reward dan punishment dalam pendidikan...

46
20 BAB II REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PENDIDIKAN AKHLAK A. Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam 1. Pengertian Reward dan Punishment Secara etimologi reward berasal dari bahasa Inggris, kata ini diambil dari istilah psikologi yang diembriokan oleh Thorndike. 1 Dalam memenuhi kebutuhan anak, orang tua memiliki kemampuan “menghadiahi” anak. Ahli psikologi menggunakan istilah “hadiah” atau “ganjaran” untuk segala sesuatu yang dimiliki oleh orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak (memperoleh hadiah daripadanya). Sebaliknya orang tua pun memiliki cara untuk membuat perasaan anaknya sakit ataupun tidak senang, baik dengan tidak memberi si anak apa yang dibutuhkan, ataupun melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak senang. Ahli psikologi menggunakan istilah hukuman sebagai lawan dari hadiah atau ganjaran. Setiap orang tahu dari pengalaman sendiri bahwa manusia (dan binatang) cenderung untuk mengulangi tingkah laku yang dapat menghasilkan hadiah dan menjauhi dan menjauhi tingkah laku yang tak menghasilkan hadiah bahkan mendatangkan hukuman. Dengan demikian orang tua dapat memperkuat suatu tingkah laku tertentu dari anak dengan memberikan hadiah, dan menghilangkan tingkah laku lain dengan pemberian hukuman. 2 Reward adalah sesuatu yang diberikan atau dilakukan dalam hasil penerimaan yang baik, ini bisa kembali kepada sesuatu yang abstrak ataupun kongkrit. Reward dapat berupa situasi, atau daftar verbal yang 1 Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 248-249. 2 Thomas Gordon, Menjadi Orang Tua Efektif Petunjuk Terbaru Mendidik Anak yang Bertanggung Jawab, terj. Farida Lestira Subardja, et. al., (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 141.

Upload: hathien

Post on 11-May-2018

222 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

20

BAB II

REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PENDIDIKAN AKHLAK

A. Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam

1. Pengertian Reward dan Punishment

Secara etimologi reward berasal dari bahasa Inggris, kata ini

diambil dari istilah psikologi yang diembriokan oleh Thorndike.1 Dalam

memenuhi kebutuhan anak, orang tua memiliki kemampuan

“menghadiahi” anak. Ahli psikologi menggunakan istilah “hadiah” atau

“ganjaran” untuk segala sesuatu yang dimiliki oleh orang tua yang dapat

memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak (memperoleh hadiah daripadanya).

Sebaliknya orang tua pun memiliki cara untuk membuat perasaan anaknya

sakit ataupun tidak senang, baik dengan tidak memberi si anak apa yang

dibutuhkan, ataupun melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa

sakit atau tidak senang. Ahli psikologi menggunakan istilah hukuman

sebagai lawan dari hadiah atau ganjaran. Setiap orang tahu dari

pengalaman sendiri bahwa manusia (dan binatang) cenderung untuk

mengulangi tingkah laku yang dapat menghasilkan hadiah dan menjauhi

dan menjauhi tingkah laku yang tak menghasilkan hadiah bahkan

mendatangkan hukuman. Dengan demikian orang tua dapat memperkuat

suatu tingkah laku tertentu dari anak dengan memberikan hadiah, dan

menghilangkan tingkah laku lain dengan pemberian hukuman.2

Reward adalah sesuatu yang diberikan atau dilakukan dalam hasil

penerimaan yang baik, ini bisa kembali kepada sesuatu yang abstrak

ataupun kongkrit. Reward dapat berupa situasi, atau daftar verbal yang

1 Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hlm.

248-249. 2 Thomas Gordon, Menjadi Orang Tua Efektif Petunjuk Terbaru Mendidik Anak yang

Bertanggung Jawab, terj. Farida Lestira Subardja, et. al., (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 141.

21

menghasilkan kepuasan atau meningkatkan kemungkinan mempelajari

tindakan.3

Dari sini, dapatlah dikatakan bahwa ada sinyalemen reward tidak

selamanya berupa materi. Sebagaimana pemahaman umum, reward

identik dengan hadiah yang dijumpai hanyalah berupa benda atau barang

yang diberikan dengan tujuan tertentu. Agaknya hadiah semacam kado,

parsel, dan bingkisan semacamnya, atau mungkin berupa barang-barang

berharga lainnya.

Elizabeth B. Hurlock memposisikan reward sebagai salah satu

pilar dari disiplin, menurutnya reward berarti tiap bentuk penghargaan

untuk suatu hasil yang baik, penghargaan tidak perlu berbentuk materi,

tetapi berupa kata-kata pujian, senyuman atau tepukan di punggung.4

Pendapat ini diamini oleh Thomson, menurutnya penguatan positif,

reward, dapat diberikan dengan dua model. Pertama pemberian hadiah

kasih, berupa memuji, menepuk punggung, memeluk atau menyentuh

dengan penuh kasih. Kedua pemberian hadiah materi, semisal pergi ke

restoran untuk makan es krim, memberi permen atau coklat, menambah

waktu untuk menonton teve, mengizinkan menonton acara khusus atau

membawanya berpiknik.5

Menurut Durkheim, reward secara eksklusif berupa ucapan

penghargaan dan pujian secara terbuka, sehingga ungkapan rasa hormat

dan kepercayaan bagi seseorang yang telah berbuat sesuatu yang baik

secara istimewa sekali. Namun, Durkheim mengingatkan bahwa sangat

3 Webster Noah, Dictionary of English Language, (New York: Portland, 1989), hlm.

1228. Pada umumnya, ahli psikologi memilih istilah reinforcement, karena reward mengandung kesan mentalistik dan dihubungkan dengan kepuasan dalam batin, keadaan yang tidak dapat dikontrol. Sebagian ahli psikologi ketika menunjukkan pada anak-anak terutama dalam situasi pendidikan menggunakan istilah reward. Lihat H. M. Hafi Anshari, Kamus Psikologi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), hlm. 582.

4 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan anak, terj. Med. Meitasari Tjandrasa, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 90. Abdurrahman Mas’ud lebih senang menggunakan kata prestasi, yang harus diberikan penghargaan dalam arti luas dan fleksibel tanpa terfokus pada materi. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi 28/th. VI /Nov. /1997, hlm. 23.

5 Mary Go Setiawani, Menembus Dunia Anak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. 1, hlm. 57.

22

kecil peran yang ada dalam reward terhadap kesadaran moral, karena

reward adalah instrumen budaya intelektual bukan budaya moral. Di

samping itu ketika anak sering mendapatkan reward (khususnya dalam

lingkungan sekolah) kemudian ia hidup dalam suatu lingkungan

masyarakat yang tidak mengenal mengganjar perilaku yang terpuji secepat

dan secermat masa sekolah. Maka akibat yang ditimbulkan ia harus

berusaha membangun bagian hidup moralnya sendiri dan mengalami

adanya ketidak pedulian yang tidak dipelajarinya di sekolah dulu.6 Hal ini

bukan berarti tidak ada nilai manfaat sekalipun yang dibawa oleh reward,

cuma seringkali si penerima menghitung-hitung dan menumpuk-

numpuknya secara membabi buta, sehingga sekilas reward identik dengan

suap. Jika reward lebih terkait dengan budaya intelektual yang lebih

menekankan ilmu pengetahuan, berarti masih terkait dengan moral itu

sendiri. Karena ilmu pengetahuan harus menyesuaikan diri dengan tatanan

kemanusiaan, tidak menyalahinya. Dengan kata lain reward memiliki

andil dalam pembentukkan moral itu sendiri.

Reward yang benar akan kebajikan ditemukan dalam ketentraman

batin, rasa penghargaan dan simpati yang dibawanya kepada si penerima,

dana dalam kesenangan yang ditimbulkannya. Akan tetapi, cukup banyak

alasan untuk percaya bahwa prestise dalam kehidupan sekolah mungkin

terlalu berkaitan secara eksklusif pada manfaaat intelektual dan bagian

yang lebih besar sesungguhnya harus disediakan bagi nilai moral. Oleh

karena itu, tidak perlu untuk menambah tes dan kertas baru pada apa yang

telah ada, atau menambah berbagai hadiah baru dalam daftar penghargaan.

Cukuplah bagi pendidik untuk lebih banyak perhatian pada sifat-sifat yang

telah ada sekarang ini, sesuatu yang sering dianggap sebagai suatu hal

yang sekunder. Kasih sayang dan persahabatan yang ditunjukkan kepada

siswa yang kerja keras, tetapi upaya-upayanya tidak membawa

keberhasilan yang sama seperti teman-teman lainya yang lebih beruntung,

6 Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi

pendidikan, terj. Lukas Ginting, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 148.

23

dengan sendirinya akan merupakan ganjaran yang terbaik dan akan

memulihkan suatu keseimbangan.7

Dengan demikian pada dasarnya reward digunakan dalam arti luas

dan fleksibel, tidak terbatas pada sesuatu pemberian yang bersifat materi

semata, akan tetapi inti darinya menimbulkan efek rasa senang, kepuasan

batin, dan simpatik atas apa yang telah diperbuat. Sehingga timbul

karenanya sesuatu yang bersifat positif, reward jauh dari nilai suap.

Di sisi lain punishment dipahami sebagai suatu gambaran dari

tindakan menghukum terhadap suatu kesalahan,8 yang menurut Hanafi

Anshari mengkategorikan ke dalam tiga batasan. Pertama perubahan rasa

sakit atau tidak suka terhadap subjek karena kegagalan perbuatan untuk

menyesuaikan diri terhadap batasan dalam eksperimen, kedua suatu

rangsangan dengan valensi negatif atau rangsangan yang sanggup untuk

mengubah rasa sakit atau ketidak senangan, dan ketiga gangguan terhadap

periode pengurangan pada orang yang resmi bersalah, lawannya reward.9

Setidaknya ada tiga hal yang dapat diambil dari tiga batasan

punishment yang dikemukakan oleh Hanafi, pertama adanya rasa sakit

atau tidak suka terhadap pelaku pelanggar, kedua valensi negatif, dan

ketiga punishment dijatuhkan kepada si bersalah.

Lebih jelasnya Elizabeth mensejajarkan punishment dengan konsep

disiplin, di samping punishment juga merupakan salah satu pilar dari

disiplin sendiri. Menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila terjadi

suatu pelanggaran peraturan dan perintah.10 Karena punishment

pengaruhnya lebih bersifat tegas dan ada unsur pencegahan terhadap

perilaku yang melanggar.

Durkheim berpendapat setiap punishment identik dengan resiko

kesusahan yang harus bisa diperhitungkan oleh si pelanggar, sehingga ia

7 Ibid., hlm. 149. 8 Webster Noah, op. cit., hlm. 1165. 9 H.M. Hanafi Anshari, op. cit., hlm. 537. 10 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 82.

24

dapat dapat mengelakkan kesukaran tersebut dengan mempertimbangkan

masih banyaknya kombinasi lingkungan.11

Dengan adanya kemampuan memperhitungkan setiap resiko yang

akan dihadapi jika melakukan perbuatan yang melanggar, seseorang dapat

memilih perbuatan lain yang lebih baik dan tidak melanggar. Sehingga hal

ini menimbulkan kesadaran dalam diri atas bantuan dari resiko yang

ditimbulkan oleh punishment.

2. Bentuk-bentuk

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ada kecenderungan reward

selalu berkonotasi pada suatu pemberian yang bersifat materi, padahal

sebenarnya reward bisa berarti luas dan fleksibel. Apapun bentuk

penghargaan yang digunakan harus sesuai dengan perkembangan anak.

Bila tidak, akan kehilangan efektivitasnya. Contoh sederhana, sebelum

anak mengerti kata-kata, pujian hanya memiliki sedikit arti, kecuali bila

disertai senyuman, pelukan atau bentuk komunikasi non-verbal lainnya.

Sebaliknya bila bentuk komunikasi non-verbal ini digunakan bagi anak

yang lebih besar, bentuk ini kurang efektiv dibandingkan kata-kata pujian.

Hadiah kadang-kadang diberikan sebagai penghargaan untuk suatu

perilaku yang baik. Suatu hadiah dapat merupakan suatu tanda kasih

sayang, penghargaan atas kemampuan dan prestasi seorang anak, bentuk

dorongan atau tanda kepercayaan. Apapun situasinya hadiah menambah

rasa harga diri anak, atau mungkin suatu perlakuan istimewa, semisal izin

menonton dan yang lainnya. Intinya bernilai sebagai sumber motivasi

untuk melanjutkan perilaku yang baik lebih besar.12

Dengan mengaitkannya kepada perkembangan anak dan tentu saja

kondisi sekiranya bentuk reward apa yang harus diberikan, kiranya

kesulitan untuk membatasi apa saja bentuk dari reward. Akan tetapi,

reward sebagai penghargaan terhadap pembenaran atas perilaku yang telah

dilakukan untuk memotivasi agar terjadi penguatan dan pengulangan yang

11 Emile Durkheim, op. cit., hlm. 117. 12 Ibid., hlm. 90-91.

25

lebih besar dapat dijadikan batasan untuk mendasari bentuk reward itu

sendiri. Dengan kata lain, bentuk reward meliputi segala sesuatu yang

bersifat positif dan dapat menimbulkan kesan baik terhadap perilaku yang

telah dilakukan. Secara umum reward dapat berupa materi dan nonmateri.

