review topik

27
Tugas 1 Literature Review Teori Kajian (Revisi) Usulan Topik : KIAI DALAM PUSARAN KONFLIK POLITIK : Studi Tentang Pergeseran Peran dan Dukungan Kiai Dalam Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2001-2011 Suswanta 10/307323/SSP/00251 Pengantar Topik kajian yang penulis usulkan adalah tentang pergeseran peran dan dukungan kiai dalam konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2001-2011. Sedangkan rumusan masalahnya adalah : Mengapa terjadi pergeseran peran dan dukungan kiai dalam konflik internal PKB 2001-2011? Pergeseran peran yang dimaksud adalah dari juru damai ke partisipan dalam konflik PKB. Sedangkan pergeseran dukungan adalah perpindahan dukungan kiai terhadap pihak yang berkonflik pada masing-masing episode konflik. Pada awal pendirian PKB, kiai berperan sebagai sumber rujukan atau legitimasi teologis dalam pengambilan kebijakan strategis partai dan pendulang suara dalam pemilu. Peran sebagai rujukan termasuk di dalamnya peran sebagai juru damai dalam resolusi konflik internal partai. Di masa awal, setiap kali hendak mengambil keputusan penting, para elit PKB termasuk Gus Dur rajin sowan dan mendiskusikan sikap politik itu kepada kiai-kiai yang berpengaruh dan dihormati di kalangan kaum Nahdliyyin. Demikian pula ketika menghadapi konflik, kader partai yang terlibat konflik selalu meminta nasehat dan solusi dari kiai. Namun, seiring dengan meningkatnya konflik internal partai, para kiai justru terseret masuk dalam pusaran konflik. Kiai menjadi pihak yang juga terlibat dalam konflik. Fakta menunjukkan bahwa soliditas kiai PKB dalam pemilu 1999 telah menempatkan partai ini pada urutan ketiga perolehan suara tingkat nasional sebesar 12,6 %. Beberapa tahun setelah itu muncul konflik internal antara Mathori dengan Gus Dur. Dukungan Mathori terhadap pemakzulan Gus Dur menjadi pemicunya. Mathori sebagai ketua umum dianggap mengkhianati garis politik partai karena lebih mendukung Megawati yang kemudian menggantikan Gus Dur sebagai presiden. Konflik semakin melebar dengan munculnya kepengurusan ganda versi Mathori dan Gus Dur serta terbelahnya dukungan kiai.

Upload: rizky-sulistyo

Post on 24-Oct-2015

86 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Tugas Agama

TRANSCRIPT

Tugas 1Literature Review Teori Kajian (Revisi)

Usulan Topik :

KIAI DALAM PUSARAN KONFLIK POLITIK :Studi Tentang Pergeseran Peran dan Dukungan Kiai

Dalam Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2001-2011

Suswanta10/307323/SSP/00251

Pengantar

Topik kajian yang penulis usulkan adalah tentang pergeseran peran dan dukungan kiai dalam konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2001-2011. Sedangkan rumusan masalahnya adalah : Mengapa terjadi pergeseran peran dan dukungan kiai dalam konflik internal PKB 2001-2011? Pergeseran peran yang dimaksud adalah dari juru damai ke partisipan dalam konflik PKB. Sedangkan pergeseran dukungan adalah perpindahan dukungan kiai terhadap pihak yang berkonflik pada masing-masing episode konflik. Pada awal pendirian PKB, kiai berperan sebagai sumber rujukan atau legitimasi teologis dalam pengambilan kebijakan strategis partai dan pendulang suara dalam pemilu. Peran sebagai rujukan termasuk di dalamnya peran sebagai juru damai dalam resolusi konflik internal partai. Di masa awal, setiap kali hendak mengambil keputusan penting, para elit PKB termasuk Gus Dur rajin sowan dan mendiskusikan sikap politik itu kepada kiai-kiai yang berpengaruh dan dihormati di kalangan kaum Nahdliyyin. Demikian pula ketika menghadapi konflik, kader partai yang terlibat konflik selalu meminta nasehat dan solusi dari kiai. Namun, seiring dengan meningkatnya konflik internal partai, para kiai justru terseret masuk dalam pusaran konflik. Kiai menjadi pihak yang juga terlibat dalam konflik.

Fakta menunjukkan bahwa soliditas kiai PKB dalam pemilu 1999 telah menempatkan partai ini pada urutan ketiga perolehan suara tingkat nasional sebesar 12,6 %. Beberapa tahun setelah itu muncul konflik internal antara Mathori dengan Gus Dur. Dukungan Mathori terhadap pemakzulan Gus Dur menjadi pemicunya. Mathori sebagai ketua umum dianggap mengkhianati garis politik partai karena lebih mendukung Megawati yang kemudian menggantikan Gus Dur sebagai presiden. Konflik semakin melebar dengan munculnya kepengurusan ganda versi Mathori dan Gus Dur serta terbelahnya dukungan kiai. Meskipun sebagian besar kiai berada dalam kubu Gus Dur, tetapi ada kiai yang mendukung Mathori, yaitu KH Dimyati Rois pengasuh ponpes Kaliwungu Kendal. Kiai Dimyati adalah salah satu Dewan Syuro DPP PKB saat itu.

Konflik internal PKB ternyata berlanjut dan berujung pada perpecahan pasca Muktamar II di Semarang tahun 2004, yang menghasilkan kubu Gus Dur-Muhaimin dan Alwi Shihab-Syaifullah Yusuf. Upaya penyatuan sudah dilakukan oleh beberapa kiai, namun perbedaan yang ada sangat besar. Terlebih lagi pada episode konflik II ini melibatkan banyak kiai senior dan berpengaruh di kalangan NU. Terjadi pergeseran dukungan kiai, yakni kiai langitan, sepuh atau khos yang dulu berada dalam kubu Gus Dur ketika konflik Mathori-Gus Dur, seperti KH Adullah Faqih dari Langitan Jatim, KH Idris Marzuki dari Kediri Jatim, KH Muhaiminan Gunardo Parakan Jateng dan KH Abdurrahman Chudlori Magelang justru memilih jalan berseberangan dengan Gus Dur yaitu menjadi pendukung Alwi-Syaifullah Yusuf. Keterlibatan kiai dalam konflik internal PKB dan pergeseran dukungannya juga terlihat dalam konflik episode III, IV dan V.

Kiai yang dimaksud dalam usulan topik kajian ini adalah sebutan bagi alim ulama atau cerdik pandai dalam agama Islam (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998, p. 437). Secara khusus adalah kiai NU yang pandangan politiknya berafiliasi pada PKB dan memiliki pengikut atau pengaruh cukup besar dalam konfigurasi politik PKB, baik yang masuk dalam struktur kepengurusan partai maupun tidak. Mereka yang masuk dalam struktur kepengurusan partai dalam arti aktif dalam jajaran Mutasyar (penasehat) atau Dewan Syuro ( Lembaga Perumus Kebijakan Partai). Beberapa kiai yang tidak masuk dalam struktur kepengurusan partai seringkali disebut dengan kiai kultural, kiai khos atau kiai langitan. Meskipun para kiai tersebut tidak masuk dalam struktur partai tetapi memiliki kedekatan dengan PKB. Sebagian besar kiai memiliki pesantren dan pengaruh di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta sebagian kecil di Jawa Barat.

