reward dan punishment dalam perspektif …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1432/1/halaman...
TRANSCRIPT
REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Disusun Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh :
SARIFUL ROHMAN
NIM: 111-12-033
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
vi
MOTTO
“ Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh
kali lipat amalnya, dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka
dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang
mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan) ”. (QS.Al-An‟am : 160)
vii
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil‟alamin dengan rahmat dan hidayah Allah SWT
skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Kedua orang tua saya, Bapak Solekhan dan Ibu Roviyani yang senantiasa
memberikan nasihat dan telah mendidik saya dari kecil sampai menikmati
kuliah S1 di IAIN Salatiga ini, serta tidak lelah mendoakan tanpa henti untuk
menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari.
2. Kakakku Nurwachid beserta istrinya yang telah membantu membimbing proses
perkuliahan saya.
3. Keluarga besar PAI A, Keluarga PPL SMK N 3 Salatiga dan Kelompok KKN
posko 41 yang telah memberikan saya pengalaman hidup yang luar biasa.
4. Seluruh teman-teman yang mengenal saya baik teman sekolah, kuliah, maupun
teman di rumah.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan banyak rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya
Islam di dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi
Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan
hingga zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafa‟atnya di
hari kiamat kelak. Segala syukur penulis panjatkan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “REWARD DAN PUNISHMENT DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM”
Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar S1 Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari
bahwa masih banyak sekali kekurangan di dalamnya. Penulis menyadari bahwa
tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi
ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam
4. Bapak Achmad Maimun, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
mencurahkan pikiran, tenaga, dan pengorbanan waktunya dalam upaya
membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Agus Suaidi, Lc., M.A. selaku pembimbing akademik.
ix
6. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu
selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak, ibu, keluarga, dan seluruh pihak yang selalu mendorong dan
memberikan motivasi dalam menyelesaikan kuliah di IAIN Salatiga.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi semua orang pada umumnya. Saran dan kritik yang
membangun sangat diperlukan dalam kesempurnaan skripsi ini.
Salatiga, 22 Agustus 2016
Penulis
Sariful Rohman
NIM. 111-12-033
x
ABSTRAK
Rohman, Sariful. 2016. “Reward dan Punishment dalam Perspektif Pendidikan
Islam” Pembimbing: Achmad Maimun, M.Ag.
Kata kunci: Reward, Punishment, Pendidikan Islam
Pendidikan sekarang ini banyak sekali hal yang dapat menimbulkan pro
dan kontra. Sebagai contoh, kekerasan yang terjadi dalam pendidikan nyatanya
bertentangan dengan Undang-undang perlindungan anak di Indonesia saat ini.
Namun dalam pendidikan Islam, tindakan memukul diperbolehkan sesuai dengan
hadits nabi Muhammad dan dengan beberapa ketentuan yang mengaturnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana reward dan
punishment dalam perspektif pendidikan Islam. Dan juga untuk mengetahui
bagaimana relevansinya dalam pendidikan sekarang ini. Penelitian ini
menggunakan kajian kepustakaan atau literatur. Yang mana sumber-sumber data
diambil dari beberapa buku lalu dianalisis dan diambil kesimpulanya.
Temuan penelitian skripsi ini menunjukkan bahwa dalam pendidikan
Islam sebenarnya menghukum seorang anak yang melakukan kesalahan
diperbolehkan namun dengan memperhatikan hal-hal seperti cara memukul anak
yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Memukul yang diperbolehkan
adalah pukulan yang tidak menyakitkan atau pukulan ringan untuk mengingatkan
ank akan kesalahanya. Berbeda dengan pendidikan Islam yang memperbolehkan
memberi hukuman memukul anak, pendidikan di Indonesia tidak diperkenankan
melakukan kekerasan terhadap anak, karena akan bertentangan dengan undang-
undang perlindungan anak. Sementara itu guru ataupun pendidik juga memiliki
hak dan kewajiban yang harus dipatuhi. Dalam undang-undang hak dan kewajiban
guru dan dosen juga disinggung bahwasanya seorang guru diberi kuasa untuk
memberikan sanksi kepada peserta didik namun dengan catatan tidak boleh
bertentangan dengan kode etik pendidik.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN BERLOGO.......................................................................................ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING...................................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.............................................................v
MOTTO...............................................................................................................vi
PERSEMBAHAN................................................................................................vii
KATA PENGANTAR.........................................................................................viii
ABSTRAK..........................................................................................................ix
DAFTAR ISI.......................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................4
C. Tujuan Penelitian..............................................................................4
D. Manfaat Penelitian............................................................................5
E. Metodologi Penelitian.......................................................................5
F. Penegasan Istilah..............................................................................7
G. Sistematika Penulisan.......................................................................9
xii
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Reward dan Punishment..........................................................................12
1. Pengertian Reward dan Punishment..................................................12
2. Tujuan Reward dan Punishment........................................................15
3. Macam-macam Reward dan Punishment...........................................17
4. Teori-teori Reward dan Punishment..................................................24
5. Prinsip-prinsip Reward dan Punishment..........................................28
B. Pendidikan Islam.....................................................................................31
1. Definisi Pendidikan Islam.................................................................31
2. Dasar Pendidikan Islam.....................................................................32
3. Tujuan Pendidikan Islam...................................................................33
BAB III JANJI DAN ANCAMAN DALAM AJARAN ISLAM
A. Janji dan Ancaman Allah.......................................................................37
1. Konsep Janji dan Ancaman Allah....................................................37
2. Bentuk-bentuk Janji dan Ancaman Allah........................................41
B. Hukuman Dalam Ajaran Islam..............................................................49
1. Hudud..............................................................................................49
2. Qisas................................................................................................50
3. Ta‟zir...............................................................................................50
C. Targhib dan Tarhib...............................................................................52
1. Targhib............................................................................................53
2. Tarhib..............................................................................................58
xiii
BAB IV REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM
A. Reward dalam Pendidikan Islam..............................................................63
B. Punishment dalam Pendidikan Islam.......................................................70
1. Pendapat Para Tokoh Pendidikan Islam.............................................70
2. Dasar Pmeberian Punishment dalam Islam........................................75
3. Penerapan Punishment dalam Lembaga Pendidikan Islam.............82
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................98
B. Saran........................................................................................................98
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................100
RIWAYAT HIDUP PENULIS...........................................................................103
LAMPIRAN LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar SKK
2. Nota Pembimbing Skripsi
3. Lembar Konsultasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia hidup di dunia ini mengalami berbagai persoalan kehidupan
yang bermacam-macam. Ada kalanya merasakan kebahagiaan dan ada kalanya
juga merasakan kesedihan. Kebahagiaan dapat diperoleh dari hal-hal kecil
seperti mendapatkan sebuah hadiah dari orang terdekat. Semua orang pada
umumnya akan sangat senang apabila mendapatkan sebuah hadiah tertentu,
kalaupun ada yang tidak senang ketika diberikan sebuah hadiah, itu mungkin
karena suatu alasan tertentu. Sementara itu, kesedihan dapat diperoleh dari
hal-hal yang kecil juga seperti kehilangan suatu barang, atau karena dimarahi
oleh orang tuanya karena suatu kesalahan yang diperbuatnya dan bisa saja
orangtua memberikan hukuman kepada anaknya tersebut.
Mendidik anak memang tidaklah mudah, seorang pendidik tentu harus
mengetahui minat sang anak. Agar mampu memberikan dorongan motivasi
kepada anak. Dalam hal ini, pemberian hadiah (reward) dan pemberian
hukuman (punishment) menjadi sangat penting. Untuk mendidik anak,
hukuman hanyalah salah satu alat atau cara. Orang tua atau guru dapat
menggunakan cara lain dalam mendidik anak, misalnya memberikan teladan,
memberikan hadiah atau pujian terhadap tindakan yang baik, serta
menciptakan situasi dan kondisi yang tanpa disadari mengarahkan anak untuk
melakukan sesuatu yang baik (Susana dkk, 2007: 57).
2
Ada surga, ada neraka. Allah SWT menjanjikan surga sebagai hadiah
bagi orang beriman dan diberikan-Nya neraka sebagai hukuman bagi orang
yang melanggar perintah-Nya. Janji pemberian hadiah dan hukuman itu
banyak difirmankan-Nya dalam Al-Qur‟an, untuk memotivasi manusia agar
mau beriman dan meninggalkan larangan-larangan-Nya (Istadi, 2005: 3).
Dalam hal ini maka jelas bahwa Allah SWT memberikan contoh kepada
manusia pada umumnya untuk memberikan hadiah dan hukuman apabila
seseorang melakukan kebaikan dan keburukan.
Reward dan punishment merupakan metode atau cara untuk mendidik
seorang anak agar menimbulkan perilaku yang baik dari si anak. Hukuman
menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid atau anak, sedangkan
reward atau hadiah menunjukkan apa yang mesti dilakukan anak (Soemanto,
1987: 204). Ketika melihat ini maka pemberian reward dan punishment itu
tentunya harus ditempatkan pada situasi dan kondisi yang benar dan tepat.
Alternatif bentuk hadiah yang terbaik ternyata bukan berupa materi,
tetapi berupa perhatian baik verbal maupun fisik. Perhatian verbal bisa berupa
komentar-komentar pujian seperti, Subhanallah, Alhamdulillah, dll. Sementara
hadiah perhatian fisik berupa pelukan, elusan di kepala, acungan jempol atau
sekadar terangkatnya alis mata karena ekspresi kagum (Istadi, 2005: 39).
Terkadang seseorang melihat hadiah atau reward hanya berupa barang ataupun
materi, padahal hadiah dapat berupa hal-hal kecil seperti diatas. Hadiah yang
baik adalah hadiah yang dapat menumbuhkan motivasi si anak dan mendorong
anak untuk berperilaku baik.
3
Mengenai punishment atau hukuman ini ternyata pada zaman dahulu
sekitar tahun 1908 di Negara Singapura ada sebuah madrasah yang bernama
Madrasah Al-Iqbal Al-Islamiyah mencantumkan punishment dalam kurikulum
pendidikanya. Madrasah tersebut memberikan hukuman bagi siswa yang
melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Hukuman yang diberikan
diantaranya, dicerca oleh seorang teman, dicerca oleh teman sekelas di depan
kelas, dikurung selama setengah hari, dan dibebani dengan tugas yang
menggunakan akal, ditahan selama satu hari, serta dibebani tugas yang
menggunakan akal, diberi makan dengan roti dan air saja, dikeluarkan dari
sekolah bila berbuat salah berulang kali. (Saerozi, 2013: 150)
Apabila dicermati, hukuman yang diberikan tidak nampak ada
kekerasan didalamnya. Berbeda dengan yang terjadi akhir-akhir ini, banyak
sekali berita di media cetak maupun elektronik yang memuat kabar kekerasan
terhadap siswa yang dilakukan oleh oknum guru atau orangtua yang
melakukan kekerasan kepada anaknya dalam mendidik. Seringkali, oknum
guru ataupun orangtua kurang memperhatikan dampak psikologis ataupun
psikis dari pemberian hukuman ini. Sehingga terkadang menimbulkan perilaku
anak yang malah lebih menyimpang sebelum kejadian itu.
Sebagai contoh, pada bulan Februari tahun 2015 seorang guru
berinisial W di SMP Negeri 1 Palasah Kabupaten Majalengka yang
memeberikan hukuman kepada murid-muridnya karena tidak mengerjakan PR
yang diberikan sebelumnya. Hukumanya adalah mengelilingi lapangan basket
sebanyak 10 putaran untuk puteri. Naas bagi Lintang, seorang siswi yang ikut
4
mendapatkan hukuman tersebut. Di putaran kedua, gadis berusia 13 tahun
tersebut terkapar dan akhirnya meninggal dunia di puskesmas terdekat.
(http://m.kompasiana.com/sahrona.lumbanraja)
Kasus di atas tentunya menjadi perhatian yang lebih khususnya bagi
pendidik dan umumnya bagi para orangtua agar tidak melakukan hal-hal yang
dapat membahayakan diri anak. Menghukum seorang anak yang melakukan
sebuah kesalahan memang bentuk atau cara mendidik tanggungjawab anak,
namun yang perlu diperhatikan adalah hukuman tersebut tidak boleh
mengakibatkan dampak yang negatif bagi anak itu sendiri. Berawal dari latar
belakang di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut melalui skripsi
yang berjudul “Reward dan Punishment dalam Persepektif Pendidikan Islam”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penulisan skrisi ini
dapat kami rumuskan rumusan masalah sebagi berikut :
1. Bagaimana reward dan punishment dalam perspektif pendidikan Islam?
2. Bagaimana relevansi reward dan punishment dalam pendidikan saat ini?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan yang dapat
diambil oleh penulis sesuai dengan rumusan masalah diatas, diantaranya :
1. Untuk mengetahui bagaimana reward dan punishment dalam perspektif
pendidikan Islam.
2. Untuk mengetahui relevansi penggunaan reward dan punishment dalam
pendidikan saat ini.
5
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan mempunyai kegunaan sebagi
berikut:
1. Manfaat teoritik
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran serta tambahan wawasan pengetahuan dalam pendidikan Islam
terkait dengan reward dan punishment.
2. Manfaat Praktik
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi inovasi kepada
guru ataupun orangtua dalam memberikan reward dan punishment kepada
anak dan juga agar para orangtua ataupun guru dapat lebih berhati-hati
dalam memberikan reward dan punishment sehingga tidak menimbulkan
efek negatif terhadap perkembangan anak.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini termasuk jenis penelitian kepustakaan
atau disebut library research. Yaitu penelitian yang dilakukan di
perpustakaan yang objek penelitianya dicari melalui beragam informasi
dari sumber-sumber seperti buku, koran, majalah dan lain sebagainya.
Dimana data-data yang penulis ambil merupakan data yang bersumber dari
buku-buku ilmiah yang masih berhubungan dengan tema skripsi yang
penulis kerjakan.
6
2. Sumber data
Sumber-sumber yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah berbagi tulisan yang temanya sama dengan judul yang penulis
angkat. Adapun sumber data yang digunakan penulis adalah sebagai
berikut:
a. Sumber data primer
Yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan objek
penelitian skripsi ini. Diantara buku-buku itu adalah sebagai berikut :
1) Buku “Agar Hadiah dan Hukuman Efektif” , penulis Irawati Istadi.
2) Buku “Mempertimbangkan Hukuman pada Anak”, penulis Tim
Pustaka Familia.
3) Buku “Pendidikan Islam Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh” ,
penulis Heri Gunawan.
4) Dan buku-buku lain yang menunjang penulisan skripsi ini dan
berkenaan langsung dengan judul.
b. Sumber data sekunder
Yaitu suber data yang mengandung dan melengkapi sumber-
sumber data primer. Buku-bukunya diantara lain :
1) Buku “Ilmu Pendidikan Islam“ , penulis Zakiah Daradjat dkk.
2) Buku “Pembaruan Pendidikan Islam“ , penulis Muh Saerozi.
3) Buku “Manajemen Pengajaran secara Manusiawi” , penulis
Suharsimi Arikunto.
7
4) Buku “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, penulis Mohd.
Athiyah Al-Abrasyi.
5) Dan buku-buku lain yang menunjang penulisan skripsi ini.
6) Serta buku-buku ilmiah lain yang mendukung dalam penulisan
skrisi ini.
c. Metode Analisis Data
Dari data yang diperoleh penulis, maka untuk menganalisis
dipakai metode analisis isi (content analysis). Yaitu menganalisis
semua data yang telah didapatkan sehingga nantinya akan
mendapatkan data yang akurat untuk ditulis dan dapat dikombinasikan
sesuai dengan materi data yang dibutuhkan.
F. Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran dan pengertian
dalam memahami judul diatas, serta untuk membatasi ruang lingkup
pembahasan dalam penelitian ini, maka perlu adanya penjelasan dalam
beberapa pengertian yang terkait dalam judul skripsi ini yaitu :
1. Reward
Reward dalam kamus bahasa Inggris artinya adalah ganjaran,
hadiah (Echols, Shadily, 2010 : 485) . Hadiah adalah sesuatu yang
menyenangkan yang diberikan setelah seseorang melakukan tingkah
laku yang diinginkan (Arikunto, 1980 : 182).
Hadiah dapat juga dikatakan sebagai salah satu motivasi.
Mungkin dengan diberikannya hadiah, anak tersebut akan semakin giat
8
untuk meningkatkan belajarnya ataupun kedisiplinannya. Tujuan
pemberian hadiah hanyalah untuk pembiasaan semata, ketika
pembiasaan telah dicapai maka pemberian hadiah pun harus dikurangi
(Istadi, 2005: 34).
2. Punishment
Dalam bahasa Inggris punishment artinya adalah hukuman atau
siksaan (Echols, Shadily, 2010:456). Hukuman adalah sanksi fisik
maupun psikis atas kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan anak.
Hukuman mengajarkan anak tentang apa yang tidak boleh dilakukan,
bukan apa yang harus dilakukan di masa berikutnya (Tim Pustaka
Familia, 2007: 99).
2. Perspektif
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kontemporer, perspektif
diartikan dengan sudut pandang atau pandangan (Depdikbud,
1995:1060).
4. Pendidikan Islam
Menurut bahasa seperti yang dikemukakan Zakiah Daradjat
(2011:25-28) kata pendidikan yang umum digunakan sekarang, dalam
bahasa Arabnya adalah tarbiyah, dengan kata kerja rabba. Kata
pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah ta‟lim dengan kata kerjanya
allama. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya tarbiyah wa
ta‟lim sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya adalah
tarbiyah Islamiya”.
9
Pengertian pendidikan seperti yang lazim dipahami pada zaman
sekarang belum terdapat di zaman Nabi.Tetapi usaha dan kegiatan yang
dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan agama dengan
berdakwah,menyampaikan ajaran, memberi contoh dll itu berarti Nabi
telah mendidik. Apa yang beliau lakukan dalam membentuk manusia,
kita rumuskan sekarang dengan pendidikan Islam. Jadi dapat
disimpulkan bahwa Pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian
muslim.
Adapun pengertian pendidikan Islam menurut sumber yang lain
adalah suatu proses yang edukatif yang mengarah kepada pembentukan
akhlak atau kepribadian secara utuh dan menyeluruh, menyangkut
aspek jasmani dan rohani. Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan Islam merupakan usaha sadar dan terencana untuk
membentuk peserta didik agar memiliki keseimbangan jasmani dan
rohani, serta memiliki iman, ilmu, dan amal sekaligus (Gunawan,
2014:9-10 )
G Sistematika Penulisan Skripsi
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab I ini, Pendahuluan adalah bab pertama dari skripsi yang
mengantarkan pembaca untuk dapat menjawab pertanyaan apa yang
diteliti, untuk apa dan mengapa penelitian itu dilakukan.oleh karena itu,
bab pendahuluan ini berisi : (1) latar belakang masalah, (2) rumusan
10
masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat Penelitian, (5) metodologi
penelitian, (6) penegasan Istilah.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai pengertian reward dan
punishment, tujuan reward dan punishment., macam-macam reward dan
punishment, teori-teori reward dan punishment, prinsip-prinsip reward
dan punishment. Pengertian pendidikan Islam, dasar pendidikan Islam.
Tujuan pendidikan Islam.
BAB III JANJI DAN ANCAMAN DALAM AJARAN ISLAM
Dalam bab ini nantinya akan berisi tentang : Konsep janji dan
ancaman Allah (al-wa‟d wa al-wa‟id), bentuk-bentuk janji dan ancaman
Allah yang ada di dunia dan di akhirat. Bentuk-bentuk hukuman dalam
ajaran Islam serta konsep targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam.
BAB IV REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM
Dalam bab ini nantinya akan berisi tentang : reward dan
punishment dalam pendidikan Islam serta penerapanya dalam
pembelajaran. Pendapat para tokoh Pendidikan Islam mengenai reward
dan punishment. Dan yang terakhir berisi tentang relevansi penggunaan
reward dan punishment dalam pendidikan saat ini.
