[revisi 1] hbm (repaired)
TRANSCRIPT
BAB ITINJAUAN PUSTAKA
1.1 Health Belief Model1.1.1 Pengantar
Health Belief Model (HBM) dikembangkan sejak tahun 1950 oleh
kelompok ahli psikologi dalam pelayanan kesehatan masyarakat
amerika. Model ini digunakan sebagai upaya menjelaskan secara luas
kegagalan partisipasi masyarakat dalam program pemcegahan deteksi
penyakit (Houchbaum, 1958; Rosenstock, 1974 dalam Galnz dkk.,
1997) dan seringkali dipertimbangkan sebagai kerangka utama dalam
perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia (Krischt, 1988;
Schmidt., 1990) yang dimulai dari pertimbangan orang-orang tentang
kesehatan (Damoiseaux, 1987 dalam Smet, 1994).
Selain itu HBM digunakan untuk mengidentifikasi beberapa faktor
prioritas penting yang berdampak terhdap pengambilan keputusan
secara rasional dalam situasi yang tidak menentu (Rosentcok, 1990).
Pada tahun 1974, pendidikan kesehatan mencurahkan seluruh
perhatian terhadap isu HBM dan perilaku kesehatan individu (Becker,
1974 dalam Glanz dkk., 1997). Isu tersebut merupakan kesimpulan
yang ditemukan dari riset HBM untuk memahami mengapa individu
melakukan atau tidak melakukan, berkaitan dengan berbagai variasi
yang luas hubungannya dengan tindakan kesehatan. Hal tersebut juga
memberikan dukungan penting untuk model ini dan menjelaskan
perilaku pencegahan dan respons terhadap gejala atau diagnosis
penyakit.
1.1.2 VariableHBM merupakan model kognitif yang digunakan untuk
meramalkan perilaku peningkatan kesehatan. Menurut HBM,
kemungkinan seseorang melakukan tindakan pencegahan dipengaruhi
secara langsung dari 6 variable:
1. Cues to Action
Cues of action adalah segala hal, baik peristiwa, orang, atau
hal-hal lain yang mendorong seseorang untuk merubah
perilakunya. Hal pendorong tersebut dapat berupa faktor internal
dan eksternal. Detak jantung bertambah, kedinginan, kepanasan
adalah contoh faktor internal. Sedangkan contoh faktor eksternal
adalah seseorang akan merubah perilakunya apabila ada anggota
keluarganya yang sakit, berita pada media massa, kampanye
pada media masa, nasihat teman, atau peringatan kesehatan.
2. Perceived Suscepbility
Kerentanan seseorang merupakan salah satu variable kuat
yang mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi perilaku
kesehatan. Semakin besar seseorang merasa rentan terhadap
suatu penyakit maka semakin besar kemungkinan ia akan
berperilaku baik. Contohnya apabila seseorang merasa rentan
dengan virus HIV maka ia akan menggunakan kondom sebagai
bentuk pencegahan, perceived susceptibility juga memotiasi
seseorang untuk melakukan vaksin influenza, menggunakan
sunscreen agar terhindar dari kanker kulit, dan lain-lain.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, apabila seseorang
merasa yakin dirinya rentan terhadap seuatu penyakit maka orang
tersebut akan berperilaku mencegah agar terhindar dari penyakit
tersebut. Hal ini berlaku sebaliknya, apabila seseorang tidak
merasa rentan terhadap suatu penyakit maka ia akan berperilaku
buruk atau tidak melakukan pencegahan. Seperti apa yang
ditemukan pada mahasiswa Asia-Africa, mereka tidak merasa
bahwa HIV/AIDS bukan masalah kesehatan endemik di Asia
sehingga persepsi mereka akan kerentanan terhadap penyakit HIV
rendah.
3. Perceived Severity
Perceived severity menjelaskan tentang keyakinan seseorang
terhadap keparahan suatu penyakit. Keyakinan seseorang tentang
keparahan suatu penyakit tidak hanya dipengaruhi oleh
pengetahuan kesehatan, namun hal ini juga dipengaruhi oleh
kepercayaan seseorang tentang kesulitan apa yang akan
disebabkan penyakit tersebut dan efek penyakit itu pada
hidupnya. Contohnya sebagian besar dari kita menganggap flu
adalah penyakit ringan, maka kita hanya akan beristirahat dirumah
selama beberapa hari dan sembuh. Berbeda halnya dengan asma,
adanya flu pada penderita asma dapat membuat mereka dirawat
dirumah sakit akibatnya persepsi mereka tentang flu adalah
sebuah penyakit serius.