Adapun mengenai perincian dari dua bentuk ini banyak sekali jumlahnya,

asalkan itu mengandung muatan penguatan positif terhadap perilaku anak

didik.

Mengenai bentuk punishment, yang sering tergambarkan sebagai

bentuk perlakuan fisik, dahulu hukuman oleh kebanyakan orang diartikan

sebagai hukuman badan,13 yaitu menimbulkan rasa sakit dengan

menempeleng, memukul, dan memecut. Anggapan ini sebagai satu-

satunya cara yang efektif untuk mencegah terulangnya perilaku anak yang

salah. Keyakinan ini diperkuat oleh pepatah lama, “simpanlah tongkat dan

anak menjadi rusak”. Bahkan banyak orang tua dan guru merasa bahwa

hukuman badan merupakan tugas dan tanggung jawab, terlihat dari

kenyataan bahwa sebelum memberi hukuman mereka sering berkata pada

anaknya, “ini lebih menyakitkan saya daripada menyakitkan kamu”.

Meskipun demikian, mereka yakin bahwa tiap bentuk lain hukuman tidak

bermanfaat dan menjadi tanda bahwa mereka yang berkuasa terlalu

“lunak” dan “lemah” untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab

mereka.14

13 Hukuman badan muncul pada awal peradaban, kemudian jika tidak ada sebab lain yang

mempengaruhinya, orang akan mengira bahwa penerapan hukuman badan akan kehilangan dasarnya, bila ia menjadi hal yang biasa. Karena apabila kesadaran moral suatu bangsa menjadi semakin halus, apabila tingkah laku menjadi semakin lemah lembut, maka kekerasan seperti itu akan menjadi menjijikan. Tetapi sistem represif ini bukannya menurun, melainkan makin meluas selama berabad-abad justru tingkat peradaban manusia semakin meninggi, namun dengan bentuk yang lebih umum. Ibid., hlm. 137

14 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 87. Hukuman dapat dilaksanakan secara verbal dan non verbal (pukulan, cubitan, pelototan) dan dilaksanakan segera sesudah tingkah laku yang tidak diharapkan dihentikan. Adapun yang bersifat verbal dapat berupa sindiran atau ancaman, dan tentu yang biasa orang lakukan marah yang bersifat verbal juga merupakan salah satu bentuk hukuman tetapi sifatnya tidak mendidik. Karena disertai emosi dua belah pihak dan cenderung subjektif. Akibat langsung yang muncul adalah terhenti dan terputusnya komunikasi karena saling mengikuti alur perasaan masing-masing. Jangankan pukulan, marah yang bersifat verbal pun berefek tidak baik untuk digunakan. Nur’aeni, Intervensi Dini Bagi Anak Bermasalah, Cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 138.

26

Kesimpulan ini diambil dari sampel negara Amerika, akan tetapi

zaman terus merangkak seiring dengan pemikiran manusia yang tidak

jalan ditempat. Hukuman berubah bentuk menjadi lebih permisif dan lunak

akan tetapi populer, semisal mengisolasi anak dari lingkungan sosial bila

mereka berperilaku buruk, melarang anak menikmati kesenangan tertentu,

manakut-nakuti, mempermalukan, mengancam, membandingkan dengan

yang lain, mengomel, dan berulang-ulang mengungkit pelanggaran yang

telah dilakukan.15

Hukuman fisik hanya bisa dibenarkan kalau si anak masih

dianggap sama dengan hewan kecil. Kalau begitu, masalahnya bukan soal

pendidikan, melainkan pelatihan. Pendek kata, cara menghukum seperti itu

harus dilarang. Dalam keluarga, akibat-akibat buruk masih mudah

diperhalus dan dinetralisasi dalam hubungan kelembutan dan cinta yang

tidak henti-hentinya antara orang tua dan anak-anaknya, dan dengan

keakraban hidup yang bisa mengurangi arti kekerasan semacam itu.

Demikian juga di sekolah, tidak ada apapun yang dapat memperlunak

kekerasan tersebut, hukuman dikenakan secara impersonal. Bagaimana

pun juga menyakiti secara fisik, yang secara moral jelas sangat menjijikan,

tidak mempunyai suatu cara apapun untuk memperluasnya, inilah

sebabnya mengapa hal itu harus dihindarkan sama sekali.16

Hukuman fisik berupa pukulan, diasingkan, dan didamprat

sebaiknya merupakan cara terakhir setelah cara lain tidak berdampak

terhadap kelakuan anak. Ada empat alasan mengapa hukuman fisik tidak

dapat diterima. Pertama, secara tidak sadar memberi pukulan mengajar

anak untuk memukul. Kedua, bila orang tua kehabisan akal lalu dengan

emosi dan kekerasan pukulan diberikan. Ketiga, dari hasil penyelidikan

terhadap seekor tikus yang tidak tersesat lalu diberikan makanan hasilnya

akan lebih baik dibandingkan bila tersesat lalu diberi aliran listrik.

Keempat memukul dapat melukai harga diri anak, mengurangi

15 Ibid., hlm. 88… 16 Emile Durkheim, op. cit., hlm. 132.

27

kepercayaannya terhadap pendidik, bahkan menghindari dan

membencinya.17

Di samping itu, punishment yang bersifat fisik pada umumnya

tidak membawa dampak positif, sebaliknya membawa kesan yang negatif

terhadap si terhukum. Seringkali ketakutan dan kadang rasa ingin berontak

menjadi sebab yang ditinggalkannya. Adapun inti dari punishment akan

lebih baik jika apapun bentuknya (kecuali hukuman fisik sebagai cara

terakhir) itu menimbulkan sense of guilty dengan mengembangkannya dan

menggunakan cara-cara edukatif.18

Dengan demikian secara umum punishment bisa berbentuk fisik

ataupun nonfisik. Adapun jenis-jenis bentuk lain yang merupakan

penjabaran dari kedua jenis punishment ini sangatlah beragam. Hal ini

menuntut daya kreativitas pendidik dalam rangka mewujudkan bentuk

punishment yang efektif dalam rangka mendisiplikan perilaku anak.

3. Dasar dan Fungsi Reward dan Punishment

Di zaman dahulu orang menjatuhkan hukuman adalah sebagai

melepaskan dendam kepada si bersalah, sebab itu maka di abad-abad

pertengahan terdapatlah alat-alat penghukum yang amat mengerikan

semisal dicungkil, lidah dekerat, kedua kaki dipatahkan, kedua telapak

tangan dipaku, atau dimasukkan seseorang ke dalam tong bulat yang telah

diranjau besi paku beratus-ratus kedalamannya lalu digulingkan di jalan

raya supaya mati.19

Demikian mengerikannya alat penghukum yang diberikan bagi

seseorang yang melanggar, tentunya ini akan menimbulkan kerusakan,

keluar dari inti dasar menjatuhkan hukuman yaitu memperbaiki perilaku

yang melanggar itu sendiri. Merujuk pendapat Ahmad Ali Budaiwi, ada

beberapa prinsip imbalan dan hukuman yang harus diperhatikan,

diantaranya:

17 Mary Go Setiawani, op. cit., hlm. 60-61. 18 Lihat Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 30. 19 HAMKA, Lembaga Budi, Cet. VII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 103.

28

a. Imbalan berfungsi sebagai pengarah dan peneguh respons positif dan

perilaku yang benar. Sedangkan hukuman atau sanksi adalah untuk

melemahkan atau menghilangkan respons atau perilaku tertentu anak

yang dipandang menyimpang.

b. Imbalan dan hukuman bukanlah tujuan, keduanya adalah sarana untuk

mengukuhkan dan menghilangkan perilaku tertentu.

c. Imbalan dan hukuman harus dilaksanakan secara imbang dan

proposional.

d. Imbalan diberikan secara situasional, sewaktu-waktu agar tidak

berubah menjadi pelicin atau suap.

e. Pemberian sanksi dan imbalan harus sudah melalui kejelasan masalah

sehingga sudah diperoleh suatu keyakinan yang mendalam.

f. Diutamakan memberikan imbalan daripada menerapkan sanksi dan

diutamakan menggunakan nonmateri agar anak tidak menjadi

materialistis.

g. Ketidaktepatan memberi imbalan dan hukuman dapat menimbulkan

masalah pada diri anak.20

Prinsip-prinsip tersebut diterapkan sesuai dengan karakteristik

anak, agar tidak salah dalam menerapkannya. Karena kalau salah, alih-alih

mau mengembangkan kreativitas malah memupus potensi kreatifnya, serta

menyisakan berbagai masalah psikologis dan sosial pada diri anak.

Fungsi reward mempunyai peranan penting dalam mengajak anak

berperilaku sesuai dengan cara yang disetujui masyarakat. Pertama

mempunyai nilai didik, bila suatu tidakkan disetujui, anak merasa bahwa

hal itu baik, reward mengisyaratkan pada mereka bahwa perilaku itu baik.

Bila penghargaan bervariasi intensitasnya agar sesuai dengan usaha anak

untuk berperilaku menurut standar yang disetujui secara sosial, nilai

edukatif reward itu meningkat. Kedua berfungsi sebagai motivasi untuk

mengulangi perilaku yang disetujui secara sosial, karena anak bereaksi

20 Wahyudin, Menuju Kreativitas, Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 22-23.

29

dengan positif terhadap persetujuan yang dinyatakan dengan penghargaan,

di masa mendatang mereka berusaha untuk berperilaku dengan cara yang

akan lebih banyak memberikannya penghargaan. Dan ketiga berfungsi

untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial, dan tindakannya

penghargaan melemahkan keinginan untuk mengulangi perilaku ini. Bila

anak harus belajar berperilaku dengan cara yang disetujui secara sosial, ia

harus merasa bahwa berbuat demikian cukup menguntungkan baginya.

Karenanya penghargaan harus digunakan untuk membentuk asosiasi yang

menyenangkan dengan perilaku yang diinginkan.21

Selain itu, reward akan menjadi dukungan bagi apa yang telah

diperbuat anak, reward sebagai ekspresi kasih sayang menumbuhkan

kepercayaan diri pada anak bahwa ia akan mampu melakukan

(bertindak).22

Di sisi lain asumsi kebanyakan orang, punishment merupakan

suatu cara sederhana untuk mencegah berbagai pelanggaran terhadap

peraturan. Asosiasi mental membuktikan, penderitaan dan rasa takut

terhadap penderitaan akan mencegah terulangnya tindakan-tindakan yang

dilarang. Dengan kata lain, fungsi hukuman pada dasarnya bersifat

preventif, yang sepenuhnya berasal dari rasa takut terhadap ancaman

hukuman. Memang, tidak dapat disangkal lagi secara a priori pun, rasa

takut terhadap hukuman dapat mempunyai pengaruh yang bermanfaat atas

keinginan-keinginan tertentu. Namun hal ini bukan merupakan alasan satu-

satunya dan terpenting dari hukuman. Karena, jika punishment tidak

mempunyai tujuan lain, maka fungsi-fungsi yang dijalankannya akan

menjadi kurang berarti, dan orang dapat mempertanyakan apakah

21 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 90. 22 Maurice J. Elias, et. al., Cara-cara Efektif Mengasah EQ Remaja: Mengasuh dengan

Cinta, Canda, dan Disiplin, terj. Ari Nilandari, (Bandung: Khaifa’, 2003), hlm. 58. Anak membutuhkan dukungan moral dalam dua tipe keadaan, ketika mengalami sesuatu atau seseorang untuk pertama kalinya, dan ketika merasa lebih takut daripada yakin. Belajar mengenali dan peka serta berada di sisi anak dalam kedua keadaan ini, akan menimbulkan ingatan pada anak terhadap keberadaan dan dukungan orang tua sebagai contoh nyata kasih sayang. Lihat Jan Dargatz, Cara Sederhana menyatakan Kasih Sayang Pada Anak Anda, terj. Esther S. Mandjani, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1993), hlm. 92.

