s pgsd 0610780_chapter2

27
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kontekstual dalam Pembelajaran 1. Pengertian Kontekstual Pendekatan kontekstual adalah sebuah strategi/ pendekatan pembelajaran seperti halnya strategi pembelajaran lainnya. Namun, pendekatan kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Kontekstual adalah sebuah sistem yang menyeluruh. kontekstual terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah. Seperti halnya biola, dan alat musik lain di dalam sebuah orkestra yang mengahasilkan bunyi yang berbeda-beda yang secara bersama-sama menghasilkan musik, demikian juga bagian-bagian kontekstual yang terpisah melibatkan proses-proses yang berbeda, yang ketika digunakan secara bersama-sama, memampukan para siswa membuat hubungan yang menghasilkan makna. Setiap bagian kontekstual yang berbeda-beda ini memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah. Secara bersama-sama, mereka membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya, dan mengingat materi akademik (Johson, 2007). Landasan filosofi kontekstual adalah kontruktivisme, yaitu pengetahuan bukanlah seperangkat fakta dan konsep yang siap diterima, tetapi sesuatu yang

Upload: hasansanung

Post on 12-Jul-2015

368 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: S pgsd 0610780_chapter2

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kontekstual dalam Pembelajaran

1. Pengertian Kontekstual

Pendekatan kontekstual adalah sebuah strategi/ pendekatan pembelajaran

seperti halnya strategi pembelajaran lainnya. Namun, pendekatan kontekstual

dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan

bermakna.

Kontekstual adalah sebuah sistem yang menyeluruh. kontekstual terdiri

dari bagian-bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu

sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan

bagian-bagiannya secara terpisah. Seperti halnya biola, dan alat musik lain di

dalam sebuah orkestra yang mengahasilkan bunyi yang berbeda-beda yang secara

bersama-sama menghasilkan musik, demikian juga bagian-bagian kontekstual

yang terpisah melibatkan proses-proses yang berbeda, yang ketika digunakan

secara bersama-sama, memampukan para siswa membuat hubungan yang

menghasilkan makna. Setiap bagian kontekstual yang berbeda-beda ini

memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah. Secara

bersama-sama, mereka membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa

melihat makna di dalamnya, dan mengingat materi akademik (Johson, 2007).

Landasan filosofi kontekstual adalah kontruktivisme, yaitu pengetahuan

bukanlah seperangkat fakta dan konsep yang siap diterima, tetapi sesuatu yang

Page 2: S pgsd 0610780_chapter2

16

harus dikonstruksikan sendiri oleh siswa (Fitriati, 2002). Artinya bahwa belajar

menekankan tidak hanya sekedar menghafal, tetapi siswa diharapkan belajar

melalui pengalaman. Pembelajaran kontekstual mengasumsikan bahwa siswa

datang ke ruang kelas tidak dalam keadaan kosong dan mereka tidak pasif, tetapi

mereka dituntut terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. Guru masuk ke dalam

kelas dengan membawa “suatu masalah” (contexstual problem) yang harus

dipecahkan. Hal ini tidak berarti bahwa guru bersifat pasif, karena di dalam kelas

sudah terbentuk learning community yang didalamnya sudah ada aturan-aturan

yang harus ditaati bersama. Siswa harus saling menghormati sesamanya dan

mereka bertindak sebagai pendengar yang baik (good listener) jika kawannya

sedang mengemukakan pendapat. Di sini, guru lebih banyak bersifat fasilitator.

Menurut Maesuri (2002, h. 1) pembelajaran kontekstual adalah suatu

sistem pembelajaran yang didasarkan pada alasan bahwa pengertian atau makna

muncul dari hubungan antara konten dan konteksnya. Konteks memberi makna

pada konten. Pemahaman yang lebih terhadap suatu konten dapat dicapai siswa

jika diberikan konteks yang lebih luas yang didalamnya siswa dapat membuat

hubungan-hubungan. Semakin banyak siswa mengaitkan pelajaran mereka dengan

konteks, maka akan lebih banyak pengertian yang dapat diturunkan dari pelajaran

tersebut.

Pembelajaran kontekstual menurut Wilson (2001) adalah suatu konsep

bagi pembelajaran yang menolong guru dalam menghubungkan topik yang di

ajarkan dengan situasi dunianyata, sedangkan bagi siswa sebagai motivasi untuk

membuat pengaitan natara pengetahuan dengan kehidupanya baik di keluarga,

Page 3: S pgsd 0610780_chapter2

17

masyarakat, dan aktifitas lainnya. Sedangkan Hull & Souders (dalam Advanced

technology Environ mental Education cnter (ATEEC) 2000) mengemukakan,

dalam pembelajaran kontekstual siswa menemukan hubungan yang bermakna

antara ide- ide abstark dengan aplikasi dengan konteks kehidupan nyata.

Dengan penyampaian konteks, siswa dituntut untuk mencoba

menyelesaikan permasalahan tanpa menunggu informasi dari guru bagaimana

solusinya. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dan pembimbing yang berperan

jika seandainya terdapat kesulitan atau kemacetan dalam pembelajaran. Hal yang

sama diungkapkan oleh Gravemeinjer dan Doorman (dalam Sabandar, 2001, h. 2),

bahwa pada pembelajaran kontekstual, konteks ditempatkan pada

awalpembelajaran, selanjutnya siswa secara perorangan atau kelompok siswa

disuruh memecahkan permasalahan, dengan kemampuan matematikanya atau

kemampuan berpikir.