BAB V PENUTUP
11
Dalam bab ini berisi kesimpulan dari skripsi ini, juga berisi saran
dari penulis kepada semua orang mengenai reward dan punishment, dan
juga berisi kata-kata penutup untuk mengakhiri penulisan skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Reward dan Punishment
1. Pengertian Reward dan Punishment
Reward dalam kamus bahasa Inggris mempunyai arti ganjaran,
hadiah (Echols, Shadily, 2010 : 485). Menurut Suharsimi Arikunto, hadiah
adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain karena sudah bertingkah
laku sesuai dengan yang dikehendaki yakni peraturan sekolah dan tata
tertib yang telah ditentukan (Arikunto, 1980: 182). Dalam bahasa arab,
hadiah berasal dari kata ىدية ج ىدايا yang berarti hadiah atau pemberian
(Yunus, 2010: 480).
Ketika membahas teori-teori pembelajaran dikenal efek yang
dirasakan oleh seseorang sebagai sesuatu yang menyenangkan, maka efek
tersebut dikenal sebagai reward atau hadiah (Sriyanti, dkk, 2009:72).
Sementara itu, Abdurrahman Mas‟ud mendefinisikan reward adalah suatu
pemberian penghargaan dalam arti luas dan fleksibel karena prestasi
seseorang (Mas‟ud, 2002: 172). Dengan begitu maka dapat disimpulkan
bahwa reward adalah pemberian ganjaran atau hadiah kepada seseorang
atas prestasinya yang sifatnya menyenangkan.
Punishment dalam bahasa Inggris artinya adalah hukuman atau
siksaan (Echols, Shadily, 2010:456). Dalam bahasa arab hukuman berasal
13
dari kata ج عقبة ابق ع yang berarti siksa (Yunus, 2010: 274). Hukuman
adalah sanksi fisik maupun psikis atas kesalahan atau pelanggaran yang
dilakukan anak. Hukuman mengajarkan anak tentang apa yang tidak boleh
dilakukan, bukan apa yang harus dilakukan di masa berikutnya (Susana
dkk, 2007: 99). Hukuman diberikan ketika seseorang telah melakukan
kesalahan ataupun melanggar peraturan yang telah ditetapkan.
Punishment banyak digunakan oleh orangtua ataupun guru ketika
mendidik anak. Orangtua terkadang memberi hukuman seperti,
mengurangi uang saku, memukul anak dan hukuman-hukuman lainya
yang membuat anak merasa kesakitan baik fisik maupun psikis. Hal ini
sejalan dengan pendapat Ngalim Purwanto, bahwa hukuman adalah
penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh
seseorang (orangtua, guru dan sebagainya) sesudah terjadi suatu
pelanggaran, kejahatan atau kesalahan (Purwanto, 2007: 186). Ketika anak
menerima hukuman tersebut, anak akan merasa bahwa dia menyesal
ataupun menderita. Harapanya adalah anak menjadi menurut kepada
orangtuanya.
Punishment dalam istilah psikologi, terjadi tatkala muncul situasi
deprivation (kehilangan) atau pengalaman tidak enak yang ditimbulkan
oleh satu kelompok atau individu secara sengaja dengan merugikan
kelompok lain yang disebabkan oleh misdeed, pelanggaran atau kejahatan
oleh kelompok pertama (Mas‟ud, 2002: 171). Pada intinya punishment
14
merupakan salah satu metode dalam pendidikan yang dapat digunakan
sebagai salah satu alat dalam mendidik tanggung jawab anak. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa punishment adalah sanksi fisik maupun psikis
kepada seseorang, yang mengakibatkan penderitaan sehingga
memunculkan pengalaman yang tidak mengenakkan.
Hukuman dalam pendidikan menurut Ahmad tafsir memiliki
pengertian yang luas, mulai dari hukuman ringan sampai pada hukuman
berat, sejak kerlingan yang menyengat sampai pukulan yang agak
menyakitkan. Sebenarnya, tidak ada ahli pendidikan yang menghendaki
digunakanya hukuman dalam pendidikan kecuali bila terpaksa. Hadiah
atau pujian jauh lebih dipentingkan ketimbang hukuman (Tafsir, 2008:
186)
Ketika menggunakan metode reward perlu dipahami beberapa
strategi agar pemberian reward bisa efektif dan tepat sasaran. Asmaun
Sahlan (2010:60) menjelaskan beberapa strategi dalam memberikan
reward diantaranya yaitu :
a. Menetapkan prosedur pemberian hadiah.
b. Mencari tahu hadiah apa yang menarik.
c. Sesuaikan dengan standar perilaku yang telah dicapai.
d. Mendistribusikan hadiah dengan adil.
e. Berilah hadiah pada waktu yang tepat.
15
Sementara itu penggunaan punishment juga harus dilakukan
dengan hati-hati dan mempertimbangkan beberapa hal. Hal-hal yang harus
diperhatikan ketika memberikan hukuman menurut Ahmad Tafsir sebagai
berikut :
1) Hukuman itu harus adil sesuai dengan kesalahan.
2) Berikan hukuman yang mendidik, tidak menyakiti badan dan jiwa.
3) Anak harus mengetahui mengapa ia dihukum.
4) Hukuman itu harus membawa anak kepada kesadaran akan
kesalahanya.
5) Hukuman jangan sampai meninggalkan dendam pada anak. (Tafsir,
2008: 186)
2. Tujuan Reward dan Punishment
Reward dan punishment tidak dilakukan sembarangan. Perlu
diketahui bahwa Reward dan punishment memiliki tujuan yang ingin
dicapai dengan digunakanya metode ini. Reward adalah pemberian hadiah
ataupun ganjaran yang diberikan kepada anak atau siswa karena telah
melakukan sesuatu yang baik. Pada dasarnya, tujuan pemberian hadiah
hanyalah untuk pembiasaan semata, ketika pembiasaan telah dicapai maka
pemberian hadiah pun harus dikurangi (Istadi, 2005: 34).
Menurut Idris dan Marno (2008:133) ada beberapa tujuan
pemberian reward diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan perhatian siswa dalam proses belajar mengajar.
b. Membangkitkan, memelihara dan meningkatkan motivasi belajar siswa.
16
c. Mengarahkan perkembangan berfikir siswa ke arah berfikir divergen.
d. Mengendalikan serta memodifikasi tingkah laku siswa yang kurang
positif serta mendorong munculnya tingkah laku yang produktif.
Sedangkan tujuan pemberian hukuman adalah seperti yang
dikemukakan oleh Ngalim Purwanto (2007:189) , tujuan orang memberi
hukuman itu bermacam-macam. Hal ini sangat bertalian erat dengan
pendapat orang tentang teori-teori hukuman sebagai berikut :
1) Teori pembalasan. Teori inilah yang tertua. Menurut teori ini, hukuman
diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap kelainan dan
pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. Tentu saja teori ini tidak
boleh dipakai dalam pendidikan di sekolah.
2) Teori perbaikan. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk
membasmi kejahatan. Jadi, tujuan hukuman itu ialah memperbaiki si
pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi.
3) Teori perlindungan. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar.
Dengan adanya hukuman ini, masyarakat dapat dilindungi dari
kejahatan-kejahatanyang telah dilakukan oleh si pelanggar.
4) Teori ganti kerugian. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk
mengganti kerugian-kerugian (boete) yag telah diderita akibat dari
kejahatan atau pelanggaran itu. Dalam proses pendidikan, teori ini
masih belum cukup kuat, sebab dengan hukuman semacam itu anak
17
mungkin menjadi tidak merasa bersalah karena kesalahanya itu terbayar
denagn hukuman.
5) Teori menakut-nakuti. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk
menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat
perbuatanya yang melanggar itu sehingga ia akan selalau takut
melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkanya.
3. Macam-macam reward dan punishment
a. Macam-macam reward
Banyak orang beranggapan bahwa reward identik dengan
pemberian sesuatu yang berbentuk barang. Akan tetapi, sebenarnya
reward sangatlah banyak bentuk-bentuknya. Berikut macam-macam
reward yang dapat diberikan kepada anak :
1) Pujian
Pujian memiliki pengaruh yang besar pada seseorang
apabila pujian tersebut memperhatikan porsi yang proporsional.
Terlebih pujian kepada anak dan para pemuda, sebab mereka
membutuhkan penghargaan, penghormatan dan penerimaan sosial
(Al-Qahthani, 2013: 216)
2) Pemberian Hadiah
Suharsimi Arikunto membagi hadiah menjadi beberapa
bagian yaitu:
a) Peringkat dan simbol-simbol lain
18
Bentuk hadiah yang paling lazim digunakan adalah peringkat
huruf atau angka. Meskipun simbul-simbul lain seperti tanda
bintang, centang, tanda benar, dan lain-lain. Kadang-kadang
juga digunakan untuk siswa-siswi sekolah dasar dan
menengah. Pemberian peringkat dengan cara yang betul dan
adil akan merupakan hadiah yang paling tepat jika dikaitkan
langsung dengan usaha siswa, prestasi dan kemampuan
(Arikunto, 1993:160).
b) Penghargaan
Hadiah ini dapat berupa berbagai hal yang mempunyai arti
adanya “perhatian” kepada siswa. Misalnya saja siswa berhasil
membuat pekerjaan tangan atau hasil karya yang lain. Karena
hasil tersebut sangat menonjol dibandingkan dengan hasil
karya siswa lain, maka hasil tersebut dipamerkan di depan
kelas atau dipertontonkan kepada siswa-siswa lain (Arikunto,
1993:161) Dengan begitu maka siswa akan merasa bahwa
kerja keranya membuahkan hail yang baik dan dapat
dibanggakan. Dan untuk siswa lain, harapanya adalah mampu
termotivasi untuk meraih hasil yang lebih baik lagi.
c) Hadiah berupa kegiatan
Hadiah berupa kegiatan adalah bahwa jika guru memberikan
kegiatan kepada siswa sebagai hadiah, ia harus memberikan
petunjuk secara jelas dan rinci bagaimana siswa telah diberi
19
“sesuatu yang istimewa” sebagai ganjaran atas keistimewaan
yang telah dilakukan. Sebelum melakukan kegiatan yang
dihadiahkan kepadanya, siswa harus tahu betul apa yang harus
diperbuat sehingga anak-anak lain dapat menghargai apa yang
diperbuat sehingga anak-anak lain dapat menghargai apa yang
diperoleh temanya sebagai keistimewaan (Arikunto,
1993:164).
d) Hadiah berupa benda
Dalam memberikan hadiah yang berupa benda ini, guru
dituntut pertimbangan yang lebih cermat dibandingkan dengan
pemberian hadiah dalam bentuk-bentuk lain. Hadiah tersebut
antara lain berupa: makanan, uang, alat-alat tulis, buku-buku
dan lain sebagainya (Arikunto, 1993:164).
Reward sangat bermacam-macam bentuknya seperti yang telah
dijelaskan di atas. Namun menurut Irawati Istadi, alternatif bentuk
hadiah yang terbaik ternyata bukan berupa materi, tetapi berupa
perhatian baik verbal maupun fisik. Perhatian verbal bisa berupa
komentar-komentar pujian seperti, Subhanallah, Alhamdulillah, dll.
Sementara hadiah perhatian fisik berupa pelukan, elusan di kepala,
acungan jempol atau sekadar terangkatnya alis mata karena ekspresi
kagum (Istadi, 2005: 39). Pemberian reward yang berbentuk barang
tidak mungkin dilakukan terus menerus, karena akan menimbulkan
20
kebiasaan bagi anak maupun siswa untuk mengharapkan hadiah.
Perhatian dan menghargai anak akan jauh lebih baik akibatnya.
b. Macam-macam punishment
Punishment atau hukuman sangat banyak bentuk-bentuknya.
Orangtua ataupun pendidik seringkali menggunakan hukuman
dengan alasan memperbaiki anak, tidak jarang mereka
menggunakan cara yang sedikit keras. Namun, Suharsimi Arikunto
memberikan beberapa bentuk hukuman yang bisa digunakan
pendidik dalam menghukum anak. Dan berikut diantaranya:
1) Penurunan Skor atau Penurunan Peringkat
Hukuman jenis ini merupakan hukuman yang paling banyak
diterapkan di sekolah. Terutama ketika diterapkan ketika siswa
terlambat datang, tidak ataupun terlambat mengumpulkan
tugas. (Arikunto, 1993: 174)
2) Pengurangan Hak
Hukuman jenis ini merupakan hukuman yang paling efektif
karena dapat digunakan sesuai selera siswa. Dengan demikian,
guru dituntut mengamati dengan teliti supaya dapat dengan
tepat memilihkan pengurangan hak yang tepat bagi setiap siswa
(Arikunto, 1993: 174).
3) Hukuman Berupa denda
Jenis hukuman yang berupa denda ini di Indonesia merupakan
sesuatu yang masih kurang atau tidak lazim. Yang dimaksud
21
dengan “denda” dalam hal ini memnag tidak berupa uang,
tetapi lebih banyak mempunyai makna “pembayaran” dalam
bentuk pada umumnya berupa pengulangan pekerjaan
(Arikunto, 1993: 175).
4) Pemberian Celaan
Pemberian hukuman ini biasanya digabungkan dengan
hukuman lainya. Siswa yang melanggar peraturan penting yang
diperuntukan bagi siswa akan mendapat celaan. Hukuman ini
guru menuliskan kesalahan siswa dalam buku catatan khusus.
Umumnya pemberian hukuman ini hanya untuk siswa yang
melanggar peraturan beberapa kali (Arikunto, 1993: 175).
5) Penahanan Sesudah Sekolah
Hukuman ini hanya dapat diberikan apabila siswa disuruh
tinggal di sekolah setelah jam usai dan ditemani oleh guru.
Hukuman jenis ini biasanya diberikan kepada siswa yang
terlambat datang, absen yang tidak dimaafkan atau melanggar
peraturan sekolah yang dianggap penting atau tata tertib kelas
(Arikunto, 1993: 175).
6) Penyekoresan
Hukuman jenis ini merupakan hukuman yang “berat”, terutama
karena menyangkut aspek administratif siswa. Penyekoresan
merupakan pencabutan hak sebagai siswa untuk sementara
kepada siswa sehingga ia tidak mempunyai hak dan kewajiban
22
sebagaimana siswa lain. Penyekoresan ini sifatnya berat, oleh
karena itu hukuman ini hanya dilakukan apabila memang ada
kesalahan yang sifatnya berat (Arikunto, 1993: 176)
7) Referal
Istilah “referal” ini terkenal dalam bidang bimbingan dan
penyuluhan. Apabila pembimbing tidak mampu, atau merasa
bahwa ia memerlukan bantuan dari pihak lain untuk menangani
klienya, maka pembimbing tersebut dapat “mengirim” klien
yang sedang ditangani orang lain, misalnya dokter, polisi dan
sebagainya (Arikunto, 1993: 176).
Meskipun hukuman bisa saja kehilangan efektifitasnya,
pengalaman dalam penelitian dan dalam pengajaran sama-sama
menyatakan bahwa terkadang bisa saja membantu mengelola beberapa
perilaku bermasalah tertentu. Untuk meminimalisasikan pengaruh negatif
dari hukuman, para guru harus mengikuti beberapa panduan seperti yang
dikemukakan oleh Kelvin Seifert (2010: 256-257) berikut :
a) Gunakan hukuman dengan hemat. Hukuman akan mengalami
peningkatan efektifitas ketika ia mengalami peningkatan frekuensi,
dan dalam berbagai kasus, tidak selalu bersifat etis.
b) Jelaskan alasan mengapa anda memberikan hukuman. Tanpa sebuah
alasan yang rasional, para siswa sangat mungkin akan mengarah pada
kesimpulan yang salah tentang situasi yang mereka alami. Sebagai
23
contoh, mereka bisa jadi menyimpulkan bahwa mereka, dan bukan
perilaku mereka yang buruk.
c) Persiapkan sebuah cara alternatif dalam meraih penguat motivasi
yang positif. Mengingat penguat motivasi positif memiliki pengaruh
negatif yang lebih sedikit, para siswa harus selalu mendapatkan
kesempatan untuk menerima penguat motivasi yang demikian.
d) Jika memungkinkan, anjurkan perilaku yang berkebalikan dari
perilaku buruk yang dilakukan para siswa. Misalnya, jika seorang
anak berlari kesana dalam ruang kelas, temukan sebuah alternatif
konstruktif yang lebih berprluang menghalangi perilaku tersebut
(seperti, membaca dengan tenang), ketimbang perilaku yang mungkin
bisa berkombinasi dengan perilaku buruk sebelumnya.
e) Jika memungkinkan, hindari hukuman fisik. Mengingat para guru
hanya memberikan hukuman dengan hemat (poin a diatas), maka
beberapa bentuk hukuman seharusnya tidak perlu digunakan.
Termasuk hukuman secara fisik.
f) Berikan hukuman pada saat sebuah perilaku buruk dimulai dan bukan
pada saat perilaku tersebut selasai. Secara umum, penelitian terhadap
anak-anak menunjukkan fakta bahwa hukuman akan bekerja lebih
efektif pada saat perilaku tersebut sudah dimulai.
Hukuman pada dasarnya bertindak sebagai pencegah perilaku yang
kurang baik dari anak ataupun kesalahan yang dilakukan oleh anak.
Namun tidak jarang hukuman juga dapat menimbulkan efek negatif atau
24
akibat yang kurang baik dari hukuman tersebut. Menurut Ngalim
Purwanto (2007: 189) ada beberapa efek yang diakibatkan oleh hukuman,
dan berikut diantaranya :
a. Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum.ini adalah akibat dari
hukuman yang sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab. Akibat
semacam inilah yang harus dihindari oleh pendidik.
b. Menyebabkan anak menjadi lebih pandai menyembunyikan
pelanggaran. Ini pun akibat yang tidak baik, bukan yang diharapkanoleh
pendidik.
c. Memperbaiki tingkah laku si pelanggar. Misalnya yang suka bercakap-
cakap di dalam kelas, karena mendapat hukuman, mungkin pada
akhirnya berubah juga kelakuanya.
d. Mengakibatkan si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah. Oleh
karena kesalahanya dianggap telah dibayar dengan hukuman yang telah
dideritanya.
e. Memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan.
Biasanya ini adalah akibat dari hukuman normatif. Sering hukuman
yang demikian tidak memperlihatkan akibat yang nyata kelihatan.
4. Teori-teori Reward dan Punishment
a. Teori koneksionisme
Teori ini adalah pembentukan atau penguatan hubungan antara
stimulus dan respons. Hubungan stimulus dan respons ini mempunyai
beberapa hukum sebagai berikut:
25
a) Law of readness
1) Bila sudah ada “kecenderungan bertindak” lalu bertindak akan
membawa kepuasan, dan tidak akan ada tindakan-tindakan lain
untuk mengubah kondisi itu.
2) Bila sudah ada “kecenderungan bertindak” tetapi tidak bertindak
akan menimbulkan ketidakpuasan. Hal ini akan menimbulkan
response-response lain untuk mengurangi atau meniadakan
ketidakpuasan.
3) Apabila belum ada “kecenderungan bertindak” dipaksa
bertindak maka akan menimbulkan ketidakpuasan untuk
menghilangkan atau mengurangi ketidakpuasan tersebut akan
muncul tindakan-tindakan lain.
b) Law of exercise atau Law of use Law of disuse
Hubungan antara S dan R akan bertambah kuat atau erat
bila sering digunakan (use) atau sering dilatih (exercise) dan akan
berkurang, bahkan lenyap sama sekali jika jarang digunakan atau
tidak pernah sama sekali. Tetapi perlu diingat ulangan yang akan
membawa hasil adalah ulangan yang disertai reward atau
punishment.
c) Law of effect
Hubungan S dan R akan bertambah kuat, bila hubungan
tersebut akan diikuti oleh keadaan yang memuaskan dan
26
sebaliknya. Oleh karenanya sebaiknya hadiah lebih diutamakan
daripada hukuman.
b. Teori Operant Conditioning
Teori ini dirintis oleh seorang tokoh terkenal yang bernama
Skinner. Ia membuat rincian lebih dalam tentang Stimulus dan Respon.
a) Respondent response/ refleksive response.
