rinitis atrof12

10
Rinitis Atrofi (Ozaena) Diposkan oleh Taufik Abidin oleh: I Dewa Ayu Vanessa PENDAHULUAN Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Menurut pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya.Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia). 1,2,4 Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahunterutama pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. 1,2,3 Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena. 5

Upload: gigikanan

Post on 29-Nov-2015

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: Rinitis Atrof12

Rinitis Atrofi (Ozaena)

Diposkan oleh Taufik Abidin

oleh: I Dewa Ayu Vanessa

PENDAHULUAN

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi

progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis

chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Secara

klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga

terbentuk krusta yang berbau busuk.

Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan

dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada

yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk

menghilangkan gejala.Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak

menolong, dilakukan operasi. Menurut pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu

ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena ini

sangat menentukan terapi dan prognosisnya.Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak

sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan

subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri

menderita anosmia).1,2,4

Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Penyakit

ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahunterutama pada usia pubertas. Sering

ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang

buruk dan di negara sedang berkembang.1,2,3

Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika

Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak

perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens

ozaena.5

TINJAUAN PUSTAKA

Batasan

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi

progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis

chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida.

Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa

nasalis, disertai adanya crustae yang berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung

Page 2: Rinitis Atrof12

menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau

busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama pada umur sekitar

pubertas.1,2,6

Kekerapan

Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai

wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang

dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3

pria.Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari

segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur

antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49

tahun.Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi

rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Di RS H. Adam Malik

dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2

pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.1,2

Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika

Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak

perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens

ozaena.5

Etiologi

Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai

teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis

menekankan faktor herediter.5,6 Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan

dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 1,3,5

 Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan olehKlebsiella Ozaena. Kuman

ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan

Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus,

Streptokokus,Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid

bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.

 Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A.

 Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.

 Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.

 Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.

 Teori mekanik dari Zaufal.

Page 3: Rinitis Atrof12

 Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi

pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.

 Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).

 Herediter.

 Supurasi di hidung dan sinus paranasal.

 Golongan darah.

Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi

primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung

(operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh

sifilis, lepra,midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung umumnya segera

merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan

rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi

kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab

dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat

sosio ekonomi rendah.1,5

Patologi dan Patogenesis

Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi

epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar

alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole

terminal.Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : 1

a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik;

membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.

b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan

berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di

submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase

alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar

seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat.Atrofi konka

menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun;

Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi

surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi

surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan

mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan

bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya

silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta

yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan

histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 3

Page 4: Rinitis Atrof12

 Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.

 Silia hidung. Silia akan menghilang.

 Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik

atau epitel gepeng berlapis.

 Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya

berkurang.

Gejala Klinis dan Pemeriksaan

Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan

penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit

kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan

pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi

penderita sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra

pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan

napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat

bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan

hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah

bergerak semakin jauh dari gambaran.1,2,4,5,6

Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung

dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga

hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami

hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan

kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan

Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 1

a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.

b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar,

krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga

hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang

jelas.

Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan

yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung

tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah

kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi

ringan dan pendarahan.5

Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar

namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga

hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan

Page 5: Rinitis Atrof12

menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan

disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang

hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas

ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba

Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang

tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.

Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan antara

lain : 3,4

 Transiluminasi.

 Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.

 Pemeriksaan mikroorganisme.

 Uji resistensi kuman.

 Pemeriksaan darah tepi.

 Pemeriksaan Fe serum.

 Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi

tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis,

kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil.

 Pemeriksaan serologi darah.

Diagnosis

Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test,

pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk

menyingkirkan sifilis.1

Diagnosis Banding

Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :

1. Rinitis kronik TBC

2. rinitis kronik lepra

3. rinitis kronik sifilis

4. rinitis sika

Komplikasi

Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :

1. Perforasi septum

2. Faringitis

3. Sinusitis

Page 6: Rinitis Atrof12

4. Miasis hidung

5. Hidung pelana

Penatalaksanaan

Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk

dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan

endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti

alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha

langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah

mukosa hidung.5Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan

menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak

menolong dilakukan operasi.1,3

Konservatif

Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan simptomatik.

1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-

tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan

dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.

2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan

menghilangkan bau. Antara lain :

a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau

b. Campuran :

 NaCl

 NH4Cl

 NaHCO3 aaa 9

 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

c. Larutan garam dapur

d. Campuran :

 Na bikarbonat 28,4 g

 Na diborat 28,4 g

 NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan

menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,

dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya

dengan pemberian preparat Fe.

3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin

untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin

anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-

masing tiga tetes.

Page 7: Rinitis Atrof12

4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.

5) Preparat Fe.

6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski

melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam

2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan

pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan

kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2

minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah

dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik

tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan

hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.

Operasi

Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga

hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan

mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi.1 Teknik bedah dibedakan menjadi

dua kategori utama : 5

1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan

2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1

1) Young's operation

Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan

penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung

bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.

2) Modified Young's operation

Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

3) Lautenschlager operation

Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian

dipindahkan ke lubang hidung.

4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti

Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.

5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan

membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana

menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.

Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan,

pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya

mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal

kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga

hidung.4

Page 8: Rinitis Atrof12

Daftar Pustaka

1. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from :http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008,

April 12. Sumber :Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004.

2. Soedarjatni. 1977. Foetor Ex Nasi. Available from :http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008,

April 12. Sumber :Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.

3. Al-Fatih, M. 2007. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available

from :http://hennykartika.wordpress.com. Accessed : 2008, April 12.Sumber : Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta :

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

4. Arif, M., et al. 2006. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available

from :http://www.geocities.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Kapita

Selekta Kedokteran. Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.

5. Adams, L. G. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta.

6. Endang, M. & Nusjirwan, R. 2006. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.