risiko viktimisasi pekerjaan petugas satuan polisi pamong
TRANSCRIPT
Risiko Viktimisasi Pekerjaan Petugas Satuan Polisi Pamong Praja di Satpol
PP DKI Jakarta
Meutia Aulia Rahmi dan Mohammad Kemal Dermawan
Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas tentang bagaimana viktimisasi pekerjaan yang dialami oleh petugas lapangan Satpol PP
DKI Jakarta, sejak petugas memilih untuk bekerja di Satpol PP hingga selama menjalankan tugas di lapangan.
Satpol PP sebagai aparat penegak peraturan daerah dihadapkan dengan kondisi yang dilematis. Disatu sisi,
petugas lapangan harus menegakan Perda. Disisi lain, petugas dihadapkan dengan permasalahan dan perlawanan
oleh masyarakat dalam menjalankan tugasnya. Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori penegakan
hukum, within the job troble dan on the job trouble. Metode yang digunakan adalah mixed method dengan
menggunakan teknik pengumpulan data kuantitatif melalui kuesioner dan teknik pengumpulan data kulitatif
melalui wawancara tidak berstruktur.
Kata Kunci:
Viktimisasi Pekerjaan, Satpol PP, Within The Job Trouble dan On The Job Trouble, Mixed Method
Risk of Job Victimization on Satpol PP Field Officer in Satpol PP DKI Jakarta
Abstract
This mini thesis discussed about how risk of job victimization which is experienced by Satpol PP field officer,
ever since that officers chose to work at Satpol PP until did their duty on the field. Satpol PP as a local law
enforcer is faced by a dilemmatic condition. On one side, they have to uphold local law and on the other side,
they are confronted by problems and oppositions from society when doing their job. The theories that had been
used in this research were law enforcement theories, within the job trouble, and on the job trouble. The mixed
method was applied in this research due to its purpose for reconfirming the results from different data sources by
combining data collecting both quantitative approach and non structure interview technique with qualitative
approach.
Keywords : Victimization on job, Within The Job Trouble and On The Job Trouble, Mixed Method
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
2
Pendahuluan
DKI Jakarta yang merupakan ibukota provinsi Indonesia mengalami peningkatan
jumlah penduduk sangat pesat setiap tahunnya. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010
jumlah penduduk DKI Jakarta sebanyak 9,87 juta jiwa. Pada tahun 2013 diproyeksikan
meningkat menjadi 10,09 juta jiwa atau meningkat sebanyak 303.611 jiwa (Badan Pusat
Statistik , 2013). Meningkatnya jumlah penduduk DKI Jakarta setiap tahunnya juga diikuti
dengan meningkatnya jumlah pendatang di DKI Jakarta. Menurut Purba Hutapea yang
merupakan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, pada tahun 2013 pendatang di
Jakarta mengalami peningkatan sebesar 12, 6 persen sebanyak 6.925 orang dibandingkan
pada tahun 2012 lalu. Jumlah pendatang sebanyak 54.757 orang, sedangkan tahun lalu
jumlahnya hanya 47.832 orang (Khairany, 2013).
Meningkatnya jumlah pendatang di DKI Jakarta dikarenakan Jakarta dianggap sebagai
kota yang mampu memberikan peluang pekerjaan bagi masyarakat Indonesia, sehingga
masyarakat Indonesia beramai-ramai datang ke ibukota untuk dapat bekerja baik di sektor
formal maupun informal. Salah satu bentuk pekerjaan sektor informal tersebut adalah
pedagang kaki lima (PKL), yaitu bagian dari usaha yang umumnya mempunyai sifat
menghadang konsumen dengan prasarana yang terbatas dan pengoperasian usahanya
menggunakan bagian jalan, trotoar, taman, jalur hijau yang merupakan fasilitas umum yang
bukan milikinya, kecuali pada lokasi resmi (Andrianingsih, 2008).
Berkembangnya sektor informal yang begitu pesat menciptakan ketidaktertiban karena
mengganggu masyarakat lain, seperti pejalan kaki. Permasalahan DKI Jakarta yang begitu
kompleks menyebabkan perlu dibentuknya aturan untuk meminimalisasi atau mengendalikan
berbagai permasalahan tersebut. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan kota Jakarta
yang lebih nyaman, aman, bersih, dan tertib. Aturan tersebut berguna untuk menjaga
ketertiban umum, menjaga ketentraman masyarakat, serta melindungi prasarana kota.
Aturan tersebut diwujudkan melalui peraturan daerah DKI Jakarta salah satunya, yaitu
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Ibukota Jakarta Nomor 8 tahun 2007 tentang
Ketertiban Umum. Sejak dibentuknya Satpol PP hingga saat ini, Satpol PP telah menghadapi
berbagai permasalahan baik secara struktural, maupun masalah di lapangan (Satpol PP dan
Linmas, 2012). Selama ini petugas lapangan Satpol PP dikenal sebagai aparat pemerintah
daerah yang selalu melakukan tindakan represif dalam melaksanakan tugasnya dan petugas
yang melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat. Karakteristik Satpol PP yang demikian
terbentuk karena pemberitaan media yang selama ini selalu memberitakan tindakan anarkis
petugas lapangan Satpol PP terhadap masyarakat. Pemberitaan tersebut pada akhirnya
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
3
membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap Satpol PP, sehingga dalam pelaksanaan
tugasnya petugas lapangan telah dipandang negatif oleh masyarakat (Thamrin, 2009).
Adanya pandangan negatif masyarakat tersebut berpotensi bagi masyarakat
memberikan perlawanan kepada petugas. Ketika petugas dihadapkan dengan perlawanan
maka petugas lapangan tidak mungkin hanya diam, petugas memberikan reaksi terhadap
perlawanan tersebut. Dalam hal ini petugas lapangan sebenarnya mengalami kondisi dilema
karena juga dihadapkan dengan masyarakatnya sendiri. Westley (Weisburd, Greenspan,
Hamilton, Bryant, & Williams, 2001) menyebutkan bahwa sikap warga negara mempengaruhi
perilaku polisi. Sikap tidak sopan atau bermusuhan yang ditampilkan oleh warga negara akan
mempengaruhi saat pertemuan antara polisi dan warga negara.