Konteks ditempatkan di awal pembelajaran, karena berperan sebagai

pemicu terjadinya penemuan kembali(reinvention) matematika oleh murid,atau

sebagai guided reinvention (pembimbing penemuan), yang merupakan suatu jalan

untuk menjembatani hambatan yang sering muncul,antara pengetahuan informal

dengan pengetahuan formal matematika dalam memecahkan masalah dengan

berpikir sendiri. Blanchard (2001) mengemukakan, dengan memberikan berbagai

masalah kehidupan eshari-hari yang belum ada penyelesaiannya,diharapkan

menjadi stimulus untuk belajar,dengan cara mengaitkan atau mengorganisasikan

informasi yang ada dalam teks.akhirnya diharapkan siswa dapat

mengaplikasikannya dalam kehidupan yang akan datang.

Page 4: S pgsd 0610780_chapter2

18

De Lange (dalam Sabandar, 2001) membedakan tiga konteks dalam

kegiatan matematisasi: (1) konteks orde satu yang berisi hanya penterjemahan

soal-soal matematika yang disajikan dalam bentuk teks,(2) konteks orde dua dan

tiga pada dasarnya menyajikan kesempatan bagi matematisasi, (3) konteks orde

tuga merupakan konteks yang memberikan peluang bagi murid untuk menemukan

konsep baru dalam matematika. Sedangkan berdasarkan derajat

realitasnya,konteks dibedakan menjadi tiga jenis: (1) tidak ada konteks, artinya

tidak ada konteks yang nyata, tetapi yang ada hanyalah soal matematika, (2)

konteks kamuflase, artinya konteksnya tidak relevan, namun didandani atau

dipoles soal yang hanya bersifat matematis,(3)konteks relevan dan esensial,

artinya konteks tersebut benar-benar relevan memberikan kontribusi pada

masalah.

Konteks yang disajikan dalam pembelajaran, merupakan permasalahan

yang belum diketahui oleh siswa bagaimana penyelesaian secara matematika tapi

dengan modal kemampuan proses berpikir siswa serta ditambah pengetahuan dan

kemampuan yang sudah dimiliki, diharapkan siswa siswa bisa menyelesaikan

permasalahan tersebut sesuai langkah dan pola masing-masing. Seorang anak atau

orang dewasa bila masuk pada situasi baru, ia akan berusaha mencari apa yang

sudah dikenal, selanjutnya ia mencari apa yang mirip dengan yang sudah

dikenalnya atau yang sudah ada dalam ingatannya.

Dalam pembelajaran kontekstual diharapkan demikian, disaat seorang

siswa menerima permasalahan yang belum diketahui cara penyelesaiannya, ia

akan berusaha mencari hal-hal yang mirip dengan apa yang ia ketahui

Page 5: S pgsd 0610780_chapter2

19

sebelumnya, atau ia akan memodifikasi fakta-fakta yang ada dalam permasalahan

tersebut agar sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki. Sampai akhirnya ia bisa

menemukan sendiri solusi dari permasalahan yang disajikan.

2. Langkah - Langkah Pembelajaran Kontekstual

Soejad (2001) mengmukakan mengenai hal yang perlu di perhatikan dalam

praktek pembelajaran kontekstual: (1) Belajar aktif dalam mengkongstruk

pengetahuan dan pemecahan masalah. (2) Multi konteks dalam memberi

penglaman murid dalam menggunakan pengetahuan, untuk memecahkan masalah

dalam konteks baru. (3) Koperatif, belajar melalui kerjasama dan koreksi diri. (4)

Hubungan dunia real melalui aktivitas di luar kelas. (5) Mengutamakan

pengalaman dan pengetahuan dan pengetahuan situasional yang bernilai bagi

siswa sebagai fondasi. (6) Melibatkan kebutuhan dan sasaran siswa yang berbeda-

beda. (7) Belajar dan tindakan di tekankan agar siswa dapat kontribusi kepafa

perbaikan masyarakat. (8) Penilaian autentik dalam multi konteks yang bermakna.

(9) Penekanan pembelajaran lebih tinggi untuk pemecahan masalah, dari pafa

mengingat dan mengulang-ulang.(10) Mengarahkan (memandu) dan mendorong

siswa agar mampu melakukan pilihan-pilihan, mengembangkan alternatif sendiri.

(11) kepedulian masyarakat kelas dalam menghargai hubungan siswa dengan guru

dan antar siswa, sehingga kelas kondusif untuk belajar.

Dalam pembelajara kontekstual guru dituntut untuk mengajar siswa

dengan pembelajaran yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa

Page 6: S pgsd 0610780_chapter2

20

tidak berfikir abstrak dalam pembelajaran dan penggunaan media pembelajaran

dan soal-soal dalam evaluasi harus bekaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Siswa dalam satu kelas memiliki kemampuan yang beragam. Guru harus

bisa memperkirakan kemampuan siswa secara klasikal, dalam menyelesaikan

permasalahan yang disajikan. Bila permasalahan dianggap mudah cara

penyelesaiannya, guru bisa menyuruh siswa bekerja secara sendiri tanpa bantuan

teman. Tapi kalau permasalahan tersebut dianggap susah dalam penyelesaiannya,

guru bisa memberikan jalan keluar berupagambar-gambar, pertanyaan penggiring,

memberikan penjelasan sederhana, atau menyuruh siswa bekerja secara

kelompok.

