sajak gunawan m
TRANSCRIPT
Di Mercu Suar
Berdirilah di sudut, katamu.Raba tembok tua itu.Di dekat pigura yang tergores pisau,tertulis “1927”.
Siapa tahu kita akan tenang dengan ruang yang dihuni waktu: pintu kayu besi yang dibalur lumut, engsel yang digerus asin laut, gambar dua mendiang presiden pada dinding….
Mungkin mercu ini akan melindungi kitadari hal-hal yang berarti,dengan tamasya yang minimal.Seorang penjaga pernah menuliskansatu kalimat di langit-langitnya,“Cahayaku memberikan segalanya ke samudera.”
Kita belum tahu siapa yang pernah di sini, adakah kita tamu di sini.Tertahan di sepetak pulau, kita bisa juga betah dengan sebungkah karangdan seonggok tanggul yang membiasakan diri kepada pasang – seperti semakjeruju kering di utara yang tak jauh itu yang hampir hanyut, tapi selalumenemui ombak.
Aku tak bisa jawabapa yang akan lenyapdan yang tibakelak.
Lanjut..
sajak "di mercu suar"3 komentar Puisi • Minggu, 25 November 2012 @ 10:34 diunggah oleh zen
Yang Tak Menarik dari Mati
Yang tak menarik dari matiadalah kebisuan sungaiketika akumenemuinya.
Yang menghibur dari matiadalah sejuk batu-batu,patahan-patahan kayupada arus itu.
2012
kematian, maut, sajak, yang menarik dari mati
5 komentar Puisi • Minggu, 25 November 2012 @ 10:29 diunggah oleh zen
Tentang Maut
Di ujung bait itu mulai tampak sebuah titikyang kemudian runtuh, 5 menit setelah itu.
Di ujung ruang itu mulai tampak sederet jariyang ingin memungutnya kembali.
Tapi mungkinitu tak akan pernah terjadi.
Ini jam yang amat biasa: Maut memarkir keretanyadi ujung gang dan berjalan tak menentu.
Langkahnya tak seperti yang kau bayangkan: tak ada gempa, tak ada hujan asam, tak ada parit yang meluap.
Hanya sebuah sajak, seperti kabel yang putus.
Atau hampir putus.
2012
burung punai, kahyangan, kematian, pewayangan, sajak, Tentang Maut, usinara1 komentar Puisi • Minggu, 25 November 2012 @ 10:24 diunggah oleh zen
Di Antara Kanal
Jarimu menandai sebuah percakapanyang tak hendak kita rekamdi hitam sotong dan gelas sauvognon blancyang akan ditinggalkan.
Di kiri kita kanal menyusupdari laut. Di jalan para kelasimalam seakan-akan biru.“Meskipun esok lazuardi,” katamu.
Aku dengar. Kita kenalkegaduhan di aspal ini.Kita tahu banyak hal.Kita tahu apa yang sebentar.
Seseorang pernah mengatakankita telah disandingkan
sejak penghuni pertama ghetto Yahudimembangun kedai.
Tapi kau tahu aku akan melepasmu di sudut itu,tiap malam selesai, dan aku tahu kau akan pergi.
“Kota ini,” katamu, “adalah jamyang digantikan matahari.”
2012
Di antara kanal, kota, percakapan, sajak1 komentar Puisi • Minggu, 25 November 2012 @ 10:18 diunggah oleh zen
Aktor
– untuk Moh. Sunjaya
Aktor terakhir menutup pintu.“Caesar, aku pulang.”Dan ruang-rias kosong. Cermin jadi dinginseperti wajah tua yang ditinggalkan.
Siapapun pulang. Meski pada jas dengan punggung yang berlobang ia masih rasakan ujung pisau itu menikam dan akerdeon bernyanyi pada saat kematian.
“Teater,” sutradara selalu bergumam, “hanya kehidupan dua malam.”“Tapi tetap kehidupan,” ia ingin menjawab.Ia selalu merasa bisa menjawab.
Ia menyukai suaranya sendiridan beberapa kata-kata.Tapi pada tiap reruntukan panggungia lupa kata-kata.
Pada tiap reruntukan panggunngia hanya ingin tiga detik — tiga detik yang yakin:dalam lorong Kapai-Kapai, Abu tak berhentihanya karena cahaya tak ada lagi.
Ia tak menyukai melankoli.
2012
Aktor, caesar, Moh Sanjaya, seni pertunjukan, teater0 komentar Puisi • Minggu, 25 November 2012 @ 10:12 diunggah oleh zen
Rite of Spring
Tari itu melintas pada cermin:bagian terakhir Ritus Musim.Gerak gaun — paras putih –tapak kaki yang melepas lantai….