Studi Terdahulu Tentang Pergeseran Peran Kiai

Sejauh penelusuran penulis, studi yang mendalam tentang pergeseran peran kiai dari juru damai ke partisipan dalam konflik PKB 2001-2011 belum dilakukan. Studi tentang pergeseran peran kiai yang sudah dilakukan berkaitan dengan :

Pertama, pergeseran pola kepemimpinan kiai, seperti yang dilakukan oleh Sunyoto ( 1990), Pradjarta (1999), Sukamto (1999), Endang Turmudi (2003), Muhsin Jamil (2005). Kedua, pergeseran peran kiai berkaitan dengan perubahan sosial budaya, sebagaimana dilakukan oleh Geerzt (1983), Horikoshi ; (1987), Manfred Ziemek (1992), Feilard (1999), Afandi (2005), Miftah Farid (2007), As’ad Isma’ (2008), Benny Subianto (2010), Abdul Wahid (2011). Ketiga, pergeseran perilaku politik kiai, dengan contoh studi yang dilakukan oleh Riaz Hasan (1985), Masdar F.Mas’udi (1991), Fathoni (1992), Kacung Marijan (1992), Gaffar Karim (1995), Faiqul Ihsan (1996), Laode Ida (1996), Ali Haedar (1998), Gregory J. Fealy (2003), Syamsul Arifin (2003), Ahmad Zaini (2003), Nahwari (2005), Sidik Jatmika (2005), Achmad Patoni (2007), Moesa (2007), Abdul Haris (2008), Kang Young Soon (2008), Andree Feillard (2009), Abdul Moqsid Ghazali (2009), Mulkan (2009), Syaiful Arif (2010), Said Agil Siradj (2010), Abdul Chalik (2010), dan Masruhan (2010). Keempat, pergeseran peran kiai berkaitan dengan pendidikan di pesantren. Studi yang dilakukan Siradjuddin Akbar (1968), Moesa (2002), Zaenal Arifin Thoha (2003), Sholahuddin Malik (2007), Fatkhuri (2008), Firmansyah (2008), Ruslan (2009), Puspitasari (2009), Ruhendi (2010), In’am (2010), dan Ustas (2010) adalah beberapa contohnya. Kelima, pergeseran pemikiran kiai, seperti yang ditulis oleh Abdul Rahman Haji Abdullah (1997) dan hasil penelitian Ahmad Nur Fuad (2010).

Tabel 1Peta Studi Terdahulu Tentang Pergeseran Peran Kiai

No Kategori Penulis dan Judul Substansi1 Pergeseran Pola

Kepemimpinan Kiai

Sunyoto Usman, Local Elites and Development, Flinders University Australia, Disertasi, 1990

Berdasarkan penelitian di tiga desa santri Jombang ditemukan fakta bahwa telah kiai tidak lagi menjadi pemimpin yang berpengaruh dalam semua bidang (polymorphic) tetapi hanya pada satu bidang (monomorphic)

Sunyoto Usman, Politik, Taqlid dan Interaksi Guru Murid dalam Tarekat, PAU Studi Sosial, UGM, Yogyakarta, 1994

Berdasarkan penelitian di Kudus terhadap komunitas tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan Naqsyabandiyah Kholidiyah ditemukan fakta bahwa ada komunitas tarekat yang menganggap bahwa kepemimpinan kiai hanya dalam urusan agama dan tidak dalam politik. Pandangan politik guru tidak harus menjadi referensi pemikiran politik murid

Pradjarta Dirjosanjoto, Memelihara Umat : Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa, LKiS, Yogyakarta, 1999, Terjemahan Disertasi di Department of Culltural Antropology/Sociology of Development, Vrije Universiet, Amsterdam, Belanda, 1994

Dengan melakukan penelitian di Tayu, Pati, Jawa Tengah, ditemukan fakta bahwa ada kiai yang mengalami perubahan sikap, yakni menjalin kedekatan dengan pemerintah padahal sebelumnya bersikap independen dan anti pemerintah

Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKiS, Yogyakarta, 2004, Terjemahan Disertasi, Struggling for the Umma : Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java, ANU, Australia, 2003

Mengkaji pengaruh perubahan sosial politik masyarakat terhadap pola kepemimpinan kiai di Jombang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh kepemimpinan kiai dalam bidang politik tidak sekuat dalam bidang agama

M. Muhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial politik : Tafsir Sosial Sufi Nusantara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005

Perubahan sosial politik menyebabkan terjadinya pergeseran sistem kepemimpinan kiai tarekat dari pemberian ijazah oleh mursyid menjadi dipilih serta pergeseran sumber otoritas kiai dari kharisma kiai yang sangat personal menjadi impersonal yatu lembaga tarekat

Imam Nahrawi, Moralitas Politik PKB : Aktualita PKB Sebagai Partai Kerja, Partai Nasional, dan Partai Modern, Averroes Press, Malang, 2005

Terjadi degradasi peran kepemimpinan kiai sebagai figur sentral, panutan, dan patron akibat kiai terjun dalam dunia politik praktis

Imron Aripin, Kepemimpinan Kiai Dalam Mengembangkan Lembaga Pendidikan : Studi Kasus Pesantren Tebuireng, Jombang, Malang, Kalimasada Press, 1993

Kharisma kiai cenderung memudar jika sang kiai memasukan unsur-unsur luar dengan alasan modernisasi ke dalam pesantren yang dipimpinnya. Perkembangan teknologi dan perubahan sosial membuat kiai semakin kehilangan otoritasnya sebagai penguasa tunggal pesantren dan hilangnya kultus individu. Perkembangan pesantren sangat tergantung sepenuhnya pada kemampuan pribadi kiainya

Sholahuddin Malik, Kepemimpinan Pesantren dan Rutinisasi Kharisma : Studi Kasus Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta, Tesis, UI, Tidak dibukukan, http://www.lontar.ui.ac.id

Kharismatik KH. Abdullah Syafi’ie sebagai pendiri pesantren adalah karena keunggulan pribadi, kesungguhan ikhtiar, dan keikhlasan dalam berjuang. Generasi selanjutnya mengalami delegitimasi kekiaian karena penurunan kualitas, di samping karena faktor derasnya arus urbanisasi dan perubahan masyarakat sekitar pesantren serta minimnya interaksi kiai dengan masyarakat

2 Pergeseran peran kiai terkait perubahan sosial budaya

Cliffort Geerzt, Abangan, Santri, dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Pustaka Jaya, 1983

Kiai di Jawa berperan sebagai Cultural Broker. Kiai akan kehilangan fungsinya sebagai perantara dalam perkembangan budaya yang begitu cepat. Pasca kemerdekaan terjadi pergeseran peran kiai dari komunikator yang menghubungkan dunia Islam di Mekkah dengan para petani Jawa di pedesaan menjadi politisi sebagai agen pemerintah pusat di pedesaan, meski hanya berfungsi simbolik

Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987

Hasil penelitian terhadap Ajengan di garut menunjukkan bahwa kiai tidak berperan pasif – sebagai bendungan- seperti dikemukakan Geerzt, tetapi sebagai penghubung yang aktif melakukan seleksi atas nilai-nilai dan sikap-sikap positif yang seharusnya dikembangkan masyarakat

Benny Subianto, Cultural Broker, dalam NU dan Keindonesiaan, Mohammad Sobari, Gramedia, Jakarta, 2010, h. 115-122

Pasca Orba, dengan melihat potensinya sebagai vote getter, terjadi pergeseran peran kiai NU dari cultural broker ke political broker

Abdul Wahid, Memutilasi Peran Esoteris Kiai, dan Muchsin, NU Berdasi, Artikel, Padang Today, Senin, 21 Maret 2011

Keterlibatan kiai dalam politik praktis menyebabkan terjadinya disparitas sosial keagamaan di kalangan masyarakat dan runtuhnya mitos kepatuhan pada kiai

As’ad Isma’, Pergeseran Peran Sosial Tuan Guru Dalam Masyarakat Jambi Seberang, Jurnal Kontekstualita, Vol.23 , No. 1, Juni 2008

Modernisasi dan perubahan sosial telah menyebabkan terjadinya pergeseran peran Tuan Guru di masyarakat, baik sebagai pengajar madrasah, pemangku dan pengisi pengajian di masjid atau surau serta penjaga kelangsungan tradisi keagamaan

Miftah Faridl, Peran Sosial Politik Kiai di Indonesia, Jurnal Sosioteknologi, Edisi 11 Tahun 6, Agustus, 2007

