saksi wajib hadir di

6
SAKSI WAJIB HADIR DI PERSIDANGAN 1. Latar Belakang Permasalahan Ada suatu fenomena yang sering Penulis alami selama bertugas menyidangkan perkara tindak pidana perjudian di Pengadilan Negeri Blitar. Fenomena tersebut adalah adanya kecenderungan keterangan saksi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di tingkat penyidikan yang dibacakan dalam persidangan. Jadi dalam hal ini Saksi-Saksi dalam perkara perjudian tidak pernah didengar keterangannya, dikarenakan jaksa yang bersangkutan tidak mampu menghadirkan saksi- saksi tersebut ke persidangan, sehingga keterangan saksi-saksi yang diberikan dalam BAP di tingkat penyidikan dibacakan dalam persidangan. Padahal hampir semua Saksi-Saksi dalam perkara perjudian adalah dari pihak kepolisian yaitu orang yang telah melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana perjudian. Saksi-Saksi yang notabene adalah Polisi seharusnya lebih melek hukum dan lebih taat hukum dibandingkan dengan Saksi-Saksi dari kalangan masyarakat awam. Di dalam persidangan seringkali terungkap bahwa ketidakhadiran saksi-saksi dalam perkara perjudian tersebut tanpa didasari atas alasan yang jelas atau sah. Sebagai seorang penegak hukum seharusnya Polisi-Polisi yang menjadi Saksi tersebut hadir ke persidangan guna didengar keterangannya. Rasanya kurang adil jika Saksi- Saksi dalam perkara lain wajib hadir namun dalam perkara perjudian seolah-olah Saksi tak perlu hadir ke persidangan. Pasal 224 KUHP pada pokoknya mewajibkan seseorang wajib hadir jika dipanggil sebagai Saksi dengan ancaman hukuman 9 tahun bagi Saksi yang dengan sengaja tidak memenuhi panggilan tersebut. Tanpa kehadiran seorang Saksi_Saksi dalam perkara perjudian di Pengadilan Negeri Blitar, tentunya hal ini akan mengurangi tingkat kebenaran material (legalitas) sebagaimana tujuan dari proses pemeriksaan perkara pidana itu sendiri. Menurut Pasal 185 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP) disebutkan bahwa “Keterangan saksi sebagai alat bukti apa yang saksi nyatakan dalam sidang”. Dari ketentuan tersebut di atas apabila ditafsirkan secara a contrario berarti keterangan seorang saksi dapat dijadikan alat bukti yang sah bukan apa yang saksi nyatakan dalam BAP di tingkat penyidikan, melainkan apa yang saksi nyatakan dalam sidang di pengadilan. Fenomena tersebut di atas anehnya seringkali hanya terjadi pada kasus-kasus perjudian di Pengadilan Negeri Blitar; 2. Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah: “Apakah keterangan seorang saksi dalam BAP dapat atau boleh dibacakan di persidangan apabila saksi tersebut tidak hadir dalam persidangan” 3. Pembahasan Proses pembuktian perkara pidana adalah untuk mencari tahu apakah benar telah terjadi tindak pidana dan untuk mencari tahu apakah benar terdakwa-lah yang bersalah. Pembuktian yang dimaksud harus dilakukan di sidang pengadilan untuk menguji kebenaran dari isi surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang- undang. Menurut pasal 184 (1) KUHAP alat-alat bukti yang sah adalah: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa. Alat bukti yang telah disebutkan diatas salah satunya adalah keterangan saksi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 (1) huruf a KUHAP. Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Dari pengertian keterangan saksi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang bersifat pendapat, hasil rekaan, dan keterangan yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) bukan merupakan keterangan saksi, sehingga tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat dikatakan sah adalah: a. Syarat formil 1. seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik sebelum maupun setelah memberikan keterangan (Pasal 160 ayat 3 dan 4 KUHAP); 2. seorang saksi telah mencapai usia dewasa yang telah mencapai usia 15 tahun atau lebih atau sudah menikah. Sedangkan orang yang belum mencapai usia 15 tahun atau belum menikah dapat memberikan keterangan tanpa disumpah dan dianggap sebagai keterangan biasa (Pasal 171 butir a KUHAP); b. Syarat materil 1. melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu persitiwa pidana (Pasal 1 butir 26 atau 27 KUHAP); 2. seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari kesaksiannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP); 3. keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Asas ini terkenal dengan sebutan asas unus testis nulus testis (Pasal 185 ayat 2 KUHAP). Sedangkan satu syarat terpenting menurut Pasal 185(1)KUHAP “keterangan