23 tahun kemudian di kaca ia temukan wajahnya.Sendiri. Terpisah dari ruang.Lekang, seperti warna waktu pada kertas koreografi.
Tapi ia masih ingin meliukkan tangannya.“Aku tak seperti dulu,” katanya,“tapi di fragmen ini kau memerlukan aku.Aku — hantu salju.”
Suaranya pelan. Seperti derak tulangketika di ruang latihan itu tak ada lagi adegan.Hanya nafas. Mungkin ia masih di situ.
2012
koreografi, Puisi, rite of spring, tarian0 komentar Puisi • Minggu, 25 November 2012 @ 10:05 diunggah oleh zen
Tentang Chopin
Kembali ke nokturno, katamu. Aku inginkan Chopin.Seperempat jam kemudian, tuts hitam pada piano itu menganga.Malam telah melukai mereka.
Mungkin itu sebabnya kau selalu merasa bersalah, seakan-akan sedih adalah bagian dari ketidaktahuan.Atau kecengengan. Tapi setiap malam, ada jalan batu dan lampu sebuah kota yang tak diingat lagi, dan kau,yang mencoba mengenangnya dari cinta yang pendek, yang terburu, akan gagal. Di mana kota ini? Siapa yangmeletakkan tubuh itu di sisi tubuhmu?Semua yang kembalihanya menemuimupada mimpi yang tersisadi ruas kamar….
Coba dengar, katamu lagi,apa yang datang dalam No. 20 ini?
Di piano itu seseorang memandang ke luardan mencoba menjawab:Mungkin hujan. Hanya hujan.
Tapi tak ada hujan dalam C-Sharp Minor, katamu.
2012
chopin, piano, tentang chopin0 komentar Puisi • Jumat, 3 Februari 2012 @ 18:23 diunggah oleh zen
Aung San Suu Kyi
Seseorang akan bebas dan akan selalusehijau kemarau
Seseorang akan bebas dan sehitam asammusim hujan
Seseorang akan bebas dan akan lariatau letih
Dan langit akan sedikit dan bintangberalih
Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucatpagoda
Seseorang akan bebas dan sorga akantak ada
Tapi barangkali seseorang akan bebas dan memandangitandan yang terjulai
Tandan di pohon saputangan, tandan di tebing jalanke Mandalay
1996-1997
4 komentar Puisi • Jumat, 3 Februari 2012 @ 18:21 diunggah oleh zen
Aung San Suu Kyi (English Version)
Someone will be set free and stay as eternalas the green of the dry season
Someone will be set free and be as sour-blackas the monsoon
Someone will be set free and will runor tire
And the sky will shrink and the starsShift
And between the pole of the seven flags and the pale peakof the pagoda
Someone will be set freeand disappear
But perhaps someone will be set free and seethe dangling stems
stems on the handkerchief tree, stems on the slopes of the roadto Mandalay
1996-1997
(translated from the Indonesian version by Eddin Khoo).
0 komentar Foto, Naskah Pentas, Puisi • Rabu, 25 Januari 2012 @ 19:57 diunggah oleh zen
U
Surga terletak di telapak kaki ibu, ia selalu ingat itu: perempuan tua penyapu jalan yang tak dikenalnya yang memberinya seraut tapal kuda dan berkata, ‘Kutemukan ini; coba kau simpan’.
Sejak itu di tas sekolahnya ada tapal kuda yang separuh berkarat. Tiap pagi, sebelum memasuki kelas, ia merabanya: sesaat, entah di mana, ia dengar gerit pintu kandang dibuka dan bunyi langkah ksatria yang belum ia beri nama: seorang kurus yang meregangkan kakinya di sanggurdi dan berangkat membunuh Boma di perbatasan.
Di kedai tukang kebun, terkadang ia tunjukkan tapal kuda itu kepada siapa saja yang duduk di dekatnya. Siapa saja tak pernah tahu apa yang sebaiknya dikatakan. Beberapa orang hanya berkata, ‘Wah!’ dan pergi.
Beberapa tahun kemudian ia menangis untuk ayahnya yang menghilang di Semenanjung dan ibunya yang memahat kayu sampai jauh malam. Digenggamnya tapal kuda itu di jam-jam sebelum tidur, karena ia ingin bermimpi Boma tak mengalahkan ksatria yang tak bernama itu, meskipun kuda itu pulang tak berpenunggang.
Dulu ia pernah percaya besi berkarat yang disimpannya itu juga terpasang di kuda kavaleri yang terjun ke jurang dengan leher tertembak. Tapi kemudian ia menemukan sejumlah cerita lain yang setelah 25 tahun berlalu ia lupakan.