30

hukuman memang cukup bernilai dibandingkan dengan kerugian yang

diakibatkannya. Kenyataannya, karena hukuman itu datang dari luar dan

berdasarkan hal-hal yang eksternal, maka ia tidak menyentuh sumber

kehidupan moral. Sampai derajat tertentu, hukuman memang secara

mekanis dapat membuat anak menjauhi perilaku tertentu, tetapi bila

dikaitkan dengan sebab-sebab mengapa anak melakukan perbuatan yang

terlarang, hukuman tidak dapat menimbulkan suatu kecenderungan untuk

berbuat sesuatu yang baik. Walaupun ancaman mungkin efektif, namun

dengan sendirinya tidak bisa membuat suatu perbaikan. Dengan demikian,

apabila hukuman tidak mempunyai fungsi lain kecuali mengekang impuls-

impuls yang tidak dapat diterima melalui ancaman, maka orang akan

menganggapnya hanya sebagai cara untuk menjamin kesopanan lahiriah

dan dangkal.23

Punishment mempunyai peranan penting dalam perkembangan

moral anak, pertama menghalangi pengulangan tindakan yang tidak

diinginkan oleh masyarakat. Bila anak menyadari bahwa tindakan tertentu

akan dihukum, mereka biasanya urung melakukan tindakan tersebut

karena teringat akan hukuman yang dirasakannya di waktu lampau akibat

tindakan tersebut. Nilai penghalangannya juga penting bagi anak kecil

yang belum belajar tentang apa yang benar dan yang salah. Seandainya

mereka sedang berbuat sesuatu yang membahayakan mereka, orang lain

atau harta milik, pukulan pada tangan biasanya akan menghentikan

perbuatan itu. Kedua mendidik, sebelum anak mengerti peraturan mereka

dapat belajar bahwa tindakan tertentu benar dan yang lain salah dengan

mendapat hukuman karena melakukan tindakan yang salah dan tidak

menerima hukuman bila mereka melakukan tindakan yang diperbolehkan.

Dengan meningkatnya usia, mereka belajar peraturan terutama lewat

pengajaran verbal. Tetapi mereka juga belajar dari pengalaman bahwa

mereka gagal mematuhi peraturan sudah barang tentu mereka akan

dihukum, dan ini memperkuat pengajaran verbal. Aspek edukatif lain dari

23 Emile Durkheim, op. cit., hlm. 116.

31

hukuman yang sering kurang diperhatikan adalah mengajar anak

membedakan besar kecilnya kesalahan yang diperbuat mereka. Kriteria

yang diterapkan anak adalah frekuensi dan beratnya hukuman. Jika

hukuman itu konsisten, mereka akan selalu dihukum untuk tindakan yang

salah. Beratnya hukuman membuat mereka mampu membedakan

kesalahan yang serius dari yang kurang serius.24

Namun, bukan berarti dengan mengajarkan demikian, anak akan

tetap melakukan pelanggaran dengan mengetahui bahwa perbuatan yang

dilakukannya hanya menyentuh persoalan yang ringan, tidak terlalu serius.

Tentunya masalah ini harus dicegah dengan tetap menanamkan bahwa

sekecil apapun kesalahan, ia tetap kesalahan yang “haram” untuk

dilakukan apalagi diulangi.

Sakit yang ditemukan akibat hukuman membangun orang terhadap

perasaannya dan meningkatkan kesadaran yang terbatas mengenai apa

yang sebenarnya dan apa yang salah. Dengan cara ini, hukuman

merupakan alat atau kemahiran untuk membangun rasa sakit dan dalam

berbagai taraf hukuman itu memotivasi perubahan.25

Memberikan motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak

diterima masyarakat adalah fungsi hukuman yang ketiga. Pengetahuan

tentang akibat-akibat tindakan yang salah perlu sebagai motivasi untuk

menghindari kesalahan tersebut. Bila anak mampu mempertimbangkan

tindakan alternatif dan akibatnya, mereka harus belajar memutuskan

sendiri apakah suatu tindakan yang salah cukup menarik untuk dilakukan.

Jika mereka memutuskan tidak, maka mereka akan mempunyai motivasi

untuk menghindari tindakan tersebut.26

Suatu hukuman dianggap adil ketika setimpal dengan beratnya

pelanggaran, maka tujuannya bukan semata-mata untuk melakukan

intimidasi. Menurut kaum moralis, fungsi hukuman bukan terletak dalam

24 Elizabeth B. Hurlock, loc. cit. 25 John Gray, Anak-anak Berasal dari Surga, terj. B. Dicky soetadi, (Jakarta: gramedia

Pustaka Utama, 2001), hlm. 112. 26 Elizabeth B. Hurlock, loc. cit.

32

cara bagaimana mencegah terulangnya pelanggaran, melainkan dalam cara

bagaimana menghilangkannya. Di dalam hukuman harus mempunyai

suatu nilai yang bisa mengimbangi tindakan yang terdapat dalam

pelanggaran. Menurut M. Janet, hukuman tidak hanya sebagai ancaman

untuk menjamin terlaksananya peraturan, tetapi sebagai penyilihan atas

pelanggaran yang menempatkan akibat pelanggaran kembali pada

tempatnya yang benar. Bila diartikan demikian, maka hukuman

merupakan semacam “pelanggaran balasan”, counteroffense, yang

mengimbangi pelanggaran dan mengembalikan segala sesuatu kepada

keadaan semula. Hukuman pada hakikatnya menjadi suatu penyilihan,

keseimbangan antara hukuman dan pelanggaran mudah dipahami, karena

bila hukuman dimaksudkan untuk mengimbangi dan menghilangkan

pelanggaran, maka ia harus ekuivalen dengan pelanggaran tersebut. Jika

hukuman dimaksudkan untuk menetralisasi pelanggaran, maka akan

meningkat bilaman kejahatan meningkat.27

Dengan demikian memperhatikan berat-ringannya hukuman sangat

diperlukan agar hukuman itu sendiri mampu berfungsi sesuai dengan apa

yang diinginkan oleh penghukum. Maka ketika tidak ada kesetimpalan

hukuman terhadap perbuatan menyimpang, akan terjadi kesan

menyepelekan, tidak berdampak, karena hukuman terlalu ringan, atau

mungkin kekejaman karena hukuman terlalu berat.

Tujuan dan fungsi yang diungkapkan di atas berkaitan internal

dengan pelaku yang mendapatkan reward atau punishment. Sebenarnya

secara eksternal, di luar pelaku, sebagian besar reward dan punishment

mempunyai tujuan dan fungsi lain yang amat besar perannya. Fungsi

hakiki dari hukuman bukan penyilihan melalui penderitaan atau untuk

menakut-nakuti orang lain malalui ancaman hukuman tersebut, melainkan

untuk tetap menegakan kesadaran.28 Bagi mereka diluar pelaku dapat

27 Emile Durkheim, op. cit., hlm. 118. 28 Ibid., hlm. 120.

33

menjadikan sebagai cermin untuk tidak melakukan sesuatu yang salah atau

melanggar dan mengikuti perilaku yang baik.

Dari firman Allah cukuplah dijadikan sebuah bukti akan tujuan

dari punisment, yaitu:

)١٧٩:البقرة(ولكم في القصاص حياة ياأولي الألباب لعلكم تتقون

Berdasarkan teks ayat di atas, hukuman ditujukan untuk

kelangsungan hidup, sebagai tindakan yang diambil ketika terjadi

perbuatan jahat, pelanggaran. Dari ayat ini tidak mencerminkan akan

objek pelaku saja, tetapi juga bagi mereka di luar pelaku.

Penderitaan yang diakibatkan hukuman bukan unsur hakiki, hanya

suatu indeks eksternal dari perasaan yang harus menyatakan diri terhadap

pelanggaran. Perasaan itulah yang diekspresikan, bukan dengan mana ia

diekspresikan.29 Dengan demikian dominasi dari perasaan yang

mengekspresikan penderitaan dari hukuman bukan menjadi “opini

konstan”, tidak menutup kemungkinan suatu hukuman diekspresikan

dengan kesadaran bahwa perbuatan tersebut dilarang dan tidak pantas

untuk dilakukan.

Jika kesadaran itu terjadi secara kolektif, dalam arti bukan hanya si

terhukum, tetapi juga dimiliki oleh orang-orang diluarnya, maka

kehidupan yang dicita-citakan oleh ayat di atas amat jelas dan nyata.

4. Efektifitas Reward dan Punishment

Kadang reward menyebabkan efek kurang baik, tatkala seorang

anak bertindak baik kemudian mendapatkan pujian ia menjadi sombong,

tentunya ini akan berputar 180 derajat dari fungsi reward yang

diinginkan.30 Haruslah dilakukan cara-cara positif, sehingga tidak

menimbulkan kesan atau respon yang negatif dari si anak. Pujian,

dorongan atau kritikan yang seimbang sesuai dengan tindakan anak akan

menimbulkan respon positif darinya.

29 Ibid., hlm. 121. 30 Lihat Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 91.

34

Reward berada eksternal sebagai sumber motivasi bersama

punishment haruslah disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan anak.

Kadang anak belum mampu melakukan penilaian yang lebih matang

terhadap tindakan yang telah dilakukan.31 Non-verbal, seperti kecupan,

pelukan, dan semisalnya akan lebih efektif diberikan ketika anak belum

fasih atau perhatian mereka belum fokus kepada bahasa ucapan yang

terkesan rumit dan membingungkan. Berbeda kasus ketika anak sudah

terbiasa dan tidak asing dengan bahasa verbal, maka pujian dengan kadar

dan intensitasnya yang tepat dan seimbang akan lebih mengena untuk

diberikan.

Sebaliknya ketika anak memasuki masa remaja, bentuk-bentuk

reward seperti ini tidak akan berguna lebih banyak. Karena sudah mulai

mengenal diri dan menganggap mampu untuk mandiri, perhatian yang

berlebih hanya akan membuat mereka merasa terkekang, tidak bebas

menentukan pilihan. Apapun perlakuan yang diperbuat orang tua terhadap

anak, kesemuanya merupakan ekspresi perhatian orang tua terhadap

anaknya. Jika bentuk perhatian ini berlebih, over protectif, maka anak akan

merasa terkekang, tidak nyaman dalam berbuat. Sehingga akan

menimbulkan kepercayaan diri berkurang pada diri anak.

Tindakan benar semisal pada kasus anak pada jam sekolah belum

juga pulang ke rumah, orang tua memasak makanan yang disukai oleh

anak. Lalu menghubungi anak dengan menggunakan bahasa verbal

semisal, “sayang, ibu masak sup kesukaanmu loh, cepat dicicipi nanti

keburu dingin”. Dengan tidak menanyakan langsung keberadaan dan tidak

langsung menyuruh untuk pulang, si anak akan merasa dihargai.32

Hasilnya akan berbeda ketika orang tua menggunakan kata langsung,

seperti “kamu sedang di mana, kok belum pulang? inikan jam pulang

sekolah, cepat pulang!”

31 Ibid., hlm. 88. 32 Ini juga merupakan tindakan yang menyenangkan sekaligus kejutan, dan kejutan

sendiri merupakan suatu cara dalam mendiskripsikan kasih sayang yang amat efektif. Lihat Jan Dargatz, op. cit., hlm. 95.

35

Kalau ditelusuri lebih lanjut, mendiktekan ancaman kepada anak

terkesan seolah-olah merupakan anjuran bagi anak untuk mengulangi

suatu perbutan yang dilarang. Hal ini disebabkan segala bentuk ancaman

atau peringatan dirasakan sebagai suatu tantangan dan pukulan terhadap

otonomi dan pribadi anak. Sehingga jika ia memiliki harga diri, ia akan

terus melanggarnya bahwa ia bukan boneka yang segalanya diatur dan

dipermainkan orang.33

Semisal dalam kasus sederhana, seorang kakak menembaki

adiknya dengan pistol mainan. Kejadian ini disimak oleh Ibu yang sedang

asyik nonton televisi, dengan peringatan dan ancaman kurang lebih

seperti: “Jangan menembaki adikmu, nanti kena mata, kuhajar kau!”

Ancaman ini berulang-ulang, jika si kakak memiliki harga diri sudah

barang tentu ia tidak akan menghiraukan dan mengabaikannya. Karena

ancaman hanya akan mengusik otonomi dan harga diri anak. Coba kalau

Ibu selanjutnya mengambil tindakan dan mengambil pistol dan

menanamkan pengertian bahwa perbuatan tersebut berbahaya dapat

mencederai si adik. Tindakan ibu menjadi lebih efektif karena langsung

menghentikan kesalahan serta si anak merasa dihargai dengan

menghindari ancaman dan cacian.34

Apabila seseorang disakiti, tentu dampak yang dirasakan adalah

rasa sakit. Secara fisik rasa sakit terjadi hanya secara insidental, akan

tetapi secara psikologis akan membekas dan menjelma menjadi trauma

33 Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan Perkembangan Jiwa anak, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1986), hlm. 9-10. 34 Olok-olok dalam bentuk apapun, menyebabkan si anak merasa tidak dihargai pula.