Sebagian kiai melakukan perubahan berkaitan dengan terjadinya perubahan-perubahan situasional yang menyangkut pilihan-pilihan dan kecenderungan politik yang terjadi. Menurut kiai tipe ini, perubahan bagi mereka adalah tawaran nilai dari sesuatu yang baru, yang mungkin saja mengandung hal yang lebih baik dari nilai lama

3 Pergeseran perilaku politik kiai

Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik : Kepolitikan NU, Disertasi, UI Press, Jakarta, 2008

Perubahan kondisi sosial politik nasional pasca Orde Baru telah dimanfaatkan kiai NU untuk memasuki arena politik dengan membentuk partai seperti PKB, PKU, PNU, dan Suni

Sidik Jatmika, Kiai dan Politik Lokal : Pasca Orba terjadi perluasan posisi politik

Studi Kasus Reposisi Politik Kiai NU Kebumen, Jawa Tengah Memanfaatkan Peluang Keterbukaan Partisipasi di Era Reformasi, Disertasi, Program Doktor Sosiologi, UGM, Yogyakarta, 2005

kiai NU Kebumen dari kultural broker ke political leader atau political player melalui pembelajaran pola gerakan, terutama berkaitan dengan perluasan sumber kewibawaan dan sarana pada gerakan politik kiai tersebut

Syaiful Arif, Runtuhnya Politik NU, dalam NU : Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, Kompas, Jakarta, 2010, h.30-34

Perkembangan budaya dan politik modern yang sekuler dengan pemilu langsung telah merubah relasi sami’na wa atha’na antara santri-kiai menjadi otonomi pilihan

Said Agil Siradj, Pesantren, NU, dan Politik, dalam NU : Dinamika Ideologi danPolitik Kenegaraan, Kompas, Jakarta, 2010 h.85-89

Akibat keterlibatannya dalam politik praktis, terjadi pergeseran peran kiai sebagai agen pencerahan umat, terutama mereka yang terpinggirkan oleh pembangunan

Khoiruddin, Politik Kiai : Polemik Keterlibatan Kiai Dalam Politik Praktis, Averroes Press, Malang, 2005, h.78-84

Derasnya arus demokratisasi di segala bidang berakibat pada pergeseran posisi dan perubahan perilaku politik kiai, dari kiai moral ke kiai struktural

Syamsul Arifin, Islam Indonesia : Sinergi Membangun Civil Islam Dalam Bingkai Keadaban Demokrasi, UMM Press, 2003, h.27-50

Karena Islam dan politik itu saling bersinggungan, maka kiai berpolitik itu legal. Keterlibatan kiai dalam politik akan berakibat pada politisasi simbol-simbol agama dan mereduksi watak adiluhung agama serta aura kesucian kiai

Abdul Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, LKiS, Yogyakarta, 1995

Kiai pesantren cukup mendapat perhatian dan memiliki ruang yang sangat luas dalam NU. Besarnya perhatian kiai pesantren tidak hanya dalam bentuk dukungan moral tetapi juga dalam partisipasi politik praktis. Sebagai kelompok kepentingan, maka NU tidak bebas dari keinginan memperoleh jabatan publik. Perpolitikan NU pasca khittah mengalami reorientasi politik dari kuantitas ke kualitas

M. Faiqul Ikhsan, Khittah 1926 dan Perilaku Politik Ulama NU, 1996, Tesis S2 UGM, Tidak dibukukan

Ada hubungan timbal balik antara NU secara organisasi dengan kiai pesantren. Perpolitikan warga NU banyak dipengaruhi oleh kiai pesantren dan sikap politik kiai pesantren juga dipengaruhi oleh kebijakan NU

Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren Dalam Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h. 173-175

Keterlibatan kiai dalam politik praktis menyebabkan terjadinya fragmentasi dukungan di kalangan umat an reduksi kharisma kiai. Kiai juga mengalami konflik peran antara sebagai panutan dengan mencari dukungan untuk memperoleh kekuasaan

Riaz Hasan, Islam : Dari Konservatisme sampai Fundamentalisme, Rajawali, Jakarta, 1985

Membedakan kiai dan ulama. Menurutnya, kiai adalah tokoh agama konservatif, afiliasi politik pro status quo dan sinkritisme dalam beragama. Sementara ulama adalah sarjana agama yang mengikuti tradisi Islam murni dan melaksanakan pembaruan ajaran Islam agar responsif dengan masalah-masalah

modern. Era rezim Zia Ul-Haq, golongan ulama tampil dan memperoleh hegemoni ideologis di dalam negeri dengan mengesampingkan tradisi Islam popular dan pemimpin-pemimpinnya

Achmad Zaini, NU dan Politik : Studi Tentang Konflik-Konflik Internal NU, 1952-2003, Tesis UI, Tidak dibukukan

Masuknya kiai NU dalam arena politik telah menyebabkan memudarnya ketulusan dan keikhlasan yang terbangun di lingkungan pesantren. Perubahan ini berusaha disembunyikan dalam bungkus legitimasi agama. Dalam berpolitik, kiai NU menerapkan budaya patronase dan memiliki motivasi yang sama dengan politisi lain, yaitu mengejar kepentingan pribadi dan kelompok

Abdul Chalik, NU Pasca Orde Baru, Disertasi IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2010, Tidak Dibukukan

Pergeseran perilaku politik elit NU Jatim dipengaruhi oleh faktor geopolitik dan hibridasi budaya

Binhad Nurrohmat, (Penyunting), Dari Kiai Kampung ke NU Miring, Ar-Ruz Media, Malang, 2010

Pragmatisme kiai dalam politik telah membuat memudarnya charisma kiai, sehingga kiai tidak lagi menjadi “imam” dan “panutan”

Masruhan, Konflik Politik Kiai NU Dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008 : Analisis Fiqh Ikhtilaf, Disertasi, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2010, Tidak Diterbitkan

Kasus pemilu gubernur Jatim 2008 menunjukkan bahwa budaya politik patronase dalam tubuh NU, baik secara kultural maupun struktural sudah mulai bergeser. Hal ini terbukti dengan kurang efektifnya ajakan kiai NU untuk mendukung Ali Maschan Moesa dalam putaran pertama pilgub Jatim 2008, padahal ia adalah ketua pengurus wilayah NU Jatim dua periode

Abdul Haris, Pergeseran Perilaku Politik Kultural NU di Era Multi Partai Pasca Orde Baru : Studi Kasus NU Jember, Jawa Timur, 2010, http://www.ditpertais.net

Terjadi reorientasi politik NU Jember dari kultural ke struktural. NU Jember kerap menampilkan sikap dan perilaku politik yang “progresif radikalistik” terkait dengan tragedi kegagalan politk yang kerap diterimanya. Hanya saja, progesivitas-radikalisme tersebut mencuat ketika memperebutkan dan mempertahankan kapling politik praktisnya

Abdul Moqsith Ghazali, Pilpres, Otoritas Kiai, dan Rasionalitas Nahdliyyin, 13 Juli 2009, http://islamlib.com

Kekalahan telak pasangan JK-Wiranto dalam Pilpres 2009 di luar perkiraan banyak pihak. Publik mengetahui, bahwa pasangan ini didukung oleh NU dan Muhammadiyah serta ratusan kiai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fakta ini menunjukkan bahwa titah kiai tidak lagi manjur untuk masalah sosial politik

4 Pergeseran peran kiai dalam pendidikan di pesantren

Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara : Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, LKiS, Yogyakarta, 2009, (Terjemahan) Islam et Armee Dans L’Indonesie Contemporaine Les Pionnier de la Tradition, Disertasi, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan,

Modernitas telah menyebabkan terjadinya perubahan pola hubungan kiai dan santri dari paternalistik ke fungsional. Kiai tidak lagi mengurusi semua hal, termasuk dalam pengelolaan pesantren karena sudah ada pengurusnya sendiri