4. Perceived Benefits
Perceived benefit menerangkan tentang opini seseorang
terhadap keuntungan apa yang mereka dapatkan dari perilaku
yang mereka anut. Orang-orang akan melakukan suatu perilaku
apabila ia percaya bahwa perilaku tersebut dapat menghindarkan
mereka dari risiko terkena penyakit. Contohnya seseorang
menganggap berhenti merokok dapat menghindarkannya dari
ancaman penyakit paru maka ia akan berhenti merokok.
5. Perceived Cost
Perubahan bukan suatu hal yang mudah dilakukan pada
kebanyakan orang. Perceived cost menjelaskan tentang masalah
atau kerugian yang didapat apabila melakukan perubahan.
Agar sebuah perilaku diadopsi oleh seseorang, maka
seseorang tersebut harus yakin terhadap keuntungan yang akan ia
dapat lebih besar daripada keuntungan perilaku sebelumnya dan
lebih banyak daripada kerugiannya. Contohnya apabila seseorang
ingin memeriksakan kesehatannya ke pelayanan kesehatan
namun akses menuju ke pelayanan tersebut dibutuhkan jarak,
tenaga, dan biaya yang besar maka hal itu dapat membuat
seseorang tidak memeriksakan kesehatannya.
6. Self-Efficacy
Self-efficacy ditambahkan pada 4 varibale asli teori HBM
(Rosenstock, Strecher & Becker, 1988). Self-efficacy merupakan
kepercayaan seseorang akan kemampuannya dalam melakukan
sesuatu. Seseorang tidak akan mencoba melakukan hal baru
apabila ia berpikir ia tidak mampu melakukannya. Bahkan apabila
ia yakin sebuah perilaku berdampak baik padanya namun ia
merasa tidak mampu melakukannya, maka ia tidak akan
melakukan hal tersebut.
Perceived of susceptibility, perceived of severity, benefits and
costs dipengaruhi oleh beberapa hail, yakni 1) variable demografi
(umur, jenis kelamin, latar belakang budaya), 2) variable sosial
psikologis (kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial), dan 3) variable
stuktural (pengetahuan, dan pengalaman sebelumnya). Sebagai
contoh, orang tua akan memandang secara berbeda risiko kanker dan
penyakit jantung dan remaja. Orang yang memiliki pengalaman
dengan penyakit tertentu akan bersikap lain terhadap penyakit tersebut
dibandingkan orang yang tidak memiliki pengalaman ini, demikian juga
variable sosiopsikologis akan dinilai berbeda sesuai struktur
sosiopsikologi-nya.
1.1.3 PenerapanHBM adalah suatu model teori yang berkaitan dengan dunia medis
dan mencakup berbagai perilaku, seperti check up pencegahan dan
skrinning, dan imunisasi. Contohnya kegunaan HBM dalam imunisasi
memberi kesan bahwa orang yang menigkuti program imunisasi
percaya hal-hal berikut.
1. Kemungkinan terkena penyakit tinggi (ketidakkekebalan)
2. Jika terjangkit, penyakit tersebut membawa akibat serius.
3. Imunisasi merupakan cara paling efektif untuk pencegahan
penyakit.
4. Tidak ada hambatan serius untuk imunisasai, tetapi hasil
beberapa penelitian HBM menunjukkan sebaliknya.
5. Orang tersebut percaya bahwa percaya bahwa imuninasis dapat
ia lakukan.
Dalam perkembangannya, HBM telah menggunakan keterkaitan
dalam kebiasaan seseorang dan sifat-sifat yang dikaitkan dengan
perkembangan dari kondisi kronis, termasuk gaya hidup tertentu
seperti merokok, diet, olah raga, perilaku keselamatan, penggunaan
alkohol, penggunaan konson untuk pencegahan AIDS, dan gosok gigi.
Penekakan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit telah diganti
kontrol terhadap risiko, dan HBM telah diterapkan pada perilaku itu
sendiri dan lebih penting untuk mencegah perubahan perilaku.
Perluasan HBM melebihi pencegahan, terjadi untuk keadaan
kesakitan dan perilaku peran sakit. Penelitian terjadinya gejala dan
respons terhadap gejala, menggambarkan secara lengkap bagaiaman
individu menginterpretasikan keadaan tubuh dan bagaimana
berperilaku selektif. Hal ini beriarti gambaran tentang kesakitan
diterjemahkan ke dalam varibel-variabel HBM selanjutkan variable-
variable ini digunakan untuk meramalkan perilaku berikutnya.
1.1.4 Kekurangan dan KelebihanSecara teoritis Health Belief Model memiliki 4 kekurangan, yakni:
1. HBM lebih didasarkan pada penelitian terapan dalam permasalahan
penddidikan kesehatan daripada penelitian akademis.