Hukuman-hukuman, perintah-perintah, larangan-larangan dan janji-janji akan menghukum tanpa ada alasan yang masuk akal dan wajar, juga menyebabkan si anak merasa tidak berharga. Selanjutnya setiap tindakan orang tua yang selalu menunjukkan kekuasaan dan kebesaran, akan memberikan pengertian kepada si anak bahwa dia tidak dihargai. Lihat Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 93-94. Orang tua (juga guru) yang menggunakan sindiran yang tajam dan cemoohan pada anak didik, juga merupakan jalan yang paling cepat merusak hubungan baik dengan anak didik sendiri. Dengan sendirinya anak menghindari untuk disakiti lagi hatinya dengan bersikap defensif, segan, takut, menutup dirinya dengan tidak mendengarkan atau tidak mau bercakap-cakap dengan orang tua. Alih-alih maksud memperbaiki perilaku anak malah merusak mereka. Lihat Kartini Kartono, Peranan Keluarga Memandu Anak, (Jakarta: Rajawali, 1992), Ed. 1 Cet. 2, hlm. 58.

36

yang berkepanjangan, dan pada akhirnya menimbulkan perkembangan

kurang baik pada anak.35 Di saat anak sedang mengalami pekembangan,

belum memiliki jati diri, masih mencari identitas, seharusnya lebih banyak

mendapatkan bimbingan, dorongan, dan perlindungan dari seseorang yang

dianggap sebagai sosok ideal, didewasakan. Akan tetapi, jika yang

diterimanya adalah sebaliknya, tentunya akan menimbulkan kekecewaan

dan rasa ketidakpercayaan. Sehingga akibatnya anak mengambil jarak

hubungan emosional tertentu dan memiliki kecenderungan

menyembunyikan berbagai informasi yang seharusnya disampaikan.

Akibatnya mereka terkesan berbuat tidak jujur dalam bertindak, karena

kekecewaan dan rasa ketidakpercayaan tersebut. Oleh karena itu, dengan

melihat indikasi tersebut, menimpakan hukuman fisik rasanya harus

berpikir dua kali.

Intensitas reward yang terlalu juga menyebabkan suatu anggapan

bahwa kemampuan anak sekaligus menyangsikan sifat-sifat baik yang

dimilikinya. Bila kemampuan seseorang bertindak hanya demi hadiah,

maka ada sesuatu yang kurang padanya. Tindakan yang didasari untuk

mendapatkan apa yang diinginkan dan lupa akan hasrat yang ada di

baliknya untuk berjasa. Akhirnya tidak ada kepedulian untuk berbuat

dengan sungguh-sungguh, hanya sekedar melakukan apa yang menjadi

persyaratan mendapatkan hadiah, jelas sekali ini tidak sehat.36 Hadiah

tidak lebih hanya sebagai pelicin atau suap, bukan sebagai motivasi dari

tujuan sebenarnya yaitu perbuatan baik itu sendiri dalam rangka

memoralkan perilaku.

Di sisi lain, hal ini juga akan menimbulkan ketergantungan dalam

bertindak, seseorang hanya akan bertindak dengan benar jika ada reward

di baliknya. Memanjakan anak dengan reward yang berlimpah hanya akan

memupuk rasa manja dan ketidakpercayaan akan kemampuannya,

35 Monty P. Satia Darma, Persepsi orang Tua Membentuk Perilaku Anak: Dampak

Pygmalion di dalam Keluarga, (Jakarta: Purtaka Populer Obor, 2001), hlm. 74. 36 Ibid., hlm. 12. Lihat juga John Gray, op. cit., hlm. 140.

37

sehingga anak menjadi lebih depensif menunggu apa yang akan

didapatkanya.

Begitu pula, jika anak sejak kecil sudah dibiasakan hidup dengan

dorongan kekerasan dan ancaman, ini dikarenakan ada aggapan orang tua

untuk memulihkan kewibawaan, padahal tanpa disadari pola pikir ini

adalah memaksakan kehendak dan menunjukkan superioritas,37 akan

menimbulkan efek negatif pada kepribadiaannya.38 Anak akan tumbuh dan

berkembang menjadi individu yang lemah dan gampang menyerah pada

nasib dan tidak memiliki inisiatif. Dampak lain, imitasi sebagai sumber

utama pembelajaran pada anak, akan mendapatkan pembenaran untuk

menirunya setelah dewasa.

Oleh karena itu, faktor bijak dalam intensitas dan variasi

pemberian reward dan punishment harus diperhatikan agar tidak salah

kaprah, mengena, dan memiliki nilai positif terhadap respon anak. Akan

lebih baik lagi penggunaan komunikasi yang lancar menjadi jembatan

hubungan harmonis dan juga merupakan aspek yang penting di dalam

proses pendidikan moral anak.39 Agar ada kejelasan antara keinginan dan

hal-hal yang berhubungan dengan anak dan orang tua sendiri. Orang tua

merindukan anak memiliki nilai-nilai moral yang tinggi, di lain pihak anak

memiliki keinginan dan kebutuhan semisal rasa kasih ingin dihargai dan

kasih sayang.

Pengembangan kasih sayang dengan bijak sebagai kunci utama dan

pertama dalam menangani, melayani, dan memenuhi kebutuhan anak.40

37 Padahal menghukum adalah mengajarkan nialai-nilai dan kecakapan yang diperlukan

anak agar berhasil dalam menjalani hidup. Lihat Maurice J. Elias, et. al., op. cit., hlm. 70. 38 Lebih lanjut lihat Dewa Ketut Sukardi, op. cit., hlm. 91-93 dan Monty P. Satiadarma,

op. cit., hlm. 76-77. 39 Jahotner F. Manullang, (ed.), Komunikasi Keluaarga: Kunci Kebahagiaan Anda,

(Jakarta: Indonesia Publishing House Ofset, 1999), hlm. 200. Lihat juga Monty P. Satiadarma, op. cit., hlm. 95.

40 Nur’aeni, op. cit., hlm. 135. Kalau dengan lebih teliti rasa kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar dalam hidup dan kehidupan manusia. Apabila anak pernah atau kurang meraba-rasakan kasih sayang orang tuanya maka tidak bisa dipungkiri akan menimbulkan penderitaan batin. Bisa jadi mengakibatkan kesehatan badan menjadi terganggu, kecerdasan berkurang, kelakuan mengarah keras kepala, dan nakal. Pertumbuhan jiwa, akal, dan akhlaknya tumbuh secara tidak sehat serta banyak terjadi penyimpangan yang merupakan

38

Hakikat dari pembinaan anak sesungguhnya bersandar kepada hati nurani

orang tua. Kegelisahan, kemurungan hati orang tua dengan satu dan lain

cara, akan dilampiaskan kepada anak keturunannya. Anak yang dibesarkan

dalam suasana serba konflik jauh dari kasih sayang, akan terjadi suatu

kecenderungan anak mengalami keresahan jiwa dengan tindakan-tindakan

yang negatif.

5. Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam

Reward dan punishment, dua istilah yang tidak asing lagi dalam

dunia pendidikan. Bagi umat Islam, kedua istilah tersebut sering dijumpai

dalam kitab suci al-Qur’an yang berbahasa Arab. Seperti kata ajr atau

tsawab dan iqab atau azab, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris

kurang lebih bersinonim dengan arti reward dan punishment.41

Reward biasanya diberikan terhadap seorang yang telah melakukan

kebaikan, atau berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan.

Sebagaimana dalam surat Hud ayat 11, yang berbunyi sebagai berikut:

رأجة وفرغم مله ات أولئكالحملوا الصعوا وربص إلا الذين١١: هود(كبري(

kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu memperroleh ampunan dan pahala yang besar. (Hud: 11)

Perbuatan dan berbuat baik (beramal saleh) sesuai dengan

ketentuan merupakan pengecualian dari dua jenis manusia yang telah

disebutkan di dalam dua ayat sebelumnya, yaitu kufur terhadap nikmat

Allah dan putus asa atas rahmat-Nya. Akan memperoleh ampunan

terhadap yang terkait dengan manusia berupa dosa dan kekurangan

permulaan timbulnya sikap yang tidak wajar, penyimpangan psikologis dan tumbuhnya watak kriminal dalam diri anak. Sikap kasih sayang adalah dasar dari segala perlakuan dalam menghadapi anak dan poros bagi adanya interaksi antara kebutuhan kasih sayang dan tuntutan lainnya. Dewa Ketut Sukardi, op. cit.,hlm. 63. Lihat juga Muhammad Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, Alih Bahasa oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan, (Bandung: CV. Dipenogoro, 1993), hlm. 67.

41 Abdurrahman mas’ud, loc. cit.

39

(taqshir), serta mendapatkan pahala yang besar di akhirat. Sesungguhnya

manusia beriman yang berbuat baik, selalu dikenai kesusahan dan

musibah, seperti sempitnya hati yang kadang menyebabkan kehilangan

kesempurnaan kerelaan atau bisa jadi menyebabkan perbuatan tercela.

Dalam hal ini menyepelekan bersyukur atas nikmat semuanya akan

diampuni karena kesabaran dan perbuatan syukurnya.42

.هم فيها نعيم مقيميبشرهم ربهم برحمة منه ورضوان وجنات ل ظيمع رأج هدعن ا إن اللهدا أبفيه الدين٢٢-٢١: لتوبةا(خ(

Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padaNya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (al-Taubah: 21-22).

Dalam perspektif ayat di atas, reward yang Allah sediakan bagi

orang yang berbuat baik amatlah besar berupa kasih sayang dan keridhaan,

serta kenikmatan-kenikmatan real yang ada di surga. Dan yang termasuk

kategori berbuat baik, sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya,

yaitu beriman lalu membuktikan keimanannya dengan berhijrah untuk

berjihad di jalan Allah baik dengan harta benda maupun diri mereka

sendiri.43

Sedangkan mengenai punishment, dijatuhkan ketika ada perbuatan

yang tidak sesuai, menyimpang dari aturan, atau berpaling dari suatu

perintah untuk berbuat baik. Sebagaimana dalam surat al-Fath ayat 16,

yang berbunyi:

ني من الأعراب ستدعون إلى قوم أولي بأس شديد تقاتلونهم قل للمخلف متليوا تا كملووتإن تا ونسا حرأج الله تكمؤوا يطيعون فإن تلمسي أو

)١٦: الفتح(من قبل يعذبكم عذابا أليما

42 M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid 12, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t. th.), hlm. 28. 43 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 10, (Beirut: Dar Fikr, t. th.),

hlm. 78.

40

“Katakanlah kepada orang-orang Badwi yang tertinggal: "Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan meng-azab kamu dengan azab yang pedih". (al-Fath: 16)

Dari beberapa ayat di atas, reward dan punishment diberikan

berdasarkan pembalasan atas perbuatan yang telah dilakukan. Dengan

demikian keduanya berfungsi sebagai motivasi, ketika keimanan umat

belum mencapai titik kemapanan banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang

menjelaskan mengenai imbalan atau balasan terhadap perbuatan yang telah

dilakukan oleh mereka. Sehingga mereka tergerak untuk melakukan

perbuatan baik dan menjauhi perbuatan tercela. Ini juga menjadi bukti

bahwa al-Qur’an sangat menghargai perbuatan manusia, di sisi lain sangat

mengecam perbuatan yang tidak sesuai dan menyalahi dengan apa yang

diperintahkan.

Reward dan punishment muncul manakala adanya indikasi yang

pantas untuk memberikannya. Ketika ada kesesuaian antara perbuatan

dengan ketetapan yang telah diperintahkan, maka saatnya reward

diberikan. Sedangkan ketika penyimpangan terjadi, maka punishment

dijatuhkan sebagai suatu usaha untuk membenahinya.