EHESS, Perancis, 1993Luluk Yunan Ruhendi, Kiai dan Pendidikan Pesantren : Studi Tentang Motif Perubahan Perilaku Kiai Pesantren di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Disertasi, Tidak Dibukukan

Bergulirnya modernisasi pendidikan telah menyebabkan terjadinya pergeseran peran dan pandangan kiai tentang pendidikan. Perankiai yang awalnya cenderung polymorphic bergeser ke monomorphic

Fatkhuri, Menakar Hubungan Kiai-Santri, Artikel Suara Merdeka, 30 April 2008, http://citizennews.suaramerdeka.com

Pergeseran peran kiai di pesantren terjadi akibat arus modernisasi dan keterlibatan kiai dalam politik praktis. Modernisasi telah membuat relasi santri-kiai bukan lagi patron client tetapi lebih rasional. Santri menjadi berani mengkritisi apa yang dilakukan kiai jika sang kiai melenceng

Ali Maschan Moesa, NU, Agama dan Demokrasi : Komitmen Muslim Tradisionalis Terhadap Nilai-Nilai Kebangsaan, Surabaya, Pustaka Dai Muda, 2002

Kemerosotan kepemimpinan kiai pesantren lebih disebabkan oleh kemerosotan penguasaan kitab kuning. Model pembaharuan manajemen pesantren dalam bentuk yayasan telah membuat kiai bukan lagi satu-satunya penguasa di pesantren

In’am Sulaiman, Masa Depan Pesantren : Eksistensi Pesantren Di Tengah Gelombang Modernisasi, Madani, Malang, 2010, h.101-110

Keterlibatan kiai dalam politik telah mengakibatkan pergeseran posisi kiai dan membuat kesucian kiai ternoda. Kiai menjadi tidak lagi netral dari tarikan kepentingan dan kiai tidak bisa lagi istiqomah membina santrinya

5 Pergeseran pemikiran kiai

Ahmad Nur Fuad, Kontinuitas dan Diskontinuitas Pemikiran Dalam Muhammadiyah, 1923-2008 : Tinjauan Sejarah Intelektual, Disertasi, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2010

Terjadi pergeseran pemikiran keagamaan kiai di Muhammadiyah pasca KH. Achmad Dahlan, dari reformis ke purifikasionisme atau revivalisme. Adanya Majelis Tarjih dan radikalisme politik elit Muhammadiyah menunjukkan adanya pergeseran tersebut

Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia : Sejarah dan Aliran, GIP, Jakarta, 1997

Adanya perkembangan pemikiran baik yang tradisional, reformis maupun modernis. Perkembangan tersebut menyebabkan munculnya varian tradisional menjadi tradisional konservatif, reformatif dan neotradisional. Sementara reformis menjadi reformis tradisional, neoreformisme radikal, dan neoreformisme intelektual. Sedangkan modernis menjadi modernisme tradisional dan neomodernisme

Berkaitan dengan rumusan masalah, yakni mengapa terjadi pergeseran peran dan dukungan kiai dalam konflik internal PKB 2001-2011, tulisan ini juga bermaksud menjelaskan faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran peran kiai baik dalam kepemimpinan, perubahan sosial, pendidikan pesantren, perilaku politik dan pemikiran keagamaannya berdasarkan literature yang sudah terkumpul. Sebagai acuan, dapat dikatakan bahwa salah satu parameter untuk melakukan anatomi teori sosial adalah menjelaskan siapa yang menjadi aktor otonom atau siapa yang menentukan realitas sosial dalam teori sosial tersebut, yaitu apakah individu (self), struktur (structure), ataukah tautan (linkage) antara individu dan struktur (Ramlan Surbakti , 2010 ; iv)

Bagan 1Paramater Anatomi Teori Sosial

Individu Sebagai Aktor Otonom

Pertama, Studi yang dilakukan Zainal Arifin Thoha tentang problem regenerasi kepemimpinan di Pesantren Tebuireng, Jombang menjelaskan bahwa pergeseran pola kepemimpinan kiai dari kharismatik leader ke religio-feodal leader setelah meninggalnya KH.Hasyim Asy’ari terjadi karena berkurangnya keutuhan kualitas kekiaian generasi penerus. Sebagai pendiri pesantren Tebuireng, Jombang, KH. Hasyim Asy’ari oleh komunitas pesantren dan masyarakat Islam (NU) pada umumnya, beliau dianggap memiliki karomah, yaitu kekuatan supranatural yang diberikan Sang Pencipta hanya kepada siapa yang Dia kehendaki karena kualitas ketaqwaannya. Melalui kepercayaan tentang karomah itulah, KH. Hasyim tidak hanya dikenal ebagai pengasuh pesantren, tetapi juga menjadi panutan, teladan, pemimpin spiritual, dan figur yang dapat menyelesaikan berbagai problem yang berkembang di tengah masyarakat dan juga bangsa, mulai dari problem agama, sosial budaya, ekonomi, hukum, pendidikan maupun politik, baik dalam skala lokal, regional,nasonal maupun internasional.

Dalam terminologi Weber, pola kepemimpinan Kiai Hasyim dikategorikan sebagai kepemimpinan kharismatik, karena pola kepemimpinan di pesantren memang menerapkan wilayatul imam, yaitu kepemimpinan yang tidak sekedar dilandasi oleh kemampuan manajerial semata, tetapi juga kemampuan spiritual leader serta memiliki otoritas keimanan yang diikuti oleh masyarakat. Pola kepemimpinan seperti inilah yang identik dengan kepemimpinan Nabi SAW yakni sebagai absolute frame of reference (Zaenal Arifin Thoha , 2003)

Pada generasi kedua setelah wafatnya KH. Hasyim, kepemimpinan Pesantren Tebuireng berubah dari kharismatis ke religio-feodal. Kepemimpinan religio-feodal adalah kepemimpinan yang dilandasi nilai feodalistik berbungkus baju keagamaan, dimana legitimasi formal kepemimpinan diperoleh dari keterkaitan genealogis kiai pendiri pesantren. Pasca KH. Hasyim Asy’ari, Pesantren Tebuireng dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, selanjutnya memasuki generasi ketiga oleh KH. Karim Hasyim. Pada masa kepemiminan KH. Karim Hasyim inilah pesantren mengalami perpecahan dan tidak berapa lama kemudian KH. Karim hasyim digantikan oleh KH. Baidlowi (putra menantu KH. Hasyim) walaupun KH. Karim Hasyim belum wafat. Kepemimpinan KH. Baidlowi juga tidak berlangsung lama karena digantikan oleh KH. Kholiq Hasyim. Pengganti KH. Kholiq Hasyim adalah KH. Yusuf Hasyim. KH. Yusuf Hasyim melakukan perubahan dengan menerapkan pola kepemimpinan kolektif, yakni tingkat partisipasi komunitas lebih tinggi, struktur organisasi lebih kompleks, sentra kepemimpinan tidak mengarah kepada satu individu melainkan kepada lembaga, dan mekanisme kepemimpinan diatur sesuai prinsip managerial. Konsekuensinya, pengasuh pesantren tidak terlalu

Aktor Otonom

Individu (self)

Struktur(Structure)

Tautan (Linkage) Individu dan Struktur

dominan dan popular di mata para santri. Ini sebuah pilihan atau alternative untuk menjaga keutuhan pesantren dan kestabilan regenerasi kepemimpinan di tengah problem menurunnya keutuhan kualitas kekiaian generasi penerus dibandingkan KH. Hasyim Asy’ari.