2. HBM didasarkan pada beberapa asumsi yang dapat diragukan,
seperti pemikiran bahwa setiap pilihan perilaku selalu berdasarkan
pertimbangan rasional. Selain rasionalisasinya diragukan, HBM juga
tidak memberikan spesifikasi tepat terhadap kondisi ketika individu
membuat pertimbangan tertentu.
3. HBM hanya memerhatikan keyakinan kesehatan. Kenyatannya,
orang dapat membuat banyak pertimbangan tentang perilaku yang
tidak berhubungan dengan kesehatan tetapi mkasih meme[engaruhi
kesehatan. Sebagai contoh, seorang dapat bergaubung dengan
kelompok olahraga karena kontak sosial atau keretarikan pada
seseorang kelompok tersebut. Keputusan yang diambil tidak ada
kaitannya dengan kesehatan, tetapi memengahuri kondisi
kesehatannya.
4. Berkaitan dengan ukuran komponen-komponene HBM. Banyak
studi menggunakan konsep operasioanal dan pengenalan yang
berbeda sehingga sulit dibandingkan. Hal ini menunjukkan hasil
yang tercampur dan prediksi yang tidak konsisten. Analisis model ini
menunjukkan bahwa predictor dapat berubah sewaktu-waktu.
Sedangkan kelebihan Health Belief Model adalah sebagai berikut:
1. HBM adalah model yang cocok untuk digunakan untuk melakukan
penelitian yang berhubungan dengan perilaku pencegahan
(Skrinning, imunisasi, vaksinasi).
2. Digunakan dalam menganalisis perilaku yang berisiko terhadap
kesehatan.
1.2 Protection Motivation Theory1.2.1 Pengantar
Pada era ini, perilaku manusia semakin lama menjadi semakin
tidak sehat. Perubahan gaya hidup seperti pola makan, konsumsi
alcohol, merokok, dan lain sebagainya memicu munculnya berbagai
penyakit yang dapat menyebabkan rendahnya kualitas hidup dan
kematian dini. Oleh karena itu diperlukan adanya aksi preventif untuk
menghindari dari konsekuensi negative akibat melakukan hal – hal
tersebut. Program – program preventif yang telah ada selama ini
hanya memperlihatkan hal yang tidak menyenangkan akibat
melakukan perilaku tidak sehat, namun tidak memberikan informasi
tentang konsekuensi kesehatannya terhadap masyarakat. Jika
informasi tentang bahaya akibat perilaku tersebut diperlihatkan secara
implisit sekalipun, hal itu akan memotivasi masyarakat untuk
berperilaku sehat. Menurut Schwarzer tahun 1992, informasi bahaya
harus ditunjukkan meski dalam level minimum, sebelum orang – orang
memikirkan tentang benefit yang akan ia dapat bila melakukan hal
tersebut.
Protection Motivation Theory (PMT) adalah teori yang pada
awalnya diungkapkan oleh Rogers tahun 1975. Pada paper milik
Rogers pada tahun 1975 tersebut dijelaskan tentang efek kognitif dari
fear appeals. Rogers memahami bahwa ketakutan dapat menjadi
inisiator dari cognitive mediating process karena ketakutan menuntun
penilaian kognitif yang dapat menyebabkan perubahan perilaku.
Konsep dari PMT sendiri menawarkan untuk merubah perilaku hidup
sehat dengan pencegahan dan motivasi. Pada tahun 1992 Schwarzer
mencocokkan teori Rogers dengan teori Health Belief Model dan dapat
dikatakan bahwa Protection Motivation Theory merupakan perluasan
dari teori Health Belief Model.
1.2.2 VariabelTeori Protection Motivation Theory (PMT) adalah salah satu
formulasi model yang menjelaskan bahwa informasi bahaya kesehatan
yang berasal dari sikap atau perilaku merupakan upaya sebagai kegiatan
persuasi maupun preventif. PMT adalah teori perilaku yang berfungsi
mengembangkan intervensi untuk mengurangi tingklat bahaya pada
individu dengan menggunakan penelitian dan mengintegrasikan konsep
psikologis, sosiologis dan bidang lain yang terkait. PMT sendiri
menjelaskan mengapa orang-orang melakukan perilaku hidup tidak sehat
(ancaman dan kerentanan yang mungkin timbul).
PMT merupakan suatu proses penilaian ancaman (threat
appraisal) dan penilaian tanggapan (coping appraisal) yang
mengakibatkan timbulnya niat untuk melaksanakan tanggapan adaptif
(motivasi perlindungan) atau maladaptif (menempatkan seseorang pada
resiko).
Proses threat appraisal meliputi penilaian terhadap keseriusan
dari bahaya kesehatan dengan memperkirakan kemungkinan sebuah
dampak yang negative (vulnerability) dan keparahan (severity) dari
dampak negative tersebut bila melakukan tindakan yang berulang.
Komponen severity dan vulnerability ini sama dengan perceived severity
dan perceived susceptibility yang ada pada teori Health Belief Model.
Namun, threat appraisal dari teori Protection Motivation menempatkan
aspek lain yaitu imbalan, baik intrinsic maupun ekstrinsik. Imbalan ini
memainkan peran dalam proses threat appraisal. Imbalan yang
dimaksudkan adalah konsekuensi positif dari maladaptive respon.
Contohnya adalah orang yang mengidap penyakit diabetes mellitus,
orang akan mendapat imbalan dari perilaku diet tidak sehat atau tidak
berolahraga seperti rasa nikmat ketika makan makanan yang tinggi
kolesterol atau tidak perlu meluangkan waktu untuk olahraga. Namun,
dalam teori Protection Motivation, proses threat appraisal membuat
severity dan vulnerability mengurangi ketertarikan orang terhadap
imbalan – imbalan tersebut jadi adaptif respon akan terjadi.
Proses kognitif yang kedua adalah coping appraisal yaitu di
dalamnya meliputi response efficacy dari perilaku, yang merupakan
sebuah evaluasi atau penilaian seberapa efektif perilaku tersebut akan
melindungi dari bahaya. Coping appraisal juga meliputi perceived self –
efficacy, yang mana merupakan evaluasi atau penilaian individu terhadap
kapasitas mereka dalam berperilaku. Bagaimanapun juga, factor – factor
dalam proses coping appraisal ini adalah cost atau biaya yang
dikeluarkan untuk respon adaptif. Biaya yang dimaksud disini adalah
konsekuensi secara fisik, sosial atau psikologis yang harus dikeluarkan
untuk respon adaptif. Jadi, penanganan dengan ancaman kesehatan
melibatkan persepsi bahwa ketertarikan pada perilaku protektif akan
menuntun untuk mencegah ancaman. Orang bisa percaya diri untuk
berperilaku sehat dengan pertimbangan bahwa biaya yang dikeluarkan
tidak terlalu besar dibandingkan dengan bahaya atau ancaman kesehatan
yang dapat terjadi.
Hubungan antara threat appraisal dan coping appraisal dapat
dikatakan multiplikatif, artinya dua proses ini saling berinteraksi. Dalam
istilah ilmiah, sebuah interaksi berarti bahwa dampak yang berbeda
adalah diharapkan dibawah kondisi yang berbeda. Interaksi atau
hubungan multiplikatif mempunyai prinsip yang sama dengan ilmu sosial
yaitu kita mengharapkan hal yang berbeda untuk terjadi di bawah kondisi
yang berbeda pula. Interaksi dalam Protection Motivation Theory adalah
jika threat appraisal meningkat (persepsi keparahan dan kerentanan) dan
kondisi coping appraisalnya tinggi (persepsi dari respond an self efficacy),
maka perilaku adaptif akan mencapai level yang lebih tinggi. Sebaliknya,
bila threat appraisal meningkat namun kondisi coping appraisalnya
rendah, maka perilaku maladaptive akan meningkat.
Fear atau ketakutan tidak muncul sebagai variable di dalam
Protection Motivation Theory yang asli (1975) namun muncul di Protection
Motivation Theory yang telah direvisi (1983) dalam hubungannya dengan
perceived severity. Dalam edisi revisi, perceived severity dan fear saling
berkaitan. Dapat diperoleh pemikiran bahwa ancaman terhadap
keparahan menyebabkan ketakutan, namun juga ketakutan tentang
sebuah ancaman membuat orang lebih memikirkan tentang keparahan.
PMT menyatakan bahwa perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan dibentuk dari 5 komponen :
1. Severity
Pada teori Protection Motivation, ancaman (severity)
menempatkan aspek lain yaitu imbalan, baik intrinsic maupun
ekstrinsik. Imbalan ini memainkan peran dalam proses threat
appraisal. Imbalan yang dimaksudkan adalah konsekuensi positif
dari maladaptive respon. Contohnya adalah orang yang mengidap
penyakit diabetes mellitus, orang akan mendapat imbalan dari
perilaku diet tidak sehat atau tidak berolahraga seperti rasa nikmat
ketika makan makanan yang tinggi kolesterol atau tidak perlu
meluangkan waktu untuk olahraga.
2. Vulnerability
Pada teori PMT Vulneberity (kerentanan) memiliki makna yang
sama pada teori HBM yaitu Perceived Susceptibility. Seorang
individu merasakan seberapa rentankah ia terhadap sebuah
masalah/ penyakit. Jika persepsi individu tersebut positif maka akan
mengarah pada perilaku yang menghindar dari penyebab masalah/
penyakit tersebut.