Dalam kelompok siswa bisa melakukan diskusi kelimpok kecil atau

kelompok besar. Kelompok inilah yang menentukan sendiri cara bekerja,

mendiskusikan tugasnya, dan menyimpulkan hasil pekerjaannya, guru tidak harus

diam tapi harus membimbing, dan apabila perlu harus membantu merumuskan

kesimpulan (Ruseffendi, 1990, h. 85). Dengan bekerja secara perorangan maupun

kelompok diharapkan siswa aktif mencari alternatif jawaban, sebab selama ini

guru dalam pembelajaran matematika kurang bahkan tidak pernah mengaktifkan

siswa, hal ini sesuai dengan temuan Marpaung (dalam Sugiman 2001, h. 167)

yakni, disekolah siswa hampir tidak pernah dituntut untuk mencoba strategi

sendiri atau cara alternatif dalam memecahkan masalah, siswa pada umumnya

duduk sepanjang waktu diatas kursi.

Sesuatu yang ditemukan secara sendiri dengan penyelesaian coba-coba,

hasilnya akan berakar lama pada diri anak. Kalaupun suatu saat lupa, ia bisa

Page 7: S pgsd 0610780_chapter2

21

berusaha mengingatnya, dengan cara mengingat kembali langkah-langkah yang

pernah dilakukan untuk menemukan hal tersebut.

Keaktifan siswa dalam memecahkan masalah dengan strategi sendiri

menurut Gordon (dalam Dahlan, h. 87), akan menimbulkan proses kreativitas

yang akan berlangsung terus menerus dan merupakan bagian dari kegiatan sehari-

hari yang berlangsung seumur hidup. Proses kreatif dalam berpikir berguna untuk

meningkatkan kemampuan memecahkan masalah (problem solving), dan

mengembangkan ekspresi kreatif (creative expression) siswa.

Menurut Wilson (2001), dalam kegiata pembelajaran konteks bisa

disampaikan melalui handouts, demonstrasi kelas, dan soal yang menggunakan

petunjuk. Sekali-kali permasalahan bisa diangkat oleh siswa melalui hasil

diskusiatau ada siswa yang membawa permasalahan dari pengalaman untuk

ditampilkan. Hal tersebut jelas bahwa siswa diberi kesempatan untuk berani

mengemukakan permasalahan sebagai bahan pelajaran sesuai dengan

keinginannya.

Siswa dapat ikut serta dalam mempersiapkan permasalahan pembelajaran

melalui hasil diskusi, atau permasalahan yang dibawa oleh salah seorang siswa.

Ini menunjukkan pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran demokrasi

yang memberikan kesempatan pada siswa untuk membawa permasalahan sebagai

topik yang akan dibahas. Guru harus memiliki kemampuan merevisi, jika

permasalahan yang dibawakan oleh siswa terlalu sulit intuk dipecahkan, dengan

jalan menyederhanakan permasalahan yang disajikan agar sesuai dengan

kemampuan siswa dan topik yang disajikan.

Page 8: S pgsd 0610780_chapter2

22

Usia siswa sekolah dasar berkisar antara 6-12 tahun menurut piaget (dalam

makmun 1995, h.61) termasuk dalam tahap operasional kongkrit, yaitu

kemampuan melakukan proses bepikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah

logika masih terkait dengan objek yang bersifat kongkrit. ruseffendi (1991,h.143)

menyatakan bahwa proses pembelajaran pada tahap operaional kongkrit dalam

pengenalan konsep matematika harus mulai dari beberapa tahapan yaitu; (1)

tahapan kongkrit (selalu menggunakan benda-benda kongkrit, (2) semi kongkrit

(dapat mengerti bila di bantu dengan benda-benda kongkrit), (3) semi abstrak

(dapat mengerti dengan menggunakan diagram, torus dan lain-lain), dan (4)

selajutnya abstrak (dapat di mengerti tanpa bantuan benda-benda real, gambar

maupun diagramnya).

Kegiatan pembelajaran dalam tahap operasional kongkrit, di antaranya

dapat menggunakan benda asli, model atau alat praga dalam kegiatan

pembelajaran. Selain itu operasional kongkrit dapat di presentasikan sebagai

kemampuan yang di miliki siswa dalam mengkaitkan antara topik yang di ajarkan,

dgna pengalaman dam aktifitas yang pernah di miliki dan di ketehui oleh siswa

sebelmnya. Sehingga siswa dpat mengkaitkan antara satu topik pembelajara dngan

tindakan atau perbuatan kehidupan nyata (Ruseffendi, 1991, h. 143).

Ketrkaitan kehidupan nyata dalam pembelajaran bila dimulai dari sesuatu

yang dekat dngan siswa, sederhana, dan sesuai dengan kemampuan berpikir

mereka. Pembelajaran bisa dikaitkan dengan permasalahan keluarga, pertanian,

lingkungan sekitar, lingkungan teman atau keluraga lain yang terdkat. Kita

kadang-kadang menemukan, guru membawa situasi kehdupan yang disajikan

Page 9: S pgsd 0610780_chapter2

23

dalam pebelajaran tiak sesuai dngan kehidupan siswa. Misalnya membawa

kehidupan desa di sekolah lingkungan kota atau membawa lingkungan pertanian

di sekolah lingkunga pantai. Adakalanya guru membaa situasi yang sudah tidak

sesuai lagi. Misalya satu sekolah berada di lingkungan persawahan, tapi sekarang

sawahnya sudah tidak ada dipenuhi oleh abrik dan perumahan jadi situasi

persawahan dulu cocok tapi sekarang sudah tidak cocok lagi .