Reward dan punishment dalam pendidikan Islam tidak bisa

dipisahkan dari konsep tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Manusia yang

bertakwa selalu menjadi salah satu kunci dalam rumusan tujuan

pendidikan Islam. Karena pada dasarnya pendidikan adalah proses menuju

kesempurnaan individu, maka memasukkan kata kamil sesungguhnya juga

tidak kalah penting. Muhammad saw. sebagai insan al-kamil dan sekaligus

sebagai model paripurna telah disepakati dalam dunia Islam. Dengan

demikian sikap-sikap Nabi, dan cara-cara beliau dalam mendidik umat

Islam merupakan rujukan penting setelah al-Qur’an. Muhammad saw.

adalah insan al-kamil, sekaligus guru terbaik, Beliau tidak hanya

mengajar, mendidik, tapi juga menunjukkan jalan. Kehidupannya

41

demikian memikat dan memberikan inspirasi kepada manusia untuk

mentransfer nilai-nilai luhur darinya hingga menjadi manusia-manusia

baru.44

Maka untuk melandasi metode reward dan punishment dalam

pendidikan Islam, prinsip-prinsip yang telah diilustrasikan semasa

hidupnya menjadi rujukan yang harus dikedepankan. Adapun prinsip-

prinsip tersebut diantaranya:

a. kesabaran, keuletan, serta ketegarannya dalam menegakan ajaran Islam

b. pemaaf, tanpa dendam dan dengki pada orang lain yang berbuat

kesalahan padanya

c. mencintai dan menyayangi sesama mukmin.45

Dengan prinsip-prinsip di atas, maka dalam pendidikan Islam tidak

mengenal adanya hukuman fisik. Karena cara-cara kekerasan sendiri

memang dilarang oleh Islam, ini tercermin dari kedatangan Islam sendiri

sebagai agama yang rahmah li al-‘alamin, kedamaian dunia.

Al-Qur’an mempertegas bagaimana posisi, kedudukan, serta tugas

Nabi di hadapan umatnya.

ياأيها النبي إنا أرسلناك شاهدا ومبشرا ونذيراوداعيا إلى الله بإذنه )٤٦-٤٥:باحزاأل(وسراجا منريا

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi”. (al-Ahzab: 45-46)

Allah mengutus Muhammad sebagai basyir, pembawa

kegembiraan dengan surga, jika mentaati dan mengamalkan apa yang

dibawa dari Tuhannya. Sekaligus sebagai nadzir, pemberi peringatan,

dengan neraka yang akan dimasukan dan disiksa di dalamnya apabila

mendustakan dan menyalahi apa yang diperintahkan dan dilarang-Nya.

44 Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 28. 45 Ibid. Juz. 12, hlm. 18.

42

Selain itu, juga sebagai da’i dan munir, pengajak kepada pengakuan akan

ke-Esa-an Tuhan, sifat-sifat kesempurnaan, beribadah kepada-Nya, dan

memberikan penerangan dalam kezaliman, kebodohan, dan kesewenang-

wenangan.46

Dengan prinsip-prinsip di atas, bisa diinterpretasikan bahwa

meskipun kehadiran Nabi adalah sebagai nadzir, warner, tapi kehadiran

Nabi sebagai basyir dalam proses pendidikan Islam tampak lebih dominan

dan signifikan. Sebagai basyir yakni tokoh yang membawa berita gembira

dan keselamatan lahir batin, Nabi tidak menawarkan reward dalam bentuk

materi, melainkan merangsang kecerdasan para murid, memperluas budi

pekerti, serta mempertajam spiritual keagamaan mereka. Implikasinya,

seorang guru harus bertindak sebagai promotor of learning di dalam dan di

luar kelas dan harus mampu berinteraksi dengan siswa secara antusias dan

penuh kasih sayang. Dengan prinsip ini, hukuman fisik bagi siswa adalah

tidak populer dalam kamus pendidikan Islam.47

Realitas sebaliknya, ada anggapan guru ketika ia mempunyai

wibawa dan disegani siswanya, maka sesungguhnya ia telah berhasil

dalam menanamkan rasa hormat terhadap guru. Sebenarnya hal itu

menyebabkan jurang pemisah pergaulan antara guru dan siswa, sehingga

tidak terjalin hubungan yang akrab. Pada gilirannya kemauan siswa tidak

terakomodasi dengan baik.

Sebuah modelling Nabi dalam menerapkan reward dan punishment

tercermin dalam hadits dari Abu Hurairah ra.

بينما نحن جلوس عند النبي صلى : عن ابى هريرة رضى اهللا عنه قالمالك؟، : قال, يارسول اهللا هلكت: اهللا عليه وسلم إذ جاءه رجل فقال

رسول اهللا صلى اهللا عليه فقال. وقعت على امرأتى وأنا صائم: قاللمسا؟، قال: وتقهعة تقبر جدل تقال. ال: ه : موصأن ت عطيتسل تفه

46 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, op. cit., hlm. 19-20. 47 Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 29-30.

43

: فهل تجد إطعام ستين مسكينا؟ قال: فقال. ال: شهرين متتابعين؟ قال: كث عند النبي صلى اهللا عليه وسلم بعرق فيه تمر والعرقفم: قال. ال

فقال . خذها فتصدق به: قال. أين السائل؟ فقال أنا: قال- املكتل يريد - البتيهاأعلى أفقر منى يارسول اهللا؟ فواهللا مابين: الرجلفضحك النبي صلى اهللا عليه . أهل بيت أفقر من أهل بيتى- احلرتين

48 .أطعمه أهلك: وسلم حتى بدت أنيابه ثم قالArtinya: Dari Abu Hurairah ra. menceritakan ketika tiba-tiba seorang

laki-laki datang menemui Nabi. Laki-laki itu kemudian berkata: “Celaka saya, wahai Rasulullah!” Rasul bertanya: “Apa yang telah membuatmu celaka”? Laki-laki itu menjawab, “saya telah bersetubuh dengan istri saya pada siang hari bulan Ramadhan”. Rasul bertanya: Apakah kamu punya sesuatu yang dapat kamu pergunakan untuk pergunakan untuk memerdekakan seorang budak?” Laki-laki itu menjawab, “tidak”. Rasul bertanya lagi, “apakah kamu punya sesuatu yang dapat kamu pergunakan untuk memberi makanan enam puluh orang miskin?”. Laki-laki itu menjawab, “tidak”. Perawi berkata: kemudian Nabi duduk, tak lama berselang Nabi memberi sekeranjang kurma. Lalu beliau berkata, “sedekahkan kurma ini!” Laki-laki itu bertanya, saya sedekahkan kepada orang yang lebih dari kami? Di mana penduduk di sini tidak ada orang yang lebih miskin dari pada kami”. Rasul pun tertawa hingga kelihatan gigi gerahamnya, kemudian Rasul berkata, pergilah dan sedekahkan kepada keluargamu!”

Sikap Nabi dalam kasus pemberian alternatif hukuman nampaknya

cukup menarik untuk dijelaskan. Di bagian akhir dialognya Nabi justru

tertawa melihat ketidakmampuan orang itu melaksanakan seluruh

alternatif hukuman yang ditawarkan kepadanya. Sikap tidak keras dan

kasar yang dipelihara oleh Nabi dalam memberikan hukuman merupakan

cara yang paling efektif untuk menumbuhkan kesadaran bagi orang yang

dihukum untuk tidak mengulangi kembali kesalahannya. Dengan cara

seperti ini, orang itu merasa puas terhadap keterangan sanksi hukum yang

48 Imam Bukhary, Shahih al-Bukhary, Juz I, (Beirut: Dar Fikr, t. th.), hlm. 597-598.

44

diberikan oleh Nabi. Berkaitan dengan masalah hukuman ini, al-Ghazali

mengatakan pemberian hukuman secara kasar atau keras dapat

menimbulkan rasa takut dan keberanian orang menyerang orang lain, serta

mendorong timbulnya keinginan untuk melakukan pelanggaran. Dengan

demikian memberikan hukuman membutuhkan sikap bijaksana dan

persuasif.49

Jika punishment (khususnya hukuman fisik) pada umumnya tidak

membawa dampak positif, sebaliknya membawa kenangan horor

nightmare bagi siswa, penumbuhan sense of guilty dengan cara yang

edukatif dan Islami adalah bagian dari self-discipline yang perlu

dikembangkan dalam dunia pendidikan. Disiplin diri adalah tujuan

sekaligus proses pendidikan kemandirian. Prinsip mercy, kasih sayang,

yang merupakan ekspresi dari basyir dan reward memang sudah

seharusnya diterapkan dalam aktivitas sehari-hari proses belajar mengajar,

terlebih-lebih dewasa ini dimana materialisme sering mengalahkan

prinsip-prinsip keagamaan. Agaknya sikap lembut, ucapan yang sejuk di

telinga siswa (dengan menjauhkan kata-kata sepeti “bodoh”), konsisten

mengajak ke nilai-nilai yang benar adalah ciri utama metode pendidikan

Islam yang perlu dikembangkan lebih lanjut secara detail.50

B. Metode Pendidikan Akhlak

1. Metode Pendidikan dalam Islam

Secara etimologis kata metode berasal dari bahasa yunani metodos,

terdiri dari dua akar suku kata, meta yang berarti “melalui”, dan hodos

berarti “jalan”.51 Dengan demikian secara sederhana metode dapat

diartikan dengan jalan yang dilalui.

49 Moh. Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik, (Semarang: Pustaka Rizki, 2005),

hlm. 137. 50 Abdurrahman Mas’ud, loc. cit. Lihat juga dengan pengarang yang sama, Diskursus

Pendidikan Islam Liberal, Jurnal Edukasi, Vol. 1, Th. X/Desember 2002, hlm. 31. 51 H. M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 97. Lihat

juga im Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op. cit., hlm. 652.

45

Dalam terma bahasa Arab, kata metode dicerminkan dengan

ungkapan kata-kata al-thariqah, al-manhaj, dan al-washilah. Ketiga kata

ini masing-masing berarti jalan, sistem, dan perantara atau mediator.52

Dengan kata lain, bahasa Arab memiliki perbendaharaan kata mengenai

metode cukup beragam, namun dalam buku-buku literatur pendidikan kata

al-thariqah lebih sesuai dan mewakili sinonim dari metode.

Mahmud Yunus, mendiskripsikan sembilan macam asas umum

bagi metode pendidikan modern. Kesembilan asas umum pendidikan

modern tersebut pada prinsipnya merupakan kaidah-kaidah pokok yang

menjelaskan tentang prinsip-prinsip didaktis yang harus diketahui,

dipahami, dan diaplikasikan oleh seorang guru atau pendidik dalam

mengajar atau mendidik.53

Ketika metode dikaitkan dengan pendidikan Islam, membawa

pengertian sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama terhadap

diri seseorang. Sehingga tercermin dalam pribadi objek sasaran yang tidak

lain adalah pribadi muslim. Selain itu, dapat pula mengandung arti sebagai

cara untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam,

sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.54

Metode pendidikan menjadi penting, karena materi pendidikan

tidak dapat dipelajari dengan baik tanpa penafsiran peran metode secara

sadar dalam proses pendidikan dan pengajaran akan menghambat

keberhasilan aktivitas pendidikan tidak hanya dipandang sebagai cara atau

jalan, akan tetapi upaya perbaikan komprehensif dari semua elemen

52 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 92. 53 Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm. 69-170. Kesembilan asas umum bagi metode

pendidikan modern yang dimaksud adalah mementingkan kecenderungan minat dan bakat anak didik, melibatkan anak didik dalam kegiatan belajar menurut keinginannya, mendidik melalui permainan, membuat urutan-urutan dalam belajar, menarik minat anak didik untuk mencintai pekerjaannya, memelihar lingkungan belajar anak didik, menciptakan semangat kerjasama, menanamkan kepercayaan anak didik untuk belajar secara mandiri, dan mengoptimalkan fungsi-fungsi panca indera. Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Hidayat Agung, 1978), hlm. 95.

54 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 94.

46

pendidikan. Sehingga menjadi sebuah iklim kondusif yang mengandung

tercapainya tujuan yang dicita-citakan.55

Al-Qur’an sebagai rujukan utama Islam dalam segala bidang, tidak

terkecuali pendidikan. Karena di dalamnya mengandung nilai-nilai

kependidikan dalam rangka membudayakan manusia, ayat-ayatnya banyak

memberikan motivasi edukatif bagi manusia. Kajian intensif terhadap

ayat-ayat al-Qur’an dalam konteks pendidikan diperoleh implikasi-

implikasi metodologis kependidikan dalam al-Qur’an yang melandasi

pendidikan Nabi saw. Pada gilirannya, melahirkan konsep metode dalam

ilmu pendidikan Islam yang secara historis berasal dari praktek pendidikan

Nabi saw. sendiri.56

Menurut Abdullah Nashih Ulwan, Nabi Muhammad adalah refleksi

hidup keutamaan-keutamaan al-Qur’an, ilustrasi dinamis tentang petunjuk-

petunjuk al-Qur’an yang abadi.57 Pribadi Nabi saw. menjadi contoh ideal

manusia sepanjang masa dalam segala aspek kehidupan, tanpa terkecuali

metode pendidikan.

Nabi saw. menggunakan metode-metode pendidikan tertentu yang

relevan dengan bidang-bidang yang akan disampaikan kepada para sahabat

pada saat itu. Adapun bidang dan metode pendidikan yang digunakan

diantaranya:

a. Bidang akidah, menggunakan metode bertanya, kisah, dialog, nasihat,

dan demonstrasi.

b. Bidang ibadah, menggunakan metode dialog, praktik/contoh,

eksplanasi, targhib-tarhib, dan tadriji.

c. Bidang akhlak, menggunakan metode spiritual (pengalihan inderawi

kepada rohani), kisah, dialog, nasehat, peragaan, teladan, eksplanasi.