3. Response Effectiveness
Perilaku disini tergantung pada tingkat keefektivan respon
seorang individu terhadap suatu masalah/penyakit. Persepsi
individu tersebut yakni seberapa efektifkah perubahan perilaku
yang dapat menyelesaikan suatu masalah atau terhindar dari
penyakit.
4. Self-efficacy
Persepsi terhadap kemampuan diri sendiri untuk melakukan
perilaku pencegahan suatu masalah atau penyakit. Pada self-
efficacy juga merupakan proses evaluasi atau penilaian individu
terhadap kapasitas mereka dalam berperilaku. Seberapa percaya
diri untuk mengurangi perilaku berisiko tersebut.
5. Fear
Dapat diperoleh pemikiran bahwa ancaman terhadap
keparahan menyebabkan ketakutan, namun juga ketakutan
tentang sebuah ancaman membuat orang lebih memikirkan
tentang keparahan yang akan terjadi. Ketakutan dapat menjadi
inisiator karena ketakutan menuntun penilaian kognitif seseorang
yang dapat menyebabkan perubahan perilaku. Fear atau
ketakutan tidak muncul sebagai variable di dalam Protection
Motivation Theory yang asli (1975) namun muncul di Protection
Motivation Theory yang telah direvisi (1983) dalam hubungannya
dengan perceived severity. Dalam edisi revisi, perceived severity
dan fear saling berkaitan.
1.2.3 Kekurangan dan Kelebihan
PMT adalah satu-satunya teori dalam perspektif kognitif lebih luas
yangmenggunakan kerugian dan manfaat dari perilaku yang ada dan
dianjurkan untuk memprediksi kemungkinan perubahan.
Namun teori ini juga mempunyai batasan bahwa tidak semua
variable kognitif dan lingkungan yang dapat mempengaruhi perubahan
perilaku diidentifikasi. Sebagai contoh adalah tekanan untuk
menyesuaikan diri dengan norma sosial.
1.2.4 Penerapan Teori PMTModel PMT merupakan perluasan model HBM dengan tambahan
variable fear. Sehingga penerapan model ini juga sama dengan model
HBM. Untuk penerapan variable fear sendiri contohnya adalah sebagai
berikut.
Seorang ibu yang masih ragu mengimunisasikan anaknya yang
masih bayi. Ibu tersebut berpersepsi jika anaknya tidak diimunisasikan
BCG maka anaknya berkemungkinan mengalami polio. Dari persepsi
itu muncul ketakutan pada ibu apabila anaknya terjangkit polio.
BAB IIAPLIKASI PADA TEORI
Alat Pelindung Diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang
mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya
mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja.
Pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor
PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Dri, pengusaha wajib
menyediakan APD yang berstandar nasional Indonesia secara cuma-cuma
kepada pekerja di tempat kerja. Pekerja atau orang lain yang memasuki tempat
kerja wajib memakai atau menggunakan APD yang disediakan sesuai risiko yang
ada di tempat kerja. Alat Pelindung Diri tersebut dapat berupa pelindung kepala,
pelindung mata dan muka, pelindung telinga, pelindung pernapasan beserta
perlengkapannya, pelindung tangan, dan/ atau pelindung kaki. Sesuai dengan
pasal 4 atat 1C salah satu tempat yang diwajibkan bagi pekerjanya
menggunakan APD adalah tempat dimana dikerjakan pembangunan, perbaikan,
perawatan, pembersihan, atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan
lainnya termasuk bangunan perairan saluran atau terowongan dibawah tanah
dan sebagaimanya atau dimana dilakukan pekerjaan persiapan.
Pada Bab ini digambarkan aplikasi teori Health Belief Model dan Protection
Motivation Theory terhadap perilaku penggunaan APD berupa masker dan
sepatu boots pada pekerja bangunan. Masker termasuk dalam pelindung
pernapasan yang berfungsi untuk melindungi organ pernapasan dengan cara
menyalurkan udara bersih dan sehat dan/atau menyaring cemaran bahan kimia.
Mikro-organisme, partikel yang berupa debu, kabut (aerosol), uap, asap, gas/
fume, dan sebagainya. Sedangkan sepatu boots adalah pelindung kaki yang
berfungsi untuk melindungi kaki dan tertimpa atau berbenturan dengan benda-
benda berat, tertusuk benda tajam, terkena cairan panas atau dingin, uap panas,
terpajan suhu yang ekstrim, terkna bahan kimia berbahaya dan jasad renik, serta
tergelincir.
Berikut adalah analisis perilaku penggunaan APD berupa masker dan sepatu
boots pada pekerja bangunan dengan teori Health Belief Model dan Protection
Motivation Theory.
Persepsi tentang kerentanan terkena penyakit akibat kerja arau adanya kecelakaan akibat kerja (Perceived Suscepbility)
Persepri akan kerentaan terhadap suatu penyakit pada seseorang
akan mempengaruhi bagaimana orang tersebut berperilaku, apabila
seseorang itu merasa rentan maka ia akan berperilaku untuk mencegah
dirinya terkena suatu penyakit.
Pekerja yang memiliki persepsi tentang kerentanannya terhadap
penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja rendah memiliki kemungkinan
lebih besar untuk tidak menggunakan APD berupa masker dan sepatu
boots dibandingkan dengan pekerja yang memiliki persepsi tentang
kerentanan tinggi. Seorang pekerja yang merasa rentan terkena penyakit
saluran pernafasan dan jatuh akibat terpeleset akan terdorong untuk
menggunakan masker dan sepatu boots.
Persepsi tentang keseriusan akan penyakit yang didapat dan kecelakaan yang terjadi (Perceived Severity/ Vulnerability)
Pekerja yang memiliki persepsi tentang keseriusan penyakit dan
kecelakaan yang didapat dari perkerjaan dan tempat kerjanya rendah
memiliki kemungkinan untuk tidak menggunakan APD berupa masker dan
sepatu boots tinggi. Pada pekerja yang yakin penyakit saluran pernafasan
dan kecelakaan yang diakibatkan oleh pekerjaan dan tempat kerja adalah
hal yang serius, pekerja tersebut akan memilih untuk menggunakan
masker dan sepatu boots.
Persepsi tentang manfaat APD berupa Masker dan Sepatu BootsPersepsi pada pekerja bangunan mengenai keparahan suatu
dampak apabila tidak menggunakan alat pelindung diri maka akan terjadi
banyak risiko kecelakaan kerja yang dapat menimbulkan masalah
kecacatan bahkan hingga kematian. Pemakaian APD harus menjadi
kewajiban dan kebiasaan tenaga kerja sebagai perlindungan terakhir
dalam upaya pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK).
Para pekerja bangunan yang memiliki pemikiran bahwa saat bekerja
mereka harus mengenakan APD seperti masker dan sepatu boots. Para
pekerja tersebut merasakan adanya keuntungan bila menggunakan
masker yakni terhindar dari asma karena partikel debu dari semen yang
berterbangan di lingkungan pembangunan mengganggu proses
pernapasan dan membuat dada sesak. Pekerja yang memakai sepatu
boots menguntungkan karena jika pekerja sedang berada pada
lingkungan konstruksi bangunan yang licin maka terhindar dari adanya
risiko terpeleset.
Persepsi tentang hambatan penggunakaan APD berupa Masker dan Sepatu Boots
Para Pekerja yang memiliki motivasi yang kuat untuk
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) daripada hambatan/ rintangan
yang dihadapi, maka pekerja akan tetap melakukan perilaku tersebut.
Ada sebagian tenaga kerja yang tidak memakai APD secara lengkap
ketika memasuki tempat kerja atau yang sedang bekerja di tempat kerja
yang mempunyai potensi dan faktor bahaya tertentu. Hal ini disebabkan
mungkin karena kurangnya sosialisasi kepada tenaga kerja mengenai
pentingnya pemakaian APD, dan juga karena tenaga kerja merasa tidak
nyaman ketika memakai APD tersebut. Menggunakan Alat Peindung Diri
seperti masker bagi sebagian para pekerja mungkin mengeluhkan
ketidaknyamanan karena kurang leluasa bagi gerak tubuh dan
menambah sedikit beban kerja. Biaya yang harus dikeluarkan dalam
pembelian APD seperti sepatu boots memang sedikit mahal, terutama
bagi pekerja yang berpenghasilan menengah ke bawah cukup berat
karena harus menyisihkan sedikit pendapatannya untuk membeli Alat
pelindung diri tersebut.
Cues to ActionSelain empat kepercayaan atau persepsi dan modifikasi variable,
HBM menganjurkan perilaku juga mempengaruhi isyarat/ tanda untuk
melakukan perilaku. Dalam lingkungan pekerja bangunan tentunya ada
seseorang yang memimpin biasanya yang disebut mandor. Mandor ini
yang mengawasi dan mengatur para pekerja bangunan. Sebelum
memulai pekerjannya, mandor mensosialisasikan mengenai keselamatan
kerja kepada para pekerja. Mandor memberi informasi bahwa pemakaian
APD (Alat Pelindung Diri) seperti masker dan sepatu boots harus dipakai
agar mengurangi risiko terjadi kecelakaan kerja dan masker tersebut
terhindar dari gangguan pernapasan saat bekerja. Para pekerja tersebut
terpengaruh dengan isyarat yang diberikan oleh mandor untuk berperilaku
menggunakan masker dan sepatu boots.
Self efficacySelf-efficacy merupakan keyakinan seseorang tentang
kemampuan dirinya untuk berperilaku, yang dalam hal ini berperilaku
melakukan pencegahan terhadap suatu kejadian penyakit.