Response jenis pertama ini ditimbulkan oleh perangsang-
perangsang tertentu, perangsang-perangsang tersebut pada
umumnya mendahului response. Sedangkan response-response
timbul secara relatif tetap, misalnya makanan yang menimbulkan
air liur.
b) Operant responsive/ instrumental response.
Response jenis kedua ini timbul dan berkembang diikuti
oleh perangsang-perangsang tertentu, perangsang-perangsang
umumnya lebih kemudian atau setelah timbulnya response, ia
bersifat memperkuat. Misalnya, anak melakukan perbuatan belajar
menyanyi setelah selesai lalu diberi hadiah, maka saat-saat
berikutnya ia akan lebih giat menyanyi.
c. Teori Medan
Tokoh teori ini semula adalah penganut aliran psikologi
Gestalt Mazhab Berlin, kemudian menempuh jalur lain terutama
penelitianya tentang motivasi. Tokoh yang nama aslinya Kurt Lewin
ini lahir di Jerman dan menghabiskan hidupnya di Amerika.
27
Beberapa hasil penelitianya adalah meliputi hasil belajar
hukuman dan hadiah, berhasil dan gagal, energi cadangan. Menurut
teori ini, situasi yang mengandung hukuman dapat diilustrasikan
sebagai berikut : Individu dimasukkan dalam lingkaran kanan ditutup
dengan tugas, kiri ditutup dengan ancaman hukuman, atas bawah
ditutup dengan barier (pengawasan). Dalam keadaan seperti ini
individu harus memilih alternatif yang sma-sama tidak disenangi.
Sedangkan situasi yang mengandung hadiah adalah individu lebih
masuk dalam medan terbukasatu sisi, sebelah kanan ada tugas sebagai
pra syarat untuk mencapai hadiah sehingga tidak ada tegangan
(Mustaqim, 2001: 59-60)
Banyak diantara para ahli psikologi diantaranya Good dan Brophy
yang tertarik untuk mempelajari dan mengadakan penelitian mengenai hal-
hal yang berhubungan dengan hukuman. dari penelitian-penelitian tersebut
dilahirkan berbagai teori tentang hukuman sebagai berikut:
a. Teori Kerenggangan
Teori ini mengatakan bahwa dengan diberikanya hukuman
kepada subjek yang melakukan kesalahan tindakan akan menyebabkan
hubungan rangsang-reaksi (S.R bond) antara tindakan salah dengan
hukuman menjadi renggang. Demikian juga individu tersebut akan
menjadi renggang dengan tindakan menyimpang itu (Arikunto, 1993:
168).
b. Teori penurunan
28
Teori ini mengatakan bahwa dengan diberikanya hukuman
kepada subjek yang melakukan kesalahan tindakan, subjek tersebut
akan mengurangi atau menurunkan frekuensi tindakan negatif tersebut
(Arikunto, 1993: 169).
c. Teori penjeraan
Teori ini mengatakan bahwa jika subjek mendapat hukuman,
maka subjek tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang menyebabkan
timbulnya hukuman semula (Arikunto, 1993: 170).
d. Teori sistem motivasi
Teori ini mengatakan bahwa jika individu mendapat hukuman
maka akan terjadi perubahan dalam sistem motivasi dalam diri individu.
Perubahan yang terjadi dalam sistem motivasi tersebut mengakibatkan
penurunan pada individu untuk mengurangi atau menurunkan frekuensi
perilaku yang berhubungan dengan timbulnya hukuman yang
bersangkutan (Arikunto, 1993: 170).
e. Teori hukuman alam
Teori ini dikenal juga dengan hukuman model Rousseau karena
diteorikan oleh Rousseau. Rousseau adalah seorang ahli pendidikan
sebelum abad pertengahan. Dia berpendapat bahwa apabila anak
melakukan kesalahan tingkah laku, pendidik tidak perlu memberikan
hukuman, karena alam sendirilah yang akan menghukumnya (Arikunto,
1993: 171).
29
5. Prinsip-prinsip Reward dan Punishment
a. Prinsip-prinsip Pemberian Reward
1) Penilaian didasarkan pada perilaku bukanya pelaku
Bagi yang belum terbiasa, tentunya masih sulit untuk
membedakan antara pelaku dengan perilaku. Perbedaanya adalah.
Perilaku bisa baik dan dan bisa salah, tetapi pelaku senantiasa tetap
baik. (Istadi, 2005: 29)
2) Hadiah harus ada batasanya.
Pemberian hadiah tidak bisa menjadi metode yang
dipergunakan selamanya. Proses ini cukup difungsikan hingga
tahapan menumbuhkan kebiasaan saja. Hal terpenting yang harus
dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin kepada
anak tentang pembatasan ini. Sampaikan dalam berbagai
kesempatan, bahwa tujuan pemberian hadiah hanyalah untuk
menumbuhkan pembiasaan semata. Pengertian ini harus disampaikan
seawal mungkin, untuk menghindari tumbuhnya harapan anak yang
terlalu besar terhadap perolehan hadiah ini. (Istadi, 2005: 33)
3) Distandarkan pada proses bukan hasil
Begitu banyak orang lupa, bahwa proses jauh lebih penting
daripada hasil. Proses pembelajaran, yaitu usaha yang dilakukan
anak, adalah merupakan lahan perjuangan yang sebenernya.
Sedangkan hasil yang akan diperoleh nantinya tidak bisa dijadikan
patokan keberhasilanya, karena ada banyak faktor lain yang
30
mempengaruhi selain dari pengaruh proses atau usaha anak saja.
Jadi, ketika memberikan hadiah harus memperhatikan proses anak
dalam mendapatkan hasil tersebut. (Istadi, 2005: 45)
4) Dimusyawarahkan kesepakatanya
Jangan takut untuk bermusyawarah dengan anak, karena
sesungguhnya anak memiliki kemampuan berdialog yang baik.
Tetapi yang lebih penting dari semua itu, jika pendidik berhasil
melibatkan anak dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan
diri mereka, maka mereka akan lebih termotivasi untuk
melakukanya, dan lebih mudah menjaga serta mematuhinya. (Istadi,
2005: 47)
b. Prinsip-prinsip Pemberian Punishment
1) Menjaga kesetimbangan antara hukuman dan hadiah
Orang tua atupun pendidik terkadang hanya terfokus untuk
memperbaiki perilaku anak yang salah dengan cara memberikan
hukuman. Sebaliknya perbuatan baik anak dibiarkan saja, tidak
diperhatikan, tidak diberikan perhatian positif maupun hadiah,
pujian ataupun yang lainya. Hal inilah yang harus jadi bahan
pertimbangan dan diperhatikan. Bahwasanya, hadiah dan hukuman
haruslah seimbang penggunaanya dan disesuaikan penggunaanya.
(Istadi, 2005: 67)
2) Menghukum tanpa emosi
31
Kesalahan yang paling sering dilakukan orangtua dan
pendidik adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan
emosi kemarahan, atau bahkan emosi kemarahan itulah yang
menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk menghukum. Dalam
kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang
menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan
kesalahan, menjadi tidak lagi efektif. (Istadi, 2005: 81)
3) Menyepakati hukuman
Sama seperti metode pemberian hadiah yang harus
dimusyawarahkan dan didialogkan terlebih dahulu, maka begitu pula
yang harus dilakukan sebelum memberikan hukuman. Inisiatif
orangtua dan pendidik utuk mendialogkan hal ini demi memperoleh
kesepakatan, merupakan tindakan yang menghargai anak sebagai
seorang pribadi. Ketika telah ada kesepakan sebelumnya dengan
anak, maka harapanya adalah sang anak sadar akan konsekuensi
yang harus diterima apabila melakukan kesalahan sesuai dengan
kesepakatan. (Istadi, 2005: 86)
B. Pendidikan Islam
1. Definisi Pendidikan Islam
Banyak sekali para pakar pendidikan yang mendefinisikan
pendidikan Islam. Dari begitu banyak pendapat para pakar tersebut,
maka berikut penjelasan dari pengertian pendidikan Islam tersebut.
Definisi yang pertama, pendidikan Islam merupakan usaha sadar dan
32
terencana untuk membentuk peserta didik agar memiliki keseimbangan
jasmani dan rohani, serta memiliki iman, ilmu, dan amal sekaligus
(Gunawan, 2014:9-10 )
Muhammad Hamid an-Nashir dan Qulah Abd al-Qadir Darwis
mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses pengarahan
perkembangan manusia (ri‟ayah) pada sisi jasmani, akal, bahasa,
tingkahlaku, dan kehidupan sosial keagamaan yang diarahkan pada
kebaikan menuju kesempurnaan. ( Roqib, 2009: 17)
Definisi pendidikan Islam menurut Ahmad Tafsir dalam
bukunya Ilmu Pendidikan da lam Perspektif Islam adalah bimbingan
yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang
secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam,. Bila disingkat,
pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar ia
menjadi muslim semaksimal mungkin (Tafsir, 2008: 32).
Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah usaha
yang dilakukan oleh seseorang (guru) untuk mengarahkan anak dalam
hal jasmani dan rohani serta tingkah lakunya sehingga dapat menjadi
seorang muslim yang terdidik dengan baik.
2. Dasar Pendidikan Islam
a. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an ialah firman Allah berupa wahyu yang
disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di
dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan
33
untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran
yang terkandung dalam Al-Qur‟an itu sendiri dari dua prinsip
besar, yaitu berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut
Aqidah. Dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari‟ah
(Departemen Agama RI, 1984: 19)
b. As-Sunnah
As-Sunnah ialah perkataan,perbuatan ataupun pengakuan
Rasul Allah SWT. Yang dimaksud dengan pengakuan itu ialah
kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui Rasulullah dan
beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan.
Sunnah merupakan sumber ajaran ke dua sesudah Al-Qur‟an,
Sunnah juga berisi aqidah dan syari‟ah. Sunnah berisi petunjuk
(pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala
aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau
muslim yang bertaqwa (Departemen Agama RI, 1984: 20).
c. Ijtihad
Ijtihad ialah berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu
yang dimiliki oleh ilmuan syari‟at Islam untuk menetapkan atau
menentukan hukum Syari‟at Islam dalam hal-hal yang ternyata
belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur‟an dan As-sunnah.
Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan
termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-
Qur‟an dan As-sunnah (Daradjat, 2011:21)
34
3. Tujuan Pendidikan Islam
Berbicara mengenai pendidikan Islam maka yang perlu
diketahui juga adalah tujuan pendidikan Islam tersebut. Seperti halnya
lembaga-lembaga lain, maka pendidikan Islam juga memiliki tujuan
tersendiri yang ingin dicapai. Berikut tujuan-tujuan tersebut menurut
para tokoh intelektual Islam :
a. Menurut Imam al-Ghazali tujuan pendidikan Islam dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat
mendekatkan diri kepada Allah Swt.
2) Membentuk insan purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup,
baik di dunia maupun akhirat (Arief, 2002: 22).
b. Menurut Zakiah Daradjat (2011:29) tujuan pendidikan Islam terdiri
dari tujuan umum,tujuan akhir, tujuan sementara, dan tujuan
profesional yaitu sebagai berikut :
1) Tujuan Umum
Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula
dengan tujuan pendidikan nasional negara tempat pendidikan
Islam itu dilaksanakan dan harus dikaitkan pula dengan tujuan
institusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan itu.
Tujuan umum itu tidak dapat dicapai kecuali melalui proses
pengajaran, pengalaman, pembiasaan, penghayatan dan
keyakinan akan kebenaranya.
35
2) Tujuan Akhir
Pendidikan Islam itu berlangsung selama hidup, maka
tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah
berakhir pula. Tujuan umum yang berbentuk insan kamil
dengan pola takwa dapat mengalami perubahan naik turun,
bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang.
Perasaan, pengalaman dan pengalaman dapat
mempengaruhinya. Karena itulah, pendidikan Islam berlaku
selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk,
mengembangkan, memelihara, mempertahankan tujuan
pendidikan yang ingin dicapai. Orang yang sudah takwa dalam
bentuk insan kamil, masih perlu mendapatkan pendidikan
dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurang-
kurangnya pemeliharaan supaya tidak luntur dan berkurang,
meskipun pendidikan oleh diri sendiri dan bukan dalam
pendidikan formal.
3) Tujuan Sementara
Pada tujuan sementara bentuk insan kamil dengan pola
takwa sudah kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana,
sekurang-kurangnya beberapa ciri pokok sudah kelihatan pada
diri pribadi anak didik. Tujuan pendidikan Islam seolah-olah
merupakan suatu lingkaran yang pada tingkat paling rendah
mungkin merupakan lingkaran kecil. Semakin tinggi tingkat
36
pendidikanya, lingkaran tersebut semakin besar. Tetapi sejak
dari tujuan pendidikan tingkat permulaan, bentuk lingkaranya
sudah harus kelihatan.
4) Tujuan Operasional
Tujuan operasioanal ini lebih banyak dituntut dari anak
didik suatu kemampuan dan keterampilan tertentu. Sifat
operasioanalnya lebih ditonjolkan dari sifat penghayatan dan
kepribadian. Untuk tingkat paling rendah, sifat yang berisi
kemampuan dan keterampilanlah yang ditonjolkan. Misalnya
dapat berbuat, terampil melakukan, lancar mengucapkan,
mengerti, memahami, meyakini dan menghayati adalah soal
kecil. Pada masa permulaan yang penting ialah anak didik
mampu dan terampil berbuat, baik perbuatan itu perbuatan
lidah (ucapan) ataupun perbuatan anggota badan lainya.
Kemampuan dan keterampilan yang dituntut pada anak didik,
merupakan sebagian kemampuan dan keterampilan insan kamil
yang semakin sempurna.
Berdasarkan pendapat-pendapat tokoh di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya adalah
membentuk manusia yang beriman kepada Allah SWT untuk memperoleh
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tujuan pendidikan Islam lainya
adalah agar anak didik mampu berperilaku baik selama hidupnya dengan
nilai-nilai keislamanya.
37
BAB III
JANJI DAN ANCAMAN DALAM AJARAN ISLAM
A. Janji dan Ancaman Allah
1. Konsep Janji dan Ancaman Allah
Agama Islam mengajarkan kepada manusia tentang berbagai hal,
mulai dari sikap manusia, ibadah, sosial dan sebagainya. Islam merupakan
satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah SWT. Seperti yang
dijelaskan Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 19 sebagai berikut :
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah
hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi (Al
Kitab) kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa
yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab-Nya. (QS.Ali Imran : 19) (Departemen Agama
RI, 2002: 52)
Atas dasar ayat di atas, maka semua aspek kehidupan harus di
kembalikan kepada Islam tentang bagaimana menyikapinya agar tidak
salah jalan. Allah SWT memberikan janji kepada umatnya yang beriman
akan dimasukkan ke dalam surga. Surga menjadi balasan ataupun
ganjaran bagi orang-orang yang beriman.
Janji dan ancaman dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah al-
wa‟d wa al-wa‟id. Sementara itu, kata ini berasal dari bahasa arab yaitu
38
عدا-يعد – د ع yang artinya menjanjikan sesuatu (Yunus, 2010: 502).
Istilah ini dipopulerkan oleh aliran Mu‟tazilah sebagai al Usul al-
Khamsah, atau lima ajaran dasar yang menjadi pegangan kaum
Mu‟tazilah . Menurut al-Khayyat seperti yang dikutip oleh Harun
Nasution (1986: 52) orang yang diakui menjadi pengikut atau penganut
Mu‟tazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar
itu. Orang yang hanya menerima sebagian dasar-dasar tersebut tidak
dipandang sebagai orang Mu‟tazilah. al Usul al-Khamsah sendiri diberi
urutan yaitu, al-Tawhid, al-„Adl, al-wa‟d wa al-Wa‟id, al-Manzilah bain
al-Manzilatain dan al-„Amr bi al-Ma‟ruf wa al-Nahy „an al-Munkar.
Menurut paham Mu‟tazilah, Tuhan tidak akan dapat disebut adil,
jika Ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika
tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki
supaya orang yang bersalah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik
diberi upah, sebagaimana yang telah dijanjikan Tuhan (Nasution, 1986:
55). Maka konsep ini bisa menjadi acuan bahwa memberikan upah
kepada anak yang menunjukkan perilaku baik merupakan bentuk
keadilan orang tua kepada anaknya. Sementara itu, pemberian hukuman
kepada anak yang berbuat kesalahan terhadap peraturan yang telah
ditetapkan juga merupakan bentuk keadilan orangtua sesuai dengan
konsep di atas.
39
Bagi kaum Mu‟tazilah dan kaum Maturidiah golongan
Samarkand menganggap bahwa manusia dihukum atas perbuatan yang
dikehendakinya dan yang dilakukanya bukan dengan paksaan tetapi
dengan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya (Nasution, 1986:
127). Anggapan ini apabila dicermati adalah bentuk keadilan Tuhan
karena Tuhan telah membebaskan manusia untuk melakukan perbuatan
yang dikehendakinya sendiri-sendiri. Manusia dalam hal ini, dibebaskan
akan tetapi juga harus siap menanggung resiko apabila melakukan
perbuatan yang buruk. Resiko itu adalah dihukum oleh Tuhan.
Menurut Mu‟tazilah, Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam
memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran
dosa orangtuanya dan mesti memberi upah kepada orang yang patuh
pada-Nya dan memberi hukuman kepada orang yang menentang
perintah-Nya (Nasution, 1986: 124). Ini artinya bahwa menurut mereka
Tuhan tidak akan melanggar peraturan yang telah dibuat-Nya. Maka
dalam hal ini, berarti Tuhan mengajarkan kepada manusia tentang sikap
bertanggungjawab terhadap hak dan kewajiban masing-masing manusia.
Berbeda dengan Mu‟tazilah, Al-Asy‟ari berpendapat bahwa upah
yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan hukuman tetap
merupakan keadilan Tuhan (Nasution, 1986: 126). Jadi, menurut faham
Asy‟ariah, Tuhan memiliki kebebasan dalam memberikan upah dan
hukuman. Tuhan boleh-boleh saja tidak memberikan upah, karena Tuhan
itu Adil. Seperti pendapat Al-Ghazali yang beranggapan bahwa Tuhan
40
memberikan upah kepada manusia, jika yang demikian dikehendaki-Nya,
dan memberi hukuman jika itu pula dikehendaki-Nya (Nasution, 1986:
126). Pendapat Al-Ghazali ini memberikan gambaran bahwa Allah maha
kuasa segala-galanya. Allah memiliki kekuasaan untuk memberikan upah
kepada manusia sesuai dengan kehendak-Nya dan Allah memiliki
kekuasaan untuk memberikan hukuman yang bermacam-macam kepada
manusia sesuai dengan kesalahan manusia itu sendiri.
Menurut kaum Asy‟ariah, Tuhan tidak berkewajiban menjaga
kemaslahatan (al-salah wa al-aslah) manusia, tidak wajib memberi upah
atau ganjaran pada manusia atas perbuatan-perbuatanya (Nasution, 1986:
73). Konsep ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak harus memberi upah
atau ganjaran pada manusia, kalaupun Tuhan memberikan upah atau
ganjaran maka semua itu adalah atas kehendak-Nya dan manusia
harusnya tidak mengharapkan apa-apa dari perbuatanya kecuali adalah
keridhaan Allah SWT.
Pada intinya, kaum Asy‟ariah berpendapat bahwa Tuhan memberi
hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu
kekuasaan, kecuali kekuasaan-Nya sendiri. Sementara itu kaum
Mu‟tazilah beranggapan bahwa Tuhan mengeluarkan hukuman sesuai
dengan hukum dan bukan dengan sewenang-wenang (Nasution, 1986:
127).