Kedua, kasus yang sama dialami oleh Pesantren Turus Kediri. Pesantren ini didirikan oleh KH. Ahmad Khafidz, yang menerapkan pola kepemimpinan kharismatis-feodal. Gus Mad-panggilan akrab beliau-adalah keturunan pendiri Pesantren Induk, yaitu Pesantren Lirboyo. Selain sebagai pengasuh Pesantren, beliau juga adalah figure panutan masyarakat dan menjadi Ketua Syuriah NU Cabang Kediri. Praktis setelah beliau wafat, dalam usia yang masih relative muda dan putra putri beliau juga masih muda, maka kepemimpinan Pesantren Turus mengalami kegoyahan, karena tidak ada figure yang memiliki kualitas kekiaian seperti KH. Ahmad Khafidz (Zaenal Arifin Thoha , 2003)

Ketiga, kajian terhadap pegeseran jatidiri Anshor yang semakin kehilangan kehilangan martabat dan harga diri. Anshor pada awalnya adalah organisasi kebanggaan warga nahdliyyin karena menjadi pembela kiai dan umat semasa penjajahan Belanda, Jepang maupun era dominasi PKI. Setelah perjuangan selesai, mereka kembali ke tempat dan profesi masing-masing, ada yang menjadi petani, buruh atau santri di pesantren. Pemuda-pemuda Anshor berjuang dan melakukan tugasnya dengan ikhlas, tanpa pamrih duniawi tetapi dengan niat suci dan mulia yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Akan tetapi, setelah era 1980-an, terjadi pergeseran karena Anshor telah menjadi kendaraan atau batu loncatan kepentingan pribadi pengurusnya untuk meraih kuasa. Anshor telah menjadi barang rongsokan yang dijual murah demi kekuasaan. Hal ini terjadi karena degradasi niat para pengurusnya. (Zaenal Arifin Thoha, 2003)

Keempat, Moesa dalam buku Agama dan Demokrasi : Komitmen Muslim Tradisional Terhadap Nilai-Nilai Kebangsaan menjelaskan bahwa kemerosotan kepemimpinan kiai pesantren lebih disebabkan oleh kemerosotan penguasaan kitab kuning. (Moesa , 2002). Sejalan dengan hal ini, Hasan Hanafi, menjelaskan bahwa kemerosoton kepemimpinan intelektual kiai disebabkan karena materi dalam kitab kuning yang dikaji di pesantren, terutama di bidang teologi yang menjadi pegangan dasar akidah umat, adalah karena tidak dikaitkan dengan dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibat dari hal itu, muncul kesenjangan antara keimanan dengan amal praktisnya. Secara individual, pemikiran manusia terputus dengan kesadaran, perkataan dan perbuatannya. Kesadaran seperti ini akan mudah melahirkan sikap-sikap moral ganda.

Kelima, hasil penelitian Sholahuddin Malik menunjukkan bahwa terjadinya gejala memudarnya kharisma pasca KH. Abdullah Syafi’ie, Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta disebabkan karena menurunnya kualitas dan keunggulan pribadi, kesungguhan ikhtiar dan keikhlasan dalam perjuangan. Faktor lain yang menyebabkan munculnya fenomena delegitimasi kekiaian adalah karena derasnya arus urbanisasi dan perubahan sosial di sekitar pesantren serta minimnya interaksi kiai dengan masyarakat sekitar kecuali terbatas pada pengajian.

Struktur Sebagai Aktor Otonom

Pertama, salah satu studi tentang pergeseran peran kiai yang menjadikan struktur sebagai aktor otonom adalah studi yang dilakukan Sunyoto Usman. Melalui studi di Jombang (1990) dan Kudus (1994), menunjukkan kecenderungan bahwa peran kiai dalam masalah social politik semakin tergeser ke pinggiran. Peranan para kiai tidak sehebat dulu. Pergeseran peran kepemimpinan kiai merupakan akibat dari penerapan strategi pembangunan Orde Baru yang sentralistik dan menempatkan birokrasi sebagai elemen penting. Di samping itu, kebijakan floating mass (massa mengambang) juga menjadi factor yang mempengaruhi peminggiran kepemimpinan kiai secara politik. Kiai tidak lagi menjadi rujukan dalam masalah politik dan pemerintahan. Peran kiai dalam

masalah tersebut telah digantikan oleh aparat birokrasi, mulai tingkat desa sampai yang lebih tinggi. Akibat kebijakan depolitisasi Orde Baru, kiai tidak lagi menjadi pemimpin yang berpengaruh dalam semua bidang ( polymorphic), tetapi hanya pada satu bidang (monomorphic), yakni bidang agama (Sunyoto , 1990).

Kedua, kajian yang dilakukan Rijel Samaloisa tentang Pendeta dan Perubahan Sosial. Tulisan ini menjelaskan bawa telah terjadi pergeseran peran pendeta dalam perubahan social di kepulauan Mentawai. Seiring dengan kemajuan dan perubahan zaman, peran dan posisi para pendeta secara perlahan-lahan mengalami pasang surut. Bagi sebagian besar masyarakat Mentawai, menjadi pendeta dalam era sekarang sangat berbeda jika disbanding dulu ketika kekristenan baru pertama kali masuk dan dikenal oleh masyarakat Mentawai, di mana pendeta menjadi sosok yang penuh charisma dan menjadi panutan bagi warga jamaatnya. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran oeran pendeta dalam perubahan social di Mentawai adalah (a) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai dengan semakin heterogennya dan beragamnya peran-peran social yang berlangsung dalam masyrakat Mentawai dengan munculnya guru, kepala desa, yang berperan dalam dalam kehidupan social masyarakat Mentawai, (b) semakin banyaknya kalangan terdidik yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, yang memungkinkan mereka menjadi salah satu agen dalam proses perubahan social di Mentawai. Banyaknya kalangan terdidik membuat mereka tidak lagi tergantung kepada pendeta dalam menentukan pilihan-pilihan dan keputusan sosialnya, (c) perubahan status Mentawai menjadi kabupaten merupakan salah satu hal yang menjadikan pergeseran peran pendeta di satu sisi, dan naiknya peran birokrasi pemerintahan di sisi lain, (d) perubahan cara pandang masyarakat Mentawai bahwa tinggi rendahnya status social seseorang atau kelompok ditentukan oleh posisi, jabatan dan status yang melekat pada individu atau kelompok tertentu. Perubahan cara pandang tersebut menjadikan posisi pendeta tidak lagi penting dan strategis. Para lulusan sekolah teologia justru meilrik posisi – posisi public yang strategis seperti menjadi kepala desa, fasilitator , aktivis partai, aktivis LSM, guru, PNS, DPRD maupun bupati (Rijel Samaloisa , 2009)

Ketiga, kajian yang ditulis oleh Siradjuddin Akbar dalam buku Sejarah dan Kebangunan Madzhab Syafii (1968), menjelaskan bahwa setelah Indonesia merdeka terutama ketika di bawah rezim Orde Baru yang menjadikan ekonomi sebagai panglima dan semakin massifnya arus modernisasi dengan virus rasionalisasi sekuler dan hedonis materialisme telah mengakibatkan kiai semakin pragmatis. Kebijakan pemerintah Orde Baru yang ingin menyeragamkan system pendidikan termasuk pesantren, yakni dengan menerapkan sistem klasikal modern dengan segala aturan birokrasi dan tata nilainya telah menyebabkan pergeseran tata nilai pesantren. Pesantren menjadi kehilangan nilai-nilai spekulatif dan mengarah pada pembentukan nilai-nilai praktis. Materi yag diajarkan hanya berkutat pada ibadah praktis dan serba fiqh atau legal formalistik. Pengajaran agama yang seperti itu menyebabkan agama menjadi terlihat kaku dan kehilangan nuansa kearifan local. Akibat lebih lanjut, semakin menurunnya hasil karya tulis, sastra atau humor sufi yang kaya dengan kearifan lokal dari para kiai.

Keempat, Studi Abdul Chalik tentang NU pasca Orde Baru (2010) menunjukkan bahwa pergeseran perilaku politik kiai NU di Madura dipengaruhi oleh faktor geopolitik dan hibridasi budaya.

