roadmap kawasan konservasi per- airan di...

28
279 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia VII ROADMAP KAWASAN KONSERVASI PER- AIRAN DI INDONESIA 7.1 Sejarah Perkembangan Konservasi di Indonesia Sejarah kawasan konservasi di Indonesia bisa dibedakan ke dalam 4 (empat) periode, ialah: (1) pra- kolonial ; (2) periode kolonial Belanda, (3) periode kemerdekaan, dan (4) periode reformasi. Sejarah kawasan konservasi selama periode kolonial hampir terlupakan. Anehnya peninggalan kawasan konservasi jaman pra- kolonial bisa bertahan sampai saat ini walaupun tanpa aturan tertulis dan tanpa pengukuhan melalui aturan formal oleh pemerintah. Sebaliknya, banyak kawasan konservasi formal yang dibangun selama masa kemerdekaaan dan era reformasi tidak dipatuhi oleh masyarakat – sebagian dari kawasan tersebut bahkan dijaga ketat oleh aparat keamanan yang terlatih. Pada jaman pra- kolonial , konservasi tumbuh dari dua tipe warisan perilaku yang berbeda. Perilaku pertama ialah adanya tempat-tempat yang dikeramatkan (sakral) yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Aturan ini terbentuk dengan sendirinya dan dipatuhi oleh masyarakat di sekitarnya. Setiap orang yang bertamu ke dalam suatu wilayah, biasanya akan bertanya tentang kondisi desa, termasuk perilaku (tabu) yang tidak boleh dilakukan dan tempat-tempat yang tidak boleh didatangi (keramat). Jika hal ini dilanggar, warga desa akan segera menegur dan bahkan ketakutan karena sudah terjadi pelanggaran aturan, yang mereka patuhi secara turun temurun. Di laut, lokasi ini sekarang sering disebut dengan istilah “ fish sanctuary”. Dia berpeluang menjadi KKP secara alami, dan melalui mekanisme spill-over serta ekspor- larva , memperbaharui ( replenish) perikanan tangkap di sekitarnya. Di Blitar Jawa Timur, ada suatu lokasi bernama Telaga Rambut Monte yang sampai sekarang dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya sebagai tempat yang terlarang – Rambut Monte ialah sebuah telaga sumber yang berukuran sekitar 400 m 2 . Di dalam telaga terdapat beberapa jenis ikan, yang paling unik ialah ikan Sengkaring, Tor douronensis ( Valenciennes, 1842). Tanpa aturan Tujuan pembelajaran: Memahami proses perencanaan dan pembentukan kawasan konservasi di Indonesia – sejarah perkembangan kawasan konservasi, pengalaman (pembelajaran) dari negara lain dan berbagai proses yang kita alami di Indonesia. Juga, dibahas inisiatif pe- ngembangan Kawasan Konservasi Perairan sebagai hasil dari kerjasama antara IUCN/WWF Program bersama Direktorat Jenderal PHPA (Perlindu- ngan Hutan dan Pelestarian Alam). Pada bagian akhir disajikan perkemba- ngan jumlah Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, sampai saat ini

Upload: others

Post on 27-Feb-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

279 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

VII

ROADMAP KAWASAN

KONSERVASI PER-

AIRAN DI INDONESIA

7.1 Sejarah Perkembangan Konservasi di Indonesia

Sejarah kawasan konservasi di Indonesia bisa dibedakan ke dalam 4 (empat) periode, ialah:

(1) pra-kolonial; (2) periode kolonial Belanda, (3) periode kemerdekaan, dan (4) periode reformasi.

Sejarah kawasan konservasi selama periode kolonial hampir terlupakan. Anehnya peninggalan

kawasan konservasi jaman pra-kolonial bisa bertahan sampai saat ini walaupun tanpa aturan tertulis

dan tanpa pengukuhan melalui aturan formal oleh pemerintah. Sebaliknya, banyak kawasan

konservasi formal yang dibangun selama masa kemerdekaaan dan era reformasi tidak dipatuhi oleh

masyarakat – sebagian dari kawasan tersebut bahkan dijaga ketat oleh aparat keamanan yang

terlatih.

Pada jaman pra-kolonial, konservasi tumbuh dari dua tipe warisan perilaku yang berbeda.

Perilaku pertama ialah adanya tempat-tempat yang dikeramatkan (sakral) yang tidak boleh diganggu

oleh siapapun. Aturan ini terbentuk dengan sendirinya dan dipatuhi oleh masyarakat di sekitarnya.

Setiap orang yang bertamu ke dalam suatu wilayah, biasanya akan bertanya tentang kondisi desa,

termasuk perilaku (tabu) yang tidak boleh dilakukan dan tempat-tempat yang tidak boleh didatangi

(keramat). Jika hal ini dilanggar, warga desa akan segera menegur dan bahkan ketakutan karena

sudah terjadi pelanggaran aturan, yang mereka patuhi secara turun temurun. Di laut, lokasi ini

sekarang sering disebut dengan istilah “fish sanctuary”. Dia berpeluang menjadi KKP secara alami,

dan melalui mekanisme spill-over serta ekspor-larva, memperbaharui (replenish) perikanan tangkap

di sekitarnya. Di Blitar Jawa Timur, ada suatu lokasi bernama Telaga Rambut Monte yang sampai

sekarang dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya sebagai tempat yang terlarang – Rambut Monte

ialah sebuah telaga sumber yang berukuran sekitar 400 m2. Di dalam telaga terdapat beberapa jenis

ikan, yang paling unik ialah ikan Sengkaring, Tor douronensis (Valenciennes, 1842). Tanpa aturan

Tujuan pembelajaran:

Memahami proses perencanaan dan

pembentukan kawasan konservasi di

Indonesia – sejarah perkembangan

kawasan konservasi, pengalaman

(pembelajaran) dari negara lain dan

berbagai proses yang kita alami di

Indonesia. Juga, dibahas inisiatif pe-

ngembangan Kawasan Konservasi

Perairan sebagai hasil dari kerjasama

antara IUCN/WWF Program bersama

Direktorat Jenderal PHPA (Perlindu-

ngan Hutan dan Pelestarian Alam).

Pada bagian akhir disajikan perkemba-

ngan jumlah Kawasan Konservasi

Perairan di Indonesia, sampai saat ini

280 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

formal, ikan sengkaring tetap terjaga di dalam telaga, sementara ikan yang sama tidak ditemukan di

daerah lain, di sekitarnya. Tabu atau pantangan ialah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap

kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau

masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat dianggap menyerang.

Menghindar dari perilaku tabu inilah yang kemungkinan menjadi kata kunci keberhasilan kawasan

konservasi yang terbangun sejak jaman pra-kolonial di Indonesia.

Perilaku kedua ialah adanya kesepakatan di dalam masyarakat, antara kepala kelompok

dangan anggota kelompok, untuk melindungi suatu wilayah dengan segala isinya. Perilaku ini

tumbuh dari keinginan bersama, bukan dari pandangan tabu. Kepala kelompok mendapat

wewenang untuk mengawasi dan menegakkan aturan, termasuk menentukan hukuman terhadap

pelanggaran aturan konservasi. Pada beberapa kasus, sanksi sosial sudah ditentukan dalam

kesepakatan. Beberapa contoh dari kawasan konservasi yang kita kenal sampai saat ini ialah Sasi

Laut di Maluku dan Papua, Panglima Laot di Aceh, Awig-Awig di Bali dan Lombok, atau Nyale di

Sumba. Masyarakat Nusa Penida Bali, pernah mempunyai aturan Awig-Awig tentang perlindungan

terumbu karang. Masyarakat sepakat untuk melarang perdagangan terumbu karang ke luar desa.

Untuk kepentingan membangun rumah sendiri, anggota masyarakat dalam desa berhak untuk

mengambil karang di laut. Jika anggota masyarakat menjual karang keluar desa, dia akan dikenakan

hukuman sosial – bekerja sosial di Balai Desa (Bale Banjar) selama 20 hari. Kepatuhan masyarakat

pada tipe kawasan konservasi seperti ini masih cukup kuat, walaupun belakangan mulai berkurang.

Kunjungan ke beberapa wilayah Sasi Laut maupun Panglima Laot menunjukkan pernah adanya atau

eksistensi dari aturan-aturan pembatasan di dalam kawasan. Sayangnya, sistem ini tidak

mendapatkan penguatan yang optimal dari pemerintah.

Pada jaman kolonial Belanda, inisiatif konservasi bisa berasal dari individu maupun

pemerintah. Pada tahun 1714 Cornelis Chastelein menulis surat wasiat untuk menyerahkan sebidang

tanah (hutan) di Depok, kepada pengikutnya. Namun hutan tersebut harus dilindungi sebagai

kawasan konservasi, untuk menjaga kesimbangan lingkungan di sekitarnya. Sebagai gantinya,

Chastelein memberikan sebidang tanah lainnya dan bisa dimanfaatkan oleh pengikutnya. Pengikut

Chastelein, sekarang mendirikan Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) untuk mengenang jasa

Chastelein. Pada tahun 1889, Direktur Lands Plantentuin (sekarang menjadi Kebun Raya Bogor),

mengusulkan kawasan hutan Cibodas untuk dilindungi, untuk kepentingan penelitian. Kawasan ini

diperluas pada tahun 1925, mencakup Pengunungan Gede dan Pangrango. Sekarang, kawasan

tersebut menjadi Taman Nasional Gede Pangrango, kawasan yang bertujuan untuk melindungi

persediaan air di wilayah perkotaan (Jakarta). Pada tahun 1932, Pemerintah Hindia Belanda

menetapkan Natuur Monumenten Ordonatie atau Ordonasi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa.

Sejak saat itu konservasi secara hukum mulai diterapkan. Namun kawasan konservasi selalu berada

di darat, sementara pengetahuan dan kemajuan di bidang pesisir dan kelautan sangat jauh tertinggal

(Tabel 7.3).

Pada era kemerdekaan, Pemerintah Indonesia (Departemen Kehutanan) bekerja sama

dengan Pemerintah Kerajaan Belanda untuk membangun sekolah khusus bagi praktisi konservasi di

Indonesia. Sekolah ini disebut School of Environment and Conservation Management (SECM) yang

berlokasi di Bogor. Lulusan dari SECM inilah yang pada umumnya menjadi pengelola hampir semua

kawasan konservasi di Indonesia. Namun mulai tahun 1994, SECM harus ditutup oleh Pemerintah

Indonesia karena anggaran yang terbatas. Pada saat yang sama jumlah dan luas kawasan konservasi

terus meningkat, dan sebagian dari lulusan SECM saat ini sudah mengalami purna tugas. Setelah

periode kekosongan selama hampir 13 tahun, Pemerintah Indonesia mulai merasakan pentingnya

SECM dan bekerja sama dengan Pemerintah Korea untuk membuka kembali sekolah tersebut. SECM

281 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

dianggap sangat berhasil dalam mendidik tenaga praktisi dan pengelola kawasan konservasi di

Indonesia. Keberadaan SECM sangat mewarnai kualitas pengelolaan kawasan konservasi dalam era

kemerdekaan. Namun pendididkan lebih difokuskan untuk keperluan kehutanan atau kawasan

konservasi di darat, dengan tujuan utama perlindungan keanekaragaman hayati. Spesialist dalam

bidang Kawasan Konservasi Perairan diduga jauh tertinggal dibandingkan dengan komponen

daratan.