Pembelajaran matematikadalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari

dalam kurikulum 1994 di berikan melalui soal cerita (word problem).

Secara khusus pembelajaran matematika yang ada kaitanya dengan

kehidupan sehari- hari (aktifitas manusia) termauk mahtematical connection

(NCTM, 1998). Sedangkan menurut soedjadi (2001) mahtematical connection

khusus di peruntukan untuk matematika, tapi secara umum bia menggunakan

pendekatan contextual teaching and learning (pembelajaran kotekstual).

Heruman dalam Tesis PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP

HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS

IV SEKOLAH DASAR ( 2003) Tidak di terbitkan. Mengemukakan pemahaman

tentang pembelajaran kontekstual dalam matematika adalah sebagai berikut:

pembelajaran kontekstual marupakan pembelajaran yang membawa situasi nyata

kehidupan sehari-hari, berupa aktivitas manusia kedalam pembelajaran yang

dikaitkan dengan suatu topik matematika. Kahiduapan sehari-hari yang dimaksud

kehidupan lingkungan yang dekat dimana siswa sering berinteraksi. Sedangkan

aktivitas manusia berupa kegiatan yang didalamnya ada proses secara sadar atau

tidak sadar sering menggunakan konsep-konsep matematika.

Page 10: S pgsd 0610780_chapter2

24

Pembelajaran kontkstual, menurut UGA CTL Projet (2001), memiliki ciri-

ciri dalam stra tegi pembelajaran sebagai berikut: mengutamakan pemecahan

masalah, pembelajaran menyajikan berbagai konteks yang bervariasi, memonitor

dalam memberi petunjuk untuk belajar mandiri, menampilkan berbagai konteks

kehidupan, mendorong siswa belajar dari yang khusus ke yang umum, dan

menggunakan penilaian yang autentik.

3. Komponen- Komponen Pendekatan Kontekstual

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ini mempunyai tujuh

komponen utamama, yaitu konstruktivisme (contrutivism), menemukan (inquiry),

bertanya (Questioning), masyarakat belajar (Learning komuniti), pemodelan

(modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment).

Untuk lebih jelasnya berikut ini uraian mengenai karakterirtik (komponen)

dari pembelajaran yang dikembangkan dengan pendekatan kontekstual.

a. Konnstruktivisme (Contrutivism)

Merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu

pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Pengeteuan bukanlah

seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.

Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui

pengalaman nyata.

Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengalaman mereka

melalui keterlibatan dan aktif dalam proses belajarmengajar. Siswa menjadi pusat

Page 11: S pgsd 0610780_chapter2

25

kegiatan, bukan guru. Dalam pandangan konstrutivime “strategi memperoleh”

lebih diutamakan dibandingkan dengan beberapa banyak siswa memperoleh dan

mengingat pengetahuan. Pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui

pengalaman. Pemahaman bertkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila

selalu diuji dengan pengalaman baru.

b. Menemukan (Inquiry)

Proses belajar adalah proses menemukan. Langkah-langkah atau kunci

menemukan atau Inquiry meliput:

1. Merumuskan masalah.

2. Mengamati atau melakukan observasi, termasuk membaca

buku, mengumpulkan infor masi.

3. Menganalisis dan menyajikan hasil karya dalam tulisan,

laporan, gambar, tabel, dan sebagainya.

4. Menyajikan, meng komunikasikan hasil karya didepan guru,

teman sekelas atau audiens yang lain.

c. Bertanya (Questioning)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang, umumnya tidak terlepas dari

aktifitas bertenya. Bertanya merupakan satu stra tegi penting dalam CTL. Bagi

siswa, bertanya menunjukan ada perhatian terhadap materi yang dipelajari dan

upaya untuk menemukan jawaban sebagai bentuk pengetahuan. Bagi guru,

bertanya adalah mengaktifkan siswa. Hal ini sudah biasa dilaksanakan dalam

kelas.

Page 12: S pgsd 0610780_chapter2

26

d. Masyarakat belajar (Learning kommunity)

Hasi belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar

yang tahu ke yang belum tahu. Diruang ini, dikelas ini, disekitar ini dan juga ada

diluar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar.

Dalam kegiatan kelas yang menggunakan pendekatan CTL, guru

disarankan selalu melaksanakan pembelajaran secara berkelompok. Siswa dibagi

kedalam kelompok-kalopmpok yang anggotanya heterrogen. Pengembangan

learning comunity akan senantiasa mendorong terjadinya proses komunikasi multi

arah. Masing- masing pihak melakukan kagiatan belajar dapat menjadi sumber

bekajar.

e. Pemodelan (Modeling)

Kompenen CTL yang lain adalah pemodelan. Dalam pembelajaran atau

ketrampilan pengetahuan tertentu,perlu ada model yang bisa ditiru. Guru bukan

satu-satunya model, modela dapat dirancang dengan melibatkan siswa yang

mempuinyai kelebihan tertentu. Model juga dapat didatangkan dari luar sesuai

dengan topik pembahasan.

f. Refleksi (reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir

kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Refleksi merupakan

respon terhadap kejadian aktifitas atau pengetahuan yang baru diterima. Dalam

refleksi, siswa mengendapkan apa yang baru saja dipelajari sebagai struktur

pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan

Page 13: S pgsd 0610780_chapter2

27

sebelumnya. Realita praktik di dalam kelas dirancang pada setiap akhir

pembelajaran.

g. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assesment)

Penilaian adalah proses pengumpulan data yang memberikan gambaran

belajar siswa. Penilaian berorientasi pada proses, sehingga pelaksanaannya

menyatu dengan proses pembelajaran. Gambaran proses dan kemajuan belajar

siswa perlu diketahui sepanjang proses pembelajaran. Karena itu penilaian tidak

hanya dilakukan pada akhir periode atau semester, seperti ULUM/TPB atau

UAS/Ujian Sekolah saja.

