufik dan hidayah-Nya, akhirnya
penulisan skripsi yang berjudul “Kandungan Nilai-nilai Pendidikan Akhlak
Tasawuf (Analisis Isi Novel Jack and Sufi Karya Muhammad Luqman
Hakim)” ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah
kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan seluruh pengikut beliau
hingga akhir zaman.
Peneliti menyadari betul bahwa selama proses penulisan skripsi ini dalam
rangka mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Islam di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, banyak pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini.
Maka dari itu peneliti memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya sekaligus
ucapan terima kasih. Adapun apresiasi dan ucapan terima kasih ini peneliti
khususkan kepada:
1. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Abdul Majid Khon, MA dan Marhamah Shaleh Lc., MA selaku Ketua
Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Sekretaris Jurusan Pendidikan
Agama Islam juga seluruh dosen dan staf Jurusan Pendidikan Agama
Islam yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuannya selama
penulis menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Dimyati, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing selama penulisan skripsi
ini yang memberikan bimbingan, saran dan kritik selama penulisan.
4. Tanenji, S.Ag, MA, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan motivasi dan saran kepada penulis selama menjadi
mahasiswa.
5. Bapak dan ibu dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu
namun tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat penulis, yang telah
membimbing penulis selama kuliah di Jurusan Pendidikan Agama Islam
iii
Ilmu Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
6. Kepada kedua orang tua yakni: Ayahanda Musthafa dan Ibunda Wastiah
yang selalu memberikan didikan, motivasi, doa dan kasih sayang kepada
penulis.
7. Kepada kakak saya Ani Rohani, Siti Khayatun, dan Khumaidullah Irfan,
serta adik saya Numrotul Mustariqoh. Penulis ucapkan banyak terima
kasih karena sudah memberi motivasi.
8. Sahabat-sahabat saya dan teman-teman kelas ”Dhe” PAI yang sudah
memberikan banyak motivasi dan bantuannya sampai selesainya skripsi
ini.
9. Teman-teman Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2008 yang telah
memberikan dukungannya dalam skripsi ini.
iv
DAFTAR ISI
Cover
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
ABSTRAK .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ ....... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................... 6
C. Batasan Masalah ……………………………………… …… .... 7
D. Rumusan Masalah ....................................................................... 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 8
BAB II LANDASAN TEORI
A. Hakikat Novel dan Nilai Pendidikan
1. Pengertian Novel ........................................................................ 9
2. Ciri-ciri Novel .............................................................................. 11
3. Macam-macam Novel .................................................................. 12
5. Sastra dan Nilai Pendidikan ........................................................ 14
B. Konsep Pendidikan Akhlak Tasawuf
1. Pengertian Pendidikan ................................................................ 17
2. Pengertian Tasawuf ……………………………………………. 19
3. Pengertian Akhlak ...................................................................... 21
4. Integrasi Pendidikan Akhlak Tasawuf ........................................ 26
5. Dasar Pendidikan Akhlak Tasawuf ............................................ 27
6. Materi Pendidikan Akhlak Tasawuf …………………………… 30
v
7. Tujuan Pendidikan Akhlak Tasawuf ............................................ 32
C. Hasil Penelitian yang Relevan .................................................. 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 35
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ..................................................... 35
C. Sumber Data ................................................................................. 36
D. Instrumen Penelitian ..................................................................... 36
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 37
F. Teknik Analisis Data .................................................................... 37
G. Teknik Penulisan .......................................................................... 38
H. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data .......................................... 38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Novel
1. Sinopsis Novel .............................................................................. 40
2. Biografi Pengarang........................................................................ 45
B. Temuan Hasil Analisis …………………………………… ....... 46
C. Pembahasan Hasil Analisis
1. Nilai Kearifan ................................................................................ 51
2. Nilai Menjaga Kesucian diri ......................................................... 54
3. Nilai Keberanian ........................................................................... 60
4. Nilai Keadilan ............................................................................... 62
BAB V KESIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................. 69
B. Implikasi ....................................................................................... 70
C. Saran ............................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 73
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 ............................................................................................................ 46
Tabel 4.2 ........................................................................................................... 47
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri P & K RI
No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987
tertanggal 22 Januari 1988
Huruf
Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
Alif - tidak dilambangkan
bā’ B -
tā’ T -
ṡā’ ṡ s dengan satu titik di atas
Jīm J -
ḥā’ ḥ h dengan satu titik di bawah
khā’ Kh -
Dāl D -
Żāl Ż z dengan satu titik di atas
rā’ R -
Zāi Z -
Sīn S -
Syīn Sy -
ṣād ṣ s dengan satu titik di bawah
viii
ḍād ḍ d dengan satu titik di bawah
ṭā’ ṭ t dengan satu titik di bawah
ẓā’ ẓ z dengan satu titik di bawah
‘ain ‘ koma terbalik
Gain G -
fā’ F -
Qāf Q -
Kāf K -
Lām L -
Mīm M -
Nūn N -
hā’ H -
wāwu W -
hamzah tidak dilambangkan
atau ’
apostrof, tetapi lambang ini tidak
dipergunakan untuk hamzah di awal kata
yā’ Y -
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradaban merupakan kata yang mengacu pada interaksi keseluruhan
aspek-aspek kehidupan suatu komunitas, yang kemudian terekspresikan secara
fisik maupun spiritual. Keseluruhan aspek itu, misalnya ideologi, ilmu
pengetahuan, hukum, etika, seni, nilai-nilai keindahan, kebaikan dan kebenaran.
Peradaban itu dikatakan maju ketika terjadi proses interaksi antar berbagai
dimensi tersebut yang pada gilirannya akan membentuk wajah peradaban
komunitas itu sendiri. Proses interaksi tersebut mungkin terjadi dalam wadah yang
kita sebut sebagai dunia pendidikan. Dengan adanya pendidikan yang memuat
keseluruhan aspek tersebut, kita dapat berharap akan kemajuan peradaban
masyarakat Indonesia pada masa depan.1
Pendidikan adalah kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap
perilaku seseorang dan masyarakat. Dalam aktualisasinya, pendidikan sering
dilihat dari dua sudut pandang, sebagai fenomena individual dan fenomena sosial
budaya.2 Oleh karena itu, institusi manusia seperti agama, hukum, etika, seni, dan
budaya tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan dari peran
pendidikan itu sendiri.
1M. Anis Matta, “Seni Islam: Format Estetika dan Muatan Nilai”, dalam Aswab Mahasin
(ed.), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa,(Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, Bina Rena Pariwara,
1996), h. 20 2Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, (tt.p, Friska Agung Insani,
2000), h. 99
2
Pada saat sekarang, praktek-praktek pendidikan mengalami kemunduran
yang hanya fokus pada kecerdasan otak.3 Ditambah lagi arus modernisasi tak
pelak lagi mengakibatkan banyak perubahan dalam masyarakat. Perubahan ini
menyimpan potensi negatif yaitu tereduksinya nilai-nilai yang ada di masyarakat
berupa kemerosotan akhlak. Dan ini jelas akan mengakibatkan kemunduran suatu
peradaban. Hal ini sebagai akibat praktek pendidikan yang tidak mengacu pada
pengembangan manusia secara utuh dan tidak adanya kesiapan filtrasi terhadap
nilai-nilai kebudayaan baru yang dibawa arus modernisasi tersebut.
Kerusakan akhlak yang ada sekarang memang telah meluas. Umat Islam
selayaknya tidak terkena penyakit itu. Namun kenyataannya tidak demikian. Sifat-
sifat yang menyalahi akhlak Islam ini barangkali salah satu penyebabnya adalah
karena umat Islam lebih mengutamakan aspek luar dari pada aspek yang di dalam.
Padahal seharusnya keduanya dibutuhkan dan memang merupakan satu kesatuan.
Di sinilah peran akhlak tasawuf di mana ilmu ini sangat mementingkan rohani
seseorang sebagai tempat tinggal yang baik bagi keinginan-keinginan manusia
dengan merawatnya secara baik sehingga dapat melahirkan tindakan-tindakan
yang positif mengalir sendiri tanpa ada motif yang terselubung yang bersifat
negatif di mata Allah.4
Dalam pendidikan akhlak tasawuf yang dikembangkan adalah IQ (dzaka
„aqli), EQ (dzaka dihni), dan SQ (dzaka qolbi). Ketiganya merupakan komponen
potensi kemanusiaan yang perlu dikembangkan secara harmonis. Hal ini bertujuan
agar menghasilkan daya guna yang luar biasa, baik secara horizontal dalam
lingkup pergaulan antar manusia maupun secara vertikal dalam relasinya kepada
Ilahi.5 Ketiganya merupakan potensi ruhani dalam diri manusia yang sangat
penting untuk dikembangkan.
Dengan demikian, nanti pada gilirannya tidak ada lagi krisis manusia
modern yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kesyahduan dalam beragama,
yang telah memeluk agama tidak ubahnya seperti robot, yakni rutin, kaku, jauh
3Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Mizan, 2006), h. 54
4Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia, Dialog Al-Qur‟an, Tasawuf dan Psikologi,
(Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 23 5Siroj. loc. cit.
3
dari kesan menjiwai dan sangat kering dari nilai-nilai keintiman, sehingga yang
tampak dalam aktivitas beragama adalah sekedar memenuhi kewajiban dan
sekaligus tidak berdampak pada kesalehan sosial sekaligus tidak berdampak pada
transformasi perbaikan sosial kemasyarakatan.6
Dengan model keberagamaan yang mengedepankan pengetahuan akhlak
tasawuf diharapkan fenomena keberagamaan manusia menjadi sesuatu yang
hidup, yang ramah, sekaligus peduli terhadap implikasi sosial kemasyarakatan,
karena memang demikianlah sesungguhnya jati diri Islam.7
Sebagai masyarakat Indonesia yang Islam, untuk mewujudkan hal tersebut
tentunya perlu pola pendidikan yang berorientasi pada pembinaan akhlak yang
berlandaskan pada ajaran agama Islam yang dikenal dengan pendidikan akhlak
tasawuf. Bentuk pendidikan tersebut adalah upaya mengimbangi pendidikan yang
sekarang berkembang, di mana orientasinya hanya pada ranah kecerdasan otak,
dan jarang sekali terarah pada kecerdasan emosi dan spiritual. Padahal, keduanya
merupakan wadah dari pentingnya integritas, kejujuran, komitmen, visi,
ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, penguasaan diri.8
Faktor yang menyebabkan rusaknya akhlak seseorang menurut peneliti
bukan hanya dari derasnya arus modernisasi yang mengakibatkan perubahan
perilaku seseorang, tetapi juga faktor pola pendidikan yang kurang mengena. Pola
pendidikan yang menggunakan metode menakut-nakuti, memukul dan
mengancam misalnya, itu tidak tepat dilakukan. Karena metode seperti itu tidak
akan mungkin mengembangkan potensi akhlak pada anak.9
Imam al-Ghazali, dalam Zainuddin, berpendapat bahwa kesusastraan
termasuk ke dalam salah satu faktor lingkungan pendidikan. Karya sastra berupa
buku-buku yang berisi cerita yang baik, benar dan mulia akan membawa pengaruh
dan peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak perilaku dan
6Djamaluddin, Reorientasi Pembelajaran Akhlak Tasawuf di Perguruan Tinggi, Tadris
Volume 3. Nomor 1. 2008, pp. 8 7Ibid,
8Siroj, loc. cit.
9Murtadha Muthahhari, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Sadra
Press, 2011), h.38
4
kepribadian anak.10
Umar Bin Khattab pernah berkata “Ajarkanlah sastra pada
anak-anak kalian, karena sastra itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi
pemberani”.11
Petuah Umar Bin Khattab di atas cukup menggambarkan kaitan erat antara
sastra dan pembentukan karakter seseorang. Dengan mengajarkan sastra, kita
menjadi tahu makna kehidupan. Kita menjadi terbiasa untuk mengungkapkan
sesuatu dengan keindahan dan kelembutan. Sastra mengajarkan kita untuk peduli
dan empati. Ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai moral bisa diungkapkan tanpa
kesan menggurui. Bahkan kegemilangan sebuah peradaban bisa dilihat dari
sastrawan dan karya-karya sastra yang lahir pada masa itu. Seperti kegemilangan
Islam yang melahirkan ulama sekaligus sastrawan seperti Imam Syafi‟i,
Jalaluddin Rumi, Umar al Khayyam dll.12
Dalam perspektif peradaban, seni menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari keseluruhan dimensi kehidupan masyarakat. Keberadaan seni dalam berbagai
bentuknya, seperti contoh karya sastra, merupakan upaya manusia untuk
menggambarkan dan mengekspresikan sesuatu yang ia rasakan dalam batinnya
tentang realitas berbagai wujud melalui berbagai bentuk ekspresi yang indah,
ilustratif dan memiliki daya pengaruh yang kuat. Keberadaan dan kondisi sastra
pada suatu masyarakat ikut mengindikasikan dari maju atau tidaknya peradaban
suatu bangsa.13
Di kala sistem pendidikan kontemporer tidak berhasil membekali
generasi penerus dengan nilai-nilai luhur pembentuk watak bangsa, sastra
sepatutnya dilihat sebagai jalan alternatif.
Oleh karena itu, menurut hemat peneliti, pola pendidikan yang berbasis
sastra dapat dijadikan alternatif dalam pembinaan akhlak pada diri anak tanpa
harus melakukan tindakan di luar batas yang bisa berakibat fatal. Dengan
mengajarkan sastra dengan sendirinya para anak didik tahu akan akibat atau
manfaat dari apa yang telah ia lakukan dalam kehidupan ini tanpa harus
10
Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
cet.i, h. 93 11
Matta, op. cit, h. 24 12
Bulqia Mas‟ud, Sastra dan Pembentukan Karakter, 2013,
(http://www.edukasi.kompasiana.com.) 13
Ibid., h. 21
5
melakukan tindakan yang berlebihan dalam menghukum, walaupun dalam
tingkatan tertentu hukuman itu dibolehkan.
Kemudian muncul pertanyaan apakah sistem pendidikan yang ada selama
ini telah gagal dalam membentuk kepribadian anak-anak bangsa? Jika peneliti
menilik pada hasil penelitian Taufik Ismail, penyair senior Indonesia, bahwa
minimnya pembelajaran apresiasi sastra adalah salah satu penyebab mengapa
kemerosotan moral yang terjadi. Taufik Ismail memaparkan „TRAGEDI NOL
BUKU‟ bahwa siswa-siswi di Indonesia berhasil menyelesaikan „NOL‟ karya
sastra sampai mereka menginjak SMA. Hal ini begitu memilukan jika
dibandingkan dengan budaya literasi yang berkembang di negara-negara maju,
bahkan di Malaysia sekalipun.14
Dari sinilah muncul kesadaran bahwa menurut
peneliti pendidikan akhlak tasawuf (pendidikan yang berorientasi pada jiwa, pada
penanaman kebenaran universal sebagai pemenuhan fitrah manusia) yang berbasis
sastra menjadi sebuah keniscayaan.
Karya sastra dapat menjadi salah satu medium yang efektif dalam
pendidikan akhlak tasawuf. Karena sastra bisa mengasah rasa, mengolah budi,
membukakan pikiran dan mengajak manusia berdialog dengan dirinya sendiri.
Namun, tidak semua hasil karya sastra dapat digunakan sebagai sarana
membangun akhlak. Sastra yang dapat digunakan untuk membangun akhlak
adalah sastra yang „baik‟. Sastra yang baik adalah yang mampu membuat
pembacanya melakukan suatu perenungan, mendapatkan pencerahan, dan
mengajak kepada kehidupan yang lebih baik dan benar.
Dalam hal ini, maka materi dalam karya sastra sangat penting adanya.
Keberadaan isi dalam suatu karya sastra haruslah memuat nilai-nilai yang
mengandung unsur pendidikan akhlak tasawuf. Tanpa hal itu, maka sastra hanya
akan menjadi bacaan yang sifatnya menghibur belaka tanpa ada nilai yang dapat
dijadikan pelajaran.
Novel termasuk karya sastra yang banyak beredar di masyarakat dan
memuat banyak nilai-nilai pendidikan untuk kehidupan manusia dalam setiap
ceritanya. Sebagai pembaca kita harus dapat menangkap nilai apa yang
14
Taufik Ismail, Generasi Nol Buku, 2013, (http://www.kompas.com.)
6
sebenarnya ingin disampaikan dari novel tersebut kepada para pembaca, bukan
hanya sekadar bacaan yang menghibur semata.
Berdasarkan asumsi bahwa novel merupakan salah satu karya sastra yang
memuat banyak nilai-nilai pendidikan, jadi bisa disimpulkan bahwa karya sastra
berupa novel layak menjadi medium dalam ranah pendidikan, karena memuat
nilai-nilai pendidikan yang dapat berkontribusi dalam pembangunan masyarakat.
Dalam hal ini, peneliti tertarik untuk menganalisis sebuah karya sastra
berupa novel yang berjudul Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim.
Dalam karyanya tersebut, si pengarang banyak memberikan hal-hal penting
tentang nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf. Menurut peneliti novel ini sarat
akan muatan nilai pendidikan akhlak tasawuf mengingat si pengarang adalah ahli
di bidang ilmu tasawuf. Sebagai contoh diceritakan si Jack tokoh sentral dalam
buku ini adalah seorang yang telah belajar ilmu tasawuf dari berbagai negara dan
dia juga mempunyai pesantren yang cukup terkenal di daerahnya, namun dia tidak
langsung kembali ke pesantrennya untuk mengajarkan ilmu yang didapatnya,
tetapi malah memilih untuk berdakwah di wilayah yang hampir tak tersentuh oleh
para ulama seperti dia. Wilayah itu dia sebut sebagai wilayah remang-remang,
karena di dalamnya memang tercampur antara kebaikan dan keburukan. Dia
memilih wilayah tersebut karena panggilan Ilahi untuk mengajak mereka yang
telah terbawa arus hitam untuk kembali ke jalan yang benar dengan cara dia
sendiri.
Dari pengamatan yang dilakukan peneliti ada beberapa novel yang
dijadikan judul skripsi untuk diambil nilai-nilai akhlaknya seperti novel Bumi
Cinta karya Habiburrahman al-Syirazi, Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman al-
Syirazi.15
Ada juga yang meneliti novel ini (Jack and Sufi) namun nilai yang
diambil adalah nilai tentang kepedulian sosialnya. Skripsi tersebut peneliti jumpai
di perpustakaan online milik UMM (Universitas Muhamdiyah Malang) dengan
judul “Nilai Kepedulian Sosial Dalam Buku Jack and Sufi”.16
Jadi memang belum
ada judul skripsi seperti yang akan diteliti oleh peneliti. Melihat data tersebut
15Lihat Katalog skripsi di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
Lihat Katalog Perpustakaan Online UMM (Universitas Muhammadiyah Malang)
7
menurut peneliti merupakan hal yang penting untuk menggali nilai-nilai
pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi tersebut, mengingat
pentingnya nilai pendidikan akhlak tasawuf itu sendiri dan adanya nilai
pendidikan akhlak tasawuf dalam novel tersebut. Adapun penelitian ini akan
diberi judul “Kandungan Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf dalam Novel
Jack and Sufi Karya Muhammad Luqman Hakim.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Derasnya arus modernisasi yang mengakibatkan masyarakat terkena
penyakit kerusakan moral (akhlak)
2. Praktek pendidikan yang masih hanya fokus pada kecerdasan otak,
dan mengabaikan tentang pentingnya kecerdasan emosional dan
spiritual.
