review buku pengelolaan sumber daya dan lingkungan
DESCRIPTION
Buku pengelolaan sumber daya dan lingkungan karangan Bakti SetiawanTRANSCRIPT
UJIAN AKHIR SEMESTERMATA KULIAH
MANAJEMEN LINGKUNGAN
Review Buku:
“Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan”
Oleh:
Fitrawan Umar
(12/336715/PMU/07350)
PROGRAM STUDI ILMU LIGKUNGAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
Book Review
Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, by Bruce Mitchel, B.Setiawan, Dwita Hadi
Rahmi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, 2000.
Reviewed by Fitrawan Umar
Pendahuluan
Buku ini merupakan terjemahan dan saduran dari buku “Resource and Environmental
Management” karya Bruce Mitchel yang diterbitkan pada tahun 1997 di Inggris. Bruce
Mitchel merupakan Guru Besar Geografi dari University of Waterloo, Ontario, Kanada. Oleh
B.Setiawan dan Dwita Hadi Rahmi, buku ini menjadi semacam edisi Indonesia dari buku
“Resource and Environmental Managament” tadi. B.Setiawan dan Dwita Hadi Rahmi adalah
staf pengajar di Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, dan staf peneliti pada Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Gadjah Mada.
Buku ini menekankan pada aspek-aspek pengelolaan sumberdaya dan lingkungan,
dimulai dari identifikasi persoalan pengelolaan hingga pendekatan dalam pengelolaan
sumberdaya dan lingkungan menuju pembangunan berkelanjutan. Buku ini diperkaya dengan
contoh-contoh kasus mengenai pengelolaan lingkungan, baik dalam negeri maupun luar
negeri, sehingga membuka wawasan pembaca dalam melihat persoalan pengelolaan
lingkungan.
Pereview kali ini akan mengulas mengenai BAB 1 (hal 1-29), BAB 3 (hal 74-114), dan
BAB 14 (hal 475-488) dalam buku ini.
Perubahan, Kompleksitas, Ketidakpastian, dan Konflik
Buku ini dimulai dengan memperkenalkan persoalan pengelolaan sumberdaya dan
lingkungan yang terdiri dari 4 (empat) aspek penting, yaitu adanya perubahan, kompleksitas,
ketidakpastian, dan konflik pengelolaan. Keempat persoalan ini dapat saling mempengaruhi
satu sama lain. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Perubahan
Perencana dan pengelola lingkungan dituntut untuk selalu siap menghadapi perubahan,
baik perubahan lingkungan itu sendiri, maupun perubahan sistem sosial, ekonomi, dan
politik yang seringkali mewarnai proses pengambilan keputusan. Buku yang direview ini
memberikan contoh pada proyek sejuta hektar lahan gambut, bahwa perubahan situasi
politik (reformasi) di Indonesia ternyata berdampak pada terbukanya peluang untuk
mengkaji kembali secara objektif proyek kontroversial tersebut. Pada dasarnya memang
pengelolaan lingkungan tidak dapat dipisahkan dari isu-isu sosial, ekonomi, dan politik
yang lebih luas. Konsep ekologi politik dapat dipelajari oleh perencana dan pengelola
lingkungan guna memahami dimensi, kondisi, dan kompleksitas politik dari perubahan
lingkungan.
b. Kompleksitas
Persoalan lingkungan sifatnya sangat kompleks dan tidak semudah yang dapat
dibayangkan. Perencana dan pengelola lingkungan dituntut untuk memahami bahwa
tidak semua perubahan lingkungan dapat diprediksi sebelumnya. Pada proyek sejuta
hektar lahan gambut, terlihat bahwa sebagian aspek dapat diprediksi, dan sebagian lagi
sama sekali tak dapat diketahui. Sebagai gambaran yang lain, ketika berhadapan dengan
persoalan perubahan iklim global, perhatian harus diberikan pada isu-isu tentang
penggunaan energi, produksi makanan, praktek-praktek penebangan hutan dan kebijakan
transportasi. Sistem yang kompleks seperti demikian cenderung muncul secara spontan,
lebih tak teratur, dan cenderung tak terduga.