Sebelum era reformasi, ada beberapa inisiatif masyarakat desa pesisir untuk melindungi

wilayah di laut dengan tujuan memperbaiki perikanan. Istilah yang paling umum digunakan ketika itu

ialah Daerah Perlindungan Laut (DPL). Inisiatif ini didukung oleh beberapa proyek, seperti Coastal

Resource Managemient Project (CRMP). Contoh dari DPL yang cukup berhasil ialah Blongko, Talise,

Bentenan dan Tumbak di Sulawesi Utara. Semua aktifitas pengelolaan kawasan dilakukan oleh

masyarakat, yang didorong oleh proyek dan instansi pemerintah daerah. Inisiatif ini kemudian

dikembangkan oleh beberapa program berikutnya, seperti COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and

Management Program).

Pada awal era reformasi, terjadi beberapa perubahan dalam bidang hukum dan

perundangan. Reformasi hukum tersebut juga terjadi dalam bidang konservasi. Undang-Undang

Nomor 31 tahun 2004 ialah peraturan pertama yang memberi wewenang pengelolaan Kawasan

Konservasi Perairan kepada insitusi selain Departemen Kehutanan. Pada saat yang sama, melalui

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah mendapat wewenang untuk mengelola

kawasan konservasi. Selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007, Pemerintah

memberikan kewenangan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengelola kawasan

konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Jadi, pada era reformasi, Pemerintah

Indonesia telah menetapkan 3 (tiga) jenis Undang-Undang terkait dengan kawasan konservasi.

Sedangkan dalam era kemerdekaan (1945 – 2000), selama kururn waktu sekitar 55 tahu, pemerintah

hanya menetapkan satu undang-undang tentang konservasi.

Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia tampaknya dimulai dari darat, seperti

umumnya daerah-daerah lain di dunia. Pada periode penjajahan Belanda, penetapan kawasan

konservasi selalu dilakukan di darat. Pendidikan konservasi pada era kemerdekaan (SECM) juga lebih

banyak difokuskan untuk masalah-masalah kehutanan di darat. Laut menjadi wilayah yang hampir

dilupakan untuk kepentingan konservasi. Dengan meningkatnya teknologi penangkapan ikan,

sebagian besar habitat dan sumber daya ikan mengalami degradasi akibat penangkapan berlebih

dan tidak ramah lingkungan. Setelah tahun 2000, era reformasi, beberapa inisiatif termasuk

pengembangan kebijakan konservasi, dimulai ke arah laut.

Dari sejarah perkembangan kawasan konservasi, Indonesia tampaknya sedang berada dalam

proses mencari bentuk menuju pengelolaan kawasan konservasi yang efektif. Oleh karena itu, ada

baiknya kalau kita mempelajari pengalaman dari proses pembentukan beberapa kawasan konservasi

diluar Indonesia. Pembelajaran yang sesuai bisa kita gunakan dan adopsi untuk perbaikan sistem

yang sudah berkembang sampai saat ini.

7.2 Proses Pembentukan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi

Proses pembentukan kawasan konservasi sangat beragam, tergantung dari: kondisi

masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dari negara bersangkutan, perangkat hukum dan

kebijakan, dan kesadaran akan kebutuhan bersama untuk mencadangkan sebagian wilayah sebagai

282 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

kawasan yang dilindungi. Namun, paling tidak ada 5 (lima) proses yang sama diantara masing-masing

kawasan, ialah: (1) inisiatif dari para pihak; (2) seleksi berdasarkan prioritas; (3) klarifikasi atau

validasi lapang; (4) pengajuan rencana, dan (5) penetapan.

Inisiatif pencalonan kawasan paling sering berasal dari praktisi atau disebut pegiat konservasi

yang bekerja pada tingkat lapang. Rencana inisiatif dipersiapkan dalam bentuk rencana tingkat

proyek atau program. Penerima inisiatif ialah instansi yang berwenang yang selanjutnya melakukan

seleksi berdasarkan skala prioritas. Jika usulan masuk dalam rencana prioritas, biasanya instansi

berwenang bersifat responsif. Instansi berwenang, bersama pengusul selanjutnya melakukan

klarifikasi atau validasi lapang. Hal ini ditujukan untuk memastikan bahwa calon yang diusulkan

memenuhi kriteria untuk diajukan sebagai kawasan. Ketika semua kriteria sudah terpenuhi, instansi

berwenang mempersiapkan rencana pengusulan calon. Jika tahapan ketiga sudah dilakukan dan

hasilnya positif, maka hampir bisa dipastikan bahwa calon yang diusulkan akan segera ditetapkan.

Rencana pengusulan calon kawasan berisikan informasi dasar (kriteria) untuk penetapan calon

kawasan dan perangkat hukum yang digunakan untuk penetapan. Pada tahap akhir ialah pertemuan

bersifat “ceremonial launching”, pengumuman penetapan kawasan kepada publik.

7.2.1 Perlindungan Habitat Ikan – Queensland, Australia

Negara bagian Queensland Australia menetapkan Undang-Undang Perikanan (Fisheries Act)

pada tahun 1994 (sebagai perbandingan, Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 9

tahun 1985 tentang Perikanan, atau 10 tahun sebelum Queensland mempunyai hal yang sama).

Instansi berwenang pengelola perikanan berada di bawah Department Primary Industries and

Fisheries. Salah satu pendekatan dalam pengelolaan perikanan ialah melalui kawasan konservasi –

secara lokal, kawasan ini disebut Fish Habitat Area atau wilayah perlindungan habitat ikan. Sejak

tahun 1994, muncul berbagai inisiatif untuk pembentukan habitat perlindungan ikan. Sampai bulan

Juli tahun 2010 (16 tahun kemudian), Negara Bagian Queensland sudah memiliki 71 kawasan

perlindungan habitat ikan. Tipe kawasan dan bentuk pengelolaan dibedakan dalam dua bentuk,

ialah: kawasan Habitat Reserve dengan bentuk pengelolaan tipe A, dan Wetland Reserve dengan

bentuk pengelolaan tipe B.

Proses penetapan kawasan perlindungan habitat ikan, teridiri dari 12 langkah, ialah:

1) Nominasi calon kawasan

2) Penentuan prioritas dalam seleksi

3) Penelusuran pustaka dan survei lapang

4) Draft Rencana Pengelolaan

5) Konsultasi awal dengan para pihak

6) Revisi informasi & perbaikan draft rencana pengelolaan

7) Konsultasi kedua

8) Revisi berdasarkan informasi hasil konsultasi kedua.

9) Penetapan tanda batas kawasan

10) Penyerahan Rencana Pengelolaan pada Bagian Hukum Kementerian Primary Industries

11) Penyerahan kepada Minister for Primary Industries.

283 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

12) Penyerahan kepada Gubernur untuk ditetapkan

Semua proses, sampai pada penetapan bervariasi antara 18 sampai 36 bulan, suatu proses

yang relatif sangat cepat. Tahapan proses antara 4 – 12 harus bisa diselesaikan oleh Pemerintah

(Department of Primary Indutries and Fisheries) dalam waktu 12 bulan. Hal ini terjadi karena proses

konsultasi hanya melibatkan kelompok-kelompok yang terbatas dan sebagian besar dilakukan

melalui pengumuman pada website. Setelah pada tahap 12, ada kemungkinan suatu calon kawasan

ditolak oleh Gubernur dan semua proses, dari 1 sampai 12 dinyatakan gugur.

Kawasan perlindungan habitat ikan (Fish Habitat Area) didefinisikan sebagai wilayah perairan

yang mengandung habitat kritis dan penting bagi ikan serta daerah penangkapan ikan, dilindungi

secara hukum untuk mempertahankan keberlanjutan perikanan. Tujuan utama pembentukan ialah

untuk melindungi dan mempertahankan keberlanjutan perikanan tangkap. Keunikan paling dasar

dari kawasan konservasi ini ialah bahwa kegiatan ekstraktif dalam bentuk penangkapan ikan

diperbolehkan pada seluruh wilayah kawasan. Bahkan, menggali lumpur untuk mendapatkan cacing

bagi umpan penangkapan juga diperbolehkan – Kawasan tidak mengenal istilah wilayah larang-ambil

atau no-take zone, seperti umumnya kawasan konservasi lainnya. Kemungkinan besar inilah yang

menjadi faktor utama Daerah Perlindungan Ikan di Australia bisa berkembang cepat tanpa ada

penolakan yang nyata dari masyarakat (Gambar 7.1). Sedangkan kegiatan yang dilarang ialah semua

bentuk pembangunan yang kemungkinan berdampak pada perubahan habitat, seperti reklamasi

pantai, penahan gelombang dan/atau mengambil kayu, walaupun berasal dari pohon yang sudah

mati (Tabel 7.1).

Rehabilitasi habitat, seperti penanaman bakau sangat dimungkinkan di dalam kawasan,

walaupun kegiatan tersebut harus mendapat ijin dari pengelola. Dengan demikian, kawasan bisa

termasuk dalam kategori IV menurut kriteria IUCN. Pada sisi lain, tujuan utama pembentukan

kawasan ialah mempertahankan pemanfaatan dan keberlanjutan perikanan tangkap. Pada saat yang

sama, dia juga bisa dimasukkan kedalam kategori VI dari IUCN. Informasi paling akhir mendapatkan

bahwa Pemerintah Australia melaporkan sebagian besar dari habitat perlindungan ikan di

Queensland sebagai kategori IV, Habitat/Species Management Area.

284 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

Tabel 7.1 Berbagai jenis kegiatan yang diperbolehkan, tanpa ijin, memerlukan ijin, dan dilarang

dilakukan di dalam kawasan habitat perlindungan ikan (Sumber: DPI, 2002 Fish Habitat

Area)

NO Jenis Kegiatan Tanpa Ijin Perlu Ijin Dilarang

1 Memasuki kawasan (Akses langsung) √√√√

2 Menggunakan perahu/speedboat ke dalam kawasan √√√√

3 Menangkap ikan pada skala tradisional √√√√

4 Menangkap ikan – sport fishing & recreational fishing √√√√

5 Menggali lumpur untuk mencari cacing – untuk umpan √√√√

6 Membangun pelabuhan perikanan / jetty √√√√

7 Membangun tambatan perahu (mooring buoy) √√√√

8 Menimbun pantai untuk mengontrol erosi √√√√

9 Reklamasi pantai √√√√

10 Membangun penahan gelombang (break-water) √√√√

11 Mengambil kayu dari dalam bakau dan pantai √√√√

12 Rabilitasi habitat kritis dan penting untuk ikan √√√√

13 Mengambil mollusca (√√√√) dalam pertimbangan

285 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

Gambar 7.1 Lokasi dan jarak antar kawasan habitat perlindungan ikan pada wilayah pesisir Negara

Bagian Queensland yang relatif dekat satu sama lain (Sumber: DPI, 2002 Fish Habitat

Area – brochure)

7.2.2 Florida Keys National Marine Sanctuary – Amerika Serikat

Sejarah konservasi di Amerika Serikat hampir tidak bisa dipisahkan dari YellowStone.

YellowStone National Park benyak dianggap sebagai Taman Nasional pertama di dunia, ditetapkan

pada tahun sekitar 1872, oleh Ulysses S. Grant. Taman Nasional ini terkenal karena kehidupan alam

liar, pemandangan geothermal dan geyser (air panas alam karena aktifitas gunung berapi).

