robin dan pintu merah tua

9
Robin dan Pintu Merah Tua Lelaki tua itu berlari sekuat yang ia bisa. Napasnya memburu, keringat mulai bercucuran deras membasahi wajahnya yang tak sekencang dulu. Kakinya terasa seperti akan copot dari badan, namun teriakan dari ujung lorong sempit yang dilaluinya terdengar masih mendekati dirinya. Diujung lorong sempit tersebut, ia melihat ada pintu tua yang terbuka sedikit. Tanpa ragu, lelaki tua itu lari memasuki pintu dengan warna merah tua yang mulai luntur. “Hhh… hh… hhh..” dilepasnya topi lusuhnya, ia menyeka keringat yang membasahi wajahnya. Disekelilingnya, orang-orang berlalu lalang pergi berbelanja. Tatapannya seperti tatapan tak percaya. Dilihatnya jam tangannya, namun waktu seakan bergerak maju beberapa saat. Lelaki tua itu masih mengatur napasnya, mencoba untuk memercayai apa yang sedang dilihatnya. Yang ia ingat, ia dikejar beberapa warga pada siang hari. Masih sangat siang sampai-sampai sinar matahari masih dapat mengikutinya berlari menyusuri lorong- lorong kecil disudut kotanya. Apa yang terjadi ketika dirinya memasuki pintu tua tadi? Dilihatnya ke belakang, pintu tadi sudah tak terlihat lagi. Dimana lelaki tua itu sekarang? Sudah tak pernah melihat kondisi pasar seperti ini, yang membelah kota dengan tumpahan manusia didalamnya.

Upload: puri-awanda

Post on 10-Apr-2016

213 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Tugas

TRANSCRIPT

Robin dan Pintu Merah Tua

Lelaki tua itu berlari sekuat yang ia bisa. Napasnya memburu, keringat mulai

bercucuran deras membasahi wajahnya yang tak sekencang dulu. Kakinya terasa seperti akan

copot dari badan, namun teriakan dari ujung lorong sempit yang dilaluinya terdengar masih

mendekati dirinya. Diujung lorong sempit tersebut, ia melihat ada pintu tua yang terbuka

sedikit. Tanpa ragu, lelaki tua itu lari memasuki pintu dengan warna merah tua yang mulai

luntur.

“Hhh… hh… hhh..” dilepasnya topi lusuhnya, ia menyeka keringat yang membasahi

wajahnya.

Disekelilingnya, orang-orang berlalu lalang pergi berbelanja. Tatapannya seperti tatapan

tak percaya. Dilihatnya jam tangannya, namun waktu seakan bergerak maju beberapa saat.

Lelaki tua itu masih mengatur napasnya, mencoba untuk memercayai apa yang sedang

dilihatnya. Yang ia ingat, ia dikejar beberapa warga pada siang hari. Masih sangat siang

sampai-sampai sinar matahari masih dapat mengikutinya berlari menyusuri lorong-lorong kecil

disudut kotanya. Apa yang terjadi ketika dirinya memasuki pintu tua tadi? Dilihatnya ke

belakang, pintu tadi sudah tak terlihat lagi. Dimana lelaki tua itu sekarang? Sudah tak pernah

melihat kondisi pasar seperti ini, yang membelah kota dengan tumpahan manusia didalamnya.

Hiruk pikuk manusia yang berjualan terdengar seakan-akan sedang bernyanyi. Lelaki

tua itu menunduk disudut yang menjauhi keramaian tadi, lalu terduduk lemas tak berdaya.

Rasanya, lelaki tua itu mulai menangis tanpa ada yang peduli.

***

Namanya Robin. Langkah beratnya seakan menjawab bahwa usianya sudah di atas 70

tahunan. Wajah tampannya sudah luntur dimakan waktu, namun matanya masih memancarkan

ketegasan dirinya. Si Robin Tua tak tahu harus kemana, semakin malam orang-orang semakin

berdesakan ditempat ia sampai satu jam yang lalu. Kini sudah pukul 9 malam. Robin Tua harus

mencari tempat untuk tidur malam ini, lalu besok pagi akan mulai mencari pintu merah tadi.