3. Kurangnya pemahaman tentang pendidikan akhlak tasawuf sebagai
pendidikan emosional dan spiritual.
4. Pola pendidikan yang kurang mengena dapat mengakibatkan
kerusakan akhlak pada anak didik.
5. Penggunaan metode (alat/media) pendidikan yang belum optimal
sehingga belum bisa membentuk pribadi anak didik dengan baik.
6. Kurangnya minat mengapresiasi karya sastra novel sebagai medium
dalam penyampaian nilai-nilai pendidikan guna membentuk
kepribadian anak didik.
7. Masih belum adanya penelitian mengenai novel Jack and Sufi untuk
digali nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf yang terkandung di
dalamnya.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi
hanya pada “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf dalam Novel Jack and Sufi
Karya Muhammad Luqman Hakim.”
8
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah itu, maka rumusan masalah penelitian
ini adalah:
“Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf yang terdapat
dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim?”
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Setelah mengetahui permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah:
“Untuk mengetahui bentuk nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf yang
terkandung dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman
Hakim.”
2. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca,
adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
1) Dapat memperluas khasanah ilmu dalam karya ilmiah terutama
dalam bentuk cerita.
2) Sebagai wahana pemikiran dalam menetapkan teori-teori yang ada
dengan realitas yang ada di masyarakat.
b. Manfaat Praktis
1) Dapat memberikan kontribusi bagi pembaca dalam pengajaran
terutama memahami makna atau hikmah dalam suatu cerita.
2) Dapat memberikan masukan kepada peneliti lain untuk penelitian
selanjutnya.
3) Sebagai transformasi nilai pendidikan yang terimplementasi dalam
kehidupan sehari hari.
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hakikat Novel dan Nilai Pendidikan
1. Pengertian Novel
Sebelum menjelaskan apa itu novel, baiknya kita pahami apa itu karya
sastra. Kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta; akar kata sas-, dalam kata kerja
turunan berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi‟.
Akhiran –tra biasanya menunjuk alat, sarana. Maka dari itu, sastra dapat berarti
”alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran, “.1
Karya sastra dapat digolongkan sebagai salah satu sarana pendidikan
dalam arti luas. Pendidikan dalam arti ini tidak terbatas pada buku-buku teks
(pelajaran dari kurikulum yang diajarkan di sekolah), namun bisa berupa karya
sastra seperti cerpen, puisi, novel. Dunia kesusastraan secara garis besar mengenal
3 jenis teks sastra, yaitu naratif (prosa), teks monolog (puisi), dan teks dialog
(drama). Salah satu dari ragam prosa adalah novel.2 Jadi, karya tulis berupa novel
termasuk salah satu dari karya sastra berupa teks, yang berisi tentang cerita.
Kata novel berasal dari bahasa latin, novus (baru). Sedangkan dalam
bahasa Italia novel disebut novella, kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel.
yaitu suatu proses naratif yang lebih panjang dari pada cerita pendek (cerpen),
yang biasanya memamerkan tokoh-tokoh atau pristiwa imajiner. Novel
1Partini Sardjono Prodotokusumo, Pengkajian Sastra, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008), h. 7 2Widjoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: Upi Press,
2006), cet. ke-1, hal. 43.
10
merupakan karangan sastra prosa panjang dan mengundang rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekitar dengan cara menonjolkan
sifat dan watak tokoh-tokoh itu.3
Alterbernd dan Lewis, dalam Burhan Nurgiyantoro, berpendapat, fiksi—
sebagai sinonim dari novel—adalah: prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun
biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan
hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan
pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan
secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan
unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.4
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel diartikan sebagai “karangan
prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang
dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap
pelaku”.5
Sastra berupa novel jika dilihat dari aspek isi merupakan karya imajinatif
yang tidak lepas dari realitas. Karya sastra merupakan cermin zaman. Berbagai hal
yang terjadi pada suatu waktu, baik positif maupun negatif direspon oleh
pengarang. Dalam proses penciptaannya, pengarang akan melihat fenomena-
fenomena yang terjadi di masyarakat itu secara kritis, kemudian mereka
mengungkapkannya dalam bentuk yang imajinatif.6
Novel sebagai karya sastra mempunyai fungsi dulce et utile, artinya indah
dan bermanfaat. Dari aspek gubahan, sastra disusun dalam bentuk yang apik dan
menarik sehingga membuat orang senang membaca, mendengar, melihat, dan
menikmatinya. Sementara itu, dari aspek isi ternyata karya sastra sangat
bermanfaat. Di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan yang berguna untuk
menanamkan pendidikan karakter.7
3Bitstream, Pengertian Novel, 2013, (http://repository.usu.ac.id.)
4Ibid., h. 2-3.
5Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia 1998), h. 1079
6Haryadi, Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa, Makalah disampaikan
pada Seminar Pendidikan IKIP Yogyakarta, 13 Juni 2011 7Bulqia Mas’ud, loc. cit.,
11
Dengan demikian, karya sastra memiliki peran sangat fundamental dalam
pendidikan. Hal ini disebabkan karya sastra pada dasarnya membicarakan
berbagai nilai hidup dan kehidupan yang berkaitan langsung dengan pembentukan
karakter manusia. Sastra dalam pendidikan berperan mengembangkan bahasa,
mengembangkan kognitif, afektif, psikomotorik, mengembangkan kepribadian
dan mengembangkan pribadi.8
2. Ciri-ciri Novel
Di Indonesia antara roman, novel, dan cerpen mempunyai sedikit
perbedaan. Ada juga yang disebut novellet. Dalam roman biasanya kisah berawal
dari tokoh lahir sampai dewasa kemudian meninggal, roman biasanya mengikuti
aliran romantik. Sedangkan novel berdasarkan realisme, dan hidupnya dapat
berubah dari keadaan sebelumnya. Berbeda dengan cerita pendek yang tidak
berkepentingan pada kesempurnaan cerita atau keutuhan sebuah cerita, tetapi
lebih berkepentingan pada kesan.9
Hendy menyebutkan ciri-ciri novel sebagai berikut:
a. Sajian cerita lebih panjang dari cerita pendek dan lebih pendek dari roman.
Biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian.
b. Bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada dalam masyarakat dengan
ramuan fiksi pengarang.
c. Penyajian berita berlandas pada alur pokok atau alur utama yang batang
tubuh cerita, dan dirangkai dengan beberapa alur penunjang yang bersifat
otonom (mempunyai latar tersendiri).
d. Tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema utama) dan tema
bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut.
e. Karakter tokoh-tokoh utama dalam novel berbeda-beda. Demikian juga
karakter tokoh lainnya. Selain itu, dalam novel dijumpai pula tokoh statis
dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang digambarkan berwatak
8Suhardini Nurhayati, Sastra dan Pendidikan Karakter, 2013, (httpwww.malang-
post.com.) 9Sahabat Bersama, Pengertian Novel, 2013, (http://Sobatbaru. Blogspot.com)
12
tetap sejak awal hingga akhir. Tokoh dinamis sebaliknya, ia bisa
mempunyai beberapa karakter yang berbeda atau tidak tetap.10
Pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri novel adalah
cerita yang lebih panjang dari cerita pendek, diambil dari cerita masyarakat yang
diolah secara fiksi, serta mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Ciri-ciri novel
tersebut dapat menarik pembaca atau penikmat karya sastra karena cerita yang
terdapat di dalamnya akan menjadikan lebih hidup.
3. Macam-macam Novel
Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan
keragaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang
novel. Nurgiyantoro membedakan novel menjadi novel serius dan novel popular.
a. Novel Pop (Populer)
Novel pop ini merupakan novel yang hanya mengambil tema-tema yang
sedang popular walaupun itu bersifat fiktif, dengan bahasa yang popular
pada novel itu dibuat dan mengesampingkan isi pesan yang dibuat dalam
novel tersebut. Mereka hanya memikirkan bagaimana novel tersebut laku
keras atau banyak disukai oleh para pembaca, karena novel ini dibuat
untuk nilai konsumtif dan bersifat komersial.
b. Novel Serius
Dalam novel serius ini justru sebaliknya dari novel populer. Novel ini
mengangkat tema-tema universal yang sedang dihadapi oleh masyarakat
dengan harapan mampu mengubah atau memberikan konstribusi pada
masyarakat/pembaca agar mau mengikuti apa yang diinginkan oleh
penulis. Novel ini lebih mengutamakan isi pesan dari pada sekedar
hayalan-hayalan fiktif yang banyak disukai masyarakat/pembaca saat ini.11
Dalam dunia kesastraan sering ada usaha untuk membedakan antara novel
serius dengan novel populer. Namun bagaimanapun adanya perbedaan itu tetap
10
Zaidan Hendy, Kasusastraan Indonesia Warisan yang Perlu Diwariskan 2.
(Bandung: Angkasa,1993), h. 225 11
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2005), h. 16
13
saja kabur. Ciri-ciri yang ditemukan dalam novel serius (yang biasanya
dipertentangkan dengan novel populer) sering juga ditemukan dalam novel
populer, atau sebaliknya.12
Berbicara tentang sastra populer, Kayam dalam Nurgiyantoro
menyebutkan bahwa sastra populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak
memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan
kembali rekaan-rekaan kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal
kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang
telah menceritakan pengalamannya dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Oleh
karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk
mengidentifikasikan dirinya.13
Novel populer telah mengalami perkembangan. Ada jenis novel yang lahir
dari novel populer, yaitu novel metropop. Ada kriteria dalam novel metropop.
Dalam novel metropop, tema cerita tidak ditentukan, tetapi mengharuskan tema
cerita berkaitan dengan kehidupan metropolitan. Tokoh-tokoh yang terdapat
dalam novel-novel metropop merupakan tokoh yang dekat dengan kehidupan
masyarakat urban Indonesia karena penulisan novel metropop dilakukan oleh
pengarang Indonesia. Perkotaan adalah latar fisik yang terdapat dalam novel
metropop. Latar sosial yang digambarkan dalam novel-novel metropop yaitu
mencakup gaya hidup masyarakat urban Indonesia, khususnya orang-orang
dewasa muda, dan bahasa sehari-hari yang ditulis dengan ringan dan santai. Novel
metropop dikategorikan sebagai novel-novel dewasa. Karya-karya metropop dapat
dibaca oleh siapa pun, baik perempuan maupun laki-laki dewasa. Selain itu juga
metropop ditujukan untuk pembaca Indonesia karena tokoh-tokoh di novel ini
dekat dengan kehidupan masyarakat urban Indonesia.14
Adapun mengenai novel serius cenderung yang muncul adalah memicu
sedikitnya pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Meskipun demikian, hal
ini tidak menyebabkan popularitas novel serius menurun. Justru novel ini mampu
12
Ibid, h. 17 13
Ibid, h. 18 14
Yuliono, Novel Metropop, Kebaruan dalam Novel popular, 2013,
(httpwww.goodreads.com.)
14
bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, roman Romeo Juliet karya William
Shakespeare atau karya Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang
memunculkan polemik yang muncul pada dekade 30-an yang hingga saat ini
masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman.
4. Satra dan Nilai Pendidikan
Nilai dapat diartikan suatu ide yang paling baik, menjunjung tinggi dan
menjadi pedoman manusia atau masyarakat dalam tingkah laku, keindahan, dan
keadilan.15
Dalam karya sastra itu ternyata mengandung nilai pendidikan yang dapat
kita ambil. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai sastra terutama novel sebagai
karya yang mengandung macam-macam nilai pendidikan.
Sastra sebagai hasil kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filosofi,
religi dan sebagainya. Baik yang bertolak dari pengungkapan kembali ataupun
yang baru semuanya dirumuskan secara tersurat dan tersirat. Sastra tidak saja lahir
karena kejadian, tetapi juga dari kesadaran penciptaannya bahwa sastra sebagai
sesuatu yang imajinatif, fiktif, juga harus melayani misi-misi yang dapat
dipertanggungjawabkan serta bertendensi.16
Sastrawan ketika menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat
untuk menciptakan keindahan, tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan
pikiran-pikirannya, pendapat-pendapatnya, dan kesan-kesan perasaannya terhadap
sesuatu. Melalui karyanya, pencipta karya sastra berusaha untuk mempengaruhi
pola pikir pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar mengambil
pelajaran, teladan yang patut ditiru sebaliknya, untuk dicela bagi yang tidak baik.
Karya sastra diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati, akan tetapi untuk
dipahami dan diambil manfaatnya.17
Karya sastra tidak sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapi di
dalamnya termuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur
15
Fakultas Bahasa dan Seni, Estetika Sastra, Seni, dan Budaya, (Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta, 2008), hlm. 49-50. 16
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Buku Seru, 2013), h.
89 17
Ibid., h. 22
15
yang mampu menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan. Dalam
karya sastra, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif
yang mampu mendidik manusia, sehingga manusia mencapai hidup yang lebih
baik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan perasaan.18
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak memberikan
penjelasan secara jelas tentang sistem nilai. Nilai itu mengungkapkan perbuatan
apa yang dipuji dan dicela, pandangan hidup mana yang dianut dan dijauhi, dan
hal apa saja yang dijunjung tinggi. Adapun nilai-nilai pendidikan dalam novel
sebagai berikut.
a. Nilai Pendidikan Religius
Religi merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam
dalam lubuk hati manusia sebagai human nature. Religi tidak hanya menyangkut
segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri
pribadi manusia secara total dalam integrasinya berhubungan ke dalam keesaan
Tuhan.19
Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik
menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang
terkandung dalam karya sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut
mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada
nilai-nilai agama. Nilai-nilai religius dalam sastra bersifat individual dan personal.
Nurgiyantoro berpendapat, bahwa kehadiran unsur religi dalam sastra
adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri.20
Mangunwijaya menyatakan, bahwa
pada awalnya semua karya sastra adalah religius. Semua sastra pada awalnya
digunakan sebagai sarana berpikir dan berzikir manusia akan kekuasaan,
keagungan, kebijaksanaan, dan keadilan Tuhan Yang Maha Esa. Kerinduan
manusia kepada Tuhan, bahkan hubungan kedekatan manusia dengan Tuhan telah
lama ditulis dalam karya sastra para sufi, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar
Raniri, Al Hallaj, Amir Hamzah, Abdul Hadi W.M, dan masih banyak lagi.21
18
Jakob Sumardjo, Memahami Kesustraan, (Bandung: Alumni, tt), h. 14 19
Rosyadi, Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba, (Jakarta: CV Dewi Sri, 1995), h. 90 20
Nurgiyantoro, op. cit., h. 326 21
Lustantini Septiningsih, Mengoptimalkan Peran Sastra dalam Pembentukan
KarakterBangsa, 2013, (httpwww.kemendikbud.com)
16
b. Nilai Pendidikan Moral
Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang
disaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang
sederhana, tetapi tidak semua tema merupakan moral.22
Moral merupakan
pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin
disampaikan kepada pembaca. Hasbullah menyatakan bahwa, moral merupakan
kemampuan seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk.23
Nilai
moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia
agar mengenal nilai-nilai etika merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa
yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu
tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan
bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar.24
.
c. Nilai Pendidikan Sosial
Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/
kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari
perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang
terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang
lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai sosial
yang ada dalam karya sastra dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat
yang diinterpretasikan.25
Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar
akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu
individu dengan individu lainnya.
Nilai pendidikan sosial mengajarkan bagaimana seseorang harus bersikap,
bagaimana cara menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu dalam
22
Nurgiyantoro, op. cit., h. 320 23
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h.
194 24
Septiningsih, loc. cit. 25
Rosyadi, Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba, (Jakarta: CV Dewi Sri, 1995), h. 80
17
masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri
adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat.
Dari sekian nilai-nilai yang tersebut di atas peneliti tidak akan meneliti
semuanya. Adapun nilai yang digali dalam penelitian ini adalah tentang nilai
pendidikan moral religius yang ada pada karya tersebut, dengan menggunakan
literatur dari Islam, yaitu menggunakan teori konsep pendidikan akhlak tasawuf.
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai konsep pendidikan akhlak tasawuf.
B. Konsep Pendidikan Akhlak Tasawuf
1. Pengertian Pendidikan
Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedogogik”,
yang terdiri atas kata “Pais” yang berarti Anak” dan kata “Ago” yang berarti “Aku
membimbing”. Fuad Hasan menyimpulkan paedogogik berarti aku membimbing
anak.26
Purwanto menyatakan bahwa pendidikan berarti segala usaha orang
dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan
jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Hakikat pendidikan bertujuan untuk
mendewasakan anak didik, maka seorang pendidik haruslah orang yang dewasa,
karena tidak mungkin dapat mendewasakan anak didik jika pendidiknya sendiri
belum dewasa.27
Menurut Tilaar, hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia.
Maksud dari memanusiakan manusia atau proses humanisasi adalah melihat
manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya. Maksudnya adalah
menempatkan kedudukan manusia pada tempatnya yang terhormat dan
bermartabat. Kehormatan itu tentunya tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang selalu
dipegang umat manusia.28
Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa pendidikan identik dengan proses
pengembangan yang bertujuan agar membangkitkan sekaligus mengaktifkan
potensi-potensi yang terkandung dalam diri manusia. Pengembangan yang
26
Fuad Hasan, Dasar-dasar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h.1 27
M Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Karya,
1986), h. 11 28
HAR Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif
untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 435
18
dimaksud adalah menguak potensi-potensi yang tersembunyi dalam diri manusia.
Pendidikan harus diarahkan untuk membangkitkan serta mengaktifkan potensi-
potensi positif yang dimiliki oleh objek didik.29
Menurut Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, adapun maksud dari pendidikan yaitu menuntut segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.30
Sedangkan dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal I menyatakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara".31
Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya membantu peserta didik
untuk menyadari nilai-nilai yang dimilikinya dan berupaya memfasilitasi mereka
agar terbuka wawasan dan perasaannya untuk memiliki dan meyakini nilai yang
lebih hakiki, lebih tahan lama, dan merupakan kebenaran yang dihormati dan
diyakini secara sahih sebagai manusia yang beradab.32
Adler dalam Arifin, mengartikan pendidikan sebagai proses di mana
seluruh kemampuan manusia dipengaruhi oleh pembiasaan yang baik untuk
membantu orang lain dan dirinya sendiri mencapai kebiasaan yang baik.33
Dengan demikian, yang dimaksud dengan pendidikan ialah upaya yang
dilakukan dengan penuh kesadaran untuk membantu mengembangkan potensi
yang ada pada diri mereka meliputi potensi akal, jiwa, jasmani tanpa ada unsur
29
Murtadha Muthahhari, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Sadra
Press, 2011), h.37 30
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hal. 4 31
Undang-undang Tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Yogyakarta:
CV. Tamita Utama, 2004), h. 4 32
M Elly Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana,m 2006), h.114 33
H M Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi aksara, 1993), h. 12
19
pemaksaan serta memfasilitasi mereka agar terbukalah wawasan mereka untuk
mencari kebenaran dan kebahagiaan yang hakiki.