Penilaian bukan untuk mencari informasi tentang hasil belajar siswa, tetapi

begaimana prosesnya. Hal ini relevan dengan pengertian pembelajaran yang

benar, yakni ditekankan pada upaya membantu siswa bagaimana mampu

mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada perolehan sebanyak

mungkin informasi di akhir pembelajaran.

B. Topik Oprasi Bilangan Bulat dalam Pembelajaran Matematika Sekolah

Dasar

1. Peranan Matematika Di Sekolah Dasar

Istilah matematika diambil dari Bahasa yunani mathema yang berarti

pengetahuan atau ilmu (knowledge, scince).

Berdasarkan etimologis menurut Tinggih (Agustin, 2004) kata matematika

berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Matematika lebih

menekankan ativitas dalam dunia rasio (penalaran). Begitu pula menurut

Page 14: S pgsd 0610780_chapter2

28

Ruseffendi (Agustin, 2004) matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran

manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran.

Arti dan definisi yang tepat dari matematika tidak dapat diterapkan secara

pasti dan singkat. Definisi dari matematika makin lama makin sukar dibuat,

karena cabang matematika makin lama makin bertambah, dan makin bercampur

satu sama lain (Ruseffendi dalam Agustin 2006).

Yang dimaksud matematika dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan

Menengah adalah matematika sekolah. Matematika sekolah adalah matematika

yang diajarkan di sekolah, yaitu matematika yang diajarkan pada pendidian Dasar

(SD dan SMP) dan Pendidikan Menengah (SMA dan SMK). Sedangkan

pendidikan matematika Sekolah Dasar adalah matematika yang diajarkan di

Sekolah Dasar. Matematika SD terdiri atas bagian matematika yang dipilih,

disaring, dan dirancang dari pedoman “resmi” disesuaikan dengan kondisi,

kemampuan, dan kebutuhan sekolah. Siswa SD diharapkan berkembang secara

optimal serta tidak terlepas dari perkembangan pendidikan matematika di dunia

sekarang. Selain itu agar siswa tidak terlalu mendapat kesukaran dalam

mengaitkan konsep-konsep matematika dengan kebutuhan praktis dalam

mengaitkan konsep-konsep matematika dengan kebutuhan praktis sehari-hari

maupun untuk kebutuhan melanjutkan pendidikan pada jenjang selanjutnya.

Matematika merupakan ilmu dasar yang berkembang dengan pesat sesuai

dengan kemajuan teknologi. Untuk itu pembelajaran matematika harus selalu

memberikan pengalaman tentang masa lalu dan masa yang datang. Matematika

yang diajarkan di Sekolah Dasar terdiri atas bagian-bagian yang dapat

Page 15: S pgsd 0610780_chapter2

29

menumbuhkembangkan kemampuan dan membentuk pribadi siswa serta berpadu

pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu berarti matematika

mempunyai ciri-ciri penting, yaitu (1) memiliki objek kejadian yang abstrak (2)

berpola pikir deduktif dan konsisten.

Pembelajaran dengan menggunakan model bangun-bangun memuat unsure

rekreasi atau bermain. (Hudoyo, 1979 : 134) berpendapat bahwa pembelajaran

matematika melalui bermain, pengertian terhadap konsep tersebut akan mantap,

sebab belajar dengan cara itu merupakan belajar yang wajar sesuai dengan naluri

anak. Penggunaan pendekatan atau metode dan media dalam pembelajaran akan

membantu pengembangan nalar siswa (Tim PK Matematika, 1986). Hali ini

dilakukan oleh guru dalam preses pembelajar, penggunaan alat bantu/peraga

model-model konkrit dalam proses pembelajaran pada penelitian adalah alat

bantu/peraga batang bilangan yang diyakini dapat meningkatkan kualitas hasil

pembelajaran.

1. Media pembelajaran

a. Secara Umum

Jika ditinjau dari pihak guru atau tenaga pengajar , media pengajaran lazim

dibuat alat-alat belajar atau mengajar. Pembelajaran yang disertai dengan media

yang tepat, selain memudahkan siswa dalam mengalami, memahami, mengerti,

dan melakukan, juga menimbulkan motivasi yang lebih kuat disbanding jika

hanya menggunakan kalimat abstrak

Page 16: S pgsd 0610780_chapter2

30

b. Secara Khusus

Alat bantu batang bilangan yang akan diterapkan peneliti sebagai media

pembelajaran pada pokok bahasan bilangan bulat ini, terdapat kelebihan dan

kelemahan.

Kelebihan :

1. Mempremudah siswa dalam memahami konsep operasi hitung

dalam bentuk penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat.

2. Melatih siswa untuk telaten dalam menyelesaikan suatu

permasalahan matematika pada operasi hitung dalam bentuk

penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat.

Kelemahan :

Bilangan bulat yang besarnya ratusan atau lebih, sulit untuk diperagakan

menggunakan batang bilangan.

Pada dasarnya secara individual manusia itu berbada-beda, dengan

demikian pula dalam memahami konsep-konsep abstrak dicapai melalui tingkat-

tingkat belajar yang berbeda. Namun satu keyakinan bahwa anak belajar melalui

dunia nyata dan dengan memanipulasi benda-benda nyata sebagai perantaranya.