c. Ketidakpastian
Dinamika lingkungan dipenuhi oleh ketidakpastian. Kompleksitas yang dihadapi dalam
pengelolaan sumberdaya dan lingkungan berakibat pada situasi di mana keputusan yang
harus diambil berada dalam keadaan ketidakpastian yang besar. Pada proyek sejuta
hektar lahan gambut, pemerintah orde baru mengabaikan aspek ketidakpastian ini dengan
tidak melakukan kajian secara utuh. Perencana dan pengelola lingkungan semestinya
menyadari bahwa kondisi dan situasi di masa depan selalu dapat berubah dan relatif
berbeda dengan apa yang ada sekarang. Dalam konteks ini, seyogianya diperlukan
kehati-hatian agar proses pengembalian keputusan tidak dilakukan secara gegabah.
d. Konflik
Konflik dalam pengelolaan lingkungan seringkali muncul dan sulit untuk dihindari. Pada
proyek sejuta hektar lahan gambut, konflik di antara berbagai pihak sangat terasa, meski
kemudian berhasil diredam oleh represifitas pemerintah orde baru saat itu. Perencana
dan pengelola lingkungan dituntut untuk dapat mengakomodasikan berbagai perbedaan
serta mencari jalan tengah yang dapat diterima semua pihak. Adanya konflik dikarenakan
masyarakat selalu terdiri dari individu dan kelompok yang mempunyai nilai-nilai,
kepentingan, keinginan, harapan, dan prioritas yang berbeda, sehingga selalu ada
ketegangan antar berbagai karakter yang berbeda, atau bahkan terdapat ketidakcocokan
di antara karakter-karakter tersebut. Adapun penyebab dasar konflik yaitu perbedaan
pengetahuan dan pemahaman, perbedaan nilai, perbedaan alokasi keuntungan dan
kerugian, dan perbedaan karena latar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok
yang berkepentingan.
Pendekatan Ekosistem sebagai Suatu Solusi
Pendekatan ekosistem dalam buku ini dikatakan sebagai salah satu cara untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan. Pendekatan ekosistem melihat persoalan pengelolaan
lingkungan dan sumberdaya alam dengan menekankan pada keseluruhan sistem, bagian-
bagian yang menyusunnya (sub-sub sistem), serta interaksi antara sub-sub sistem tersebut.
Pendekatan ekosistem sesungguhnya mempunyai kemiripan dengan perspektif
menyeluruh (holistik). Interpretasi perspektif holistik ini dapat dibedakan menjadi pendekatan
komprehensif dan pendekatan terpadu. Pendekatan komprehensif mengkaji semua komponen
dan semua hubungan dalam komponen-komponen ekosistem. Hanya saja, pendekatan
komprehensif ini lebih membutuhkan banyak waktu untuk menyelesaikan analisis dan
rencana, sehingga terjadi kemungkinan dokumen perencanaan tidak dapat dimanfaatkan
dengan baik karena persoalan-persoalan baru telah muncul lebih dulu. Adapun pendekatan
terpadu sifatnya lebih terarah dan praktis. Pendekatan terpadu tidak menuntut analisis seluruh
komponen dan hubungan, tetapi berfokus pada komponen-komponen dan hubungan-
hubungan yang dianggap kunci persoalan.
Analisis Agroeksistem sebagai Suatu Pendekatan Ekosistem
Analisis agroekosistem pertama kali dikembangkan oleh Conway, yang merefleksikan
banyak karakter interpretasi terpadu dari pendekatan ekosistem. Agroekosistem merupakan
sistem ekologi yang telah dimodifikasi manusia untuk menghasilkan bahan makanan, dan
produksi pertanian lain. Analisis agroekosistem dikembangkan untuk memperbaiki kapasitas
pengelola lingkungan dalam melihat persoalan-persoalan yang muncul, terkhusus dari
penerapan berbagai teknologi di bidang pertanian. Contoh misalnya analisis agroekosistem
semula digunakan untuk mengkaji konsekuensi lingkungan yang disebabkan oleh revolusi
pertanian (revolusi hijau) di negara berkembang. Revolusi pertanian dianggap mampu
meningkatkan produktivitas pertanian melalui pembenihan, sistem irigasi, dan bahan
agrokimia. Akan tetapi, ternyata revolusi pertanian memunculkan persoalan seperti semakin
meningkatnya penyakit pes dan hama tanaman, menurunya struktur tanah dan kesuburan,
serta meningkatnya ketimpangan ekonomi.