41
Berdasarkan kedua pendapat dari dua aliran di atas yaitu
Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah maka penulis dapat menyimpulkan bahwa,
Allah sudah memberikan janji dan ancaman di dalam Al-Qur‟an yang
sangat banyak. Janji yang berupa ganjaran, Surga, kesenangan dunia dan
akhirat dan juga mengancam manusia yang berbuat keburukan selama
hidupnya untuk mendapatkan siksa yang pedih di Neraka. Namun yang
perlu dipahami adalah Allah Swt maha kuasa atas segala sesuatu yang
ada di dunia ini. Seperti yang dijelaskan Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 148 berikut ini:
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam
membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS.Al-Baqarah: 148).
(Departemen Agama RI, 2002: 23)
Banyak sekali ayat dalam Al-Qur‟an yang mengulang kata
“Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Ini artinya
bahwa Allah mengisyaratkan bahwa kekuasaan mutlak ada pada Allah
SWT. Begitu juga dengan pemberian upah dan hukuman adalah mutlak
kuasa Tuhan, sehingga manusia hanya bisa melakukan perbuatan baik
yang sesuai perintah-Nya. Kalau manusia sudah melakukan yang terbaik
dan sesuai perintah Allah SWT maka manusia tidak perlu khawatir
42
terhadap janji dan ancaman Allah, biarlah itu menjadi hak dan rahasia
Allah SWT.
2. Bentuk-bentuk Janji dan Ancaman Allah
a. Janji Allah di Dunia
1) Keberuntungan, seperti firman Allah SWT :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,”
(Qs.Al-Mukminun: 1) (Departemen Agama RI, 2002: 342)
2) Petunjuk, seperti firman Allah SWT :
Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu,
meyakini bahwasanya Al-Quran Itulah yang hak dari
Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka
kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi
petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang
lurus. (QS. Al-Hajj :54) (Departemen Agama RI, 2002:
338)
3) Pertolongan, seperti firman Allah SWT
Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum
kamu beberapa orang Rasul kepada kaumnya, mereka
datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan
(yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap
orang-orang yang berdosa dan Kami selalu berkewajiban
43
menolong orang-orang yang beriman. ( QS.Ar-Ruum :47)
(Departemen Agama RI, 2002: 409)
4) Kemuliaan/ketaatan, seperti firman Allah SWT:
Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah
kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan
mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal
kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi
orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada
mengetahui. “(QS. Al-Munafiqun: 8) (Departemen Agama
RI, 2002: 555)
5) Kehidupan yang baik, seperti firman Allah SWT :
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman,
Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami
beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl : 97)
(Departemen Agama RI, 2002: 278)
b. Janji Allah di Akhirat
1) Masuknya orang-orang beriman ke Surga, kekal di dalamnya, dan
keridhaan dari Allah Swt. Sebagaimana firman Allah SWT:
44
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin,
lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang
dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di
dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di
surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu
adalah keberuntungan yang besar. “ (QS.At-Taubah : 72)
(Departemen Agama RI, 2002: 198)
2) Melihat Allah Swt, sebagaimana firman Allah SWT :
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-
seri. kepada Tuhannyalah mereka melihat. “ (QS.Al-Qiyamah:22-
23) (Departemen Agama RI, 2002: 578)
Janji-janji Allah SWT sangatlah banyak. Apa yang digambarkan
Allah dalam firman-firman-Nya merupakan balasan bagi orang yang
bertaqwa dan berbuat baik. Janji-janji yang bersifat kesenangan dan
kebahagiaan ini adalah bentuk motivasi dari Allah kepada manusia untuk
senantiasa bertaqwa kepada Allah dan berbuat kebaikan. Dengan motivasi
seperti itu, maka manusia diharapkan untuk berlomba-lomba dalam
beribadah kepada Allah.
Sementara itu, dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh At-
Tirmidzi berikut ini juga menjelaskan janji Allah Swt kepada makhluknya.
Haditsnya adalah sebagai berikut :
45
من سلك طريق يلتمس فيو علما سيل ا هلل لو طريقا الى الجنة
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka
Allah memudahkan baginya jalan menuju Surga”. (At-Tirmidzi,
1992: 274)
Hadits di atas menjelaskan janji Allah SWT kepada orang yang
mau menempuh jalan untuk menuntut ilmu. Barangsiapa yang menuntut
ilmu kebaikan (Islam), maka Allah akan memudahkan jalan orang
tersebut menuju Surga. Dengan begitu maka orang yang menuntut ilmu itu
adalah orang yang dimuliakan oleh Allah sehingga Allah memberikan
ganjaran akan dimudahkan dalam perjalananya ke Surga nanti.
Janji Allah tersebut mengisyaratkan pentingnya menuntut ilmu,
karena dengan ilmu maka manusia akan mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk. Dengan mengetahui kedua perkara ini tentunya manusia
akan lebih mudah untuk menjalani kehidupan dan membuat hidupnya
lebih barokah dan ketika telah tiba saatnya nanti jalanya ke Surga akan
sangat mudah seperti yang telah dijanjikan Allah SWT.
Seperti yang disebutkan di atas, janji-janji Allah bisa berupa
ganjaran dunia dan di akhirat. Ganjaran di dunia itu bisa berupa
keberuntungan, petunjuk, pertolongan, keselamatan, kehidupan yang baik
dan sebagainya. Ganjaran di dunia merupakan bentuk perhatian Allah
SWT kepada manusia yang bertaqwa. Sementara itu ganjaran di akhirat
tidak lain adalah Surga. Surga digambarkan Allah sebagai tempat yang
indah, tempat dimana orang-orang beriman dan bertaqwa ditempatkan.
46
Namun sekali lagi bahwa janji-janji Allah tersebut hanya bisa didapat oleh
orang-orang yang beriman dan bertaqwa.
Sir Sayid Amir Ali berpendapat mengenai ajaran tentang akhirat.
Seperti yang dikutip oleh Maunah (2011: 290) umpamanya ia menjelaskan
bahwa keinginan manusia untuk dapat bersatu kembali dengan orang yang
dikasihi dan disayangi, sesudah dipisahkan oleh kematian. Hasrat besar
inilah yang menmbulkan ide adanya kelanjutan hidup sesudah selesainya
hidup di dunia ini. Agama-agama yang datang sebelum Islam pada
umumnya menggambarkan bahwa hidup kedua manusia itu akan
memperoleh upah dan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam
bentuk rohani. Pendapat ini tentunya ada alasanya tersendiri. Upah dan
balasan yang berupa jasmani barangkali lebih terasa nyata ketimbang
dengan upah dan balasan rohani. Karena dengan upah dan balasan yang
berupa jasmani akan semakin meyakinkan bahwa upah dan balasan itu
memang nyata ada.
Sir Sayid Amir Ali menambahkan apa yang harus dipercayai orang
Islam ialah bahwa di akhirat nanti tiap orang harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatanya di dunia ini. Tetapi, lebih
dari itu Tuhan bersifat pengasih serta rahmatnya akan dilimpahkan secara
adil kepada semua makhluknya. Inilah keyakinan pokok yang harus
diterima dalam Islam mengenai akhirat (Maunah, 2011: 291).
47
Sementara itu, sebagian filosof dan sufi berpendapat bahwa balasan
yang akan diterima di akhirat nanti memanglah balasan spiritual dan
bukanlah balasan jasmaniyah. Selanjutnya mereka beranggapan bahwa
ajaran mengenai akhirat itu amat besar arti dan pengaruhnya dalam
mendorong manusia untuk berbuat baik dan menjauhi berbuat jahat
(Maunah, 2011: 291). Pendapat ini tentu juga mempunyai alasan
tersendiri. Namun yang perlu dipahami sebenarnya adalah upah dan
balasan itu pasti ada, dan tentang permasalahan itu jasmani atau rohani
biarkan itu menjadi rahasia Allah dan suatu saat pasti akan diketahui
kebenaranya.
Dalam Islam, istilah ganjaran (thawab) digunakan di berbagai ayat
Al-Qur‟an yang bermakna sesuatu yang diperoleh seseorang dalam hidup
ini atau di hari akhirat sebab ia telah mengerjakan amal saleh. Kebesaran
ganjaran di akhirat berasal dari kebesaran ganjaran itu yaitu Allah SWT.
Inilah yang menggambarkan kenapa Nabi Muhammad SAW hanya
mengharapkan ganjaran Allah saja. Jadi setiap pelajar dalam sistem
pendidikan Islam seharusnya bermotivasi tinggi oleh ganjaran ini, sebab
guru („alim) dan pelajar (muta‟alim) mendapat ganjaran dari Allah sebab
menuntut ilmu ini. Namun sebab ganjaran hari akhirat itu jauh, terutama
bagi anak-anak yang masih muda, maka ganjaran dalam hidup ini juga
diperlukan. Fakta ini juga ditekankan dalam Al-Qur‟an yang menyatakan
ganjaran di dunia di berbagai keadaan. Inilah yang memestikan pemberian
48
ganjaran kepada anak-anak yang kurang tertarik kepada ganjaran yang
terlalu jauh (Langgulung, 2004: 37-38).
Pemberian ganjaran terkadang dianggap remeh oleh para anak.
Apalagi ketika yang dibicarakan ganjaran di akhirat. Namun berhubungan
dengan pendidikan Islam, maka pendidik harus memberikan pengertian
yang baik tentang perkara ini. Ganjaran akan diberikan apabila seseorang
telah melakukan perilaku yang baik seperti yang diperintahkan. Guru
dalam hal ini bisa memberikan sebuah ganjaran berupa pujian untuk
pertama kali. Pujian merupakan ganjaran yang paling mudah dan kecil,
namun imbasnya bisa jadi adalah yang paling baik
c. Ancaman Allah Swt
“jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka
dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali
tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. “
(QS.At-Taubah : 74) (Departemen Agama RI, 2002: 199)
“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada
(nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan),
niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang
yang merugi.” (QS.Az-Zumar : 65) (Departemen Agama RI, 2002: 465)
49
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-
orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di
dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. “ (QS.Al-Bayyinah
:6) (Departemen Agama RI, 2002: 598)
“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami,
mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. “ (QS.Al-
Baqarah : 39) (Departemen Agama RI, 2002: 7)
Ancaman-ancaman Allah kepada manusia adalah bentuk rambu-
rambu atau batas-batas yang mengatur perilaku manusia. Seperti halnya
ancaman yang dilakukan manusia, maka ancaman sudah pasti berbentuk
sesuatu yang harus diperhatikan dengan baik dan dimengerti maksudnya.
Ancaman dari Allah Swt tentu bukanlah ancaman yang main-main karena
ini berhubungan dengan Tuhan sang pencipta alam semesta. Ancaman dari
Allah Swt tentu adalah siksa yang pedih. Siksa yang pedih tersebut
diperuntukkan bagi manusia yang berbuat keburukan selama hidupnya dan
tidak menjalankan perintah-perintah Allah Swt.
Neraka merupakan tempat bagi orang-orang yang tidak patuh
terhadap Allah Swt. Neraka digambarkan sebagai tempat penyiksaan bagi
mereka yang dimasukkan ke dalam neraka, merka itu adalah orang-orang
kafir, kufur, orang-orang yang berbuat keburukan, tidak menjalankan
perintah Allah, melanggar larangan-Nya dan lain sebagainya. siksa yang
50
terus menerus akan diterima selama mereka di neraka merupakan balasan
atas apa yang telah mereka perbuat selama hidup di dunia.
B. Hukuman dalam Ajaran Islam
Agama Islam memiliki tiga kategori hukuman yang harus
dibedakan, seperti yang dikemukakan oleh Hasan Langgulung (2004:39-40)
yaitu :
1. Hudud adalah hukuman-hukuman pasti dijatuhkan kepada seseorang yang
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki. Hukuman-
hukuman ini tidak boleh dibatalkan dalam keadaan apapun begitu suasana
yang membolehkan penjatuhan hudud telah disetujui. Hukuman-hukuman
hudud dijatuhkan kepada orang-orang yang melakukan salah satu diantara
perbuatan berikut : mencuri, meminum-minuman keras, merampok dengan
senjata, murtad, hubungan seks di luar perkawinan, dan tuduhan palsu
(qadhf). Hukuman yang dijatuhkan melalui hudud berbeda-beda.
Misalnya, hudud pencurian adalah hukuman potong tangan, dan hudud
tuduhan palsu adalah dipukul dengan rotan delapan puluh kali.
2. Qisas serupa dengan hudud dalam hal ia berkaitan dengan kejahatan-
kejahatan yang sudah tentu hukumanya. Bedanya adalah bahwa hudud
adalah khas untuk Allah dan tidak dapat dibatalkan, sedangkan qisas,
walaupun juga diperintahkan oleh Allah, boleh dibatalkan. Kejahatan-
kejahatan yang memustikan qisas adalah dalam keganasan jasmaniah
terhadap seseorang, seumpama melakukan pembunuhan atau
mencederakan orang, dan hukumanya adalah serupa dengan yang telah
51
dilakukanya. Namun orang yang berbuat kejahatan ini boleh
menghindarkan balasan jika yang dianiaya itu memaafkanya.
3. Pada umumnya hukuman ta‟zir lebih ringan daripada hudud dan qisas.
Hukuman ta‟zir diserahkan kepada qadhi menurut keadaan. Dalam hal
dimana larangan sudah cukup, maka tidak dijatuhkan hukuman berat.
Contoh-contoh dimana hukuman ta‟zir dijatuhkan adalah pada penghinaan
kepada orang lain, tidak menunaikan sembahyang fardhu, atau tidak puasa
dalam bulan Ramadhan.
Walaupun ketiga kategori hukuman tersebut berbeda-beda dalam segi
berat ringanya, tetapi mereka dijatuhkan dengan tujuan mengatur tingkahlaku
manusia. Hukuman dalam Islam tidak dijatuhkan sekadar untuk
menyengsarakan. Islam memberi hukuman tidak serta merta hanya
menghukum saja, karena pada dasarnya hukuman tersebut sudah disesuaikan
dengan tingkat pelanggaran tertentu. Jadi, hukuman-hukuman tersebut sudah
disusun rapi sedemikian rupa lengkap dengan sebab akibatnya (Langgulung,
2004:40)
Perbedaan yang mendasar antara ketiga kategori hukuman ini terletak
pada kadar berat dan ringanya hukuman tersebut. Hudud merupakan
hukuman yang tidak bisa dibatalkan dalam keadaan apapun apabila hukuman
hudud itu telah disetujui. Ini artinya bahwa hukuman ini pasti dilakukan
karena yang dijatuhi hukuman atau pelaku telah melakukan tindak kejahatan
yang mengharuskan hukuman hudud itu dilaksanakan. Sementara itu, qisas
merupakan hukuman yang hampir serupa dengan hudud, yang membedakan
52
adalah apabila korban dari kejahatan pelaku tersebut memberikan maaf dan
tidak menghendaki hukuman qisas tersebut maka hukuman ini dapat
dibatalkan. Lalu hukuman ta‟zir adalah hukuman yang paling ringan karena
hukuman ini memungkinkan untuk dibatalkan apabila dengan larangan bagi
pelaku untuk tidak melakukanya lagi sudah cukup, maka hukuman berat bisa
ditiadakan. Hanya saja hukuman ringan tetap diberikan sebagai peringatan
kepada pelaku.
Persamaan dari ketiga kategori hukuman ini adalah sama-sama
digunakan untuk mengatur tingkahlaku manusia agar tidak sembarangan
dalam melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain. Hal ini jelas
karena agama Islam mengatur segala perbuatan yang dilakukan manusia baik
tindakan maupun konsekuensinya. Konsekuensi tersebut berupa hukuman
yang mau tidak mau harus diterima oleh pelaku tindak kejahatan. Sehingga
aturan-aturan dan hukuman yang telah dibuat tersebut dapat menjadi
peringatan bagi seluruh manusia khususnya umat Islam.
C. Targhib dan Tarhib
Konsep janji dan ancaman dalam ajaran Islam apabila dikaitkan dalam
pendidikan maka bisa berarti sama dengan konsep targhib dan tarhib.
Kebanyakan dari janji merupakan sesuatu yang bersifat menyenangkan,
sedangkan ancaman bersifat menakutkan. Konsep ini dimasukkan dalam
pendidikan Islam untuk memberi pemahaman kepada siswa tentang janji dan
ancaman Allah. Janji tersebut menjadi sesuatu yang diharapkan dapat
memotivasi siswa untuk melakukan perbuatan baik dan mendapatkan balasan
53
dari Allah yang berupa Surga dan lain sebagainya. Sedangkan ancaman
digunakan sebagai batas-batas apa saja yang harus dihindari siswa agar
terhindar dari ancaman Allah yang bisa berupa Neraka , siksaan dan lain
sebagainya. Targhib dan tarhib menjadi dua hal yang menarik, karena ada
yang beranggapan bahwa targhib dan tarhib hampir sama dengan konsep
reward dan punishment.
Targhib dan tarhib pertama kali diperkenalkan oleh Abdurrahman al-
Nahwali yang juga seorang guru besar Tarbiyah di Universitas al-Azhar,
Kairo, Mesir (mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.co.id). Targhib dan
tarhib digunakan dalam pendidikan Islam menggunakan konsep janji dan
ancaman untuk mendidik anak. Untuk lebih jelasnya maka berikut
penjelasanya.
1. Targhib
Targhib adalah strategi atau cara untuk meyakinkan seorang murid
terhadap kekuasaan dan kebenaran Allah SWT melalui janji-Nya, disertai
dengan bujukan dan rayuan untuk melakukan amal shalih. Bujukan yang
dimaksud adalah kesenangan duniawi akibat melaksanakan perintah Allah
swt serta menjauhi larangan-Nya (Muchtar, 2008: 221). Sedangkan
menurut Ahmad Tafsir, targhib adalah janji terhadap kesenangan,
kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Targhib bertujuan agar orang
mematuhi aturan Allah swt (Tafsir, 2008: 146). Maka dapat disimpulkan
bahwa targhib adalah strategi atau cara untuk meyakinkan anak tentang
54
janji-janji Allah SWT terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat dengan
bujukan untuk melakukan amal kebaikan.
Targhib menjadi model pendidikan yang memberi efek motivasi
untuk beramal dan memercayai sesuatu yang dijanjikan. Misalnya perkara
tentang “kematian”, secara umum manusia takut akan hal kematian.
Awalnya manusia memiliki rasa takut kehilangan, baik ditinggal oleh
seseorang yang dekat ataupun rasa takut pada kematian itu sendiri.
Perasaan takut itu dilandasi oleh beberapa hal, seperti cinta pada dunia dan
enggan meninggalkan kesenangan di dalamnya, takut akan bentuk
kematian itu sendiri. Dalam hal ini, ajaran Islam memberikan penjelasanya
dengan sangat baik terkait hal-hal kematian, utamanya melalui targhib.
Islam memotivasi manusia untuk beriman dan beramal saleh, serta
melakukan perbuatan-perbuatan baik lainya dengan didasari keimanan
sebagai modal untuk memasuki alam kematian. Contoh ini akan
menggambarkan bahwa pada awalnya manusia itu buta akan kematian,
bahkan cenderung takut kematian dengan berbagai alasan (Syafri, 2014:
112-113).
Tujuan yang ingin dicapai metode targhib adalah untuk memotivasi
anak. Hal ini hampir sama dengan tujuan dari meode pemberian reward
yang juga untuk memotivasi siswa agar lebih giat belajar. Namun yang
membedakan barangkali adalah targhib lebih dalam motivasinya karena
berhubungan dengan janji Allah Swt . Sementara itu reward lebih bersifat
janji duniawi ataupun materi. Namun pada dasarnya targhib dan reward
55
sama-sama berusaha untuk memperbaiki tingkah laku anak sehingga dapat
dikontrol dengan baik dengan cara memotivasi.
Melalui pendidikan yang memberi motivasi dengan janji-janji yang
terdapat dalam nash-nash agama, maka sesuatu yang menakutkan bisa
menjadi dirindu dan diharapkan. Dalam Al-Qur‟an, kalimat targhib
berterbaran hampir di setiap surat. Bila dianalisis bagaimana Al-Qur‟an
melakukan proses pendidikan kepada kaum mukmin dengan kalimat
targhib tersebut selalu memberikan janji yang menyebabkan objek
didikanya merasa dimotivasi untuk sampai pada suatu target amal tertentu
(Syafri, 2014: 114).