Upload: muhammad-firmansyah-sh

Post on 19-Jun-2015

1.341 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Saksi Wajib Hadir Di

SAKSI WAJIB HADIR DI PERSIDANGAN1. Latar Belakang Permasalahan Ada suatu fenomena yang sering Penulis alami selama bertugas menyidangkan perkara tindak pidana perjudian di Pengadilan Negeri Blitar. Fenomena tersebut adalah adanya kecenderungan keterangan saksi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di tingkat penyidikan yang dibacakan dalam persidangan. Jadi dalam hal ini Saksi-Saksi dalam perkara perjudian tidak pernah didengar keterangannya, dikarenakan jaksa yang bersangkutan tidak mampu menghadirkan saksi-saksi tersebut ke persidangan, sehingga keterangan saksi-saksi yang diberikan dalam BAP di tingkat penyidikan dibacakan dalam persidangan.Padahal hampir semua Saksi-Saksi dalam perkara perjudian adalah dari pihak kepolisian yaitu orang yang telah melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana perjudian. Saksi-Saksi yang notabene adalah Polisi seharusnya lebih melek hukum dan lebih taat hukum dibandingkan dengan Saksi-Saksi dari kalangan masyarakat awam. Di dalam persidangan seringkali terungkap bahwa ketidakhadiran saksi-saksi dalam perkara perjudian tersebut tanpa didasari atas alasan yang jelas atau sah. Sebagai seorang penegak hukum seharusnya Polisi-Polisi yang menjadi Saksi tersebut hadir ke persidangan guna didengar keterangannya. Rasanya kurang adil jika Saksi-Saksi dalam perkara lain wajib hadir namun dalam perkara perjudian seolah-olah Saksi tak perlu hadir ke persidangan.Pasal 224 KUHP pada pokoknya mewajibkan seseorang wajib hadir jika dipanggil sebagai Saksi dengan ancaman hukuman 9 tahun bagi Saksi yang dengan sengaja tidak memenuhi panggilan tersebut. Tanpa kehadiran seorang Saksi_Saksi dalam perkara perjudian di Pengadilan Negeri Blitar, tentunya hal ini akan mengurangi tingkat kebenaran material (legalitas) sebagaimana tujuan dari proses pemeriksaan perkara pidana itu sendiri.Menurut Pasal 185 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara PidanaKUHAP) disebutkan bahwa “Keterangan saksi sebagai alat bukti apa yang saksi nyatakan dalam sidang”. Dari ketentuan tersebut di atas apabila ditafsirkan secara a contrario berarti keterangan seorang saksi dapat dijadikan alat bukti yang sah bukan apa yang saksi nyatakan dalam BAP di tingkat penyidikan, melainkan apa yang saksi nyatakan dalam sidang di pengadilan.Fenomena tersebut di atas anehnya seringkali hanya terjadi pada kasus-kasus perjudian di Pengadilan Negeri Blitar;2. Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah:“Apakah keterangan seorang saksi dalam BAP dapat atau boleh dibacakan di persidangan apabila saksi tersebut tidak hadir dalam persidangan”3. Pembahasan Proses pembuktian perkara pidana adalah untuk mencari tahu apakah benar telah terjadi tindak pidana dan untuk mencari tahu apakah benar terdakwa-lah yang bersalah. Pembuktian yang dimaksud harus dilakukan di sidang pengadilan untuk menguji kebenaran dari isi surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.Menurut pasal 184 (1) KUHAP alat-alat bukti yang sah adalah:a. Keterangan saksib. Keterangan ahlic. Suratd. Petunjuke. Keterangan terdakwa.Alat bukti yang telah disebutkan diatas salah satunya adalah keterangan saksi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 (1) huruf a KUHAP. Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.Dari pengertian keterangan saksi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang bersifat pendapat, hasil rekaan, dan keterangan yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) bukan merupakan keterangan saksi, sehingga tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat dikatakan sah adalah:a.   Syarat formil

1. seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik sebelum maupun setelah memberikan keterangan (Pasal 160 ayat 3 dan 4 KUHAP);

2. seorang saksi telah mencapai usia dewasa yang telah mencapai usia 15 tahun atau lebih atau sudah menikah. Sedangkan orang yang belum mencapai usia 15 tahun atau belum menikah dapat memberikan keterangan tanpa disumpah dan dianggap sebagai keterangan biasa (Pasal 171 butir a KUHAP);

b.   Syarat materil 1. melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu persitiwa pidana (Pasal 1 butir 26 atau 27 KUHAP); 2. seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari kesaksiannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP); 3. keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Asas ini terkenal dengan sebutan asas unus

testis nulus testis (Pasal 185 ayat 2 KUHAP). Sedangkan satu syarat terpenting menurut Pasal 185(1)KUHAP “keterangansaksi sebagai alat bukti (yang sah) ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.Pada prinsipnya menjadi seorang saksi merupakan suatu kewajiban hukum (legal obligation) bagi setiap orang. Akan tetapi, undang-undang memberikan pengecualian dibebaskannya kewajiban menjadi saksi misalnya seorang yang masih dibawah umur (belum berumur 15 tahun) dan seorang yang hilang ingatan atau menurut istilah Yahya Harahap mereka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Mereka inilah yang tidak wajib menjadi saksi atau boleh memberikan keterangan tidak dibawah sumpah.Disamping itu seseorang yang dapat dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi karena adanya hubungan darah(keluarga) atau perkawinan (semenda) dengan terdakwa. Orang-orang ini tidak dapat didengar keterangannya atau dapat mengundurkan diri sebagai saksi.   Adapun orang-orang tersebut adalah:

1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa

2. Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak (bibi atau paman dari terdakwa), juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara keponakan)terdakwa sampai derajat ketiga

3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Dengan demikian seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok diatas wajib memberikan keterangan apabila diminta menjadi saksi. Akan tetapi, menurut Pasal 169 ayat 1 KUHAP tersirat bahwa mereka yang dimaksud dalam Pasal 168 dimungkinkan untuk dapat menjadi saksi apabila jaksa, terdakwa, dan mereka sendiri secara tegas menyetujui untuk memberikan keterangan di bawah sumpah. Namun apabila ketiga golongan tersebut tidak setuju untuk memberikan kesaksian, hakim berdasarkan kewenangan yang ada padanya dapat memutuskan untuk mendengarkan keterangan mereka tanpa disumpah dan keterangannya hanya dianggap sebagai keterangan biasa guna menambah keyakinan hakim.Apabila seseorang yang menolak untuk memberikan keterangan kesaksian di depan persidangan walaupun telah dipanggil secara sah, kepadanya dapat dapat dikenakan tuntutan pidana berdasarkan undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya dengan seorang ahli.Adapun undang-undang yang dimaksud adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat dijadikan dasar penuntutan bagi seorang saksi yang menolak hadir di depan sidang pengadilan, seperti Pasal 216 (1), Pasal 224, 522 KUHP. Hakim mempunyai kewenangan untuk menentukan penting atau tidaknya saksi yang hadir dalam persidangan. Disamping itu juga hakim berwenang memutuskan untuk melanjutkan atau menunda pemeriksaan sidang. Apabila pemeriksaan perkara ditunda, maka hakim akan memerintahkan jaksa untuk memanggil kembali saksi yang bersangkutan dan membawanya ke depan sidang pengadilan(159 ayat 2 KUHAP).Apabila keterangan Saksi di tingkat penyidikan diberikan di bawah sumpah, maka keterangannya dianggap mempunyai nilai yang sama dengan keterangan saksi yang diberikan dibawah sumpah. Sedangkan keterangan yang diberikan tidak di bawah sumpah, maka

Page 2: Saksi Wajib Hadir Di

keterangannya tersebut hanya bernilai sebagai keterangan biasa yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian, namun dapat digunakan sebagai keterangan yang dapat digunakan untuk menguatkan keyakinan hakim, jika dihubungkan atau didukung dengan alat bukti lainnya.Pada bagian awal tulisan ini telah dikemukakan bahwa tulisan ini pada pokoknya didasarkan pada pengalaman sehari-hari penulis sebagai hakim di Pengadilan Negeri Blitar yang menangani perkara pidana, khususnya dalam perkara tindak pidana perjudian. Jadi dalam tulisan ini dititikberatkan atau difokuskan pada permasalahan saksi-saksi dalam perkara tindak pidana perjudian dimana Saksi-Saksi tersebut tidak pernah dihadirkan di persidangan, namun keterangannya dibacakan di persidangan.Pada hakikatnya KUHAP menganut prinsip keharusan menghadirkan saksi-saksi di persidangan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 185 (1) KUHAP yang intinya menyatakan bahwa keterangan saksi dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila dinyatakan dalam sidang pengadilan. Akan tetapi, pasal 162 (1) KUHAP sendiri memberi pengecualian apabila saksi-saksi yang telah memberikan keterangan dalam BAP di tingkat penyidikan tidak dapat hadir karena :1.  meninggal dunia atau karena ada halangan yang sah atau karena2.  tempat tinggal atau kediamannya jauh dari tempat sidang atau karena3.  adanya tugas atau kewajiban dari negara yang dibebankan kepadanya.maka keterangan yang telah diberikannya di tingkat penyidikan tersebut dapat atau boleh dibacakan di persidangan.Dalam praktek peradilan di Pengadilan Negeri Blitar pada saat tuntutan jaksa penuntut umum dibacakan, pada umumnya ditegaskan “bahwa saksi-saksi dalam perkara tindak pidana perjudian tersebut sudah dilakukan pemanggilan secara patut sebanyak 3 kali, namun yang bersangkutan tanpa alasan tidak dapat hadir di persidangan, sehingga berdasarkan Pasal 162 ayat 1 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, keterangan para saksi tersebut dapat dibacakan di persidangan”.Dengan melihat adanya kalimat “tanpa alasan tidak hadir di persidangan” sebenarnya kalimat tersebut bertentangan dengan Pasal 162 (1) KUHAP itu sendiri dimana dalam pasal tersebut harus ada salah satu alasanketidakhadiran saksi-saksi yang bersangkutan.Dengan demikian sebenarnya dari saksi-saksi yang tidak hadir dalam persidangan perkara perjudian tersebut, keterangannya tidak dapat dibacakan dalam persidangan karena dianggap tidak memenuhi salah satu alasan yang sudah ditentukan dalam Pasal 162 (1) KUHAP. Adanya ketentuan pasal 162 (1) KUHAP seharusnya menjadi perhatian serius bagi Jaksa yang menangani kasus-kasus perjudian tersebut.Disamping itu dalam BAP di tingkat penyidikan ditemukan pula bahwa keterangan Saksi-Saksi pada saat Saksi-Saksi tersebut memberikan keterangan di tingkat penyidikan tidak di bawah sumpah. Pasal 162 (2) KUHAP menentukan bahwa apabila keterangan saksi di BAP(penyidikan) diberikan di bawah sumpah, maka keterangannya memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sama dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang pengadilan.Semua perkara tindak pidana perjudian yang Penulis sidangkan di Pengadilan Negeri Blitar Saksi-Saksi-nya tidak pernah dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Ketika Penulis tanyakan kepada Jaksa Penuntut Umum alasannya hanya karena kebiasaan saja yang memang sudah demikian adanya sejak dulu.Penulis-pun tidak dapat berbuat banyak jika ternyata Jaksa Penuntut Umum menganggap bahwa surat dakwaannya sudah cukup terbukti sehingga Jaksa Penuntut Umum menganggap tidak perlu menghadirkan Saksi-Saksi ke depan persidangan.Sebagai seorang Hakim sebenarnya Penulis bisa saja membebaskan Terdakwa namun mengingat Terdakwa sudah pernah ditahan, Terdakwa mengakui terus terang perbuatannnya, Terdakwa mengaku bersalah dan ada barang bukti-nya maka tidak ada jalan lain kecuali Penulis harus menghukum Terdakwa tersebut meskipun sebagai Hakim, Penulis cukup kecewa  karena menghukum Terdakwa tanpa kehadiran satu orang Saksi-pun.Rasanyapun juga tidak adil mengingat menjadi Saksi itu sebenarnya adalah suatu kewajiban sebagai warga negara atau masyarakat sedangkan Polisi yang menjadi Saksi tidak pernah dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum ke depan persidangan;Seolah-olah hanya masyarakat awam saja yang diwajibkan menjadi Saksi, sedangkan Polisi sebagai penegak hukum yang menjadi Saksi dalam perkara tindak pidana perjudian justru tidak pernah hadir di persidangan;4.KesimpulanBerdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Walaupun dalam proses pembuktian menganut prinsip adanya keharusan menghadirkan saksi-saksi di persidangan. Akan tetapi, hal tersebut bukan hal yang mutlak, sehingga keterangan saksi-saksi yang tidak dapat hadir boleh atau dapat dibacakan di persidangan apabila memenuhi salah satu alasan yang disebutkan dalam Pasal 162 (1) KUHAP. Dengan demikian seharusnya ketidakhadiran saksi-saksi dalam perkara perjudian ini harus dicari alasan ketidakhadirannya apakah memenuhi salah satu alasan yang disebutkan dalam Pasal 162 (1) KUHAP atau tidak.

2. Keterangan saksi-saksi yang dibacakan di persidangan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan sebelumnya di proses penyidikan diberikan di bawah sumpah. Oleh karena keterangan saksi-saksi dalam perkara perjudian di PN Blitar tidak di diberikan dibawah sumpah, maka keterangannya yang dibacakan dianggap bukan merupakan alat bukti.

3. Dalam perkara tindak pidana perjudian, penyidik seharusnya menekankan pertanyaan kepada saksi-saksi yang diperiksanya apakah mereka akan hadir di persidangan atau tidak. Kalau mereka diduga tidak akan hadir di persidangan nanti, maka mereka seharusnya diperiksa di bawah sumpah. Hal ini untuk menghindari lemahnya nilai pembuktian keterangan saksi yang dimaksud apabila keterangannya nanti dibacakan di persidangan.

5. SaranPermasalahan ketidakhadiran Saksi di persidangan dalam perkara tindak pidana perjudian di Pengadilan Negeri Blitar, seharusnya menjadi perhatian serius bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi polisi dan jaksa penuntut umum sebagai pihak yang bertugas membuktikan kesalahan terdakwa. Kalau permasalahan ini terus menerus terjadi, maka dikhawatirkan legalitas keterangan saksi yang dibacakan di persidangan menjadi lemah karena dianggap tidak memiliki nilai pembuktian.Blitar, 20 Desember 2008

Alat bukti kuatMerujuk Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi merupakan alat bukti nomor wahid. Artinya keterangan saksi merupakan alat bukti terkuat di persidangan.  Hanya saja, menurut pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, kekuatan pembuktiannya masih tergantung pada kualitas saksi. Keterangan saksi korban merupakan alat bukti yang paling kuat. Karena dia mendengar, melihat dan mengalami sendiri, jelasnya. Kalau tidak demikian harus dibarengi alat bukti lain, seperti surat, keterangan ahli, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sehingga hakim bisa yakin, tegas pria bergelar doktor ini.  Keterangan saksi semakin bernilai kuat apabila disampaikan di pengadilan. Karena ada pengujian silang tuturnya. Sedangkan keterangan yang tidak diberikan dalam persidangan kekuatan pembuktiannya lebih rendah. Meskipun ketika penyidikan keterangannya diberikan di atas sumpah, tuturnya.  Dengan demikian, jika bertentangan dengan kesaksian yang diberikan di pengadilan, maka keterangan itu tidak bisa digunakan. Kalau mendukung, tanpa dikutip sekalipun tidak masalah, tutunya.  Menurut Mudzakkir, untuk perkara yang berat dan menarik perhatian, seperti korupsi, seandainya saksi tidak bisa diperiksa di pengadilan, maka hakim bisa menerobosnya dengan dengan melakukan teleconference. Sedang, jika saksi sakit, hakim bisa mendatangi saksi tersebut untuk meminta keterangan. Alasan jauh sehingga tidak bisa memberikan keterangan, menurut Muzakir tergantung seberapa besar saksi bisa hadir atau tidak. Kalau sudah dibiayai negara maka saksi harus hadir, tegasnya.

Page 3: Saksi Wajib Hadir Di

 Kalau tetap tidak hadir, maka saksi bisa dipanggil secara paksa. Namun sekali lagi, Mudzakir mengingatkan, asal keterangan saksi sangat menentukan ada tidaknya tindak pidana. Kalau tidak terlalu penting, cukup dipertimbangkan keterangannya, terangnya.

INTISARIPENYELENGGARAAN SIDANG PENGADILAN DENGAN METODETELECONFERENCEDITINJAU DARI ASPEK HUKUM PEMBUKTIAN(Studi Kasus Perkara Pidana No. 354/PID/B/2002/PN.JAK-SEL.)Oleh:Lalu Mariyun, Mustafa, dan Nindyo PramonoPenelitian dan penuangannya dalam tesis sesuai judul tersebut dilakukan mengingat penyelenggaraan sidang pengadilan dengan metode teleconference merupakan al yang tergolong cukup baru dalam dunia peradilan di Indonesia, sehingga belum ada pengaturannya dalam KUHAP. Menurut hemat penulis, Pemerintah dan Badan Legislatif harus segera membuat Undang-undang Hukum Acara Pidana yang mengakomodir keberadaan alat bukti elektronik, atau melakukan revisi terhadap pasal 184 ayat 1 KUHAP, dan jika belum dapat dilakukan maka solusi lain adalah Mahkamah Agung dapat mengeluarkan SEMA tentang pemeriksaan saksi melalui metode teleconference. Penggunaan teleconference sebagai sarana penunjang dalam persidangan, dapat dipandang sebagai suatu langkah maju kearah perubahan (yang lebih mengakomodir pemenuhan kebutuhan rasa keadilan masyarakat) yang sepadan dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat di Indonesia dan dunia, serta dapat pula dinilai sebagai suatu preseden yang baik karena setidaknya melengkapi aturan hukum tertulis yang ada. Untuk itulah dengan metode penelitian secara deskriptif analitis yang meliputi analisa secara teoritis dan empiris yang dituangkan dalam tesis ini, penulis mencoba memberi masukan yang diharapkan dapat dijadikan acuan bagi kalangan praktisi peradilan. Kata Kunci: Sidang Pengadilan Jarak Jauh, Metode Teleconference, Keterangan Saksi, Alat Bukti Perkara Pidana.

USTADZ Abu Bakar Ba’asyir duduk seorang diri di kursi terdakwa. Deretan kursi penasihat hukumnya di ruang sidang di Gedung Badan Meteorologi dan Geofisika hari Kamis 3 Juli 2003 dibiarkan kosong. Tak ada satu pun yang datang. Abu Bakar Ba’asyir sempat meminta izin kepada majelis hakim untuk tidak berada di dalam ruang sidang dan akan menunggu di ruang tunggu, namun tak diizinkan oleh hakim M Saleh. Ia pun patuh. Namun, Abu Bakar Ba’asyir menegaskan ia sama sekali tak mau berkomentar terhadap kesaksian demi kesaksian memojokkan yang disampaikan melalui layar monitor.Tim penasihat hukum Abu Bakar Ba’asyir-terdakwa dalam kasus makar dan pelanggaran keimigrasian-memang memilih untuk tidak hadir ke persidangan sebagai protes atas sikap majelis hakim yang bersikukuh untuk menggelar persidangan jarak jauh Jakarta-Singapura pada tanggal 26 Juni 2003 dan Jakarta-Kuala Lumpur tanggal 3 Juni 2003. "Kami tetap berkeberatan dengan persidangan teleconference yang belum ada aturannya," kata Mohammad Assegaf, salah seorang kuasa hukum Abu Bakar Ba’asyir dalam percakapan dengan Kompas seusai persidangan.Sejak awal tim kuasa hukum Ba’asyir menyatakan keberatannya atas rencana jaksa penuntut umum untuk melangsungkan pemeriksaan saksi secara jarak jauh. Sejumlah argumentasi yuridis disampaikan. Berbagai upaya terus dilakukan, termasuk menemui Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan untuk melarang persidangan secara teleconference. Namun, upaya itu tidak berhasil. Walk out adalah langkah terakhir yang dilakukannya untuk melawan sikap majelis hakim yang tetap ingin menggelar teleconference. Ketika persidangan teleconference Jakarta-Kuala Lumpur digelar untuk kedua kalinya, tim penasihat hukum memilih tidak hadir.Ketua majelis hakim M Saleh tetap melangsungkan persidangan jarak jauh tersebut. "Praktik pemeriksaan saksi-saksi jarak jauh dengan menggunakan media teleconference merupakan salah satu wujud dari lahirnya peradilan informasi yang berjangkauan global," kata Mohammad Soleh dalam penetapannya.Bagi majelis hakim, pemeriksaan melalui media teleconference mirip dengan acara pemeriksaan biasa di persidangan yang dilakukan secara langsung dan transparan. Fungsi dan tujuannya sejalan dengan proses peradilan itu sendiri, yaitu mencari dan menemukan kebenaran materiil.Majelis menampik kekhawatiran tim penasihat hukum Ba’asyir bahwa saksi-saksi di Singapura dan Malaysia yang statusnya adalah orang tahanan tidak memberikan keterangan secara bebas. Penasihat hukum juga mengatakan, media teleconference tidak diatur dalam KUHAP. Tim juga mempertanyakan implikasi hukum jika saksi memberikan keterangan palsu. Apakah yang dipakai hukum Indonesia atau hukum Singapura atau Malaysia.Namun, majelis berpendapat berbeda. "Jika argumen seperti itu diterima, akan menjadikan dunia peradilan kita mengalami langkah mundur (set back) dalam menghadapi dan mengantisipasi teknologi informasi dan komunikasi dalam mengantisipasi revolusi teknologi yang marak dewasa ini, yang mau tidak mau akan mewarnai perkembangan dunia hukum dan peradilan itu sendiri," demikian pertimbangan majelis hakim.Jaksa penuntut umum Hasan Madani juga menilai keberatan tim penasihat hukum tidak beralasan. "Kejaksaan sudah mengajak tim kuasa hukum ke Singapura, namun ajakan itu ditolak," kata Hasan Madani.Mohammad Assegaf mengakui, bagi tim kuasa hukum, persidangan teleconference menyangkut hal prinsip. "Kami tak mau memberi legitimasi pada proses yang menyimpang," kata Assegaf.Persidangan model teleconference bukanlah yang pertama kali di Indonesia. Sidang teleconference pertama digelar dalam kasus korupsi dengan terdakwa mantan Presiden BJ Habibie. Dengan bantuan televisi swasta SCTV, Ketua Majelis Hakim Lalu Mariyun mengambil terobosan dengan menggelar sidang teleconference untuk pertama kalinya di Indonesia. Persidangan teleconference berikutnya dilangsungkan dalam persidangan Pengadilan HAM Adhoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur.Persidangan teleconference selalu memicu kontroversi dan perdebatan para pihak. Begitu juga yang terjadi di Indonesia. Pemerintah yang diwakili Kejaksaan Agung sebenarnya juga belum mempunyai sikap yang jelas soal teleconference. Sikap pemerintah tampaknya sangat ditentukan apakah persidangan model itu akan menguntungkan pembuktian atau malah melemahkan dakwaan.Dalam persidangan kasus korupsi dengan terdakwa Rahardi Ramelan, jaksa penuntut umum Kemas Yahya Rahman ngotot untuk menolak persidangan teleconference. Sementara penasihat hukum Rahardi Ramelan, Trimoelja D Soerjadi dan kawan-kawan justru ngotot memperjuangkan teleconference. "Hakim harus menggali hukum dan memperhatikan rasa keadilan masyarakat," kata Trimoelja. Sebaliknya, jaksa Kemas Yahya Rahman mengatakan, teleconference belum diatur dalam KUHAP dan bertentangan prinsip persidangan cepat, murah, dan sederhana. Teleconference untuk mendengarkan kesaksian mantan Presiden BJ Habibie pun dilangsungkan.Sementara dalam persidangan Pengadilan HAM Adhoc kasus pelanggaran HAM, posisinya berubah. Jaksa penuntut umum berjuang agar teleconference Jakarta-Dili bisa dilangsungkan untuk mendengarkan kesaksian beberapa orang Timtim yang tidak mau datang ke Jakarta untuk memberikan kesaksian dengan alasan keamanan. Sebaliknya, tim penasihat hukum para terdakwa sejumlah perwira TNI yang berkeberatan dilangsungkannya persidangan teleconference. Hakim pun menggelar sidang teleconference.Dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir situasinya sama dengan teleconference kasus Timtim. Jaksa penuntut umum Hasan Madani ngotot memperjuangkan persidangan teleconference karena upayanya untuk mendatangkan saksi-saksi yang ditahan di Singapura dan Malaysia tak diizinkan otoritas negara itu. Pihak terdakwa dan kuasa hukumnya keberatan dengan persidangan model itu.Apa yang bisa dibaca dari tiga kasus itu. Kejaksaan tampaknya mempunyai sikap yang berbeda-beda mengenai teleconference. Dalam kasus pelanggaran HAM Timtim dan Abu Bakar Ba’asyir, jaksa sangat berkepentingan untuk menggali keterangan dari saksi untuk membuktikan dakwaannya. Dan, tujuan itu tampaknya tercapai. Sebaliknya, dalam kasus korupsi dengan terdakwa BJ Habibie, jaksa penuntut umum justru ngotot untuk menolak. Ia khawatir keterangan BJ Habibie berkaitan dengan kasus Bulog malah akan memperlebar persoalan dan mengabur dakwaan yang telah diarahkan kepada Rahardi Ramelan.Korps pengacara pun sikapnya berbeda. Teleconference untuk mendengar keterangan BJ Habibie justru berasal dari pengacara. Trimoelja Soerjadi, kuasa hukum Rahardi, sangat berkepentingan untuk mendapatkan keterangan dari BJ Habibie bahwa pengeluaran dana yang dilakukan Rahardi Ramelan adalah atas sepersetujuan Habibie. Jika keterangan itu didapat, otomatis akan meringankan Rahardi Ramelan.Dari ketiga kasus itu justru korps hakim yang konsisten. Hakim melakukan terobosan-terobosan hukum dengan menggelar teleconference. Namun, bagaimana pandangan lembaga peradilan terhadap teleconference masih harus ditunggu sampai ke Mahkamah Agung. Persidangan kasus korupsi dengan terdakwa Rahardi Ramelan masih diperiksa pada tingkat banding.

Page 4: Saksi Wajib Hadir Di

Dukungan dari jaksa maupun pengacara terhadap teleconference sangat ditentukan pada faktor apakah persidangan teleconference akan menguntungkan atau justru merugikan. Kalau menguntungkan atau meringankan klien, teleconference didukung. Sebaliknya, jika teleconference bakal merugikan, ya, ditolak.Alasan bahwa teleconference tidak diatur KUHAP juga dipakai baik oleh jaksa maupun penasihat hukum. Artinya, aturan-aturan hukum sama-sama dipakai untuk mendukung atau menolak teleconference.KUHAP yang pernah diagungkan sebagai karya agung bangsa Indonesia dan diundangkan pada tahun 1981, pada usianya yang ke-22 sudah kehilangan keagungannya. KUHAP tak mampu lagi mengantisipasi revolusi teknologi. Dalam praktik selama ini, sudah tampak bahwa KUHAP mengandung banyak kelemahan. KUHAP sudah ketinggalan zaman. "KUHAP disusun berdasarkan pemikiran teknologi tahun 60 atau 70-an. Para penyusun KUHAP tak pernah memikirkan adanya teleconference," kata Luhut MP Pangaribuan yang menulis buku tentang KUHAP.Pasal 160 Ayat 1 (a) KUHAP menyebutkan, saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum. Kemudian, dalam Pasal 167 (1) disebutkan, Setelah saksi memberikan keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya.Praktisi hukum Gayus Lumbuun berpendapat, penafsiran tekstual dari pasal itu secara tegas dan jelas menuntut kehadiran saksi secara fisik di persidangan. "Hakim tak boleh menafsirkan lain dan tak bisa dengan dalih melakukan terobosan hukum, tetapi melanggar undang-undang," kata Gayus yang menolak persidangan teleconference.Namun, bagi Pangaribuan, dalam persidangan teleconference, saksi juga bisa hadir di ruang sidang secara virtual. "Jadi, sebenarnya tak ada bedanya. Semua pihak juga boleh menguji keterangan dari saksi. Keterangannya pun bisa didengar oleh semua pihak," kata Pangaribuan.Bagi Pengaribuan, keberatan terhadap teleconference hanyalah biayanya yang mungkin mahal. "Saya tidak melihat ada kelemahannya. KUHAP, kan, sebenarnya juga alat untuk mencari kebenaran materiil," kata Pangaribuan.Meskipun demikian, semua kalangan sepakat bahwa KUHAP sudah saatnya direvisi. KUHAP perlu direvisi untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat. Model-model pembuktian konvensional yang masih dianut KUHAP sudah harus ditinjau kembali.Tapi kapan KUHAP akan direvisi? Tak ada yang tahu pasti. Lalu bagaimana persidangan teleconference sebelum KUHAP direvisi? Berangkat dari pengalaman yang ada, akan lebih mengurangi kontroversi jika persidangan teleconference digelar dengan persetujuan semua pihak, baik itu terdakwa dan pengacaranya maupun jaksa dan hakim. Kesepakatan bersama itu akan mengurangi kontroversi.Panduan dan aturan memang harus dibuat. Apa pun, MA masih mempunyai kewenangan untuk menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung untuk mengatur soal teleconference, termasuk hal-hal teknis dan pembiayaannya. Aturan itu perlu agar ada sebuah kepastian. Janganlah dukungan kepada teleconference ditentukan pada apakah pola itu menguntungkan atau merugikan. Kalau hal itu terus terjadi, maka tidak akan ada kepastian hukum mengenai masalah itu dan kontroversi akan terus terjadi. (Budiman Tanuredjo)URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/07/nasional/411887.htm