Di atas penulis sudah menjelaskan tentang pengertian pendidikan yang
kesimpulannya bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah suatu usaha manusia
untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Jika pendidikan
digandengkan dengan kata akhlak tasawuf maka maksudnya adalah pendidikan
yang berorientasi mengembangkan potensi jiwa yang ada pada diri manusia agar
menjadi baik secara rohani.
2. Pengertian Tasawuf
Selanjutnya penulis akan menjelaskan konsep pendidikan akhlak tasawuf.
Pertama tentang pengertian tasawuf. Menurut Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-
Taftazani, sebagaimana dikutip oleh A.R. Ustman, pengertian tasawuf itu dapat
diperoleh dari asal kata tasawuf maupun didasarkan pada ajaran dalam praktik
tasawuf itu sendiri. Berikut ini beberapa teori tentang asal kata tasawuf adalah:
a. Ahl-Shuffah, orang-orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke
Madinah dan karena mereka tidak memiliki harta dan dalam keadaan
miskin, mereka tinggal di masjid nabi dan tidur dengan bantal pelana
(Shuffah).
b. Shaff yaitu barisan atau pertama. Sebagaimana shalat mereka disebut sufi.
Karena dalam shalat atau beribadah kepada Tuhan selalu berada pada
barisan pertama (al-Shaff al-Awwal).
c. Shafa berarti suci, seseorang sufi adalah orang disucikan dan telah
mensucikan dirinya melalui latihan berat dan lama.
d. Sophos dari bahasa Yunani yang berarti hikmat atau pengetahuan
sebagaimana orang-orang sufi berhubungan dengan hikmat.
e. Shuf berarti bulu domba (woll) karena kaum sufi mempunyai tradisi atau
kebiasaan berpakaian yang terbuat dari bulu domba sebagai simbul dari
kesederhanaan dan kemiskinan.34
34
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman Ke Zaman, terj. Oleh A.R.
Ustman, (Bandung: Mizan, 1985), hlm 21.
20
Dari sekian pengertian yang telah ada, pendapat yang mengatakan bahwa
kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) adalah
yang paling tepat dari segi bahasa dan pendapat ini lebih sesuai secara historis
karena para sufi di zaman dulu mempunyai kebiasaan memakai jubah terbuat dari
bulu domba dan selalu diidentikkan dengan sifat zuhud. Di dalam literatur tasawuf
diriwayatkan bahwa para Nabi berpakaian shuf.35
Ibnu Khaldun dalam M. Fauqi Hajaj memberikan pengertian bahwa
tasawuf adalah menjaga kebaikan tata karma bersama Allah dalam amal-amal
lahiriyah dan bathiniyah dengan berdiri di garis-garisNya, sambil memberikan
perhatian pada penguncian hati dan mengawasi segala gerak-gerik hati dan
pikirannya demi memperoleh keselamatan.36
Sementara itu oleh Murtadha Muthahhari dan Syaikh Muhammad Husain
Thabathaba’i, untuk istilah tasawuf dan sufi mereka menyebutnya dengan istilah
“irfan dan arif”. Menurut mereka istilah irfan dan arif dilihat dari sudut pandang
ilmiah, di mana irfan adalah salah satu ilmu yang lahir dari Islam dan
memberitahukan tentang hubungan dengan Tuhan dan jalan mencapainya,
sedangkan kaum arif adalah orang yang mahir dan ahli dalam irfan.37
Terlepas dari apa pun akar katanya, yang jelas istilah tasawuf menurut
Said Aqil Siroj menunjuk pada makna orang-orang yang tertarik pada
pengetahuan esoteris, yang menyalami dan menukik jauh ke dalam inti agama,
yang berupaya mencari jalan dan praktik-praktik amalan yang dapat
mengantarkannya pada kesadaran tercerahkan dan pencerahan hati.38
Lanjutnya, tasawuf tidak hanya berusaha menciptakan manusia yang hidup
dengan benar, rajin beribadah, berakhlak mulia, tapi bisa merasakan indahnya
hidup dan nikmatnya ibadah. Tasawuf juga berupaya menjawab pertanyaan
mengapa manusia harus berakhlak karimah. Apabila etika dapat memberikan
semangat keadilan dan kemampuan merespon segala sesuatu dengan tepat,
35
Totok Jumantoro-Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo: Amzah,
2005), h. 246 36
M. Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 5 37
Murtadha Mutahhari dan Syaikh Muhammad Husain Thabathaba’i, Menapak Jalan
Spiritual, terjemahan MS, Nasrullah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm 19-21 38
Said Agil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 37
21
tasawuf dapat menumbuhkan makna dan nilai, serta menjadikan tindakan dan
hidup manusia lebih luas dan kaya.39
Bahkan kaum sufi berusaha berpegang teguh
kepada kebenaran meskipun ketika dikelilingi oleh kesalahan dan kebohongan,
berpijak kuat pada kepastian bahwa kebenaran, yang senantiasa indah dalam arti
metafisik, akhirnya akan menang.40
3. Pengertian Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “khuluq” yang jamaknya akhlaq.
Artinya tingkah laku, perangai, tabiat, watak, moral, etika dan budi pekerti. Kata
akhlaq mengandung persesuaian dengan perkataan khaliq yang berarti pencipta,
serta erat kaitannya dengan kata makhluq bermakna yang diciptakan. Apabila kita
hubungkan arti akhlaq dengan kata khalq, khalq dan makhluq, maka
sesungguhnya rumusan pengertian akhlaq timbul sebagai media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluq, dan antara
makhluq dengan makhluq itu sendiri.41
Sementara itu menurut M. Quraish Syihab, secara linguistik, kata akhlaq
merupakan isim jamid atau isim gair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai
akar kata, melainkan kata tersebut memang begitu adanya. Kata akhlaq adalah
jamak dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti kata akhlaq
sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya
dijumpai pemakaiannya di dalam al-Quran maupun hadis sebagaimana tertulis di
bawah ini:
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (Q.S.
al-Qalam/68: 4)
39
Ibid,. 40
Sayyed Hossein Nasr, The Garden of Truth:Mereguk Sari Taswuf, Terj. dari The
Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam‟s Mystical Tradition. Oleh Yuliani
Liputo, (Bandung: Mizan, 2010), h.78 41
M. Ma’rifat Imam dan Nandi Rahman, Ibadah Akhlak, Tinjauan Eksetoris dan Esoteris,
(Jakarta: Uhamka Press, 2002), h23
22
“(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang
terdahulu.” (Q.S. asy-Syu‟arâ'/26: 137)
أكول الوؤهنين إيوانا أحسنهن خلقا
“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang
sempurna budi pekertinya.” (H.R. Tirmiżî)
(رواه أحود )انوا بعثت ألتون هكا رم األخالق
“Bahwasanya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan keluhuran
budi pekerti.” (H.R. Ahmad)42
Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, akhlak atau kelakuan manusia
sangat beragam, dan firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen
dari keanekaragaman tersebut.43
“Sungguh, usahamu memang beraneka macam.” (Q.S. al-Lail/92: 4)
Ayat pertama di atas menggunakan khuluq dalam arti budi pekerti, ayat
kedua menggunakan kata akhlaq untuk arti adat kebiasaan. Selanjutnya hadis
yang petama menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, dan hadis kedua
menggunakan kata akhlaq, juga untuk arti budi pekerti. Dengan demikian, kata
akhlaq dan khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan,
perangai, muru‟ah, atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat atau tradisi.
Adapun pengertian akhlak menurut istilah dapat dilihat dari beberapa
pendapat pakar berikut:
a. Al-Ghazali mengungkapkan tentang akhlak yaitu “sikap yang
mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir berbagai
perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran
42Kanzul „Ummal, 11: 240/31969
43M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. IV, h. 253 254.
23
dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang
baik dan terpuji, baik dari segi akal syara’, maka ia disebut
akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela,
maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.44
b. Ibn Miskawaih secara singkat mendefinisikan akhlak sebagai sifat
yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.45
c. Menurut Ahmad Amin, dia menyimpulkan dari berbagai pendapat
ahli, menyatakan bahwa: akhlak adalah kebiasaan berkehendak.
Berarti bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka
kebiasaannya itu disebut akhlak. Dengan perkataan lain, akhlak
adalah menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia
secara berturut-turut.46
Al-Ghazali memberikan kriteria, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa
dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian terlebih
dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki
korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan
baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu,
keadaan jiwa yang cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung
kepada kekejian.47
Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang
dikemukakan Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib al-akhlak. Tokoh filsafat etika yang
hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa akhlak adalah “keadaan jiwa yang
menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu.” la tidak
bersifat rasional, atau dorongan nafsu.48
Bila ditinjau pembagian yang merusak dan menyelamatkan, keduanya
meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini
44
M. Abdul Mujib dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Ghozali, (Jakarta: Mizan, 2009),
h.38 45
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (Yogyakarta: Belukar, 2004), h.
31 46
Ahmad Amin. Etika (Ilmu akhlak). (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke-7, h. 62 47
Al- Ghazali, Ihya‟ Ulum al-Din, (Kairo: Dar al-Kutub al_Arabiyyah, T.Th.), jld 3, h.52 48
Suwito. loc. cit
24
dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti
dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah
seperti keikhlasan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Al-Mawardi yang
menyebutkan bahwa akhlak diri (disposisi mental) adalah unsur dasar atau
landasan bagi tindakan artinya, seseorang tidak dapat dianggap berakhlak baik,
sebelum ia memiliki akhlak diri yang baik. Dua jenis sikap akhlak yaitu: legalitas
dan moralitas. Legalitas sekedar kesesuaian lahiriyah tindakan dengan suatu
aturan moral tanpa disertai sikap hati (disposisi mental). Sedangkan moralitas
(akhlak) adalah sikap hati yang terungkap dalam tindakan lahiriyah yang sesuai
aturan moral tanpa pamrih.49
Menurut Abuddin Nata ada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan
akhlak, yaitu:50
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat
dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Dalam kaitan ini
Ahmad Amin51
mengumpamakan, bahwa seseorang yang dermawan ialah orang
yang menguasai keinginan untuk memberi, dan keinginan itu selalu ada padanya
meskipun terdapat keadaan yang menghalanginya, kecuali keadaan yang
menghalanginya itu luar biasa dan terpaksa. Sebaliknya orang kikir ialah orang
yang dikuasai oleh rasa cinta harta, dan mengutamakannya lebih dari
membelanjakannya. Dengan keterangan ini nyata bahwa orang yang baik ialah
orang yang menguasai keinginan baik secara berturut-turut. Sebaliknya orang
jahat atau durhaka ialah orang yang selalu dikuasai oleh keinginannya untuk
berbuat jahat atau durhaka.
Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah
dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu
perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, atau
tidur. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal
pikirannya dan sadar. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
49
Pengertian moralitas dan legalitas menurut Immanuel Kant. Lihat Frans Magnis Suseno,
Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 58 50
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 5-7
51Ahmad Amin, op. cit., h. 65
25
dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti
berkedip, tertawa, bersin, dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak melainkan
perbuatan alami, seperti halnya binatang juga melakukannya. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namun
karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan pada
sifat yang pertama, maka pada saat akan menjalankannya sudah tidak lagi
memerlukan pertimbangan atau pemikiran. Hal yang demikian tak ubahnya
dengan orang yang mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka begitu
mendengar panggilan shalat ia tidak merasa berat mengerjakannya, dan tanpa
pikir panjang ia sudah dengan mudah dan ringan dapat mengerjakannya.
Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri si
pelakunya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang
bersangkutan. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan karena paksaan, tekanan
atau intimidasi dari luar dirinya, maka perbuatan tersebut bukan termasuk ke
dalam akhlak dari si pelakunya.
Keempat, perbuatan akhlak ialah perbuatan yang dilakukan dengan
sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
Kelima, perbuatan akhlak yang baik adalah perbuatan yang dilakukan
dengan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang lain.
Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat
dikatakan perbuatan akhlak yang baik.52
Kelima perbuatan tersebut kemudian disebut sebagai perbuatan akhlaki
(etis) yang acapkali dipertentangkan dengan perbuatan alami. Perbuatan alami
adalah perbuatan yang terjadi di luar kehendak si pelakunya, seperti bernafas,
berkedip, bersin, dan lain sebagainya. Terhadap perbuatan alami, pelakunya tidak
bisa dikenakan hukum “baik atau buruk”. Sebaliknya, terhadap perbuatan etis,
yaitu perbuatan yang timbul karena kehendak si pelakunya, bisa dikenakan hukum
“baik atau buruk”. Dalam kaitan ini Murtadha Muthahhari menyatakan:
“Perbuatan etis” itu layak untuk dipuji dan disanjung. Dengan kata lain, manusia
52
Abudin Nata, loc. cit.
26
mengakui akan nilai agung suatu perbuatan etis. Nilai yang dimaksud di sini
bukan dalam arti material, seperti yang biasa diistilahkan dengan “upah” atau gaji.
Namun nilai yang dimaksudkan di sini berada pada kedudukan yang lebih tinggi
dalam diri manusia. Nilai-nilai tersebut tidak dapat disejajarkan dengan uang atau
barang.53
4. Integrasi Pendidikan Akhlak Tasawuf
Dari bahasan di atas, dapat dinyatakan bahwa akhlak sesungguhnya
merupakan istilah yang bersifat umum, sehingga perlu diuraikan lagi. Karena itu
terdapat istilah akhlâq al-karîmah dan akhlâq al-sayyi‟ah. Akhlâq al-karîmah
adalah perbuatan terpuji, baik, luhur dan mulia. Sedang akhlâq al-sayyi‟ah adalah
perilaku yang jelek, nista, sekaligus menyengsarakan. Akhlâq al-karîmah yang
telah menjadi bagian tak terpisahkan pada seseorang sehingga ia menjadi
konsisten, kontinyu sekaligus berusaha keras melalui serangkaian riyâdlah untuk
senantiasa bertahan hidup dalam karakter tersebut itulah yang sesungguhnya
disebut dengan istilah tasawuf, dan pelakunya disebut dengan sufi, salik atau
darwis dalam bahasa Persia.54
Harun Nasution berpendapat, ketika mempelajari tasawuf akan terbukti
bahwa kaum sufilah yang terutama pelaksanaan ibadahnya membawa kepada
pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka seperti nilai-nilai kejujuran, keadilan,
tolong menolong, murah hati, pemaaf, sabar, baik sangka, pemurah. Semua nilai-
nilai ini terdapat dalam ajaran al-Qur’an dan Hadis, di mana setiap muslim harus
meneladaninya sejak kecil.55
Atas dasar itu, dapat dimengerti filosofi berpikir penggabungan atau
pengintegrasian akhlak tasawuf menjadi satu kesatuan, yakni diharapkan praktek
tasawuf yang dikembangkan tetap berpijak pada nilai-nilai akhlak terpuji.
Tasawuf mementingkan hubungan vertikal dan horisontal sekaligus. Keasyikan
dan kesyahduan dalam berkomunikasi dengan Allah (habl min Allâh), dalam
53
Muthahhari, op. cit., h. 12 54
Djamaluddin, Reorientasi Pembelajaran Akhlak Tasawuf di Perguruan Tinggi, Tadris
Volume 3. Nomor 1. 2008, pp.5 55
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995),
cet.3, h.57
27
pandangan tasawuf Islam harus berefleksi dalam cermin praktik hidup keseharian
yang saleh pada hubungan horisontal (habl min al-nâs).56
Jadi, sederhananya dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah sasaran ajaran
tasawuf. Akhlak adalah yang paling utama dalam menempuh jalan sufi. Tidak
dapat dikatakan orang itu bertasawuf sedangkan dia tidak berakhlak. Dan dengan
bertasawuflah akhlak kita akan menjadi baik dan benar. Melalui pendidikan
akhlak yang berbasis tasawuf maka tindakan akhlak kita akan menjadi bermakna
dan bernilai dari segi lahir dan bathin.
5. Dasar Pendidikan Akhlak Tasawuf
Agama Islam sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci al-Qur’an
senantiasa menganjurkan manusia untuk membersihkan diri agar jauh dari dosa
dan kesalahan, dengan melakukan amalan-amalan yang digariskan Allah untuk
hamba-Nya. Di samping itu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan
kepada manusia untuk bertawakal, sabar serta taubat. Dan beribadat yang lain
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW sebagai seorang Insan
Kamil.
Al-Qur’an yang kebenarannya tidak diragukan lagi, menjadi petunjuk bagi
orang yang bertaqwa (al-Baqarah/2:2). Ia sebagai al-Furqan (pembeda antara
yang benar dan yang salah) (al-Furqan/25:1) mempunyai fungsi sebagai kitab suci
yang berisi ajaran dan pedoman yang dapat dipakai untuk mengarungi kehidupan
ini. Ia juga sebagi al-Dzikru (peringatan) (al-Hijr/15:9) agar manusia hidup
bahagia dunia dan akhirat.
Tasawuf lahir karena didorong oleh ajaran Islam sebagaimana yang
terkandung dalam sumbernya al-Qur’an dan Hadis. Yakni mendorong untuk hidup
sufistik. Selain itu kedua sumber itu mendorong agar umatnya berperilaku baik,
tolong menolong, beribadah, berpuasa dan sebagainya. Yang semua itu
merupakan inti tasawuf.57
Al-Qur’an mendeskripsikan sifat-sifat orang yang
wara‟ dan taqwa dalam surat al-Ahzab ayat 35:
56
Djamaluddin, loc. cit. 57
Nasution,, loc. cit.
28
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim laki-laki dan
perempuan yang mukmin laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar (jujur), sabar, khusyu‟
mau mengeluarkan sedekah, mau berpuasa, mau memelihara
kehormatannya, yang banyak dzikir kepada Allah, maka Allah akan
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (al-
Ahzab:35).58
Dari beberapa ayat di atas, peneliti dapat memberikan penjelasan, bahwa
ayat-ayat tersebut menganjurkan kepada hamba Allah SWT agar dalam hidupnya
senantiasa mencerminkan ajaran-ajaran yang merupakan konsekuensi hidup bagi
manusia. Manusia dalam hidupnya wajib menyerahkan segala keputusan yang
diberikan oleh Allah SWT, atas apa yang dilakukannya dan bersabar atas segala
keputusan Allah. Selain itu mereka harus senantiasa bertaubat kepada Allah atas
kesalahan yang telah diperbuat.
Ayat-ayat di atas menjelaskan tentang beberapa ajaran tasawuf seperti
sabar, tawakal, bertaubat dan lainnya atau dengan kata lain, bahwa di dalam ayat
tersebut tersirat makna pendidikan tasawuf yang tentunya bertujuan untuk
membentuk manusia yang memiliki budi pekerti yang luhur.
Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an tentang ajaran tasawuf,
hadis pun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Berikut ini terdapat arti
dari teks hadis yang dapat dipahami dengan pendidikan tasawuf. Pandangan
58
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989),
hlm. 673.
29
mengenai cinta kepada Allah berdasarkan kesadaran adanya komunikasi dan
dialog langsung antara manusia dengan Tuhannya.