YellowStone juga memiliki pemandangan lain yang unik, seperti danau, lembah (canyon), sungai dan

pegunungan yang curam. Danau YellowStone dipercaya merupakan danau terbesar yang terletak di

wilayah pengunungan (dataran tinggi) dan merupakan bekas caldera dari supervolcano. Namun

YellowStone sepenuhnya ialah kawasan konservasi yang ada di darat.

Florida Keys ialah wilayah perairan yang menjadi persinggahan para penjelajah dan peneliti

kelautan sejak berabad-abad yang lalu ketika berkunjung ke Amerika. Sejak beberapa dekade lalu,

beberapa peneliti mengamati adanya penurunan kualitas lingkungan sebagai akibat dari polusi laut

dan pemanfaatan berlebih. Pada tahun 1957 praktisi konservasi dan peneliti mengadakan

pertemuan (lokakarya), membahas penurunan kualitas lingkungan di wilayah tersebut. Sebagai hasil

dari lokakarya, Pemerintah Negara Bagian Florida menetapkan Florida Key sebagai Taman Laut –

pembentukan Taman Laut Florida Keys tidak melibatkan konsultasi publik yang intensif, seperti yang

286 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

dilakukan di Negara Bagian Queensland, Australia. Namun proses pembentukan memerlukan waktu

yang relatif lebih lama (tiga tahun) dari inisiatif calon kawasan.

Penetapan dan pengelolaan kawasan secara optimal ternyata belum menurunkan tingkat

pencemaran dan pemanfaatan berleb ih pada sumber daya di laut. Karena desakan media dan

sebagian publik, pemerintah menetapkan beberapa kawasan baru, bersebelahan dengan Florida

Keys - Largo National Marine Sanctuary (tahun 1975), Pennekamp Park, dan Looe Key National

Marine Sanctuary (tahun 1981). Proses penetapan kawasan juga tidak melibatkan publik yang

intensif.

Degradasi kawasan terus berlanjut – tutupan karang keras menurun. Pengeboran minyak yang

dilakukan sekitar tahun 1980an dilaporkan menurunkan kualitas air, bleaching karang, kematian

padang lamun, menurunnya populasi ikan karang dan meningkatnya penyakit pada coral polyp. Pada

tahun 1989, ada 3 (tiga) kapal cargo besar yang karam di dalam kawasan selama 18 hari. Desakan

publik mengharuskan kepada tiga kapal cargo tersebut untuk membayar denda kepada pemerintah.

Seluruh denda dibayar oleh perusahaan tanpa perlawanan yang berarti. Pada tahun 1990,

Pemerintah Amerika Serikat, George Bush, menetapkan seluruh kawasan Florida Keys sebagai

kawasan konservasi melalui Hukum Federal Amerika Serikat. Saat ini, Florida Keys National Marine

Sanctuary tersusun atas 14 kawasan konservasi perairan, yang masing-masing ditetapkan

berdasarkan Hukum Negara Bagian Florida. Pada saat yang sama, seluruh wilayah (regional) juga

dilindungi dengan menggunakan Hukum Federal – Suatu Kawasan Konservasi Perairan dilindungi

melalui dua peraturan berbeda, tingkat negara bagian dan Federal.

Berbeda dengan pembentukan masing-masing kawasan di dalam negara bagian, rencana

pengelolaan pada tingkat nasional melibatkan berbagai komponen masyarakat, peneliti, praktisi,

pemerintah negara bagian dan pemerintah nasional Amerika Serikat. Panitia Pengarah (Advisory

Council) harus bekerja keras untuk mengakomodasi pendapat berbagai komponen masyarakat dari

seluruh negeri. Pada saat yang sama, Panitia Pengarah juga menghadapi penolakan oleh masyarakat

Florida Keys. Masyarakat Florida Keys khawatir peraturan yang terlalu ketat akan berdampak pada

perpindahan penduduk lokal, penurunan luas wilayah pemanfaatan tradisional, dan penurunan

aktifitas ekonomi masyarakat. Pembentukan rencana pengelolaan dilakukan tanpa mendahulukan

kepentingan publik (Unprecented Public Involvement), oleh karena itu Panitia Pengarah harus

mengakomodasi berbagai pendapat komponen masyarakat sebagai usaha kompromi – rencana

pengelolaan mengadopsi kepentingan peraturan pemerintah negara bagian, pemerintah lokal dan

pemerintah tingkat nasional secara bersama. Akhirnya, setelah melalui proses debat selama 6

(enam) tahun, rencana pengelolaan kawasan konservasi Florida Keys National Marine Sanctuary bisa

ditetapkan.

Dari dua jenis Kawasan Konservasi Perairan (Fish Habitat Area dan Florida keys National

Marine Sanctuary), kita bisa melihat perbedaaan dalam proses penetapan kawasan. Langkah-

langkah dalam penetapan Fish Habitat Area sangat panjang, paling tidak melibatkan dua kali

konsultasi para pihak, menggunakan hanya satu ketentuan hukum dan proses penetapan relatif

sangat cepat. Florida Key ditetapkan dengan mengunakan sistem hukum bertingkat (lokal, negara

bagian dan nasional), dan terdiri dari beberapa sistem kawasan konservasi dalam satu kawasan

konservasi yang luas. Sistem nasional iperlukan karena kawasan konservasi lokal yang ada tidak

mampu menurunkan atau mencegah kerusakan atau degradasi kawasan konservasi sebagai dampak

dari pencemaran dan pemanfaatan berlebih. Sistem kawasan pada Florida Keys sangat kompleks

sehingga penetapan rencana pengelolaan membutuhkan waktu yang relatif lama, walaupun

pelibatan masyarakat bukan merupakan ketentuan yang mutlak. Pembelajaran yang bisa diambil

287 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

dari sini ialah bahwa setiap kawasan konservasi mempunyai roadmap tersendiri untuk mencapai

tujuannya.

7.3 Pengalaman di Indonesia

Indonesia mempunyai beberapa pengalaman dalam penetapan dan pengelolaan kawasan

konservasi secara tradisional, sebelum kemerdekaan. Sasi Laut, Awig-Awig, Nyale dan Panglima Laut

yang beberapa diantaranya masih bertahan sampai saat ini membuktikan beberapa keberhasilan

dalam pengelolaan kawasan. Ada dua hal dasar yang membedakan sistem kawasan tersebut dengan

kawasan saat ini, ialah: keterkaitan kawasan satu dengan lainnya dalam sistem jejaring (MPA

network), dan nilai global dari keanekaragaman hayati serta perikanan. Masing-masing kawasan

berfungsi secara terisolasi, tanpa ada kaitannya dengan kawasan yang berdekatan. Keterbatasan

sistem komunikasi dan autoritas menyebabkan tidak memungkinkan menyusun kawasan yang saling

berhubungan.

7.3.1 Inisiatif Pencalonan Kawasan

Inisiatif pencalonan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia dimulai dari survei yang

dilakukan oleh IUCN/WWF Program dengan PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) pada

tahun 1980. IUCN/WWF diwakili oleh Rodney Salm, sedangkan pihak pemerintah diwakili oleh

Matheus Halim. Kedua tim melakukan survei lapang pada hampir seluruh wilayah pantai dan laut di

Indonesia. Penentuan calon Kawasan Konservasi Perairan ditentukan dari tiga persyaratan utama,

ialah: memenuhi salah satu atau kombinasi dari 6 (enam) tujuan pembentukan kawasan, memenuhi

5 (lima) kriteria identifikasi dan 4 (empat) kriteria seleksi sebagai calon kawasan. Calon Kawasan

Konservasi Perairan yang akan dipilih harus memenuhi salah satu atau kombinasi dari kriteria tujuan

berikut:

1) Melindungi habitat kritis (tempat mencari makan, pemijahan dan asuhan) bagi spesies

atau ikan-ikan komersial;

2) Melindungi habitat dari spesies yang terancam punahdan memperbaiki stok sumber daya

yang sudah terkuras akibat pengambilan berlebih;

3) Mempertahankan, paling tidak satu lokasi pesisir dan laut dekat dengan lokasi penduduk

pada masing-masing propinsi untuk kepentingan pariwisata

4) Melindungi perwakilan habitat pesisir dan laut yang lengkap, ditemukan di wilayah

Indonesia;

5) Mempertahankan keanekaragaman hayati warisan perairan laut Indonesia;

6) Melindungi lokasi yang bernilai tinggi untuk penelitian dan pendidikan

Kriteria yang digunakan dalam proses identifikasi calon kawasan ialah sebagai berikut:

1) Kawasan harus mempunyai nilai tinggi untuk perlindungan spesies yang terancam punah

atau spesies komersial (bagi perikanan);

2) Lokasi mempunyai kontribusi terhadap pengembangan pariwisata, rekreasi, penelitian dan

pendidikan;

3) Lokasi memberikan kontribusi positif pada perikanan tangkap;

4) Lokasi merupakan perwakilan habitat tertentu atau kisaran beberapa habitat yang

berbeda;

288 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

5) Lokasi berada pada kondisi alami atau semi-alamiah, atau jika sudah terdegradasi, dia

mempunyai peluang untuk kembali kepada kondisi alamiah.

Daftar hasil identifikasi selanjutnya diseleksi berdasarkan kriteria berikut:

1) Tipe atau kategori Kawasan Konservasi Perairan tidak terwakili dalam satu propinsi;

2) Kawasan konservasi mewakili contoh terbaik dari masing-masing tema (kategori kawasan

atau jenis habitat) di dalam satu propinsi;

3) Jika terjadi duplikasi dalam satu propinsi, lokasi harus bisa menunjukkan manfaat bagi

masyarakat di sekitarnya; berdampak pada ekonomi nasional melalui pariwisata dan

perikanan, atau dia mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam satu wilayah secara

regional;

4) Kawasan Konservasi Perairan memungkinkan untuk dikelola secara sehat (viable

management unit) – misalkan, jika lokasi yang terseleksi dekat dengan muara sungai,

pengelolaan di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) harus dipastikan dilakukan dengan

optimal

Hasil survei disajikan dalam 6 (enam) seri laporan pada tahun 1984. Tim merekomendasi

pembentukan 180 Kawasan Konservasi Perairan baru, selain yang sudah ada saat itu (Tabel 7.2).

7.3.2 Proses Pembentukan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia

Sampai tahun 1982, Pemerintah Indonesia, secara resmi telah menetapkan 95 kawasan

konservasi perairan. Namun, hampir semua Kawasan Konservasi Perairan tersebut ialah perluasan

dari kawasan konservasi di darat. Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Taman Nasional Bunaken

kemungkinan besar merupakan dua taman nasional laut yang pertama di Indonesia. Masing-masing

kawasan konservasi mempunyai sejarah penetapan yang berbeda dan unik. Oleh karena itu sangat

sulit untuk melacak umur dari suatu kawasan konservasi dan tonggak mulai pengelolaan kawasan

secara efektif.