Kelima, tulisan Masdar F. Mas’udi tentang Feodalisme Tradisionalis dan Boujuisme Modernis (1991). Menurut Masdar sejak era Suharto sampai Gus Dur, telah terjadi pergeseran pada kiai di kalangan NU. Menurut Masdar, para kiai yang dulu dikenal sebagai kaum feodalis religius telah bergeser menjadi kaum borjuis perkotaan modern. Pergeseran kiai disebabkan karena massifnya pemerintah Orde Baru mengimpor modernisme sebagai gaya pembangunannya. Paham dan kecenderungan yang beroreintasi kepada modernisme tersebut turut mempengaruhi visi dan

orientasi para kiai. Para kiai menjadi lebih mengutamakan pembangunan fisik (sarana dan prasarana) ketimbang mental dan spiritualisme. Sejak itu, tidak sedikit kiai pesantren yang terpesona dengan materi dan kepentingan. Para kiai tidak sungkan lagi berdekatan dengan kekuasaan, pada saat yang sama pemerintah Orde Baru juga melakukan penekatan kepada kiai untuk kepentingan politik. Sebagian kiai justru ada yang memberikan legitimasi pragmatis untuk kekuasaan dan kepentingan-kepentingan pribadi, selaku pemangku pesantren. Merekapun tidak sungkan untuk meminta dan menerima bantuan dana dari penguasa.

Akibat lebih lanjut, terjadi perubahan gaya hidup kiai. Dulu, Kiai dan pesantren identik dengan kesederhanaan dan kesahajaan, padahal kiai pesantren saat itu selain menjadi pengasuh pesantren adalah juga tuan tanah, pemilik pesantren dan pemilik lahan pertanian atau perikanan yang luas. Kini, kiai, selain menjadi pengasuh dan pemilik pesantren juga sekaligus menjadi pejabat birokrasi atau politisi. Rumah dan pesantren dibangun megah dan kiai juga menyandang status sebagai pejabat pemerintah atau pelaku bisnis. Perubahan gaya hidup dan tambahan profesi pada kiai bisa dibaca sebagai bentuk keterpengaruhan kiai terhadap arus global materialisme atau juga sebagai satu bentuk adaptasi kiai untuk tetap eksis di tengah perubahan. Kiai mau tidak mau memang harus berhadapan dengan realitas dan perubahan sosial yang telah menjadi orientasi umum yang nyaris tidak terelakkan, yaitu budaya pragmatis-materialistis, budaya instan dan cinta kekuasaan.

Akibat lebih lanjut, terjadi perubahan rasa keagamaan dan sosial umat terhadap mereka. Umat menjadi “segan” sowan kepada kiai untuk silaturrahim, curhat atau minta “obat” untuk menyembuhkan penyakit yang diderita anak atau dirinya secara familiar karena sudah ada jarak yang lebar antara kiai dan umat. Kiai menjadi sibuk dengan urusan bisnis dan politik sehingga tidak ada waktu lagi untuk umat. Umat juga menjadi tidak bisa memasukkan anaknya ke pesantren karena biaya mondok di pesantren menjadi semakin tidak terjangkau.

Keenam, Studi Andree Feillard tentang NU vis-à-vis Negara : Pencarian Isi, Bentuk dan Makna (2009) menunjukkan bahwa modernitas telah menyebabkan perubahan pola hubungn kiai dan santri dari paternalistik menjadi fungsional. Kiai juga tidak lagi menjadi penguasa tunggal di pesantren, karena pengelolaan pesantren sudah menggunakan pola yayasan.

Ketujuh, Tulisan Imam Nahrawi (2005) juga menunjukkan bahwa masuknya kiai ke dalam politik praktis telah menyebabkan terjadinya pergeseran peran kiai sebagai figur sentral, panutan dan patron. Kiai telah mengalami degradasi kekiaian akibat pragmatisme politik.

Kedelapan, kajian Syaiful Arif tentang Runtuhnya Politik NU : Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan dalam Kompas (2010) menyimpulkan perkembangan budaya dan politik modern yang sekuler telah menyebabkan terjadinya pergeseran relasi sami’na wa atha’na antara santri dan kiai menjadi otonomi pilihan. Titah kiai terutama dalam masalah pilihan politik tidak lagi sakti dan diikuti secara absolute oleh santri.

Linkage Antara Individu dan Struktur

Pertama, kajian Zaenal Arifin Thoha (2003) juga menemukan fakta bahwa ada kiai NU yang memanfaatkan peluang perubahan dengan memperluas posisinya sebagai pejabat, politisi atau pelaku bisnis. Akan tetapi, juga ditemukan fakta bahwa kiai NU yang meniti jalur struktural (dalam arti menjadi pejabat atau politisi) dan material ( juragan, tuan tambak, tuan tanah, tuan wallet,

pengusaha dan pemborong) ternyata tidak bisa akur dan kurang bersahabat dengan teman sejawat dalam hal-hal yang menyangkut uang dan jabatan.

Kedua, kajian yang dilakukan Sidik Jatmika (2005) menunjukkan bahwa telah terjadi reposisi politik kiai NU Kebumen, Jawa Tengah. Ada kiai NU Kebumen di era reformasi yang mampu menjadi pemimpin politik (political leader) atau pemain politik (political player), padahal para kiai telah tersingkir di era Orde Baru. Mereka berhasil memanfaatkan peluang keterbukaan partisipasi di era reformasi. Proses perluasaan posisi kiai dari perantara budaya (cultural broker)menjadi pemain politik berlangsung melalui pembelajaran pola gerakan, terutama berkenaan dengan upaya perluasaan resources (sumber kewibawaan) dan instrument (sarana) pada gerakan kiai tersebut.

Lebih lanjut dikatakan bahwa kiai dalam melakukan gerakan memiliki banyak contoh dan referensi yang mereka adopsi dari berbagai jargon dan praktek demokrasi di tingkat nasional yang diseleraskan dengan kondisi local, antara lain penguatan masyarakat, anti diskriminasi, rekonsiliasi, pluralism dan kesetaraan gende. Gerakan sosial kiai dilakukan atas nama kelompok-kelompok yang tersingkir secara politis. Hal itu bertujuan untuk mengorganisir kembali kekuasaan politik mereka.

Ketiga, Disertasi Kang Young Soon tentang kepolitikan NU : Antara Tradisi dan konflik (2008) menunjukkan bahwa seiring dengan terjadinya perubahan politik ke arah reformasi, banyak kiai NU yang memanfaatkannya untuk memasuki arena politik dengan membentuk partai politik seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nahdlatul Ummah (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU) dan Suni.

Keempat, Kajian dari Benny Subianto (2010) tentang cultural broker juga menunjukkan hal yang sama. Pasca Orde Baru yang identik dengan keterbukaan politik dan dengan melihat potensinya sebagai vote getter, banyak kiai NU yang mengalami pergeseran peran dari sekedar cultural broker menjadi political broker.

Sebuah Tawaran

Berdasarkan penjelasan di atas, ada celah yang belum ditulis atau dikaji yaitu pergeseran peran dan dukungan kiai dalam konflik internal PKB 2001-2011.Terkait dengan itu, usulan topik ini akan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran peran dan dukungan kiai konflik internal PKB 2001-2011 secara teoritik berdasarkan temuan data dengan asumsi bahwa pergeseran peran dan dukungan kiai disebabkan oleh linkage antara individu dan struktur. Asumsi tersebut dipandang mampu memberi penjelasan yang menyeluruh. Agar dapat diperoleh penjelasan yang utuh, kiai akan diklasifikasikan berdasarkan (1) status kepengurusan (aktif dalam struktur partai dan tidak), (2) kepemilikan pesantren dan jumlah santri (memiliki 1000 santri dan yang lebih), (3) latar belakang pendidikan (hanya lulusan pesantren dan lulusan pesantren + perguruan tinggi baik di dalam atau luar negeri, (4) status ekonomi (hanya kiai pesantren saja dan kiai pesantren merangkap pengusaha atau politisi). Sementara itu, konflik PKB akan dijelaskan secara periodik menjadi lima jilid, yaitu konflik jilid I antara Gus Dur dan Mathori, Jilid II antara Gus Dur dan Syaifullah Yusuf, jilid III antara Gus Dur dan Alwi Shihab, jilid IV antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar, dan jilid V pasca Gus Dur, yakni antara Muhaimin dan Yenny Wahid. Penjelasan konflik mencakup aktor yang terlibat, latar belakang pemicu, keterlibatan kiai dan faktor penyebab, serta upaya penyelesaian yang telah dilakukan. Penjelasan juga mencakup factor eksternal seperti system politik dan kepemimpinan nasional serta gaya kepemimpinan Gus Dur.