Kini, di studionya, tapal kuda itu terpasang pada tepi meja gambar: seraut U yang bersahaja, sebuah desain dengan sederet lobang yang seakan-akan malu menyembunyikan kesedihan.
Tapi mungkin juga bukan kesedihan. Kemarin malam di atas kertas ia goreskan pensil mengikuti lengkung U. Lalu ia gambar sebuah candi di sebuah hutan Bali yang hampir tak kelihatan karena kabut. ‘Ini cerita perjalanan yang lama’, demikian ia berkata kepada anaknya yang menatapnya dengan takjub.
‘Aku melihat kuda itu, Ayah’.‘Apa warnanya, Isa?’
‘Ungu, tapi kakinya putih. Di pelananya duduk seorang ibu yang tua’.
‘Bukan seorang ksatria yang kurus?’‘Bukan’.
Ia diam. Dielusnya kepala anak itu.
Di depan jendela studio, kemudian, ketika ia sejenak melihat ke gelap, ia dengar berisik sebuah jalan yang tak dikenalnya. Seperti di pagi hari. Seorang ibu tua penyapu jalan, dengan seragam kuning yang berlumpur, terbungkuk memungut sesuatu dari sampah.
Di antara asap mobil yang lewat, benda itu berkilau. Seperti setangkai daun surga.
2012
Goenawan Mohamad – Sajak-sajak Lengkap 1961-2001
Leave a comment
smoking gm
Medium: Buku – PuisiPenulis: Goenawan MohamadJudul: Sajak-sajak Lengkap 1961-2001Penerbit: Metafor Publishing, JakartaTahun: Cetakan I, Agustus 2001Tebal: 215 hal
“Mengapa kita mau berpayah-payah memahami sebuah puisi? Apakah karena kita menganggap puisi adalah permainan petak umpet sehingga kita perlu mencari apa yang tersembunyi di balik kata dan makna? Itu yang tak aku mengerti. Semakin banyak aku baca puisi, semakin aku merasa tak perlu mencari apa-apa di sana.”
”Mungkin puisi memang bukan untuk dipahami apalagi dimengerti. Cukuplah ia dihayati. Namun bukan untuk menghayati sang penyair atau pun syairnya. Melainkan menghayati penghayatan pada diri sendiri.”
Salah satu buku puisi yang, menurut Om, masuk dalam daftar wajib koleksi adalah puisi-puisi karya Goenawan Mohamad (GM). Sayang, di masa-masa terbitnya, Om tidak berkesempatan mendapatkan kumpulan karya puisi GM, seperti Parikesit, Interlude, Asmaradana, Misalkan Kita di Sarajevo. Beruntunglah ketika Om sudah punya cukup penghasilan, ada penerbit yang bersedia menerbitkan kumpulan puisi merayakan 40 tahun kepenyairan GM: “Sajak-sajak Lengkap 1961-2001”.
Di Muka Jendela
Di sinicemara pun gugur daun. Dan kembaliombak-ombak hancur terbantun.Di sinikemarau pun menghembus bumimenghembus pasir, dingin dan malam hariketika kedamaian pun datang memanggilketika angin terputus-putus di hatimu menggigildan sebuah kata merekahdiucapkan ke ruang yang jauh: – Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merahdari tanah padang-padang yang terngadahtanah padang-padang tekukurdi mana tangan-hatimu terulur. Pulaada menggasing kincir yang sunyiketika senja mengerdip, dan di ujung benuamencecah pelangi:tidakkah siapa pun lahir kembali di detik beginiketika bangkit bumi,sajak bisu abadi,dalam kristal katadalam pesona?
1961
Buku ini mengumpulkan puluhan puisi GM mulai tahun 1961 (puisi pertama Om kutip di atas) sampai tahun 2001. Sampai sekarang pun GM masih setia menulis puisi. Meski sudah mencapai posisi yang cukup terhormat dalam dunia kepenyairan di tanah air, toh GM masih juga mengundi keberuntungannya dengan mengirimkan puisi-puisinya ke media. Beberapa bulan lalu, kita masih bisa membaca puisinya di muat di harian Kompas. Dalam beberapa bulan ke depan kita boleh berharap ada kumpulan puisi GM yang diterbitkan.
Saya Cemaskan Sepotong Lumpur
Saya cemaskan sepotong lumpur di koral halamanSaya cemaskan sepotong daun di koral halamanSaya cemaskan kau, malam yang mengigau dengan gerimis tak kelihatan
1978
Aung San Suu Kyi
Seseorang akan bebas dan akan selalusehijau kemarau
Seseorang akan bebas dan sehitam asammusim hujan
Seseorang akan bebas dan akan lariatau letih
Dan langit akan sedikit dan bintangberalih
Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucatpagoda
Seseorang akan bebas dan sorga akantak ada
Tapi barangkali seseorang akan bebas dan memandangitandan yang terjulai
tandan di pohon saputangan, tandan di tebing jalanke Mandalay
1996-1997
Puisi-puisi dalam buku ini disusun berdasarkan urut waktu. Dengan tajuk “sajak lengkap”, mudah-mudahan tidak ada yang tercecer.
Om lebih suka kalau buku ini disusun berdasarkan sub bab: Parikesit, Interlude, Asmaradana, Misalkan Kita di Sarajevo. Membaca puisi dalam kumpulan sub bab demikian memberikan wacana kontekstual ketimbang dokumentarial.
Berikut puisi GM yang Om sukai pada pandangan pertama:
Kabut
Siapakah yang tegak di kabut ini.Atau Tuhan, atau kelam:
Bisik-bisik lembut yang sesekaliMengusap wajahnya tertahan-tahan
Kepada siapakah kabut iniTelah turun perlahan-lahan:Kepada pak tua, atau kamiKepada kerja atau sawah sepi ditinggalkan
1963
Berikut ada beberapa puisi GM yang termuat di harian Kompas di tahun 2005 dan 2006. Tentu saja tidak tercantum dalam buku ini.
Di Assisi
Tuhan dengan suara yang aneh
melepaskan sayap malaikat yang ingin terbang dan tak kembali ke mural ini. Berkah akan jadi tua, juga batu-merah sepanjang hujan, dan yang suci akan jadi hijau, dan di langit El Greco, yang tak-fana mungkin tak mengerti kenapa cinta adalah sedih yang tersisa seperti remah pada meja pagi hari.
2005
Sebelum Bom
Sebelum bom itu meledak ia lihat pantai: laut (yang belum selesai menghapal ombak) melepaskan teja yang hampir padam.
Hijau tak diacuhkan hujan, agaknya, juga burung yang bertebar di ladang garam.
Dan ia ingin tidur.
Tapi di kamar ini Tia, seekor kucing, mencakari kaca akuarium, dan ikan-ikan tua mengatupkan insang ketika jam bundar itu melepaskan tak-tik-toknya ke cuaca, dan ia tak ingat benar adakah bunga dalam vas itu ia namai “krisantemum” sebelum mati.
Sebelum bom itu meledak
2005
Orfeus
I
Lima menit sebelum kereta berangkat perempuan itu berkata kepadanya,“Orfeus, aku tak akan kembali.”Di halte dusun itu ia terdiam. Dan peron terbujur. Dan loko tak bergerak. Bangku, jam, tiang lampu, seakan hanya tableau. Pintu gerbong tetap tertutup. Tangga tetap mengidap debu dan tak ia lihat jejak. Apa yang bisa dilakukannya? Ia, tersenyum, mencoba
mengulurkan tangan, tapi hanya menyentuh syal: “Euridice, tempat ini terlalu sering mengucapkan selamat tinggal.”
II
Pada pukul 7:10, sep stasiun mengenakan petnya, dan melambai. “Lihat, Orfeus, selalu ada sinyal yang sampai.”
III
Rel yang meregang sampai ke hutan seperti dua frase tak bersentuhan – “Euridice!” orang-orang mendengar suara itu “Euridice!” tebing menyahut.
IV
“Pada tiap tikungan kali kau akan dapatkan aku menyanyi dengan merih yang merah. Aku mencarimu, Euridice, sampai kau hilang lagi.”
V
Seperti basah hutan sehabis badai Seperti asap panjang yang tak singgah Pekik peluit lepas yang tak dipastikan Barangkali di sana yang hilang akan selalu dikekalkan.
VI
Kemudian Orfeus bercerita: “Aku menghelamu dari gelap bawah-sadar. Tubuhmu lembab air tanah. Rambutmu tersibak seperti arus hitam, dan sedetik kulihat bekas pada pelipis: kematian. Sebuah liang yang memutih, meskipun samar, seperti tera. Barangkali ia telah tertoreh di sana, sebuah tanda mula, seperti titik genetik, seperti tilas tak tersentuh. Benarkah kulihat kau senyum, bibirmu yang kembali fana? Aku menghelamu dari dingin, Euridice.” “Jangan menengok, Orfeus. Masa lalu selalu tak utuh lagi.”
VII
Tapi laki-laki itu menengok. Ia ingin tahu benarkah waktu hilang jejak, benarkah Ajal tertinggal, benarkah yang kini ada di detik ini. Ia ingin sebuah perjalanan pulang, (meskipun tak tahu apa artinya “pulang”) yang asyik tapi lempang, selurus rakit sebelum muara di bengawan yang terlindung. Ia salah. Euridice tak ditemukannya lagi.
2006
Om Ale08April 2007