Analisis agroekosistem bertolak pada gagasan tentang sistem, serta jenjangan sistem.
Pendekatan ini mengharuskan memberi perhatian pada adanya tingkatan sistem. Adapun
aspek utama analisis agroekosistem ini adalah sebagai berikut: pertama, produktivitas, yang
merupakan hasil akhir panen atau pendapatan bersih, diukur dalam ukuran pendapatan per
hektar, atau total produksi barang dan jasa per rumah tangga atau negara. Kedua, stabilitas,
yang merupakan produktivitas terus menerus yang tidak terganggu oleh perubahan kecil dari
lingkungan sekitarnya. Ketiga, keberlanjutan, yang merupakan kapasitas agroekosistem untuk
memelihara produktivitas ketika terdapat gangguan besar. Keempat, pemerataan, yang
merupakan distribusi keuntungan dan kerugian yang terkait dengan produksi barang dan jasa
dari agroekosistem.
Pengenalan mengenai aspek analisis agroekosistem menggambarkan beberapa hal
penting. Pertama, apa yang dikatakan sebagai keterpaduan ekosistem ditentukan oleh
kekayaan dari sebuah ekosistem yang dianggap penting. Bobot yang berbeda dapat diberikan
pada produktivitas, stabilitas, keberlanjutan dan pemerataan. Kedua, konsep jaring berjenjang
menekankan bahwa apapun batas ekosistem yang telah ditentukan akan selalu ada ekosistem
lain yang berhubungan dengan salah satu dari empat aspek agroekosistem tadi.
Penerapan Pendekatan Ekosistem
Beberapa contoh pendekatan ekosistem yang dipaparkan dalam buku yang direview ini
yaitu kebijakan penghapusan institusi pengelola air di Kanada, pengelolaan ekosistem Laut
Baltik di Eropa, pengelolaan ekosistem pegunungan Himalaya di India, dan Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS) Sumatera di Indonesia. Masing-masing penjelasannya dapat
dipaparkan sebagai berikut:
a. Penghapusan institusi pengelola air di Kanada dilakukan pada pertengahan tahun 1990-
an oleh lembaga pemerintah di bidang lingkungan (Environment Canada). Kebijakan ini
dimaksudkan agar supaya pengelolaan lingkungan tidak lagi dilakukan secara sektoral.
Environment Canada menginginkan pengelolaan lingkungan menerapkan pendekatan
ekosistem yang holistik. Daripada hanya mengkonsentrasikan para ahli air pada satu
institusi air, maka para ahli air disebar ke dalam berbagai divisi dan cabang Environment
Canada. Meski dianggap baik pada tataran konseptual, kebijakan ini ternyata kurang
berhasil dalam tataran operasional, karena masyarakat yang mempunyai persoalan di
bidang air akan lebih mudah menemukan institusi air daripada divisi pengairan dalam
lembaga Environment Canada.
b. Pengelolaan ekosistem Laut Baltik di Eropa dilakukan ketika masing-masing negara
yang berhubungan dengan laut tersebut menyadari adanya degradasi kualitas laut yang
dapat menimbulkan persoalan lingkungan. Kerusakan ekosistem Laut Baltik disadari
bersumber dari aktivitas masyarakat di 14 negara yang memakai bersama laut tersebut.
