rinitis kronis paper

19
Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis” (radang). Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir (membran mukosa) hidung. Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik. Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari- hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis simpleks, rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri akut supuratif. Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa.

Upload: adrine-fragita

Post on 20-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

opopopo

TRANSCRIPT

Page 1: Rinitis Kronis Paper

Latar Belakang

Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis”

(radang). Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir

(membran mukosa) hidung.

Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik.

Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi

virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder

akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan

sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis simpleks,

rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri akut supuratif.

Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian

rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis

kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi,

rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur).

Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis

alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa.

Page 2: Rinitis Kronis Paper

Rhinitis Kronik

Rhinitis Hipertrofi

a. Etiologi

Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus

atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.

b. Manifestasi Klinis

Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen

dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi, permukaannya

berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.

c. Terapi

Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rhinitis

hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam

trikloroasetat) atau dengan kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan

konkotomi.

Rhinitis Sika

a. Etiologi

Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di

lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga pada pasien dengan anemia,

peminum alkohol, dan gizi buruk.

b. Manifestasi Klinis

Pada rhinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak ada.

Pasien mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang-kadang disertai

epitaksis.

c. Terapi

Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung.

Page 3: Rinitis Kronis Paper

Rinitis Spesifik

Yang termasuk ke dalam rhinitis spesifik adalah:

a. Rhinitis Difteri

1. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.

2. Manifestasi klinis

Gejala rhinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis,

sekret hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang mudah

berdarah, terdapat krusta coklat di nares dan kavum nasi. Sedangkan rhinitis

difteri kronik gejalanya lebih ringan.

3. Terapi

Terapi rhinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal, dan

intramuskular.

b. Rhinitis Atrofi

1. Etiologi

Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu infeksi

kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan

hormonal, dan penyakit kolagen.

2. Manifestasi Klinis

Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang

hidung. Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering,

sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya nafas berbau,

ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau, gangguan penghidu, sakit kepala,

dan hidung tersumbat.

3. Terapi

Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan antibiotika

berspektrum luas, obat cuci hidung, vitamin A, dan preparat Fe. Jika tidak ada

perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung untuk

mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi normal kembali.

Page 4: Rinitis Kronis Paper

c. Rhinitis Sifilis

1. Etiologi

Penyebab rhinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum.

2. Manifestasi Klinis

Gejala rhinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rhinitis akut

lainnya. Hanya pada rhinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan

pada rhinitis sifilis tertier ditemukan gumma atau ulkus yang dapat

mengakibatkan perforasi septum. Sekret yang dihasilkan merupakan sekret

mukopurulen yang berbau.

3. Terapi

Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung.

d. Rhinitis Tuberkulosa

1. Etiologi

Penyebab rhinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.

2. Manifestasi Klinis

Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang

mukopurulen dan krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk noduler

atau ulkus, jika mengenai tulang rawan septum dapat mengakibatkan perforasi

3. Terapi

Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.

e. Rhinitis Lepra

1. Etiologi

Rhinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.

2. Manifestasi Klinis

Gejala yang timbul diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau, dan

produksi sekret yang sangat infeksius. Deformitas dapat terjadi karena adanya

destruksi tulang dan kartilago hidung.

Page 5: Rinitis Kronis Paper

3. Terapi

Pengobatan rhinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin, dan

clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup.

f. Rhinitis Jamur

1. Etiologi

Penyebab rhinitis jamur diantaranya adalah Aspergillus yang menyebabkan

aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan mukormikosis, dan Candida

yang menyebabkan kandidiasis.

2. Manifestasi Klinis

Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna hijau

kecoklatan. Pada mukomikosis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri

kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis paranasalis, dan

sekret hidung yang pekat, gelap, dan berdarah.

3. Terapi

Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat cuci

hidung. 

Rhinitis Vasomotor

a. Definisi

Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya

infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan

pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan

obat topikal hidung dekongestan).

b. Etiologi

Penyebab pasti rhinitis vasomotor ini belum diketahui secara pasti, diduga akibat

gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi

berbagai hal, antara lain:

1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, misal

ergotamin, clorpromazin, obat antihipertensi, dan obat vasokonstriktor lokal.

2. Faktor fisik, seperti asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi, dan

bau yang merangsang.

Page 6: Rinitis Kronis Paper

3. Faktor endokrine, seperti kehamilan, pubertas, dan hipotiroidisme.

4. Faktor psikis seperti cemas, tegang.

c. Manifestasi Klinis

Gejala penderita rhinitis alergi atau rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit

dibedakan karena gejala-gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan bersin.