“Kemudian Kami selamatkan Rasul-rasul Kami dan orang-
orang yang beriman, Demikianlah menjadi kewajiban atas Kami
menyelamatkan orang-orang yang beriman. (Qs.Yunus: 103)
(Departemen Agama RI, 2002: 220)
Ayat di atas menceritakan bahwa Allah Swt akan menyelamatkan
Rasul-rasul dan orang-orang yang beriman. Orang-orang yang beriman
adalah orang-orang yang menjalankan perintah Allah Swt dan mampu
menjauhi larangan-larangan-Nya. Maka sesuai dengan ayat ini, maka anak
diajak untuk beriman kepada Allah Swt dengan cara beribadah dengan
tekun dan menjadi hamba yang patuh terhadap Tuhanya yaitu Allah Swt.
Harapanya adalah Allah Swt menyelamatkan orang-orang yang beriman
dan memasukkanya ke dalam surga.
56
Pada model targhib dalam Al-Qur‟an terdapat janji-janji
keberuntungan, kebahagiaan, kesempurnaaan, pertolongan, keselamatan,
bahkan semua yang menjadi idaman kaum mukmin, baik jangka pendek di
dunia, maupun jangka panjang di akhirat. Pahala di akhirat itulah reward
dari dzat yang maha kaya bagi yang berhasil melakukan amalan-amalan
terbaik selama di dunia (Syafri, 2014: 114).
Targhib merupakan salah satu alternatif metode pendidikan
disamping metode-metode lain yang sudah biasa digunakan. Targhib dapat
digunakan kepada anak untuk memberikan motivasi sekaligus sebagai
bahan pertimbangan bagi anak untuk melakukan sesuatu yang
diperintahkan oleh agama, dalam hal ini agama Islam. Sehingga nantinya
anak akan paham tentang apa yang dijanjikan Allah Swt apabila ia
melakukan amal baik dan berusaha untuk mendapatkan janji tersebut demi
kebahagiaanya di dunia dan akhirat.
Model targhib ini mendorong menghadirkan perasaan penuh rindu
kepada sesuatu yang diinginkan atau sesuatu yang dijanjikan sebagai
reward karena melakukan perintah-Nya. Model targhib juga
memunculkan rasa harap yang besar terhadap janji yang disebutkan.
Tentunya rasa harap itu bukanlah angan-angan, karena rasa harap selalu
diiringi dengan amal, sedangkan anagan-angan tidak diiringi oleh amal
yang mewujudkanya (Syafri, 2014: 117).
Targhib bisa dibilang digunakan untuk membentuk kepribadian
islami dalam diri anak. Dengan kepribadian islami tersebut maka anak
57
akan mudah untuk diajak beribadah karena anak paham akan janji Allah
Swt kepada orang-orang yang beriman. Lalu, dalam pembelajaran anak
akan bersemangat untuk mencari ilmu yang bermanfaat bagi kehidupanya.
Selain itu, pendidikan dengan model targhib akan merangsang kesadaran
anak bahwa semua yang dilakukanya di dunia ini semata-mata untuk Allah
Swt.
Pendidikan yang menggunakan model targhib adalah pendidikan
yang melihat manusia tidak saja pada aspek akal dan jasmani, tapi juga
melihat aspek hati atau jiwa. Keberhasilan suatu pendidikan diukur pada
orientasi pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Jadi
harus dipastikan pendidikan pada aspek akal, jasmani serta jiwa atau hati.
Ketiganya mesti seimbang, tidak pincang (Syafri, 2014: 117). Dalam
pendidikan modern saat ini dikenal istilah kognitif, afektif dan
psikomotorik. Ketiga hal ini merupakan aspek-aspek yang menjadi sasaran
pendidikan modern. Pada dasarnya, ketiga hal ini juga yang menjadi
sasaran dalam pendidikan Islam. Namun, yang membedakan barangkali
adalah dalam pendidikan Islam lebih memusatkan tujuanya ke dalam sisi
hati atau jiwa anak didik secara islami (kerohanian).
Model targhib ini juga mengakui eksistensi jiwa dan perasaan
dimana hal ini amat penting dalam dunia pendidikan. Model ini mencoba
untuk memberikan porsi pendidikan kepada jiwa dan hati tersebut dengan
kalimat-kalimat yang membangkitkan manusia untuk bergerak. Tidak saja
aspek jiwa atau hati yang digugah, akal pun diberi ruang untuk berpikir,
58
yaitu membedakan antara suatu yang positif dan yang membahayakan
(Syafri, 2014: 117). Jiwa dan perasaan merupakan suatu elemen penting
dalam diri manusia. Ketika jiwa ataupun perasaan manusia tersakiti oleh
sesuatu yang menyakitkan, maka ini akan sangat berbahaya dalam
perkembangan dirinya. Maka dari itu, pendidikan model targhib sangat
menjaga perasaan dan jiwa dengan menawarkan janji-janji Allah Swt yang
berupa kebahagiaan di akhirat.
Banyak kelemahan-kelamahan dalam dunia pendidikan yang
disebabkan kurang diperhatikanya aspek jiwa dan perasaan manusia.
Bahkan meskipun ada pendekatan yang digunakan, belum menggunakan
pendekatan yang tepat sesuai dengan kecenderungan fitrah manusia. Dunia
pendidikan terkesan memperlakukan manusia seperti robot. Olahan otak
dan jasmani amat dominan dalam pendidikan yang berkembang saat ini,
sehingga standar-standar keberhasilan pendidikan seringkali diterjemahkan
dengan angka. Proses pendidikan sudah dianggap berhasil bila kecerdasan
anak didik itu terbukti dengan selembar kertas hasil tes mereka yang lebih
bercorak kemampuan akal. Bentuk pembelajaran yang tidak membangun
keseimbangan antara aspek-aspek yangg ada dalam diri manusia tersebut
sebenarnya bisa disebut sebagai model yang gagal. Yaitu kegagalan
sebuah metode untuk sampai kepada orientasi pendidikan yang
sesungguhnya. Al-Qur‟an melakukan keseimbangan dalam komunikasi
melalui firman-Nya. Sehingga dapat disimpulkan, model pendidikan yang
59
digunakan Al-Qur‟an dalam mendidik manusia melalui ayat-ayatnya
sangat sempurna dan sesuai dengan karakter manusia (Syafri, 2014: 118).
2. Tarhib
Tarhib adalah strategi untuk meyakinkan seorang murid terhadap
kekuasaan dan kebenaran allah melalui ancaman siksaan sebagai akibat
melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt, atau tidak
melaksanakan perintah Allah SWT (Muchtar, 2008: 222). Sedangkan
menurut Ahmad Tafsir, tarhib adalah ancaman karena dosa yang
dilakukan (Tafsir, 2008: 146). Maka dapat disimpulkan bahwa tarhib
adalah strategi untuk meyakinkan seorang murid terhadap ancaman karena
dosa yang dilakukan manusia sebagai akibat melakukan perbuatan yang
dilarang oleh Allah SWT, atau tidak melaksanakan perintah Allah SWT.
Berdasarkan Al-Qur‟an, tarhib adalah upaya menakut-nakuti
manusia agar menjauhi dan meninggalkan suatu perbuatan. Landasan
dasarnya adalah ancaman, hukuman, sanksi, dimana hal tersebut adalah
penjelasan sanksi dari konsekuensi meninggalkan perintah atau
mengerjakan larangan dari ajaran agama. Namun, tarhib bukanlah
hukuman itu sendiri, tarhib berbeda dengan hukuman. Tarhib adalah
proses atau metode dalam menyampaikan hukuman, dan tarhib itu sendiri
ada sebelum suatu peristiwa terjadi. Sedangkan hukuman adalah wujud
dari ancaman yang ada setelah peristiwa itu terjadi. Contoh ketika anak
didik dilarang menggunakan narkoba, kemudian diiringi dengan
penjelasan secara detail suatu gambaran yang dapat menakut-nakuti agar
60
peserta didik tidak menggunakan narkoba. Maka upaya tersebut adalah
model tarhib sedangkan detail wujud dari sesuatu yang berefek mankut-
nakuti tadi adalah hukuman, misalnya dihukum dengan dikeluarkan dari
sekolah. (Syafri, 2014: 118-119)
Ketika dalam dunia pendidikan, model tarhib memberi efek rasa
takut untuk melakukan suatu amal. Pendidikan yang menggunakan model
tarhib adalah pendidikan yang melihat aspek hati atau jiwa manusia tidak
saja pada aspek akal jasman, tapi juga melihat aspek hati atau jiwa
manusia. Model ini memanfaatkan sifat takut yang ada pada diri manusia.
Rasa takut yang ada pada diri manusia tersebut dididik menjadi takut yang
bermakna tidak berani melakukan kesalahan atau pelanggaran, karena ada
sanksi dan hukumanya ( Syafri, 2014: 120).
Tarhib dalam pendidikan Islam memiliki peranan yang penting,
karena dengan metode tarhib ini akan memudahkan pendidik untuk
membuat anak menjadi takut untuk meninggalkan kewajibanya sebagai
muslim. Sehingga anak dengan mudah dididik sesuai arahan dari guru
atau orangtuanya. Tanpa disadari anak akan terbiasa dengan melaksanakan
kewajibanya karena rasa takut yang mendalam terhadap siksa ataupun
azab dari Allah Swt. Maka inilah yang disebut dengan tarhib, yaitu dengan
ancaman dari Allah Swt melalui ayat-ayat Al-Qur‟an.
Bila diteliti, kalimat-kalimat tarhib yang disebut dalam Al-Qur‟an
merupakan ancaman yang amat menakutkan yang berasal dari Dzat Yang
Mahakuasa sehingga bila ancaman ini selalu diulang-ulang
61
penyampaianya tentu akan membawa efek takut yang mendalam. Kalimat-
kalimat yang bernada ancaman seperti siksa, azab, zalim, sesat dan
tersesat, dibiarkan Allah dengan tidak diberi petunjuk, dan semacamnya
akan berimbas positif dalam bentuk ketaatan pada diri seorang mukmin
(Syafri, 2014: 121)
Sebagai contoh, berikut ayat Al-Qur‟an yang mengandung tarhib
didalamnya. Qs. .At-Taubah ayat 39
Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah
menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu)
dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi
kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.(Qs.At-Taubah : 39) (Departemen Agama RI, 2002:
193)
Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam berbeda dari metode
ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Barat. Perbedaan utamanya
adalah targhib dan tarhib bersandarkan ajaran Allah, sedangkan ganjaran
dan hukuman bersandarkan hukuman dan ganjaran duniawi. Menurut
Tafsir (2009: 147) perbedaan itu mempunyai implikasi yang penting yaitu:
1. Targhib dan tarhib lebih teguh karena akarnya berada di langit
(transenden), sedangkan teori hukuman dan ganjaran hanya
bersandarkan sesuatu yang duniawi. Targhib dan tarhib mengandung
aspek iman, sedangkan metode ganjaran dan hukuman tidak
62
mengandung aspek iman. Oleh karena itu, targhib dan tarhib lebih
kuat pengaruhnya.
2. Secara operasional, targhib dan tarhib lebih mudah dilaksanakan
daripada metode hukuman dan ganjaran karena materi targhib dan
tarhib sudah ada dalam Al-Qur‟an dan hadis Nabi, sedangkan
hukuman dan ganjaran dalam metode barat harus ditemukan sendiri
oleh guru.
3. Targhib dan tarhib lebih universal, dapat digunakan kepada siapa saja
dan diman saja, sedangkan jenis hukuman dan ganjaran harus
disesuaikan dengan orang tertentu dan tempat tertentu.
4. Di pihak lain, targhib dan tarhib lebih lemah daripada hukuman dan
ganjaran, karena hukuman dan ganjaran lebih nyata dan langsung
waktu itu juga, sedangkan pembuktian targhib dan tarhib kebanyakan
gaib dan diterima nanti di akhirat
Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa perbedaan yang mendasar antara targhib dan tarhib
dengan ganjaran dan hukuman adalah Targhib dan tarhib mengandung
aspek iman sedangkan ganjaran dan hukuman tidak mengandung aspek
iman. Materi targhib dan tarhib sudah ada dalam Al-Qur‟an dan hadis
nabi, sedangkan hukuman dan ganjaran ditentukan sendiri oleh guru.
Hukuman dan ganjaran lebih nyata dan langsung waktu itu juga
pemberianya, sedangkan pembuktian targhib dan tarhib kebanyakan gaib
dan diterima nanti di akhirat.
63
BAB IV
REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM
A. Reward dalam Pendidikan Islam
Reward dalam pendidikan digunakan untuk memberikan perasaan senang
kepada anak didik. Perasaan senang yang muncul memungkinkan membuat
gairah anak untuk giat belajar dan meningkatkan prestasinya. Tujuan utama dari
pemberian reward tidak lain adalah untuk membuat anak merasa dihargai
prestasinya, sehingga anak akan cenderung untuk melakukan yang terbaik dalam
setiap pembelajaran.
Banyak ahli pendidikan yang menyarankan agar reward digunakan dalam
pembelajaran untuk memotivasi siswa atau anak. Seperti Abuddin Nata yang
berpendapat bahwa seorang guru harus memotivasi para siswa agar memanfaatkan
waktu dengan sebaik-baiknya dan menanyakan hal-hal yang penting, dan jika
guru menemukan seorang siswa yang menguasai pelajaran , maka ia segera
memberikan perhatian, pengakuan, penghormatan dan pujian dalam batas-batas
yang tidak membawa sikap sombong pada anak tersebut (Nata, 2001: 94).
Memperhatikan dengan baik perkembangan anak akan membuat pendidik atau
orangtua menjadi paham tingkahlaku anak, sehingga pendidik bisa dengan sabar
dalam menghadapi anak yang sering bertingkah kurang baik, dan tidak perlu
menggunakan hukuman untuk mendidik anak tersebut.
64
Guru bisa memberi memberi hadiah kepada siswa-siswanya yang rajin dan
berprestasi dengan beberapa hadiah yang membawa manfaat kepada dunia dan di
akhirat, misalnya membagikan buku-buku islami kecil yang bertema bagus atau
membagikan kaset islami ataupun barang-barang lainya yang islami. Siswa akan
bangga dengan hadiah dari gurunya, sehingga dia akan berusaha mengambil
manfaat dari hadiah tersebut karena dia telah mendapatkanya dalam kesempatan
yang sangat berharga baginya (Al-Munir, 2003: 55). Ketika siswa mendapatkan
hadiah, harapanya adalah siswa lain termotivasi untuk rajin dan berprestasi.
Namun juga harus dipikirkan secara matang hadiah apa yang pantas diberikan
kepada seorang anak. Dalam pendidikan Islam tentunya hadiah yang diberikan
juga harus bermanfaat bagi anak dalam keislamanya seperti buku panduan shalat,
buku tentang zikir, Al-Qur‟an dan sebagainya.
Pujian mungkin digunakan untuk meneguhkan gerak balas yang
dikehendaki. Guru boleh menyatakan kepuasanya terhadap pencapaian murid-
muridnya dengan ucapan-ucapan seperti “bagus, pelajaranmu cemerlang dan lain
sebagainya. “ oleh karena prestise penyebab ganjaran itu sangat penting, maka
haruslah guru menggunakan segala macam cara untuk menjadikan ganjaran itu
lebih menarik, ganjaran yang diberikan dengan mudah biasanya mudah pula
hilang kesanya (Langgulung, 2004: 38).
Al-Ghazali dalam kitabnya Tahdzib Al-Akhlak wa Mu‟alajat Amradh Al-
Qalub mengemukakan, bahwa setiap kali seorang anak menunjukkan perilaku
mulia atau perbuatan yang baik seyogyanya ia memperoleh pujian dan jika perlu
diberi hadiah atau insentif dengan sesuatu yang menggembirakanya, atau
65
ditujukan pujian kepadanya di depan orang-orang sekitarnya (Majid, 2013: 124).
Dengan demikian, Al-Ghazali yang merupakan tokoh pendidikan Islam dan
pernah menjadi guru besar di Universitas Al-Azhar sangat manganjurkan
penggunaaan reward dalam pendidikan. Tidak lain, tujuanya adalah untuk
mendidik karakter anak sehingga anak menjadi baik dalam segala hal. Dengan
memberikan hadiah secara langsung kepada anak di depan banyak orang,
barangkali dapat menimbulkan efek yang baik dan lebih besar kepada anak-anak
yang melihatnya.
Prinsip “kasih sayang” yang merupakan ekspresi dari reward memang
sudah seharusnya diterapkan dalam proses belajar mengajar, terlebih-lebih ketika
materialisme sering mengalahkan prinsip-prinsip lainya (Mas‟ud, 2002: 189).
Banyak yang beranggapan bahwa reward identik dengan bentuk materi, padahal
sebenarnya reward yang terbaik adalah kasih sayang, perhatian, pujian dan
semacamnya. Maka dari itu, orangtua dan pendidik dalam memberikan reward
tidak harus berupa materi namun cukup dengan hal-hal kecil yang menjadikan
perasaan nyaman seorang anak.
Mahmud Samir Al-Munir mengatakan bahwa dalam pendidikan Islam,
jika guru melihat salah satu siswanya berpegang teguh kepada ajaran Islam, etika-
etika Islam, bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu maka puji dan berilah
hadiah. Lakukan itu di depan teman-temanya sekelas agar mereka semua
termotivasi (Al-Munir, 2003: 55). Hal ini sejalan dengan tujuan pemberian reward
66
dalam pendidikan yaitu untuk memotivasi siswa agar giat belajar dan senantiasa
termotivasi untuk berprestasi.
Reward dan punishment dalam pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari
konsep tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Manusia yang bertakwa selalu
menjadi salah satu kunci dalam rumusan tujuan pendidikan dalam Islam. Nabi
Muhammad SAW sebagai insan kamil dan sekaligus sebagai model paripurna
telah disepakati dalam dunia Islam. Dengan demikian, sikap-sikap Nabi dan cara-
cara beliau mendidik umat Islam merupakan rujukan penting setelah Al-Qur‟an.
Muhammad SAW adalah insan al-kamil, sekaligus guru terbaik (Mas‟ud, 2002:
183). Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan suri
tauladan yang baik, karena beliau adalah manusia terpilih untuk menjadi nabi
yang terakhir dan pembawa kebenaran sehingga sabda beliau menjadi dasar
hukum dalam Islam setelah Al-Qur‟an.
The mother surat dalam Al-Qur‟an, al-fatihah, memberi isyarat secara
eksplisit bahwa dambaan setiap muslim adalah siratal mustaqim „jalan lurus”,
yakni jalanya orang-orang yang mendapatkan hidayah dari Allah, bukan
golonganya orang yang mendapatkan murka dan sesat. Orang yang memperoleh
nikmat dan petunjuk adalah seperti Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, orang-
orang yang tersesat dan akan mendapatkan punishment dari Allah adalah kaum
kafirin dan munafiqin. Dari ayat penting ini bisa ditekankan bahwa tujuan dari
proses pendidikan Islam identik dengan pencarian hidayah dan kesempurnaan diri
sekaligus dengan menjadikan tokoh-tokoh penting, khususnya Nabi Muhammad,
sebagai model pendidikan. Dengan kata lain, guidance „petunjuk‟, siratal
67
mustaqim adalah sasaran dan sekaligus metode yang seyogianya ditempuh dalam
proses pendidikan Islam (Mas‟ud, 2002: 184-185). Nabi Muhammad tidak hanya
sebagai pembawa kebenaran dalam ajaran Islam, namun beliau juga menjadi
panutan bagi pendidik dalam memilih metode pendidikan Islam saat ini.