Bahkan tidak sedikit pula orang dimasa yang umumnya menguasai konsep

abstrak, tetapi pada situasi-situasi tertentu masih memerlukan benda-benda

perantara.

(Rusffendi : 1993) berpendapat bahwa siswa yang tahap berfikirnya masih

ada pada operasi konkrit ( sebaran umur dari 7 s/d 13 tahun bahkan lebih ) yaitu

tahapan umur anak-anak SD tidak akan dapat memahami operasi (logis) dalam

Page 17: S pgsd 0610780_chapter2

31

konsep matematika tanpa dibantu oleh alat-alat konkrit. Serta belajar matematika

akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan pada konsep-konsep dan

strukur-struktur yang termuat dlam pokok bahasab yang diajarkan disamping

hubungan yang terkait antara komponen-komponen dan struktur-struktur. Dalam

pokok bahasan siswa sebaiknya diberikan kesempatan untuk memanipulasi benda-

benda (alat peraga), dengan hal yang seperti ini siswa dapat melihat langsung

bagaimana keteraturan serta pola yang terdapat pada benda yang sedang

diperhatikannya. Keteraturan tersebut oleh siswa dihubungkan dengan keteraturan

intuitif yang telah melekat pada dirinya. Begle (1979 :6-7) berpendapat bahwa

sasaran atau objek telaah matematika tersebut dapat dengan mudah

dikomunikasikan diperlukan simbolisasi. Untuk memahami objek telaah

diperlukan persyaratan pemula yang harus dikuasai sebelum menguasai konsep

yang bersangkutan. Hal ini merupakan landasan untuk pemilihan variabek-

variabel yang berkaitan dengan permasalahan Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

Kusumah dan suherman (1993) menyebutkan tentang sebuah teori belajar

matematika yang dikemukakan oleh ahli matematika. Diantara teori-teori tersebut

adalah teori Dienes. Secara ringkas dalam teori yang dikemukakan nya,

menyatakan bahwa konsep-konsep matematika akan berhasil bila dipelajari dalam

tahapan-tahapan tertentu. Konsep tersebut terbagi dalam 6 tahapan-tahapan

belajar, yaitu :

1. Permainan Bebas (free play)

2. Permainan yang disetai aturan (games)

3. Permainan kesamaan sifat (suarching for communities)

Page 18: S pgsd 0610780_chapter2

32

4. Representasi (refresentation)

5. Simbulisasi (symbolization)

6. Formalisasi (formalization)

Permainan bebas merupakan tahapan belajar konsep yang aktivitasnya

tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak

mengadakan percobaan dan mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda konkrit

dan abstrak dari unsur-unsur yang sedang dipelajarinya.

Permainan yang disertai peraturan, di sini anak-anak sudah mulai

menelitipola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Anak

yang telah memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai

melakukan permainan tadi. Dengan melalui permainan yang disertai aturan, anak-

anak diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur

matematika itu.

Permainan kesamaan sifat, di sini anak-anak mulai diarahkan dalam

menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk

melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu

mengarahkan mereka dengan menetralisasikan kesamaan struktur dari bentuk

permainan yang satu ke bentuk permainan yang lainnya. Translasi ini tentu tidak

boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula.

Referensi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi

yang sejenis. Anak-anak menentukan referentasi dari konsep-konsep tertentu,

setelah mereka berhasil menetukan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-

situasi yang dihadapinya itu. Refresentasi yang diperoleh bersifat abstrak. Dengan

Page 19: S pgsd 0610780_chapter2

33

demikian anak-anak telah mengarahkan pada pengertian struktur matematika yang

bersifat abstrak terdapat dalam konsep yang sedang dipelajarinya.

Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan

kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan

menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal.

Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahapan

ini anak dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan merumuskan sifat-sifat

baru dari konsep tersebut.

Berdasarkan uaian di atas dapat ditarik suatu keseimpulan bahwa

pengajaran matematika adalah sebagai berikut :

1. Tahapan pemahaman konsep

2.Untuk dapat memahami konsep sebaiknya pendidik menggunakan

media atau alat pengajaran dan model penyajian yang bervariasi

sesuai dengan konsep yang diajarkan.

3.Matematika hendaknya disajikan sedemikian rupa sehingga menunjang

kondisi yang diharapkan.

2. Pengertian Matematika Sekolah Dasar

Istilah mathematics (Bahasa Inggris), mathematik (Bahasa Jerman),

mathematique (Bahasa Perancis), matematico (Bahasa Italia), matematiceski

(Bahasa Rusia), atau mathematick/wiskunde (Bahasa Belanda) berasaldari bahasa

latin, mathematica yang diambil dari Bahasa Yunani mathematice yang berarti

Page 20: S pgsd 0610780_chapter2

34

“relating to learning”, istilah ini mempunyai akar kata mathema yang bearti

pengetahuan atau ilmu (knowledge science).

Berdasarkan etimologis menurut Tinggih (SPMK, Tim 2001 : 18) kata

matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Matematiks

lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran). Begitu pula menurut

Rusffendi (1980 : 148) matematikan berbentuk sebagai hasil pemikiran manusia

yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran.

Arti dan definisi yang tepat dari matematika tidak dapat diterapkan secara

eksak (pasti) dan singkat. Definisi dari matematika makin lama makin sukar

disebut, karena cabang matematika makin lama makin bertambah, dan makin

bercampur satu sama lain (Rusffendi, 1991 : 42).