Masih heran, orang-orang disekelilingnya berpakaian yang jauh berbeda dengan pakaian yang

ia kenakan. Walaupun terbilang lusuh dan tidak mahal sama sekali, pakaian Robin Tua

terbilang lebih mengikuti zaman daripada orang-orang yang berlalu lalang dihadapannya.

Robin Tua mendongakkan kepala, mencari-cari informasi apa yang bisa ia dapatkan di tempat

asing tersebut. Angin semakin terasa hingga menusuk tulang rusuknya, seketika angin datang

menghampiri, Robin Tua menyadari ada yang tak beres dengan suasana disekelilingnya. Terasa

amat sangat familiar, Robin Tua berjalan tak tentu arah. Diujung keramaian pasar malam,

Robin Tua melihat jalan luas yang menghadap ke danau kecil yang kesepian. Hatinya seperti

dihantam batu besar hingga nyeri semua badannya. Kali ini dia ingat, tempat ini memang

sangat familiar.

Dan kali ini Robin Tua yakin, ini adalah tempat masa mudanya berjaya di kota

kelahirannya.

***

“Tahun berapakah sekarang?”

“Permisi, tahun berapakah sekarang?”

1970. Sembilan belas tujuh puluh. Sudah berkali-kali ia menanyakan orang yang berlalu

lalang, jawabannya tetap sama dan dengan pandangan yang sama pula. Orang-orang menjawab

dengan sedikit enggan dan melempar pandangan terheran-heran padanya. Namun Robin Tua

tak terlalu merasa terkejut dengan jawaban tersebut, mengingat tadi malam ia menghabiskan

malamnya dengan tidur di pinggir jalan yang menghadap ke sebuah danau kecil.

Kini, Robin Tua tidak begitu ragu akan melangkahkan kakinya kemana. Ia harus

menemukan tempat tinggalnya dulu. Ia harus bertemu kedua orang tuanya lagi. Seperti

mustahil untuk dilalui, Robin Tua tetap tak peduli. Sedikit terlupa dengan tujuan pencarian

pintu merah tua, Robin Tua mulai menikmati kembali ke tahun 1970.

Langkah Robin Tua berhenti di depan pagar tinggi yang menjulang begitu tegas. Ia

mendongak melihat melalui garis-garis pagar, terlihat taman-taman kecil memperindah rumah

besar didalam sana. Dari luar, rumah tersebut terlihat sangat kosong walau terlihat begitu

mewah. Robin Tua meringis sebentar, mengingat dulu hidupnya tak kenal susah. Robin Tua

dulunya termasuk pekerja keras, bekerja di kantor milik ayahnya yang dahulunya sudah sangat

maju. Tahun semakin berganti, kepergian ayah dan ibunya yang meninggalkan Robin Tua

menjadi pemuda yang hidup sendiri di rumah besarnya, perusahaan ayah Robin terpaksa harus

ditutup karena penipuan besar-besaran yang terjadi saat umurnya menginjak 35 tahun. Krisis

melanda, Robin Tua semakin tak berdaya. Rumah mewah berganti dengan rumah kecil, kota

tempat ia hidup sejak kecil harus ditinggalkan karena tak mampu untuk meneruskan hidup di

kota dengan biaya hidup yang terbilang tinggi.

Robin Tua merasakan hidup sendiri bertahun-tahun. Tanpa menikah, tanpa merasakan

apa indahnya hidup memiliki seseorang yang selalu berada di sampingnya saat senang maupun

susah. Rumitnya, Robin Tua tak pernah memikirkan hal tersebut sedari ia masih sukses

menjadi pemuda yang dulunya disukai gadis-gadis di kotanya. Robin Tua terlalu sibuk

menghasilkan banyak uang, hingga akhirnya satu persen pun tak bersamanya kini.