Setiap harinya pelangggaran ketertiban umum yang meliputi tugas dari Satpol PP
dapat ditemukan di wilayah DKI Jakarta. Hampir setiap pelaksanaan tugas petugas lapangan
Satpol PP berujung pada bentrok yang akhirnya menimbulkan korban dari pihak masyarakat
sebagai pihak yang ditertibkan dan dari pihak petugas lapangan Satpol PP sebagai pihak yang
menertibkan. Masyarakat seringkali menjadi korban dari tindakan yang dilakukan oleh
petugas lapangan Satpol PP saat menjalankan tugasnya. Namun, ternyata petugas lapangan
Satpol PP juga berisiko menjadi korban dari tindakan masyarakat dalam pelaksanaan
tugasnya. Sebagai contoh, tahun 2010 yang lalu terjadi bentrok antara petugas Satpol PP dan
warga dalam kisruh makam Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad atau yang kita kenal
dengan Mbah Priok yang bertempat di Koja, Jakarta Utara. Kedua belah pihak saling
menyerang tanpa ada satu pihak pun yang ingin mengalah. Korban berjatuhan mulai luka
ringan, luka berat, cacat fisik bahkan terenggutnya nyawa seseorang. Jumlah korban
meninggal sebanyak 231 orang dengan 20 korban anak dibawah usia 17 tahun dan sisanya
berasal dari petugas Satpol PP, anggota kepolisian dan masyarakat umum (BeritaJakarta,
2010).
Contoh lain petugas Satpol PP menjadi korban dari tindakan masyarakat saat
melaksanakan tugasnya adalah kasus penyiraman air panas yang dilakukan oleh pedagang
kaki lima terhadap petugas Satpol PP dikawasan Monas (Republika, 2010). Kejadian ini
berawal saat petugas melakukan penertiban pedagang kopi yang berada disekitaran Monas,
petugas menegur para pedagang untuk tidak berjualan disekitaran Monas. Namun, saat
menegur tiba-tiba para pedagang melemparkan batu kepada para petugas. Saat petugas
menghindar pedagang lain datang dan langsung menyiramkan air panas yang ada di dalam
termos kepada petugas Satpol PP sehingga wajah petugas langsung melepuh.
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
4
Melihat dari beberapa contoh kasus diatas, petugas lapangan Satpol PP ternyata juga
berisiko menjadi korban pada saat mereka melaksanakan pekerjaannya. Sebuah buku yang
berjudul Evolution of Use of Force by Police in the Canadian Context menyebutkan
penggunaan kekerasan oleh polisi menimbulkan cedera baik terhadap petugas ataupun
masyarakat. Namun, cedera yang dialami oleh petugas cenderung kecil seperti patah tulang
atau luka tembak (Beahen, 2008).
Dalam hal ini, kedua belah pihak, yaitu masyarakat dan petugas lapangan Satpol PP
sama-sama menjadi korban dan sama-sama memiliki kepentingan. Disatu sisi, penertiban
yang dilakukan oleh petugas lapangan Satpol PP terhadap para pedagang kaki lima
menyebabkan para pedagang kehilangan pekerjaan mereka, karena tempat mereka bekerja di
tertibkan. Disisi lain, petugas lapangan Satpol PP yang merupakan aparat penegak Perda juga
harus melaksanakan tugasnya untuk mencapai dan menciptakan ketertiban bagi masyarakat.
Risiko yang dihadapi oleh petugas lapangan Satpol PP tidak hanya saat petugas berada
di lapangan tapi ketika petugas berada di lingkungan Satpol PP petugas juga berisiko.
Viktimisasi pekerjaan yang dialami oleh petugas lapangan Satpol PP tidak hanya berhenti
ketika mereka menjadi korban dalam melaksanakan tugansya. Akan tetapi, saat mereka
menjadi korban petugas lapangan tidak diberikan perawatan dan perlindungan dari risiko
pekerjaanya oleh Satpol PP. Sehingga, perlu dijelaskan bagaimana risiko viktimisasi
pekerjaan yang dialami oleh petugas lapangan Satpol PP DKI Jakarta dalam melaksanakan
tugasnya
Tinjauan Teoritis
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah risiko penegakan hukum, viktimisasi
pekerjaan, penegakan ketertiban, tindak kekerasan dan persepsi petugas. Sedangkan, kerangka
teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penegakan hukum dan within the job
trouble dan on the job trouble.
Risiko dapat dianggap sebagai bahaya fisik, kerusakan pada salah satu diri sendiri atau
yang lain, baik melalui tindakan atau kelambanan. Risiko juga nyata tapi kadang-kadang tidak
berwujud membahayakan sebuah organisasi. Risiko bukan hanya tindakan diri tapi kadang
juga berasal dari tindakan lain (Hutto, 2009). Risiko petugas lapangan Satpol PP tidak hanya
dihadapkan pada risiko atau bahaya fisik pada diri mereka tapi juga bisa risiko terhadap
serangan properti yang mereka gunakan saat di lapangan. Namun, risiko yang dihadapi oleh
petugas lapangan Satpol PP lebih cenderung dihadapkan pada bahaya fisik yang pada
akhirnya mengakibatkan cedera.
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
5
Jika seseorang bekerja atau bertugas dan menjadi korban maka kejadian tersebut dapat
dianggap sebagai viktimisasi di tempat kerja. Korban di tempat kerja dapat berupa kekerasan
mulai dari ancaman dan pembunuhan hingga tindakan tanpa kekerasan seperti pencurian
(Doener & Steven, 2011). Risiko yang paling berbahaya yang akan dihadapi oleh aparat
penegak hukum adalah risiko pembunuhan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Orang
yang bekerja di pekerjaan pemerintah juga berisiko kekerasan di tempat kerja (Doener &
Steven, 2011).
Menurut Walker ketertiban umum merupakan suatu hal yang penting untuk
diwujudkan agar keselamatan dan ketenangan bagi masyarakat tercapai. Namun, dalam
menjaga ketertiban polisi seringkali dihadapkan dengan potensi ketegangan seperti bentrok
(Walker, 2000). Menurut Reiner pemeliharaan ketertiban (order maintenance) merupakan
pekerjaan polisi yang meliputi aspek-aspek pekerjaan polisi yang berorientasi pada non
penegakan hukum (Pike, 2005). Aturan dapat ditegakan jika adanya kekuatan yang memaksa
dari seorang individu atau kelompok yang memiliki hak istimewa yang diakui secara sosial
sehingga berhak untuk bertindak. Kekuatannya berwujud hukum yang dapat ditindak dengan
penerapan kekuatan fisik yang dalam hal ini disebut sebagai norma sosial (Hoebel, 2006).
Weber mendefinisikan tatanan hukum sebagai pesanan mencapai setidaknya sebagian oleh
probabilitas bahwa "aparat koersif" akan dimobilisasi untuk menjatuhkan hukuman, baik fisik
maupun psikologis, sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma, dan hanya karena norma
dilanggar, bukan untuk mencapai keuntungan material lainnya. Aparat koersif dipahami oleh
(Weber, 1978) sebagai :
"satu orang atau lebih yang memiliki tugas khusus untuk siap menerapkan pemaksaan
(pemaksaan hukum) untuk tujuan penegakan norma hukum, dan mampu menahan diri
untuk memahami bahwa tujuan “pemaksaan hukum”, tidak selalu “monopoli
masyarakat politik”
Terkait persepsi petugas, maka persepsi petugas lapangan Satpol PP diartikan sebagai
bagaimana seorang petugas melihat situasi yang ada dengan tindakan yang mereka lakukan.