Yang dimaksud dengan matematika dalam Kurikulum Pendidikan Dasar

dan Menengah adalah matematika sekolah. Matematika sekolah adalah

matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu matematika yang diajarkan pada

pendidikan dasar (SD dan SMP) dan pendidikan menengah (SMA dan SMK).

Sedangakna pengertian SD adalah matematika yang diajarkan di SD. Materi

matematika SD terdiri dari bagian matematika yang dipilih, disaring dirancang

dari pedoman “disesuaikan dengan kondisi, kemampuan, dan kebutuhan sekolah.

Siswa SD diharapkan berkembang secara optimal serta tidak terlepas dari

perkembangan pendidikan matematika di dunia sekarang. Selain itu adalah agar

siswa tidak terlalu mendapat kesukaran dalam mengaitkan konsep-konsep

matematika dengan kebutuhan praktis sehari-hari, maupun untuk kebutuhan

melanjutkan pendidikan pada jenjang selanjutnya.

Page 21: S pgsd 0610780_chapter2

35

3. Fungsi Mata Pelajaran Matematika

Mata pelajaran matematika berfungsi sebagai alat,pola,pikir,dan ilmu

pengetahuan sebagai cara dalam pembelajaran matematika sekolah:

a. Matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan suatu

informasi

b. Matematika merupakan pembentuk pola pikir dalam memahami suatu

pengertian maupun penalaran. Hubungan diantara pengerian dan

penalarannya dikembangkan melalui pola pkir induktif maupun

deduktif.

c. Matematika sebagai ilmu atau pengetahuan, yang selalu mencari

kebenaran dan bersedia meralat kebenaran yang telah diterima bila

ditemukan kebenaran yang terbaru sepanjang kebenaran tersebut

mengikuti pola pikir yang sah (MKBM, Tim, 2001 : 55-56).

3. Operasi Bilangan Bulat di Kelas IV Sekolah Dasar

Salah satu struktur matematika adalah aritmatika yang membicarakan

bilangan dan operasai hitung (Surjanto, 1996 : 2). Bilangan merupakan benda

pikiran. Untuk lebih mudah mengkomunikasikan tentang bilangan dibuatkan

simbol yang sering disebut angka atau digit. Operasi bilangan merupakan ide

abstrak, misalkan operasai penjumlahan dan pengurangan pada bilangan bulatZ

(Herstein, 1964 : 11). Untuk menyederhanakan operasi tersebut dapat

diekspresikan sebagai upaya untuk mencari bilangan bulat baru jika dua bilangan

bulat a dan b diketahui. Bilangan bulat itu ditulis a + b. Ilustrasinya sebagai

Page 22: S pgsd 0610780_chapter2

36

berikut : jika diketahui dua bilangan 3 dan 4 maka bilangan baru itu adalah 7.

Jadi 7 dapat ditulis 3 + 4 atau 4 + 3 (Sutawijaya dkk,1992:21)

Budi, S.W. (2003) mengatakan tentang sifat aljabar bahwa himpunan

bilangan bulat mempunyai dua operasi + (tambah) x (kali) dengan sifat :

a) Sifat assosiatif untuk penjumlahan

Untuk setiap bilangan a, b, dan c berlaku

(a + b) + c = a + (b + c)

b) Sifat Komunikatif untuk penjumlahan

a + b = b + a

c) Unsur identitas terhadap penjumlahan

Ada bilangan 0 sehingga untuk setiap bilangan bulat berlaku

a + 0 = 0 + a = a

d) Unsur invers terhadap penjumlahan

Untuk setip bilangan bulat a ada bilangan bulat b sehingga

a + b = 0

e) Sifat assosiatif untuk perkalian

Untuk setiap bilangan bulat a, b, dan c berlaku

(a.b).c = a.(b.c)

f ) Sifat komunikatif untuk perkalian

Untuk setiap bilangan bulat a dan b berlaku

a.b = b.a

g) Unsur identitas terhadap perekalian

ada bilangan 1 sehingga untuk setiap bilangan bulat berlaku

Page 23: S pgsd 0610780_chapter2

37

a.1 = 1.a = a

Bilangan-bilangan yang lebih besar dari nol disebut bilangan positif dan

arahya ke-kanan, sedangkan bilangan-bilangan yang lebih kecil dari nol disebut

bilangan negative dan arahnya ke-kiri. ( Wahyudin, 2002 : 41-42)

Dalam meningkatkan pemahaman konsep penjumlahan dan pengurangan

dengan menggunakan alat bantu batang bilangan dapat diperlihatkan operasi

penjumlahan dan pengurangan sebagai beriktu :

Contoh 1.

Gambar 2.1 di bawah ini menunjukan operasi penjumlahan

3 + 2 = 5

Teknik : Peneliti menunjukan bilangan 3 ke arah kanan dari titik

pangkal 0 dan berhenti dititik 3. kemudian diteruskan dengan bilangan 2

kearah kanan juga dari titik pangkal 3 dan bewrhenti dititi 5, Karena kedua

bilangan tersebut memiliki arah panah yang sama (ke kanan atau positf),

maka hasilnya dapat ditunjukan oleh garis ke kanan yang bertitik pangkal di

0 dan berhenti dititik 5.