Hampir setiap malam, Robin Tua selalu menangisi nasib hidupnya. Nangis yang tak

bersuara, setidaknya serangga kecil dan Tuhan masih mampu mendengar rintihan lelaki tua

tersebut. Tangisan yang tak bermakna, menunggu saat-saat nyawanya akan diambil dan

dilempar ke sudut langit manapun. Bagi Robin Tua, tak ada kehidupan yang lebih bermakna

jikalau dirinya masih berjalan kesana kemari diatas dunia tanpa tujuan apapun.

Kini, demi seonggok makanan, Robin Tua rela mencuri dan mencari tempat

bersembunyi agar tidak dikejar orang-orang. Dirinya selalu berharap esok tak akan pernah

datang dan mengejek kesengsaraan hidupnya lagi. Namun Tuhan lagi-lagi tak sependapat, lagi-

lagi Robin Tua harus susah payah mencari makan demi menguatkan diri bahwa semua akan

baik-baik saja. Tapi, siapa yang masih membohongi dirinya sendiri saat harapan sama sekali

tidak menyakini bahwa tidak semua dapat baik-baik saja?

***

Pintu putih besar itu terbuka. Dari jarak beberapa meter, tampak pemuda berpakaian

rapi keluar dari dalam rumah bersama dua orang dengan pakaian lusuh terhuyung-huyung ke

lantai. Robin Tua menyipitkan mata, terlihat dari luar pagar bahwa yang sekarang dilihatnya

adalah dirinya di waktu muda. Robin Muda menendang lelaki berpakaian lusuh tersebut,

seorang wanita disebelah lelaki itu terlihat menangis-nangis sembari membungkukkan badan

dan terlihat memohon-mohon. Robin Tua memegang pagar dengan kuat, mengedipkan mata

berulang kali untuk meyakini bahwa ia memang kembali ke masa lalu. Dengan sangat jelas,

Robin Muda mengusir lelaki dan wanita lusuh tersebut dengan pandangan jijik. Robin Tua tak

menyadari dirinya dulu sekejam itu. Rasanya ingin berteriak memanggil dirinya, namun Robin

Tua tak yakin Robin Muda akan mengenali dirinya.

“Hei, Robin! Hei!” Robin Tua meneriakkan namanya sendiri ke pemuda di dalam sana.

Robin Muda menoleh, diikuti oleh tatapan lelaki dan wanita lusuh tadi. Robin Muda

memperlihatkan tatapan arogannya, lalu menarik tangan laki-laki tadi dan menyeretnya pergi

dari rumah. Langkah Robin Muda yang tegas tanpa ragu sama sekali itu tetap diiringi tangisan

si wanita dan permohonan maaf si lelaki itu. Robin Tua mencoba mengingat-ingat kapan ia

berbuat sekejam itu, namun rasanya otaknya tak dapat berpikir saat ini.

“Hei, Robin! Apa yang kamu lakukan terhadap mereka?” lagi-lagi Robin Muda hanya

menolehkan pandangan ke arah Robin Tua. Langkah Robin Muda semakin mendekati pagar,

kali ini hanya berjarak 3 langkah saja. Dibukanya pagar tinggi tersebut, lalu dengan sekuat

tenaga didorongnya pasangan itu ke luar pekarangan rumah.

“Siapa anda? Berani-beraninya memanggil namaku begitu saja. Apa aku mengenalmu,

bapak tua? Aku yakin aku tidak punya rekan kerja setua ini.” ucap Robin Muda dengan amat

sangat sombong.

“Tuan, kami mohon biarkan kami bekerja disini lagi. Kami tidak akan berbuat

kesalahan lagi...” Lelaki dan wanita tadi tidak kenal menyerah, masih mengemis memohon

kepada Robin Muda.

“Pergi sekarang juga! Aku masih bisa menemukan pembantu yang lebih cekatan

daripada kalian! Aku tak butuh permohonan kalian yang menyedihkan ini. Jangan berani

datang ke hadapanku lagi. Aku sudah tidak tahan dengan cara hidup kalian yang menjijikkan.”

Robin Muda menoleh kepada Robin Tua, kali ini pandangannya semakin merendahkan.

“Kau? Apakah kau komplotan dua orang miskin ini? Darimana kau tahu namaku? Oh,

tunggu sebentar.. Soal nama tak jadi masalah. Aku memang terkenal di kota ini. Tapi, maaf

bapak tua, aku memang sama sekali tidak mengenalmu.” Robin Muda tersenyum mengejek,

membuat Robin Tua semakin merasa jijik dengan dirinya sendiri.

“Hentikanlah, Robin. Kelakuanmu seperti ini tidak akan menyelamatkanmu di masa

tuamu. Hentikan jika masih ada kesempatan. Mungkin kau tidak percaya, tapi aku datang dari

masa depan. Aku adalah dirimu.”

“Apa? Kau ngelantur, ya?” timpal Robin Muda sambil pasang muka kesal.

“Kau akan sengsara di masa tuamu jikalau masih senang menginjak orang-orang kecil

seperti ini. Mungkin jika kau mau memperbaiki kelakuanmu, kau akan selamat.”

“Hah! Omong kosong! Tahu apa kau soal keselamatan? Keselamatan hanya akan datang

untuk orang-orang yang bekerja keras tanpa mengumbar omong kosong seperti dirimu, tua

bangka! Kau! Pergi dari rumahku! Omong kosongmu hanya akan memperlambat diriku untuk

pergi bekerja!” Robin Muda mendorong Robin Tua hingga Robin Tua terjatuh ke jalan

lumayan keras. Lelaki dan wanita tadi mencoba membantu Robin Tua untuk berdiri. Lelaki dan

wanita tersebut masih menyuarakan permintaan maaf dan segala permohonan bertubi-tubi ke

arah Robin Muda. Robin Muda berlari masuk ke pekarangan, dan beberapa menit kemudian

keluar melewati mereka bertiga dengan mobilnya.

Sesak napas menghampiri si Robin Tua. Kekesalan datang tak tentu arah. Robin Tua

kini benar-benar ingat kejadian ini, dimana dirinya sampai terlambat datang ke kantor

dikarenakan mengusir kedua pembantunya yang tidak menyiapkan sarapan sebelum berangkat.

Robin Muda marah besar saat melihat pasangan pembantu tersebut malah masih tertidur lelap

di kamar mereka. Semua teringat kembali dengan sangat jelas hingga rasanya Robin Tua tak

ingin melihat kejadian sekonyol itu. Dikarenakan kesalahan kecil seseorang, dirinya rela

membuat pasangan suami istri tersebut luntang lantung mencari tempat tinggal.

Kini, Robin Tua sadar mengapa dirinya kesusahan di masa tua. Kini semua tangisan-

tangisan setiap malamnya seakan-akan terjawab dengan kembalinya ia ke masa mudanya.

Rasanya ingin kembali lagi dan memperbaiki semua kerusakan yang ia perbuat, namun sia-sia

saja. Robin Muda tak akan memercayainya dan akan terus-terusan keras kepala. Lagi-lagi air

matanya turun membasahi pipinya. Ia memejamkan kedua matanya, mengingat dirinya

mengusir lelaki tua yang meneriakkan namanya yang ternyata itu adalah dirinya sendiri.

Sesaat setelah mengingat kejadian yang mengoyakkan hatinya tersebut, Robin Tua

kembali teringat pada pintu merah tua. Mungkin bagi Tuhan, akan sangat mudah untuk

memberikan jalan kembali memutar waktu hidupnya Robin. Tapi, sudikah Tuhan untuk

memberikan Robin Tua satu kali kehidupan lagi untuk menjadi sebaik-baiknya manusia? Kalau

Tuhan tidak bersedia, untuk apa ia disadarkan dengan benturan sekeras ini di sisa-sisa akhir

hidupnya?

Robin Tua tak ingat apa-apa lagi. Suara lelaki dan wanita yang menolongnya tadi

perlahan-lahan hilang tak terdengar oleh telinganya. Kedua matanya tak mampu membuka

kembali. Mungkin memang harus berakhir seperti ini. Mati di depan kesombongan dirinya

sendiri, terbaring menyedihkan di depan rumah mewah ini.***