55 Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm. 87. 56 Ibid., hlm. 8-9. 57 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, (Beirut: Dar al-Salam li

al-Thiba’ah wa al-Nasyr al-Tauzi’, 1981), hlm. 234.

47

d. Bidang muamalah, menggunakan metode eksplanasi, kisah, dialog,

dan nasehat.58

Bagaimanapun bentuk dan kemampuan suatu metode, penggunaan

suatu macam metode dalam proses pendidikan adalah mutlak. Mungkin di

bidang lain orang dapat mengerjakan sesuatu tugas pekerjaan tanpa

menggunakan suatu metode, melainkan harus memakai suatu teknik

mengerjakannya saja. Metode mengandung implikasi bahwa proses

penggunaanya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode

itu adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan

perkembangan. Jadi penggunaan metode dalam proses kependidikan pada

hakikatnya adalah pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik

atau mengajar.59

Kegiatan kependidikan adalah proses edukatif yang memiliki

tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Seluruh aktivitas yang dilakukan

oleh seorang guru atau pendidik adalah dalam rangka mencapai tujuan

tersebut. Tidak mungkin seorang guru atau pendidik dikatakan berhasil

dalam mendidik anak didiknya, sementara dia sendiri mengabaikan tujuan

kependidikan yang menjadi pedoman dalam rangka mengarahkan aktivitas

kependidikannya. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, seorang guru

atau pendidik dituntut untuk menggunakan kemampuan yang dimilikinya

dalam memilih metode pendidikan yang sesuai dengan tujuan

pendidikan.60

Penentuan dan pemilihan metode dalam pendidikan secara akurat

merupakan suatu yang penting dilakukan oleh pendidik. Hal ini dilakukan

seyogyanya didasarkan pada beberapa pertimbangan tertentu, seperti nilai

strategi metode, efektifitas pemakaian metode, urgensi penentuan,

pemilihan metode, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan

58 Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm 96-167. Penemuan metode pendidikan ini melalui

penelusuran dan menganalisis hadits Nabi saw. sendiri. 59 H. M. Arifin, op. cit., hlm. 98. 60 Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm. 170-171.

48

metode.61 Penggunaan metode secara acak tanpa mempertimbangkan

faktor-faktor tersebut justru akan menimbulkan persoalan dalam proses

kependidikan, yaitu terhambatnya atau bahkan kegagalan dalam mencapai

tujuan pendidikan. Seorang guru yang sepenuhnya menguasai materi

pelajaran bisa saja gagal di dalam mengajar disebabkan

ketidakmampuannya memilih dan menentukan metode yang sesuai dengan

materi yang diajarkan.62

2. Pendidikan Akhlak

a. Pengertian

Akhlak dalam pengertian etimologis berasal dari bahasa Arab,

kalau diderivasikan berasal dari akar kata “khalaqa, “yakhluqu”,

“khuluqan”. Bentuk jamak dari kata yang ketiga adalah akhlaq, yang

berarti tabiat, kebiasaan.63 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata

akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak

walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa diartikan tabiat,

perangai, kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak

ditemukan dalam al-Qur’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk

tunggalnya yaitu khuluq yang tercantum dalam surat al-Qalam ayat 4.64

Ayat tersebut dianggap sebagai pengangkatan Nabi Muhammad saw.

sebagai rasul.65

Secara bersamaan sering dijumpai penggunaan istilah moral,

ahklak, dan etika. Ketiganya memiliki makna etimologis sama, yakni

adat kebiasaan, perangai, dan watak. Hanya saja, ketiganya berasal dari

bahasa yang berbeda, masing-masing Latin, Arab, dan Yunani. Akar

ketiganya adalah mos (jamaknya: moses), khuluq (jamaknya: akhlaq),

61 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswin Zain, Strategi Belajar Mengajar, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet. 2, hlm. 82.

62 Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm. 171. 63 Louis Ma’luf al-Yusa’i, al-Munjid al-Abjadi, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1993), hlm. 419. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang“ وإنك لعلى خلق عظيم 64

agung”. 65 M. Quraish Ashihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan

Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 253.

49

dan ethos (jamaknya: ta etha). Namun demikian, tidak mudah

menterjemahkan secara persis sama untuk ketiga istilah ini. Paling

tidak, seperti yang dikatakan oleh Sheila Mc. Donough, bahwa tidak

mudah untuk menentukan istilah-istilah dan konsep-konsep etika dari

kebudayaan yang berbeda. Istilah moral dan etika berasal dari

linguistik Eropa asli, masing-masing dari Latin dan Yunani (Greece).

Bahasa nonEropa memiliki istilah yang berbeda-beda mengenai moral

dan etika, seperti dharma dalam bahasa India dan li dalam bahasa

China. Adapun akhlak sendiri merupakan istilah yang tepat dalam

bahasa Arab untuk arti moral dan etika. Jadi, bahasa moral, the

language of moral, sangat bervariasi antara satu masyarakat dengan

masyarakat yang lain, bahkan secara personal.66 Sekilas tampak ada

kesamaan antara ketiga istilah tersebut, namun untuk lebih jelasnya

akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan berikutnya.

Dengan demikian, dapat diambil suatu temuan ternyata akhlak

merupakan bentuk kata jamak, plural, dari kata tunggalnya khuluq,

selanjutnya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif,

perlu diuraikan pengertian akhlak secara terminologis.

Banyak sekali para ahli di bidang akhlak yang memaparkan

akhlak secara definitif. Diantaranya Ibn Miskawaih, menurutnya

karakter (akhlak) merupakan suatu keadaan jiwa yang menyebabkan

jiwa bertindak tanpa berpikir atau dipertimbangkan secara

mendalam.67

Pendapat ini diamini oleh al-Ghazali (1059-1111 M.),

menurutnya:

66 Tafsir, et. al., Moralitas al-Qur’an dan Tantangan Modernitas: Telaah atas Pemikiran

Fazlur Rahman, al-Ghazali, dan Ismail Raji’ al-Faruqi, (Semarang: Gama Media Offset, 2002), hlm. 4.

67 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 56.

50

لسخة عنها تصدر األنفعا النفس رعبارة عن هيئة فى الخلق ا 68.و رويةفكر لى إحاجةبسهولة ويسر من غير

Artinya: al-khuluq (jamak akhlaq) adalah ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan mudah dan wajar tanpa memikirkan pikiran dan pertimbangan.

Pendapat ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Zaidan:

ويمآننا تعريف األخالق بأنها مجموععة من المعانى والصفات المستقرة فى النفس و فى ضوئها و ميزانها يحسن الفعل فى

69.ن ثم يقد م عليه أويحجم عنهنظر اإلنسان أويقبح ومArtinya: Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam

dalam jiwa yang dengan sumber dan ukurannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik dan buruk untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.

Merunut ketiga definisi di atas, ada kesepakatan akhlak

merupakan keadaan sifat yang tertanam dalam jiwa memanifestasikan

perbuatan-perbuatan sepintas tanpa berpikir dan pertimbangan. Dengan

demikian, perbuatan yang didasari suatu motif tertentu bukanlah hasil

dari akhlak. Seperti seseorang menyumbangkan harta, belum tentu itu

karena akhlaknya, akan tetapi mungkin karena memiliki motif ingin

dilihat atau dipandang baik oleh orang lain.

Al-Gazali mempertegas akhlak bukanlah perbuatan karena

beberapa banyak orang yang akhlaknya pemurah tetapi memberi dan

sebaliknya ada orang yang akhlaknya kikir, tetapi ia memberi karena

ada pengaruh ria. Akhlak bukan pula suatu ma’rifat (mengetahui

dengan mendalam), karena ma’rifat itu berhubungan dengan yang baik

dan buruk dengan suatu cara. Tetapi akhlak pada dasarnya adalah

keadaan jiwa dan bersifat batiniyah yang mendorong terhadap tingkah

68 al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), hlm. 56. 69 Abdul Karim Zaidan, Ushul al-Dakwah, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), hlm. 79.

51

laku.70 Dari sini secara mutlak akhlak bukanlah perbuatan baik atau

buruk dan bukan pula kekuasaan atas keduanya, tetapi akhlak adalah

keadaan yang dengannya jiwa mempersiapkan untuk memunculkan

tingkah laku.

b. Perbedaan Etika, moral, Akhlak, dan Susila

Sebagaimana telah dikemukakan, dari segi etimologis dan

budaya istilah moral, akhlak dan etika memiliki perbedaan berdasarkan

sumbernya. Lebih jelas lagi, pengertian akhlak dalam Islam lebih luas

dibandingkan pengertian yang dibawa oleh agama-agama lain atau

para filosuf. Akhlak Islam membingkai setiap hubungan antara

manusia dan juga dengan mahluk hidup lainnya. Nilai akhlak menurut

pandangan Islam adalah setiap kebaikan yang dilaksanakan manusia

dengan kemauan yang baik dan untuk tujuan yang baik pula.71

Dalam keuniversalan akhlak, Abudin Nata berhasil menemukan

ciri-ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu sebagi berikut:

1. Perbuatan akhlak telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga

telah menjadi kepribadian.

2. Perbuatan akhlak dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran

3. Perbuatan timbul dari orang yang mengerjakannya, tanpa paksaan

atau tekanan dari luar.

4. Dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena

bersandiwara.

5. Sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya

akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas

70 Mustaqim, “Pemikiran tentang Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali”, dalam

Ruswan Thoyib (eds), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 88.

71 Miqdad Yalzan, Kecerdasan Moral: Aspek Pendidikan yang Terlupakan, terj. Yusuf Maulana, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2003), hlm. 17-18.

52

semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau

karena ingin mendapatkan sesuatu pujian.72

Etika merupakan ilmu yang menyelidiki perbuatan atau tingkah

laku manusia mana yang baik dan mana yang buruk dengan

memperhatikan sejauh yang diketahui oleh akal pikiran.73 Etika

berhubungan dengan empat hal. Pertama dari segi objek, etika

berupaya membahas perbuatan yang dilakukan manusia. kedua dari

segi sumber, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sehingga

tidak bersifat mutlak, absolut, dan universal. Ketiga dari segi fungsi,

etika berfungsi sebagai penilaian, penentu, dan penetap terhadap suatu

perbuatan yang dilakukan oleh manusia apakah perbuatan tersebut

akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina, dan sebagainya.74

Moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan

batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau

buruk, benar atau salah.75 Moral bersifat universal, sedangkan etika

bersifat kultural. Dalam menentukan nilai perbuatan manusia baik atau

buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, tolak ukur yang

digunakan moral adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang

serta berlangsung di masyarakat. Dengan demikian, etika lebih bersifat

teoritis, konseptual, sedangkan moral berada dalam dataran realitas dan

muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.76

72 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), Cet, 2, hlm. 5-7. 73 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Rineka Cipta, 1983), hlm. 12. Lihat juga H.

Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 30.

74 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, op. cit., hlm. 89. 75 Ibid., hlm. 91. F. Gabriele (1960) dalam encyclopedia of Islam menyebutkan bahwa

kata “moral” yang sering kita sebut dengan “adab” berasal dari terminologi Arab yang bermakna adat istiadat, kebiasaan, dan etika atau sopan santun. Inilah tatanan yang selalu digunakan manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Istilah tersebut dalam bahasa Latin disebut “urbanitas” yang bermakna kehalusan dan kebaikan yaitu tata krama yang berkebalikan dengan perbuatan kasar atau kebiasaan-kebiasaan orang Badui yang hidup di padang pasir. Lihat Muhammad Abdurrahman, Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan, (Yogyakarta: Primasophie, 2003), Cet. 1, hlm. 74.

76 Namun berbicara mengenai moral, yang menjadi acuan bukan hanya ketentuan yang berlaku dan menjadi adat istiadat di masyarakat, tetapi juga ajaran agama dan ideologi tertentu.

53

Maka ketika menyentuh dataran parktis, seperti menghormati

merupakan moral, sedangkan rasa menghormati merupakan etika.

Sehingga etika merupakan teknis dari moral itu sendiri. Karena bersifat

kultural, maka etika dari suatu masyarakat ke masyarakat lain berbeda.

Dengan demikian etika terkait dengan nilai, norma, dan budaya yang

dianggap baik menurut suatu masyarakat tertentu.

Sedangkan susila yang berasal dari bahasa Sansekerta, su

berarti baik, bagus, dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau

norma.77 Secara terminologis cukuplah dikatakan susila sebagai

pedoman untuk membimbing orang agar berjalan dengan baik juga

berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan

mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.78

Berangkat dari uraian di atas, secara fungsional dan perannya,

keempat istilah tersebut sama, menentukan penilaian terhadap

perbuatan manusia baik atau buruk serta menghendaki tatanan sosial

yang baik, teratur, tentram, dan aman.