Referensi

Azyumardi Azra, 2007, Jaringan Ulama : Timur Tengah dan Kepulaaun Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta : Kencana

______, 1999, Islam Reformis : Dinamika Intelektual dan Gerakan Islam, Jakarta : Gtafindo PersadaAbdul Gaffar Karim, 1995, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia, Yogyakarta : LkiSAbdul Chalik, 2010, NU Pasca Orba, Disertasi IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Tidak DibukukanAbdul Haris, 2010, Pergeseran Perilaku Politik Kultural NU di Era Multi Partai Pasca Orba Andree Feilard, 1999, NU vis-avis Negara : Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta : LKiSAli Maschan Moesa, 2002, Agama dan Demokrasi : Komitmen Muslim Tradisional Terhadap Nilai-

Nilai Kebangsaan, Pustaka Dai Muda, Surabaya ______, 2007, Nasionalisme Kiai : Konstruksi Sosial Berbasis Agama, Yogyakarta : LKiS______, 1999, Kiai dan Politik dalam Wacana Civil Society, Surabaya : LEPKISS______, 2002, NU, Agama, dan Demokrasi, Surabaya : Putera PelajarAbdul Djamil, 2001, Perlawanan Kiai Desa : Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifa’I Kalisasak,

Yogyakarta : LKiSAbdul Munir Mulkan, 1992, Runtuhnya Mitos Politik santri, Jakarta : SiepressAbdul Rahman Haji Abdullah, 1997, Pemikiran Islam di Malaysia, Jakarta : GIPAbdurrahman Wahid, 2004, Intelektual Pesantren : Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta : LKiSAhmad Mansur Suryanegara, 1996, Menemukan sejarah, Bandung : MizanAhmad Zahra, 2004, Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta : LkiSAhmad Nur Fuad, Kontinuitas dan Diskontinuitas Pemikiran Keagamaan Dalam Muhammadiyah,

1923-2008 : Tinjauan Sejarah Intelektual, Disertasi, IAIN Sunan Ampel, SurabayaAchmad Patoni, 2007, Peran Kiai Pesantren dalam Politik, Yogyakarta : Pustaka PelajarAchmad Zaini, 2003, NU dan Politik, NU dan Politik : Studi Tentang Konflik-Konflik Internal NU 1952-

2003, Tesis UI, Tidak Dibukukan Anderson, Benedict, 2002, Imagined Community : Komunitas-komunitas Terbayang, Yogyakarta :

Pustaka Pelajar dan INSISTAli Haedar, 1998, NU dan Islam di Indonesia : Pendekatan Fiqh Dalam Politik, Jakarta : Gramedia Bambang Pranowo, 1991, Ceating The Tradition of Islam in Java, Disertasi tidak dibukukanBinhad Nurrohmat, (Peny), 2010, Dari Kiai Kampung ke NU Miring, Malang : Avveroes Clilfford Geertz, 1960, The religion of Java, New York, The Free Press GlenceaDawam raharjo, 1983, Dunia Pesantren Dalam Peta Pembaharuan, Jakarta : LP3SEndang Turmudzi, 2003, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta : LKiSFrancis Loh Kok Wah, 2010, Building Bridges, Crossin Boundaries, Every Form of Inter-Etnic Peace

Building in Malaysia, Malaysian Social Science Association, Selangor, Malaysia_______, 2009, Old and News Politics in Malaysia, State and Society in Transition, Strategic

Information and Research Development Centre, Selangor, MalaysiaGreg Fealy, 2003, Ijtihad Politik Ulama : Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta : LKiSHiroko Horikoshi, 1987, Kiai dan Perubahan Sosial , Jakarta : P3M

Ibn Qoyim Ismail, 1997, Kiai Penghulu Jawa : Peranannya di Masa Kolonial, Jakarta : GIPIik Arifin Mansur Noor, 1990, Islam ini an Indonesian World : Ulama of Madura, Yogyakarta : Gadjah

Mada University PressImron Arifin, 1992, Kepemimpinan Kiai : Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang : Kalimasada

PressImam Nahrawi, 2005, Moralitas Politik PKB : Aktualita PKB Sebagai Partai Kerja, Partai nasional dan

Partai Modern, Malang : AverroesIn’am Sulaiman, 2010, Masa depan Pesantren: Eksistensi Pesantren Di Tengah Gelombang

Modernisasi, Malang : MadaniKang Young Soon, 2008, Antara Tradisi dan Konflik : Kepolitikan NU, Jakarta : UI PressKacung Marijan, 1992, Quo Vadis NU : Setelah Kembali Ke Khittah 1926, Jakarta : ErlanggaKhoiruddin, 2005, Politik Kiai : Polemik Keterlibatan Kiai Dalam Politik, Malang : AverroesLuluk Yunan Ruhensi, Kiai dan Pendidikan Pesantren : Studi Tentang Motif Perubahan Perilaku Kiai Pesantren di kabupaten Ponorogo, Disertasi, Tidak DibukukanM.Faiqul Ikhsan, Khitah 1926 dan Perilaku Politik Ulama NU, Tesis, Tidak dibukukanMartin van Bruinessen, 1994, NU : Tradisi, Relasi Kuasa dan pencarian wacana Baru, Yogyakarta :

LKiSMahrus Irsyam, 1984, Ulama dan Partai Politik, Jakarta : Yayasan PerkhidmatanM.Muchsin Jamil, 2005, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik : Tafsir Sosial Sufisme Nusantara,

Yogyakarta : Pustaka PelajarM.Nadzri Mohamed Noor, 2008, Politik Malaysia Dipersimpangan Jalan : Praktik Politik Dalam PRU

2008 dan Kontemporeri, Strategic Information and Research Development Centre, Selangor, Malaysia

Manfred Ziemek, 1986, Pesantren dalam Perubahan, Jakarta : P3MMasruhan, 2010, Konflik Politik Kiai NU Dalam PemilihanGubenur Jawa Timur 2008 : Analisis Fiqh

Ikhtilaf,Disertasi IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Tidak DibukukanPradjarta Dirdjosanjoto, 1999, Memelihara Umat : Kiai Pesantren, Kiai Langgar di Jawa, Yogyakarta :

LKiSRidwan, 2004, Paradigma Politik NU : Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik, Yogyakarta : Pustaka

PelajarRiaz Hasan, 1985, Islam : Dari Konservatisme Sampai Funamentalisme, Jakarta : RajawaliSyaiful Arif, 2010, Runtuhnya Politik NU : Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, Jakarta : KompasSidik Jatmika, 2005, Kiai dan Politik Lokal : Studi Tentang Reposisi Politik Kiai NU Kebumen Jawa

Tengah Memanfaatkan Peluang Keterbukaan Partisipasi di Era Reformasi, Disertasi, Progtam Doktor Sosiologi UGM, Tidak Dibukukan

Sukamto, 1999, Dinamika Kepemimpinan Kiai, Jakarta : LP3SSunyoto Usman, 1990, Local Elities and development, Flinders University, Australia, DisertasiSyamsul Arifin, 2003, Islam Indonesia : Sinergi Membangun Civil Islam Dalam Bingkai Keadaban

Demokrasi, Malang : UMM PressZamakhsyari Dhofier, 1982, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta : LP3ES

Tugas 2Literature Review Teori Politik

Topik :KIAI DALAM PUSARAN KONFLIK :

Studi Tentang Pergeseran Peran Kiai Dari Juru Damai Ke PartisipanDalam Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2001-2011

Suswanta10/307323/SSP/00251

Pengantar

Terkait dengan topik disertasi, rumusan masalah yang hendak dijawab adalah Mengapa Terjadi Pergeseran Peran Kiai dari Juru Damai ke Partisipan dalam Konflik Internal PKB sejak 2001 sampai 2011? Sebagai acuan teoritik untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat dikatakan bahwa salah satu parameter untuk melakukan anatomi teori sosial adalah siapa yang menjadi aktor otonom atau siapa yang menentukan realitas sosial dalam teori sosial tersebut, apakah individu (self), struktur (structure), ataukah tautan (linkage ) antara individu dan struktur.