Untuk melandasi metode reward dan punishment dalam pendidikan Islam,
prinsip-prinsip yang diperkenalkan Rasulullah perlu ditengok kembali. Prinsip-
prinsip tersebut seperti yang dikemukakan oleh Abdurrahman Mas‟ud diantaranya
sebagai berikut :
1. Kesabaran, keuletan, dan ketegaranya dalam menegakkan ajaran Islam. Tatkala
wajah Nabi bercucuran darah karena diserang musuh dalam perang uhud bulan
Maret 625 M, para Sahabat menjadi geram dan memohon agar Rasulullah
berdoa supaya musuh-musuh dikutuk. Namun, jawaban beliau di luar dugaan
para Sahabat, “Tidak...., aku dijadikan utusan Allah bukan untuk mengutuk,
melainkan untuk mengajak mereka dengan penuh kasih sayang!” (Mas‟ud,
2002: 185). Prinsip kasih sayang merupakan ekspresi dari reward. Karena
mendidik anak harus penuh rasa kasih sayang agar anak menjadi disiplin dalam
melaksanakan tugasnya. Reward yang diberikan bisa bermacam-macam seperti
perhatian, pujian, hadiah dan sebagainya.
2. Pemaaf, tanpa dendam dan dengki kepada orang lain yang berbuat kesalahan
kepadanya. Dalam hal ini, Ibn Hazm menggambarkan Nabi sebagai tokoh yang
tidak berkenan marah dalam urusan pribadi meskipun dihina, tetapi tidak
pernah tinggal diam jika yang dicela adalah agama dan Tuhanya. Dalam jeda
suatu peperangan, Nabi tengah beristirahat di bawah pohon. Tiba-tiba seorang
68
kafir menghunus pedang dan mengacungkanya kepada Nabi serta mengancam,
“Hai Muhammad, siapa yang mampu menghambat pedang ini untuk
menyelamatkanmu?” Jawab Rasul, “Allah‟ mendengar kalimat “Allah”,
jatuhlah pedang orang kafir tersebut. Pedang diambil Nabi dan diacungkanya
pula kepada musuh ini seraya berkata, “Siapakah yang bisa menyelamatkanmu
sekarang?” “Tidak ada seorangpun, “ kata laki-laki itu dalam ketakutan yang
mendalam. “Ampun, kasihanilah aku, Tuan Muhammad,“ pintanya. Ujar Nabi,
“Ucapkanlah la ilaha illa Allah, dan aku Rasulullah.“ “Tidak” kata laki-laki itu.
“Tetapi, saya berjanji tidak akan bergabung dengan para musuhmu lagi.”
Setelah diampuni oleh rasulullah, orang ini pulang ke lingkunganya dengan
gembira dan bercerita kepada keluarganya (Mas‟ud, 2002: 185-186). Nabi
Muhammad saw mengajarkan kepada umat muslim untuk saling memaafkan
kesalahan orang lain. Artinya, dalam proses pendidikan seorang pendidik harus
mampu menahan amarahnya ketika anak telah melakukan sebuah kesalahan.
Lebih baik pendidik memaafkan dan memaklumi kesalahan anak.
3. Mencintai dan menyayangi sesama mukmin. Murid Nabi pada masanaya
mendapatkan panggilan istimewa, yaitu Sahabat. Bahkan, Nabi memberikan
perumpamaan bahwa para Sahabat bagaikan bintang-bintang di langit, ka-l-
nujum. Siapa yang mengikuti mereka akan mendapatkan petunjuk. Nabi bukan
sekadar cinta kepada sesama muslim, melainkan lebih jauh lagi, menyelami
kepribadian mereka. Tidak mengherankan jika kita menyaksikan bahwa para
Sahabat mampu mewarisi kelebihan-kelebihan beliau. Abu Bakar terkenal akan
kesalehanya dan as-shiddiq, Usman terkenal akan kedermawananya dan sebagi
69
ahli beribadah, umar terkenal al-faruq dalam menegakkan keadilan di bumi,
Ali bin Abu Thalib masyhur dengan kecerdikan dan kecendekiawananya
(babul ilmi / the gate of knownledge) (Mas‟ud, 2002: 186-187). Apabila
dicermati, Nabi Muhammad Saw telah memberikan sebuah reward kepada
para sahabat-sahabatnya, yaitu dengan memberikan pujian. Selain itu, Nabi
juga memanggil mereka dengan sebutan sahabat,. Saat ini yang kita pahami
adalah sahabat merupakan teman dekat yang sangat akrab. Maka hal ini adalah
contoh bagaimana seorang Nabi memberikan teladan yang sangat baik dalam
pendidikan.
Apabila prinsip-prinsip tersebut bisa diinterpretasiakan bahwa
meskipun kehadiran Nabi adalah sebagai nadhir, warner, kehadiranya sebagai
bashir dalam proses pendidikan Islam tampak lebih dominan dan signifikan.
Sebagai bashir, yakni tokoh yang membawa berita gembira dan keselamatan
lahir dan batin, Nabi tidak menawarkan reward dalam bentuk materi, tetapi
merangsang kecerdasan para murid, memperhalus budi pekerti, dan
mempertajam spritual keagamaan mereka (Mas‟ud, 2002: 187). Implikasi
status bashir dalam pendidikan Islam adalah bahwa seorang guru, seperti Nabi
Muhammmad, harus bertindak sebagai promotor of learning, baik di dalam
maupun di luar kelas, serta harus mampu berinteraksi dengan siswa secara
antusias dan penuh kasih sayang. Dengan prinsip ini, hukuman fisik bagi siswa
merupakan hal yang tidak populer dalam kamus pendidikan Islam.
70
B. Punishment dalam Pendidikan Islam
Islam mengajarkan cara kepada kita untuk mengarahkan dan berinteraksi
dengan anak, ketika anak melakukan sebuah pelanggaran dan kesalahan. Islam
memberikan pilihan, melarang, mengasingkan, dan menghukumnya (Ulwan,
2009: 120). Mendidik seorang anak memang tidak mudah, terkadang anak sering
meremehkan apabila orangtuanya tidak tegas dalam mendidiknya. Namun
sebaliknya, ketika anak dididik dengan keras maka akan terkesan orangtua itu
kejam, kasar dan sebagainya. Padahal tidak ada yang meragukan bahwa kasih
sayang orangtua adalah kasih sayang terbaik yang diberikan kepada anaknya.
Kalaupun orangtua menghukum seorang anak, maka itu semata-mata untuk
memperbaiki tingkah laku anak. Maka dalam persoalan ini, tidaklah salah apabila
orangtua ataupun pendidik pada umumnya memberikan sebuah punishment
kepada anaknya. Karena terkadang, ada anak yang hanya bisa diperbaiki
tingkahlakunya dengan menggunakan cara yang sedikit keras seperti hukuman.
1. Pendapat Para Tokoh Pendidikan Islam
Para filosof Islam telah memperhatikan sekali mengenai masalah
hukuman kepada anak, baik hukuman mental ataupun hukuman fisik. Mereka
semua sependapat bahwa pencegahan lebih baik dari perawatan. Karena itu
mereka menyerukan supaya dipergunakan segala macam jalan untuk mendidik
anak mulai dari kecil sampai mereka terbiasa dengan adat istiadat yang baik di
waktu telah besar, sehingga tidak lagi memerlukan suatu hukuman. Dan berikut
pendapat para tokoh pendidikan Islam tentang hukuman :
71
a. Ibnu Shina berpendapat bahwa apabila pendidik terpaksa harus
menggunakan hukuman, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman lebih
dahulu. Jangan menindak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan
hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka
masam atau dengan cara lain agar ia kembali kepada perbuatan baik seperti
memuji. Mendorong keberanianya untuk berbuat baik. Perbuatan yang
demikian itu merupakan perilaku yang mendahului tindakan khusus. Tetapi
jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan
rasa sakit, karena pukulan yang cukup banyak menyebabkan anak merasa
ringan, dan memandang hukuman sebagai sesuatu yang remeh.menghukum
dengan pukulan dilakukan setelah diberi peringatan keras (ultimatum) dan
menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang
positif dalam jiwa anak (At-Tuwaanisi, 2004: 125)
b. Al-Ghazali berpendapat bahwa apabila seorang anak melakukan kesalahan,
maka untuk pertama kali sebaiknya orang tua ataupun guru berpura-pura
tidak mengetahui, agar tidak membuka rahasianya. Apabila jika anak sendiri
merahasiakanya. Setelah itu apabila ia mengulangi lagi perbuatanya, maka
sebaiknya ia ditegur secara rahasia (tidak didepan orang lain) dan
memberitahuyaakibat buruk dari perbuatanya. Dan memberi nasehat agar
tidak sekali-kali mengulangi kesalahan yang sama. Akan tetapi, jangan
berlebihan dan mengecamnya setiap saat. Sebab, terlalu sering menerima
kecaman, akan membuatnya menerima hal itu sebagai sesuatu yang biasa
72
dan dapat mendorongnya kearah perbuatan yang lebih buruk lagi. (Majid,
2013: 124)
c. Menurut Al-„Abdari, sifat-sifat anak yang berbuat salh harus diteliti, dan
dengan satu pandangan mata ataupun kerlingan sajaterhadap si anak
mungkin cukup untuk pencegahan dan perbaikan. Sebaliknya, mungkin ada
anak yang memang membutuhkn celaan ataupun ancaman sebagi
hukumanya. Selain itu juga mungkin ada anak yang harus dipukul dan
dicerca baru ia dapat diperbaiki. Seorang pendidik tidak boleh menggunakan
kekerasan kecuali memang sudah terpaksa dan sudah menggunakan cara
halus dan lembut akan tetapi belum merubah si anak.. Jika terpaksa harus
menjatuhkan hukuman , cukuplah kiranya diberi tiga pukulan ringan (Al-
Abrasyi, 1993: 156).
d. Ibnu Khaldun menolak metode al-syiddah wa al-ghizlah (kekerasan dan
kekasaran) di dalam pendidikan. Ibnu khaldun menulis: “Hukuman keras
berupa tindakan fisik di dalam ta‟lim itu berbahaya bagi muta‟alim,
terutama bagi ashagbir al-walad (anak-anak kecil). Alasan yang
dikemukakan Ibnu Khaldun adalah bahwa siapa yang biasa dididik dengan
kekerasan, ia akan selalu dipengaruhi kekerasan itu. Selain itu, ia akan
selalu merasa sempit hati,, kurang aktif bekerja, dan memiliki sifat pemalas,
menyebabkan ia berdusta serta melakukan hal-hal buruk, karena takut akan
dijangkau oleh tangan tangan yang kejam (Suharto, 2006: 246). Meskipun
demikian, Ibnu Khaldun juga membolehkan memberlakukan hukuman
(punishment), tetapi hukuman tersebut bersifat edukatif. Hukuman ini
73
hendaknya diterapkan oleh guru dalam keadaan terpaksa karena tak ada
jalan lain, (sesudah semua cara yang lemah lembut tidak berhasil. Dengan
begitu, hukuman menjadi salah satu alat atau metode dalam pendidikan
Islam. Hal ini dapat diketahui dari tulisanya yang memuat tentang nasihat
Harun al-Rasyid kepada Khalaf bin Ahmar, guru putranya, Muhammad al-
Amin, yang berkata :
Jangan biarkan waktu berlalu kecuali jika anda gunakan untuk
mengajarinya sesuatu yang berguna, tapi bukan dengan cara yang
menjengkelkanya, cara yang dapat mematikan pikiranya. Jangan
pula terlalu lemah lembut, bila umpamanya ia mencoba
membiasakan hidup santai. Sebisa mungkin, perbaiki dia dengan
kasih sayang dan lemah lembut. Jika dia tidak mau dengan cara itu,
anda harus mempergunakan kekerasan dan kekasaran.
Dari kutipan tersebut tampaknya Ibnu Khaldun membenarkan
adanya hukuman kepada peserta didik, tetapi bukan untuk menyakiti atau
merusak mental mereka, melainkan untuk mendidiknya agar lebih baik.
Namun perlu ditegaskan dari dari wasiat Harun al-Rasyid tersebut dapat
disimpulkan bahwa prinsip hukuman (punishment) merupakan alat atau
metode dalam mendidik, akan tetapi jangan dilakukan oleh pendidik atau
guru keculi dalam keadaan terpaksa karena tak ada jalan lain sesudah semua
cara yang lemah lembut tidak berhasil (Kosim, 2012: 103)
e. Ibnu Sahnun lebih menekankan metode pembelajaran yang bersifat
memotivasi siswa agar senantiasa bertukar pikiran dan berdialog dan
berkompetisi dalam meraih prestasi, yaitu metode yang membangkitkan
kesadaran agama dan menjaga tata krama. Selain metode tersebut, Ibnu
Sahnun juga menganjurkan adanya pemberian hukuman (punishment) dalam
74
mengajar, apabila menemukan siswa yang tidak benar dalam belajarnya.
Dengan demikian, menurutnya guru boleh memukul peserta didik, tetapi
hendaknya tidak dilakukan dalam keadaan marah, namun hendaknya dalam
keadaan “main-main”, dan melakukanya pun hanya tiga kali saja. Tidak
boleh lebih dari sepuluh kali, kecuali atas izin dari orangtuanya. Tidak pula
diperbolehkan memukul anak didik pada kepala, muka, atau wajahnya
(Gunawan, 2014: 297).
f. Al-Qabisy juga sependapat dengan Ibnu Sahnun bahwa dalam pembelajaran
diperbolehkan untuk menggunakan metode hukuman (punishment) , yakni
menghukum dengan cara memukul siswa, satu hingga tiga kali, dengan
syarat tidak memukul dalam keadaan marah, dan dalam melakukanya tidak
keluar dari kebiasaan pendidikan. Jika terpaksa menggunakan pukulan,
maka hal tersebut dengan kesepakatan dengan siswa (Gunawan, 2014: 304).
Sementara itu, Al-Haris Al-Muhasibi tidak sependapat dengan Ibnu Sahnun
ataupun Al-Qabisy, Al-Muhasibi lebih menekankan prinsip pahala (reward)
dan prinsip motivasi daripada menggunakan metode hukuman (punishment)
(Gunawan, 2014: 306).
g. Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa, apabila anak bisa diarahkan
dengan tutur kata yang lembut dan halus, maka bagi pendidik tidak
diperkenankan untuk melontarkan kata-kata kasar dan kotor. Sebaliknya,
jika anak sudah tidak lagi dapat diberikan arahan dengan cara halus dan
lembut, boleh bagi pendidik untuk mengeluarkan nasihatnya dengan suara
keras, selama itu tidak kotor dan menyakiti anak. Jika sang anak dapat
75
diarahkan dengan perkataan keras, tidak dibolehkan bagi pendidik untuk
memukul dan menyakiti anak, terlebih lagi sampai menganiayanya. Jika
sudah mempergunakan berbagai macam cara kelembutan, namun anak tetap
membandel dan tidak mau diarahkan dengan hal yang baik, boleh bagi
pendidik untuk memukulnya, selama hal itu tidak mencederai sang anak
(Ulwan, 2009: 111).
Pendapat para tokoh pendidikan Islam di atas, semuanya mempunyai cara
tersendiri mengenai bagaimana hukuman itu digunakan. Namun yang perlu
dipahami dengan jelas adalah para pakar tersebut membolehkan punishment
digunakan, akan tetapi dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pendidik
apabila ingin menggunakan hukuman dalam pembelajaran. Hukuman merupakan
suatu hal yang sensitif di kalangan masyarakat sehingga penggunaanya tidak
boleh sembarangan.
2. Dasar Pemberian Punishment dalam Islam
Sumber hukum dalam Islam adalah Al-Qur‟an dan Hadits. Dengan
begitu maka sudah sepantasnya ketika membahas apapun maka harus
dikembalikan kepada kedua sumber hukum ini. Dalam Al-Qur‟an, Allah
menjelaskan tentang balasan bagi orang yang berbuat kebaikan dan balasan
bagi orang yang berbuat kejahatan seperti dalam surat Al-Zalzalah ayat 7-8 :
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun,
niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat
76
(balasan)nya pula. “ (QS. Al-Zalzalah : 7-8) (Departemen Agama RI,
2002: 599)
Sesuai dengan makna ayat di atas, yang dapat penulis pahami adalah
setiap orang yang berbuat baik sekecil apapun pasti akan mendapat balasan
dari Allah dan setiap orang yang berbuat kejahatan akan mendapat balasanya
juga. Balasan-balasan tersebut adalah hak Allah Swt. Balasan bagi orang yang
berbuat baik dari Allah Swt adalah Surga dan balasan bagi orang yang
mengerjakan kejahatan adalah Neraka.
Ayat ini apabila dikaitkan dengan pendidikan, maka bisa diartikan
ketika seorang anak mendapatkan prestasi sebisa mungkin bagi pendidik
untuk memberikan penghargaan ataupun pujian atas prestasinya tersebut. hal
ini akan memberikan nilai tambahan bagi pendidik yang mampu
menumbuhkan motivasi belajar bagi siswanya. Sementara itu apabila anak
tidak disiplin atau melakukan perilaku yang kurang baik mak tugas guru
ketika di sekolah adalah menegur sang anak dengan baik. Teguran yang baik
paling tidak akan memberikan pemahaman kepada anak bahwa yang
dilakukanya itu adalah perbuatan yang kurang baik sehingga harus diperbaiki
nantinya.
Sementara itu dalam hadits Nabi juga mengajarkan bagaimana
seharusnya sikap orang tua ketika anak tidak menurut dengan apa yang
dikatakan orangtuanya. Haditsnya adalah sebagai berikut :
ه ب ر اض ف ن ي ن س عشر غ ل ا ب ذ ا ن ي ن س ع ب س غ ل ب ا ذ ا ل ا لص ى ب ب لص اار م
ا )ر ا ه اب اداد (ي ي ل ع
77
“Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk melaksanakan shalat,
diwaktu usia mereka meningkat tujuh tahun, dan pukullah (kalau ia tidak
mau shalat) diwaktu mereka berumur sepuluh tahun. (HR. Abu Daud) (Al
Al bani, 2007: 198)
Menurut hadits di atas, Nabi Muhammad SAW memberikan anjuran
kepada orangtua untuk memerintahkan anak-ananya shalat ketika telah
berumur tujuh tahun. Lalu ketika anak-anaknya berusia sepuluh tahun tetapi
tidak mau shalat maka orangtua boleh memukul anaknya. Hadits ini ketika
dihubungkan dalam pendidikan Islam khusunya, maka pemukulan terhadap
anak atau siswa diperbolehkan jika memang anak tidak menjalankan tugasnya
dengan baik. Namun, berbeda dengan kasus yang terjadi akhir-akhir ini.
Seperti yang diberitakan harian7.com, buntut pemukulan yang dilakukan T,
Guru SD Negeri Ledok 2 Salatiga terhadap NSU yang juga anak didiknya di
sekolah tersebut, akhirnya kasus ini dilaporkan ke Polres Salatiga oleh salah
seorang siswa yang menjadi korban. Sebelum resmi melaporkan kasus
pemukulan terhadap siswa, dua orangtua siswa lebih dulu konsultasi ke Unit
PPA Polres Salatiga (www.harian7.com/2016/02/pemukulan-siswa-oleh-guru-
sd-ledok-2_66.html?m=1 diakses, 1 Agustus 2016).
Kasus ini tentunya menjadi perhatian khusus bagi guru maupun
orangtua. Dalam konteks pendidikan sekarang ini, pemukulan ataupun
kekerasan tidak boleh dilakukan dalam pendidikan dengan alasan apapun.
Selain membahayakan anak, pemukulan ataupun kekerasan terhadap anak
hanya akan menimbulkan masalah baru yang muncul dikemudian hari.
Sementara itu, dalam pendidikan Islam khususnya pemukulan terhadap anak
78
diperbolehkan selama masih ada batas-batas yang harus dipahami, terbukti
dengan adanya hadits dari Rasulullah di atas. Dalam hal ini, Rasulullah
memberikan kaidah-kaidah dalam memukul, seperti yang dikutip oleh Hafizh
(1997: 325) diantaranya sebagai berikut :
a. Larangan memukul anak sebelum berumur sepuluh tahun. Tindakan
memukul anak sebelum ia berumur sepuluh tahun dapat berakibat buruk
bagi keadaan fisik maupun mentalnya.
b. Larangan memukul lebih dari sepuluh kali. Cara ini hanya boleh dipakai
dalam keadaan mendesak, karena apabila terlalu sering memukul anak
akan menurunkan wibawa hukuman tersebut dimata anak. Sehingga anak
tidak takut lagi dipukul, karena sudah terbiasa. Akibat buruk lainya adalah
gangguan yang dapat terjadi pada fisik anak.
c. Alat yang boleh dipakai untuk memukul. Alat yang dipakai tidak harus
cemeti, boleh memakai kayu, sandal, atau ujung kain yang sudah diikat.