Kemampuan seorang petugas dalam pengambilan situasi di lapangan akan mempengaruhi
tindakan yang akan mereka lakukan saat di lapangan. Persepsi petugas lapangan dapat dilihat
melalui bagaimana petugas lapangan Satpol PP memandang pekerjaan mereka.
Chaterton, P.A.J Waddington menyebutkan jika lembaga kepolisian membuat diri
mereka merasa takut terhadap ancaman masalah yang dihadapi dalam keseharianya. Masalah
tersebut muncul dalam dua bentuk masalah, yaitu; on the job (pada pekerjaan) dan in the job
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
6
(dalam pekerjaan). Dalam konteks ketertiban umum, masalah on the job dihadapkan pada
ancaman terhadap gangguan, minimal saat petugas dihadapkan pada masalah saat melakukan
negosiasi. Sedangan, masalah in the job muncul saat melakukan operasi di lapangan dan
menjelaskan tindakan tersebut (Waddington, 1998). Petugas Satpol PP yang bertugas untuk
menegakan peraturan daerah dihadapkan pada kondisi yang dilematis dalam melaksanakan
tugasnya yang berhubungan dengan on the job trouble dan within the job trouble.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode campuran (mixed method). Mixed
method digunakan dengan alasan untuk memperluas pemahaman mengenai berbagai metode
serta mengkonfirmasi temuan dari sumber data berbeda yang didapatkan baik melalui
kualitatif maupun kuantitatif. Mixed method merupakan jenis penelitian dimana peneliti
menggabungkan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif dalam penelitian dengan tujuan
memperoleh kedalaman pemahaman dan pembuktian (Creswell & Clark, 2011).
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah data primer,
data sekunder dan observasi. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui dua tahap :
tahap pertama, penelitian kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner kepada petugas lapangan
Satpol PP DKI Jakarta yang kemudian diolah melalui SPSS. Tahap kedua, penelitian
kualitatif dengan melakukan wawancara tidak terstruktur petugas lapangan Satpol PP DKI
Jakarta, pejabat Satpol PP DKI Jakarta dan pedagang kaki lima yang berada di kawasan
Monas.
Data sekunder didapatkan melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara
melakukan penelusuran dan membaca literatur-literatur ilmiah yang didapatkan peneliti dari
berbagai jurnal internasional, buku dan artikel-artikel yang relevan dengan tema penelitian ini.
Selain itu, peneliti juga melakukan penelusuran dan membaca skripsi-skripsi terdahulu yang
berkaitan dengan tema penelitian serta dari berbagai media internet yang diakases oleh
peneliti. Upaya untuk melengkapi data penelitian peneliti juga melakukan observasi di
lapangan. Observasi dilakukan peneliti pada Juni 2013 melalui kegiatan Magang. Saat itu
peneliti di tempatkan pada Bidang Penegakan Hukum Satpol PP DKI Jakarta. Observasi yang
dilakukan peneliti mulai dari melalukan pengamatan, melakukan wawancara tidak terstruktur
kepada petugas lapangan Satpol PP DKI Jakarta hingga turut terlibat langsung dalam kegiatan
Satpol PP. Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti ini disebut dengan observasi partisipatoris.
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
7
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai risiko viktimisasi pekerjaan yang dialami
oleh petugas lapangan Satpol PP DKI Jakarta. Risiko viktimisasi pekerjaan yang dialami oleh
petugas lapangan Satpol PP dapat dijelaskan dengan menggunakan teori within the job trouble
dan on the job trouble.
Tindakan petugas lapangan Satpol PP yang selama ini di anggap kasar oleh
masyarakat sering menimbulkan pandangan negatif oleh masyarakat. Sehingga, masyarakat
tidak dengan mudah begitu saja percaya dengan apa yang dilakukan oleh petugas lapangan
Satpol PP. Hal ini disebabkan karena selama ini masyarakat mengenal Satpol PP sebagai
aparat yang suka melakukan penggusuran pedagang kaki lima, penggusuran rumah,
penertiban gelandangan dan lain-lain. Berkembanganya reputasi buruk petugas lapangan
Satpol PP juga disebabkan karena media yang selalu menyuguhkan dan memberitakan hal-hal
buruk petugas Satpol PP seperti petugas Satpol PP tidak memihak kepada kepentinga
masyarakat, dan sebagainya.
Reputasi terhadap Satpol PP yang tidak baik ini kemudian memunculkan
ketidakpercayaan masyarakat akan tugas seorang petugas Satpol PP. Padahal ketertiban dan
ketentraman kota Jakarta akan dirasakan oleh seluruh masyarakat jika adanya kerjasama
antara masyarakat dan petugas Satpol PP. Kerjasama dapat berjalan jika kepercayaan
masyarakat kepada Satpol PP telah tumbuh. Kepercayaan masyarakat terhadap polisi
didefinisikan sebagai sejauh mana anggota masyarakat memiliki kepercayaan atau
mengandalkan polisi dalam berbagai situasi (Cohen, Plecas, & McCormick, 2006).
Kepercayaan masyarakat terhadap petugas lapangan Satpol PP tentunya sejauhmana
masyarakat mempercayai dan mengandalkan petugas lapangan Satpol PP dalam menangani
berbagai operasi kegiatan yang berhubungan dengan tugas pokok Satpol PP khusunya dalam
operasi penertiban.
Terlepas dari itu semua tentunya juga terdapat pandangan positif terhadap Satpol PP.
Pandangan positif muncul jika Satpol PP berhasil melaksanakan tugasnya seperti Satpol PP
melakukan penertiban pedagang kaki lima diwilayah Pasar Minggu dan Tanah Abang.
Sebagian masyarakat ada yang memberikan apresiasi kepada Satpol PP karena cukup berhasil
melakukan penertiban pedagang kaki lima tersebut, sehingga pada wilayah tersebut tidak lagi
macet seperti biasanya.
Hasil penelitian menemukan bahwa dari 27 petugas lapangan yang mengetahui bahwa
pandangan masyarakat terhadap Satpol PP sering bertentangan dengan masyarakat banyak
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
8
dari petugas yang merasa prihatin dengan pandangan tersebut. Sehingga, ada petugas
lapangan yang justru memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai tugas-tugas Satpol
PP dengan adanya pandangan negatif tadi. Namun, sebagian petugas tidak terpengaruh
bahkan tidak menanggapi pandangan negatif tersebut.