Seorang pekerja yang tidak memiliki kepercayaan diri atau
keyakinan akan kemampuan menggunakan APD berupa masker dan
sepatu boots akan memilih untuk tidak menggunakan masker dan sepatu
boots. Ketidakpercayaan diri tersebut daapt dikarenakan oleh bentuk
masker dan sepatu boots yang tidak sesuai dengan gaya pekerja
tersebut, dapat juga dikarenakan pekerja malu apabila menggunakan
masker dan sepatu boots.
Fear Dalam aplikasinya fear (ketakutan) sendiri sebenarnya memiliki
hubungan yang erat dengan threat appraisal (penilaian ancaman).
Ketakutan seorang Individu muncul karena dipengaruhi oleh faktor
keparahan yang nantinya akan berdampak negative pada seorang
individu tersebut. Dalam hal ini, seorang pekerja konstruksi bangunan
memiliki pemikiran atau persepsi bahwa jika dirinya tidak menggunakan
Alat Pelindung Diri seperti masker dan sepatu boots maka akan timbul
dampak yang akan muncul yaitu seperti gangguan pernapasa seperti
sesak napas (termasuk PAK, Penyakit Akibat Kerja) dan terjadinya risiko
kecelakaan kerja seperti terpeleset yang dapat berakibat fatal.
BAB IIIKUISIONER
KUISIONER HUBUNGAN KONSEP HEALTH BELIEF MODEL (HBM) DENGAN PERILAKU PENGGUNAAN MASKER DAN SEPATU BOOTS PADA PEKERJA
KONSTRUKSI BANGUNAN
Nama :
Jenis Kelamin :
Umur :
Masa Kerja :
Pendidikan Terakhir :
Tanggal Pengisian Kuisioner :
Petunjuk : Isilah Pertanyaan di bawah ini
Beri tanda silang (X) pada pilihan abjad yang sesuai dengan jawaban responden.
1. Apakah Anda mengetahui tentang Alat Pelindung Diri (APD) ?
a.Ya
b.Tidak
2. Apakah Anda mengetahui jenis-jenis Alat Pelindung Diri ?
a.Ya
b.Tidak
3. Apakah Anda menggunakan Alat Pelindung Diri berupa masker dan sepatu
boots saat bekerja ?
a.Ya
b.Tidak
4. Apa tujuan Anda menggunakan Alat Pelindung Diri berupa masker dan
sepatu boots ?
a.Meningkatkan pengendalian bahaya.
b.Meningkatkan perlindungan keselamatan saudara
c.Tidak tahu.
5. Apa alasan Anda menggunakan Alat Pelindung Diri berupa masker dan
sepatu boots ?
a.Diwajibkan oleh perusahaan untuk menggunakan Alat Pelindung Diri
b.Kesadaran untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja
c.Tidak tahu
6. Apakah tempat Anda bekerja mewajibkan mengunakan untuk menggunakan
Alat Pelindung Diri berupa masker dan sepatu boots ?
a.Ya
b.Tidak
7. Apakah tempat bekerja Anda menyediakan Alat Pelindung Diri berupa
masker dan sepatu boots ?
a. Ya
b. Tidak
8. Apa akibat apabila tidak menggunakan Alat Pelindung Diri berupa masker
dan sepatu boots ?
a.Terjadi kecelakaan kerja
b.Terjadi penyakit akibat kerja
c.Tidak terjadi apa-apa
9. Menurut Anda, Alat Pelindung Diri berupa masker dan sepatu boots yang
bagaimana yang ingin Anda gunakan ?
a. Nyaman/ enak digunakan
b. Modelnya bagus
c. Warnanya menarik
10. Siapa yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan Alat Pelindung Diri
Anda ?