Alat yang dipakai jangan terlalu besar, sehingga dapat mencelakakan anak.
Alatnya juga jangan terlalu kecil, sehingga tidak cukup membuat anak
kapok.
d. Kaidah tentang cara memukul. Memukul tidak boleh di satu bagian tubuh
saja, melainkan merata di beberapa bagian tubuh. Antara pukulan satu
dengan yang lain harus ada jarak waktu yang cukup, tidak boleh memukul
terus menerus tanpa henti. Tidak boleh mengangkat ketiak ketika
memukul, atau dengan kata lain, tidak boleh memukul terlalu keras.
79
Karena sekali lagi perlu ditekankan bahwa perbaikan untuk anak bukan
untuk menyakitinya.
e. Bagian tubuh yang tidak boleh dipukul. Bagian wajah, atau kepala dan
bagian kemaluan merupakan bagian tubuh yang sangat vital bagi setiapa
manusia. Maka pemukulan dibagian ini dikhawatirkan dapat menyebabkan
kerusakan fisik yang sangat merugikan.
f. Larangan memukul disertai dengan amarah. Memukul disertai dengan
amarah sangat berbahaya bagi anak. Karena dalam keadaan marah dapat
menyebabkan orangtua ataupun pendidik lepas kontrol dan melanggar
kaidah-kaidah memukul yang telah ditentukan oleh agama. Suatu ketika
Khalifah Umar bin Abdul „Aziz hendak menghukum seseorang. Namun
ketika orang itu telah dihadapkan kepadanya, Khalifah Umar bin Abdul
„Aziz malah menyuruh orang itu untuk dilepaskan. Ia berkata, “Aku dapati
diriku menaruh rasa amarah kepada orang itu, dan sesungguhnya aku tidak
mau menghukum dalam keadaan marah. “ Oleh karena itu, hendaknya
para orangtua dan pendidik menjauhkan rasa amarah mereka yang dapat
berakibat sangat buruk kepada anak.
g. Berhentilah memukul bila anakmu mengucapkan nama Allah SWT.
Rasulullah SAW memerintahkan untuk berhenti memukul, apabila anak
telah mengucapkan nama Allah. Karena hal itu merupakan tanda bahwa ia
telah menyadari kesalahanya dan benar-benar ingin memperbaikinya, atau
dia sudah merasakan sakit yang tidak tertahankan lagi, atau sudah
80
merasakan takut. Apabila orangtua terus memukul setelah anak ada dalam
keadaan yang demikian, maka sesungguhnya ia telah melakukan
kezaliman besar terhadap anak. Dan hal itu menandakan bahwa orangtua
itu lebih condong kepada menyakiti anak daripada mendidiknya.
Memukul tidak boleh diartikan sebagai tindakan pukul memukul.
Karena apabila seorang pendidik melakukan pemukulan dengan sembarangan,
tentunya akan membahayakan bagi korban dan dapat menimbulkan masalah
baru lagi dikemudian hari. Menurut Najib Khalid Al-Amir (1994: 42-43)
terdapat kode etik dalam memukul. Kode etik tersebut diantaranya :
1) Seorang pendidik tidak boleh memukul kecuali jika seluruh sarana
peringatan dan ancaman tidak mempan lagi.
2) Tidak boleh memukul dalam keadaan sangat marah karena dikhawatirkan
membahayakan diri anak.
3) Pemukulan tidak boleh dilakukan pada tempat-tempat yang berbahaya,
seperti kepala, dada, perut, atau wajah.
4) Disarankan pemukulan tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan. Sasaranya
adalah kedua tangan atau kedua kaki dengan alat pukul yang lunak (tidak
keras). Selain itu, hendaklah pukulan-pukulan itu dimulai dari hitungan satu
sampai tiga jika si anak belum baligh. Tetapi, jika sudah menginjak masa
remaja, sementara sang pendidik melihat bahwa pukulanya tadi tidak
membuat jera si anak, dia boleh menambahnya lagi sampai hitungan
kesepuluh.
81
5) Jika kesalahan itu baru pertama kali dilakukan, si anak harus diberi
kesempatan sampai bertaubat dari perbuatanya.
6) Hukuman harus dilakukan oleh sang pendidik sendiri, tidak boleh
diwakilkan kepada orang lain, agar terhindar dari kedengkian dan
perselisihan.
7) Seorang pendidik harus dapat menepati waktu yang sudah ditetapkan untuk
mulai memukul, yaitu langsung ketika anak melakukan kesalahan. Tidak
dibenarkan apabila seorang pendidik memukul orang bersalah setelah
berselang dua hari dari perbuatan salahnya. Keterlambatan pemukulan
sampai hari kedua ini hampir tidak ada gunanya sama sekali.
8) Jika sang pendidik melihat bahwa dengan cara memukul masih belum
membuahkan hasil yang diinginkan, dia tidak boleh meneruskanya dan
harus mencari jalan pemecah yang lain.
Ibnu Shina berpendapat bahwa jika sudah terpaksa memukul, cukuplah
pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit, karena pukulan yang cukup
banyak menyebabkan anak merasa ringan, dan memandang hukuman sebagai
sesuatu yang remeh. Menghukum dengan pukulan dilakukan setelah diberi
peringatan keras (ultimatum) dan menjadikan sebagai alat penolong untuk
menimbulkan pengaruh yang positif dalam jiwa anak (At-Tuwaanisi, 2004:
125).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, sebenarnya dalam pendidikan
Islam memukul itu diperbolehkan akan tetapi dengan memperhatikan hal-hal
yang berkaitan dengan perkembangan anak itu sendiri. Seperti yang telah
82
dijelaskan di atas, memukul tidak boleh terus menerus dilakukan karena akan
berdampak buruk bagi perkembangan fisik dan psikis anak dan pukulan
tersebut tidak boleh dilakukan di daerah vital ataupun bagian yang berbahaya
bagi anak seperti wajah, kemaluan dan lain sebagainya.. Memukul anak
merupakan tindakan yang bisa menimbulkan dampak buruk bagi anak.
Apabila masih ada cara lain yang dapat dipakai untuk mendidik anak maka
sebaiknya memukul anak harus dihindari demi masa depan perkembangan
anak yang lebih baik.
3. Penerapan Punishment dalam Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan Islam yang memasukkan punishment dalam
kurikulumnya memang tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa lembaga saja
yang mencantumkanya dalam kurikulum. Hal ini bisa diterima dan dipahami
karena apabila semua lembaga pendidikan mencantumkan punishment dalam
kurikulum, maka sudah barang tentu akan menjadi sebuah persoalan yang
penuh dengan pro dan kontra dalam kalangan masyarakat. Maka berikut uraian
tentang penggunaan punishment dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam
tersebut.
Sebuah madrasah di negara Singapura yang bernama Madrasah Al-
Iqbal Al-Islamiyah, mencantumkan punishment dalam kurikulum
pendidikanya. Madrasah tersebut memberikan hukuman bagi siswa yang
melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Seperti yang dikemukakan Saerozi
(2013:150) hukuman yang diberikan diantaranya :
83
a. Dicerca oleh seorang teman,
b. Dicerca oleh teman sekelas di depan kelas,
c. Dicerca oleh semua murid yang ada di sekolah
d. Dikurung selama setengah hari, dan dibebani dengan tugas yang
menggunakan akal,
e. Ditahan selama satu hari, serta dibebani tugas yang menggunakan akal,
f. Diberi makan dengan roti dan air saja,
g. Dikeluarkan dari sekolah bila berbuat salah berulang kali.
Ma‟had Ihya Assyarif di Malaysia juga menerapkan punishment bagi
siswa yang melanggar aturan madrasah sesuai dengan tingkat pelanggaranya
seperti :
1) Murid yang melakukan kesalahan mendapat pukulan rotan di kaki sebanyak
dua belas kali.
2) Murid yang melakukan kesalahan kecil cukup mendapat pukulan rotan di
tangan.
3) Murid yang ketahuan bermain sepakbola memperoleh hukuman berupa
disuruh menyepak sebuah kelapa (Saerozi, 2013: 167).
Sementara itu, di Madrasah Al-Shalahiyah, Jerussalem, mudarris
bertugas mengawasi mahasiswanya, mendorong mereka yang bekerja baik, dan
memperingatkan yang lalai dan melakukan kesalahan. Setelah diperingatkan
secara terus menerus dan masih melakukan kesalahan maka mudarris berhak
untuk mengeluarkan dan mencabut beasiswanya kecuali mahasiswa tersebut
dapat memperbaiki tingkah lakunya. (Asari, 1994: 81)
84
Lembaga pendidikan Islam Sumatera Thawalib juga menggunakan
hukuman sebagai salah satu cara ataupun metode pendidikan. Seperti yang
dikutip oleh Muh Saerozi (2013: 105) , ketika pembelajaran Hadis Arba‟in
Nawawi di kelas III pelajaran menggunakan metode hafalan. Murid yang tidak
hafal, akan dikenai hukuman berdiri di depan kelas. Hamka sangat mengkritik
cara ini. Beliau yang notabenya adalah alumni Sumatera Thawalib mengatakan
bahwa banyak guru yang bertindak keras dalam mengajar, sehingga banyak
murid yang berkeluh kesah. Banyak pula murid yang gelisah menghadapi
pelajaran. Diantara para guru-guru, ada guru yang bernama Zainuddin Labay
El-Yunusi yang sangat disenangi oleh murid, karena memahami paedagogik. Ia
sering menggunakan metode cerita, tidak bertindak keras, dan pandai
menyelami jiwa murid (Saerozi 2013: 105). Hal ini berarti guru yang tidak
bertindak keras dan pandai mengambil hati anak akan sangat disenangi oleh
para murid sehingga tindak kekerasan dalam pendidikan harus dihindari.
Setelah melihat gambaran punishment di atas, maka paling tidak harus
dipahami bahwa hukuman itu tidak harus berupa hukuman fisik. Hukuman
fisik hanya akan menyakiti seorang anak, namun belum tentu akan mengubah
anak menjadi lebih baik. Namun yang harus diwaspadai adalah apabila anak
merasa sudah terbiasa dengan hukuman yang terlalu sering diberikan. Sehingga
wajib bagi pendidik untuk memahami situasi dalam kelas dan mencari
alternatif metode apabila punishment sudah mulai tidak efektif mendidik anak.
85
C. Relevansi Reward dan Punishment
Menurut pengamatan Abdurrahman Mas‟ud, pendidik di Barat (Amerika)
lebih banyak memberikan reward ketimbang punishment kepada anak didik, baik
di rumah maupun di kelas (Mas‟ud, 2002: 174). Pembahasan masalah reward dan
punishment dalam pendidikan tidak bisa lepas dari masalah tanggung jawab anak
(responsibility). Sangat tidak manusiawi jika hukuman terjadi, sedangkan anak
belum memahami apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya (Mas‟ud,
2002: 175). Hal ini penting karena antara pendidik dan anak memiliki hak dan
tanggung jawab masing-masing yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.
Pendidik memiliki kewajiban untuk mendidik anak dengan baik dan penuh kasih
sayang. Sedangkan anak memiliki kewajiban untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan pendidik seperti mengerjakan tugas, membantu orangtua dan
sebagainya.
Emile Durkheim berpandangan bahwa hukuman diperlukan untuk lebih
menaati kaidah peraturan dan menyampaikan kepada anak tentang otoritas yang
inheren, sehingga mereka mematuhi peraturan tersebut secara spontan dan
mempunyai rasa hormat terhadap peraturan (Makmur dkk, 2010: 170). Hukuman
berfungsi sebagai pengokoh solidaritas sosial dengan upaya memperkuat nilai-
nilai sosial yang paling asasi dan sedang dilanggar. Dengan kata lain, dalam
proses hukuman perhatian harus lebih diutamakan pada proses belajar mengambil
hikmah bagi pihak yang benar, bukan pada pihak yang salah (Mas‟ud, 2002 :
178). Maka pada hakekatnya, reward dan punishment sangat berhubungan erat
dengan nilai-nilai sosial yang ada sehingga harus dipikirkan secara matang apabila
86
ingin memberikan reward dan punishment, sehingga anak didik memahami apa
yang menjadi kewajibanya.
Boleh dikatakan bahwa sebagian besar pendidik-pendidik Barat sekarang
ini menentang penggunaan hukuman jasmani di sekolah-sekolah. Untuk hal ini
Hasan Langgulung (2004: 41) berpandangan seperti berikut :
1. Dalam sistem pendidikan Islam hukuman jasmani itu diakui dan dianggap
sebagai suatu cara yang efektif untuk memperbaiki tingkah laku.
2. Apa yang efektif pada suatu masyarakat, masyarakat Barat misalnya, tidak
semestinya efektif dalam masyarakat kita.
3. Sampai sekarang belum ada kajian yang menunjukkan bahwa hukuman
jasmani mempunyai pengaruh yang buruk pada pendidikan dalam masyarakat
yang mengamalkan ajaran Islam.
Bila reward tampak lebih diutamakan dalam pendidikan Barat,
punishment tidak berarti ditiadakan sama sekali. Meskipun demikian, sejauh
pengamatan dan pengalaman Abdurrahman Mas‟ud selama tujuh tahun di
Amerika, belum pernah mendengar ada tindakan semena-mena yang dilakukan
guru atau hukuman secara fisik yang dilakukan terhadap anak didik, baik di dalam
maupun di luar kelas. Hukuman yang paling berat adalah anak tidak boleh masuk
sekolah sehari karena melanggar tata cara sekolah yang bertubi-tubi (Mas‟ud,
2002 : 178-179).
Melihat apa yang terjadi dalam pendidikan Barat di atas, maka tidak salah
apabila hal ini dapat menjadi contoh bagaimana seharusnya pendidikan
87
dilaksanakan. Apabila masih mungkin untuk tidak menggunakan hukuman maka
sebaiknya hukuman itu ditiadakan dan diganti dengan perhatian ataupun
penghargaan sehingga anak didik merasa nyaman ketika dalam mengikuti apa
yang dikatakan oleh pendidik.
Ada sebuah teori umum dalam pendidikan yang perlu dipertimbangkan,
yaitu bahwa sistem reward dan punishment yang paling efektif adalah jika
pelaksanaan punishment dikurangi atau dihindarkan bila memungkinkan dan
konsep reward ditekankan pelaksanaanya. Jika perbuatan reward pada umumnya
terlepas dari konotasi negatif kecuali jika dihubungkan dengan tindakan korup,
perbuatan punishment kadang-kadang berkonotasi negatif. Orangtua secara umum
dibenarkan memberikan punishment kepada anaknya yang tidak patuh
(disobidience) (Mas‟ud, 2002: 172). Orangtua memiliki peranan penting dalam
pendidikan anak. Karena pendidikan yang pertama diperoleh anak adalah
pendidikan keluarga yang bersumber dari orangtua itu sendiri. Dalam mendidik
anak, memang tidak jarang banyak orangtua menggunakan cara-cara yang bisa
dibilang cara kekerasan seperti, memukul, menendang, menjewer telinga dan lain-
lain. Kebanyakan dari orangtua beranggapan bahwa apabila anak tidak dididik
dengan cara-cara seperti diatas, maka anaka akan cenderung membangkang dan
tidak jera untuk melakukan kesalahan yang sama. Namun yang perlu digaris
bawahi adalah ketika anak sudah terbiasa dengan hukuman yang bersifat keras
seperti itu dan menganggap remeh dan cenderung melecehkan hukuman tersebut.
Abdurrahman Mas‟ud (2002: 188) berpandangan bahwa punishment,
khususnya hukuman fisik, pada umumnya tidak akan membawa dampak positif,
88
sebaliknya malah membawa kenangan horor, nightmare, bagi siswa. Penumbuhan
sense of guility dengan cara yang edukatif dan islami adalah bagian dari self
discipline yang perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan. Disiplin diri adalah
tujuan sekaligus proses pendidikan kemandirian.
Dapat dipahami bahwa, hukuman yang baik adalah hukuman yang dapat
menimbulkan efek jera bagi anak. Namun sebenarnya disadari ataupun tidak,
semakin sering hukuman diberikan kepada anak, maka sedikit demi sedikit akan
menghilangkan kewibawaan hukuman itu sendiri. Maka yang sebaiknya dilakukan
oleh pendidik adalah mencari alternatif hukuman yang dapat menimbulkan efek
yang baik dari segala sisi. Misalnya, ketika anak tidak mengerjakan PR, maka
hukuman yang diberikan adalah anak disuruh untuk mengerjakan PR tersebut di
depan kelas. Sisi baiknya adalah anak menjadi mengerjakan PR walaupun
dikerjakan di dalam kelas, lalu ketika anak mengerjakan PR di depan kelas
harapanya adalah anak-anak lain tidak melakukan kesalahan yang sama seperti
anak yang dihukum.
Seandainya hukuman perlu diberikan, maka perlu dipikirkan secara
matang agar hukuman tersebut mengandung nilai pendidikan. Artinya, hukuman
itu akan semakin menumbuhkembangkan kepribadian anak. Hukuman,
seandainya perlu diberikan, harus dilandasi oleh cinta kasih dan semata-mata demi
kebaikan anak. Untuk menanamkan perilaku yang baik salah satunya adalah
dengan penanaman disiplin. Untuk menanamkan disiplin diperlukan empat syarat
yaitu adanya aturan, sanksi, hadiah atau peneguhan, dan konsistensi.
89
a. Pertama, perlu disepakati terlebih dahulu aturan yang berlaku bagi semua
orang.
b. Kedua, perlu disepakati sanksi atau hukuman dari suatu pelanggaran.
c. Ketiga, adanya peneguhan apabila anak sudah melakukan tindakan yang benar
(pujian, acungan jempol, dan sebagainya). Orangtua dan pendidik tidak boleh
lupa memberikan tanggapan kalau anak sudah melakukan tindakan yang benar.
d. Keempat, adalah konsistensi dari seluruh anggota keluarga yang terkait.
Apabila suatu tindakan dianggap salah, maka semua pihak harus menganggap
salah dan sanksi perlu diberikan (Susana dkk, 2005:61-62).
Reward dan Punishment memang bisa dibilang lebih familiar di
pendidikan Barat, dengan catatan para pendidik di Barat lebih banyak
menggunakan reward ketimbang punishment. Alasanya pun bisa bermacam-
macam karena anak didik yang dihadapi pun berbeda-beda tingkah lakunya.
Penggunaan punishment terkadang akan menimbulkan perasaan benci dari anak
kepada pendidiknya. Hal ini lah yang paling berbahaya, apabila anak sudah
merasa tidak suka dengan sang pendidik maka anak mungkin akan cenderung
untuk membangkang dengan apa yang dikatakan oleh pendidiknya. Namun jangan
lupa juga bahwa punishment pada dasarnya digunakan untuk mencegah potensi-
potensi buruk yang muncul akibat anak tidak disiplin.
Sementara itu dalam pendidikan Islam sendiri sebenarnya penggunaan
punishment sudah familiar ketimbang reward. Terbukti dengan adanya madrasah-
madrasah yang menggunakan punishment dalam kurikulumnya seperti yang telah
dikemukakan di atas. Selain daripada itu, banyak tokoh-tokoh pendidikan Islam
90
yang membolehkan penggunaan punishment dalam pembelajaran namun dengan
syarat-syarat tertentu.
Ibn Khaldun misalnya, menyebutkan dalam muqaddimahnya bahwa anak-
anak yang dihukum mungkin belajar menipu dan berdusta. Ini memustikan guru
menyesuaikan penggunaan hukuman sehingga akibat negatif tidak melebihi akibat
yang positif (Langgulung, 2004: 41). Tentunya penggunaan punishment
mempunyai dampak positif dan negatif. Mengenai hal itu, maka pendidik harus
pintar-pintar memberikan alternatif hukuman yang baik sehingga dampak yang
muncul nantinya lebih banyak dampak positifnya daripada negatifnya.