Konvensi untuk membahas persoalan Laut Baltik dilakukan pada tahun 1974 yang
kemudian melahirkan kesepakatan yang ditandatangani bersama dalam The Baltic
Marine Environment Protection Convention (Konveksi Perlindungan Lingkungan
Perairan Baltik). Kemudian pada Mei 1980 dibentuk adanya Komisi Helsinki
(HELCOM) sebagai organisasi yang mengkordinir konvensi tersebut. Hingga pada tahun
1992 diresmikanlah The Baltic Sea Joint Comprehensive Environmental Action
Programme (Program Kegiatan Bersama Lingkungan Komprehensif Laut Baltik) oleh
masing-masing menteri lingkungan dari negara-negara yang terlibat. Program-program
yang dirancang antara lain adalah perubahan kebijakan dan peraturan-peraturan
pengelolaan lingkungan di masing-masing negara, penguatan industri dan pengembangan
sumberdaya manusia, investasi infrastruktur dan meminimalkan pembuangan limbah,
program pengelolaan laguna dan rawa di daerah pantai, mendorong penelitian-penelitian
terapan, alih teknologi, dan memperluas kepedulian tentang masalah-masalah kritis, serta
pendidikan lingkungan untuk mengembangkan dasar keberlanjutan bagi penerapan ke
lima komponen lainnya.
c. Pengelolaan ekosistem pegunungan Himalaya dilakukan oleh sebab terjadinya penurunan
kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Penyebab penurunan kondisi lingkungan di
Himalaya antara lain adalah tata guna lahan yang tidak direncanakan, pertanian di lereng
pegunungan, pengambilan rumput untuk pakan ternak yang berlebihan, pembangunan
proyek (jalan, pertambangan, dam, sistem irigasi), pengambilan spesies tumbuh-
tumbuhan berdaun lebar, serta pergantian jenis tanaman pertanian. Penyelesaian
persoalan lingkungan di Himalaya dilakukan dengan pendekatan ekosistem yang
memadukan lansekap alam dan budaya, serta strategi yang dirancang sesuai dengan
kondisi lokal. Beberapa strategi yang digunakan di antaranya adalah: (1) Pengelolaan
daerah aliran air dan sumberdaya air, yaitu dengan menanggulangi erosi dengan
melibatkan tindakan-tindakan terhadap air dan tanah; (2) Pengelolaan lahan, yaitu
dengan menentukan kemampuan lahan berdasarkan klasifikasi dan sistem pendataan; (3)
Pengelolaan hutan, yaitu dengan melakukan program penghutanan dengan skala besar
dan menanam kembali tanah-tanah marjinal; (4) Pengelolaan kehidupan satwa liar, yaitu
dengan memberikan habitat alternatif untuk spesies langka dan terancam punah; (5)
Peningkatan kesehatan masyarakat, yaitu dengan mendirikan pusat-pusat kesehatan dan
menyediakan pendidikan kesehatan dan program imunisasi; (6) Penyediaan energi, yaitu
dengan membangun proyek-proyek pembangkit listrik berskala kecil, atau dengan
memanfaatkan energi angin dan matahari, serta bahan bakar kayu dan biogas; (7)
Pemberdayaan wanita, yaitu dengan melibatkan wanita dalam seluruh keputusan-
keputusan perencanaan dan pembangunan, serta memberikan wanita kesempatan untuk
mendapat pekerjaan alternatif seperti membuat kerajinan tangan, mengumpulkan madu,
mengawetkan buah, dan lain sebagainya.
d. Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat dilakukan karena adanya penurunan kualitas
lingkungan berupa erosi dan hilangnya lapisan tanah subur yang disebabkan oleh
aktivitas perladangan kayu manis masyarakat. Tindakan pengelolaan yang dilakukan
yaitu pengaturan cara bertanam, pengolahan lahan, penghijauan kembali, dan penyuluhan
petani. Selain itu, juga dilakukan pengembangan dan penelitian kebijakan institusi,
rasionalisasi batas taman, dan pengembangan taman. Mengenai pengelolaan hutan, maka
yang dilakukan adalah meningkatkan kapasitas ijin dalam pengelolaan keanekaragaman
hayati dan kehidupan liar, dan memperkuat kapasitas institusi untuk menerapkan
AMDAL. Adapun mengenai pemberdayaan masyarakat, maka yang dilakukan adalah
rasionalisasi hak-hak atas sumberdaya (inventarisasi hak-hak atas tanah, hutan
masyarakat), serta melakukan pengembangan area lokal.
Mengelola Perubahan, Kompleksitas, Ketidakpastian, dan Konflik
Buku ini ditutup dengan uraian beberapa hal penting dalam mengelola perubahan,
kompleksitas, ketidakpastian, dan konflik sebagai aspek persoalan dalam manajemen
sumberdaya dan lingkungan. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Membangun Visi
Visi merupakan hal yang urgen dalam suatu proses perencanaan. Tanpa adanya visi yang
jelas, proses perencanaan akan berjalan tidak jelas pula. Tugas para pengelola
lingkungan adalah membantu membangun visi untuk masa depan yang diinginkan.
Karena adanya perbedaan yang kerap kali muncul di masyarakat untuk menentukan visi,
pengelola lingkungan sudah semestinya melakukan konsultasi dan interaksi dengan
masyarakat untuk mengetahui pengetahuan dan pemahaman mereka, sehingga diketahui
kebutuhan dan harapan mereka.
Visi pengelolaan lingkungan secara global sebenarnya telah pernah diterbitkan pada
tahun 1987, yaitu dokumen Our Common Future yang mempopulerkan istilah
“pembangunan berkelanjutan”. Pembangunan berkelanjutan dapat diinterpretasi oleh
masing-masing negara sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Visi
pembangunan berkelanjutan diharapkan dapat terus ditumbuhkan karena memberikan
jalan bagaimana agar terjadi keseimbangan ekonomi, lingkungan, dan budaya.
b. Menciptakan Proses
Pengelolaan sumberdaya dan lingkungan tidak hanya berhenti pada visi, akan tetapi visi
mensyaratkan adanya proses ikutan untuk mengidentifikasi isu-isu dan masalah,
informasi penting, menentukan alternatif penyelesaian dan menentukan tindakan. Proses
dalam hal ini dapat berupa proses pengelolaan bersama, proses pengelolaan lingkungan
adaptif, sampai pada proses alternatif penyelesaian konflik.
c. Menghasilkan Produk
Setelah membangun visi dan menciptakan proses, perencana dan pengelola lingkungan
tidak boleh melupakan bahwa tujuannya adalah menyelesaikan masalah. Olehnya, visi
dan proses harus mengarah pada keluaran (ouput), yang dapat berupa strategi atau
rencana. Strategi atau rencana tadi bukanlah sesuatu yang pasti dan tidak dapat berubah,
akan tetapi dapat dimodifikasi sesuai dengan perubahan yang terjadi dan munculnya
pemahaman-pemahaman baru.
Rancangan strategi harus menyertakan gagasan-gagasan dasar, yaitu dengan
menggambarkan semangat prinsip pencegahan, dan memakai pendekatan flexing atau
pelonggaran di tengah situasi dengan karakter ketidakpastian yang tinggi. Kurangnya
pengetahuan dan pemahaman tidak harus dipakai sebagai alasan untuk tidak mengambil
tindakan.
d. Memastikan Penerapan dan Pemantauan
Seringkali dalam perencanaan pengelolaan ditemui banyak hambatan sehingga
mengalami kegagalan dalam penerapan di lapangan. Bahkan terkadang banyak rencana
yang dibuat daripada tindakan yang dilakukan. Oleh karena itu, pendekatan terprogram
dan adaptif diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan hambatan-hambatan dalam
penerapan. Perencana dan pengelola harus memberi perhatian pada kekuatan dan
kelemahan dari pendekatan terprogram dan adaptif, serta mampu menentukan
pendekatan mana yang paling efektif untuk situasi tertentu. Kemudian, dalam rangka
perbaikan dalam penerapan, aspek pemantauan (monitoring) perlu dilakukan sebagai
salah satu aspek pengelolaan lingkungan adaptif. Monitoring misalnya adalah pelaporan
berkelanjutan atau keadaan lingkungan yang banyak diterapkan di instansi dan negara
untuk memantau kebijakan, program, dan rencana. Selain itu, audit lingkungan juga
dipakai untuk mengukur penampilan berdasar standar yang telah ditentukan sebelumnya.
e. Mengantisipasi Masa Depan
Perencana dan pengelola harus menyadari bahwa tindakan yang benar tidak selalu ada,
sedangkan kebutuhan dan masalah selalu ada, sehingga keputusan dan komitmen harus
tetap diambil dan dibuat walau tampak tidak memberi kepastian yang meyakinkan.
Perencana dan pengelola diberi pilihan untuk mengidentifikasi apa dan bagaimana kita
harus bertindak. Masalah tidak dapat menunggu sampai kita dapat berpikir tentang
masalah itu.
Tantangan Pengelolaan Lingkungan di Indonesia
Buku yang direview ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2000 sehingga isu yang
diangkat sebagai tantangan pengelolaan lingkungan adalah isu krisis ekonomi Indonesia yang
sangat terasa ketika itu. Pasca perubahan sosial-politik yang ditandai dengan turunnya
Presiden Soeharto, Indonesia mencoba bangkit untuk memulihkan keadaan ekonomi yang
sempat anjlok dan mengalami stres. Proses pemulihan ekonomi itulah yang kemudian
menjadi tantangan pengelolaan lingkungan, sebab terjadi tumbukan antara perlindungan
lingkungan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat untuk bangkit dari krisis. Kita
tahu bahwa pemulihan ekonomi dipastikan akan mengorbankan sumberdaya dan lingkungan
untuk dikapitalisasi sebagai alat produksi dalam menghasilkan devisa. Olehnya, isu
lingkungan akan cenderung tenggelam.
Akan tetapi, perubahan sosial-politik tadi ternyata dapat juga menjadi peluang untuk
tetap menjaga keberlanjutan lingkungan di Indonesia. Pertama, adalah karena adanya
desentralisasi sehingga pemusatan kekuasaan pada pemerintah menjadi berkurang. Hal ini
dianggap memungkinkan dikembangkannya model-model pengelolaan bersama serta
direalisasikannya hak-hak masyarakat terhadap sumberdaya dan lingkungan yang selama ini
lebih dikuasai oleh negara dan pemilik modal. Kedua, proses demokratisasi yang terjadi juga
diharapkan akan mempunyai implikasi positif bagi upaya-upaya pengelolaan lingkungan
yang lebih baik. Proses demokratisasi berarti memungkinkan proses negoisasi konflik secara
adil dan terbuka sehingga diharapkan memberi peluang kepada aktivis lingkungan untuk
menyuarakan pendapat, aspirasi, serta kepentingannya. Ketiga, adalah diberlakukannya rule
of law atau penegakan hukum sehingga diharapkan dapat berdampak positif bagi upaya-
upaya pengelolaan lingkungan.
Tiga belas tahun setelah kali pertama diterbitkannya buku ini, isu-isu yang diangkat
masih cukup relevan, akan tetapi desentralisasi yang diharapkan menjadi peluang ternyata
justru menjadi ancaman tersendiri bagi pengelolaan lingkungan di masa sekarang.
Desentralisasi berupa otonomi daerah ternyata menciptakan ‘raja-raja’ kecil yang menjadi
determinan perusak sumberdaya dan lingkungan di daerah-daerah. Pemerintah daerah kini
leluasa memberi izin pemanfaatan sumberdaya demi untuk meningkatkan pemasukan
anggaran daerah dengan tanpa pemantauan yang ketat terkait dampak lingkungan hidup yang
ditimbulkan.
Terakhir, buku ini mengingatkan kepada kita bahwa persoalan dan pengelolaan
lingkungan pada akhirnya berpulang pada sumber permasalahannya, yakni moral, sikap, dan
perilaku hidup. Tanpa adanya perubahan yang berarti dari sisi moral, sikap, dan perilaku
hidup, segala persoalan lingkungan tidak akan dapat terselesaikan dengan baik.