Tabel 1. Tantangan yang Dihadapi Dalam Menjalankan Tugas
Tantangan Frekuensi Persentase Penuh dengan risiko keselamatan 40 80.0
Sering membutuhkan tindakan represif 5 10.0 Provokasi 1 2.0 Teritorial 1 2.0
Bertentangan dengan hati nurani 1 2.0 Pendekatan persuasif pada masyarakat 1 2.0
Tidak Tahu 1 2.0 Total 50 100.0
Sumber : Data Primer Peneliti
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada situasi tertentu petugas lapangan bekerja dengan
menggunakan tindakan represif. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kasus dimana
Satpol PP sering menggunakan tindakan represif dalam melaksanakan tugasnya seperti saat
melakukan penertiban pedagang kaki lima. Disisi lain, meskipun petugas lapangan bekerja
dengan penuh risiko dan melakukan tindakan represif, bagi sebagian petugas tantangan yang
terbesar di Satpol PP adalah karena sering bertentangan dengan hati nurani mereka. Sebagai
contoh saat melakukan penertiban pedagang, beberapa petugas lapangan merasa tidak tega
menertibkan para pedagang karena mereka menganggap bahwa masyarakat atau dalam hal ini
pedagang selaku yang ditertibkan juga merupakan bagian dari mereka yang juga mencari
kebutuhan ekonomi.
Hasil penelitian menemukan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi petugas
lapangan Satpol PP dalam menjalankan tugasnya adalah penuh dengan risiko kesalamatan di
lapangan sebesar 80%, tantangan kedua yang dihadapi adalah bahwa bekerja di Satpol PP
membutuhkan tindakan represif sebesar 10%. Tantangan lain yang dihadapi oleh petugas
lapangan adalah adanya tindakan provokasi, territorial, bertentangan dengan hati nurani, dan
akan melakukan pendekatan persuasif pada masyarakat dan tidak tahu masing-masing sebesar
2%. Tabel 2. Merasa Terancam Dalam Melaksanakan Tugas Dan Bentuk Ancaman Yang Dibayangkan
Perasaan Terancam Ancaman yang dibayangkan Total Luka fisik
Luka non fisik
Tidak relevan
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
9
Merasa terancam dalam melaksanakan
tugas
Terancam 10 3 1 14 Tidak
terancam 0 1 1 2
Biasa saja 28 3 3 34 Total 38 7 5 50
Sumber : Data Primer Peneliti
Dalam menjalankan tugasnya petugas lapangan Satpol PP juga dihadapkan dengan
berbagai ancaman mulai dari ancaman fisik, non fisik. Dari tabel diatas terlihat bahwa dari 50
petugas lapangan Satpol PP, 34 petugas diantaranya merasa biasa saja dalam melaksanakan
tugas, sedangkan 14 petugas lapangan lainnya merasa terancam dalam melaksanakan
tugasnya dan 2 petugas lapangan lainnya merasa tidak terancam dalam melaksanakan
tugasnya. Dari 34 petugas lapangan yang merasa biasa saja dalam melaksanakan tugasnya, 28
petugas diantaranya membayangkan ancaman luka fisik saat melaksanakan tugasnya, 3
petugas membayangkan ancaman luka non fisik dan 3 petugas lainnya tidak relevan dengan
ancaman yang dirasakan dalam melaksanakan tugas.
Tempat kerja tidak selalu memberikan rasa aman bagi para pekerjanya, terdapat
beberapa pekerjaan yang justru mengancam pekerjanya. Satpol PP merupakan salah satu
pekerjaan yang tidak memberikan rasa aman bagi para petugasnya. Rasa aman tersebut juga
meliputi ancaman yang ditimbulkan dalam pekerjaan. Pekerjaan Satpol PP tidak hanya
memberikan ancaman terhadap pekerjaannya tapi juga memiliki risiko bahaya yang cukup
tinggi dibandingkan dengan pekerjaan lainnya.
Petugas lapangan Satpol PP dihadapkan pada kondisi “within the job trouble” dan “on
the job trouble” yang dikemukakan oleh Chatterton (1978). Masalah within the job
berhubungan dengan sifat pekerjaan yang ada di dalam pekerjaan petugas lapangan Satpol PP.
Petugas lapangan Satpol PP yang sudah memilih untuk bekerja di Satpol PP sudah
dihadapkan dengan berbagai permasalahan, seperti; sifat pekerjaan yang berisiko dan
pandangan negatif masyarakat. Masalah yang dihadapi oleh petugas lapangan ini dapat
digolongkan pada viktimisasi pekerjaan.
Sedangkan, masalah on the job berhubungan jika petugas lapangan berada di
lapangan. Saat bertugas di lapangan petugas dihadapkan dengan berbagai perlawanan dari
masyarakat. Adanya perlawanan tersebut berakhir pada bentrok antara petugas lapangan
Satpol PP dan masyarakat yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Namun, saat
petugas lapangan menjadi korban dalam pelaksanaan tugasnya petugas lapangan seringkali
tidak mendapatkan perawatan dari Satpol PP. Atau, Satpol PP seringkali abai terhadap
petugas lapangan yang setiap harinya berhadapan dengan masyarakat.
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
10
Tabel 3. Pihak Yang Potensial Mengancam Dalam Bertugas
Pihak Potensial Mengancam Frekuensi Persentase Pedagang kaki lima 15 30.0
PMKS 1 2.0 Masyarakat biasa 3 6.0
Ormas 26 52.0 Tidak tahu 1 2.0
Tidak relevan 4 8.0 Total 50 100.0
Sumber : Data Primer Peneliti
Dari hasil wawancara terstrusktur yang telah dilakukan kepada 50 petugas lapangan
Satpol PP DKI Jakarta terlihat bahwa pihak yang paling berpotensial mengancam petugas
lapangan saat bertugas adalah organisasi masyarakat (Ormas) yaitu sebanyak 52% yaitu 26
petugas lapangan menjawab hal tersebut. Sedangkan, sebanyak 30% yaitu 15 petugas merasa
bahwa pihak yang lebih berpotensial mengancam saat melaksanakan tugas di lapangan adalah
pedagang kaki lima. Sedangkan, sebanyak 6% yaitu 3 petugas merasa bahwa yang
berpotensial mengancam saat melaksanakan tugas di lapangan adalah masyarakat biasa.
Sebesar 2% yaitu 1 petugas masing-masing petugas menjawab bahwa PMKS lah yang
berpotensial mengancam kepada petugas saat di lapangan sedangakan 1 petugas lagi
menjawab tidak tahu.
Ternyata pihak yang paling berpotensi mengancam petugas lapangan Satpol PP adalah
ormas. Hal ini berbeda dengan asumsi peneliti selama ini yang menganggap pedagang kaki
lima yang paling berpotensi mengancam petugas lapangan Satpol PP. Meskipun, ormas bukan
pihak yang termasuk dalam sasaran penertiban petugas lapangan Satpol PP tapi keberadaan
ormas sering muncul di saat penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP. Keberadaan ormas
disini cenderung melakukan tindakan provokasi terhadap sasaran penertiban yang pada
akhirnya berujung pada perlawanan dan bentrok.