A. Taman Nasional Komodo

Taman Nasional Komodo yang kita ketahui saat ini, meliputi wilayah darat dan laut dan juga

disebut sebagai Kawasan Konservasi Perairan (marine protected area) kategori II menurut klasifikasi

IUCN. Taman Nasional Komodo pada awalnya hanya terdiri dari wilayah darat. Identifikasi Pulau

Komodo sebagai kawasan konservasi mulai dari ditemukannya binatang Komodo oleh J.K.H. van

Stein, pada tahun 1911. Setahun kemudian binatang tersebut diberi nama Varanus Komodoensis

(Ouwens, 1912), oleh P.A. Ouwens. Pada tahun yang sama (1912), Sultan Bima disebutkan membuat

keputusan untuk melindungi binatang Komodo. Beberapa dokumen menyebutkan bahwa surat

resmi dari Sultan Bima dikeluarkan pada tahun 1915 (SK. Sultan Bima tahun 1915 tentang

Perlindungan Komodo – Verordening van het Sultanat vain Bima). Pada tahun 1926, Pemerintah

Hindia Belanda di Manggarai mengeluarkan Surat Keputusan tentang Perlindungan Komodo (Besluit

van het Zelfbestuur van het Landschap Manggarai). Namun mulai tahun 1926, binatang Komodo

dibawa keluar Indonesia untuk kepentingan penelitian dan konservasi spesies. Sejarah transportasi

Komodo ini ditelusuri kembali oleh L.C. Rookmaaker, terkait dengan keterlibatan kakeknya dalam

proses pengiriman binatang ini. Oleh karena itu, agak sulit untuk mengatakan bahwa konservasi

kawasan di Komodo mulai efektif sejak tahun 1912, atau bahkan tahun 1926.

289 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

W.D. Barden dikatakan berhasil menangkap dua bintang Komodo untuk pertama kali (satu

betina dan satu jantan) dan dikirim ke New York Zoological Garden, Amerika Serikat. Namun pada

tahun yang sama (1912), kedua binatang tersebut mati setelah sampai di Amerika. Pada bulan

Oktober 1926, seekor Komodo jantan ditangkap oleh W. Groeneveld di daerah Flores Barat dan

dikirim ke Amsterdam. Ketika itu, W. Groeneveld ialah Asisten Residen di wilayah Bima, Sumbawa

dan diduga mengenal Sultan Bima. Binatang Komodo dibawa dengan kapal S.S. Karimata,

ditempatkan pada cabin khusus dengan uap panas untuk menyesuaikan suhu alami binatang ini

selama transportasi. Namun binatang Komodo juga meninggal pada tahun yang sama.

Bulan Juni 1927, empat kebun binatang Eropa menerima kiriman binatang Komodo dari

Indonesia. Satu Komodo diterima oleh Amsterdam Zoo, satu ekor oleh Rotterdam Zoo, dua ekor

diterima oleh London Zoo dan satu ekor sisanya oleh Berlin Aquarium. Binatang ini ditangkap dari

Pulau Rintja, oleh H.R. Rookmaaker. Pada saat itu H.R. Rookmaaker ialah Asisten Residen di Flores,

membawa sekitar 200 orang untuk menangkap 12 ekor Komodo dari Rintja. Pengiriman dilakukan

melalui Ende, Surabaya, Priok dan Eropa. Dari 12 ekor tersebut hanya 5 (lima) ekor yang dikirim ke

Eropa dan pada akhirnya semua mati dalam periode waktu yang berbeda. Salah satu bintang

Komodo yang berada di Berlin bisa bertahan dan dipertontonkan kepada pengunjung. Pada

akhirnya, binatang Komodo ini mati pada tahun 1944, setelah 16,5 tahun berada di Eropa. Atas

permintaan Prof. Mertens, Hookmaaker kembali ke Rintja untuk menangkap 2 (dua) ekor Komodo.

Salah satu binatang ini mati setelah beberapa hari berada di Rana Mese. Satu Komodo sisanya lagi,

dikirim ke Frankfurt, Jerman. Binatang ini bisa tahan hidup lama dan menjadi tontonan pengunjung

kebun binatang selama beberapa tahun. Komodo ini terbunuh karena pengrusakan kebun binatang

pada tahun 1944. Sejak tahun 1927, tidak ada surat lain dari H.R. Rookmaaker tentang usahanya

untuk mengirim binatang Komodo.

Pada tahun 1938, Residence Flores (Pemerintah Belanda) mengeluarkan keputusan untuk

penetapan Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Komodo sebagai kawasan konservasi. Surat

keputusan tersebut diperkuat oleh Residen Timor yang dikeluarkan setahun kemudian (1939).

Perlindungan kawasan hanya dilakukan di wilayah daratan, tidak mencakup wilayah perairan.

Perkembangan kawasan konservasi di Komodo hampir tidak terlacak setelah tahun 1938. Cerita

beberapa masyarakat Komodo, Rinca dan Manggarai menyatakan bahwa pada saat ditetapkan,

beberapa keluarga sudah tinggal di Pulau Komodo. Bahkan beberapa keluarga dari Manggarai juga

menyatakan mempunyai hubungan keluarga dengan mereka yang tinggal di Rintja (atau ditulis

Rinca).

Pada tahun 1965, Menteri Kehutanan menunjuk Pulau Komodo (31.000 ha) sebagai Suaka

Margasatwa (SK MenKeh No.66/Dep.Keh/1965 tertanggal 21 Oktober 1965). Pada tahun 1970,

Direktorat Jenderal Kehutanan (SK DirJenHut No.97/Tap/Dit Bina/1970) secara resmi membentuk

Seksi PPA di Labuan Bajo – PPA ialah singkatan dari Perlindungan dan Pelestarian Alam. Seksi PPA

secara resmi bisa dikatakan sebagai instisusi pengelola dari Kawasan Konservasi Komodo yang ada di

daerah (Labuan Bajo). Tahun ini boleh dikatakan sebagai tonggak awal konservasi di Komodo mulai

dilaksanakan secara bertahap. Namun informasi setelah itu juga sulit dilacak sampai awal tahun

1980. Ketika itu (6 Maret 1980), Menteri Pertanian mengumumkan pembentukan 5 (lima) Taman

Nasional di Indonesia, ialah: Taman Nasional Komododo, Gunung Leuser, Ujung Kulon, Gede-

Pangrango dan Baluran. Pengumuman ini sebenarnya lebih didorong oleh peristiwa strategis saat

itu, ialah Strategi Pelestarian Dunia (World Conservation Strategy) yang diselenggarakan di Bali.

Pada tahun 1992, melalui keputusan Menteri Kehutanan (KepMenHut No. 306/Kpts-II/92,

tertanggal 11 Desember 1992) Taman Nasional Komodo ditetapkan dan meliputi wilayah perairan

290 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

dengan luas sekitar 132.500 ha (luas daratan Taman Nasional meliputi Pulau Padar, Rinca dan

Komodo hanya mencapai 40.728 ha). Ide dan realisasi pembentukan Kawasan Konservasi Perairan ini

muncul setelah 70 tahun penetapan kawasan konservasi di darat (oleh Sultan Bima, pada tahun

1912). Ketika ditetapkan, hampir tidak ada tenaga teknisi atau Jaga Wana dan pengelola kawasan

yang memahami tentang laut. Baru 4 (empat) tahun kemudian (1996) dimulai kerja sama dengan

beberapa pihak untuk memulai kegiatan konservasi di laut – beberapa Jaga Wana mendapat training

tentang teknik penyelaman dan pengenalan observasi organisme bawah air. Dari pembelajaran ini,

bisa dikatakan bahwa pengalaman kita tentang Kawasan Konservasi Perairan jauh terkebelakang

(sekitar 70 tahun) dibandingkan dengan pengalaman mengelola kawasan konservasi di darat.

Gambar 7.2 Perkampungan masyarakat di Pulau Komodo – sumber penghidupan penduduk ialah

mencari ikan di dalam kawasan dan sebagian kecil dari pariwisata.

B. Taman Nasional Bali Barat

Roadmap dari Taman Nasional Bali Barat hampir sama dengan sejarah konservasi Taman

Nasional Komodo. Pada tahun 1911, seorang ahli Biologi dari Jerman, Dr. Baron Stressmann harus

tinggal di Singaraja Karena Kapal Ekspedisi Maluku II rusak dan harus diperbaiki di pelabuhan Bali

Utara. Selama masa menunggu, Stressmann mempunyai kesempatan melakukan eksplorasi di sekitar

hutan Singaraja dan menemukan burung Jalak Bali. Setahun kemudian temuan ini dipublikasikan dan

menggunakan namanya sebagai penemu binatang Jalak bali, Leucopsar rothschildi (Stressmann

1912). Penelitian lanjutan diadakan pada tahun 1925, oleh Dr. Baron Viktor von Plesen. Jalak Bali

dinyatakan sebagai binatang langka dengan habitat terbatas. Penyebaran Jalak Bali diduga berada di

291 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

sekitar hutan antara Desa Bubunan sampai Gilimanuk, seluas ± 32.000 ha (data didapat dari

dokumentasi Taman Nasional Bali Barat).

Mulai saat itu, Pemerintah Hindia Belanda dan peneliti melakukan pendekatan dengan

penguasa di Bali Utara. Akhirnya, pada tanggal 13 Agustus 1947, Dewan Raja-Raja Bali mengeluarkan

Surat Keputusan No.E/I/4/5/47, menetapkan hutan Banyuwedang dengan luas 19.365 ha sebagai

Taman Pelindung Alam (Natuur Park), sesuai dengan Ordonansi Perlindungan Alam tahun 1941.

Status Taman Pelindung Alam saat ini hampir setara dengan Suaka Margasatwa.

Pengelolaan kawasan hutan Banyuwedang dan Jalak Bali hampir tidak terdokumentasikan

sejak saat penetapan pada tahun 1947. Pada tahun 1978, Menteri Pertanian menetapkan Suaka

Margasatwa Bali Barat, Pulau Menjangan, Pulau Burung, Pulau Kalong dan Pulau Gadung sebagai

Suaka Alam Bali Barat seluas 19.558 ha (melalui Surat Keputusan No. 169/Kpts/Um/3/78). Efektifitas

pengelolaan konservasi masih menjadi pertanyaan karena keputusan ini tidak diikuti dengan

pendirian kantor atau instansi PPA di sekitar Singaraja.

Pada tahun 1982, melalui SK No. 736/Mentan/X/82, Menteri Pertanian menetapkan calon

Taman Nasional Bali Barat dari Kawasan Suaka Alam, ditambah hutan lindung dan wilayah perairan

seluas ± 1.500 ha. Kemungkinan UPT Taman Nasional bali Barat berdiri secara resmi pada tahun

1984, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/84. Namun UPT Taman

Nasional tidak bertugas untuk melakukan pengelolaan kawasan konservasi pada wilayah laut (1.500

ha). Pengelolaan konservasi kawasan mengalami konflik dualisme kewenangan antara Dinas

Kehutanan Daerah dengan UPT Taman Nasional (instansi pusat, Jakarta). Untuk mencegah konflik,

pada tahun 1995 Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 493/Kpts-II/95 tertanggal

1995. Surat Keutusan menyatakan wilayah Taman Nasional Bali Barat yang dikelola oleh UPT seluas

± 19.000 ha, terdiri dari: 15.587 ha wilayah daratan dan 3.415 ha wilayah perairan. Mulai saat itu

(1995), Taman Nasional Bali Barat secara resmi mencakup wilayah perairan dan mempunyai badan

pengelola yang pasti (UPT Taman Nasional).

