rinitis kronis paper
DESCRIPTION
opopopoTRANSCRIPT
Latar Belakang
Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis”
(radang). Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir
(membran mukosa) hidung.
Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik.
Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi
virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder
akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis simpleks,
rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri akut supuratif.
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian
rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis
kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi,
rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur).
Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis
alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa.
Rhinitis Kronik
Rhinitis Hipertrofi
a. Etiologi
Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus
atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.
b. Manifestasi Klinis
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen
dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi, permukaannya
berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.
c. Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rhinitis
hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam
trikloroasetat) atau dengan kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan
konkotomi.
Rhinitis Sika
a. Etiologi
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di
lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga pada pasien dengan anemia,
peminum alkohol, dan gizi buruk.
b. Manifestasi Klinis
Pada rhinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak ada.
Pasien mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang-kadang disertai
epitaksis.
c. Terapi
Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung.
Rinitis Spesifik
Yang termasuk ke dalam rhinitis spesifik adalah:
a. Rhinitis Difteri
1. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.
2. Manifestasi klinis
Gejala rhinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis,
sekret hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang mudah
berdarah, terdapat krusta coklat di nares dan kavum nasi. Sedangkan rhinitis
difteri kronik gejalanya lebih ringan.
3. Terapi
Terapi rhinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal, dan
intramuskular.
b. Rhinitis Atrofi
1. Etiologi
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu infeksi
kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan
hormonal, dan penyakit kolagen.
2. Manifestasi Klinis
Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang
hidung. Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya nafas berbau,
ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau, gangguan penghidu, sakit kepala,
dan hidung tersumbat.
3. Terapi
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan antibiotika
berspektrum luas, obat cuci hidung, vitamin A, dan preparat Fe. Jika tidak ada
perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung untuk
mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi normal kembali.
c. Rhinitis Sifilis
1. Etiologi
Penyebab rhinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum.
2. Manifestasi Klinis
Gejala rhinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rhinitis akut
lainnya. Hanya pada rhinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan
pada rhinitis sifilis tertier ditemukan gumma atau ulkus yang dapat
mengakibatkan perforasi septum. Sekret yang dihasilkan merupakan sekret
mukopurulen yang berbau.
3. Terapi
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung.
d. Rhinitis Tuberkulosa
1. Etiologi
Penyebab rhinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.
2. Manifestasi Klinis
Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang
mukopurulen dan krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk noduler
atau ulkus, jika mengenai tulang rawan septum dapat mengakibatkan perforasi
3. Terapi
Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.
e. Rhinitis Lepra
1. Etiologi
Rhinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.
2. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau, dan
produksi sekret yang sangat infeksius. Deformitas dapat terjadi karena adanya
destruksi tulang dan kartilago hidung.
3. Terapi
Pengobatan rhinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin, dan
clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup.
f. Rhinitis Jamur
1. Etiologi
Penyebab rhinitis jamur diantaranya adalah Aspergillus yang menyebabkan
aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan mukormikosis, dan Candida
yang menyebabkan kandidiasis.
2. Manifestasi Klinis
Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna hijau
kecoklatan. Pada mukomikosis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri
kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis paranasalis, dan
sekret hidung yang pekat, gelap, dan berdarah.
3. Terapi
Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat cuci
hidung.
Rhinitis Vasomotor
a. Definisi
Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya
infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan
pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan
obat topikal hidung dekongestan).
b. Etiologi
Penyebab pasti rhinitis vasomotor ini belum diketahui secara pasti, diduga akibat
gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi
berbagai hal, antara lain:
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, misal
ergotamin, clorpromazin, obat antihipertensi, dan obat vasokonstriktor lokal.
2. Faktor fisik, seperti asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi, dan
bau yang merangsang.
3. Faktor endokrine, seperti kehamilan, pubertas, dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis seperti cemas, tegang.
c. Manifestasi Klinis
Gejala penderita rhinitis alergi atau rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit
dibedakan karena gejala-gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan bersin.
Biasanya penderita rhinitis alergik lebih merasakan gatal dan bersin berulang
seperti “ staccato“. Biasanya ia tidak ditemukan atau tidak jelas pada rinitis
vasomotor. Reaksi bisa disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom, tetapi
disamping itu, obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh faktor
iritasi, fisik, endokrin dan faktor lain. Hidung mungkin sensitif terhadap pengaruh
hormon, oleh karena itu reaksi rhinitis vasomotor mungkin berhubungan dengan
kehamilan atau kontrasepsi per oral, tetapi rhinitis vasomotor pada kehamilan
segera menyembuh setelah melahirkan dan mungkin berhubungan dengan
keseimbangan hormon.