Gambar 2.1 :

-4 -3 -2 -1 0 1 2 3

4 5

Hasilnya 5

Page 24: S pgsd 0610780_chapter2

38

Contoh 2.2

Gambar 2 di bawah ini menunjukan operasi pengurangan

3 +(-5) =-2

Teknik: peneliti menunjukan bilangan 3 ke arah kanan dari titik pangkal

0 dan berhenti dititik 3. kemudian diteruskan dengan bilangan -5 ke arah kiri

dari titik pangkal 3 dan berhenti dititik -2, Karena kedua bilangan tersebut

memiliki arah panah yang berlawanan, maka hasilnya dapat ditunjukan oleh

garis yang terpanjang yakni kearah kiri (negative) dengan cara mengawali

dari titik pangkal 0 dan berhenti di titik -2.

Gambar 2.2 :

-4 -3 -2 -1 0 1 2 3

4 5

Hasilnya = -2

Contoh 3.

Gambar 2.3 di bawah ini menunjukkan bilangan operasi penjumlahan -4

+ (-5) = -9

Teknik : Peneliti menunjukkan bilangan -4 ke arah kiri dari titik

pangkal 0 dan berhenti di titik -4. Kemudian diteruskan dengan bilangan -5 ke

arah kiri juga dari titik pangkal -4 dan berhenti di titik -9, Karena kedua

bilangan tersebut memiliki arah panah yang sama ( ke kiri atau negatif),

Page 25: S pgsd 0610780_chapter2

39

maka hasilnya dapat ditunjukkan oleh garis kea rah kiri yang bertitik pangkal

di 0 dan berhenti di titik -9.

Gambar 2.3 :

-10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1

2 3

Hasilnya = -9

C. Penerapan Pendekatan Kontekstual pada Pokok Bahasan Bilangan Bulat

dalam Pembelajaran Matematika Di Sekolah Dasar

Keterkaitan kehidupan nyata dalam pembelajaran bisa dimulai dari sesuatu

yang dekat dengan siswa, sederhana, dan sesuai dengan kemampuan berpikir

mereka. Pembelajaran bisa dikaitkan dengan permasalahan keluarga, permainan,

lingkungan sekitar, lingkungan teman atau keluarga lain yang terdekat. Pengaitan

pengalaman kehidupan nyata dalam pembelajaran diharapkan dapat menjadikan

pembelajaran lebih bermakna dan mudah dipahami oleh siswa, baik struktur

matematika atau aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Keterkaitan ini sesuai

dengan pandangan Freudenthal (Agustin, 2004), bahwa matematika harus

dihubungkan dengan realita dan matematika sebagai aktivitas manusia. Pertama,

matematika harus dekat terhadap siswa dan harus dikaitkan dengan situasi

kehidupan sehari-hari (kontekstual). Kedua, matematika sebagai aktivitas

Page 26: S pgsd 0610780_chapter2

40

manusia, sehingga siswa harus diberi kesempatan untuk belajar melakukan

aktivitas matematika pada semua topik matematika.

Pembelajaran matematika dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari,

dalam kurikulum 1994 diberikan melalui soal cerita (word problem).

Pembelajaran kontekstual menurut Wilson ( Juwita, 2006) adalah suatu konsep bagi pembelajaran yang menolong guru dalam menghubungkan topik yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, sedangkan bagi siswa sebagai motivasi untuk membuat pengaitan antara pengetahuan dengan kehidupannya baik di keluarga, masyarakat dan aktivitas lainnya.

Menurut Howey (Ruswayati, 2004), pendekatan kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk menggunakan pemahaman dan kemampuan akademika mereka dalam berbagai macam konteks, baik di dalam maupun di luar konteks, untuk menyelesaikan masalah-masalah nyata atau yang disimulasikan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara berkelompok. Sedangkan aktivitas guru dalam pendekatan ini adalah membantu siswa untuk mengaitkan peran dan tanggungjawab mereka sebagai diri sendiri, anggota keluarga, Warga Negara, dan sebagai pekerja.

Jadi dengan menggunakan pendekatan kontekstual, pengetahuan dan

keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa itu sendiri ketika ia belajar.

Dalam pembelajaran matematika dengan penerapan kontekstual pemilihan

strategi pembelajaran lebih diutamakan dan lebih memberdayakan siswa.

Contekstual Teaching Learning dapat diterapkan di kelas yang jumlah siswanya

banyak. Dalam penerapannya tidak perlu mengubah kurikulum, apalagi saat

sekarang ini sudah mulai dipakai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

kontekstual sangat sesuai dengan KTSP. Selama pembelajaran ini berlangsung

diutamakan kegiatan siswa menemukan sendiri, sebagai contoh siswa

memecahkan soal tentang bilangan bulat.

Untuk melihat kemajuan belajar siswa sebagai sumber data dapat

diperoleh dari jurnal, angket, hasil pembelajaran (penampilan siswa sehari-hari

ketika belajar) hasil tes, observasi, dan wawancara. Dengan pendekatan

Page 27: S pgsd 0610780_chapter2

41

kontekstual dalam memberdayakan siswa lebih berfokus pada siswa sehingga

kelas menjadi hidup, produktif, dan menyenangkan. Sehingga dalam hal inipun

siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran, siswa dapat belajar dari

teman melalui kerja kelompok, diskusi dan saling mengoreksi. Serta

pembelajarannyapun dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang

disimulasikan.

Penerapan kontekstual dalam bilangan bulat dapat berupa bagai mana

manusia bergerak maju dan mundur sehingga konteks bilangan positif dan

negatifnya dapat kelihatan dimana gerakan maju dapat menjadi positif dan

gerakan mundur menjadi negatif, hal ini juga dapat di masukkan dalam konteks

kedalam air, pengukuran suhu tubuh dengan termometer.