a. Anda sendiri
b. Pihak perusahaan
c. Lain-lain
A. Cost
No Persepsi (-) S R TS
1 Menggunakan masker dan sepatu boots dapat
mengurangi kenyamanan dalam bekerja
2 Menggunakan masker dan sepatu boots terasa
mengganggu saat bekerja
3 Menggunakan masker dan sepatu boots adalah hal yang
tidak penting
4 Menggunakan masker dan sepatu boots butuh waktu
lama
5 Masker dan sepatu boots sulit didapat
6 Menggunakan masker dan sepatu boots mengurangi
efektivitas kerja
Keterangan:
S : Setuju
R : Ragu
TS: Tidak Setuju
B. Benefit
No Persepsi ( + ) S R TS
1 Menggunakan masker dan sepatu boots mencegah
kecelakaan kerja
2 Menggunakan masker dan sepatu boots melindungi diri
dari risiko penyakit pernapasan dan kecelakaan di tempat
kerja
3 Menggunakan masker dan sepatu boots membuat
perasaan lebih aman
4 Menggunakan masker dan sepatu boots meningkatkan
kenyamanan
5 Menggunakan masker dan sepatu boots mudah dan cepat
6 Menggunakan masker dan sepatu boots menjadi
kepentingan untuk para pekerja
C. Kerentanan
No Ya Tidak1 Saya merasa saya berisiko mengalami kecelakaan saat
bekerja2 Saya merasa tempat kerja saya berbahaya3 Saya mudah terkena penyakit pernapasan4 Saya merasa saya dapat terpeleset di tempat kerja
D. Self efficacy
No S R TS
1 Saya mampu menggunakan masker dan sepatu boots
dengan baik
2 Saya mampu menggunakan masker dan sepatu boots
sesuai prosedur yang ditetapkan
3 Penggunakan masker dan sepatu boots mudah dilakukan
tanpa perlu adanya pertimbangan
4 Penggunaan masker dan sepatu boots bermanfaat untuk
pekerjaan saya
5 Penggunaan masker dan sepatu boots dapat melindungi
saya dalam kecacatan
6 Penggunaan masker dan sepatu boots dapat menjadikan
saya untuk selalu bekerja
7 Penggunaan masker dan sepatu boots saat bekerja
mencerminkan tenaga kerja yang disiplin
8 Penggunaan masker dan sepatu boots tidak membuat
malu
9 Penggunaan masker dan sepatu boots tidak memperburuk
gaya berpenampilan
E. keparahan
No S R TS
1 Tidak menggunakan APD dapat menyebabkan kecelakaan
kerja
2 Kecelakaan kerja dapat menyebabkan cidera dan
kecacatan
3 Kecelakaan kerja dapat menyebabkan kehilangan kerja
4 Biaya pengobatan dan pemulihan terhitung mahal
5 Debu dapat membuat penyakit pernapasan kambuh
6 Cedera kaki tidak diinginkan karena mengurangi hari kerja
F. Cues to action
No1 Disekitar lingkungan kerja saya terdapat media promosi
(poster/ pamphlet/ baliho) yang menganjurkan memakai APD saat bekerja
2 Ada anjuran memakai masker di tempat kerja3 Ada anjuran memakai sepatu boots di tempat kerja4 Teman kerja saya memakai masker ketika bekerja 5 Teman kerja saya memakai sepatu boots saat bekerja6 Saya mengalami gangguan bernapas saat tidak menggunakan
masker ketika bekerja7 Saya pernah mendapat cedera saat tidak memakai sepatu
boots8 Teman kerja saya ada yang mengalami gangguan bernapas
ketika tidak memakai masker saat bekerja9 Teman kerja saya ada yang mengalami cedera saat tidak
memakai sepatu boots ketika bekerja
SCORING
No Persepsi (-) S R TS
1 Menggunakan masker dan sepatu boots dapat
mengurangi kenyamanan dalam bekerja
2 1
2 Menggunakan masker dan sepatu boots terasa
mengganggu saat bekerja
3 2 1
3 Menggunakan masker dan sepatu boots adalah hal yang
tidak penting
4 Menggunakan masker dan sepatu boots butuh waktu
lama
5 Masker dan sepatu boots sulit didapat
6 Menggunakan masker dan sepatu boots mengurangi
efektivitas kerja
DAFTAR PUSTAKABensley, Robert J., Jodi Brookins-Fisher. Metode Pendidikan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009.
Clemente, Ralph J, et all. Health Behavior Theory for Public Health : Principles,
Foundations, and Applications. Burlington: Jones and Bartlett Learning,
2013.
Conner, Mark, Paul Norman. (ed.)(2005) Predicting Health Behaviour: Research
And Practice with Social Cognition Models Second Edition. UK: Open
University Press
Connolly, Mary. Skills-based Health Education. Burlington: Jones and Bartlett
Learning, 2012.
Gochman, David S. Handbook of Health Behavior Research I. New York :
Plenum Press, 1997
Maulana, Heri D. J. Promosi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2009
Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta. 2012.
Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta. 2007.
Sudarman, Momon. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. 2008.
Witte, Kim, et all. Effective Health Risk Message : A Step by Step Guide.
California : Sage Publications, 2001
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.08/MEN/VII/2010
tentang Alat Pelindung Diri
Fibriana, Arulita Ika. Jurnal Keikutsertaan Pelanggan Wanita Pekerja Seks dalam
Voluntary Conseling and Testing (VCT). Semarang: Universitas Negeri
Semarang. 2013.
Munro, Salla., et all. Artikel A review of health behaviour theories: how useful are
these for developing interventions to promote long-term medication
adherence for TB and HIV/AIDS?. 2007
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1925084/