Dari hasil wawancara terstruktur yang dilakukan ditemukan bahwa dari 50 petugas
lapangan Satpol PP, sebanyak 28 petugas lapangan menjawab bahwa adanya perlawanan dari
masyarakat kepada petugas lapangan disebabkan karna adanya provokasi, sebanyak 16
petugas lapangan menjawab bahwa perlawanan dari masyarakat kepada petugas lapangan
disebabkan karena ketidakpuasan masyarakat terhadap aturan khusunya Peraturan Daerah,
dan 6 petugas lapangan lainnya menjawab bahwa adanya perlawanan dari masyarakat kepada
petugas lapangan disebabkan karena masyarakat menstigma buruk kinerja petugas Satpol PP.
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
11
Tabel di bawah menjelaskan tentang kenapa perlawanan masyarakat kepada petugas lapangan
bisa terjadi.
Tabel 4. Perlawanan Masyarakat Kepada Petugas Lapangan
Perlawanan Masyarakat Frekuensi Persentase Ketidakpuasan terhadap aturan / Perda 16 32.0
Menstigma buruk kinerja petugas Satpol PP 6 12.0 Provokasi 28 56.0
Total 50 100.0 Sumber : Data Primer Peneliti
Menurut Kahan dalam Teori Penegakan Hukum terdapat tiga tugas penegakan hukum
yaitu pertama, mengklarifikasi isi larangan; kedua, pencegahan pelanggaran terhadap larangan
dan ketiga, konsekuensi ketika pelanggaran tetap terjadi. Pada tugas yang kedua, sebenarnya
Satpol PP telah melakukan berbagai cara sebelum mereka melakukan operasi di lapangan.
Sebagai contoh, saat melakukan penertiban pedagang kaki lima, sebelumnya Satpol PP telah
memberikan berbagai peringatan bahkan sosialisasi kepada para pedagang bahwa pada
wilayah-wilayah tertentu tidak diperbolehkan untuk berdagang. Peringatan dilakukan untuk
mengurangi peluang bagi para pelanggar untuk melanggar serta untuk mengurangi bentrok
antara petugas dan pedagang. Peringatan tidak hanya berupa peringatan secara tertulis tetapi
juga peringatan secara lisan.
Cara petugas lapangan Satpol PP dalam mengurangi peluang bagi calon pelanggar
untuk melakukan pelanggaran telah dilakukan sesuai dengan tiga tugas penegakan hukum
yang dikemukakan oleh Kahan. Petugas lapangan Satpol PP telah melakukan tindakan
antisipatif seperti memberikan peringatan dan melakukan patroli. Saat pelanggaran tersebut
sedang berlangsung petugas lapangan juga melakukan tindakan antisipatif memberikan
peringatan langsung kepada pelanggar.
Terkait dengan perlawanan yang dilakukan pedagang kaki lima ketika diadakan
penertiban, Bapak Nana menjelasakan :
“Ya udahlah. Disana kan udah nggak boleh tapi mereka tetap aja disana, kan itu
bandel, itu juga bukan sekali dua kali, emang di situ itu emang nggak
boleh”(Wawancara Petugas Lapangan Bapak Nana, 24 April 2014 di Kantor Satpol
PP).
Pedagang selaku pihak yang ditertibkan juga turut membenarkan bahwa sebelum
ditertibkan pihak Satpol PP telah memberikan peringatan kepada para pedagang. Peringatan
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
12
oleh pihak Satpol PP ada yang dilakukan secara langsung kepada para pedagang ada juga
yang langsung kepada para agen penyedia barang. Jika Satpol PP memberikan peringatan
pada agen penyedia barang maka mereka langsung yang memberitahukan kepada para
pedagang. Pedagangpun juga sadar bahwa tindakan mereka yang masih berdagang di wilayah
tertentu merupakan sebuah pelanggaran. Terkait dengan hal tersebut, Ibu Nunung
mengatakan:
“Ada, ada dikasih tau tapi kan bandel. Disuruh keluar nggak mau. Udah di bilang
nggak boleh masuk tapi pedagang masih suka masuk, abis orang pada mau nyari duit
coba kalau nggak pada nyari duit. Kalau sama dia nggak boleh apa-apa”.(Wawancara
Pedagang Ibu Nunung, 27 April 2014 di Monas).
Mencermati hal di atas, Sosiolog Giovanni Sartor dalam The Loss of Public Trust in
Law Enforcement (Frazier, 2007) menyebutkan, bahwa:
if there was no trust, co-operation would end, and the whole fabric of society would
collapse.
Pendapat Sartor (2007) tersebut dapat menjelaskan bahwa memang bagaimanapun
Satpol PP sebagai aparat penegak Perda harus menegakkan aturan khususnya dalam
pemeliharaan ketertiban dan ketentraman masyarakat. Untuk menegakkan hal ini maka juga
diperlukan kerjasama dengan masyarakat agar ketertiban tersebut bisa terwujud. Tanpa
adanya dukungan dan kerja sama masyarakat, ketertiban dan ketentaraman tidak akan dapat
terwujud. Selain itu, juga diperlukannya kepercayaan masyarakat kepada para petugas
lapangan Satpol PP. Jika kepercayaan masyarakat sudah tumbuh petugas Satpol PP mau tidak
mau pasti juga akan berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam rangka mewujudkan kota
Jakarta yang tertib dan tentram.
Dalam The Principle of Good Policing (Perez & Walsh, 2006) disebutkan bahwa dari
perspektif kepolisian, keberhasilan tujuan dari aparat penegak hukum harus memiliki dua
manfaat utama. Pertama, meningkatkan keselamatan para petugas. Kedua, menumbuhkan
kerjasama dan saling menghormati antar polisi dan orang-orang yang mereka layani yaitu
masyarakat. Sama halnya dengan Satpol PP, kinerja mereka akan dinilai berhasil jika dalam
pelaksanaan tuganya tidak lagi menimbulkan korban baik dari pihak masyarakat ataupun dari
petugas lapangan Satpol PP. Keselamatan dalam setiap pelaksanaan tugasnya tidak hanya
berkaitan dengan keselamatan petugas lapangan Satpol PP tapi juga harus memberikan
keselamatan bagi masyarakat. Untuk itu, diperlukan adanya kerjasama oleh masyarakat dan
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
13
perlu adanya saling menghormati antar sesama petugas lapangan Satpol PP dan saling peduli
antar sesama petugas.
Dari 50 petugas lapangan di temukan bahwa 19 petugas lapangan pernah beberapa kali
mengalami kekerasan dalam melaksanakan tugasnya dimana 16 di antaranya mengalami
kekerasan fisik, 2 petugas lapangan mengalami kekerasan non fisik dan 1 petugas lapangan
lainnya menjawab tidak relevan, 18 petugas lapangan tidak pernah mengalami kekerasan
dalam melaksanakan tugasnya, 7 petugas lapangan mengaku pernah mengalami kekerasan
setiap operasi lapangan dan sebanyak 6 petugas lapangan mengaku pernah sekali mengalami
kekerasan dalam melaksnakan tugasnya.
Luka fisik yang pernah di alami oleh salah satu petugas lapangan Satpol PP yaitu
dialami oleh Bapak Nana saat ia masih bertugas di Satpol PP wilayah. Ia mengalami luka fisik
saat melakukan pengosongan tanah di wilayah Pasar Gembrong. Terkait dengan hal ini,
Bapak Nana menjelaskan:
“Pasar gembrong. Jari ini patah lima lima nya, digebuk sepuluh orang gua pake balok,
kepala enam jahitan, gigi patah, jidad 2 jahitan”. “Iya satu orang doang. Tapi yang satu
orang doang enggak keliatan cuma dijahit doang kalau saya kan enggak udah kepala,
kening, tanganpun di gips. Saya disuruh pulang sama dokter, pulang aja nggak apa apa
pak. Jadi waktu pulang saya udah kayak orang mabok terasa mau pingsannya.
Kejadiannya dua puluh enam September dua ribu enam. Saya dua bulan dua gips cuma
nggak rata. Itupun saya berenti digebukin karena saya pura-pura mati” (Wawancara
Petugas Lapangan Bapak Nana, 24 April 2014 di Kantor Satpol PP)
Tabel di bawah menjelaskan tentang apakah petugas lapangan pernah
mengalami kekerasan dalam melaksanakan tugasnya dan bentuk kekerasan yang
dialami oleh petugas lapangan.
Tabel 5. Mengalami Kekerasan Dalam Melaksanakan Tugas Terhadap Bentuk Kekerasan Yang
Dialami
Pengalaman Kekerasan Bentuk kekerasan yang dialami Total Fisik Non fisik Tidak
relevan Mengalami
kekerasan dalam melaksanakan
tugas
Pernah, setiap operasi
lapangan
6 0 1 7
Pernah, beberapa kali
16 2 1 19
Pernah sekali 4 2 0 6 Tidak pernah 3 2 13 18
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
14
Total 29 6 15 50 Sumber : Data Primer Peneliti
Ketika ditanyakan tentang apakah pada situasi tertentu petugas lapangan memerlukan
tindak kekerasan, sebanyak 58% yaitu 29 petugas lapangan menjawab bahwa petugas
lapangan tidak memerlukan tindak kekerasan pada situasi tertentu. Sedangkan, sebanyak 36%
yaitu 18 petugas lapangan menjawab bahwa pada situasi tertentu petugas lapangan juga
memerlukan tindak kekerasan. Dan sebanyak 6% yaitu sebanyak 3 petugas lapangan
menjawab tidak relevan jika menggunakan tindak kekerasan pada situasi tertentu.
Artinya, bahwa pandangan yang selama ini yang menyebutkan bahwa petugas Satpol
PP sering melakukan kekerasan. Bagi petugas sendiri merasa tindakan kekerasan itu memang
tidak diperlukan. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh petugas lapangan Satpol PP selama
ini terjadi karena berbagai tindakan sebelum operasi lapangan tidak lagi ditanggapi oleh
sasaran operasi. Tindakan kekerasan akan terjadi jika adanya perlawanan dari masyarakat atau
dalam hal ini sasaran operasi. Terkait dengan hal tersebut, Bapak Kukuh menjelaskan :
“Tidak. Karena kami tidak akan melakukan kekerasan. Kalau orangnya nggak mau ya
kita tetep nggak mau melakukan kekerasan. Misalnya nih, kalau dia nggak mau
digusur tapi dia nggak mau ya kita tangkap aja. Kita nggak mau, kalau misalnya dia
meronta-ronta ya kita gotong. Misalnya kayak penertiban di Pluit ada yang di gotong
karena dia ngerangkul mobil itu. Kalau ke geser kan bisa kena, oleh Polisi diangkat
nggak mau ya dirangkul sama Satpol, kalau nggak mau juga ya kita gotong. Tidak
akan kita hajar tidak, itu tidak perlu”. (Wawancara KaSatpol PP DKI Jakarta Bapak
Kukuh, 12 Mei 2014 di Kantor Satpol PP).
Tabel 6. Pada Situasi Tertentu Perlukan Tindak Kekerasan
Perlu/Tidak Kekerasan Frekuensi Persentase Iya 18 36.0
Tidak 29 58.0 Tidak relevan 3 6.0
Total 50 100.0 Sumber : Data Primer Peneliti
Aparat penegak hukum khususnya polisi atau dalam hal ini Satpol PP pada di situasi
tertentu memerlukan tindakan kekerasan dalam pelaksanaan tugasnya. Tindakan kekerasan
bagi aparat penegak memang diperbolehkan selama masih dibutuhkan atau sewajarnya.
Tindakan kekerasan yang digunakan tidak boleh berlebihan seperti selama ini petugas
lapangan Satpol PP banyak yang menyalahgunakan tindakan kekerasan tersebut.
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
15
Kenneth Adam tahun 1995 dalam buku Police Coercion Application of The Force
Continuum menyebutkan: penggunaan kekuatan yang berlebihan (use of excessive force)
dapat didefinisikan sebagai kekuatan lebih yang dibutuhkan untuk memperoleh kepatuhan
dalam insiden tertentu, sementara berlebihan menggunakan kekuatan (excessive use of force)
dapat didefinisikan sebagai menggunakan kekuatan yang terlalu banyak dalam insiden
(Terrill, 2001). Penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh petugas lapangan Satpol PP
selama ini memang lebih cenderung excessive use of force atau menggunakan kekuatan secara
berlebihan. Kekuatan tersebut digunakan tidak hanya pada situasi yang dibutuhkan tapi juga
disaat yang tidak dibutuhkan. Penggunaan kekuatan tersebut pada akhirnya bukan
menciptakan kepatuhan masyarakat terhadap peraturan tapi justru menciptakan perlawanan
masyarakat terhadap petugas lapangan Satpol PP.
Satpol PP dalam setiap pelaksanaan tugasnya berusaha tidak menggunakan kekerasan.
Untuk itu, Kepala Satpol PP sendiri tidak lagi memperbolehkan para anggotanya di lapangan
untuk menggunakan senjata seperti pentungan ataupun tameng. Karena dengan adanya senjata
ini tidak menutup kemungkinan bahwa petugas akan menggunakannya sebagai alat untuk
mempertahankan dirinya pada sitausi yang darurat. Pelarangan penggunaan tameng dan
pentungan ini baru dijalankan sejak setahun yang lalu. Pelarangan penggunaan tameng dan
pentungan ini juga untuk mengurangi pandangan negatif masyarakat bahwa petugas Satpol PP
sering melakukan kekerasan dengan menggunakan senjata yang dibekali kepada mereka.
