sakit kepala
DESCRIPTION
gchgfhTRANSCRIPT
2.1 FISIOLOGI NYERI
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP, 1979)
adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan
kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan.
Sebagai mana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan
jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar
belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan
hanya bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita
pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien
dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska pembedahan
harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karenadampak dari nyeri itu sendiri akan
menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh dan
memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan
fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti :
• Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa
• Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka
• Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitasi sehingga meningkatkan
kepekaan nyeri
• Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikardi
• Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme
Gambar 2.1-1. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut akibat
kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan atau trauma
Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan itu
sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses pembedahan
terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia
(prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh jaringan yang rusak
dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan pada proses transduksi
dari nyeri.
2.2 MEKANISME NYERI
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh
sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang
otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif
akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan
yang rusak.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan
jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang
mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan
derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.
2.2.1 Sensitisasi Perifer
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan
kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti
adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan
growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor
activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif
terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi
nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di
nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan,
penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan
sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam
meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.
2.2.2 Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga
dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya
hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer
sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input
nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron
(transcription dependent)
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi
perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik
setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla
spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif.
Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada
daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri.
2.3 NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan
vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang
berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal,
nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui
ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke
SSP untuk interpretasi nyeri.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf
projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan
thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi.
Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan
individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi,
nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan
kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot
skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.
. Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu
dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya
bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai
aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi
sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan
produkproduknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan)
dihasilkan mekanoreseptor A-beta
. Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai reseptor
nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak. Banyak stimulus
yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan
pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme
viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses
patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi
2.4 PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut
sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu
transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai
dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).
2.4.1 Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu
stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas
listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh
(reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma
baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana
prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan
dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi
nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
.
2.4.2 Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui
serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami
modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus
spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang
lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi.
Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf
berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di
cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
2.4.3 Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan
otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden
yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat
menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai
pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen
tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang
2.4.4 Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan
modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari
sensorik.
2.5 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK
Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan obat
AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim
siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid
bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga
terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang mengalami
metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan menimbulkan gangguan
dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain
itu juga prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri
(nosiseptif).
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis prostaglandin
dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi
mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia,
antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan).
Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang
diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat
pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik
seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2
bersifat inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan
menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla
spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi sentral.
.
2.6 KLASIFIKASI NYERI
Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika
cedera fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah, kecemasan, depresi dan
kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat sulitnya
mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu pendekatan yang
dapat dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi (akut, kronik),
patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan, kanker).
2.6.1 Nyeri Akut dan Kronik
Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah
nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat.Nyeri akut ini dialami segera setelah
pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau
nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai
kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage
organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan mempunyai baik elemen nosiseptif
dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati)
sering tidak disertai kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada
lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala sistem saraf
otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul.
Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul
ataupun hilangnya tanda dan gejala otonom tidak menunjukkan ada atau tidaknya nyeri.
.
2.6.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah
nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan
aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung jawab terhadap
rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap analgesik opioid atau non
opioid.
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada saraf
perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer, biasanya
digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering
memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik opioid.
.
2.6.3 Nyeri Viseral
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh dari tempat
nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri viseral terjadi
seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering bersamaan dengan
gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada
tahap pertama persalinan. Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi
otototot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada
peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras sering digambarkan
dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ
padat terkena.
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos, distensi
struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Distensi pada organ lunak
terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah
sehingga menyebabkandistensi berlebih dari jaringan
Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar melalui serat
aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana rangsang dari esofagus,
trakea dan faring melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam
pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari
sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan bagian pertama dari
empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk ke spinal cord melalui
nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua
berasal dari iskemia miokard. Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun,
bronkus dan pleura parietal sangat sensitif pada nyeri.
2.6.4 Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi dan rasa
terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal,
tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal
adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri
menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit
dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada peritoneum parietal
sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan
nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak.
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi darinyeri dari viseral
pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh, rangsang nyeri berasal dari
apendiks yang inflamasi melalui serat – serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu
ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan
kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal
dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati nervus spinalis
masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi langsung pada permukaan
peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan bawah.
.
2.7 PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska
pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai
derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan
menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.
Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini :
1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai
menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti
anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan
bahasa lokal setempat.
2. Verbal Rating Scale (VRS)
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ; tidak
nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.
3. Numerical Rating Scale (NRS)
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan
tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana
angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.