Biasanya penderita rhinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi pada
keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia dewasa.
Jarang terjadi bersin dan rasa gatal.
Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien.
Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai
bersin dan tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi hari waktu
bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap
rokok dan sebagainya.
d. Patogenesis
Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang
menyebabkan terjadinya rhinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan.
Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi
mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf
parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya,
serta menekan efek dari pembuluh darah (kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf
simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh
darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan
akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat.
Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang
menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif.
Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang
dikeluarkan sel-sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien,
prostaglandin, dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya mengontrol
diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, hidung tersumbat, juga
meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf parasimpatis pada sekresi
nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida ini bukan
diperantarai oleh IgE seperti pada rhinitis alergik. Pada beberapa kasus rhinitis
vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada mukosa
hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada terjadinya rhinitis
vasomotor. Banyak kasus rhinitis vasomotor berkaitan dengan agen spesifik atau
kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi
tersebut adalah perubahan temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma masakan
yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara, dan stres (fisik dan psikis).
Mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara
langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan merangsang
sel-sel olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktori. Kemudian berjalan melalui
traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun sesudah merelay neuron
pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan olfaktoris lateral.
Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika bagian
anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta emosi, maka
akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi dominasi fungsi
syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan
manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor.
Dari penelitian telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi sistem
adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang mengontrol
vaskularisasi pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya, memungkinan kita
memahami mekanisme bendungan koana. Stimulasi kolinergik menimbulkan
vasodilatasi sehingga koana membengkak atau terbendung, hasilnya terjadi
obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis servikalis menimbulkan vasokonstriksi
hidung.
Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya atas
mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rhinitis alergika.
Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal
sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi vasomotor ini terutama akibat stimulasi
parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskular disertai edema dan peningkatan sekresi kelenjar. Bila
dibandingkan mekanisme kerja pada rhinitis alergik dengan rhinitis vasomotor,
maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan pelepasan
mediator yang menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan
permeabilitas yang menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta
gejala bersin dan rasa gatal. Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas kelenjar
dan meningkatkan sekresi, sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada reaksi
vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf autonom yang menimbulkan
peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja simpatis) yang akhirnya
menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan
permeabilitas yang menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal ini
menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan
gatal. Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan
menimbulkan peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea. Pada
reaksi alergi dan disfungsi vasomotor menghasilkan gejala yang sama melalui
mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi, ia disebabkan interaksi antigen-
antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor ia disebabkan oleh disfungsi sistem
saraf autonom.
e. Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan
adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesa
dicari faktor yang mempengaruhi timbunya gejala. Rhinitis vasomotor dibuat
dengan menyingkirkan kemungkinan lainnya dengan anamnesa, pemeriksaan fisik
pada hidung dengan rinoskopi anterior didapatkan konka nasalis berwarna merah
gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat, edema mukosa hidung dan
permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung
terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret
yang ditemukan serosa yang banyak jumlahnya. Pada pemeriksaan laboratorium
dilakukan untuk menyingkirkan rhinitis alergik karena dapat ditemukan eosinofil di
dalam sekresi hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya
negative, kadar IgE spesifik tidak meningkat. Perubahan foto rontgen, penebalan
membrana mukosa sinus tidaklah spesifik dan tidak bernilai untuk diagnosis.
Rhinitis vasomotor bisa terjadi bersama-sama dengan rhinitis alergik.
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang digunakan pada rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung
pada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar
penatalaksanaan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Non Farmakologik
Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah
dengan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan mukosa
nasal secara periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan
menggunakan semprotan larutan saline atau alat irigator seperti Grossan irigator.
2. Farmakologik
Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien
dengan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian antikolinergik juga
efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini adalah antagonis
muskarinik. Obat yang disarankan seperti Ipratropium bromida, juga terdapat
formula topikal dan atrovent, yang mempunyai efek sistemik lebih sedikit.
Penggunaan obat ini harus dihindari pada pasien dengan takikardi dan glaukom
sudut sempit.
Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti, rinorea
dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh
vasoaktif mediator yang dapat menghambat Phospolipase A2, mengurangi
aktivitas reseptor asetilkolin, menurunkan basofil, sel mast dan eosinofil. Efek
dari kortikostreroid tidak bisa segera, tapi dengan penggunaan jangka panjang,
minimal sampai 2 gr sebelum hasil yang diinginkan tercapai. Steroid topikal
yang dianjurkan seperti Beclomethason, Flunisolide dan Fluticasone. Efek
samping dengan steroid yaitu edem mukosa dan eritema ringan.
Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama hidung
tersumbat. Untuk gejala yang multipel, penggunan dekongestan yang
diformulasikan dengan antihistamin dapat digunakan. Obat yang disarankan
seperti Pseudoefedrin, Phenilprophanolamin dan Phenilephrin serta
Oxymetazoline (semprot hidung). Obat ini merupakan agonis reseptor α dan baik
untuk meringankan serangan akut. Pada penggunaan topikal yang terlalu lama (>
5 hari) dapat terjadi rhinitis medikamentosa yaitu rebound kongesti yang terjadi
setelah penggunaan obat topikal > 5 hari. Kontraindikasi pemakaian
dekongestan adalah penderita dengan hipertensi yang berat serta tekanan darah
yang labil.
Pemberian preparat Kalsium seperti Dumocalsin atau preparat Kalk dapat
juga digunakan. Pada rhinitis vasomotor terjadi peningkatan acetilkholin sebagai
akibat dari dominasi parasimpatis untuk menurunkan kadar asetil cholin maka
diperlukan adanya enzyme asetilcholin esterase. Dengan pemberian prerat Kalk
dapat meningkatkan kerja enzyme asetil cholin esterase sehingga dapat
memecah asetilkolin yang menumpuk tersebut.
3. Bedah
Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas, prosedur pembedahan
dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery / Bedah Cryo yang berpengaruh
pada mukosa dan submukosa. Operasi ini merupakan tindakan yang cukup sukses
untuk mengatasi kongesti, tetapi ada kemungkinan untuk terjadinya hidung
tersumbat post operasi yang berlangsung lama dan kerusakan dari septum nasi.
Neurectomi n.vidianus merusak baik hantaran simpatis and parasimpatis ke mukosa
sehingga dapat menghilangkan gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO3 atau
elektrik cauter dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa. Cryosurgery lebih
dipertimbangkan daripada kauterisasi karena dapat mencapai lapisan submukosa.
Reseksi total atau parsial pada konka inferior berhasil baik.
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan olahraga dapat
meningkatkan daya tahan dan kondisi penderita rhinitis vasomotor. Peningkatan
aktivitas fisik berpengaruh pada pengurangan produksi dari protein yang memacu
timbulnya mukus. Penjelasan lain menyebutkan dengan olahraga dapat
menyebabkan terjadinya vasokonstriksi membran, karena dengan olahraga dapat
meningkatkan kadar adrenalin sehinggga dapat mengurangi sekresi mukus. Juga
dengan olahraga akan membentuk reflek nasopulmonal yaitu dengan meningkatkan
Volume Tidal (VT) paru dan diharapkan bila paru terbuka maksimal maka hidung
juga akan lebih terbuka, sehingga dapat mengurangi sumbatan hidung. Ini bukanlah
suatu solusi permanen dalam menangani rhinitis vasomotor, tetapi dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu bentuk pencegahan terjadinya eksaserbasi
gejala.
g. Komplikasi
Biasanya komplikasi yang sering terjadi dari rinitis vasomotor ini adalah polip
hidung dan terjadinya sinusitis.
Rhinitis Medikamentosa
a. Etiologi
Rhinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan respon normal
vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor topikal dalam waktu lama dan
berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan
siklus nasal terganggu dan dakan berfungsi kembali bila pemakaian dihentikan.
Pemakaian vasokontriktor topikal yang berulang dan waktu lama akan
menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound dilatation) setelah
vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat diteruskan maka
akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan, perttambahan mukosa jaringan dan
rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret
berlebihan.
Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema
mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen,
fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kekeringan
pada mukosa hidung adalah atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat
katekolamin.
b. Gambaran Klinis
Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus menerus,
berair. Pada pemeriksaan edema/hipertrofi konka dengan secret hidung berlebihan.
Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.
c. Terapi
Pengobatan rhinitis medikamentosa adalah dengan menghentikan obat
tetes/semprot hidung, kortikosteroid secara penurunan bertahap untuk mengatasi
sumbatan berulang, dekongestan oral.
DAFTAR PUSTAKA
1. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,
Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508
2. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 118-122
3. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 221
4. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,
Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508
5. Maran., Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.
6. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 128-134
7. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 196-217
8. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 135-136
9. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 218
10. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 137-138
11. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 219-222