Untuk lebih jelas, kita simak penuturan Bapak Kukuh :
“Dalam satu tahun ini anggota Saya tidak Saya bekali dengan pentungan, tidak Saya
bekali dengan tameng, hanya dengan tangan kosong. Tentunya banyak risiko-risiko
yang tidak terungkap seperti anggota saya dilempar terus kepalanya bocor, anggota
Saya disiram air panas tapi semua tidak terekspos dan semua tidak kita lakukan
penuntutan karna keberadaan kita memang sebagai abdi masyarakat tadi
“.(Wawancara KaSatpol PP DKI Jakarta Bapak Kukuh, 12 Mei 2014 di Kantor Satpol
PP)
Berbagai cara dilakukan petugas untuk tidak menggunakan kekerasan dalam
melaksanakan tugasnya. Sebagai contoh, dalam rangka menegakan Perda maka Satpol PP
Solo mengedepankan tindakan persuasif saat di lapangan dengan menggunakan buku catatan.
Jadi ketika petugas menemukan pelanggaran maka pelanggar akan diberikan buku catatan dan
buku panduan. Buku tersebut merupakan salah satu peringatan dari petugas Satpol PP Solo.
Beda halnya dengan apa yang dilakukan oleh Satpol PP Surabaya. Satpol PP Surabaya
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
16
merekrut petugas lapangan Satpol PP cantik atau yang disingkat dengan Satpoltik. Satpoltik
ini dibentuk sejak tahun 2011 yang ditugaskan untuk melakukan pendekatan kepada anak-
anak dan perempuan.
Cara pendekatan yang dilakukan oleh Satpol PP ini merupakan salah satu langkah
untuk mewujudkan agar masyarakat taat pada aturan, mengubah pandangan negatif
masyarakat terhadap petugas lapangan Satpol PP selama ini yang dikenal kasar. Tindakan
persuasif dan humanis memang harus diutamakan agar tugas Satpol PP untuk menciptakan
ketertiban dapat terwujud. Bagaimanapun terlepas dari petugas menggunakan kekerasan atau
tidak di lapangan apapun keputusan yang diambil oleh petugas selalu dipandang negatif oleh
masyarakat karena merugikan mereka. Semua tindakan yang dilakukan petugas hanyalah
dalam rangka menegakan Perda.
Terkait dengan uraian di atas, penulis mengacu pendapat Novak dalam bukunya Civil
Liability and Aggressive Policing menyebutkan (Novak, Smith, & Frank, 2003) :
“Citizens continue to demand that officers be held accountable for their behaviours
and they insist that police organizations be accountable for reducing crime in their
communities”
Terjemahan bebas : warga terus menuntut bahwa petugas bertanggung jawab atas
perilaku mereka dan mereka bersikeras bahwa organisasi kepolisian bertanggung
jawab untuk mengurangi kejahatan di masyarakat.
Langkah apapun yang diambil petugas lapangan selama menjalankan tugasnya akan
selalu dianggap tidak baik bagi masyarakat. Petugas lapangan dihadapkan pada situasi yang
serba salah. Pada sisi lain, masyarakat menuntut suatu kondisi yang tertib tapi pada sisi lain
masyarakat justru tidak mendukung tegaknya aturan yang ditunjukkan dengan adanya
perlawanan saat petugas lapangan melakukan operasi kegiatan.
Dari 50 petugas lapangan, sebanyak 21 petugas menjawab bahwa jika petugas
lapangan menjadi korban dalam bertugas di lapangan maka instansi akan menjamin
perawatan dengan baik. Dimana, 11 petugas lapangan diantaranya merasa puas dengan repson
instansi, 10 petugas lainnya merasa biasa saja dengan respon instansi tersebut. Sementara itu,
sebanyak 13 petugas menjawab bahwa jika petugas lapangan menjadi korban dalam
melaksanakn tugasnya di lapangan maka instansi tidak memberikan respon yang begitu
berarti bagi para petugas lapangan. Sedangkan, sebanyak 6 petugas lapangan menjawab jika
petugas lapangan menjadi korban dalam melaksanakan tugasnya maka instansi akan
memberikan kompensasi bagi para petugas lapangan.
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
17
Tabel di bawah menjelaskan tentang respon yang diberikan instansi saat petugas
lapangan menjadi korban dalam bertugas di lapangan dan apakah petugas lapangan puas
dengan respon instansi tersebut.
Tabel 7. Respon Instansi Saat Petugas Lapangan Menjadi Korban Dan Respon Pertugas Terhadap
Respon Instansi
Respon Petugas
Apakah merasa puas dengan respon instansi
Total
Puas Biasa saja
Tidak puas
Tidak relevan
Respon instansi saat petugas lapangan menjadi korban
dalam bertugas di lapangan
Menjamin perawatan
dengan baik
11 10 0 0 21
Memberikan kompensasi
1 4 1 0 6
Tidak memberikan respon yang
berarti
1 2 10 0 13
Tidak relevan 2 3 2 3 10 Total 15 19 13 3 50
Sumber : Data Primer Peneliti
Dari hasil wawancara yang telah di lakukan kepada Kasi Penertiban Umum Bapak
Darwis ia mengatakan bahwa jika saat operasi di lapangan ada petugas lapangan yang
mengalami rriko seperti luka fisik maka petugas lapangan akan langsung di obatin dan di
bawa ke rumah sakit,meskipun semua tanggungannya di tanggung sendiri oleh pimpinan yang
bertanggung jawab saat melakukan penertiban pada saat itu. Beliau mengatakan petugas
dengan status kepegawaian PNS memang ada jaminan keselamatan tapi harus melalui proses
yang begitu panjang seperti pengurusan Jamkesmas dan lainnya tapi jika petugas lapangan
dengan dengan status kepegawaian tidak memiliki jaminan kesehatan yang di tanggung oleh
pemerintah. Terkait dengan hal tersebut, Bapak Pukka menjelaskan :
“Kalau yang masih honor itu enggak tapi kalau yang udah PNS mereka ini kan mereka
ngingkutin kesehatan DKI”. “Iya tanggung sendiri-sendiri”. (Wawancara Petugas
Lapangan Bapak Pukka, 24 April 2014 di Kantor Satpol PP)
Meskipun petugas banyak yang menjawab bahwa instansi akan memberikan
perawatan yang baik kepada petugas lapangan yang menjadi kroban. Namun, beda halnya
dengan apa yang dialami oleh Bapak Nana. Saat ia menjadi korban pengosongan tanah dia
tidak mendapatkan santunan sama sekali bahkan instansi juga tidak memberikan perawatan
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
18
yang baik kepadanya. Meskipun pada saat ia menjadi korban ia masih di Satpol PP Jakarta
Timur. Terkait dengan hal tersebut, Bapak Nana menjelaskan :
“Saya ditanyain pun enggak. Saya ditanya sama Kasi OP saya “dikira cuma luka
doang”. Kan goblok banget. Ya Alhamdulillah, ya Alhamdulillah ditanya aja enggak
apalagi duit gimana sih”. (Wawancara Petugas Lapangan Bapak Nana, 24 April 2014
di Kantor Satpol PP)