Teori interaksi simbolis, fenomenologi, dan pilihan rasional adalah sejumlah teori sosial yang menempatkan individu sebagai subjek atau aktor otonom yang menentukan realitas sosial. Teori sosial yan menempatkan individu sebagai subjek atau aktor otonom disebut sebagai teori sosial yang voluntaristik. Sementara itu, teori struktural-fungsional, struktural-konflik, dan strukturalisme adalah teori-teori yang menempatkan struktur sebagai aktor otonom yang menentukan realitas sosial. Teori sosial yang menempatkan struktur sebagai aktor otonom penentu realitas dinamakan teori sosial yang deterministic. Sedangkan teori strukturasi (agency-structure) dari Anthony Gidden, social construction of reality (eksternalisasi objectivasi internalisasi) dari Peter Berger dan Thomas Luckmann, serta social practice sebagai produk interaksi antara habitus dan field dari Piere Bourdieau, merupakan sejumlah teori sosial yang menjelaskan fenomena sosial sebagai produk interaksi atau tautan antara individu dengan struktur (Ramlan Surbakti ; 2010)

Bagan 1Paramater Penilaian Teori Sosial

Tulisan ini bermaksud menjelaskan anatomi masing-masing teori sosial tersebut dengan menggunakan delapan parameter, yaitu (1)Konteks dan realitas yang melatarbelakangi, (2)Pemikiran atau teori sosial lain yang mempengaruhi, (3) Latar belakang pribadi dan sosial teoritisi, (4)

Aktor Otonom

Individu Struktur Linkage Individu dan struktur

Contoh Teori : Interaksi Simbolik,

Fenomenologi, Pilihan Rational

Disebut Teori Voluntaristik

Contoh Teori :Struktural

Fungsional, Struktural Konflik,

Strukturalisme

Disebut Teori Deterministik

Contoh Teori :Sosial Strukturasi (Agency-Structure Giddens), Social Construction of

Reality Peter Berger & Thomas

Luckmann, Social Practice sbg produk

interaksi antara habitus & field

Bourdieau

Pertanyaan yang diajukan, jenis penjelasan, kata kunci dan proposisi, (5) Jenis dan lingkup realitas sosial, (6) Siapa aktor otonom dan lokus penjelasan yang otonom, (7) Asumsi tentang individu dan masyarakat, (8) Bias nilai, kepentingan ekonomi dan politik. Delapan parameter tersebut penulis gunakan sebagai alat untuk menelusuri secara kritis atau kriteria untuk melakukan pemetaan teoritis atas state of the art teori-teori sosial tersebut.

Teori Sosial yang Menempatkan Individu Sebagai Aktor Otonom

Ada tiga teori yang masuk dalam klasifikasi ini, yaitu interaksi simbolik, fenomenologi dan rational choice. Berikut anatomi masing-masing teori berdasarkan delapan parameter :

1.Teori Interaksi Simbolika. Latar Belakang Pribadi dan Sosial Teoritisi

Sejarah teori ini tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Harbert Mead (1863-1931). Mead dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di Massachusetts. Karirnya berawal saat ia menjadi professor di kampus Oberlin, Ohio. Meskipun sempat berpindah-pindah dari satu kampus ke kampus lain, akhirnya ia diminta pindah dari Universitas Michigan ke Universitas Chicago oleh John Dewey. Di Chicago, ia meluncurkan “the theoritical perspective” yang menjadi cikal bakal “teori interaksi simbolik”. Mead menetap di Chicago selama 37 tahun dan meninggal pada 1931.

Semasa hidupnya, Mead memainkan peranan penting dalam membangun perspektif dari mazhab Chicago. Ia memfokuskan dalam memahami interaksi perilaku sosial. Ia tertarik pada interaksi, dimana isyarat non verbal dan makna dari suatu pesan verbal akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi.Dalam terminology Mead, setiap isyarat non verbal, seperti body language, gerak fisik, baju, dan status serta pesan verbal seperti kata-kata dan suara yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlbat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk symbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol). Mead tertarik mengakji interaksi social karena dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan symbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh symbol yang diberikan pihak lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa symbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca symbol yang ditampilkan oleh orang lain.

Teori menekankan pada hubungan antara symbol dan interaksi, serta inti dari pandangan ini adalah individu (Soeprapto; 2007). Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes ; 1993 dalam West-Turner ; 2008, interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama orang lain menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (mind) mengenai diri (self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial dengan tujuan akhir untuk memediasi serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (society) di mana individu tersebut menetap. Menurut Douglas (1970) dan Ardianto (2007), makna tersebut berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna kecuali membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.

Ada tiga ide dasar dari teori interaksi simbolik yaitu (1) Pikiran (mind) adalah kemampuan menggunakan symbol yang mempunyai makna social yang sama, di mana setiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu

lain, (2) Diri (self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, (3) Masyarakat (society) adalah jejaring hubungan social yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh setiap individu di tengah masyarakat. Tiap individu terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

Karya monumental Mead adalah Mind, Self and Society, yang memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik. Tiga tema tersebut adalah pertama, pentingnya makna bagi perilaku manusia. Teori ini berpegang pada pemahaman bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara orang-orang untuk menciptakan makna. Bahkan, menurut teori ini tujuan interaksi adalah untuk menciptakan makna yang sama. Tanpa adanya makna yang sama, komunikasi akan menjadi sulit bahkan tidak mungkin. Ada tiga asumsi dalam tema pertama ini, yaitu (1) manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka, (2) makna diciptakan dalam interaksi antar manusi, (3) makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Kedua, pentingnya konsep diri, yaitu seperangkat persepsi yang relative stabil yang dipercaya orang untuk mengenal dirinya sendiri. Tema ini mempunyai dua asumsi, (1) individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, (2) konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku. Ketiga, hubungan dengan masyarakat. Tema ini berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan batasan social. Ada dua asumsi dalam tema ketiga ini yaitu (1) orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, (2) struktur social dihasilkan melalui interaksi social.

Selain Mead telah banyak ilmuwan sosial yang menggunakan pendekatan teori interaksi simbolik. Teori ini memberikan pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok dan tingkah laku manusia serta dinilai telah memberikan kontribusi intelektual, khususnya terhadap perkembangan sosiologi. Beberapa ilmuwan social yang mengembangkan teori ini antara lain John Dewey, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Ernest Burgess, James Mark Baldwin (Roger, 1994). Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan teori interaksi simbolik. Pada saat itu, dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua mazhab yang berbeda secara metodologi, yaitu mazhab Chicago (Chicago School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer dan mazhab Iowa (Iowa School) yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young (Roger, 1994). Mazhab Chicago yang dipelopori Blumer adalah yang mencetuskan nama interaksi simbolik. Blumer melanjutkan