Kesadaran dan komunikasi langsung dengan Tuhannya berakar pada
ajaran Islam, yakni al-Ihsan,59
sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat
Muslim yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Jibril AS, mengenai sendi-
sendi Islam. Berikut arti dari dialognya:
Artinya: “Abu Hurairah berkata bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah
SAW berada di tengah-tengah sahabat, datanglah seorang laki-laki, lalu
bertanya: „wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan iman?‟ Nabi
menjawab: „Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, berjumpa dengan-Nya, rasul-rasul- Nya, dan
engkau beriman kepada hari kebangkitan.‟ Lalu dia bertanya lagi:
„Apakah Islam itu?‟ Nabi menjawab: „Hendaknya engkau beribadah
kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan
shalat yang difardukan, menunaikan zakat yang difardukan, dan berpuasa
di bulan Ramadhan‟ kemudian dia bertanya lagi: „apakah ihsan itu?‟
Nabi menjawab: „Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seakan-
akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya,
ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu…”60
Hadis di atas merupakan landasan dasar bagi para pengamal ajaran
tasawuf (orang sufi), sehingga dapatlah sekiranya menjadi pendorong untuk
meningkatkan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Kemudian masalah akhlak, Nabi sendiri mengatakan bahwa beliau diutus
ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak. adapun hadisnya
sebagai berikut:
(رواه أحود )انوا بعثت ألتون هكا رم األخالق
“Bahwasanya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan keluhuran
budi pekerti.” (H.R. Ahmad)
59
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 12. 60
Lihat hadis di Sakhih Muslim, jilid I Isa Babi al-Halabi, (Mesir,tt), hlm. 23.
30
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa ajaran Islam intinya adalah
mengenai akhlak. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
saw. harus diteladani agar manusia dapat hidup sesuai dengan tuntunan syariat,
yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan umat manusia itu sendiri.
Sesungguhnya Rasulullah saw. adalah contoh serta teladan sempurna bagi umat
manusia yang mengajarkan serta menanamkan nilai-nilai akhlak terpuji kepada
umatnya.
Kemudian yang melandasi pentingnya pendidikan akhlak tasawuf dalam
konteks Pendidikan Nasional adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3. Dinyatakan bahwa:
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.61
Undang-undang tersebut secara tersirat menjadikan penting adanya
pendidikan akhalak tasawuf sebagai mata pelajaran yang memberi nilai kepada
peserta didik guna menciptakan masyarakat atau warga negara yang mempunyai
tanggung jawab sebagai hamba Tuhan dan antar manusia satu sama lain.
Sehingga dengan demikian, pendidikan akhlak tasawuf memberikan
pengajaran kepada kita untuk mati dalam diri kita dan hidup abadi dalam
kehidupan untuk-Nya, membentuk akhlak yang mulia dengan memahami
sepenuhnya atas kedudukan seorang hamba di hadapan Tuhan agar hidup bahagia
di dunia dan di akhirat atau menuju kebahagiaan yang abadi. Selain itu pendidikan
akhlak tasawuf bermanfaat untuk memperoleh suatu hubungan khusus dengan
Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran
bahwa manusia sedang berada di kehadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan
menuju kontak komunikasi dan dialog antara Tuhan dengan makhluk-Nya,
sehingga pada gilirannya akan tercipta kehidupan masyarakat yang harmonis.
61
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI, No. 22 tahun 2003, (Bandung:
Citra Umbara, 2003), hlm. 7
31
6. Materi Pendidikan Akhlak Tasawuf
Proses pendidikan adalah untuk menumbuhkan potensi-potensi yang ada
pada peserta didik. Secara garis besar potensi manusia dapat mengarah kepada
kebaikan dan ada kalanya kepada keburukan. Oleh sebab itu dapat dikatakan ada
manusia yang berkelakuan baik dan ada manusia yang berkelakuan buruk.
Walaupun demikian menurut Quraish Syihab al-Qur’an mengisyaratkan bahwa
kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa
manusia pada dasarnya cenderung pada kebaikan.62
Karena itu menjadi penting
adanya pendidikan akhlak tasawuf untuk membimbing potensi kebaikan yang ada
pada diri setiap manusia.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi materi dari pendidikan
akhlak tasawuf adalah menyangkut potensi apa saja yang terdapat pada diri
manusia yang bisa menjadikannya berbuat baik secara jasmani dan ruhani.
Sehingga pada gilirannya setelah manusia mengetahuinya ia akan mempunyai
akhlak yang baik kapanpun dan dimanapun ia berada.
Adapun mengenai potensi-potensi tersebut para ulama seperti Imam al-
Ghozali dan Ibnu Miskawaih63
membaginya menjadi empat bagian yang
kesemuanya merupakan induk dari segala bentuk akhlak terpuji maupun tercela.
Pertama, adalah kekuatan akal, kekuatan akal jika terdidik dengan baik
maka ia akan melahirkan kebijaksanaan (hikmah), yaitu keadaan jiwa yang bisa
menentukan hal-hal yang benar di antara yang salah dalam urusan ikhtiariyah
(perbuatan yang dilaksanakan dengan pilihan dan kemauan sendiri). Namun jika
tidak terdidik dengan baik justru akan melahirkan kebalikannya yang mempunyai
dua kemungkinan yakni bisa menjadi pintar tapi busuk dan keji atau bisa menjadi
bodoh. Artinya keadaan jiwa yang terlalu pintar atau tidak bisa menentukan yang
benar di antara yang salah karena bodohnya di dalam urusan ikhtariyah.
Kedua, kekuatan marah. Jika ia terdidik dengan baik maka ia akan
berwujud berani (syaja‟ah), yaitu keadaan kekuatan amarah yang tunduk kepada
akal pada waktu dilahirkan atau dikekang. Sebaliknya, jika tidak terdidik dengan
62
Shihab, op. cit., h. 254
63Suwito, op. cit., h. 94
32
baik maka akan menjadi berani tapi sembrono atau penakut (jubun) dan lemah,
tidak bertenaga (khauron), yaitu kekuatan amarah yang tidak bisa dikekang atau
tidak pernah dilahirkan, sekalipun sesuai dengan yang dikendaki akal.
Ketiga, kekuatan nafsu syahwat. Jika terdidik dengan baik akan
melahirkan sifat perwira (iffah), yaitu keadaan syahwat yang terdidik oleh akal
dan syari’at agama. Sebaliknya keadaan syahwat yang tidak terdidik oleh akal dan
syari’at agama akan melahirkan sifat rakus (syarhan) dan beku (jumud) yang
artinya kekuatan nafsu syahwat bisa berlebihan atau sama sekali tidak berfungsi.
Keempat, kekuatan keseimbangan di antara kekuatan tiga di atas,
wujudnya ialah adil, yakni kekuatan yang dapat menuntun amarah dan syahwat
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hikmah. Justru sebailiknya jika
kekuatan syahwat dan amarah yang tidak terbimbing oleh hikmah maka ia akan
zalim yakni, kebalikan dari adil.
Dari keempat sendi akhlak tersebut jika baik akan melahirkan perbuatan
baik pula seperti jujur, suka memberi kepada sesama, tawadhu, tabah, pemaaf,
kasih sayang terhadap sesama, tinggi cita-cita, dan masih banyak lagi cabang-
cabang lainnya.64
7. Tujuan Pendidikan Akhlak Tasawuf
Tujuan adalah suasana ideal yang ingin diwujudkan dalam tujuan
pendidikan. Suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of
education) yaitu pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki
fitrah, roh di samping badan, kemauan yang bebas dan akal.65 Suatu tujuan yang
hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari
nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan.66
Dari semua pendapat tersebut dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan
akhlak tasawuf adalah untuk mencapai suatu keyakinan yang didasari atas
64
M. Ardani, Akhlak Tasawuf, Nilai-nilai Akhlak Dalam Ibadah dan Tasawuf, (Jakarta:
Mitra Cahaya Utama, 2005), h. 61-64. Lihat juga Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak.
terj. dari Tahdzibul Akhlak, oleh Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1998), h.52 65
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986), h. 67 66
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. 4, h. 119
33
tingkah laku yang terpuji dan mulia sesuai dengan ajaran Islam agar terwujud
hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhannya dan manusia dengan
sesama makhluk.
Semua itu pada dasarnya akan bermuara pada hidup di dunia dan akhirat
melalui tingkah laku yang baik dalam menghadapi problema kehidupan, serta
menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan (hablum minallah) dan sesama
manusia (hablum minannas) serta makhluk lain.
C. Hasil Penelitian yang Relevan
Dengan memaparkan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti
lainnya atau para ahli, maka dapat diketahui tentang keaslian penelitian ini.
Setelah peneliti melakukan tinjauan di Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, peneliti tidak menemukan judul skripsi yang sama dengan
yang peneliti kaji. Adapun yang peneliti temukan hanya beberapa judul yang
hampir sama. Maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti
mencontek hasil karya orang lain, peneliti perlu mempertegas perbedaan di antara
masing-masing judul dan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1. “Analisis Isi Pesan Dakwah pada Novel Dalam Mihrab Cinta Karya
Habiburrahman El Shirazy”. Skripsi ini disusun oleh Siti Maryam,
mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tahun 2009. Penelitiannya dibatasi pada analisis isi pesan
dakwah yang meliputi akidah, akhlak dan syariah.
2. “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Bumi Cinta Karya
Habiburrahman El-Shirazy”. Skripsi ini disusun oleh Ali Rif’an,
mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013.
Penelitiannya dibatasi pada kajian akhlak dalam novel Bumi Cinta karya
Habiburrahman El-Shirazy. Mengungkapkan tentang akhlak terpuji dan
akhlak tercela.
3. “Nilai Moral dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman
El Shirazy”. Skripsi ini disusun oleh Hena Khaerunnisa, mahasiswi
34
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2011.
Penelitiannya dibatasi pada kajian nilai moral dalam novel Ketika Cinta
Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Hena mengungkapkan
delapan nilai moral dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.
Dari ketiga judul skripsi tersebut, tidak ada satupun yang sama dengan apa
yang peneliti kaji. Letak kesamaannya hanya pada ranah kajian tentang nilai
pendidikan dalam sebuah novel. Namun dari segi objek dan isi yang dikaji adalah
berbeda. Objek yang dipakai peneliti adalah novel yang berjudul Jack and Sufi
karya Muhammad Luqman Hakim. Dan nilai yang akan diambil dan diteliti
adalah nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf.
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian tidak terikat pada satu tempat karena objek yang dikaji
berupa naskah (teks) sastra. Penelitian ini bukan penelitian yang analisisnya
bersifat statis melainkan sebuah analisis yang dinamis yang dapat terus
dikembangkan. Adapun naskah yang diteliti berupa novel Jack and Sufi karya
Muhammad Luqman Hakim.
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode content
analysis atau analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan apa
yang menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada.
Metode content analysis atau analisis isi yang digunakan untuk menelaah isi dari
suatu dokumen, dalam penelitian ini dokumen yang dimaksud adalah novel Jack
and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim.
Pada dasarnya, analisis isi dalam bidang sastra tergolong upaya
pemahaman karya dari aspek ekstrinsik. Aspek-aspek yang melingkupi di luar
estetika struktur sastra tersebut, dibedah, dihayati, dan dibahas mendalam. Unsur
ekstrinsik sastra yang menarik perhatian analisis isi cukup banyak, antara lain
meliputi: pesan moral, nilai pendidikan, nilai religius, dan sebagianya.1
1Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2013), h. 160
36
Analisis isi adalah strategi untuk mengungkap pesan karya sastra. Tujuan
analisis isi adalah membuat inferensi. Inferensi diperoleh dari identifikasi dan
penafsiran. Inferensi juga berdasarkan konteks yang melingkupi karya sastra.
Untuk itu, analisis isi harus mempunyai target tertentu. Adapun target dalam
penelitian ini adalah ingin mengetahui nilai-nilai pesan pendidikan akhlak tasawuf
dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim. Dengan demikian
peneliti harus membangun konsep tentang nilai-nilai pendidikian akhlak tasawuf
dan mengenai karya sastra itu sendiri.2
C. Sumber data
Sumber data adalah data lapangan atau sumber informasi yang langsung
mempunyai wewenang dan bertanggung jawab terhadap pengumpulan ataupun
penyimpanan data.3 Sumber data utama dalam penelitian ini adalah naskah karya
Muhammad Luqman Hakim yang berjudul Jack and Sufi, yang diterbitkan oleh
Pustaka Pesntren pada tahun 2004 dan terdiri dari 294 halaman. Adapun data yang
diperoleh berupa dialog, monolog dan narasi yang mengandung nilai-nilai
pendidikan akhlak tasawuf yang diambil dari novel tersebut. Perolehan data
tersebut dilakukan melalui penelitian dengan cara mengidentifikasikan data
sesuai dengan arah permasalahan yang terurai dalam pemaparan data. 4
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri.
Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus „divalidasi‟ seberapa jauh
peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan.5
Kegiatan yang dilakukan peneliti sehubungan dengan pengambilan data
yaitu kegiatan membaca novel Jack and Sufi dan peneliti bertindak sebagai
pembaca yang aktif membaca, mengenali, mengidentifikasi yang di dalamnya
2Ibid, h. 161
3H. Syamsir Salam & Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2006), Cet. ke-1, hal. 38. 4Bagong Suyanto & Sutinah, (eds.), Metode penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. ke-3, hal. 55-56 5Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan Rnd, (Bandung: Alfabeta,
2008), hal. 305
37
terdapat gagasan-gagasan dan pokok pikiran, sehingga menjadi sebuah keutuhan
makna.
E. Teknik Pengumpulan Data
Beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
adalah sebagai berikut: (1) tes, (2) angket, (3) wawancara, (4) obsevasi dan (5)
telaah dokumen.6 Dari kelima teknik pengumpulan data tersebut, peneliti
menggunakan teknik telaah dokumen atau biasa disebut dengan studi
dokumentasi. Peneliti menghimpun, memeriksa, mencatat dokumen-dokumen
yang menjadi sumber data penelitian. Dokumentasi berasal dari kata “dokumen”
yang artinya barang-barang tertulis. Dalam melaksanakan studi dokumentasi ini,
peneliti memilih novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim sebagai
bahan dalam pengumpulan data. Dalam penelitian kualitatif, teknik ini merupakan
alat pengumpul data yang utama karena pembuktian rasional melalui pendapat,
teori atau hukum-hukum yang diterima, baik mendukung maupun yang menolong
hipotesis tersebut.7
Dengan kata lain, teknik pegumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik catat, karena data-datanya berupa teks. Adapun
langkah-langkah dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: membaca novel
Jack and Sufi secara berulang-ulang, mencatat kalimat-kalimat yang menyatakan
pemakaian gaya bahasa dan nilai pendidikan.
F. Teknik Analisis Data
Analisis dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat penelitian
berlangsung dan setelah pengumpulan data dalam waktu tertentu. Miles dan
Huberman sebagaimana dikutip Sugiyono mengemukakan bahwa aktivitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-
menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis
data yaitu:
6H. Syamsir Salam & Jaenal Aripin, op.cit., hal.134-135.
7Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan: Komponen MKDK, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2004), cet. ke-4, hal.181.
38
1. Data Reduction (Reduksi data)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting dicari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang sudah direduksi akan menghasilakan gambar yang
jelas. Dan mempermudah peneliti mengumpulkan data selanjutnya dan
mencarinya bila diperlukan. 8
2. Data Display (Peyajian Data)
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan
sejenisnya. Adapun yang paling sering digunakan untuk penyajian data
penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Miles dan
Huberman juga mengatakan “dalam melakukan display data selain dengan
teks yang naratif dapat juga data berupa grafik matriks, netwoks (jejaring
kerja) dan chart.“ 9
3. Conclusion Drawing/Verification
Langkah ketiga yang dilakukan Miles dan Huberman adalah
penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal masih bersifat
sementara dan akan berubah jika tidak ada bukti-bukti yang kuat atau valid
dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan dalam pengumpulan data
berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal,
didukung dengan data-data yang valid dan konsisten saat peneliti kembali,
maka kesimpulan yang dikemukakan adalah kesimpulan yang kredibel.
Kesimpulan data berupa hubungan kausal atau interaktif dan hipotesis atau
teori. 10
G. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
8Sugiyono, op.cit, hal. 247.
9Ibid, hal. 249
10Ibid, hal. 252
39
H. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Banyak cara pengujian kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data
hasil penelitian kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan,
peningkatan penekukan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman
sejawat, analisis kasus negatif, dan memberchek.
Dalam penelitian ini, untuk mengabsahkan data, peneliti menggunakan
teknik ketekunan dalam penelitian. Meningkatkan ketekunan berarti melakukan
pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Peneliti secara tekun
memusatkan diri pada latar penelitian untuk menemukan ciri-ciri dari unsur yang
relevan dengan persoalan yang diteliti. Peneliti mengamati secara mendalam pada
novel agar data yang ditemukan dapat dikelompokkan sesuai dengan kategori
yang telah dibuat dengan tepat. 11
Sebagai bekal peneliti untuk meningkatkan ketekunan adalah dengan cara
membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian atau dokumentasi-
dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti. Dengan membaca ini maka
wawasan peneliti akan semakin luas, sehingga dapat digunakan memeriksa data
itu benar atau dapat dipercaya atau tidak.
11
Ibid, hal. 321
40
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN DAN ANALISIS PENELITIAN
A. Deskripsi Novel
1. Sinopsis Novel Jack and Sufi
Kota merupakan tempat tarung yang dahsyat, pergumulan batin yang
dahsyat. Tempat keramaian orang dengan berbagai aneka perilaku, kepentingan
dan pekerjaan akan menyebabkan seseorang tarik ulur antara satu dengan yang
lain dalam diri pribadinya. Bukan hal yang mudah untuk menjadi manusia yang
berpendirian teguh saat hidup di kota. Inilah ruang-ruang yang menyediakan
sajian, makanan yang tidak disediakan label halal-haram dan menuntut kita
sendiri yang arif memilah dan memilih.
Apakah yang akan kita lakukan jika berhadapan perilaku yang bercampur
baur, bersatu padu membentuk senyawa yang bernama “kehidupan kota”?
Mengutukkah, mengasingkan diri di dalam rumah dan asyik bercengkerama
dengan keluarga dan kebiasaan masing-masing? Melakukan aksi “pembersihan"
dengan kekuatan dan berbagai embel-embel lainkah? Atau akan malah terhanyut
dengan segala gemerlapnya kota dan tanpa sadar kita semakin kehilangan diri,
kesejatian diri? Ataukah malah sebaliknya kita hanyut tetapi tidak meladeni
dengan keterhanyutan itu dan berusaha menolong teman, keluarga atau semua
orang agar dapat kembali dari basah kuyupnya dunia remang-ramang?1
Opsi yang terakhirlah yang diambil oleh Jack, tokoh sentral dalam buku
ini. Jack tidak memposisikan diri sebagai orang yang anti riuh rendahnya kota dan
1Kaha Anwar, Resensi Buku Jack & Sufi; Sufisme di Remang-Remang Jakarta, 2013,
(www.wisata-buku.com)
41
lantas mengutuknya. Jack juga tidak berdiam diri di kamarnya dan asyik dengan
laku spritualnya. Jack juga tidak suka jika dakwahnya dilakukan dengan cara
gembar-gembor, meneriakkan asma Tuhan di jalanan dengan menenteng pedang.
Sebaliknya, Jack menghanyutkan diri dalam arus kehidupan kota, yaitu kota
Jakarta. Hanya yang membedakan Jack dengan orang kebanyakan adalah Jack
tidak terseret arus kehidupan kota, itu saja.
Jack memang lain. Ketika bertahun-tahun belajar agama di pesantren, lalu
meneruskan studi ke Timur Tengah, ke Eropa, dan bahkan melangkah ke Afrika
untuk belajar tasawuf, Jack kembali ke Indonesia bukannya mendirikan pesantren
atau mengajar di perguruan tinggi. Tapi malah menyeruak di balik semak-semak
belukar Jakarta, menghampiri mereka yang dipinggirkan oleh peradaban, yang
disingkirkan oleh mereka yang merasa suci, dan diabaikan oleh para ulama dan
kyai, ustadz dan agamawan. Remang-remang Jakarta, remang-remang rel kereta,
remang-remang mereka yang berurusan dengan peradilan, dan remang-remang
yang memainkan uang rakyat untuk dikorupsi. Jack mendekati mereka untuk
kembali ke jalan Ilahi, dengan caranya sendiri.2
Jack tidak sekedar menguji diri, ilmu, dan ajaran agamanya di “majelis
zikir” remang-remang kota, melainkan benar-benar hidup dengan segala yang
dimiliki di dalamnya. Lelaku yang tidak mudah untuk dijalankan oleh kebanyakan
orang. Orang akan lebih suka mengasingkan diri, menyepi di kaki-kaki bukit atau
di puncak gunung. Katanya di sana lebih tenang, lebih khusyu’ melakukan
kegiatan spiritual dan akan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga
Tuhan berbalik kasih kepadanya. Ini hanya prasangka manusia semata. Jika pola
pikir seperti ini terus diperanak-pinakkan maka kehidupan kota akan semakin
suram, tak ada lagi yang mencoba mengarahkan kemudi kehidupannya. Prostitusi,
klub malam, diskotek dan tempat remang-remang bukanlah tempat yang sepi akan
hadirnya Tuhan atau malah Tuhan tidak hadir sama sekali di sana. Tuhan meliputi
segalanya, setiap inci kehidupan hambaNya. Tidak dibatasi oleh ruang waktu.3
2M. Luqman Hakim, Jack and Sufi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), cet. IV, h. 4.
3Kaha Anwar, loc. cit.
42
Jack melakukan bertapa di keramaian kota. Sesuatu yang amat sulit
dilakukan dibanding dengan bertapa di tempat-tempat sepi. Konsekuensinya ada
dua: pertama, terseret yang akhirnya gagal lelakunya. Kedua, berhasil merengkuh
kenikmatan bersama orang-orang di sekitarnya. Melakukan hal tersebut pasti
membutuhkan segala daya, kekuatan, ilmu yang dilambari dengan keteguhan
iman, kearifan dan sikap bijak dalam menjalaninya. Sanggupkah kita menjalani
seperti Jack: berdakwah dengan hasanah dan hikmah. Sungguh berat
melaksanakan berpuasa setelah lebaran dan sholat setelah salam.4
Daerah remang-remang (tempat-tempat maksiat) merupakan sasaran Jack
dalam melakukan dakwah. Kafe merupakan tempat nongkrong paling asyik bagi
Jack dalam bermunajat kepada Allah SWT dan di kafe itu pula Jack mengenal
seorang waitres cantik yang bernama Susi yang akhirnya oleh Jack dianggap
sahabat sekaligus murid spiritualnya. Rumah prostitusi yang dianggap tempat
najis dan menjijikkan oleh sebagian besar kaum sufi, merupakan sasaran utama
bagi Jack dalam menjalankan dakwahnya.5
Anak-anak jalanan yang hampir tidak pernah disentuh oleh para ulama juga
merupakan sasaran dakwah bagi Jack yang pada akhirnya beberapa dari mereka
diangkat menjadi santri dan oleh Jack ditempatkan di villa yang disulap menjadi
pondok pesantren yang dulunya merupakan milik tukang jagal paling angker di
Jakarta.
Dalam menjalani kehidupannya, dia melepaskan semua atribut sufinya,
yang biasanya seorang sufi menggunakan sarung, baju koko, berjubah
mengenakan peci sudah tidak dipakai lagi oleh jack. Agar diterima oleh
masyarakat remang-remang Jack harus berpenampilan seperti mereka. Celana
jeans, jaket kulit hitam, kacamata hitam merupakan seragam kebesarannya yang
baru. Namun dalam hatinya Jack masih tetap sebagai seorang sufi yang
mengemban amanat untuk memperbaiki akhlak umat.6
4Ibid.
5Ibnu Ghibran, Resensi Jack and Sufi; Celoteh Kecil Kaum Kusam, 2013,
(http://www.ibnugibran.wordpress.com) 6Luqman Hakim, op. cit., h. XVI
43
Sasaran dakwah Jack adalah preman, pelacur, dukun, paranormal, anak
jalanan, koruptor, artis dan lain sebagainya. Intinya jack berdakwah kepada
seluruh lapisan masyarakat terutama kepada kaum yang terpinggir yang hampir
tidak pernah tersentuh oleh para kaum sufi seperti Jack.
Bagi Jack predikat sufi bukan hanya milik santri dan ulama tapi milik
semua lapisan masyarakat yang mau mengingat Allah. Hidayah tidak diberikan
oleh kyai atau ulama tapi semata mata hak preogratif Allah yang akan diberikan
kepada hambaNya yang mau mengingat dan berdzikir kepadaNya walaupun dia
adalah seorang anak jalanan, preman, bahkan pelacur sekalipun.
Bertaubat melalui Jack sangat mudah bahkan Jack tidak pernah memaksa
pelacur yang sedang bertobat untuk meninggalkan pekerjaannya asalkan dia mau
berdzikir mengingat Allah dan biarlah Allah sendiri nanti yang akan memberi
petunjuk dan hidayahNya kepada hamba yang sedang bertobat tersebut.
Tapi Jack kadang memperingatkan agar tidak mencoba mengikuti alur
kehidupannya, apa lagi sekedar untuk menguji sejauh mana kualitas iman kita.
Kisah baladanya, sekedar untuk refleksi kita bersama agar kehidupan interaktif
antara hamba dengan Allah tidak terjebak formalisme. Sebab iblis itu tergelincir
dan sesat hanya gara-gara memandang perintah Allah secara formal belaka,
bahkan memandang Adam as juga secara lahiriyahnya. Namun Allah menilai
sejauh mana hati anda bergantung kepadaNya. Bukan bergantung pada prestasi
amal kita masing-masing.7
Buku ini tak ingin mengajak kita untuk mencoba memainkan peran
sebagaimana yang ditempuh Jack. Buku ini mungkin lebih tepat kita tempatkan
sebagai sebuah cermin tentang bagaimana kita mencoba mengubah cara pandang
kita yang stereotyping atas kecenderungan-kecenderungan yang bertolak belakang
dengan keyakinan, ideologi, dan mungkin rasa keimanan kita. Laku sufi
sebagaimana yang ditunjukkan Jack, kyai kita ini, boleh jadi adalah sumber
pelajaran penting tentang pencarian hakikat hidup kita sendiri. Sekali lagi kita
7Ibid, h. XX
44
diajak untuk selalu mempertanyakan pendapat, pikiran, dan cara kita melihat
orang lain (kehidupan lain).8
Untuk itu, buku ini sungguh menarik untuk dikaji dan diambil intisarinya.
Mengingat banyaknya dakwah-dakwah keagamaan yang akhir-akhir ini dilakukan
dengan wajah garang, guyonan (banyolan) atau dengan lagak sok-sokan dengan
terus nyerocos mengutip firman-firman Tuhan. Mampukah kita mengajak ke jalan
Tuhan tanpa harus terus-terusan melontarkan kata Tuhan dan Nabi, melainkan
dengan nama dan sifatNya. Buku yang cukup bagus untuk dibaca dan dipelajari
serta diambil hikmahnya, terutama oleh para kaum sufi yang menginginkan
suasana berbeda dalam mengenal Tuhan yang biasanya dilakukan dengan cara
menyendiri dan berdzikir di tempat tempat yang sunyi dan suci, tapi tokoh kita ini
yang bernama Jack mengambil cara yang berbeda yaitu dengan cara berdzikir dan
berdakwah di remang-remang Jakarta yang sebelumnya hampir tidak pernah di
jamah oleh kaum sufi pada umumnya.
Buku ini pada akhirnya mengajak kita untuk coba menggunakan perspektif
sufistik dalam mencermati berbagai perubahan sosial, godaan gaya hidup, dan
mengajukan argumen lain tentang bagaimana posisi yang proporsional, moderat
namun tak menghilangkan nalar kritis kita sendiri.9
Namun di balik semua itu buku ini juga memiliki beberapa kekurangan
yang di antaranya alur cerita yang tidak jelas bahkan tiap chapter kadang tidak
saling berhubungan. Sebagian besar dalam setiap chapter pembaca langsung
dibawa ke inti permasalahan tanpa ada latar belakang penjelasan semisal
bagaimana Jack cara mempengaruhi umatnya agar mau bertobat tidak pernah
dijabarkan secara gamblang sehingga menurut peneliti memerlukan beberapa
metode penelitian lebih lanjut apabila seseorang yang ingin terjun ke dunia Jack
sebagai seorang sufi yang memilih hidup di keremangan Jakarta. Menurut peneliti
saat ini kita banyak membutuhkan orang yang mau berjuang semisal Jack.
8Ibid, h. XII
9Ibid, h. XIII
45
2. Biografi Pengarang
Muhammad Luqman Hakim, lahir di Madiun, 20 April 1962. Belajar di
pesantren Tebuireng Jombang, hingga menyelesaikan kuliah di Fakultas Syariah
Unhasy Tebuireng (sekarang menjadi IKAHA). Ia melajutkan studinya di Special
Program Philosophy, di Fakultas Filsafat UGM, kemudian menempuh program
Doktor di University of Malaya Kuala Lumpur Jurusan Siyasah Syariah.10
Muhammad Luqman Hakim belajar Tasawuf pada Hadharatus Syaikh KH
Abdul Jalil Mustaqim, Mursyid Thariqat Syadziliyah Qodariyah-Naqsyabandiyah,
Samaniyah, dan Syathariyah. Beberapa karyanya dalam bidang tasawuf antara
lain:
- Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf
- Raudhah Taman Jiwa Kaum Sufi
- Tujuh Samudra Agung Ummul Qur‟an
- NU di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat
- Di Balik Sarung Presiden
- Pledoi Sufi dari Sunan Kalijaga hingga Syaikh Siti Jenar
- Negeri Tanpa Kyai
- Allah pun Berdzikir
- Kedai Sufi Kang Luqman
- Jack and Sufi; Sufisme di Remang-remang Jakarta
10
Ibid, h. 293
Judul : Jack & Sufi; Sufisme di Remang-Remang Jakarta
Penulis : Muhammad Luqman Hakim
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tahun : 2009
Genre : Metropop
Tebal : 294 Halaman
ISBN : 978-979-3381-329
46
- Dan sejumlah buku keagamaan nonsufistik lainnya.11
Menurut Gus Mus, dia orangnya kalem, lembut dan sederhana. Tapi, kalau
sudah bicara akan menyemburkan banyak mutiara hikmah kesufian. Memang
begitulah sosok Muhammad Luqman Hakim yang kesohor sebagai ahli dalam
tasawuf, dosen dan juga penulis banyak buku. Alumnus Pesantren Tebuireng,
Jombang ini selama ini memang banyak menggeluti dunia tasawuf serta mengisi
pengajian-pengajian tasawuf di berbagai kalangan.12
Kegiatan sehari-harinya adalah menulis berbagai masalah sosial
keagamaan, khususnya tinjauan sufistik. Ia juga memberi kuliah tasawuf di
Jakarta, dan menerbitkan majalah dunia Sufi: Cahaya Sufi, dan Sufinews.com. Ia
menjadi pimpinan redaksi keduanya.13
B. Temuan Hasil Analisis
Temuan nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi
adalah hasil analisis peneliti dengan menggunakan teori yang telah dirancang
sebelumnya. Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf yang terdapat dalam
novel Jack and Sufi adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1
Temuan Hasil Analisis Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf
Dalam Novel Jack and Sufi
No. Ruang Lingkup Bentuk Perilaku
1. Kearifan (al-hikmah) Ketajaman Intelegensi
Kejernihan Berpikir
2. Menjaga Kesucian (al-iffah) Kedermawanan
Keteguhan Hati
Kewira’ian
3. Keberanian (al-syaja‟ah) Ketenangan
11
Ibid. 12
Musthofa Bisri, Lukman Hakim MA: “Kalau Tidak Ada “Kebinatangan”, Ya Tidak Ada
Politik”, 2013, (http://www.gusmus.net) 13
Luqman Hakim, op. cit., h.294
47
Kesabaran
4. Keadilan (al-„adl) Cinta Kasih
Bersahabat
Tawadhu’
Tabel 4.2
Paparan Data Hasil Analisis Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf
Dalam Novel Jack and Sufi
No. Dialog/Monolog Keterangan
1. “………….Sebailknya sama sekali tidak bisa disebut
orang bodoh, jika seseorang mampu mengekang
hawa nafsunya, kepentingan dirinya, egoismenya, iri
dengkinya, walaupun ia tampak seperti orang bodoh,
hakikatnya ia adalah orang yang pandai. Karena
betapa pun hebat ilmu seseorang, sepanjang ia masih
senang dengan hawa nafsunya, ia tidak akan pernah
menyelamatkan kita di dunia hingga akhirat…”.14
Ketajaman
Intelegensi
2. “…….“Ya, saya paham atas kebingungan anda.
Sederhananya begini, kalau anda bisa hadir di depan
Allah dalam suasana religius di masjid, di tempat
majekis zikir, atau di tempat-tempat kebajikan, itu
semata karena Allah hadir dengan asma‟ dan
sifatnya yang Maha Indah, Maha Lembut, Maha
Terpuji. Tapi kalau anda datang ke tempat
pelacuran, perjudian, di tempat orang KKN, di
tempat para preman, maka anda harus melihat Allah
atas kehadiranNya yang berasma‟ dan bersifat Yang
Maha Menghina, yang Maha Menyiksa, yang Maha
Menghisab perbuatan hambaNya. Takwalah kepada
Allah di manapun anda berada, baik di tempat
kebajikan atau kezaliman, dua-duanya jangan
sampai menjadi penghalang interaksi anda dengan
Allah…….”15
Kejernihan
Berfikir
3. “Bersama rombongan jama‟ahnya Jack menuju
pusat kota, putar-putar di Monas, lalu menuju ke
arah selatan, melewati setiap jalan yang macet.
Kedermawanan
14Ibid., h. 75
15
Ibid., h. 234
48
“Jack, kita muter-muter melulu sejak tadi,” Tanya
Parjo penasaran. Sementara para jama‟ah yang
menumpang di mobil itu juga penasaran. Apalagi
setiap ada peminta-minta di pinggir jalan, Jack
kadang malah turun membagi uang, dan makanan
kecil. “Ceritanya lagi membayar zakat Jack,” lanjut
Parjo. “Iya, Mas Jack, ngapain kasih uang
pengamen, anak-anak peminta itu…..”16
4. “….Banyak anak muda Islam yang bercita-cita jadi
tokoh Islam, karena kalau jadi tokoh Islam ia jadi
bangga. Jadi panutan masyarakat. Sebuah cita-cita
keblinger, sebagaimana cita-cita menjadi muballigh
kondang karena ingin jadi public figure. Cuap sana
cuap sini, seperti politisi, lalu jadi ajang karir,
kemudian ada sejumlah fasilitas materi dan budaya
yang memanjakan dirinya. Lebih-lebih bercita-cita
jadi muballigh sebagai pekerjaan, karir, dan profesi,
wah, apa bedanya dengan penjual jamu dan tukang
sulap yang bisa menyihir penonton dengan
hiburannya?“Ah, wallahu a‟lam. Yang penting anak-
anak di sini punya akhlaqul karimah, dengan
pengetahuan dan pemahaman ilimu-ilmu Islam
hebat, “kata Jack bergumam sendiri, sembari
mengingat-ingat pesan kakek bertongkat agar Jack
mulai mengkader ulama masa depan.”17
Keteguhan Hati
5. Jack tertawa lebar. Tiba-tiba selembar cek
berisi milyaran rupiah disodorkan. “Ini, kalau kamu
tidak percaya…”
Jack meraih saja lembaran itu tanpa basa-basi.
Anda rela ini untuk saya?”
Ikhlas Jack….”
Untuk dan demi rakyat kan?‟
Ya, dan untuk suksesmu…”
Tidak. Ini untuk mereka…”
Ya…ya..yaa untuk sukses mereka.”
Karena itu uang ini akan saya bagi-bagi untuk
mereka. Lagi pula Anda sudah lama tidak bayar
zakat kan?”
Alah Jack. Ini bukan uang zakat. Ini uang cuma-
cuma.kamu tahulah dari mana uang ini aku
Kewira’ian
16Ibid., h. 22
17
Ibid., h. 195
49
dapatkan…”
Kalau begitu tepat Bung, Uang ini harus kita
bersihkan. Kita cuci. Kita bagi-bagi saja besok
kepada mereka…”18
6. “……Baiklah sobat mulai saat ini anda memasuki
markas maksiat di negeri ini. Kamu masih ingat
kunci-kunci yang dulu saya berikan?”
“Oh, masih...”
“Antara lain?”
“Semua ini juga kehendak Allah, Jack...”
“Bagus! Apalagi?”
“Kadang Allah menakdirkan hambaNya berbuat
maksiat, dalam rangka si hamba itu lebih dekat
kepadaNya....”
“Asyik, apalagi....?
“Orang yang merasa aneh dengan kekuasaan Allah
mengentas seorang ahli maksiat, maniak dosa,
menjadi kekasih Allah, berarti tidak paham dengan
kekuasaan Ilahi itu sendiri...”
“Jack memeluk si Gendut sekali lagi….”19
Ketenangan
7. “…..jangan berhenti berprofesi. Hanya karena ingin
mendekati Allah, lalu anda berhenti meninggalkan
semuanya. Keinginan itu adalah hawa nafsu anda
yang tersembunyi, emosi anda yang tergesa-gesa.
Biarlah Allah menakdirkan dan memposisikan anda
di mana, dan bagaimana saat ini. Kelak anda bisa
sangat dekat dengan Allah tanpa anda harus berhenti
dari profesi anda..20
Kesabaran
8. ..”….Di bulan puasa ini kedatangan Jack selain
membawa oleh-oleh sekedar berbekal untuk buka
puasa bagi masyarakat kumuh itu, Jack sedang
membawa kabar gembira bagi mereka. Yaitu wujud
impian masa depan mereka, yaitu anak-anak mereka.
Anak-anak germo, anak pelacur, anak preman, anak
maling, anak pemulung, siapa yang memikirkan
mereka? Jack hanya geleng kepala pada penguasa
negeri ini……”21
Cinta Kasih
9. “…….Siapa yang bersahabat dengan manusia model
ini, ia akan mendapatkan tiga hal pula: Meraih
kebajikan-kebajikan tersebut sebagai anugerah,
karena seseorang itu sangat erat kaitannya dengan
Bersahabat
18Ibid., h. 84
19
Ibid., h. 166
20Ibid., h. 161
21
Ibid., h. 11-12
50
keyakinan agama sahabat dekatnya. Ia juga meraih
rasa ringan dalam hatinya, dan mendapatkan
keselamatan dunia dan agamanya…….”22
10. “….Apakah anda juga masih menuntut sesuatu dari
Allah? Ini sungguh tidak sopan, tidak etis, dan tidak
punya adab di hadapan Allah, karena Anda pasti
tidak yakin kepada Allah, karena anda pasti sangat
mencurigai Allah. Apa modal kita, bekal kita,
prestasi amal kita, sehingga kita punya hak menuntut
Allah? Padahal kita tidak pernah memiliki modal, tak
pernah berbuat, tak pernah membuat bekal. Sebab
yang menggerakkan kepatuhan, amal, taat, ibadah
kita itu, Allah juga!...”23
Tawadhu’
C. Pembahasan Hasil Analisis
Nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi karya
Muhammad Luqman Hakim banyak ditunjukkan dalam bentuk deskripsi cerita,
dialog antar tokoh, maupun respon para tokoh dalam menyikapi sesuatu. Dalam
novel ini terdapat dialog seperti percakapan langsung pada umumnya. Namun
percakapan ini berbentuk tulisan sehingga lebih mudah untuk dilihat dan dibaca
berulang-ulang. Paragraf dan kalimat dalam sebuah novel merupakan kumpulan
ide yang ingin dituangkan oleh pengarang.
Dalam penelitian ini dapat terjadi perbedaan interpretasi, mengingat
kemampuan seseorang berbeda dalam memahami suatu teks. Sehingga terkadang
pesan yang disampaikan oleh pengarang dipahami berbeda oleh pembaca. Oleh
sebab itu, paragraf dan kalimat yang jelas akan lebih mudah dipahami oleh
pembaca pada umumnya. Pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang pun
dapat dipahami oleh pembaca dengan mudah. Untuk melihat pesan di balik
deskripsi cerita maka dalam skripsi ini penulis akan menyampaikannya dalam
bentuk potongan paragraf atau kalimat.
Adapun penjabaran nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack
an Sufi karya Muhammad Luqman Hakim akan penulis paparkan berikut ini:
22Ibid., h. 76
23
Ibid., h. 192
51
1. Kearifan (al-hikmah)
Kearifan merupakan keutamaan dari jiwa berpikir dan mengetahui.
Terletak pada mengetahui segala yang ada ini. Mengetahui segala yang ilahiah
dan manusiawi. Pengetahuan ini membuahkan pemahaman mana di antara hal-
hal yang mungkin harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.24
Kearifan
merupakan keutamaan jiwa rasional yang memelihara jiwa al-syahwiyyah dan
jiwa al-ghadabiyyat yang memungkinkan seseorang membedakan yang benar
dari yang salah dalam semua perbuatan yang disengaja.25
Dalam pengertian tasawuf kearifan diartikan sebagai pengetahuan.
Kearifan yang mempunyai arti pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan
biasa. Ia merupakan pengetahuan yang abadi, sebab isinya tentang yang Abadi.
Maka dari itu, ketika seseorang sudah mempunyai kearifan atau dalam bahasa
tasawufnya ma‟rifat, ia akan menjadi orang yang mengenal hakikat segala
sesuatu, memandang, dan bersikap terhadap dunia melalui penglihatan hatinya
yang telah tercerahkan. Ia tidak lagi terpaku pada segala sesuatu yang bersifat
embel-embel, sebab yang menjadi perhatiannya ialah yang hakiki. Ia tidak sibuk
memikirkan dirinya dan hasratnya yang rendah. Namun ia senantiasa asyik
memandang wajah Sahabat atau Kekasihnya, yang Maha Pengasih dan
Penyayang itu. Dan pada tingkatan tertentu seorang sufi akan meninggalkan
sikap acuh tak acuh, masa bodoh dan ketidakpedulian terhadap masalah
keagamaan, kemanusiaan dan sosial.26
Ada bagian-bagian yang masuk pada kategori kearifan. Di antaranya
adalah ketajaman intelegensi, kejernihan berfikir, dan jernih ingatan.27
Adapun
nilai akhlak tasawuf yang ditampilkan adalah ketajaman intelegensi seperti dalam
dialaog:
“Inilah etika kita berguru atau bersahabat dengan seseorang, mestinya
harus selektif agar berpengaruh positif dalam keseharian kita. Banyak
24
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. dari Tahdzibu al-Akhlak oleh
Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1998), h.45 25
Suwito, Filasafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (Yogyakarta: Belukar, 2004), h.
97 26
Said Aqil Munawwar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), h. 351 27
Ibn Miskawaih, op.cit., h. 46
52
orang pandai, alim, intelektual, tetapi sepanjang kepentingan-kepentingan
dirinya lebih menonjol, sama sekali tidak patut kita ikuti. Tidak peduli
apakah dia ustadz, kyai, cendekiawan muslim, ataukah syaikh, manakala
ia masih menuruti kepentingan nafsunya, sangat tidak layak untuk diikuti
jejaknya.
Kepentingan nafsu itu sering kali justru dijadikan umpan setan untuk
berselingkuh dengan ilmu pengetahuan, kebenaran, agama, dan hal-hal
yang suci. Artinya, mereka yang berselimut kesucian, keulamaan,
kecendikiawaan, jika masih menuruti hawa nafsunya, seperti popularitas,
riya‟, takjub diri, ingin dipuji, takbbur, egois, berarti ia tetap saja seorang
yang bodoh.
Sebailknya sama sekali tidak bisa disebut orang bodoh, jika seseorang
mampu mengekang hawa nafsunya, kepentingan dirinya, egoismenya, iri
dengkinya, walaupun ia tampak seperti orang bodoh, hakikatnya ia adalah
orang yang pandai. Karena betapa pun hebat ilmu seseorang, sepanjang
ia masih senang dengan hawa nafsunya, ia tidak akan pernah
menyelamatkan kita di dunia hingga akhirat.28
Dialog di atas ingin memberi pemahaman bahwa memilih panutan yang
benar-benar baik adalah sangat penting. Oleh karena itu ketajaman intelgensi
sebagai bagian dari akhlak muslim sangatlah berperan penting dalam kaitannya
mencari panutan agar tidak salah dalam memilih panutan. Adapun pengertian
ketajaman intelegensi itu sendiri adalah kemampuan jiwa untuk merenungkan
pengalaman yang ada pada lingkungan sekitar kita untuk memilah mana yang
baik dan mana yang buruk.29
Selain ketajaman intelegensi, ada lagi nilai lain yang ditampilkan yaitu
nilai tentang kejernihan dalam berfikir. Nilai ini terdapat pada dialog:
“Suatu hari Jack diundang seminar di sebuah lembaga kajian dunia sufi.
Jack diundang karena ada sejumlah orang yang mengenal Jack sebagai
sosok yang hampir mirip kelelawar. Hidupnya di malam hari, dan di
remang-remang kegelapan. Jack hanya diminta untuk mengisahkan
balada kehidupan malam, dan makna Ketuhahan yang terselip di balik
celah-celah anyirnya remang-remang itu.
“Rasanya menjelaskan dan menghayati Allah di tengah kehadiran malam
yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran itu, sudah setengah
mustahil. Banyak faktor yang merasa menjadi hijab antara kita dengan
Allah. Pertama, wajah di hadapan kita yang tentu sangat antagonis
dengan nuansa Ilahi. Kedua, apakah kita tidak risih khusyu‟ dan khudur di
28
Luqman Hakim, op. cit., h.75 29
Ibn Miskawaih, loc. cit.
53
tengah-tengah mereka. Ketiga, apakah kita tidak jadi sembrono dengan
hadir di tempat seperti itu?” kata seorang penanya.
Jack terjengah mendengar pertanyaan peserta yang begitu kritis.
“Allah tidak bisa dibatasi oleh apa pun, termasuk oleh kegelapan pun,
bahkan oleh kebaikan apa pun, Karena Allah itu Mahabesar. Jika Allah
bisa ditabiri, dihijab, ditirai, maka hijab dan tirai itu pasti lebih besar
dibanding Allah. Padahal Allah Mahabesar dari segalanya.”
“Saya jadi semakin bingung memahaminya…”
“Ya, saya paham atas kebingungan anda. Sederhananya begini, kalau
anda bisa hadir di depan Allah dalam suasana religus di masjid, ditempat
majekis zikir, atau di tempat-tempat kebajikan, itu semata karena Allah
hadir dengan asma‟ dan sifatNya yang Maha Indah, Maha Lembut, Maha
Terpuji. Tapi kalau anda datang ke tempat pelacuran, perjudian, di tempat
orang KKN, di tempat para preman, maka anda harus melihat Allah atas
kehadiranNya yang berasma‟ dan bersifat Yang Maha Menghina, yang
Maha Menyiksa, Yang Maha Menghisab perbuatan hambaNya. Takwalah
kepada Allah di manapun anda berada, baik di tempat kebajikan atau
kezaliman, dua-duanya jangan sampai menjadi penghalang interaksi anda
dengan Allah”
Semua peserta seminar diam begitu lama. Tiba-tiba suara tepuk tangan
membahana di gedung itu. Bukan tepuk tangan atas jawaban Jack, tetapi
tepuk tangan yang disertai tetesan air mata keharuan atas problema yang
menyesakkan dada mereka. Sang penanya tadi seperti mewakili benak
para peserta.30
Dialog di atas menunjukkan pentingnya berpikir jernih. Kejernihan
berpikir adalah kesiapan jiwa untuk menyimpulkan apa saja yang dikehendaki.
Jack dalam memandang kehidupan pasti diciptakan mempunyai pasangan, ada
indah ada jelek, ada baik ada buruk semua itu adalah sunnatullah.
Kaum sufi berusaha berpegang teguh kepada yang baik dan yang indah
bahkan di tengah-tengah apa-apa yang tampak dalam kehidupan sebagai jahat dan
jelek. Mereka berpegang teguh kepada kebenaran meskipun ketika dikelilingi oleh
kesalahan dan kebohongan, berpijak kuat pada kepastian bahwa kebenaran
akhirnya akan menang.31
Maka orang yang bertakwa adalah mereka yang selalu
berfikir jernih dalam kondisi apa pun, entah dalam kondisi yang tampak sebagai
kebajikan maupun tampak seperi kezaliman. Dan ini dibuktikan oleh Jack sebagai
tokoh di dalam cerita tersebut bagaimana dia menempatkan hati dan pikirannya
30
Luqman Hakim, op. cit., h. 234 31
Seyyed Hossein Nasr, op. cit., h. 78
54
selalu untuk ingat kepada Allah. Oleh karena itu dapat kita pahami bahwa,
kebajikan yang dimaksud akhlak kearifan dalam tasawuf merupakan kebajikan
spiritual yang telah dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan
disiplin kerohanian tertentu berdasarkan ajaran Islam.32
2. Menjaga kesucian (al-iffah)
Adalah keutamaan dari bagian hawa nafsu menurut penilaian baiknya. Dia
mengikuti pengetahuan yang akurat, hingga dia tidak terseret oleh hawa nafsunya,
dan dia tidak menjadi budak hawa nafsunya. Dia muncul pada diri manusia apa
bila hawa nafsunya dikendalikan oleh pikirannya.33
Dan penilaian ini didasarkan
pada pikiran yang mengandung unsur syari’at. Jadi nafsu syahwat yang digunakan
secara pertengahanlah yang akan menimbulkan sikap iffah, yaitu orang yang dapat
menahan syahwat dan farjinya dari berbuat lacur. Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-
orang yang khusyu' dalam sembahyangnya. Dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (QS.
Al-Mu‟minun. Ayat 1-3)34
Akhlak yang lahir dari sifat iffah ini banyak sekali, di antaranya ada sifat
dermawan, wira’i, kesabaran, keteguhan hati.35
Iffah dalam pembahasan ini sering
diartikan dengan kedermawanan di samping mempunyai arti menjaga kesucian.
Hal ini mungkin terjadi, karena mengingat kebajikan satu dengan yang lain itu
mempunyai saling keterkaitan secara spiritual. Sebagai contoh sifat tawakkal tidak
akan terlaksana dengan baik jika tidak disertai dengan sifat sabar, karena untuk
bisa bertawakal kepada Allah maka kita butuh kesabaran dalam menerima cobaan
dari Allah.
32
Ibid., h. 164 33
Suwito, op. cit., h. 103 34
Depag, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Solo: Qomari Prima Publisher, 2007), h. 475 35
Suwito, op. cit., h. 104
55
Adapun nilai akhlak tasawuf yang ditampilkan pada novel ini sebagai
cabang dari sifat iffah antara lain adalah tentang kedermawanan. Berikut
dialognya:
Bersama rombongan jama‟ahnya Jack menuju pusat kota, putar-putar di
Monas, lalu menuju kearah selatan, melewati setiap jalan yang macet.
“Jack, kita muter-muter melulu sejak tadi,” Tanya Parjo penasaran.
Sementara para jama‟ah yang menumpang di mobil itu juga penasaran.
Apalagi setiap ada peminta-minta di pinggir jalan, Jack kadang malah
turun membagi uang, dan makanan kecil.
“Ceritanya lagi membayar zakat Jack,” lanjut Parjo.
Dalam hal ini Jack memberikan teladan kepada temannya tentang
kedermawanan yang tidak mengharapkan ingin dipuji oleh orang lain. Jack
memandang para anak jalanan, peminta-minta termasuk orang yang kurang
mendapat perhatian dari kita yang mempunyai latar pendidikan yang lebih baik.
“Iya, Mas Jack, ngapain kasih uang pengamen, anak-anak peminta itu.
Namanya kan tidak mendidik. Lagi pula di antara mereka banyak
pemabuknya. Kita kan ngasih uang untuk mabuk, lah, berarti kita turut
mendukung kemabukan mereka kan?” celoteh Susi ngedumel.
Jack hanya senyum-senyum saja. Kendaraan terus melaju kencang ke
arah Depok. Malam sudah sedemikian larut. Di Padepokan Jack, sudah
berkumpul beberapa jama‟ah, dan ternyata di antara mereka adalah para
peminta-minta, tukang ngamen, dan gelandangan.
“Gila lu Jack! Memang umat kamu ini macam apa lagi? Kemarin para
artis bermasalah, kini gelandangan, pengemis, besok perampok, lusa
koruptor, aku kira sama gilanya dengan imamnya ini” kata Parjo gemes,
dan membuat jama‟ah di mobilnya semakin bingung.
Para gelandangan itu sudah kumpul dengan para pengamen dan
pengemis jalanan. Jack seperti bapak bagi mereka. Tidak jelas kapan Jack
mulai mengenal dunia mereka, tidak satu pun yang tau, hanya Jack, Allah
dan para malaikat saja yang tahu.
Di sini menggambarkan betapa Jack sangat disegani di kalangan para
gelandangan, bahkan dia sudah diangggap menjadi bapak bagi mereka. Inilah
bukti bahwa kepedulian sosial itu sangat dibutuhkan apalagi pada daerah
perkotaan yang hamper manusia di dalamnya hidup masing-masing tidak peduli
dengan lingkungan sekitar.
Di antara satu gelandangan itu ada tampak akrab sekali dengan Jack.
Gelandangan tua, perempuan keriput, berkulit putih bersih, dengan
56
rambut memutih bergerai. Parjo dan Susi diam-diam mengamati
gelandangan itu ketika sedang ngobrol akrab dengan Jack. Tidak jelas
siapa perempuan tua itu. Malah kadang tampak seperti ibunya Jack,
kadang seperti bibinya Jack, kadang pula seperti sahabat dekatnya.
Walaupun gelandangan perempuan itu tidak menampakkan sekali wajah
masam atau kusamnya, kadang malah bercahaya. Aneh.
Ketika semua jama‟ah jalanan itu pamit pulang, Jack memeluk satu per
satu sambil memberikan pesan yang dibisikkan lewat telinganya. Ada
yang mendengarkan bisikan Jack dengan manggut-manggut, ada pula
yang ketawa, ada pula yang meronakan wajah dan menitikkan air mata,
ada pula yang diam seribu bahasa. Entah apa yang dibisikkan Jack
kepada mereka, satu sama lain berbeda.
“Kapan Jack kamu berhenti nyeleneh dan kembali normal? Tanya Susi.
Jack hanya tertawa terbahak-bahak. “Kalian ini bagaimana, justru
mereka yang disebut normal kadang-kadang malah
abnormal..ha…ha…”36
Setelah membaca potongan dialog di atas, dapat dipahami bahwa si Jack
ingin memberi pemahaman arti pentingnya kedemawanan dalam arti yang
sesungguhnya. Nilai kedermawanan yang ditunjukkan Jack adalah kedermawanan
yang tak mempunyai unsur ingin merasa dirinya adalah orang baik. Dalam dialog
di atas juga terjadi perbedaan pendapat antara Jack dan Susi. Susi mempunyai
pendapat apa yang dilakukan Jack itu salah, karena menurut Susi akibat dari
perbuatan Jack adalah hanya sia-sia. Namun Jack memberi pengertian kepada Susi
melalui dialog selanjutnya:
“Apa karena ada misi tertentu ente mendekati para gelandangan itu?”
“Nggak ada. Saya tidak punya kepentingan apa-apa. Hanya saja saya
merasa sama dengan mereka. Kita di dunia ini tidak lebih dari
gelandangan Allah, kita hanya pengemis dan selalu mengamen kepada
Allah. Nah, renungkan itu.”37
Dialog tersebut merupakan jawaban dari Jack untuk kebimbangan Susi
mengapa Jack mau memberi kepada para gelandangan. Kedermawanan yang
ditampilkan Jack merupakan kedermawanan yang diajarkan oleh Nabi. Tentu
masih ingat dalam pikiran kita kisah Nabi dengan seorang pengemis Yahudi yang
buta. Walaupun Nabi terus dicela oleh si Yahudi, Nabi tetap memberinya
makanan kepadanya. Hal ini tentu dapat kita pahami bahwa di kemudian hari
36
Luqman Hakim, op. cit., h. 22 37
Ibid., h. 23
57
dengan cara tersebut Nabi berhasil membuat si Yahudi menjadi Muslim dan
bertaubat.
Apa yang dilakukan Jack secara makna tidak jauh beda dengan kisah Nabi.
Si Jack hanya ingin meneladani sifat Nabi yang sangat dermawan. Menurut para
sufi kebajikan dalam pandangan tasawuf bukan dipahami sekedar kebajikan moral
melainkan kebajikan spiritual dengan dimensi niskala dan eksistensial. Dan setiap
kebajikan itu ditengarai oleh akal bukan sekedar sentimental.38
Untuk itu,
kedemawanan bukanlah sekedar pemberian sentimental atas dasar ingin merasa
baik. Agar kedermawanan bernilai spiritual, ia harus didasarkan pada kesadaran
metafisik bahwa orang lain dalam pengertian mendalam adalah diri kita sendiri
dan bahwa dalam memberi, kita juga mengatasi ego kita sendiri, yang
memisahkan kita dari orang lain, dan karena itu kita sebenarnya juga menerima.
Hal ini hanya akan dicapai jika kita sudah benar-benar mencintai Allah, yang
merupakan sumber seluruh kasih sayang. Karena kebajikan seperti ini hanya akan
terwujud jika dalam diri kita ada cinta dan belas kasih.39
Pada kesempatan lain, Jack juga mengajarkan kita tentang makna akhlak
keteguhan hati. Keteguhan hati adalah termasuk sifat orang beriman yang
bersabar. Dalam beberapa kondisi sabar juga disebut dengan istilah iffah,
terkadang juga termasuk dalam sifat syaja‟ah. Sabar yang tergolong dari sifat
iffah pada dialog berikut:
Banyak anak muda Islam yang bercita-cita jadi tokoh Islam, karena kalau
jadi tokoh Islam ia jadi bangga. Jadi panutan masyarakat. Sebuah cita-
cita keblinger, sebagaimana cita-cita menjadi muballigh kondang karena
ingin jadi public figure. Cuap sana cuap sini, seperti politisi, lalu jadi
ajang karir, kemudian ada sejumlah fasilitas materi dan budaya yang
memanjakan dirinya. Lebih-lebih bercita-cita jadi muballigh sebagai
pekerjaan, karir, dan profesi, wah, apa bedanya dengan penjual jamu dan
tukang sulap yang bisa menyihir penonton dengan hiburannya?
“Ah, wallahu a‟lam. Yang penting anak-anak di sini punya akhlaqul
karimah, dengan pengetahuan dan pemahaman ilimu-ilmu Islam hebat,
“kata Jack bergumam sendiri, sembari mengingat-ingat pesan kakek
bertongkat agar Jack mulai mengkader ulama masa depan.40
38
Seyyed Hossein Nasr, op. cit., h. 164 39
Ibid., h. 165 40
Luqman Hakim, op. cit., h. 195
58
Jika diamati Jack dalam dialog ini menunjukkan sifat sabar yang
mempunyai arti sikap tegar (keteguhan hati) pantang menyerah untuk
membangkitkan motif beragama dalam menghadapi dorongan syahwat berupa
keinginan menjadi terkenal, menjadi public figure, dan berlimpahan materi.
Kesabaran yang ditampilkan Jack adalah berupa beramal dengan komitmen
keyakinan, sebab keyakinan mengajarkan kepadanya bahwa menuruti hawa nafsu
itu berbahaya dan ketaatan itu bermanfaat.
Sifat wira’i juga ditampakkan oleh Jack ketika dia sedang berhadapan
dengan para elite negeri ini yang mempunyai kepentingan pribadi. Berikut
dialognya:
Nama Jack begitu populer di kalangan kaum gelap di Jakarta. Disebut
kaum gelap karena mereka tidak memiliki kepastian hidup, keyakinan
masa depan, dan mungkin mereka sangat rakus dan tamak terhadap masa
depan orang lain.
Mereka adalah para penikmat maksiat di Jakarta, para tikus-tikus malam
yang menggerogoti harta negara dan rakyat, koruptor, dan para
penghibur, gelandangan, dan mereka yang kehilangan kepercayaan diri di
depan sesama, apalagi di depan Allah.
“Jack, sudah waktunya kamu tampil di permukaan. Jadi caleg lah. Atau
minimal kamu bisa jadi pilihan rakyat lewat DPD. Kamu bisa jadi senator
di sana…. Biar kamu bisa teriak wakili suara kita…”
Jack terbahak-bahak.
“Tidak ada yang pilih aku, Bung!”
“Wah, jangan remehkan peran kami Jack. Seluruh preman di Jakarta
akan mendukungmu. Semua perempuan remang-remang pasti
mencoblosmu sambil histeris. Apa lagi orang-orang di pinggiran sungai
Jakarta itu, siapa tak kenal kamu Jack?”
Jack hanya garuk-garuk kepala ketika didesak lelaki bertubuh gempal
yang penuh goresan tato itu. Di sampingnya ada lelaki pengusaha yang
kelihatan kelimis, dan seorang pejabat penting di BUMN.
Kalian tahu apa bedanya pejuang dengan politisi?”
Mereka tampak terhenyak dan kernyitnya serentak berkerut.
“Ini peluang Jack….,” kata pengusaha di sampingnya.”Berapa kamu
butuh biaya, akan saya talangi semua….”
Jack tertawa lebar. Tiba-tiba selembar cek berisi milyaran rupiah
disodorkan. “Ini, kalau kamu tidak percaya…”
Jack meraih saja lembaran itu tanpa basa-basi.
Anda rela ini untuk saya?”
Ikhlas Jack….”
Untuk dan demi rakyat kan?‟
Ya, dan untuk suksesmu…”
59
Tidak. Ini untuk mereka…”
Ya…ya..yaa untuk sukses mereka.”
Karena itu uang ini akan saya bagi-bagi untuk mereka. Lagi pula Anda
sudah lama tidak bayar zakat kan?”
Alah Jack. Ini bukan uang zakat. Ini uang cuma-cuma. kamu tahu lah dari
mana uang ini akan dapatkan…”
Kalau begitu tepat Bung, Uang ini harus kita bersihkan. Kita cuci. Kita
bagi-bagi saja besok kepada mereka…”
Penguasa itu bungkam, antara jengkel dan harap-harap cemas. Jack
ternyata menolak jadi wakil rakyat, dan uang itu amblas terbagi-bagi
begitu saja untuk komunitas Jack yang juga tidak jelas masa depannya.
“Jujur saja Jack. Saya tambah penasaran, kenapa kamu menolak ide
bagus kita-kita ini untuk mewakili aspirasi kita di dewan?”
“Ya, saya takut…saya ngeri saja…”
“Lho?”
“Iya, kalau Allah masih marah pada wakil-wakil rakyat di Senayan, maka
murka Allah pasti memberangus saya juga. Ngeri dan sangat
traumatik…”Meerka manggut-manggut saja mendengar ungkapan tajam
Jack. Lalu Jack ngeloyor begitu saja. Keluar dari kafe itu…41
Kewira’ian Jack terletak pada hatinya yang selalu ingat kepada Allah.
Tahap wara’ seperti ini kelihatannya sama sekali sudah meninggalkan urusan
duniawi. Satu sisi Jack dikenal oleh mereka yang suka dalam kemaksiatan, tapi di
sisi lain Jack juga menjaga dirinya agar tidak terjerumus oleh perilaku para
pemaksiat. Ini sungguh sulit untuk dilakukan. Namun Jack bisa melewatinya,
dengan segala mujahadah dan riyadhahnya. Jack menganggap hal ini tidak
melanggar moral atau akhlak.
Hal yang dilakukan Jack bukannya tanpa dasar. Etika yang dibangun oleh
sufi adalah etika ruhaniyah tanpa mengabaikan moral pada tingkatannya sendiri.
Kaum sufi memahami klaim moralitas pada kemutlakan di tingkat ini, mereka
berusaha untuk keluar sama sekali dari ranah tindakan lahiriyah dan mencapai
kebaikan mutlak melalui cinta dan pengetahuan tentang Ilahi, yang melampaui
oposisi yang baik dan yang buruk serta melihat kenisbian dari apa yang kita sebut
keburukan dalam kaitannya dengan yang baik secara mutlak dan yang nyata
secara mutlak. Di sanalah Jack meletakkan dasar etikanya, yaitu etika sufi yang
merupakan etika ruhaniyah, berbeda dengan moralitas biasa. Sementara pada saat
41
Ibid, h. 84
60
yang bersamaan kaum sufi meletakkan arti penting bagi moralitas pada
tingkatannya sendiri.42
3. Keberanian (al-syaja‟ah)
Keberanian adalah keutamaan jiwa amarah, dan muncul pada diri
seseorang bila jiwa ini tunduk dan patuh terhadap jiwa berfikir serta
menggunakan penilaian baik dalam menghadapi hal-hal yang membahayakan.43
Keberanian adalah tepatnya pikiran ketika berbagai bahaya datang. Kondisi ini
hanya akan diperoleh karena adanya faktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam
menghadapi segala hal.44
Sikap keberanian dalam arti yang sesungguhnya adalah dengan
menggabungkan sikap tersebut dengan sikap tak mementingkan diri sendiri,
tindakan tanpa motif duniawi atau dinodai oleh cacat seperti marah, keserakahan,
nafsu untuk berkuasa, atau haus akan dendam. Inilah yang dilakukan oleh para
sufi untuk medapatkan sikap ruhani yang benar terhadap amal perbuatan, di mana
mereka melepaskan diri dari buah perbuatannya demi suatu kebenaran.45
Dalam novel ini menampilkan sikap tenang yang merupakan bagian dari
akhlak keberanian. Berikut dialognya:
“Ya, misalnya kalau kamu ingin ke Jakarta, melihat kemaksiatan Jakarta
dan bejatnya manusia Jakarta, dengan motivasi kamu ingin menguji iman
kamu maka malam ini juga kamu saya usir dari Jakarta…”
“Lho, aku ini jujur Jack. Akan ingin kemari bukan untuk menguji cintaku
kepada Allah melalui kemaksiatan hambaNya yang dicemburui Allah.
Tapi memang kepingin lihat dengan mata kepala saya, biar saya bisa
sejenak tidak bergemuruh bunyi Allah saja di dadaku…”
Jack tertawa terbahak-bahak mendengar kepolosan Gendut yang tak
pernah surut oleh air pasang, juga tak pernah lekang oleh panasnya usia
dan kehidupan.
“Baiklah sobat mulai saat ini anda memasuki markas maksiat di negeri
ini. Kamu masih ingat kunci-kunci yang dulu saya berikan?”
“Oh, masih...”
“Antara lain?”
“Semua ini juga kehendak Allah, Jack...”
“Bagus! Apalagi?”
42
Seyyed Hossein Nasr, op. cit., h. 111 43
Ibn Miskawaih, op. cit., h. 45 44
Ma’rifat Imam dan Nandi Rahman, op. cit., h.36 45
Seyyed Hossein Nasr, op. cit., h. 117
61
“Kadang Allah menakdirkan hambaNya berbuat maksiat, dalam rangka
si hamba itu lebih dekat kepadaNya....”
“Asyik, apalagi....?
“Orang yang merasa aneh dengan kekuasaan Allah mengentas seorang
ahli maksiat, maniak dosa, menjadi kekasih Allah, berarti tidak paham
dengan kekuasaan Ilahi itu sendiri...”
“Jack memeluk si Gendut sekali lagi.46
Dialog di atas menerangkan tentang keberanian si Gendut untuk mengikuti
Jack masuk ke dalam dunia kemaksiatan yang ada di Jakarta. Dan disebutkan pula
pesan-pesan yang disampaikan Jack kepada Gendut sebelum mereka bertindak.
Sikap tenang ditampilkan di sini. Dengan penuh keyakinan dan kepasrahan
tanpa motif menguji iman Gendut dan Jack memasuki dunia kemaksiatan.
Tujuannya adalah membantu mereka yang ingin kembali ke jalan yang benar.
Mempunyai sikap yang tenang dalam konteks ini tidaklah mudah. Maka dari itu
Jack memberi nasehat kepada Gendut terlebih dahulu. Ketenangan akan diperoleh
dari sikap berani yang ditengarai oleh kearifan, menjaga kesucian diri dengan
sikap adil dalam diri sendiri. Tanpa itu, mereka tidak akan mampu
mengarunginya.
Selain sikap tenang, di sini juga ditampilkan sikap sabar. Sabar di sini
berbeda dengan sabar yang menjadi cabang dari sikap menjaga kesucian. Yang
dimaksud sabar bagian dari sifat berani adalah sabar yang berkaitan dengan hal-
hal yang menakutkan.47
Jack memberi gambaran tentang sabar dengan dialognya
sebagai berikut:
Dengan senyum yang membasuh seluruh ruang itu, Jack berkata tegas,
“Kalian semua jangan berhenti bekerja, jangan berhenti berprofesi.
Hanya karena ingin mendekati Allah, lalu anda berhenti meninggalkan
semuanya. Keinginan itu adalah hawa nafsu anda yang tersembunyi,
emosi anda yang tergesa-gesa. Biarlah Allah menakdirkan dan
memposisikan anda di mana, dan bagaimana saat ini. Kelak anda bisa
sangat dekat dengan Allah tanpa anda harus berhenti dari profesi anda.48
Dialog tersebut mempunyai pemahaman bahwa, kesabaran itu bukan
hanya bagaimana seseorang menahan untuk tidak melakukan hal yang dilarang.
46
Luqman Hakim, op. cit., h. 166 47
Ibn Miskawaih, op. cit., h. 48 48
Luqman Hakim, op. cit., h. 161
62
Namun, sabar juga berkaitan bagaimana cara yang benar untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Maka dari itu Jack memberi masukan untuk tidak tergesa-gesa
keluar dari pekerjaannya hanya karena merasa bahwa pekerjaannya dipandang
kurang baik, seperti menjadi penyanyi café, artis dan lain-lain. Memang
lingkungan yang ada dalam dunia tersebut dekat dengan hal-hal yang buruk.
Tetapi walaupun demikian janganlah merasa bahwa itu akan menjauhkan dari
Allah.
Dalam hidup ini banyak sekali pengalaman yang tidak semuanya
menyenangkan. Suatu bahaya besar jika kita mengalami kehidupan yang tidak
menyenangkan, kemudian menuduh Allah tidak adil, tidak berpihak kepada kita
dan meninggalkan kita. Itu adalah permulaan dari pesimisme kepada Tuhan, dan
juga merupakan kehilangan harapan kepada Allah.49
Oleh karena itu, Jack
mengatakan janganlah tergesa-gesa dalam hal melaksanakan perintahNya atau
menjauhi laranganNya, sebab jika kita tergesa-gesa itu hanya menuruti hawa
nafsu kita yang tersembunyi. Jika kita menurutinya, maka kita akan mengalami
permulaan yang salah yang akan mengakibatkan pesimisme dan putus harapan
kalau apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan harapan kita hanya karena
merasa sudah melaksanakan perintahNya dengan menjauhi laranganNya.
4. Keadilan (al-a‟dl)
Keadilan juga merupakan kebajikan jiwa yang timbul akibat menyatunya
tiga kebajikan di atas. Ketika tiga fakultas bertindak selaras dengan satu sama lain
dan tunduk pada fakultas melihat jiwa sehingga fakultas-fakultas tadi tidak
kontradiksi atau mengikuti keinginannya sendiri-sendiri atas dasar kecenderungan
tabiat-tabiatnya.50
Buah kebajikan ini adalah sikap yang mendorong orang
memilih selalu untuk adil pada dirinya dulu, dan kemudian adil pada orang lain
dan menuntut keadilan dari mereka. Seseorang tidak dapat dikatakan kesatria
apabila ia tidak adil. Seseorang tidak dapat disebut pemberani apabila ia tidak
mengetahui keadilan jiwa/dirinya dan mengarahkan semua indranya untuk tidak
mencapai tingkat nekat maupun pengecut. Sebagai contoh seorang hakim tidak
49
Sudirman Tebba, Orientasi sufistik Cak Nur, (Jakarta: Paramadina, 2004), h.150 50
Ma’rifat Imam dan Nandi Rahman, op. cit., h.38
63
akan memperoleh kearifan (al-hikmah), kalau ia tidak menegakkan keadilan
dalam berbagai pengetahuannya dan tidak menjauhkan diri dari sifat kelancangan
dan kedunguan. Dengan demikian manusia tidak akan disebut adil kalau ia tidak
mengetahui cara mengharmoniskan al-hikmah, al-syaja‟ah, dan al-iffah.51
Akhlak yang menjadi cabang dari sifat adil ini beraneka ragam sesuai
dengan konteksnya. Sikap adil seseorang bisa diaplikasikan dalam kehidupan
sosial, seperti bersikap baik dalam kerja sama, cinta kasih kepada sesama
manusia, jauh dari rasa dengki, dan masih banyak lagi.52
Adapun jenis akhlak keadilan yang ditampilkkan dalam novel ini adalah
sikap cinta kasih dengan cara menolong mereka yang tertindas oleh peradaban
modern ini. Berikut potongan dialognya:
Beberapa hari setelah Jack mengembalikan fitrah sang penjagal, kini
yang terbayang adalah anak-anak pelacur di pinggir rel kereta.
Sepanjang rel kota, di mana krisis ini menjadi sasaran kelas bawah para
penjaja cinta. Di situ bercampur baur pencopet kelas teri, persembunyian
pembunuh, para penjudi, tukang ojek, tukang becak, dan pemulung. Tak
satu pun manusia Jakarta yang menganggap mereka sebagai layaknya
manusia.
Sudah setahun silam, Jack memasuki daerah kumuh itu bersama Parjo.
Maka di sana ia kenal preman Dulimin, Oscor, dan si Kadal. Ia juga kenal
dengan germo Sumi dan seorang pelacur yang beranak pinak di mana-
mana.
Setiap kali Jack datang, ia menuju rumah Dulimin dan mampir di germo
Sumi. Jangan dikira masuk di daerah kumuh seperti itu gampang, Jack
melakukan proses interaksi yang lama penuh dengan hati-hati, dan
berhubungan dari hati ke hati pula. Mereka menganggap Jack preman
pula. Tapi preman berbaik hati.
Di bulan puasa ini kedatangan Jack selain membawa oleh-oleh sekedar
berbekal untuk buka puasa bagi masyarakat kumuh itu, Jack sedang
membawa kabar gembira bagi mereka. Yaitu wujud impian masa depan
mereka, yaitu anak-anak mereka. Anak-anak germo, anak pelacur, anak
preman, anak maling, anak pemulung, siapa yang memikirkan mereka?
Jack hanya geleng kepala pada penguasa negeri ini. Tapi Allah
menakdirkan bangsa ini memang demikian, diberi pemimpin dan menteri-
menteri koruptor. Demi sinisme Tuhan pada bangsa ini, yang katanya
mayoritas muslim. Tentu dengan cara Allah memberi pelajaran pada para
ulama, agar sadar bangkit kembali.
51
Suwito, op. cit., h. 117 52
Ibn Miskawaih, op. cit., h. 49
64
Massa di sana bertepuk tangan, sambil mencoba untuk mengerti apa yang
dimaksud Jack, dengan rumah baru, pondok baru, dan sekolah baru.
“Jadi mulai besok, bukan hanya orang kaya saja yang bisa menempati
villa mewah, bukan hanya pejabat saja yang punya villa indah di puncak.
Tapi kita semua kan punya…”
Suara gegap gempita disambut oleh anak-anak di sana. Lalu Jack
mengumpulkan pentolan-pentolan di sana, mendiskusikan nasib anak-
anak mereka. Dan Jack bercerita tentang seseorang yang telah bertaubat
mewakafkan villanya yang besar untuk pesantren dan pendidikan anak-
anak kumuh, anak-anak pelacur, yang tidak ingin bernasib seperti orang
tuanya. Pesantren gratis, dari uang yang selama ini dikumpulkan oleh si
penjagal, entah uang apa namanya.
Sepulang Jack pulang dari villa penjagal kemarin yang terbayang adalah
nasib anak-anak itu. Dan alhamdulillah, Tuhan memberi jalan keluar
yang tak terduga. Dalam sekejap ada pesantren anak-anak kumuh, dan
dalam sekejap mulai ada seseorang pemimpin pesantren mantan penjagal.
Tentu, si penjagal tidak duduk sebagai ustadz, tetapi cukup berhamburan
bersama anak-anak itu, ikut belajar mengaji.
Jack pun pamitan diiringi dengan rasa haru dan isak tangis. Anak-anak
yang tak berdosa itu seperti melepaskan seluruh pandangan matanya
untuk Jack. Dan Jack adalah harapan dan masa depan mereka.53
Apa yang dilakukan Jack dalam dialog di atas adalah usaha Jack dalam
menegakkan kedilan yang sesungguhnya, yakni berbuat adil kepada sesama
manusia dengan tujuan mencari kebenaran dan ridho Allah swt. Dalam Al-Qur’an
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya
53
Luqman Hakim, op. cit., h. 11-12
65
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah, ayat
8)54
Keadilan merupakan nilai akhlak yang timbul dari rasa kasih sayang.
Dengan berbuat adil berarti kita telah melakukan tindakan yang timbul dari rasa
kasih sayang kita terhadap sesama manusia. Sebelum dapat berbuat adil terhadap
orang lain, terlebih dahulu kita harus belaku adil terhadap diri sendiri. Gambaran
orang yang adil adalah berdiri di posisi tengah. Dalam arti tengah dalam
menjalankan hak dan kewajibannya.
Oleh karena itu, ketika Jack memutuskan melakukan dakwah dengan cara
tersebut itu berangkat dari rasa kasih sayang yang tinggi, sehingga apa yang
dilakukan Jack adalah bentuk keadilan yang ingin dia tunjukkan kepada sesama
manusia, bahwa di dalam kehidupan ini kita harus saling tolong-menolong dalam
hal kebaikan bahkan dalam kondisi yang tidak kita sukai sekalipun. Ayat di atas
dengan jelas mempunyai makna keadilan yang sebenarnya. Jika ada suatu
golongan yang tidak kita sukai mungkin karena mereka ahli maksiat atau mereka
beseberangan ideologi, itu jangan membuat kita tidak berlaku adil terhadapnya,
karena walau bagaimanapun kita adalah sama-sama manusia yang harus
menebarkan kasih sayang (rahmat Allah) dan wujudnya adalah dengan berbuat
adil kepada sesama manusia.
Jika melihat isi dialog tersebut dapat dipahami, bahwa mereka yang
tinggal di kawasan kumuh dan dekat dengan kejahatan dan keburukan, atau
mereka para elite yang kehilangan arah dengan berbuat keburukan, tidaklah
menjadi suatu penghalang bagi Jack untuk menolong mereka yang ingin kembali
ke jalan yang benar. Bagi Jack, rasanya sangatlah tidak adil jika mereka tidak
dihampiri oleh penempuh jalan Allah seperti dirinya. Mereka adalah yang perlu
dikasihani dan perlu ditolong, karena mereka telah kehilangan tujuan hidup yang
sebenarnya. Untuk melakukan hal ini pasti membutuhkan kesatriaan moral,
karena bisa jadi dia terjerumus, tapi juga bisa terjadi sebaliknya. Dan yang terjadi
adalah Jack bisa menolong mereka dan dia tidak terjerumus. Hal inilah yang
menurut peneliti kenapa Jack bisa melakukan hal tersebut, itu karena empat pokok
54
Depag, op. cit., h. 144
66
kebajikan yang diajarkan oleh Islam tentang kearifan, kesucian diri, keberanian,
dan keadilan tertancap pada diri Jack dengan suatu keyakinan pada Allah bahwa
pasti Allah akan membantunya.
Termasuk juga yang menjadi bagian dari adil adalah sifat bersahabat.
Bersahabat adalah cinta yang tulus, yang menyebabkan orang memperhatikan
masalah-masalah sahabatnya dan berbuat baik untuknya.55
Jack menampilkan
dialog tentang cara mencari sahabat yang baik. Karena, menurut Jack sahabat
yang baik akan mengantarnya kepada kebaikan pula. Berikut dialognya:
sebaliknya sama sekali tidak bisa disebut orang bodoh, jika seseorang
mampu mengekang hawa nafsunya, kepentingan dirinya, egoismenya, iri
dengkinya, walaupun ia tampak seperti orang bodoh, hakikatnya ia
adalah orang pandai. Karena betapa pun hebat ilmu seseorang,
sepanjang ia masih senang dengan hawa nafsunya, ia tidak akan pernah
menyelamatkan kita di dunia hingga akhirat.”
“Apa karakteristik hamba Allah yang bisa mengekang hawa nafsunya itu,
Bung?”
“Hamba Allah yang mampu mengekang hawa nafsunya, walaupun ia
bodoh, pasti memiliki tiga karakter: sadar dirinya, tawadhu‟ pada sesama,
mencari kebenaran dengan jujur. Menurut Ammar ra., jika tiga perkara
berkumpul pada diri seseorang, maka ia telah benar-benar
mengakumulasi keimanannya: Sadar diri, menyiramkan kedamaian bagi
semesta, dan menginfakkan hartanya walaupun ia miskin.”
Siapa yang bersahabat dengan manusia model ini, ia akan mendapatkan
tiga hal pula: meraih kebajikan-kebajikan tersebut sebagai anugerah,
karena seseorang itu sangat erat kaitannya dengan keyakinan agama
sahabat dekatnya. Ia juga meraih rasa ringan dalam hatinya, dan
menapatkan keselamatan dunia dan agamanya.56
Dialog di atas menggambarkan mana sahabat yang baik dan mana sahabat
yang buruk. Menurut Jack, itulah gambaran etika ketika berguru atau bersahabat
dengan seseorang, mestinya harus selektif agar berpengaruh positif dalam
keseharian kita. Jangan mencari guru atau sahabat yang masih menonjolkan
kepentingan dirinya sendiri. Hal itu sama sekali tidak patut untuk kita ikuti.
Akhlak yang termasuk kategori adil pada diri sendiri dengan memandang
bahwa kita hamba Allah adalah sikap tawadhu’. Sikap tawadhu’ pada dasarnya
55
Ibn Miskawaih, op. cit., h. 50 56
Luqman Hakim, op. cit., h. 76
67
adalah sikap adil terhadap diri sendiri. Tidak merasa tinggi (takabbur) dan tidak
merasa rendah (rendah diri). Jika seseorang bisa tawadhu’ pada dirinya, maka ia
bisa bersikap tawadhu’ pada orang lain, yakni tidak memandang orang lain lebih
rendah dari dirinya. Berikut dialog yang menggambarkan sikap tawadhu’ pada
Allah sebagai cerminan tawadhu’ pada diri sendiri:
Apakah anda juga masih menuntut sesuatu dari Allah? Ini sungguh tidak
sopan, tidak etis, dan tidak punya adab di hadapan Allah, karena Anda
pasti tidak yakin kepada Allah, karena anda pasti sangat mencurigai
Allah. Apa modal kita, bekal kita, prestasi amal kita, sehingga kita punya
hak menuntut Allah? Padahal kita tidak pernah memiliki modal, tak
pernah berbuat, tak pernah membuat bekal. Sebab yang menggerakkan
kepatuhan, amal, taat, ibadah kita itu, Allah juga!57
Kita adalah makhluk ciptaan Allah yang dihidupkan dan dimatikan
olehNya. Kita dapat berbuat baik itu semata-mata karena karunia Allah. Jika
keinginan kita tak sesuai dengan kehendakNya, maka tak pantas menuntutNya
agar sesuai dengan keinginan kita. Itu adalah bentuk sikap tidak patuh kepadaNya.
Salah satu akhak mulia yang menjadi fokus perhatian kaum sufi adalah
tawadhu’. Mereka antusias untuk menerapkannya pada diri mereka sebagai bentuk
peneladananan Rasulullah yang merupakan model utama kaum mu‟min dalam
masalah tawadhu’. Tawadhu’ merupakan perilaku mulia di antara dua perilaku
nista, atau tengah-tengah antara sombong dan rendah hati. As-Suhrawardi
mengatakan: “Tawadhu’ sesungguhnya adalah menjaga keseimbangan antara
sikap tinggi hati (al-kibr) dan rendah hati (ad-dhi‟ah). Tinggi hati berarti
meninggikan diri melebihi kadarnya, sementara rendah hati berarti menempatkan
diri pada posisi yang membuatnya dicemooh dan bisa berakibat pada penyia-
nyiaan haknya.58
Rasulullah telah memberi arahan agar bersikap moderat dalam
bertawadhu’, yakni tidak berlebih-lebihan dalam merendahkan diri yang bisa
membuatnya direndahkan atau dilecehkan. Beliau bersabda: “berbahagialah orang
57
Ibid, h. 192 58
Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 330
68
yang merendahkan diri tanpa membuatnya terlecehkan dan orang yang
menghinakan diri tanpa membuatnya sengsara”.59
59
Ibid, h. 332
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil kajian yang dilakukan peneliti mengenai kandungan nilai-nilai
pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman
Hakim, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi
karya Muhammad Luqman Hakim digambarkan melalui perilaku para tokoh yang
berperan di dalam novel tersebut. Dilihat dari ruang lingkupnya, nilai-nilai
pendidikan akhlak tasawuf tersebut menggambarkan nilai kearifan (al-hikmah),
menjaga kesucian (al-iffah), keberanian (al-syaja’ah), dan keadilan (al-‘adl).
Nilai kearifan yang ditunjukkan pada novel ini meliputi ketajaman intelegensi,
kejernihan berfikir. Kemudian nilai menjaga kesucian meliputi dermawan, wira’i,
kesabaran, keteguhan hati. Adapun nilai keberanian meliputi tenang, sabar.
Kemudian yang terakhir mengenai nilai adil meliputi cinta kasih, bersahabat, dan
tawadhu’. Dari kesemua nilai yang telah disebutkan yang menjadi titik
penilaiannya adalah nilai tanggung jawab kemanusiaan sebagai hamba Allah dan
sebagai mahkluk yang saling tolong menolong.
Kedua, novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim merupakan
jenis novel populer metropop yang dikemas dengan kalimat yang mudah
dimengerti. Novel ini menceritakan perjalanan seorang pemuda bernama Jack
(nama samaran) yang telah lama menempuh studi tasawuf di berbagai negara.
70
Namun, setelah kembalinya dia ke Indonesia, bukannya dia berdakwah di
pesantren-pesantren padahal dia mempunyai pesantren. Tetapi malah yang dia
lakukan adalah berdakwah kepada mereka yang terpinggirkan oleh kehidupan
peradaban modern. Maka tak jarang dia berdakwah di wilayah yang mungkin
dianggap kotor alias tempat maksiat. Cara Jack mengajak mereka untuk kembali
ke jalan yang benar tentu dengan caranya sendiri. Yang pasti cara dia bukan
dengan kekerasan. Dia punya teman bernama Susi dan si Gendut yang selalu
menemaninya. Sungguh menarik ketika mengikuti perjalanan ceritanya.
B. Implikasi
Penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain yang relevan dan
memiliki hubungan positif. Implikasi tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Implikasi teoritis
a. Membuka wawasan akan beragamnya novel yang dapat digunakan
sebagai media pembelajaran.
b. Membuka peluang dilakukannya penelitian-penelitian tentang nilai
pendidikan Islam.
2. Implikasi paedagogis
Novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim digunakan sebagai
media pembelajaran novel yang isinya dapat dipahami dan banyak
mengandung nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf.
3. Implikasi praktis
a. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
penelitian pendidikan, sehingga peneliti lain akan termotivasi untuk
melakukan penelitian yang nantinya dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk lebih
mencermati media pembelajaran yang tepat bagi siswa.
71
C. Saran
1. Mengenai eksistensi novel, sudah sepantasnya penulis novel atau karya
sastra lainnya, mempertimbangkan nilai-nilai pendidikan khususnya
pendidikan akhlak tasawuf yang bisa disumbangkan kepada
masyarakat luas dan bukan mempertimbangkan selera pasar atau trend.
Karena sangat jarang sekali novel yang berisi tentang akhlak tasawuf
dan dalam beberapa tahun terakhir banyak bermunculan novel atau
karya sastra yang sangat jauh dari unsur mendidik, sebab
bagaimanapun karya sastra terutama novel yang banyak diminati oleh
seluruh lapisan masyarakat, terlebih lagi dari kalangan remaja yang
merupakan cikal bakal pemimpin bangsa.
2. Bagi para pembaca. Hikmah yang dapat diambil dari nilai-nilai
pendidikan akhlak tasawuf yang terkandung dalam novel Jack and Sufi
karya Muhammad Luqman Hakim. Novel ini banyak memberikan
kontribusi kepada seluruh pembaca, khususnya umat Islam untuk
mengamalkan dan mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak
tasawuf dalam kehidupan masyarakat yang semakin modern dan
pragmatis.
3. Hendaknya para pendidik di sekolah menganjurkan para peserta
didiknya untuk melengkapi bahan bacaan mereka dengan bacaan yang
edukatif. Secara lebih konkret, misalnya, dengan menyediakan buku-
buku yang dimaksud di perpustakaan sekolah sehingga para peserta
didik dapat membacanya.
4. Kemudian melalui lembaga pendidikan formal dapat menanamkan
nilai-nilai akhlak tasawuf kepada anak didik sehingga tercermin pola
pikir, tingkah laku, dan kepribadiannya dalam masyarakat. Dan dapat
merespon fenomena kemasyarakatan dengan cara mengedepankan
kedamaian, kenyamanan dan keadilan di masyarakatnya.
5. Hendaknya dilakukan apresiasi sastra dalam proses belajar mengajar
khususnya pada pendidikan agama Islam, agar murid terbiasa
mengambil hikmah pada setiap buku cerita yang telah dia baca.
72
6. Bagi peneliti selanjutnya. Kajian tentang nilai-nilai pendidikan akhlak
tasawuf dalam novel ini belum dikatakan sempurna, karena
keterbatasan waktu, metode serta pengetahuan dan ketajaman analisis
yang peneliti miliki, untuk itu besar harapan penulis, akan ada banyak
peneliti-peneliti baru yang berkenan untuk mengkaji ulang novel Jack
and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim.
73
DAFTAR PUSTAKA
Ardani, M., Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak dalam Ibadah dan Tasawuf,
Jakarta: Mitra Cahaya Utama, 2005.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ Ulum al-Din, Kairo: Dar al-Kutub al_Arabiyyah,
tt.
Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Oleh
A.R. Ustman, Bandung: Mizan, 1985.
Anwar, Kaha, Resensi Buku Jack & Sufi; Sufisme di Remang-Remang Jakarta,
www.wisata-buku.com, 12 Desember 2012
Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. IV, 2000.
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu akhlak). Jakarta: Bulan Bintang, cet VII, 1993
Bisri, Musthofa, Lukman Hakim MA: “Kalau Tidak Ada “Kebinatangan”, Ya
Tidak Ada Politik”, http://www.gusmus.net. 12 Desember 2012
Bitstream, Pengertian Novel, http://repository.usu.ac.id, 10 september 2013
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Solo: Qomari Prima Publisher, 2007.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Semarang: CV. Toha Putra,
1989.
Djamaluddin, Reorientasi Pembelajaran Akhlak Tasawuf di Perguruan Tinggi,
Tadris Volume 3. Nomor 1. 2008.
Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: Buku Seru,
2013.
Fakultas Bahasa dan Seni, Estetika Sastra, Seni, dan Budaya, Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta, 2008.
74
Ghibran, Ibnu, Resensi Jack and Sufi; Celoteh Kecil Kaum Kusam,
http://www.ibnugibran.wordpress.com, 12 Desember 2012
Haryadi, Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa, Makalah
disampaikan pada Seminar Pendidikan IKIP Yogyakarta, 13 Juni 2011
Hasan, Fuad, Dasar-dasar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Hendy, Zaidan, Kasusastraan Indonesia Warisan yang Perlu Diwariskan 2.
Bandung: Angkasa,1993
Hajjaj, M. Fauqi, Tasawuf Islam dan akhlak, Jakarta: Amzah, 2011.
Hossein Nasr, Sayyed, The Garden of Truth:Mereguk Sari Tasawuf, Terj. dari The
Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical
Tradition. terj. Oleh Yuliani Liputo, Bandung: Mizan, 2010.
Hakim, M. Luqman, Jack and Sufi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, cet. IV, 2004.
Ismail, Taufik, Generasi Nol Buku, http://www.kompas.com , 1 september 2013.
Irfan, Mohammad dan HS, Mastuki, Teologi Pendidikan, tt. P: Friska Agung
Insani, 2000.
Imam, M. Ma’rifat dan Rahman, Nandi, Ibadah Akhlak, Tinjauan Eksetoris dan
Esoteris, Jakarta: Uhamka Press, 2002
Jumantoro Totok dan Amin, Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo:
Amzah, 2005.
Khalil, Ahmad, Merengkuh Bahagia, Dialog Al-Qur’an, Tasawuf dan Psikologi,
Malang: UIN Malang Press, 2007
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologi, Filsafat
dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986.
75
Mas’ud, Bulqia, Sastra dan Pembentukan Karakter,
http//www.edukasi.kompasiana.com, 11 Juli 2013.
Mutthahhari, Murtadha, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, Jakarta:
Sadra Press, 2011.
____________________, dan Thabathaba’i, Muhammad Husain, Menapak Jalan
Spiritual, terj. Oleh MS, Nasrullah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Matta, M. Anis, “Seni Islam: Format Estetika dan Muatan Nilai”, dalam Aswab
Mahasin (ed.), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Jakarta: Yayasan
Festival Istiqlal, Bina Rena Pariwara, 1996.
Mujib, M. Abdul dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Ghozali, Jakarta: Mizan, 2009.
Muslim, Sakhih Muslim, jilid I Isa Babi al-Halabi, Mesir, tt.
Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan: Komponen MKDK, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, cet. IV, 2004
Miskawaih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. dari Tahdzibu al-Akhlak
oleh Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1998.
Munawwar, Said Aqil, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta:
Ciputat Press, 2002.
Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2005.
Nurhayati, Suhardini, Sastra dan Pendidikan Karakter, httpwww.malang-
post.com, 11 september 2103
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Nasution, Harun, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, cet
III, 1995.
76
Prodotokusumo, Partini Sardjono, Pengkajian Sastra, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Purwanto, M Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja
Karya, 1986
Rosyadi, Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba, Jakarta: CV Dewi Sri, 1995.
Salam, H. Syamsir dan Aripin, Jaenal, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: UIN
Jakarta Press, cet. I, 2006
Sahabat Bersama, Pengertian Novel, http://Sobatbaru. Blogspot.com, 2013
Siroj, Said Aqil, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Bandung: Mizan, 2006.
Setiadi, M Elly, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2006.
Sumardjo, Jakob, Memahami Kesastraan, Bandung: Alumni, tt
Septiningsih, Lustantini, Mengoptimalkan Peran Sastra dalam Pembentukan
Karakter Bangsa, httpwww.KementerianPendidikandan Kebudayaan.com,
12 september 2013
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, cet. IV, 1997
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, Yogyakarta: Belukar, 2004.
Suseno, Frans Magnis, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanusius, 1987.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan Rnd, Bandung :
Alfabeta, 2008.
Suyanto, Bagong & Sutinah (eds.). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan, Jakarta: Kencana. cet. ke-3, 2007
Syukur, Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
77
Tebba, Sudirman, Orientasi Sufistik Cak Nur, Jakarta: Paramadina, 2004.
Tilaar, HAR,. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2002.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia 1998.
Undang-undang Tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya,
Yogyakarta: CV. Tamita Utama, 2004.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI, No. 22 tahun. 2003,
Bandung: Citra Umbara, 2003.
Widjoko dan Hidayat, Endang, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, Bandung:
Upi Press, cet. I, 2006.
Yuliono, Novel Metropop, Kebaruan dalam Novel Popular,
httpwww.goodreads.com, 11 septemper 2013
Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara,
cet. I, 1991.