Perbedaan mencolok terletak pada sumber yang dijadikan

patokan untuk menentukan baik dan buruk. Etika bersifat teoritis

sehingga penilaian baik dan buruk berdasarkan pendapat akal dan

pikiran, sedangkan moral dan susila lebih bersifat praktis berdasarkan

kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat. Selanjutnya akhlak

memiliki sumber independen dan fundamental dalam menentukan baik

dan buruk yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.79 Secara bersama-sama etika,

moral, dan susila bersifat temporer, terbatas, dan terkait dengan lokal

tetentu. Berbeda dengan akhlak yang bersifat mutlak, absolut, dan

universal.

Lihat Imam Sukardi, et. al., Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern, (Solo: Tiga Serangkai, 2003), Cet. I, hlm. 83.

77 M. Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), hlm. 23. 78 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, op. cit., hlm. 94. 79 Ibid., hlm. 95. Lihat juga H. Mahmud Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2000), 355-356.

54

Akan tetapi, keempat istilah tersebut tetap saling berhubungan

dan membutuhkan. Karena pada dasarnya agama yang menjadi sumber

akhlak memiliki fungsi yang amat kental dalam menyusun tatanan

hidup dan budaya manusia.

c. Bentuk-bentuk Akhlak

Bertitik tolak dari uraian di atas, bahwa akhlak melahirkan

kelakuan,80 tanpa suatu paksaan dapat dikatakan bahwa kelakuan

manusia sangat beragam. Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia)

pasti amat beragam (QS. Al-Lail: 4). Keanekaragaman tersebut dapat

ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan

dengan baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa

kelakuan itu ditujukan.81

Secara umum menurut al-Ghazali, akhlak dapat dibagi dua,

akhlak yang baik (al-mahmudah) dan akhlak buruk (al-madzmumah).

Akhlak yang baik adalah akhlak yang serasi dengan akal dan agama

(syariat), sedangkan akhlak yang buruk adalah akhlak yang

bertentangan dengan akal.82

Muhammad Abdullah Draz membagi ruang lingkup akhlak

kepada lima bagian:

1. Akhlak Pribadi (al-akhlaq al-fardiyah). Terdiri dari yang diperintahkan (al-awamir), yang dilarang (al-nawahi), yang dibolehkan (al-mubahat) dan akhlak dalam keadaan darurat (al-mukhalafah bi al-idhthirar).

2. Akhlak Berkeluarga (al-akhlak al-usariyah). Terdiri dari kewajiban timbal balik orang tua dan anak (wajibat nahwa al-ushul wa al-furu’), kewajiban suami isteri (wajibat baina al-azwaj) dan kewajiban terhadap karib kerabat (wajibat nahwa al-aqarib).

3. Akhlak Bermasyarakat (al-akhlaq al-ijtimaiyyah). Terdiri dari yang dilarang (al- mahzhurat), yang diperintahkan (al-awamir) dan kaedah-kaedah adab (qawa’id al-adab).

80 Akhlak dikategorikan sifat yang memiliki fungsi memunculkan perbuatan dan tingkah

laku manusia, selain akal dan syara’ juga tidak terlepas dari akidah. Lihat H. Muhammad Daud Ali, op. cit., hlm. 351.

81 M. Quraishihab, op. cit., hlm. 253-254. 82 Mustaqim, op. cit., hlm. 89.

55

4. Akhlak Bernegara (akhlaq al-daulah). Terdiri dari hubungan antara pemimpin dan rakyat (al-‘alaqah baina al-rais wa al-sya’b), dan hubungan luar negeri (al-‘alaqat al-kharijiyyah).

5. Akhlak Beragama (al-akhlaq aldiniyyah). Yaitu kewajiban kepada Allah SWT. (wajibat nahwa Allah).83

Barangkat dari sistematika di atas, Yunahar Ilyas memodifikasi

pembagian akhlak menjadi akhlak terhadap Allah SWT., Rasullah

saw., akhlak pribadi, akhlak dalam keluarga, akhlak bermasyarakat,

dan bernegara.84

Manusia selalu berinteraksi dengan pihak diluarnya. Ketika

akhlak dimanifestasikan ke dalam dataran aplikasi, maka akhlak terkait

kepada siapa saja ditujukan. Seperti akhlak kepada Allah SWT.

merupakan suatu pembuktian terhadap iman kepada-Nya. Takwa

merupakan “kata” yang tepat untuk membuktikan akhlak kepada Allah

SWT., karena adalah integralisasi dari dimensi Iman, Islam, dan

Ihsan.85 Bentuk-bentuk lainya seperti ridha, taubat, syukur, ikhlas, dan

sebagainya.

Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah berkedudukan sebagai

sumber moral atau pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan

kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Kedua dasar itulah yang

menjadi landasan dan sumber agama Islam secara keseluruhan sebagai

pola hidup dan menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk.86

Baik dan buruk menurut ajaran Islam bertumpu pada keduanya, jika

diselidiki lebih lanjut banyak sekali ditemukan istilah yang mengacu

kepada yang baik seperti salih, birr, ma’ruf, khair, hasan, thayyib, dan

halal. Sebaliknya, ungkapan yang berindikasi pada makna yang buruk

terdapat dalam istilah fasad, munkar, syarr, fashihah, khabith, dan

haram.87

83 H. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2004), Cet. VII, hlm. 5. 84 Ibid., hlm. 6. 85 Ibid., hlm. 18. 86 H. Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 49. 87 Tushihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an, (Canada: Mc. Gill

University Press, 1996), hlm. 204-241.

56

d. Pandangan Islam

Banyak sekali pandangan yang menjadi dasar dalam etika,

Majid Fakhry, menemukan tipe-tipe teori etika. Dalam penelitiannya,

ia menemukan moralitas skriptual, teori-teori teologis, teori-teori

filsafat, dan teori-teori religius.88

Teori religius, agama yang sangat mementingkan nilai moral

adalah agama Islam. Karena moral merupakan bagian dari Islam itu

sendiri. Kalau seseorang tidak memiliki moral, berarti tidak memiliki

tata krama. Sedangkan orang yang tidak memiliki tata krama tidak

pantas dikatakan sebagai orang mukmin. Nabi Muhammmad saw. ke

dunia ini untuk menyampaikan risalah Islamiah. Persoalan yang

paling awal dibenahi adalah akhlak, moral, etika atau adab. Ini

merupakan bukti bahwa agama yang dibawa oleh Nabi saw. benar-

benar membahas masalah moral sebagai faktor utama bagi setiap

muslim sebelum mempelajari atau memahami kewajiban-kewajiban

lain.89

Sendi-sendi akhlak yang dibawa oleh Islam mencakup berbagai

perilaku manusia, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama.

Dan sendi-sendi akhlak ini mencakup nilai-nilai yang beragam, antara

lain nilai kemasyarakatan, ilmiah, kemanusiaan, politik, dan ekonomi.

Nilai-nilai ini bersifat mutlak, karena hakikat nilainya terletak pada

esensinya.90 Hal ini dapat dipahami karena Islam selalu

memperhatikan segala aspek kehidupan yang tidak terlepas dari

ajarannya.

Al-Qur’an sebagai sumber hukum fundamental, berkali-kali

mengingatkan penekanan yang kuat, untuk mengajak ma’ruf dan

mencegah munkar. Dalam bentuk kombinasi ini, ma’ruf berarti

tindakan apapun yang muncul dari dan sesuai dengan keyakinan yang

88 Majid Fakhry, Etika Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 35.

89 Muhammad Abdurrahman, op. cit., hlm. 101. 90 Miqdad Yaljan, op.cit., hlm. 18.

57

sebenar-benarnya. Sedangkan munkar adalah perbuatan yang

bertentangan dengan perintah Allah.91

Terma shalihah diyakini benar-benar menunjukkan arti

kebajikan, berupa perbuatan-perbuatan yang maslahat jauh dari

keburukan. Walaupun secara tegas al-Qur’an dalam ayat-ayatnya tidak

mengatakan shalihah bagian dari akhlak, namun kata ini dalam al-

Qur’an sendiri sering bergandengan dengan iman. Seperti dalam surat

al-Bayyinah ayat 7:

: ةنالبي( إن الذين ءامنوا وعملوا الصالحات أولئك هم خير البرية

٧(

Kata khair al-bariah amat dekat maknanya dengan insan al-

kamil yang merupakan tujuan dari akhlak sendiri. Dengan demikian

dalam konteks ini, akhlak merupakan ekspresi dan menifestasi dari

iman.92

Setelah menguraikan pengertian akhlak dan hal-hal yang

berkaitan dengannya, jika akhlak dikaitkan dengan pendidikan, maka

al-Gazali mengatakan secara tegas bahwa perubahan akhlak atau

membentuk akhlak menjadi baik adalah munkin sepanjang melalui

usaha dan latihan moral yang sesuai. Perubahan akhlak tidak terlepas

dari hubungannya dengan pendidikan akhlak, manakala pendidikan

akhlak terkait dengan menghilangkan akhlak yang tercela. Al-Ghazali

memberikan alasan, karena tidak ada manusia yang merasa tentram

dan senang mempunyai akhlak yang tercela selama masih mempunyai

akal sehat dan nurani yang lurus. Serta tidak ada manusia yang

91 Tafsir, et. al., op. cit., hlm. 53-54. Lebih lanjut lihat Surat al-Baqarah ayat 71, orang

mukmin memiliki peran terhadap sesamanya berupa mengajak ma’ruf dan mencegah kemunkaran. Mereka juga membuktikan keimanannya melalui perbuatan nyata berupa mendirikan salat, berzakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka inilah yang akan mendapatkan rahmat-Nya.

92 “Sesungguhnya kebagusan akhlak itu adalah iman dan keburukan akhlak adalah nifak”. Lihat al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut: Dar Fikr, t. th.), hlm. 67.

58

menginginkan perubahan akhlaknya ke arah perubahan yang jelek dan

tercela. Sehingga keterkaitan perubahan akhlak dan pendidikan akhlak

tidak dapat dipisahkan.93

Di sisi lain, inti dari pendidikan Islam sendiri adalah segenap

usaha sadar dalam rangka menanamkan akhlak yang baik.

Sebagaimana pendapat al-Ghulayaini:

التربية هي غرس األخالق الفاضلة فى نفوس الناشئين وسقيها بماء اإلرشاد والنصيحة حتى تصبح ملآة من ملآاة النفس ثم

94. النفع الوطنتآون ثمرتها الفاضلة والخير وحب العملArtinya: Pendidikan adalah penanaman akhlak yang utama ke

dalam diri siswa dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasehat sehingga menjadi menjadi salah satu dari karakter-karakter jiwa serta menjadi buahnya yang mulia, kebaikan, dan suka berperilaku yang bermanfaat serta tertanam (dalam jiwa).

Dengan demikian pendidikan akhlak tercermin dalam rangka

penanaman, pengembangan dan pembentukan akhlak mulia di dalam

diri peserta didik. Pendidikan tidak harus merupakan suatu program

pendidikan atau pelajaran khusus, akan tetapi harus lebih merupakan

suatu dimensi dari seluruh usaha pendidikan.95 Dalam pendidikan

akhlak bukan berarti akhlak tercela dilupakan begitu saja, akan tetapi

tetap dipelajari dan ditinggalkan secara praktis.

Mengingat potensi manusia, sebagaimana yang telah

diilustrasikan oleh al-Qur’an,96 memiliki kecenderungan baik dan

buruk. Maka kedua potensi inilah yang akan diarahkan melalui

pendidikan akhlak.