Berbeda dengan punishment yang masih menimbulkan banyak pro dan
kontra di kalangan pendidikan Islam. Reward yang notabenya adalah sebuah hal
yang sifatnya menyenangkan tentu tidak begitu menimbulkan pro dan kontra.
Hanya saja, penggunaan reward pun harus disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan anak. Ketika pendidik memberikan reward tentu harus merangsang
adanya usaha dari anak untuk mendapatkan reward tersebut. Sebagai contoh, anak
yang mendapatkan ranking satu di kelasnya, maka reward yang diberikan
sebaiknya berhubungan dengan kebutuhanya dalam belajar. Misalnya seperti,
meja belajar, buku, dan lain sebagainya. Hal ini tidak lain untuk memberikan
penghargaan setinggi mungkin kepada anak yang telah berprestasi. Sehingga
anak akan merasa bahwa kerja kerasnya membuahkan hasil yang maksimal dan
tidak sia-sia dan membuat orang di sekelilingnya bahagia dengan prestasinya.
91
Pendidikan di Indonesia sendiri juga telah diatur dalam undang-undang,
baik tentang perlindungan terhadap anak, hak dan kewajiban guru dan lain
sebagainya. Membahas mengenai punishment kepada anak tentu saja tidak bisa
lepas dari peraturan perundangan-undangan yang sudah ditetapkan. Sebagai
contoh, Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak bab XIA tentang larangan, pasal 76C yang berbunyi “Setiap
orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan,
atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak “ (http//www.ilo.org, diakses
25 Juli 2016).
Pasal di atas memperjelas bahwa kekerasan terhadap anak tidak
diperbolehkan. Bahkan dalam pasal tersebut disebutkan bahwa setiap orang
dilarang menempatkan ataupun membiarkan kekerasan terjadi. Maka jelas, ketika
ada tindak kekerasan yang terjadi seharusnya sesegera mungkin untuk
menghentikanya. Apabila terjadi tindak kekerasan itu maka orang yang
melakukan kekerasan tersebut terancam hukuman dalam pasal 80 ayat 1 butir 1
(satu) yang disebutkan bahwa “Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 76C dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak
Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah) (http//www.ilo.org, diakses 25 Juli
2016).
Pidana penjara tiga tahun enam bulan tentunya bukanlah waktu yang
sebentar. Ini adalah bentuk hukuman bagi seseorang yang melakukan kekerasan
terhadap anak. Bahkan dalam pasal yang sama butir ke 4 (empat) disebutkan
92
”Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang
Tuanya” (http//www.ilo.org, diakses 25 Juli 2016). Pasal ini semakin memperjelas
larangan tindak kekerasan terhadap anak bahkan yang dilakukan orangtuanya
sekalipun. Apabila orangtuanya sendiri yang melakukan tindak kekerasan
tersebut, hukumanya pun malah ditambah sepertiga dari ketentuanya.
Orang tua dalam mendidik anaknya tidak diperkenankan untuk
menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun. Karena pada dasarnya tindak
kekerasan itu hanya akan menimbulkan masalah baru dan mempunyai banyak sisi
negatif. Masalah baru tersebut berkaitan dengan peraturan undang-undang
perlindungan anak di atas. Sehingga, ini harusnya menjadi perhatian yang serius
bagi para orangtua dan umumnya masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan
terhadap anak.
Selain pasal di atas, juga ada pasal lain yang memperjelas perlindungan
terhadap anak dari segala bentuk kekerasan. Pasal tersebut adalah pasal 76E yang
berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau
membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dialkukan perbuatan cabul. “
Ancaman hukuman pidana dalam pasal ini dijelaskan dalam pasal 82 ayat 1 dan
ayat 2 yang berbunyi : (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah. (2) Dalam hal tindak pidana
93
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, Pengasuh
Anak, Pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(http//www.ilo.org, diakses 25 Juli 2016).
Pasal 82 ayat 1 di atas juga menyebutkan kata pendidik atau tenaga
kependidikan. Maka pasal ini juga harus dipahami oleh seorang pendidik agar
tidak melakukan kekerasan terhadap siswa. Ancaman bagi pendidik yang
melakukan kekerasan terhadap anak disebutkan dalam pasal di atas, bahwa
apabila pendidik melakukan kekerasan terhadap anak atau siswa ancaman
pidananya ditambah (sepertiga) dari ancaman pidananya 15 tahun. Sehingga
ditambah sepertiganya menjadi 20 tahun pidana. Maka dengan pasal ini seorang
pendidik tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apapun dan dengan
alasan apapun juga karena bertentangan dengan undang-undang perlindungan
anak.
Pasal ini semakin memberatkan pelaku tindak kekerasan terhadap anak.
Sehingga ini patut menjadi perhatian bagi orangtua atau khususnya pendidik
untuk berhati-hati dalam mendidik anak karena ancaman hukumanya tidak main-
main tentunya. Seperti halnya kasus yang terjadi akhir-akhir ini yaitu kasus
tuduhan pencubitan anak yang dilakukanoleh oknum guru salah satu SMP di
daerah Sidoarjo, jawa timur. Kasus ini terjadi pada bulan Februari 2016. Kasus ini
bermula ketika seluruh murid melaksanakan shalat Duha di masjid sekolah.
Namun anak tersebut (korban) justru terlihat duduk-duduk di pinggir sungai.
Sebagai seorang guru dia lantas menegur anak tersebut dan mengajaknya shalat
94
berjamaah dengan mengelus pundak. Namun guru tersebut justru malah
dilaporkan dengan tuduhan menganiaya (mencubit, memukul) korban
(www.regional.kompas.com diakses, 22 Juli 2016).
Kasus ini tentunya sangat memprihatikan, terlepas dari benar tidaknya
penganiayaan yang dilakukan oleh guru tersebut, yang harus disadari dan
dipahami adalah betapa berbahayanya kekerasan terhadap anak. Menurut penulis
pribadi, dalam kasus ini guru menjadi sosok yang sangat tidak diuntungkan.
Mengapa demikian, karena guru tugasnya adalah mendidik anak didik yang
berada di sekolah dan karena guru adalah orangtua murid ketika di sekolah.
Namun lebih dari itu, sekali lagi pendidikan dengan kekerasan memang tidak
dibolehkan. Maka dari itu penulis mengambil sikap bahwa untuk menegur peserta
didik yang tidak disiplin haruslah dengan lemah lembut terlebih dahulu. Apabila
dengan cara ini anak masih tidak disiplin, maka dekati anak tersebut dengan baik.
Pada intinya guru tidak boleh menggunakan teguran berupa hukuma fisik karena
ini bertentangan dengan undang-undang Republik Indonesia.
Anak sangat dilindungi, karena anak adalah tumpuan masa depan bangsa
sehingga tidak mengherankan apabila pemerintah membuat undang-undang
seperti di atas. Berbicara mengenai reward dan punishment dalam pendidikan,
maka guru adalah sosok yang paling disorot dalam pembahasanya. ketika ada
tindakan kekerasan di sekolah, maka guru dianggap sebagai sosok yang paling
bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Padahal guru dan murid sama-sama
punya hak dan kewajiban masing-masing. Dalam undang-undang Republik
Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 14 ayat 1butir F
95
tentang hak dan kewajiban guru dan dosen yang berbunyi : “Memiliki kebebasan
dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan
atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru,
dan peraturan perundang-undangan” (http//sumberdaya.ristekdikti.go.id/ diakses,
26 Juli 2016). Dalam pasal di atas dapat dipahami bahwa guru memiliki
kebebasan untuk memberikan penilaian,penghargaan, sanksi kepada peserta didik
sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-
undangan. Guru diberi kebebasan untuk memberikan sanksi kepada peserta didik
asalkan sesuai dengan kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
Sehingga menurut pemahaman penulis, guru boleh-boleh saja memberikan sanksi
kepada peserta didik dengan syarat sanksi tersebut tidak melanggar peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya walaupun terkadang juga ada saja
oknum guru yang menggunakan cara yang sedikit keras dalam mendidik.
Pemberian sanksi kepada peserta didik merupakan persoalan yang menjadi
pro dan kontra, disatu sisi sanksi tersebut nyatanya diperbolehkan digunakan oleh
guru dan bahkan sudah jelas peraturanya melalui pasal 14 ayat 1 butir F di atas.
Namun, disisi lain perlu dipahami juga bahwa ada undang-undang perlindungan
anak yang dapat melindungi anak dari kekerasan orangtua ataupun pendidik.
Sehingga dalam mendidik, guru juga tidak diperbolehkan menggunakan
kekerasan.
Berbeda dengan undang-undang perlindungan anak yang sangat tidak
membolehkan kekerasan terhadap anak, dalam pendidikan Islam nyatanya
memukul anak diperbolehkan berdasarkan hadits Rasulullah yang telah penulis
96
sampaikan di awal pembahasan. Hal ini menjadi perhatian tersendiri, disaat
undang-undang perlindungan anak tidak membolehkan kekerasan terjadi, hadits
Rasulullah membolehkan memukul anak ketika sudah berumur sepuluh tahun.
Pemukulan merupakan bentuk kekerasan, sehingga ini menjadi kontradiksi dari
kedua sumber hukum ini. Maka dengan melihat dan memahami kedua sumber
hukum ini, penulis berpendapat bahwa dalam pendidikan sekarang ini, kekerasan
ataupun pemukulan sekalipun tidak boleh dilakukan karena ada ancaman pidana
yang dapat menjerat pendidik yang melakukan tindakan ini. Pendidik boleh
memberikan sanksi kepada siswa dalam pembelajaran apabila siswa melakukan
tindakan yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan, namun sanksi tersebut
tidak boleh berupa sanksi fisik melainkan sanksi yang dapat mendidik anak tanpa
harus menggunakan kekerasan. Sanksi atau hukuman tersebut haruslah ada
hubunganya dengan kesalahan yang telah dilakukan oleh anak.
Berdasarkan pasal-pasal yang telah disampaikan di atas, maka penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya guru boleh memberikan hukuman
kepada peserta didik dengan beberapa syarat. Syarat yang pertama adalah guru
tidak boleh menggunakan kekerasan dalam memberikan sanksi atau hukuman.
Sanksi yang diberikan haruslah sanksi yang mendidik, yaitu sanksi yang apabila
diberikan kepada anak akibatnya lebih baik dan tidak membuat perasaan trauma
pada anak.
Syarat yang kedua adalah ketika guru ataupun orangtua ingin memberikan
hukuman kepada anak, maka sebelumnya harus ada kesepakatan terlebih dahulu
dengan anak. Jadi, anak akan paham bahwa kesalahan yang ia perbuat akan
97
mengakibatkan dirinya dikenai hukuman. Dengan begitu, anak akan belajar
bertanggung jawab atas dirinya sendiri sehingga memungkinkan anak menjaga
sikap dan perilakunya.
Syarat yang ketiga adalah, apabila anak sudah menunjukkan perilaku yang
baik dan cenderung memperbaiki perilakunya setelah diberi hukuman maka guru
ataupun orangtua sudah selayaknya memberikan pujian atau bentuk reward
terhadap anak. Hal ini dilakukan semata-mata untuk semakin meyakinkan anak
bahwa berperilaku baik dan disiplin adalah kewajibanya, sehingga para guru dan
orangtua tidak perlu lagi menerapkan sanksi atau hukuman tertentu dalam
mendidiknya.
Setelah memperhatikan hal-hal di atas, dapat penulis simpulkan bahwa
reward dan punishment masih relevan dengan pendidikan saat ini dengan
beberapa syarat yang harus dipenuhi dan diperhatikan. Salah satu hal yang paling
penting adalah reward dan punishment tersebut tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku di Indonesia saat ini. Reward akan sangat berguna
ketika ingin menumbuhkan motivasi dari anak didik menjadi lebih tinggi. Lalu
punishment digunakan sebagai obat pencegah ketidakdisplinan dari anak. Dua hal
ini tidak bisa dipisahkan, ketika pendidik menggunakan reward, maka
punishment juga harus digunakan sebagai pembatas kesalahan dari anak.
Sebaliknya, ketika menggunakan punishment maka reward digunakan sebagai
janji yang akan membuat motivasi anak tinggi untuk tidak melakukan kesalahan.
98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Reward dan punishment dalam pendidikan Islam diperbolehkan,
terbukti dengan adanya hadits yang menjelaskan bahwa memukul anak
yang tidak melaksanakan shalat ketika sudah berumur sepuluh tahun.
Lebih dari itu, dilihat dari fakta sejarah yang telah penulis dapatkan,
dalam lembaga pendidikan Islam dahulu juga sudah ada yang
mencantumkan hukuman dalam kurikulum pembelajaranya, dengan
catatan hukuman tersebut bukanlah hukuman yang berupa hukuman
fisik yang berlebihan.
2. Meskipun menghukum anak diperbolehkan dalam pendidikan Islam
dan masih relevan penggunaanya, namun pendidik maupun orang tua
juga harus memperhatikan dan memahami bahwa memberi hukuman
kepada anak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang
berlaku di Indonesia saat ini yaitu undang-undang perlindungan anak.
Ini artinya hukuman yang diberikan tidak boleh bersinggungan dengan
hukuman fisik, akan tetapi tujuan daripada hukuman tersebut adalah
tetap memotivasi anak untuk berbuat baik.
B. Saran
Sebagai bahan pertimbangan bagi pendidik, orang tua ataupun
guru, terlebih bagi anak ataupun siswa. Penulis ingin memberikan
sumbang saran untuk lebih memahami bagaimana proses pembelajaran
99
yang baik menggunakan metode reward dan punishment sebagaimana
berikut :
1. Pemberian reward kepada anak harus ada batasnya, karena semakin
sering digunakan maka akan berkurang efek pemberian reward
tersebut. Pendidik juga haruslah lebih berhati-hati dalam memberikan
hukuman kepada anak. Jangan sampai hukuman yang diberikan
menjadikan anak benci kepada kita karena rasa sakit atau trauma yang
mendalam terhadap hukuman tersebut.
2. Untuk menunjang proses pembelajaran antara pendidik dengan anak
harus ada tanggung jawab dari masing-masing pihak mengenai hak dan
kewajibanya. Hal ini menjadi penting, agar masing-masing pihak
memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan. Sehingga baik pendidik ataupun murid menjadi berhati-hati
dalam bertindak karena mengetahui batas-batas yang harus dipatuhi.
3. Sebaiknya dalam pendidikan Islam digunakan cara-cara yang lebih
islami dalam mendidik karena Islam memiliki sumber hukum utama
yaitu Al-Qur‟an dan Hadits. Kalaupun menghukum anak, maka cara
menghukumnya harus diperhatikan dan disesuaikan dengan ajaran
Rasulullah dan sesuai syari‟at Islam.
100
DAFTAR PUSTAKA
Al Albani, Muhammad Nashiruddin. 2007. Shahih Sunan Abu Daud.
Jakarta : Pustaka Azzam.
Al-Amir, Najib Khalid,1994. Tarbiyah Rasulullah. Jakarta : Gema Insani
Press.
Al-Munir, Mahmud Samir. 2003. Guru Teladan di Bawah Bimbingan
Allah, Jakarta: Gema Insani.
Al-Qahthani, Sa‟id bin Ali bin Wahf. 2013. Panduan Lengkap Tarbiyatul
Aulad, Solo : Zamzam,
Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan metodlogi Pendidikan Islam.
Jakarta: Ciputat press.
Arikunto, Suharsimi, 1993. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi,
Yogyakarta : Rieneka Cipta,.
Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam Kajian Atas
Lembaga-lembaga Pendidikan. Bandung : Mizan.
At-Tirmidzi, 1992. Terjemah Sunan At Tirmidzi IV. Semarang: CV. Asy-
Syifa‟.
Daradjat, Zakiah dkk. 2010. Ilmu pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Departemen Agama RI. 2002. Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemahanya.
Semarang : PT. Karya Toha Putra.
Depdikbud. 1995. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta
Durkheim, Emile. 1990. Pendidikan Moral, Suatu Studi Teori dan Aplikasi
Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Erlangga,
Hafizh, Muhammad Nur Abdul. 1997. Mendidik Anak Bersama
Rasulullah. Bandung : Al-Bayan.
Idris, M dan Marno. 2008. Strategi dan Meode Pengajaran. Yogyakarta :
Ar-ruzz Media.
Istadi, Irawati. 2005. Agar Hadiah dan Hukuman Efektif, Jakarta : Pustaka
Inti.
Jalal, Abdul Fattah. 1988. Asas-Asas Pendidikan Islam, Bandung : CV
Diponegoro.
101
Langgulung, Hasan, 2004. Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa
Psikologi, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: PT. Pustaka Al
Husna Baru.
Majid, Abdul dkk. 2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung
: PT Remaja Rosdakarya.
Makmur, Haris Farhoni dkk. 2010 Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme
Masyarakat Modern , Yogyakarta : IRCiSoD.
Mas‟ud Abdurrahman. 2002. Menggagas format pendidikan
nondikotomik(humanisme religius sebagai paradigma pendidikan
islam), Yogyakarta : Gama Media,
Maunah, Binti.2011. Perbandingan Pendidikan Islam, Yogyakarta : Teras.
Muchtar, Heri Jauhari. 2008. Fikih Pendidikan, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Mustaqim. 2001 Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset.
Mustaqim, Abdul. 2005. Menjadi Orangtua Bijak : Solusi Kreatif
Menangani Pelbagai Masalah Pada Anak, Bandung : Al-Bayan.
Nata, Abuddin.2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-
Murid. Jakarta : PT. Raja Grafindo.
Nizar, Samsul.2002. Filsafat Pendidikan Islami, Jakrta : Ciputat Press.
Kosim, Muhammad.2012. Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun :
Kritis, Humanis, dan Religius. Jakarta : Rineka Cipta.
Purwanto, Ngalim.1990. Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT Remaja
Rosdakarya.
Quthb, Muhammad.1993. Sistem Pendidikan Islam, Bandung: PT
AlMaarif.
Roqib, Moh.2009. Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan
Integratif di Sekolah, Keuarga dan Masyarakat, Yogyakarta :
LkiS.
Saerozi, Muh.2013. Pembaruan Pendidikan Islam, Yogyakarta : Tiara
Wacana.
Sahlan, Asmaun.2009. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah Upaya
Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi, Malang : UIN Maliki
Press.
102
Seifert, Kelvin. 2010. Manajemen Pembelajaran dan Instruksi Pendidikan,
Yogyakarta: IRCiSod.
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2006
Susana, Tjipta dkk.2007. Mempertimbangkan Hukuman Pada Anak,
Yogyakarta :Kanisius.
Syafei, M Sahlan.2006. Bagaimana Anda Mendidik Anak, Bogor: Ghalia
Indonesia.
Syafri, Ulil Amri.2014. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an, Jakarta
: Rajawali Pers.
Tafsir, Ahmad. 2008 Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Pendidikan Islam,
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Ulwan, Abdullah Nashih. 2009. Mencintai dan Mendidik Anak secara
Islami. Yogyakarta : Darul Hikmah.
Yunus, Mahmud. 2010. Kamus Arab Indonesia. Jakarta : PT. Mahmud
Yunus Wa Dzurriyyah.
www.harian7.com/2016/02/pemukulan-siswa-oleh-guru-sd-ledok-
2_66.html?m=1
www.ilo.org./dyn/natlex/docs
www.regional.kompas.com
sumberdaya.ristekdikti.go.id
http://m.kompasiana.com/sahrona.lumbanraja
103
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Sariful Rohman
Tempat, Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 10 Mei 1993
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Manggung, Kec.Bandungan, Kab Semarang
Hp : 085 640 494 371
Latar Belakang Pendidikan Formal
1999-2005 :MI Sabilul Huda, Kec.Bandungan, Kab.Semarang
2005-2008 :MTs Jimbaran, Kec.Bandungan, Kab.Semarang
2008-2011 :SMA Wira Usaha, Kec.Bandungan, Kab. Semarang
2012-sekarang :Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga