review etnosains & etnometodologi

Download Review etnosains & etnometodologi

If you can't read please download the document

Upload: muhammad-syaiful-rohman

Post on 20-Aug-2015

563 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

REVIEWMuhammad Syaiful Rohman10/306973/PSA/022932REVIEWETNOSAINS DAN ETNOMETODOLOGI : SUATU PERBANDINGANTulisan : Heddy Shri Ahimsa PutraSuatu cabang ilmu pada dasarnya membedakan dirinya dari cabang ilmu yang lain dalam asumsi-asumsi dasarnya mengenai objek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin dipecahkan, konsep-konsep, metode-metode, serta teori yang dihasilkannya (Cuff & Payne, 1980 : 3). Salah satu permasalahannya yaitu menyangkut studi perbandingan yang dikemukakan oleh G.P. Murdock yaitu Human Relation Area Files. Menurut Goodenough (1964 : 7-9) ada tiga masalah pokok. Pertama, mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli antropologi sendiri. Kedua, masalah sifat data itu sendiri, artinya seberapa jauh data yang tersedia benar-benar dapat dibandingkan, atau seberapa jauh data tersebut dapat dikatakan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda. Ketiga, kriteria klasifikasi yang pada para antropolog sendiri masih saling berbeda. Oleh sebab itu, digunakan pendekatan-pendekatan yang dianggap lebih tepat. Salah satu pendekatan tersebut adalah model pendekatan dari linguistik yaitu fonologi (Goodenough, 1964). Dalam cabang ilmu ini dikenal dua cara penulisan bahasa yaitu fonetik dan fonemik. Fonemik menggunakan penulisan bahasa menurut si pemakai bahasa, sedangkan fonetik yaitu cara penulisan bahasa menurut si peneliti. Dari dua istilah tersebut kemudian diketemukan istilah lain, yaitu etik dan emik. ETNOSAINSPenggunaan model linguistik guna menggambarkan suatu kebudayaan mempunyai implikasi bahwa definisi yang dipakai adalah kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan atau sistem ide, karena dalam definisi inilah makna yang diberikan oleh pendukung kebudayaan turut diperhitungkan serta menduduki posisi yang penting. Masalah pertama yang dipelajari oleh mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan merupakan form of things that people have in mind, dalam hal ini ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi. Pengkajian ditujuan pada mengetahi gejala-gejala dalam sistem pengetahuan. Kelompok kedua adalah mereka yang mengarahkan kajiannya pada bidang rule atau aturan-aturan. Persoalan kategorial di sini masih tetap ada. Kategori tersebut tampak pada cara-cara dan perilaku masyarakat dalam interaksi sosialnya. Kelompok ketiga adalah para antropolog yang menggunakan definisi kebudayaan sebagai sarana untuk perceiving dan dealing with circumstances atau alat yang berfungsi menafsirkan gejala-gejala yang ada. Tindakan manusia memiliki berbagai macam makna, dan makna tersebut harus diungkapkan. Dalam metode penelitian yang dikemukakan oleh Spradley, ditempuh dalam pendekatan etnosains, sedangkan teori makna yang dipergunakannya adalah relational theory of meaning. Makna suatu simbol diterjemahkan oleh hubungannya dengan simbol-simbol yang lain. Hal ini dilandaskan kepada, in anthropology, as in all sciences, the concern with the particular is incidental to an understanding of the general (Spradley, 1979 : 206).Tiga macam arah penelitian tersebut dikenal dengan aliran etnosains. Bisa juga disebut The New Ethnography, Cognitive Anthropology, Ethnographic Semantics, Descriptive Semantics, dan lain-lain. Penekananya di sini adalah pada sistem pengetahuan yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat, dan berbeda dengan sistem pengetahuan masyarakat yang lain. ETNOMETODOLOGIDasar pendekatan etnometodologi adalah filsafat fenomenologi. Salah satu tokoh besarnya adalah Husserl. Perhatian besar dari pendekatan ini adalah kesadaran (consciousness). Bagi ahli filsafat fenomenologi, phenomenon order ini berarti which is given or indubitable in the perception or consciousness of the conscious individuals. Jadi usaha fenomenologi ini merupakan upaya untuk mengggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul. Pandangan inilah yang kemudian menjadi salah satu landasan etnometodologi (Leiter, 1980 : 39). Dengan hadirnya maksud dalam kesadaran maka kesadaran selalu memberikan makna terhadap objek yang dihadapi. Pemikiran lain yang menjadi sumbangan Husserl terhadap etnometodologi adalah konsep natural attitude. Konsep ini menghubungkan fenomenologi dengan sosiologi. Ego yang berada dalam situasi tertentu menggunakan penalaran yang sifatnya praktis. Ego tidak lagi mempertanyakan secara mendetail apa yang ada disekitarnya. Natural attitude disebut juga sebagai common sense reality. Natural attitude dibedakan dengan theoretical attitude dan dibedakan juga dengan mythical religious attitude. Konsep intersubjektivitas berdasarkan timbal balik perspektif. Dengan demikian, terdapat dua macam idealisasi yaitu: Pertama, interchangability of view point, artinya seorang ego beranggapan bahwa ego lain akan berpandangan sama dengannya apabila mereka saling bertukar posisi dalam dunia bersama (common world). Kedua, relevansi terjadi pada masalah yang dialami ego den pengaruh pengalaman historis dari ego yang bersangkutan. Namun perbedaan yang ada dapat diabaikan demi tujuan bersama. Konsepsi tersebut di atas dikemukakan oleh Schutz. Ide-ide tersebut mempengaruhi pemikiran Harold Garfinkel sebagai tokoh besar dalam etnometodologi. Fokusnya adalah bagaimana bisa terjadinya suatu proses interaksi sosial. Istilah etnometodologi diperoleh sewaktu Garfinkel menggunakan data cross cultural area. Etnometodologi adalah members methods of making sanse of their social world. Definisi pertama, bahwa kegiatan-keiatan interaksi sehari-hari mempunyai sifat sistematis dan terorganisir bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Definisi kedua, bahwa perbedaan ekspresi yang sifatnya objektif dan indeksial. Etnometodologi juga memiliki perhatian terhadap linguistic sebagaimana halnya dengan etnosains. Bahasa adalah alat untuk membangun kenyataan sosial dan persebaran makna antara para pelaku yang berinteraksi. Bahasa yang diperhatikan adalah bahasa yang alami. Dari percakapan yang terjadi, diharapkan mampu diungkap mutual process of reality negotiating construction and maintenance. Hubungan sosial bagi Goodenough, merupakan hubungan antar pihak-pihak yang dibatasi oleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Aturan perilaku tentu saja dikaitkan dengan hak dan kewajiban tersebut. Terjadilah distribusi hak dan kewajiban, sehingga kategorisasi dalam relasi didasari pengatahuan ego terhadap batasan-batasan tersebut. Ada beberapa cara untuk mendapatkan tema-tema budaya. Pertama, keterkaitan antara kategori yang satu dengan kategori yang lain. Kedua, membandingkan dimensi-dimensi kontras yang ada. Ketiga, menganalisis organizing domains. Perhatian seorang etnosaintis atapun seorang etnometodologis adalah ditujukan pada bahasa yang diucapkan merupakan sarana untuk membangun intersubjektivitas dalam mengkomunikasikan dan menyebarkan makna-makna yang ada pada masing-masing pelaku. Terdapat persamaan persamaan dan perbedaan-[erbedaan antara etnosains dan etnometodologi. Persamaannya yaitu keduanya sama-sama menggunakan bahasa ataupun pernyataan-pernyataan sebagai alat untuk analisi. Pernyataan tersebut dianggap sebagai acuan akan pengetahuan si pemakai bahasa. Bagi etnosains maupun etnometodologi, benar ataupun salahnya pernyataan tersebut tidak menjadi persoalan. Etnosains dan etnometodologi sama-sama terlibat dalam masalah relativisme budaya. Perbedaan dari etnosains dan etnometodologi terletak pada : etnometodologi berusaha mendapatkan basic rule yang bertitik tolak pada essential features dalam fenomenologi, sedangkan etnosains berangkat pada pebandingan-perbandingan sebagaimana yang menjadi tradisi antropologi klasik.