Untuk itu, dalam rangka melindungi keselamatan para petugas lapangan Satpol PP di
lapangan maka para petugas diwajibkan untuk membekali diri mereka dengan mengikuti
berbagai kegiatan bela diri. Kegiatan bela diri tersebut diantaranya seperti tarung drajat,
merpati putih, silat dan karate. Hal ini dilakukan agar petugas lapangan bisa melindungi diri
mereka selama di lapangan. Petugas lapangan Satpol PP yang tidak lagi dibekali dengan
senjata seperti tameng dan pentungan maka jika pada saat tertentu dihadapkan dengan situasi
yang berbahaya maka mereka bisa melindungi diri mereka dengan bela diri tadi. Tindakan ini
merupakan salah satu langkah preventif yang dilakukan oleh Satpol PP dalam melindungi
petugas di lapangan. Sebagaimana yang dikatakan oleh KaSatpol PP DKI Jakarta bahwa saat
ini ia mewajibkan seluruh petugas Satpol PP mengikuti kegiatan bela diri :
“Satpol PP itu kebetulan ada dibawah Pemda DKI dan Pemda DKI alhamdulillah ada
biaya. Setiap Selasa saya perintahkan untuk harus dan wajib ikut bela diri mulai dari
karate. Ya Satpol PP jago karate. Tarung drajat, empunya ada disini. Pencak silat,
juaranya ada disini. Setiap Kamis latihan. Merpati putih pun juga. Setiap Satpol PP
Saya perintahkan dan wajib punya keterampilan”. (Wawancara KaSatpol PP DKI
Jakarta Bapak Kukuh, 12 Mei 2014 di Kantor Satpol PP)
Kesimpulan
Petugas lapangan Satpol PP yang merupakan aparat penegak peraturan daerah dalam
menjalankan tugasnya dihadapkan pada kondisi yang dilematis. Di satu sisi, petugas lapangan
harus menegakan aturan Peraturan Daerah agar suasana tertib dan tentram dapat tercipta. Di
sisi lain, penertiban yang dilakukan oleh petugas lapangan menyebabkan kerugian dan
kehilangan pekerjaan oleh pedagang. Dalam menjalankan tugasnya, petugas lapangan Satpol
PP tidak selalu dihadapkan pada situasi yang aman, petugas lapangan Satpol PP juga
dihadapkan dengan berbagai perlawanan dari masyarakat. Perlawanan oleh masyarakat
tersebut merupakan sebuah bentuk penolakan terhadap suatu aturan. Perlawanan yang terjadi
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
19
selalu berujung pada bentrok yang pada akhirnya berujung pada timbulnya korban baik dari
pihak masyarakat maupun dari petugas lapangan Satpol PP.
Petugas dihadapakan pada kondisi within on the job trouble dan kondisi on the job
trouble. Kondisi within the job trouble berhubungan dengan sifat pekerjaan petugas yang
memiliki masalah. Sedangkan, kondisi on the job trouble berhubungan ketika petugas
lapangan dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang ada di lapangan.Petugas lapangan
Satpol PP berisiko menjadi korban dalam melaksanakan tugasnya. Petugas lapangan juga
mengalami luka fisik, cedera dan hilangnya nyawa petugas lapangan. Ketika petugas
lapangan Satpol PP menjadi korban petugas lapangan juga tidak mendapatkan perlindungan
dan perawatan oleh Pemerintah Daerah khususnya Satpol PP
Saran
1. Terciptanya kondisi DKI Jakarta yang tertib dan tentram maka diperlukannya
kerjasama antar pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat.
2. Perlunya keterlibatan langsung petugas lapangan Satpol PP dan masyarakat dalam
membuat sebuah aturan agar kedua belah pihak sama-sama mengetahui tugas dan
kewajiban mereka
3. Permberian dana kompenasi dan perawatan yang baik bagi para petugas lapangan
yang menjadi korban dalam melaksanakan tugasnya. Khususnya bagi petugas
lapangan Satpol PP yang masih berstatus PTT (Pegawai Tidak Tetap)
Daftar Referensi
Andhi Ismawan, D. (2008). Kajian Kerentanan Kawasan Permukiman Padat Terhadap Bencana Kebakaran di Kecamatan Tambora - Jakarta Barat. Semarang: Universitas Diponegoro.
Andrianingsih, S. (2008). Implementasi Kebijakan. Depok: Universitas Indonesia.
Badan Pusat Statistik . (2013). Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2013. Jakarta: BPS.
Cohen, D. I., Plecas, D. D., & McCormick, A. (2006). Public Safety, Victimization, and Perceptions of the Police in 8 RCMP Jurisdictions in British Columbia.
Creswell, J. W., & Clark, V. L. (2011). Designing and Conducting Mixed Method Research. In J. W. Creswell, & V. L. Clark, Designing and Conducting Mixed Method Research (p. 4). US: Sage Publications.
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014
20
Doener, W. G., & Steven, P. (2011). Victimization at School and Work. In W. G. Doener, & S. P, Victimology (p. 412). Sagepub.
Frazier, s. L. (2007). The Loss of Public Trust in Law Enforcement. Madera Police Department .
Hoebel, A. E. (2006). The Law of Primitive Ma : A Study in Comparative Legal Dynamics. Cambridge: Harvard University Press.
Hutto, J. (2009). Risk Management in Law Enforcemet : A Model Assessment Tool. Texas State University.
Novak, K. J., Smith, B. W., & Frank, J. (2003). Strange Bedfellows: Civil Liability and Aggressive Policing. USA: Policing: An International Journal of Police Strategies & Management.
Perez, J. G., & Walsh, M. A. (2006). Principle of Good Policing: Avoiding Violence Between Police Citizens. Washington DC: U.S Department of Justice.
Pike, F. (2005). The Public Order Policing of Community Based Events. England, UK: University of Surrey.
Satpol PP dan Linmas. (2012). Satpol PP dan Linmas. Retrieved March 14, 2014, from Satpol PP dan Linmas: http://www.pplinmas.tanahbumbukab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=96:sejarah-satpolpp&catid=45:artikel&Itemid=107
Terrill, W. (2001). Police Coercion Application of The Force Continuum. New York: LFB Scholarly Publishing LLC.
Thamrin, I. M. (2009). Bubarkan Satpol PP . T-Ras PUSHAM UII , 1-44.
Waddington, P. (1998). Both Arms of the Law: Institutionalised Protest and the Policing of Public Order. England: British Society of Criminology.
Walker, N. (2000). Policing in a Changing Constitutional Order. London: Sweet Maxwell.
Weber, M. (1978). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Barkeley: University of California Press.
Weisburd, D., Greenspan, R., Hamilton, E., Bryant, K., & Williams, H. (2001). The Abuse of Police Authority. Washington DC: The Police Faoundation.
Risiko viktimisasi…, Meutia Aulia Rahmi, FISIP UI, 2014