Pada tahun 1999, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA)

menetapkan pebagian zonasi di dalam kawasan konservasi TN Bali Barat (SK No. 186/Kpts/Dj-V/99,

tertanggal 13 Desember 1999) sebagai berikut:

• Zona Inti; ialah wilayah zona yang mutlak dilindungi, tidak diperbolehkan adanya perubahan

apapun oleh aktivitas manusia kecuali yang berhubungan dengan kepentingan penelitian

dan ilmu pengetahuan – zona inti meliputi daratan seluas 7.567 ha dan perairan laut seluas

455 ha;

• Zona Rimba; ialah wilayah penyangga dari zona inti, dapat dilakukan kegiatan seperti pada

zona inti dan kegiatan wisata alam terbatas – meliputi daratan seluas 6.009 ha dan perairan

laut seluas 244 ha;

• Zona Pemanfaatan Intensif; ialah wilayah dengan kegiatan yang bisa dilakukan seperti

tersebut di atas, pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam dan rekreasi atau

penggunaan lain yang menunjang fungsi konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya – meliputi daratan seluas 1.645 ha dan perairan laut seluas 2.745 ha;

• Zona Pemanfaatan Budaya; ialah wilayah yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan

terbatas untuk kepentingan budaya atau relegius – meliputi wilayah seluas 245 ha yang

digunakan untuk kepentingan pembangunan sarana ibadat umat Hindu.

292 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

Kawasan konservasi Bali Barat secara resmi sudah ditetapkan pada tahun 1947, dengan tujuan

untuk melindungi habitat dari burung Jalak Bali. Selama era kemerdekaan, status kawasan pertama

kali ditetapkan pada tahun 1978. Status kawasan kemudian dirubah dan diperluas melalui suatu seri

keputusan tahun 1982, 1984 dan tahun 1995. Sedangkan pengelolaan konservasi yang mencakup

aspek perairan dimulai pada tahun 1999, dengan ditetapkannya zonasi kawasan yang meliputi

wilayah darat dan laut secara bersama. Beberapa pembelajaran yang bisa diambil dari

perkembangan konservasi di wilayah Bali Barat ialah: pengembangan konservasi dimulai dari wilayah

daratan, tujuan utama konservasi adalah perlindungan habitat species, pendekatan dalam

konservasi menggunakan sistem “top-down approach”, perluasan ke arah laut dilakukan setelah

kawasan berumur lebih dari 50 tahun.

7.4 Perkembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia

Perkembangan jumlah Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, diduga ada kaitannya

dengan kemajuan dalam sistem perencanaan dan perangkat hukum sebagai berikut:

• Pemerintah menyelesaikan proposal untuk pengembangan kawasan konservasi di wilayah

perairan pada tahun 1975. Dalam proposal tersebut, ada tiga kawasan konservasi model

yang akan dikembangkan, ialah: Taman Nasional Kepulauan Seribu (terletak pada wilayah

dengan penduduk padat dan dekat dengan lokasi Ibu Kota), Taman Nasional Bali Barat

(dekat dengan lokasi pariwisata), dan Taman Nasional Komodo yang relatif masih alamiah

dan belum banyak terkena dampak pembangunan;

• Pada tahun 1976, proposal pertama untuk pengembangan Kawasan Konservasi Perairan

Kepulauan Seribu diterima oleh Pemerintah;

• Pada tahun 1978, pemerintah berhasil menyusun pedoman penetapan kawasan konservasi

perairan, dengan kriteria identifikasi dan seleksi yang jelas;

• Pada tahun 1981, PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam), sebagai instansi yang

bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi, membentuk Seksi Konservasi

Perairan. Seksi ini bertugas untuk mengembangkan kawasan konservasi perairan;

• Sejak tahun 1982, Program IUCN/WWF bersama Pemerintah Indonesia melakukan survei

keanekaragaman hayati laut, mengidentifikasi dan melakukan seleksi untuk pencadangan

kawasan konservasi perairan. Hasil survei (dilaporkan pada tahun 1984) menyajikan inisiatif

95 calon Kawasan Konservasi Perairan kepada pemerintah;

• Penetapan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan ini menghubungkan antara pengelolaan

lingkungan hidup dengan pembangunan berkelanjutan;

• Penetapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya. Prinsip dasar dari UU No. 5/1990 ialah keseimbangan antara

konservasi dengan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan;

• Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Ketentuan ini mengusahakan untuk menurunkan laju kerusakan fungsi lingkungan hidup

sampai tingkat minimal

Perkembangan jumlah Kawasan Konservasi Perairan per periode waktu 5 tahun disajikan pada

Gambar 7.3. Sampai tahun 1982, Indonesia sudah mempunyai 95 kawasan konservasi perairan,

seperti yang dilaporkan dari hasil survei IUCN/WWF bersama Pemerintah Indonesia. Dari jumlah

tersebut, 25 unit kawasan ditetapkan selama masa penjajahan Belanda (antara tahun 1917 – 1937).

293 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

Fokus area untuk pengembangan Kawasan Konservasi Perairan ketika itu ialah Pulau Jawa dan

Sulawesi. Ahli-ahli biologi dan konservasi pada saat itu diduga terkonsentrasi di wilayah Jawa dan

Sulawesi Utara dibandingkan daerah lain – eksplorasi dan penelitian sangat terkonsentrasi di wilayah

Pulau Jawa. Sistem transportasi dan komunikasi diduga menjadi faktor penghalang untuk

menjangkau daerah lainya di Indonesia.

Cagar Alam Ujung Kulon diduga kuat ialah Kawasan Konservasi Perairan tertua, yang

ditetapkan dengan menggunakan keputusan Pemerintah Indonesia. Ujung Kulon ditetapkan

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 48/Kpts/Um/4/58, pada tahun 1958 (Tabel 7.2).

Pada tahun 1984, inisiatif IUCN/WWF program, merekomendasi 137 unit Kawasan Konservasi

Perairan yang baru kepada Pemerintah Indonesia. Sejak saat itu, jumlah Kawasan Konservasi

Perairan yang ditetapkan terus meningkat, dan mencapai puncak antara periode tahun 1991-1995

(data dari WDPA, World Data on Protected Areas, 2009). Pada era reformasi, jumlah penetapan

Kawasan Konservasi Perairan mengalami penurunan (Gambar 7.3). Hal ini kemungkinan dipengaruhi

oleh dua kondisi dasar yang berkembang pesat pada era reformasi. Pertama, masyarakat mulai

berani untuk menyampaikan pendapat kepada pemerintah. Kesempatan ini digunakan oleh

kelompok “focal minority group” yang meraih keuntungan jangka pendek dari sistem pemanfaatan

sumber daya laut tanpa terkontrol, untuk menolak rencana penetapan kawasan. Kedua,

berkembangnya dualisme dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan, antara Departemen

Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Pemerintah Pusat dari kedua Kementerian

menghabiskan banyak energi untuk melakukan harmonisasi (diantara kedua instansi dan antara dua

peraturan hukum yang berbeda) kebijakan operasional dalam berbagi kewenangan pengelolaan

kawasan.

Gambar 7.3 Jumlah KKP yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Pemerintah setiap periode 5

tahun, sejak tahun (Sumber: Salm & Halim, 1984; WDPA, 2009)

Sebagai pembelajaran, RoadMap dari Kawasan Konservasi Perairan Indonesia bisa diartikan

sebagai berikut:

294 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

• Indonesia mempunyai cukup pengalaman dalam mengembangkan kawasan konservasi

perairan. Secara historis, pengalaman ini bisa dibedakan menjadi 4 (empat) periode, ialah:

pra-kolonial, priode kolonial Belanda, periode kemerdekaan, dan era reformasi.

• Sasi Laut, Awig-Awig, dan Panglima Laut ialah beberapa contoh dari model pengelolaan

kawasan konservasi laut berbasis masyarakat. Surat Keputusan Sultan Bima dan Raja-Raja

Bali bisa dianggap sebagai sistem “top-downn approach” dalam usaha perlindungan habitat

spesies. Tabu ialah metode yang paling sering digunakan sebagai penghormatan pada aturan

kawasan konservasi;

• Penetapan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan pada era kemerdekaan (1945 –

2000) lebih banyak menggunakan “top-down approach”. Kementerian Pertanian, dan

Kementerian Kehutanan yang terbentuk belakangan, ialah dua instansi pemerintah yang

terlibat dan berwenang dalam pengelolaan kawasan konservasi, termasuk di laut. Integrasi

antara perlindungan kawasan dengan pemanfaatan berkelanjutan dilakukan melalui

koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH);

• Cagar Alam Ujung Kulon tercatat sebagai Kawasan Konservasi Perairan pertama yang

ditetapkan pada era kemerdekaan (tahun 1958). Proposal untuk pengembangan Kawasan

Konservasi Perairan dimulai sejak tahun 1973 dan diterima pemerintah pada tahun 1975.

Setahun kemudian (1976), satu dari proyek percontohan Taman Nasional (Kepulauan Seribu)

diterima, dari tiga model yang akan dikembangkan – Taman Nasional Kepulauan Seribu

dianggap mewakili model kawasan dengan pemukiman padat dan dekat dengan lokasi kota

besar. Taman Nasional Bali Barat mewakili kawasan yang dipengaruhi oleh iklim pariwisata.

Sedangkan Taman Nasional Komodo terpilih untuk mewakili kawasan yang relatif masih

alamiah dan intervensi manusia masih sangat terbatas;

• Sejak tahun 1975, jumlah Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia meningkat pesat. Faktor

pendukung utama, antara lain ialah: adanya ketentuan kriteria identifikasi dan seleksi

kawasan yang berhasil ditetapkan pemerintah, inisiatif calon Kawasan Konservasi Perairan

yang diajukan melalui program IUCN/WWF dan penetapan Undang-Undang No. 5 tahun

1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Paling tidak, ada 75

unit kawasan konservasi laut yang sudah ditetapkan pada era kemerdekaan;

• Jumlah kawasan yang ditetapkan selama periode reformasi menurun sampai hampir 30%.

Hal ini diduga disebabkan oleh dualisme pengelolaan pada Kawasan Konservasi Perairan dan

meningkatnya desakan pelibatan masyarakat dalam penetapan dan pengelolaan kawasan

konservasi. Secara hukum (UU No. 5 tahun 1990), Kementerian Kehutanan ialah instansi

yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi, baik di darat maupun di

laut. Untuk tujuan pengelolaan perikanan berkelanjutan, Kementerian Kelautan dan

Perikanan (UU No. 31 tahun 2004), juga mempunyai kewenangan untuk mengelola kawasan

konservasi perairan. Saat ini, kedua instansi melakukan harmonisasi secara intensif terkait

dengan wilayah (domain) kewenangan pengelolaan kawasan. Akibatnya, perencanaan

penetapan kawasan konservasi yang baru mengalami kemunduran (delay) dari rencana

seharusnya;

• Keterlibatan publik yang kental pada era reformasi memberikan peluang pada setiap

komponen masyarakat untuk menolak rencana penetapan kawasan konservasi baru. Usaha

ini lebih dianggap sebagai pelarangan secara berlebihan (over-restriction) dalam

memanfaatkan sumber daya. Kesempatan juga bisa digunakan oleh kelompok “focal

minority-group” untuk menentang konservasi. Kelompok ini biasanya mempunyai peluang

lebih besar dalam mengambil keuntungan jangka pendek sebagai akibat dari sistem

pengelolaan sumber daya yang tidak terkontrol.

295 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

Bahan Bacaan Utama:

Alder J., N. A., Sloan, & H. Uktolseya (1994). Advances In Marine Protected Area Management In

Indonesia: 1988 - 1993. Ocean & Coastal Management 25: 63-75.

Robinson, R., N. Polunin, K. Kvalvagnaes, & M. Halim (1981). Progress In Creating A Marine Reserve

System In Indonesia. Bulletin of Marine Science 31(3): 774-785.

Salm, R. V. (1984e). Conservation Of Marine Species In Indonesia. A Protected Area System Plan For

The Conservation Of Indonesia's Marine Environment. Vol: V. Bogor, A IUCN/WWF report

prepared for the Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, Bogor:

76.

Salm, R. V., & M. Halim (1984a). A Protected Area System Plan For The Conservation Of Indonesia's

Marine Environment. A Protected Area System Plan For The Conservation Of Indonesia's

Marine Environment. Vol: I. Bogor, Indonesia, A IUCN/WWF Report Prepared For The

Directorate General Of Forest Protection And Nature Conservation, Bogor: 19.

Salm, R. V., & M. Halim (1984c). Environmental Law And Marine Protected Areas And Species In

Indonesia. A Protected Area System Plan For The Conservation Of Indonesia's Marine

Environment. Vol: III. Bogor, A IUCN/WWF Report Prepared For The Directorate General of

Forest Protection and Nature Conservation, Bogor: 21.

Salm, R. V., & M. Halim (1984d). Conservation Of Marine And Littoral Habitats In Indonesia. A

Protected Area System Plan For The Conservation Of Indonesia's Marine Environment. Vol:

IV. Bogor, A IUCN/WWF Report Prepared For The Directorate General Of Forest Protection

And Nature Conservation, Bogor: 78.

Salm, R. V., & M. Halim (1984f). Marine And Coastal Protected Areas In Indonesia. A Protected Area

System Plan For The Conservation Of Indonesia's Marine Environment. Vol: VI. Bogor, A

IUCN/WWF Report Prepared For The Directorate General Of Forest Protection And Nature

Conservation, Bogor: 49.

Salm, R. V., & M. Halim (1994b). Proposed Marine Protected Area Policy. A Protected Area System

Plan for the Conservation Of Indonesia's Marine Environment. Vol: II. Bogor, A IUCN/WWF

report prepared for the Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation,

Bogor: 21.

Ringkasan:

1. Pengalaman dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia bisa dibedakan dalam

4 (empat) periode waktu yang berbeda. Apa karakteristik dasar yang membedakan sistem pada

masing-masing periode tersebut?

2. RoadMap dari Fish Habitat Area di Australia (Queensland) berbeda dengan Florida Keys National

Marine Sanctuary di Amerika Serikat, terutama karena perbedaan latar belakang dan tujuan

pendirian kawasan. Apa perbedaan mendasar dalam proses pembentukan kedua kawasan.

3. RoadMap Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia hampir selalu berkembang dari kawasan

konservasi di darat yang sudah berkembang lebih dulu. Apa yang mendorong kecenderungan

ini?

296 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

4. Pada era reformasi ada kecenderungan penurunan jumlah Kawasan Konservasi Perairan yang

baru. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi?

5. Gambarkan perbedaan dalam roadmap penetapan Kawasan Konservasi Perairan antara sistem

pada Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan

6. Kawasan konservasi pada era pra-kolonial umumnya berkembang dari dua perilaku yang

berbeda. Gambarkan kedua perilaku masyarakat tersebut

7. Jumlah penetapan kawasan konservasi perairan di Indonesia paling tinggi terjadi pada periode

tahun 1991 – 1995. Jelaskan alasan yang paling logis dari gambaran ini (perhatikan Gambar 7.3)

8. Jelaskan secara ringkas roadmap dari Taman Nasional Komodo – dari awal sampai menjadi

Taman Nasional yang meliputi wilayah darat dan laut

9. Bandingkan roadmap antara Taman Nasional Komodo dengan Taman Nasional Bali Barat

10. Sebutkan beberapa Taman Nasional di Indonesia yang mempunyai wilayah darat dan laut

297 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

Tabel 7.2 Daftar Kawasan Konservasi Perairan yang telah ditetapkan sampai tahun 1982 dengan

berbagai jenis peraturan yang berbeda (Sumber: Salm & Halim, 1984f)

No. Propinsi Dasar Keputusan Penetapan Nilai Konservasi

I. Aceh:

1. Teluk Pulau Weh SK Metan 928/Kpts/U/12/82 Terumbu karang

2. Suaka Marga Satwa Kluet SK Mentan 697/Kpts/Um/12/76 Pantai laut

II Sumatra Utara:

3. Suaka Marga Satwa Karang

Gading Langkat Timur Laut

(Belawan)

SK Mentan 811/Kpts/m/11/80 Bakau, Tempat peneluran

Penyu

III Sumatra Barat:

4. Suaka Marga Satwa

Taitaibatti

SK Mentan 60/Kpts /Um/ 10/76

SK Mentan 758/Kpts/ Um/1279

Pantai laut

IV Riau

5. Cagar Alam Pulau Berkeh SK Mentan 13/Kpts/Um/3/68

Bakau, Sarang Burung laut

6. Cagar Alam Pulau Burung SK Mentan 13/Kpts/Um/3/68 Bakau, Sarang Burung laut

7. Cagar Alam Pulau Laut SK Mentan 13/Kpts/Um/3/68 Bakau, Sarang Burung laut

dan Penyu

V Jambi

8. Cagar Alam Kelompok

Hutan Bakau Pantai Timur

SK Mentan 507/Kpts/Um/6/81

Bakau

9. Suaka Marga Satwa Berbak GB 29-10-1935 No. 18 Stbl. 521 Bakau, , Hutan Rawa

VI Bengkulu

10. Taman Buru Nanuua SK Mentan 741/Kpts/Um/11/78 Pantai laut

VII Lampung

11. Suaka Marga Satwa Bukit

Barisan Selatan

Gb 18-9-1935 No. 391 Pernyataan

No. 736/Mentan/X/1982

Bakau, Hutan Rawa, Pantai

berpasir, Sarang telur penyu

hijau dan Penyu Blimbing

12. Suaka Marga Satwa Way

Kambas

GB 26-1-1937 No. 14 LN No. 38

VIII. Jawa Barat

13. Cagar Alam Krakatau GB 11-7-1917 No. 83 Stbl. 392 Gunung Berapi, Sarang telur

penyu hijau dan Penyu Sisik,

perluasan wilayah laut

sampai wilayah terumbu

karang yang dihuni Kima

14. Cagar Alam Pulau Peucang-

Pualu Panaitan

GB 24-6-1937 No. 17 Stbl. 420

Terumbu karang ke arah laut,

kima, peneluran penyu,

burung pantai

15. Cagar Alam Ujung Kulon SK mentan 48/Kpts/Um/4/58

Estuari, bakau, peneluran

penyu hijau, belimbing dan

sisik, burung laut, terumbu

karang

298 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

16. Cagar Aalam Pulau Dua GB 30-7-1937 No. 21 Stbl. 494 Pulau terumbu karang,

Bakau, burung pantai

17. Cagar Alam Pualu Seribu

SK Mentan 527.Kpts/Um/7/82

,Pernyataan 736/Mentan/X/1982

Terumbu karang, bakau,

padang lamun, sarang telur

penyu hijau dan penyu sisik

18. Cagar Alam Pulau Bokor GB 16-11-1921 No. 60 Stbl. 683 Hutan pantai, laguna dan

karang tepi

19. Cagar Aalam Pulau Rambut GB 3-5-1939 No. 7 Stbl. 245 Bakau, laguna, karang tepi,

sarang burung laut dan

burung pantai

20. Cagar Aalam Muara Angke SK Mentan 16/Kpts/Um/6/77 Estuari, bakau, sarang burung

laut dan burung pantai, Nili

pendidikan tinggi

21. Cagar Alam Sukawayana GB 11-7-1919 No. 83 Stbl. 392 Hutan Pantai

22. Cagar Alam Cibanteng GB 28-5-1925 No. 3 Stbl. 243 Pantai berpasir, pantai

berkarang dengan sarang

telur penyu hijau

23. Suaka Marga Satwa

Cikepuh

SK Mentan 516/Kpts/Um/10/73 Pantai berpasir, pantai

berkarang dengan sarang

telur penyu hijau

24. Cagar Alam Barong Layang

Jayanti

SK Mentan 516/Kpts/Um/10/73 Pantai laut

25. Cagar Alam Leuweung

Sanoang

SK Mentan 370/Kpts/Um/6/78 Bukit pantai pasir,bakau,

migrasi burung pantai, hutan

pantai, sarang telur penyu

hijau

26. Cagar Alam Penanjung-

Pangandaran

GB 7-12-1934 No. 19 Stbl. 699, SK

Mentan 170/Kpts/Um/3/78

Batu gamping, gua, pantai,

pntai berkarang, terumbu

karang

IX. Jawa Tengah

27. Cagar Aalam Nusa

Kambangan-Segara Anakan

GB 4-6-1937 No. 34 Stbl. 369 Bakau, htan pantai, pantai

berkarang, sarang telur penyu

hijau

28. Cagar Alam Wijaya

Kusuma-Karang Bolong

GB 4-6-1937 No. 34 Stbl. 369 Pulau kecil berkarang

29. Taman Wisata Gunung

Selok

SK mentan 399/Kpts/Um/10/75 Gua batu kapur di pantai

30. Cagar Alam Teluk Baron Pemda 24-3-1937, 3794/321/16 Tidak diketauhi

X. Jawa Timur

31. Cagar Alam Pulau Noko-

Pulau Nusa

GB 25-10-1926 No. 20 Stlb. 13 Pulau kecil sarang burung laut

32. Cagar Alam Pulau Sambi GB 25-10-1926 No. 22 Stlb. 469 Pulau dengan sarang telur

penyu hijau

33. Suaka Marga Satwa

Baluran

GB 25-9-1937 Stlb. 544 , SK Mentan

15-5-1962 No. 11/1962

Berbatuan dan pantai pasir,

bakau, terumbu karang

34. Cagar Aalam Pulau Sempu GB 15-3-1928 No. 46 Stlb. 1928 Pulau dengan sarang telur

penyu

299 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

35. Cagar Alam Nusa Barung GB 9-10-1920 No. 46 Stlb. 736 Pulau batu kapur, Pantai pasir

dan pantai berkarang, sarang

telur penyu hijau dan penyu

sisik

36. Suaka Marga Satwa Neru

Betiri

SK Mentan 276/Kpts/Um/6/72

Pantai berpasir dan pantai

berkarang, bakau, hutan

rawa, sarang telur penyu

hijau, penyu sisik, penyu

lekang dan penyu blimbing

37. Suaka Marga Satwa

Banyuwangi Selatan

GB 1-9-1939 No. 6 Stlb. 456 Sarang telur penyu hijau dan

penyu blimbing

XI. Bali

38. Suaka Marga Satwa Pulau

Menjangan

SK Mentan 169/Kpts/Um/3/78 Terumbu karang, karang tepi,

bakau

39. Suaka Marga Satwa Bali

Barat

Dewan Raja-raja bali 13-8-1947 No.