4. Visual Analogue Scale (VAS)
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan
skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis
(10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk
mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih
mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah
direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara
metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan
menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk
juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS
secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS
antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk
tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien
merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue analgetic).
2.8 PENANGANAN NYERI
Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan pain
pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal
analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik dan teknik non-
farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).
2.8.1 Farmakologis
Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik oral parenteral, blok
saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid intraspinal.
Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien, prosedur dan
pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik yang digunakan untuk
penanganan nyeri paska pembedahan.
2. Sakit Kepala
2. 1 Definisi dan Etiologi Sakit Kepala
Sakit kepala adalah rasa sakit atau tidak nyaman antara orbita dengan kepala yang berasal
dari struktur sensitif terhadap rasa sakit ( sumber : Neurology and neurosurgery illustrated
Kenneth).
Sakit kepala bisa disebabkan oleh kelainan: (1) vaskular, (2) jaringan saraf, (3) gigi – geligi,
(4) orbita, (5) hidung dan (6) sinus paranasal, (7) jaringan lunak di kepala, kulit, jaringan subkutan,
otot, dan periosteum kepala. Selain kelainan yang telah disebutkan diatas, sakit kepala dapat
disebabkan oleh stress dan perubahan lokasi (cuaca, tekanan, dll.). Untuk lebih jelas lihat tabel 2.
2 .2 Faktor resiko dan Epidemiologi Sakit Kepala
Faktor resiko terjadinya sakit kepala adalah gaya hidup, kondisi penyakit, jenis kelamin,
umur, pemberian histamin atau nitrogliserin sublingual dan faktor genetik.
Prevalensi sakit kepala di USA menunjukkan 1 dari 6 orang (16,54%) atau 45 juta orang
menderita sakit kepala kronik dan 20 juta dari 45 juta tersebut merupakan wanita. 75 % dari
jumlah di atas adalah tipe tension headache yang berdampak pada menurunnya konsentrasi belajar
dan bekerja sebanyak 62,7 %.
Menurut IHS, migren sering terjadi pada pria dengan usia 12 tahun sedangkan pada wanita,
migren sering terjadi pada usia besar dari 12 tahun. HIS juga mengemukakan cluster headaache
80 – 90 % terjadi pada pria dan prevalensi sakit kepala akan meningkat setelah umur 15 tahun.
2 .3 Klasifikasi Sakit Kepala
Sakit kepala dapat diklasifikasikan menjadi sakit kepala primer, sakit kepala sekunder, dan
neuralgia kranial, nyeri fasial serta sakit kepala lainnya. Sakit kepala primer dapat dibagi menjadi
migraine, tension type headache, cluster headache dengan sefalgia trigeminal / autonomik, dan
sakit kepala primer lainnya. Sakit kepala sekunder dapat dibagi menjadi sakit kepala yang
disebabkan oleh karena trauma pada kepala dan leher, sakit kepala akibat kelainan vaskular kranial
dan servikal, sakit kepala yang bukan disebabkan kelainan vaskular intrakranial, sakit kepala
akibat adanya zat atau withdrawal, sakit kepala akibat infeksi, sakit kepala akibat gangguan
homeostasis, sakit kepala atau nyeri pada wajah akibat kelainan kranium, leher, telinga, hidung,
dinud, gigi, mulut atau struktur lain di kepala dan wajah, sakit kepala akibat kelainan psikiatri
(lihat tabel 3 dan 4).
2 .4 Patofisiologi Sakit Kepala
Beberapa mekanisme umum yang tampaknya bertanggung jawab memicu nyeri kepala
adalah sebagai berikut(Lance,2000) : (1) peregangan atau pergeseran pembuluh darah;
intrakranium atau ekstrakranium, (2) traksi pembuluh darah, (3) kontraksi otot kepala dan leher
( kerja berlebihan otot), (3) peregangan periosteum (nyeri lokal), (4) degenerasi spina servikalis
atas disertai kompresi pada akar nervus servikalis (misalnya, arteritis vertebra servikalis),
defisiensi enkefalin (peptida otak mirip- opiat, bahan aktif pada endorfin).
2 .5 Terapi Sakit Kepala
Nyeri kepala dapat diobati dengan preparat asetilsalisilat dan jika nyeri kepala sangat berat
dapat diberikan preparat ergot (ergotamin atau dihidroergotamin). Bila perlu dapat diberikan
intravena dengan dosis 1 mg dihidroergotaminmetan sulfat atau ergotamin 0,5 mg. Preparat
Cafergot ( mengandung kafein 100 mg dan 1 mg ergotamin) diberikan 2 tablet pada saat timbul
serangan dan diulangi ½ jam berikutnya.