Biasanya penderita rhinitis alergik lebih merasakan gatal dan bersin berulang

seperti “ staccato“. Biasanya ia tidak ditemukan atau tidak jelas pada rinitis

vasomotor. Reaksi bisa disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom, tetapi

disamping itu, obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh faktor

iritasi, fisik, endokrin dan faktor lain. Hidung mungkin sensitif terhadap pengaruh

hormon, oleh karena itu reaksi rhinitis vasomotor mungkin berhubungan dengan

kehamilan atau kontrasepsi per oral, tetapi rhinitis vasomotor pada kehamilan

segera menyembuh setelah melahirkan dan mungkin berhubungan dengan

keseimbangan hormon.

Biasanya penderita rhinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi pada

keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia dewasa.

Jarang terjadi bersin dan rasa gatal.

Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien.

Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai

bersin dan tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi hari waktu

bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap

rokok dan sebagainya.

d. Patogenesis

Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang

menyebabkan terjadinya rhinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan.

Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi

mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf

parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya,

serta menekan efek dari pembuluh darah (kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf

simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh

darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan

akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat.

Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang

menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif.

Page 7: Rinitis Kronis Paper

Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang

dikeluarkan sel-sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien,

prostaglandin, dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya mengontrol

diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, hidung tersumbat, juga

meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf parasimpatis pada sekresi

nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida ini bukan

diperantarai oleh IgE seperti pada rhinitis alergik. Pada beberapa kasus rhinitis

vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada mukosa

hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada terjadinya rhinitis

vasomotor. Banyak kasus rhinitis vasomotor berkaitan dengan agen spesifik atau

kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi

tersebut adalah perubahan temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma masakan

yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara, dan stres (fisik dan psikis).

Mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara

langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan merangsang

sel-sel olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktori. Kemudian berjalan melalui

traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun sesudah merelay neuron

pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan olfaktoris lateral.

Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika bagian

anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta emosi, maka

akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi dominasi fungsi

syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan

manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor.

Dari penelitian telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi sistem

adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang mengontrol

vaskularisasi pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya, memungkinan kita

memahami mekanisme bendungan koana. Stimulasi kolinergik menimbulkan

vasodilatasi sehingga koana membengkak atau terbendung, hasilnya terjadi

obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis servikalis menimbulkan vasokonstriksi

hidung.

Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya atas

mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rhinitis alergika.

Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal

sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi vasomotor ini terutama akibat stimulasi

parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan

permeabilitas vaskular disertai edema dan peningkatan sekresi kelenjar. Bila

Page 8: Rinitis Kronis Paper

dibandingkan mekanisme kerja pada rhinitis alergik dengan rhinitis vasomotor,

maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan pelepasan

mediator yang menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan

permeabilitas yang menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta

gejala bersin dan rasa gatal. Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas kelenjar

dan meningkatkan sekresi, sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada reaksi

vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf autonom yang menimbulkan

peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja simpatis) yang akhirnya

menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan

permeabilitas yang menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal ini

menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan

gatal. Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan

menimbulkan peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea. Pada

reaksi alergi dan disfungsi vasomotor menghasilkan gejala yang sama melalui

mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi, ia disebabkan interaksi antigen-

antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor ia disebabkan oleh disfungsi sistem

saraf autonom.

e. Diagnosis

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan

adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesa

dicari faktor yang mempengaruhi timbunya gejala. Rhinitis vasomotor dibuat

dengan menyingkirkan kemungkinan lainnya dengan anamnesa, pemeriksaan fisik

pada hidung dengan rinoskopi anterior didapatkan konka nasalis berwarna merah

gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat, edema mukosa hidung dan

permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung

terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret

yang ditemukan serosa yang banyak jumlahnya. Pada pemeriksaan laboratorium

dilakukan untuk menyingkirkan rhinitis alergik karena dapat ditemukan eosinofil di

dalam sekresi hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya

negative, kadar IgE spesifik tidak meningkat. Perubahan foto rontgen, penebalan

membrana mukosa sinus tidaklah spesifik dan tidak bernilai untuk diagnosis.

Rhinitis vasomotor bisa terjadi bersama-sama dengan rhinitis alergik.

Page 9: Rinitis Kronis Paper

f. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang digunakan pada rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung

pada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar

penatalaksanaan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Non Farmakologik

Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah

dengan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan mukosa

nasal secara periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan

menggunakan semprotan larutan saline atau alat irigator seperti Grossan irigator.

2. Farmakologik

Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien

dengan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian antikolinergik juga

efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini adalah antagonis

muskarinik. Obat yang disarankan seperti Ipratropium bromida, juga terdapat

formula topikal dan atrovent, yang mempunyai efek sistemik lebih sedikit.

Penggunaan obat ini harus dihindari pada pasien dengan takikardi dan glaukom

sudut sempit.

Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti, rinorea

dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh

vasoaktif mediator yang dapat menghambat Phospolipase A2, mengurangi

aktivitas reseptor asetilkolin, menurunkan basofil, sel mast dan eosinofil. Efek

dari kortikostreroid tidak bisa segera, tapi dengan penggunaan jangka panjang,

minimal sampai 2 gr sebelum hasil yang diinginkan tercapai. Steroid topikal

yang dianjurkan seperti Beclomethason, Flunisolide dan Fluticasone. Efek

samping dengan steroid yaitu edem mukosa dan eritema ringan.

Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama hidung

tersumbat. Untuk gejala yang multipel, penggunan dekongestan yang

diformulasikan dengan antihistamin dapat digunakan. Obat yang disarankan

seperti Pseudoefedrin, Phenilprophanolamin dan Phenilephrin serta

Oxymetazoline (semprot hidung). Obat ini merupakan agonis reseptor α dan baik

untuk meringankan serangan akut. Pada penggunaan topikal yang terlalu lama (>

5 hari) dapat terjadi rhinitis medikamentosa yaitu rebound kongesti yang terjadi

setelah penggunaan obat topikal > 5 hari. Kontraindikasi pemakaian

dekongestan adalah penderita dengan hipertensi yang berat serta tekanan darah

yang labil.

Page 10: Rinitis Kronis Paper

Pemberian preparat Kalsium seperti Dumocalsin atau preparat Kalk dapat

juga digunakan. Pada rhinitis vasomotor terjadi peningkatan acetilkholin sebagai

akibat dari dominasi parasimpatis untuk menurunkan kadar asetil cholin maka

diperlukan adanya enzyme asetilcholin esterase. Dengan pemberian prerat Kalk

dapat meningkatkan kerja enzyme asetil cholin esterase sehingga dapat

memecah asetilkolin yang menumpuk tersebut.

3. Bedah

Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas, prosedur pembedahan

dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery / Bedah Cryo yang berpengaruh

pada mukosa dan submukosa. Operasi ini merupakan tindakan yang cukup sukses

untuk mengatasi kongesti, tetapi ada kemungkinan untuk terjadinya hidung

tersumbat post operasi yang berlangsung lama dan kerusakan dari septum nasi.

Neurectomi n.vidianus merusak baik hantaran simpatis and parasimpatis ke mukosa

sehingga dapat menghilangkan gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO3 atau

elektrik cauter dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa. Cryosurgery lebih

dipertimbangkan daripada kauterisasi karena dapat mencapai lapisan submukosa.

Reseksi total atau parsial pada konka inferior berhasil baik.

Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan olahraga dapat

meningkatkan daya tahan dan kondisi penderita rhinitis vasomotor. Peningkatan

aktivitas fisik berpengaruh pada pengurangan produksi dari protein yang memacu

timbulnya mukus. Penjelasan lain menyebutkan dengan olahraga dapat

menyebabkan terjadinya vasokonstriksi membran, karena dengan olahraga dapat

meningkatkan kadar adrenalin sehinggga dapat mengurangi sekresi mukus. Juga

dengan olahraga akan membentuk reflek nasopulmonal yaitu dengan meningkatkan

Volume Tidal (VT) paru dan diharapkan bila paru terbuka maksimal maka hidung

juga akan lebih terbuka, sehingga dapat mengurangi sumbatan hidung. Ini bukanlah

suatu solusi permanen dalam menangani rhinitis vasomotor, tetapi dapat

dipertimbangkan sebagai salah satu bentuk pencegahan terjadinya eksaserbasi

gejala.

g. Komplikasi

Page 11: Rinitis Kronis Paper

Biasanya komplikasi yang sering terjadi dari rinitis vasomotor ini adalah polip

hidung dan terjadinya sinusitis.

Rhinitis Medikamentosa

a. Etiologi

Rhinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan respon normal

vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor topikal dalam waktu lama dan

berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.

Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan

siklus nasal terganggu dan dakan berfungsi kembali bila pemakaian dihentikan.

Pemakaian vasokontriktor topikal yang berulang dan waktu lama akan

menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound dilatation) setelah

vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat diteruskan maka

akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan, perttambahan mukosa jaringan dan

rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret

berlebihan.

Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema

mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen,

fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kekeringan

pada mukosa hidung adalah atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat

katekolamin.

b. Gambaran Klinis

Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus menerus,

berair. Pada pemeriksaan edema/hipertrofi konka dengan secret hidung berlebihan.

Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.

c. Terapi

Pengobatan rhinitis medikamentosa adalah dengan menghentikan obat

tetes/semprot hidung, kortikosteroid secara penurunan bertahap untuk mengatasi

sumbatan berulang, dekongestan oral.

DAFTAR PUSTAKA

Page 12: Rinitis Kronis Paper

1. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,

Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508

2. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 118-122

3. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 221

4. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,

Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508

5. Maran., Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.

6. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 128-134

7. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 196-217

8. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 135-136

9. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 218

10. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 137-138

11. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 219-222