93 Mustaqim, op. cit., hlm. 91. 94 Mushthafa al-Ghulayaini, Idhah al-Nasyi’in, (Pekalongan: Rajamurah, 1953), hlm. 189. 95 M. Santrapratedja, Pendidikan Nilai: Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000,

(Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 3. -٧: الشمس (وقد خاب من دساها قد أفلح من زآاها فألهمها فجورها وتقواها ونفس وما سواها 96

١٠( “Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya, maka Allah mengilhamkan kepadanya

(jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS. Al-Syams:7-10)

59

Menurut Ibn Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak sendiri

harus diarahkan dalam rangka mewujudkan sikap batin yang mampu

mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbutan yang

bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh

kebahagiaan sejati dan sempurna.97

Pendidikan akhlak dalam Islam tersimpul dalam prinsip-prinsip

berpegang teguh pada kebaikan dan kebajikan serta menjauhi

keburukan dan kemungkinan-kemungkinan berhubungan erat dengan

upaya mewujudkan tujuan besar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan,

ketundukan, dan beribadah kepada Allah. Aspeknya mencakup

kejiwaan yang diberikan melalui pengajaran dan pelatihan sesuai

dengan potensi dan struktur psikis individu.98

3. Perkembangan Akhlak pada Anak Didik

Anak didik merupakan amanah yang harus dipertanggung

jawabkan orang tua kepada Allah swt. anak didik juga tempat orang tua

mencurahkan kasih sayangnya, serta investasi masa depan untuk

kepentingan orang tua di akhirat kelak. Oleh karena itu, orang tua harus

memelihara, membesarkan, merawat, menyantuni, dan mendidik anak-

anaknya dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.99

Di sisi lain anak juga memang membutuhkan beberapa hal yang

harus diperhatikan oleh orang tua. Agar ada keseimbangan antara

kebutuhan orang tua dan anak, maka orang tua tidak boleh memaksakan

kehendaknya di samping kebutuhan anak. Ada beberapa kebutuhan anak

yang harus dipenuhi oleh orang tua, diantaranya:

a. kebutuhan fisik b. kebutuhan kasih sayang c. kebutuhan penerimaan d. kebutuhan rasa aman

97 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Ed. 1 Cet. 1, (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 11. 98 Hery Noer Ali dan H. Munzier S., Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung

Insan, 2000), hlm. 90 dan 94. 99 H. Yunahar Ilyas, op. cit., hlm. 172.

60

e. kebutuhan rasa percaya f. kebutuhan akan penghargaan diri g. bergantung dan mandiri h. kebutuhan disiplin i. kebutuhan akan bimbingan j. kebutuhan akan aktualisasi diri.100

Kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling dasar,

sekaligus mengembangkannya dengan bijak sebagai kunci utama dan

pertama dalam menangani, melayani, dan memenuhi kebutuhan anak.

Dilihat dari sudut pandang ini, tidak akan terjadi dominasi orang

tua sebagai orang dewasa yang menjadi pembimbing anak. Karena perlu

diingat dari segi kedudukannya, anak didik merupakan mahluk yang

sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhannya menurut

fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan

yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrah.101

Sehubungan dengan pemuasan kebutuhan dasar si anak, orang tua

mempunyai kemampuan untuk “menghadiahi” anak. Ahli psikologi

menggunakan istilah “hadiah” atau “ganjaran” untuk segala sesuatu yang

dimiliki oleh orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak.

Orang tua pun memiliki cara untuk membuat perasaan anaknya sakit

ataupun tidak senang, baik dengan tidak memberi si anak apa yang

dibutuhkan, ataupun melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa

sakit atau tidak senang. Ahli psikologi menggunakan istilah hukuman

sebagai lawan dari hadiah atau ganjaran. Setiap orang tahu dari

pengalaman sendiri bahwa manusia (dan binatang) cenderung untuk

mengulangi tingkah laku yang dapat menghasilkan hadiah dan menjauhi

dan menjauhi tingkah laku yang tak menghasilkan hadiah bahkan

mendatangkan hukuman.102

Selain itu, salah satu aspek yang sedang mengalami perkembangan

adalah moral. Menurut Piaget, proses perkembangan moral manusia

100 Mari Go Setiawani, op. cit., hlm. 28-34. 101 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 79. 102 Thomas Gordon, op. cit., hlm. 141-142.

61

bertolak dari struktur biologis mengembangkan diri mencari keseimbangan

dengan lingkungannya. Dan perkembangan ini melalui lima tahap, tahap

pertama masih bersifat pra-moral. Anak belajar untuk bereaksi secara

motoris dengan tepat atas pelbagai rangsangan dari luar. Pada tahap kedua

anak belajar bahwa ada peraturan-peraturan yang harus ditaati, tetapi ia

belum sampai pada suatu paham tentang kewajiban. Ia hanya mentaati

peraturan itu untuk menghindari hukuman. Perspektifnya masih

egosentris. Pada tahap ketiga anak mencapai kemampuan untuk

mengambil alih sudut pandang orang lain, ia mengerti bahwa wajib

mentaati peraturan-peraturan itu. Pada tahap keempat anak menjadi

mampu membedakan antara sikap yang diambil orang (sikapnya sendiri

dan sikap orang dewasa) dan tuntunan moral sendiri. Dengan demikian,

moralitasnya menjadi otonom. Ia tidak lagi berlaku moral karena ada

orang yang memerintahnya, melainkan karena memang ada kewajiban

untuk berlaku demikian. Pada tahap kelima anak menjadi refleksif, ia

bahkan dapat mempertanyakan keabsahan peraturan-peraturan moral

sendiri.103

Bertolak dari penemuan ini, menurut Lawrence Kohlberg

sebagaimana pendapat piaget bahwa kesadaran moral anak melalui

beberapa tahap. Dari hasi penelitiannya, berhasil mengidentifikasi adanya

enam tahap, stages, yang dikumpulkan dalam tiga tingkat (levels)

kesadaran moral. Tiap tingkat masing-masing memiliki dua tahapan.

Tahap-tahap itu bersifat invarian, universal, dan transkultural, dengan

kata lain di semua lingkungan budaya anak akan mulai dari tahap pertama

dan seterusnya secara berurutan.104

Adapun tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tingkat Pra-konvensional, anak peka terhadap peraturan-peraturan yag

berlatar belakang budaya dan terhadap penilaian baik dan buruk, benar

salah, tetapi mengartikannya dari sudut akibat-akibat fisik suatu

103 Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), Cet. 5, hlm. 153.

104 Ibid., hlm. 156.

62

tindakan atau dari sudut enak tidaknya akibat-akibat itu (hukuman,

ganjaran, disenangi orang), atau dari sudut ada tidaknya kekuasaan

fisik dari yang memberikan peraturan-peraturan atau memberi

penilaian baik-buruk itu. Tingkatan ini memiliki dua tahap, pertama

orientasi hukuman dan kepatuhan. Berupa mendasarkan perbuatannya

atas otoritas konkret (orang tua, guru) dan atas hukuman yang

menyusul, bila tidak ada kepatuhan. Ketakutan akibat perbuatan adalah

perasaan dominan yang menyertai motivasi moral ini. Kedua orientasi

relatives instrumental, tindakan benar adalah tindakan yang ibarat alat

dapat memenuhi kebutuhan sendiri atau kadang-kadang juga

memenuhi kebutuhan orang lain. Hubungan antara manusia dianggap

sebagai hubungan orang di pasar. Unsur-unsur sikap fair, hubungan

timbal balik, kesamaan dalam ambil bagian sudah ada, tetapi semuanya

dimengerti secara fisis dan pragmatis. Hubungan timbal balik antara

manusia adalah soal kalau orang lain berbuat sesuatu terhadapnya,

maka ia baru membalasnya, bukan soal loyalitas, rasa terima kasih atau

keadilan.

2. Tingkat Konvensional, penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa

biasanya anak mulai berlatih ketingkat ini antara umur sepuluh tahun

dan tiga belas tahun. Perbuatan-perbuatan mulai dinilai atas dasar

norma-norma umum dan kewajiban serta otoritas dijunjung tinggi.

Tingkat ini dinamakan konvensional, karena anak mulai menyesuaikan

penilaian dan perilakunya dengan harapan orang lain atau kode yang

berlaku dalam kelompok sosial. Dengan kata lain, anak

mengidentifikasi diri dengan kelompok sosial beserta norma-

normanya. Tingkatan ini juga mencakup dua tahap, pertama orientasi

dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis”. Anak

cenderung mengarahkan diri kepada keinginan orang-orang yang akrab

(orang tua, guru, dan sebagainya) demi menyenangkan dan membantu

serta disetujui oleh mereka. Yang baik adalah pebuatan yang dipuji,

buruk yang dicela, anak ingin dipuji sebagai good boy/nice girl.

63

Menurut anak tingkah laku yang benar adalah apa yang “cocok” dan

“pantas” menurut penilaian lingkungannya. Kedua orientasi hukum

dan ketertiban, law and order, anak memperluas penyesuaiannya

bukan hanya kepada orang-orang yang akrab, melainkan ke kelompok

yang lebih abstrak seperti bangsa, negara, dan agama. Anak merasa

loyal terhadap negara atau agama, menyadari diri wajib taat pada

hukum. Yang baik adalah apa yang mempertahankan tatanan sosial,

dan yang buruk adalah apa yang mengancamnya.

3. Tingkat Pasca-konvensional, oleh Kohlberg disebut tingkat otonom

atau berprinsip. Anak memiliki usaha yang jelas untuk mengartikan

nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan

terlepas dari otoritas kelompok atau pemegangnya. Norma-norma yang

ditemukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tapi

harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang mekar dari kebebasan

pribadi. Anak mulai menyadari bahwa kelompoknya tidak selamanya

benar, menjadi anggota kelompok tidak menghindari kadang kala

harus harus berani mengambil sikap sendiri. Ada dua tahap di

dalamnya, pertama perjanjian sosial atau kontrak-sosial legalitas.

Tindakan benar cenderung dimengerti dari segi hak-hak individual

yang umum dan dari segi patokan-patokan yang sudah dikaji dengan

kritis dan disetujui oleh seluruh masyarakat. Nilai-nilai opini pribadi

relatif perlu adanya prosedural dan konsensus, serta hal tak lain

merupakan nilai-nilai opini pribadi yang terlegalisasi. Tetapi juga

menekankan hukum dapat diubah (tidak secara kaku

mempertahankannya) atas dasar rasional demi kemaslahatan

masyarakat. Kedua tahap prinsip moral universal, ditandai dengan

pengaturan tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan

keputusan suara hati atau nurani pribadi sesuai dengan prinsip-prinsip

64

moral yang dipilih sendiri dan atas pedoman pada kekomprehensifan

logis, universalitas, dan konsitensi.105

Tahap keenam tentu saja sebagai puncak perkembangan moral,

menurut Kohlberg sekaligus harus menjadi tujuan pendidikan moral,

walaupun pada kenyataannya hanya sedikit orang yang dapat

mencapainya.

Ketiga tingkatan moral di atas, ada pengaruh yang ditimbulkan

oleh reward dan punishment dalam rangka menggapai kesadaran moral.

Walaupun pada tingkat yang paling dasar, dangkal, akan tetapi jika reward

dan punishment merupakan proses awal yang sangat penting dalam

membentuk kesadaran moral.

Salah satu pokok dalam belajar menjadi orang yang bermoral

adalah pengembangan shame culture dan guilt culture. Rasa berasalah

sebagai jenis evaluasi diri khusus negatif yang terjadi bila seorang individu

mengakui bahwa perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakan

wajib untuk dipenuhi. Sedangkan rasa malu sebagai reaksi emosional yang

tidak menyenangkan timbul akibat adanya penilaian negatif terhadap

dirinya.106

Perasaan bersalah timbul internal pada diri seseorang, berbeda

dengan perasaan malu yang timbul akibat penilaian negatif dari luar diri.107

Akan tetapi, jika perasaan malu bisa dijadikan acuan sebagai konsekuensi

dari hasil perbuatan salah, maka seseorang akan cenderung menghindari

perbuatan tersebut.

Dan juga ketika reward dan punishment diracik sedemikian rupa,

bukan hanya sekedar hadiah atau hukuman fisik belaka, juga dengan

memperhatikan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, bukan tidak

mungkin akan sangat efektif dijadikan sebagai metode dalam mendidik

anak lebih bermoral. Kesadaran jiwa itu timbul sebagai akibat atau hasil

105 Ibid., hlm. 157-160. Lihat juga Ronald Duska dan Mariellen Whelan, op. cit., hlm. 60-

61 dan K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. 5, hlm. 80-84. 106 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 77. 107 K. Bertens, op. cit., hlm. 88.

65

dari pengalaman, pertimbangan akal atau pikiran, dan dikuatkan oleh

kemauan. Seseorang yang selalu mau memeriksa dirinya, mengoreksi dan

menyeleksi perbuatannya akan memiliki kesadaran jiwa yang peka. Orang

seperti ini tidak mungkin bersikap congkak, bertingkah laku sombong, dan

angkuh ataupun memperbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain

merasa tersinggung atau sakit hati. Kesadaran jiwa yang disertai dengan

kemauan yang membaja untuk merombak dan mengubah segala jenis

kebobrokan jiwa, dapat menjadikan seorang bajingan menjadi moralis, dan

kemauan itulah yang perlu dibina.108 Tentunya sejauh mana usaha yang

dilakukan pendidikpun harus diperhatikan agar tujuan dari pembinaan

akhlak itu sendiri dapat tercapai. Biasanya kemauan anak akan sangat

kuat, jika apa yang disajikan oleh pendidik menarik perhatiannya.

108 H. Burhanuddin Salam, op. cit., hlm. 20.