Pada pasien yang terlalu sering mengalami serangan dapat diberikan preparat Bellergal
(ergot 0,5 mg; atropin 0,3 mg; dan fenobarbital 15mg) diberikan 2 – 3 kali sehari selama beberapa
minggu. Bagi mereka yang refrakter dapat ditambahkan pemberian ACTH (40 u/hari) atau
prednison (1mg/Kg BB/hari) selama 3 – 4 minggu.
Preparat penyekat beta,seperti propanolol dan timolol dilaporkan dapat mencegah timbulnya
serangan migren karena mempunyai efek mencegah vasodilatasi kranial. Tetapi penyekat beta
lainnya seperti pindolol, praktolol, dan aprenolol tidak mempunyai efek teraupetik untuk migren,
sehingga mekanisme kerjanya disangka bukan semata – mata penyekat beta saja. Preparat yang
efektif adalah penyekat beta yang tidak memiliki efek ISA ( Intrinsic Sympathomimetic Activity).
Cluster headache umunya membaik dengan pemberian preparat ergot. Untuk varian Cluster
headache umumnya membaik dengan indometasin. Tension type headache dapat diterapi dengan
analgesik dan/atau terapi biofeedback yang dapat digunakan sebagai pencegahan timbulnya
serangan.
Terapi preventif yang bertujuan untuk menurunkan frekuensi, keparahan, dan durasi sakit
kepala. Terapi ini diresepkan kepada pasien yang menderita 4 hari atau lebih serangan dalam
sebulan atau jika pengobatan di atas tidak efektif. Terapi ini harus digunakan setiap hari. Terapi
preventif tersebut adalah pemberian beta bloker, botox, kalsium channel blokers, dopamine
reuptake inhibitors, SSRIs, serotonin atau dopamin spesifik, dan TCA.
2 .6 Pencegahan Sakit Kepala
Pencegahan sakit kepala adalah dengan mengubah pola hidup yaitu mengatur pola tidur
yang sam setiap hari, berolahraga secara rutin, makan makanan sehat dan teratur, kurangi stress,
menghindari pemicu sakit kepala yang telah diketahui.
2 .7 Prognosis dan Indikasi Rujuk Sakit Kepala
Prognosis dari sakit kepala bergantung pada jenis sakit kepalanya sedangkan indikasi
merujuk adalahsebagai berikut: (1) sakit kepala yang tiba – tiba dan timbul kekakuan di leher, (2)
sakit kepala dengan demam dan kehilangan kesadaran, (3) sakit kepala setelah terkena trauma
mekanik pada kepala, (4) sakit kepala disertai sakit pada bagian mata dan telinga, (5) sakit kepala
yang menetap pada pasien yang sebelumnya tidak pernah mengalami serangan, (6) sakit kepala
yang rekuren pada anak.
Tension Type Headache (TTH)
1 Definisi Tension Type Headache (TTH)
Merupakan sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi terus menerus otot- otot kepala
dan tengkuk ( M.splenius kapitis, M.temporalis, M.maseter, M.sternokleidomastoid, M.trapezius,
M.servikalis posterior, dan M.levator skapula).
2 Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH)
Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH) adalah stress, depresi, bekerja
dalam posisi yang menetap dalam waktu lama, kelelahan mata, kontraksi otot yang berlebihan,
berkurangnya aliran darah, dan ketidakseimbangan neurotransmitter seperti dopamin, serotonin,
noerpinefrin, dan enkephalin.
3 Epidemiologi Tension Type Headache (TTH)
TTH terjadi 78 % sepanjang hidup dimana Tension Type Headache episodik terjadi 63 %
dan Tension Type Headache kronik terjadi 3 %. Tension Type Headache episodik lebih banyak
mengenai pasien wanita yaitu sebesar 71% sedangkan pada pria sebanyak 56 %. Biasanya
mengenai umur 20 – 40 tahun.
4 Klasifikasi Tension Type Headache (TTH)
Klasifikasi TTH adalah Tension Type Headache episodik dan dan Tension Type Headache
kronik. Tension Type Headache episodik, apabila frekuensi serangan tidak mencapai 15 hari setiap
bulan. Tension Type Headache episodik (ETTH) dapat berlangsung selama 30 menit – 7 hari.
Tension Type Headache kronik (CTTH) apabila frekuensi serangan lebih dari 15 hari setiap bulan
dan berlangsung lebih dari 6 bulan.
5 Patofisiologi Tension Type Headache (TTH)
Patofisiologi TTH masih belum jelas diketahui. Pada beberapa literatur dan hasil penelitian
disebutkan beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya TTH sebagai berikut : (1)
disfungsi sistem saraf pusat yang lebih berperan daripada sistem saraf perifer dimana disfungsi
sistem saraf perifer lebih mengarah pada ETTH sedangkan disfungsi sistem saraf pusat mengarah
kepada CTTH, (2) disfungsi saraf perifer meliputi kontraksi otot yang involunter dan permanen
tanpa disertai iskemia otot, (3) transmisi nyeri TTH melalui nukleus trigeminoservikalis pars
kaudalis yang akan mensensitasi second order neuron pada nukleus trigeminal dan kornu dorsalis (
aktivasi molekul NO) sehingga meningkatkan input nosiseptif pada jaringan perikranial dan
miofasial lalu akan terjadi regulasi mekanisme perifer yang akan meningkatkan aktivitas otot
perikranial. Hal ini akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter pada jaringan miofasial, (4)
hiperflesibilitas neuron sentral nosiseptif pada nukleus trigeminal, talamus, dan korteks serebri
yang diikuti hipesensitifitas supraspinal (limbik) terhadap nosiseptif. Nilai ambang deteksi nyeri
( tekanan, elektrik, dan termal) akan menurun di sefalik dan ekstrasefalik. Selain itu, terdapat juga
penurunan supraspinal decending pain inhibit activity, (5) kelainan fungsi filter nyeri di batang
otak sehingga menyebabkan kesalahan interpretasi info pada otak yang diartikan sebagai nyeri, (6)
terdapat hubungan jalur serotonergik dan monoaminergik pada batang otak dan hipotalamus
dengan terjadinya TTH. Defisiensi kadar serotonin dan noradrenalin di otak, dan juga abnormal
serotonin platelet, penurunan beta endorfin di CSF dan penekanan eksteroseptif pada otot temporal
dan maseter, (7) faktor psikogenik ( stres mental) dan keadaan non-physiological motor stress pada
TTH sehingga melepaskan zat iritatif yang akan menstimulasi perifer dan aktivasi struktur persepsi
nyeri supraspinal lalu modulasi nyeri sentral. Depresi dan ansietas akan meningkatkan frekuensi
TTH dengan mempertahankan sensitisasi sentral pada jalur transmisi nyeri, (8) aktifasi NOS
( Nitric Oxide Synthetase) dan NO pada kornu dorsalis.
Pada kasus dijumpai adanya stress yang memicu sakit kepala. Ada beberapa teori yang
menjelaskan hal tersebut yaitu (1) adanya stress fisik (kelelahan) akan menyebabkan pernafasan
hiperventilasi sehingga kadar CO2 dalam darah menurun yang akan mengganggu keseimbangan
asam basa dalam darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya alkalosis yang selanjutnya akan
mengakibatkan ion kalsium masuk ke dalam sel dan menimbulkan kontraksi otot yang berlebihan
sehingga terjadilah nyeri kepala. (2) stress mengaktifasi saraf simpatis sehingga terjadi dilatasi
pembuluh darah otak selanjutnya akan mengaktifasi nosiseptor lalu aktifasi aferen gamma
trigeminus yang akan menghasilkan neuropeptida (substansi P). Neuropeptida ini akan
merangsang ganglion trigeminus (pons). (3) stress dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu alarm
reaction, stage of resistance, dan stage of exhausted. Alarm reaction dimana stress menyebabkan
vasokontriksi perifer yang akan mengakibatkan kekurangan asupan oksigen lalu terjadilah
metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob akan mengakibatkan penumpukan asam laktat
sehingga merangsang pengeluaran bradikinin dan enzim proteolitik yang selanjutnya akan
menstimulasi jaras nyeri. Stage of resistance dimana sumber energi yang digunakan berasal dari
glikogen yang akan merangsang peningkatan aldosteron, dimana aldosteron akan menjaga
simpanan ion kalium. Stage of exhausted dimana sumber energi yang digunakan berasal dari
protein dan aldosteron pun menurun sehingga terjadi deplesi K+. Deplesi ion ini akan
menyebabkan disfungsi saraf.
6 Diagnosa Tension Type Headache (TTH)
Tension Type Headache harus memenuhi syarat yaitu sekurang – kurangnya dua dari berikut
ini : (1) adanya sensasi tertekan/terjepit, (2) intensitas ringan – sedang, (3) lokasi bilateral, (4)
tidak diperburuk aktivitas. Selain itu, tidak dijumpai mual muntah, tidak ada salah satu dari
fotofobia dan fonofobia.
Gejala klinis dapat berupa nyeri ringan- sedang – berat, tumpul seperti ditekan atau diikat,
tidak berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat pada daerah kulit kepala, oksipital, dan belakang
leher, terjadi spontan, memburuk oleh stress, insomnia, kelelahan kronis, iritabilitas, gangguan
konsentrasi, kadang vertigo, dan rasa tidak nyaman pada bagian leher, rahang serta
temporomandibular.
7 Pemeriksaan Penunjang Tension Type Headache (TTH)
Tidak ada uji spesifik untuk mendiagnosis TTH dan pada saat dilakukan pemeriksaa
neurologik tidak ditemukan kelainan apapun. TTH biasanya tidak memerlukan pemeriksaan darah,
rontgen, CT scan kepala maupun MRI.
8 Diferensial Diagnosa Tension Type Headache (TTH)
Diferensial Diagnosa dari TTH adalah sakit kepala pada spondilo-artrosis deformans, sakit
kepala pasca trauma kapitis, sakit kepala pasca punksi lumbal, migren klasik, migren komplikata,
cluster headache, sakit kepala pada arteritis temporalis, sakit kepala pada desakan intrakranial,
sakit kepala pada penyakit kardiovasikular, dan sakit kepala pada anemia.
9 Terapi Tension Type Headache (TTH)
Relaksasi selalu dapat menyembuhkan TTH. Pasien harus dibimbing untuk mengetahui arti
dari relaksasi yang mana dapat termasuk bed rest, massage, dan/ atau latihan biofeedback.
Pengobatan farmakologi adalah simpel analgesia dan/atau mucles relaxants. Ibuprofen dan
naproxen sodium merupakan obat yang efektif untuk kebanyakan orang. Jika pengobatan simpel
analgesia(asetaminofen, aspirin, ibuprofen, dll.) gagal maka dapat ditambah butalbital dan kafein
( dalam bentuk kombinasi seperti Fiorinal) yang akan menambah efektifitas pengobatan.Daftar
analgesia yang biasa digunakan lihat pada tabel 5.
10 Prognosis dan Komplikasi Tension Type Headache (TTH)
TTH pada kondisi dapat menyebabkan nyeri yang menyakitkan tetapi tidak
membahayakan.Nyeri ini dapat sembuh dengan perawatan ataupun dengan menyelesaikan masalah
yang menjadi latar belakangnya jika penyebab TTH berupa pengaruh psikis. Nyeri kepala ini dapat
sembuh dengan terapi obat berupa analgesia. TTh biasanya mudah diobati sendiri. Progonis
penyakit ini baik, dan dengan penatalaksanaan yang baik maka > 90 % pasien dapat disembuhkan.
Komplikasi TTH adalah rebound headache yaitu nyeri kepala yang disebabkan oleh penggunaan
obat – obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.
11 Pencegahan Tension Type Headache (TTH)
Pencegahan TTH adalah dengan mencegah terjadinya stress dengan olahraga teratur,
istirahat yang cukup, relaksasi otot (massage, yoga, stretching), meditasi, dan biofeedback. Jika
penyebabnya adalah kecemasan atau depresi maka dapat dilakukan behavioral therapy. Selain itu,
TTH dapat dicegah dengan mengganti bantal atau mengubah posisi tidur dan mengkonsumsi
makanan yang sehat.
Migren
1 Definisi Migren
Menurut International Headache Society (IHS), migren adalah nyeri kepala dengan
serangan nyeri yang berlansung 4 – 72 jam. Nyeri biasanya unilateral, sifatnya berdenyut,
intensitas nyerinya sedang samapai berat dan diperhebat oleh aktivitas, dan dapat disertai mual
muntah, fotofobia dan fonofobia.
2 Etiologi dan Faktor Resiko Migren
Etiologi migren adalah sebagai berikut : (1) perubahan hormon (65,1%), penurunan
konsentrasi esterogen dan progesteron pada fase luteal siklus menstruasi, (2) makanan (26,9%),
vasodilator (histamin seperti pada anggur merah, natrium nitrat), vasokonstriktor (tiramin seperti
pada keju, coklat, kafein), zat tambahan pada makanan (MSG), (3) stress (79,7%), (4) rangsangan
sensorik seperti sinar yang terang menyilaukan(38,1%) dan bau yang menyengat baik
menyenangkan maupun tidak menyenangkan, (5) faktor fisik seperti aktifitas fisik yang berlebihan
(aktifitas seksual) dan perubahan pola tidur, (6) perubahan lingkungan (53,2%), (7) alkohol
(37,8%), (7) merokok (35,7%).Faktor resiko migren adalah adanya riwayat migren dalam
keluarga, wanita, dan usia muda.
3 Epidemiologi Migren
Migren terjadi hampir pada 30 juta penduduk Amerika Serikat dan 75 % diantaranya adalah
wanita. Migren dapat terjadi pada semua usia tetapi biasanya muncul pada usia 10 – 40 tahun dan
angka kejadiannya menurun setelah usia 50 tahun. Migren tanpa aura lebih sering diabndingkan
migren yang disertai aura dengan persentasi 9 : 1.
4 Klasifikasi Migren
Migren dapat diklasifikasikan menjadi migren dengan aura, tanpa aura, dan migren kronik
(transformed). Migren dengan aura adalah migren dengan satu atau lebih aura reversibel yang
mengindikasikan disfungsi serebral korteks dan atau tanpa disfungsi batang otak, paling tidak ada
satu aura yang terbentuk berangsur – angsur lebih dari 4 menit, aura tidak bertahan lebih dari 60
menit, dan sakit kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit.
Migren tanpa aura adalah migren tanpa disertai aura klasik, biasanya bilateral dan terkena pada
periorbital. Migren kronik adalah migren episodik yang tampilan klinisnya dapat berubah
berbulan- bulan sampai bertahun- tahun dan berkembang menjadi sindrom nyeri kepala kronik
dengan nyeri setiap hari.
5 Patofisiologi Migren
Terdapat berbagai teori yang menjelaskan terjadinya migren. Teori vaskular, adanya
gangguan vasospasme menyebabkan pembuluh darah otak berkonstriksi sehingga terjadi
hipoperfusi otak yang dimulai pada korteks visual dan menyebar ke depan. Penyebaran frontal
berlanjuta dan menyebabkan fase nyeri kepala dimulai. Teori cortical spread depression, dimana
pada orang migrain nilai ambang saraf menurun sehingga mudah terjadi eksitasi neuron lalu
berlaku short-lasting wave depolarization oleh pottasium-liberating depression (penurunan
pelepasan kalium) sehingga menyebabkan terjadinya periode depresi neuron yang memanjang.
Selanjutnya, akan terjadi penyebaran depresi yang akan menekan aktivitas neuron ketika melewati
korteks serebri.
Teori Neovaskular (trigeminovascular), adanya vasodilatasi akibat aktivitas NOS dan
produksi NO akan merangsang ujung saraf trigeminus pada pembuluh darah sehingga melepaskan
CGRP (calcitonin gene related). CGRP akan berikatan pada reseptornya di sel mast meningens
dan akan merangsang pengeluaran mediator inflamasi sehingga menimbulkan inflamasi neuron.
CGRP juga bekerja pada arteri serebral dan otot polos yang akan mengakibatkan peningkatan
aliran darah. Selain itu, CGRP akan bekerja pada post junctional site second order neuron yang
bertindak sebagai transmisi impuls nyeri (lihat gambar 4).
Teori sistem saraf simpatis, aktifasi sistem ini akan mengaktifkan lokus sereleus sehingga
terjadi peningkatan kadar epinefrin. Selain itu, sistem ini juga mengaktifkan nukleus dorsal rafe
sehingga terjadi peningkatan kadar serotonin. Peningkatan kadar epinefrin dan serotonin akan
menyebabkan konstriksi dari pembuluh darah lalu terjadi penurunan aliran darah di otak.
Penurunan aliran darah di otak akan merangsang serabut saraf trigeminovaskular. Jika aliran darah
berkurang maka dapat terjadi aura. Apabila terjadi penurunan kadar serotonin maka akan
menyebabkan dilatasi pembuluh darah intrakranial dan ekstrakranial yang akan menyebabkan
nyeri kepala pada migren.
6 Diagnosa Migren
Anamnesa riwayat penyakit dan ditegakkan apabila terdapat tanda – tanda khas migren.
Kriteria diagnostik IHS untuk migren dengan aura mensyaratkan bahwa harus terdapat paling tidak
tiga dari empat karakteristik berikut : (1) migren dengan satu atau lebih aura reversibel yang
mengindikasikan disfungsi serebral korteks dan atau tanpa disfungsi batang otak, (2) paling tidak
ada satu aura yang terbentuk berangsur – angsur lebih dari 4 menit, (3) aura tidak bertahan lebih
dari 60 menit, (4) sakit kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit
Kriteria diagnostik IHS untuk migren tanpa aura mensyaratkan bahwa harus terdapat paling
sedikit lima kali serangan nyeri kepala seumur hidup yang memenuhi kriteria berikut : (a)
berlangsung 4 – 72 jam, (b) paling sedikit memenuhi dua dari : (1) unilateral , (2) sensasi
berdenyut, (3) intensitas sedang berat, (4) diperburuk oleh aktifitas, (3) bisa terjadi mual muntah,
fotofobia dan fonofobia.
7 Pemeriksaan Penunjang Migren
Pemeriksaan untuk menyingkirkan penyakit lain ( jika ada indikasi) adalah pencitraan ( CT
scan dan MRI) dan punksi lumbal.
8 Diferensial diagnosa Migren
Diferensial diagnosa migren adalah malformasi arteriovenus, aneurisma serebri,
glioblastoma, ensefalitis, meningitis, meningioma, sindrom lupus eritematosus, poliarteritis
nodosa, dan cluster headache.
9 Terapi Migren
Tujuan terapi migren adalah membantu penyesuaian psikologis dan fisiologis, mencegah
berlanjutnya dilatasi ekstrakranial, menghambat aksi media humoral ( misalnya serotonin dan
histamin), dan mencegah vasokonstriksi arteri intrakranial untuk memperbaiki aliran darah otak.
Terapi tahap akut adalah ergotamin tatrat, secara subkutan atau IM diberikan sebanyak 0,25
– 0,5 mg. Dosis tidak boleh melewati 1mg/24 jam. Secara oral atau sublingual dapat diberikan 2
mg segera setelah nyeri timbul. Dosis tidak boleh melewati 10 mg/minggu. Dosis untuk pemberian
nasal adalah 0,5 mg (sekali semprot). Dosis tidak boleh melewati 2 mg (4 semprotan).
Kontraindikasi adalah sepsis, penyakit pembuluh darah, trombofebilitis, wanita haid, hamil atau
sedang menggunakan pil anti hamil. Pada wanita hamil, haid atau sedang menggunakan pil anti
hamil berikan pethidin 50 mg IM. Pada penderita penyakit jantung iskemik gunakan pizotifen 3
sampai 5 kali 0,5 mg sehari. Selain ergotamin juga bisa obat – obat lain (lihat tabel 6). Terapi
profilaksis menggunakan metilgliserid malead, siproheptidin hidroklorida, pizotifen, dan
propanolol (lihat tabel 7)
Selain menggunakan obat – obatan, migren dapat diatasi dengan menghindari aktor penyebab,
manajemen lingkungan, memperkirakan siklus menstruasi, yoga, meditasi, dan hipnotis.
10 Komplikasi Migren
Komplikasi Migren adalah rebound headache, nyeri kepala yang disebabkan oleh
penggunaan obat – obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.
11 Pencegahan Migren
Pencegahan migren adalah dengan mencegah kelelahan fisik, tidur cukup, mengatasi
hipertensi, menggunakan kacamata hitam untuk menghindari cahaya matahari, mengurangi
makanan (seperti keju, coklat, alkohol, dll.), makan teratur, dan menghindari stress.
3. Memahami dan Menjelaskan Gangguan Somatoform
3.1. Definisi Gangguan Somatoform
Gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok gangguan ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simptom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik. Pada gangguan somatoform, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebabnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.
3.2. Etiologi dan Faktor Risiko Gangguan Somatoform
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam transmisi gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan metabolism (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non dominan. Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut : a. Faktor-faktor Biologis Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis (biasanya pada gangguan somatisasi). b. Faktor Lingkungan Sosial Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti “peran sakit” yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform. c. Faktor Perilaku Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:−Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari situasi yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan sekunder).
−Adanya perhatian untuk menampilkan “peran sakit”−Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan dismorfik tubuh dapat secara sebagian membebaskan kecemasan yang diasosiasikan dengan keterpakuan pada kekhawatiran akan kesehatan atau kerusakan fisik yang dipersepsikan. d. Faktor Emosi dan Kognitif Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif, penyebabganda yang terlibat adalah sebagai berikut: − Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau simtom fisik sebagai tanda dari adanya penyakit
serius (hipokondriasis). − Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impuls-impuls yang tidak
dapat diterima dikonversikan ke dalam simtom fisik (gangguan konversi). − Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan suatu strategis elf-
handicaping (hipokondriasis).
3.3. Klasifikasi dan Diagnosis Gangguan Somatoform
Gangguan Somatisasi
a. adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun;
b. tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya;
c. terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.
Gangguan somatoform tak terinci
a. keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan tetapi gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somastisasi tidak terpenuhi;
b. kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum jelas, akan tetapi tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-keluhannya.
Gangguan hipokondrik
a. keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap penampakan fisiknya
b. tidak mau menerima nasehat atauu dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya.
Disfungsi otonomik somatoform
a. adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat, tremor, flushing, yang menetap dan mengganggu;
b. gejala subyektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentuc. preokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenai kemungkinan adanya gangguan yang
serius dari sitem organ tertentu, yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan berulang,d. tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur yang dimaksud.
Gangguan nyeri somatoform menetap
a. keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya gangguan fisik.
b. nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau problem psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut.
c. dampaknya adalah meningkatannya perhatian dan dukungan, baik personal maupun medis, untuk yang bersangkutan.
Gangguan somatoform lainnya
a. pada gangguan ini keluhan-kekuhannya tidak melalui sitem saraf otonom, dan terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu. Ini sangat berbeda dengan gangguan somastisasi dan gangguan somatoform tak terinci yang menunjukan keluhannya yang banyak dan berganti-ganti.
b. tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.
3.4. Penatalaksanaan Gangguan Somatoform
Case report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan mereka. Para terapis behaviorist lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.
Terapi untuk Somatization Disorder
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang “sakit” sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak.
Terapi untuk Hypochondriasis
Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis. Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan. Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit.
Terapi untuk Pain Disorder
Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut : memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita relaxation training memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri.
Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan. Terapi
hipokondrik: Terapi Pada pasien ini dilakukan psikoterapi supportif, terapi keluarga, terapi kognitif dan behavioural dan psikofarmaka yaitu tablet Clobazam 10 mg setiap 24 jam, tablet Fluoxetin 20 mg setiap 24 jam, dan syrup Antasid 1 sendok takar setiap 8 jam.
4. memahami dan menjelaskan sakinah mawaddah warrahmah
Sakiinah artinya tenang, tentramMawaddah artinya cinta, harapanRahmah artinya kasih sayang dan satu kata sambung wa yang artinya dan
Tiga kata utama tersebut sejatinya merupakan istilah khas Arab-Islam yang dirujuk dari QS. Ar-Rum ayat 21.“Di antara tanda-tanda (kemahaan-Nya) adalah Dia telah menciptakan dari jenismu (manusia) pasangan-pasangan agar kamu memperoleh sakiinah disisinya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kemahaan-Nya) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum:21)
Dalam perkembangannya, kata sakiinah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia dengan ejaan yang disesuaikan menjadi sakinah yang berarti kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan.Kata mawaddah juga sudah diadopsi ke Bahasa Indonesia menjadi mawadah yang b erarti kasih sayang. Mawaddah mengandung pengertian filosofis –> adanya dorongan batin yang kuat dalam diri sang pencinta untuk senantiasa berharap dan berusaha menghindarkan orang yang dicintainya dari segala hal yang buruk, dibenci dan menyakitinya. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kehendak jiwa dari kehendak buruk.
Adapun kata rahmah, setelah diadopsi dalam Bahasa Indonesia ejaannya disesuaikan menjadi rahmat yang berarti kelembutanhati dan perasaan empati yang mendorong seseorang melakukan kebaikan kepada pihak lain yang patut dikasihi dan disayangi.
Karena itu, kedamaian dan kesejukan berumah tangga akan terbina dengan baik, harmonis serta penuh cinta kasih dan semangat berkorban bagi yang lain. Pada saat bersamaan jiwa dan ruh rahmah tersebut akan membingkainya dengan dekap kasih dan sapaan lembut sang Khalik.
DAFTAR PUSTAKA
-Mardjono & Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat
-Mansjoer, Arief, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
-Kaplan & Saddock. 1997. Sinopsis Psikiatri Edisi 7 Jilid 2. Jakarta : Binarupa Aksara
-Maslim, Rusdi. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Unika Atma Jaya
-Rawi, Asmawi. Menelaah Kembali Hakikat Pernikahan dalam Islam
-Anonim. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. www.suaramuhibbuddin.wordpress.com
-Abidin, Mas’oed. Membina Rumah Tangga dan Memelihara Nilai-Nilai Pernikahan Sesuai Bimbingan Agama Islam. www.bundokanduang.wordpress.com