E/1/4/5, Pernyataan 746/Mentan

/X/1982

Bakau, terumbu karang ke

arah laut

XII. Nusa Tenggara Barat

40. Suaka Marga Satwa Pulau

Moyo

SK mentan 349/Kpts/Um/8/75 Pulau batu kapur, Padang

lamun

41. Cagar Alam Tanah Perdauh SK mentan 348/Kpts/Um/8/75 Tumbuhan semak dipantai,

sarang telur penyu hijau dan

penyu sisik

XIII. Nusa Tenggara Timur

42. Suaka Marga Satwa/Taman

Nasional Komodo-Padar-

Rinoa

SK 66/Depkeh/65,GB 24-9-1938 No.

32

Pulau berkarang, pulau kecil,

pantai, terumbu karang,

sarang telur penyu hijau

43. Suaka Marga Satwa Wae

Wuul

GB Gub. 24-6-1960 No. 32 Padang lamun

44. Tawan Wisata Tuti Adagae SK mentan 396/Kpts/Um/5/81 Hutan pantai,rekreasi

45. Suaka Marga Satwa Pulau

Menipo

SK Mentan 394/Kpts/Um/12/77,

768/Kpts/Um/1/78

Bakau, estuari, pelindung

pulau dan perluasan ke arah

laut

46. Hutan Wisata/Taman Buru

Dataram Bena

SK Mentan 5/Kpts/Um/1/78 Padang lamun dan hutan

palem, bakau, sarang telur

penyu

47. Cagar Alam Maubesi SK Mentan 394/Kpts/Um/5/81 Bakau

XIV. Kalimantan Barat

49. Cagar Alam Gunung Palung ZB 4-2-1936/ZB 22-4-37 Bakau pinggir pantai

XV. Kalimantan Tengah

49 Suaka Marga Satwa

/Taman Nasional Tanjung

Puting

GB 18-8-1937 No. 39 Stlb. 495, SK

Mentan 698/Kpts/Um/11/78,

Pernyataan 736/Mentan/X/19/82

Bakau, hutan rawa, laguna

XVI. Kalimantan Selatan

50 Taman Wisata Pulau

Kembang

SK Mentan 780/Kpts/Um/12/76 Pulau bakau

51. Cagar Alam Pulau Kaget SK Mentan 701/Kpts/Um/11/76 Pulau bakau

52. Suaka Marga Satwa Pleihari

Tanah Laut

SK Mentan 424/Kpts/Um/10/75 Pantai dengan sarang telur

penyu hijau dan penyu sisik

300 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

53. Cagar Alam Teluk

Kelumpang

SK Mentan 827/Kpts/Um/9/81 Estuari, pulau bakau, bakau

XVII. Kalimantan Timur

54. Cagar Alam Teluk Apar SK Gub. Kalitim 1-3-82 No. 46 Bakau

55. Cagar Alam teluk Adang SK Gub. Kaltim 1-3-82 No. 46 Bakau

56. Suaka Marga Satwa

/Taman Nasional Kutai

SK mentan 280/Kpts/Um/7/71 ,

Pernyataan 736/Mentan/X/1982

Bakau

57. Teluk Pulau Sangalaki SK mentan 604/Kpts/Um/8/82 Sarang telur penyu hijau dan

sarang telur penyu sisik,

karang tepi

58. Suaka Marga Satwa Pulau

Semama

SK Mentan 604/Kpts/Um/8/82

Sarang telur penyu hijau dan

sarang telur penyu sisik,

karang tepi

XVIII

.

Sulawesi Utara

59. Cagar Alam Tangkoko-Dua

Saudara

GB 22-2-1919 No. 6 Stlb. 90 , SK

Mentan 700/Kpts/Um/11/78

Bakau, padang pasir dan

berkarang, karang menuju

arah laut

60. Cagar Alam Pulau-pulau

Mas Popaya Raja

GB 17-10-1939 No. 29 LN. 626 Hamparan pasir untuk

tempat peneluran penyu

61. Cagar Alam Panua GB 3-11-1938 No. 11 Stlb. 620 Bakau

XIX. Sulawesi Tengah

62. Suaka Marga Satwa

Tanjung Matop

SK Mentan 445/Kpts/Um/5/81 Karang pantai, sarang telur

penyu

63. Suaka Marga Satwa Pulau

Dolongan

SK Mentan 441/Kpts/Um/5/81 Pulau berkarang dengan

sarang telur penyu

64. Cagar Alam Tanjung Api SK Mentan 91/Kpts/Um/2/77 Terumbu karang tepi

65. Suaka Marga Satwa Pati

Pati

ZB 17-1-1936 No. 4 Pantai laut

66. Cagar Alam Morowali SK Mentan 133/Kpts/Um/3/80 Bakau

XX. Sulawesi Tenggara

67. Suaka Marga Satwa

Tanjung Peropa

SK Mentan 845/Kpts/Um/11/80 Bakau

68. Suaka Marga Satwa

Tanjung Amolenggo

SK mentan 423/Kpts/Um/10/75 Terumbu karang, hutan

pantai

69. Suaka Marga Satwa

Tanjung Batikolo

SK Mentan 844/Kpts/Um/11/80 Tumbuhan pantai, terumbu

karang

70. Taman Buru Gunung

Watumohai

SK Mentan 648/Kpts/Um/10/76 Bakau

71. Suaka Marga Satwa Buton

Utara

SK Mentan 728/Kpts/Um/12/79 Bakau

XXI. Sulawesi Selatan

72. Suaka Marga Satwa

Lampuko-Mampie

SK Mentan 699/Kpts/Um/11/78 Bakau, hutan rawai

XXII. Maluku

73. Cagar Alam Pulau Seho SK Mentan 492/Kpts/Um/10/72 Bakau

74. Suaka Marga Satwa /Teluk

Pulau Kasa

SK Mentan 653/Kpts/Um/10/78 Pulau berpasir, terumbu

karang, sarang telur penyu

sisik

301 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

75. Suaka Marga Satwa /Teluk

Pulau Pombo

SK Mentan 327/ Kpts/Um/7/73 Karang cicin, pantai berpasir

76. Cagar Alam Wae Mua SK Mentan 558/Kpts/Um/12/72 Bakau, sarang telur penyu

77. Cagar Alam Wae Nua SK Mentan 557/Kpts/Um/12/72 Bakau, sarang telur penyu

78. Cagar Alam/ teluk Pulau

Banda

SK Mentan 221/Kpts/Um/4/77 Terumbu karang, laut dengan

karang terjal

79. Suaka Marga Satwa Manuk SK mentan 444/Kpts/Um/5/81 Sarang burung laut, gunung

laut, karang tepi

80. Suaka Marga Satwa Pulau

Baun

SK mentan 771/Kpts/Um/1/74 Pantai

81. Cagar Alam Nuswonta SK Mentan 607/Kpts/Um/10/78 Bakau

82. Cagar Alam Pulau

Angwarmase

SK Mentan 609?Kpts/Um/10/78 Pantai berpasir, terumbu

karang

83. Cagar Alam Gunung Api GB 12-3-1937 No. 24 Stbl. 157 Gunung laut, sarang burung

laut

XXIII

.

Irian Jaya

84. Cagar Alam Pulau Waigeo

Barat

SK Mentan 395/Kpts/Um/5/81 Karang tebing , karang tepi

85. Cagar Alam Batanta Barat SK Mentan 912/Kpts/Um/10/81

Pantai laut

86. Cagar Alam Pulau Salawati

Utara

SK Mentan 14/Kpts/Um/1/82 Pantai laut

87. Cagar Alam Pulau Biak

Utara

SK Mentan 212/Kpts/Um/4/82 Pantai laut

88. Suaka Marga Satwa Pulau

Anggremeos

SK mentan 547/Kpts/Um/6/81 Pulaubakau, karang tepi

89. Cagar Alam Pulau Yapen

Tengah

SK Mentan 755/Kpts/Um/10/82 Pantai laut

90. Taman Wisata Teluk Yotafa SK Mentan 372 Kpts/Um/1/78 Daerah rekresi

91. Cagar Alam Pulau Misool SK mentan 716/Kpts/Um/10/82 Pantai laut

92. Suaka Marga Satwa Pulau

Sabuda-Tataruga

SK Mentan 83/Kpts/Um/2/80 Pulau dengan terumbu

karang, sarang telur penyu

93. Cagar Alam Gunung Lorenz SK mentan 44/KPts/Um/1/78 Delta estuari, bakau, hutan

rawa

94. Suaka Marga Satwa Pulau

Dolok

SK Mentan 37/Kpts/Um/1/78 Bakau, Rataan pasir, pantai,

migrasi burung pantai

95. Suaka Marga Satwa Wasur SK mentan 253/Kpts/Um/1/78, SK

Mentan/15/Kpts/Um/1/82

Bakau, hutan rawa, rataan

pasir pantai, migrasi burung

pantai

302 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

Tabel 7.3 Kawasan konservasi usulan baru (dengan kategori kawasan) hasil survei pada tahun 198-

1982 (Sumber: Salm & Halim, 1984f)

No Propinsi & Nama Kawasan Kategori

Kawasan

Luas (ha)

perairan Nilai konservasi

I. ACEH:

1 Kuala Jambu Air I 10.000 Estuari, bakau

2 Kuala Langsa I 7.000 Estuari, bakau

3 Singkil Barat I 65.000 Hutan Pantai, Hutan rawa pantai

4 Kep. Banyak-Bangkaru VIII 200.000 Terumbu karang, sarang telur penyu

5 Jawi-jawi, P. Panjang,

Simmal (Simeulue)

I 10.000 Sarang burung laut

6 Muara Wotya, Muara

Teunon, Muara Teripa

VI 15.000 Estuari, rawa pantai, perlindungan perikanan

udang

II. SUMATERA UTARA:

7 Sei Prapat I 3.000 Bakau

8 Lau Tapus I 8.000 Hutan pantai, hutan rawa pantai

9 Perairan Kep. Batu VIII 200.000 Terumbu karang, kima, sarang telur penyu

10 Aruah I 50.000 Sarang burung laut, karang

11 Muara Toru VI 5.000 Estuari, bakau, lumpur, perikanan udang

III. SUMATERA BARAT:

12 P. Penyu I 15.000 Terumbu karang, sarang telur penyu hijau

dan penyu sisik

13 Muara Siberut VIII 50.000 Bakau, terumbu karang

IV. RIAU:

14 Tg. Sinebu-P. Alang Besar IV 18.000 Estuari, bakau

15 Bakau Muara Kapuas IV 70.000 Bakau, hutang rawa

16 Bakau Selat Dumai IV 60.000 Bakau

17 Muara Gunting I 26.000 Bakau

18 Kep. Riau Selatan-Lingga

Utara

VIII 200.000 Terumbu karang, kepulauan bakau, sarang

telur penyu hijau dan sisik

19 Kayu ara I 5.000 Sarang burung laut, terumbu karang

20 Mandariki I 5.000 Sarang burung laut, terumbu karang,

21 Tambelan-Uwi VIII 50.000 Sarang burung laut, penyu hijau dan sisik,

terumbu karang,

22 P. Pasir Pandjang V 20 Kepulauan bakau, wisata

23 Tg. Datuk IV 5.000 Bakau

24 Kep. Anambas Selatan VIII 200.000 Terumbu karang, sarang telur penyu sisik

25 P. Penyengat V 10 Kepulauan bakau, wisata

V. SUMATERA SELATAN:

26 P. Segamat I 15.700 Terumbu karang, sarang telur penyu sisik

27 P. Lengkuas-P. Kepayang IV 25.000 Terumbu karang, sarang telur penyu hijau

dan sisik

28 Perairan Manggar

Tenggara-P. Rotan

VIII 100.000 Terumbu karang, sarang telur penyu hijau

dan sisik

29 Tl. Bolok-Kep. Lima VIII 100.000 Terumbu karang, sarang telur penyu hijau

dan sisik

30 Terusan Dalam Dsk IV 40.000 Bakau tepi

31 P. Bangka Timur VIII 200.000 Terumbu karang dan perilindungan

perikanan, duyung, lamun

303 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

No Propinsi & Nama Kawasan Kategori

Kawasan

Luas (ha)

perairan Nilai konservasi

32 Kebatu I 5.000 Terumbu karang, sarang burung laut

VI. BENGKULU:

33 P. Tikus I 15.000 Sarang telur penyu belimbing

VII JAWA BARAT:

34 Muara Gembong IV 1.000 Estuari, bakau, perlindungan perikanan

35 Muara Bobos I 1.000 Estuari, bakau, perlindungan perikanan

36 Muara Cimanuk I 7.100 Estuari, bakau, perlindungan perikanan

37 Pangumbahan VI 25.000 Sarang dan area pemijahan penyu hijau

38 Tg. Sadari VI 8.200 Bakau, burung pantai

39 P. Sangiang V 3.000 Terumbu karang, wisata

40 Mawuk VI 1.000 Estuari, bakau, perlindungan perikanan

41 Zona Pesisir Tl. Banten

Timur

VI 6.000 Estuari, lahan basah, perlindungan

perikanan, habitat nener bandeng

VIII. JAWA TENGAH:

42 Karimunjawa II 100.000 Estuari, sarang burung, penyu hijau dan sisik

43 Rongkop I 1.000 Sarang burung laut

44 Muara Pemali-Brebes VI 5.000 Estuari, perlindungan perikanan udang,

rataan lumpur, habitat nener bandeng

45 Muara Pemalang VI 5.000 Estuari, perlindungan perikanan udang,

habitat nener bandeng

46 Muara S. Serang VI 5.000 Estuari, perlindungan perikanan udang,

rataan lumpur, habitat nener bandeng

IX. JAWA TIMUR:

47 Perairan Kangean Utara VIII 100.000 Lamun, duyung,penyu, sarang burung laut

48 Muara Porong-Welang VI 30.000 Estuari, perlindungan perikanan, rataan

lumpur, habitat nener bandeng

49 Gn. Jagatamu IV 2.000 Hutan pantai, bakau

50 P. Merah V 1.000 Hutang pantai, bakau, wisata

51 P. Sepanjang I 5.000 Sarang telur penyu hijau

X. BALI:

52 Nusa Penida III 5.000 Terumbu karang, tebing dengan sarang

burung laut

53 Benoa-Sanur VIII 2.000 Rataan lumpur,

54 Uluwatu I 2.500 Terumbu karang, tebing dengan sarang

burung laut

XI NUSA TENGGARA BARAT:

55 Batugendang III 12.500 Terumbu karang, tebing dengan sarang

burung laut

56 Gili Air—P. Pemenanang III 5.000 Terumbu karang

57 P. Satonda IV 22.000 Terumbu karang, padang lamun, luguna air

asin

58 P. Panjang IV 10.000 Pulau bakau

59 P. Rakit V 2.000 Hutan pantai, terumbu karang, rekreasi

304 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

No Propinsi & Nama

Kawasan

Kategori

Kawasan

Luas (ha)

perairan

Nilai konservasi

XII. NUSA TENGGARA TIMUR:

60 P.P. Tujuhbelas III 5.000 Terumbu karang, pulau-pulau kecil

61 Tl. Kupang-P. Kera VIII 100.000 Terumbu karang, hamparan karang, duyung,

rekreasi

62 P. Dana IV 5.000 Sarang telur penyu hijau dan penyu sisik

63 Tl. Pelikan-Bekau Pahatu IV 1.500 Bakau

64 Bakau Landu IV 1.000 Bakau, hamparan karang, terumbu karang,

65 Tl. Oisina IV 1.000 Bakau

XIII. KALIMANTAN BARAT:

66 Bakau Muara

Kendawangan

I 10.000 Hutan patai, estuari, bakau, migrai burung

pantai

67 Paloh I 25.000 Tempat peneluran dan perkawinan penyu

hijau

68 Tl. Ayer VI 25.000 Estuari, bakau, daerah penangkapan ikan

69 Karimata III 87.000 Terumbu karang

70 Tg. Keluang V 1.000 Rekreasi

XIV. KALIMANTAN TENGAH:

71 Kelompok Hutan Kahayan I 150.000 Bakau tepi, padang rawa

72 Tg. Penghujan V 40.000 Bakau tepi, padang rawa

XV. KALIMANTAN SELATAN:

73 Pamukan I 10.000 Estuari, bakau

74 Pantai Barat Kalimantan

selatan

I 30.000 Sarang telur penyu hijau

75 Kep. Laut Kecil VIII 200.000 Terumbu karang, tempat perkawinan,

bertelur dan cari makan penyu sisik

76 P. Suwangi I 500 Pulau bakau

77 P. Sebuku Barat I 14.400 Bakau

78 Tg. Dewa Barat I 16.250 Bakau

XVI. KALIMANTAN TIMUR:

79 Tl. Apar I 65.000 Estuari, bakau, daerah penangkapan ikan

80 Tl. Adang I 65.000 Estuari, bakau, daerah penangkapan ikan

81 Muara kayan I 80.000 Estuari, bakau, delta

82 Pantai Samarinda-Muara

Mahakam

VIII 10.000 Delta,bakau

83 Muara Sebuku I 110.000 Estuari, bakau

84 Karang Muaras-Maratua IV 100.000 Terumbu karang, sarang telur penyu hijau

85 P. Birah-Birahan I 15.700 Sarang telur penyu

86 Kep. Balangan-P. Uwi VIII 200.000 Terumbu karang penghalang, tempat

perkawinan, bertelur dan cari makan penyu

sisik dan penyu hijau

XVII. SULAWESI UTARA:

87 P.P. Bunaken III 81.000 Terumbu karang, padang lamun, kima,

kepariwisataan

88 Arakan IV 16.000 Terumbu karang,bakau, padang lamun, kima,

duyung

89 Tg. Panjang IV 2.500 Delta, bakau, sarang burung air tawar

90 Batu Kapal I 5.000 Sarang burung laut

91 P. Burung I 5.000 Tempat burung bermain

305 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

No Propinsi & Nama Kawasan Kategori

Kawasan

Luas (ha)

perairan

Nilai konservasi

92 Kep. Sangihe-Talaud VIII 150.000 Terumbu karang, Kepiting kenari/kelapa

93 Tl. Gorontalo VIII 5.000 Estuari, bakau

XVIII. SULAWESI TENGAH:

94 P. Pasoso III 15.000 Terumbu karang, sarang telur penyu hijau

95 P.P. Togian VIII 200.000 Terumbu karang, hamparan karang, bakau,

kima

96 Perairan P.Peleng-P.P.

Banggai

VIII 150.000 Terumbu karang, duyung, kima

XIX. SULAWESI TENGGARA:

97 P. Kakabia I 15.000 Sarang burung laut dan penyu, terumbu

karang

98 P. Moromaho I 15.000 Terumbu karang,sarang burung laut

99 Tl. Lasolo-Tl. Dalam IV 50.000 Terumbu karang, duyung, penyu

100 Polewai IV 15.000 Estuari, bakau

101 Tukang Besi VIII 200.000 Terumbu karang, penyu, duyung

102 P.P. Tiga IV 15.000 Terumbu karang, sarang telur penyu hijau

dan penyu sisik

103 Selat Muna IV 5.000 Terumbu karang,bakau, duyung,penyu

104 Selat Wowoni I 25.000 Terumbu karang

XX. SULAWESI SELATAN:

105 Sangi Sangiang I 15.000 Terumbu karang, sarang burung laut

106 Karompa Tjadi I 15.000 Terumbu karang, sarang burung laut

107 Taka Bone Rate VIII 205.000 Trumbu karang, perlindugan kima, duyung,

sarang telur penyu hujau dan penyu sisik

108 Kep. Sembilan IV 20.000 Terumbukarang tepi penghalang, tempat

perkawinan, bertelur, tempat makan penyu

hijau dan penyu sisik

109 Lamikomiko I 5.000 Bakau

110 P.P. Spermonde-P.

Samalona

II 100.000 Terumbu karang, hamparan karang, sarang

telur penyu sisik, kepariwisata

111 Madu IV 5.000 Sarang burung laut

112 Pallima VI 2.000 Esturi, daerah penangkapan ikan

113 Kep. Tengah-Kep. Salana VIII 500.000 Terumbu karang, sarang telur penyu sisik

114 Kep. Kalukalukuang VIII 100.000 Terumbu karang, sarang telur penyu sisik

XXI. MALUKU:

115 Aru Tenggara I 200.000 Terumbu karang,padang lamun,

duyung,sarang telur penyu hijau

116 P. Suanggi I 15.000 Sarang burung laut, terumbu karang

117 P.P. Penyu-Lucipara I 100.000 Terumbu karang, hamparan karang, sarang

teur penyu hijau dan burung

118 Kep. Kai Barat-Tayandu VIII 200.000 Trumbu karang, sarang burung laut, kepiting

kenari, palapa

119 Kep. Sermata Barat VIII 200.000 Karang tepi dan kima

120 P. Babi III 2.500 Terumbu karang dan kepariwisata

121 P. Kobroor IV 10.000 Bakau, hutan rawa

122 Tl. Kau V 100.000 Kapal karam (shipwreck)

123 Tl. Ambon VIII 50.000 Bakau, terumu karang, perikanan pelagis

kecil

306 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia

No Propinsi & Nama Kawasan Kategori

Kawasan

Luas (ha)

perairan

Nilai konservasi

124 Wae Apo I 3.000 Bakau

125 Yamdena I 10.000 Bakau, padang lamun, terumbu karang

126 Wae Bula I 1.000 Bakau

XXII. PAPUA:

127 Tl. Cendrawasih IV+X 1.000.000 Terumbu karang, kima, sarang telur penyu

hijau dan penyu sisik, duyung

128 Jamursba-Mandi, Wewe-

Koor, Sausapor

I 63.000 Sarang telur penyu blimbing dan penyu hijau

129 Tl. Bintuni I 450.000 Estuari, bakau, Perikanan udang

130 P. Mapia IV 11.000 Terumbu karang, kima, kepiting kenari,

sarang telur penyu hijau dan penyu sisik

131 Raja Ampat IV 50.000 Terumbu karang, sarang telur penyu hijau

dan penyu sisik

132 Inggresau I 25.500 Sarang telur penyu blimbing

133 Tl. Lelintah IV 75.000 Terumbu karang, kepiting kenari

134 Mamberamo delta II 40.000 Delta, padang rawa, bakau

135 Jef Jus I 5.000 Sarang burung laut dan terumbu karang

136 Kep. Asia-Kep. Aju IV 100.000 Terumbu karang, sarang telur penyu hijau

dan penyu sisik

137 Mubrani-Kaironi, Sdidei-

Wibain

I 40.000 Sarang telur penyu blimbing, hijau, dan

penyu lekang

138 P. Sayang IV 10.000 Terumbu karang, sarang telur penyu

139 P. Pombo I 100 Pulau bakau