reumatoid_artritis lansia (bahan internet)

42
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mobilitas dan aktivitas adalah hal yang vital bagi kesehatan total lansia sehingga perawat harus banyak memiliki pengetahuan dalam pengkajian dan intervensi muskuloskeletal. Perawat memainkan dua peranan penting. Pertama, mempraktikkan promosi kesehatan jauh sebelum berusia 65 tahun dapat menunda dan memperkecil efek degeneratif dari penuaan. Penyakit muskuloskeletal bukan merupakan konsekuensi penuaan yang tidak dapat dihindari dan karenanya harus dianggap sebagai suatu proses penyakit spesifik, tidak hanya sebagai akibat dari penuaan. Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit otoimun sistemik yang menyebabkan peradangan pada sendi. Penyakit ini ditandai oleh peradangan sinovium yang menetap, suatu sinovitis proliferatifa kronik non spesifik. Dengan berjalannya waktu, dapat terjadi erosi tulang, destruksi (kehancuran) rawan sendi dan kerusakan total sendi. Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik. Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1

Upload: arif-yudistira

Post on 10-Feb-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

b

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mobilitas dan aktivitas adalah hal yang vital bagi kesehatan total

lansia sehingga perawat harus banyak memiliki pengetahuan dalam

pengkajian dan intervensi muskuloskeletal. Perawat memainkan dua

peranan penting. Pertama, mempraktikkan promosi kesehatan jauh sebelum

berusia 65 tahun dapat menunda dan memperkecil efek degeneratif dari

penuaan. Penyakit muskuloskeletal bukan merupakan konsekuensi penuaan

yang tidak dapat dihindari dan karenanya harus dianggap sebagai suatu

proses penyakit spesifik, tidak hanya sebagai akibat dari penuaan.

Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit otoimun sistemik

yang menyebabkan peradangan pada sendi. Penyakit ini ditandai oleh

peradangan sinovium yang menetap, suatu sinovitis proliferatifa kronik non

spesifik. Dengan berjalannya waktu, dapat terjadi erosi tulang, destruksi

(kehancuran) rawan sendi dan kerusakan total sendi.

Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal

dan tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok

etnik. Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi

(berkisar antara 0,3 sampai 2,1 persen). Artritis Reumatoid lebih sering

dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3 : 1.7

Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur. Artritis

Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita.

Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering

pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid yang

dibandingkan dengan 600.000 pria.

Penanganan medis pasien dengan artritis reumatoid pada lansia

bergantung pada tahap penyakit ketika diagnosis dibuat dan termasuk dalam

kelompok mana yang sesuai dengan kondisi tersebut. Untuk menghilangkan

nyeri dapet mempergunakan agens antiinflamasi, obat yang dipilih adalah

aspirin.

1

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakan asuhan keperawatan artritis reumatoid (RA) pada pasien

lansia ?

1.3. Tujuan

1.3.1.Tujuan Umum

Dapat menambah pengetahuan mahasiswa mengenai penyakit

rematoid artritis serta asuhan keperawatan yang dapat dilakukan

terhadap pasien lansia dengan masalah rematoid artritis.

1.3.2.Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mampu mengetahui anatomi fisiologi sistem

persendian.

2. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian rematoid artritis.

3. Mahasiswa mampu mengetahui penyebab terjadinya rematoid

artritis.

4. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi rematoid artritis.

5. Mahasiswa mampu mengetahui tanda dan gejala yang muncul pada

rematoid artritis.

6. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan keperawatan yang

dapat diberikan pada pasien yang mengalami rematoid artritis.

7. Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan yang bisa

dilakukan pada pasien dengan masalah rematoid artritis.

1.4. Manfaat

1. Mahasiswa mampu memahami pengertian arthritis reumatoid

2. Mahasiswa mampu memahami etiologi arthritis reumatoid

3. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi arthritis reumatoid

4. Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinik arthritis reumatoid

5. Mahasiswa lebih mampu memahami pemeriksaan diagnosk arthritis

reumatoid

6. Mahasiswa mengetahui komplikasi arthritis reumatoid

7. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan arthritis reumatoid

2

8. Mahasiswa memahami cara mencegah arthritis reumatoid

9. Mahasiswa memahami konsep dasar asuhan keperawatan arthritis

reumatoid

3

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi dan Fisiologi

Suatu artikulasi, atau persendian, terjadi saat permukaan dari

dua tulang bertemu, adanya pergerakan atau tidak bergantung pada

sambungannya. Persendian dapat diklasifikasi menurut struktur dan menurut

fungsi persendian.

2.1.1.Klasifikasi Struktural Persendian

a. Persendian fibrosa tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh

dengan jaringan ikat fibrosa.

b. Persendian kartilago tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh

dengan jaringan kartilago.

c. Persendian sinovial memiliki rongga sendi dann diperkokoh

dengan kapsul dan ligamen artikular yang membungkusnnya.

2.1.2.Klasifikasi Fungsional Persendian

a. Sendi sinartrosis atau sendi mati.

1) Sutura adalah sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat

fibrosa rapat dan hanya ditemukan pada tulang tengkorak.

Contoh sutura adalah sutura sagital dan sutura parietal.

2) Sinkondrosis adalah sendi yang tulang-tulangnya

dihubungkan dengan kartilago hialin. Salah satu contohnya

adalah lempeng epifisis sementara antara epifisis dan diafisis

pada tulang panjang seorang anak. Saat sinkondrosis sementara

berosifikasi, maka bagian tersebut dinamakan sinostosis.

b. Amfiartrosis adalah sendi dengan pergerakan terbatas yang

memungkinkan terjadinya sedikit gerakan sebagai respons terhadap

torsi dan kompresi.

1) Simfisis adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan

dengan diskus kartilago, yang menjadi bantalan sendi dan

memungkinkan terjadinya sedikit gerakan. Contoh simfisis

adalah simfisis pubis antara tulang-tulang pubis dan diskus

intervertebralis antar badan vertebra yang berdekatan.

4

2) Sindesmosis terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan

dihubungkan dengan serat-serat jaringan ikat kolagen. Contoh

sindesmosis dapat ditemukan pada tulang yang terletak

bersisian dan dihubungkan dengan membran interoseus, seperti

pada tulang radius dan ulna, serts tibia dan fibula.

c. Diartrosis adalah sendi yang dapat bergerak bebas, disebut juga

sendi sinovial. Sendi ini memiliki rongga sendi yang berisi cairan

sinovial, suatu kapsul sendi (artikular) yang menyambung kedua

tulang, dan ujung tulang pada sendi sinovial dilapisi kartilago

artikular.

5

2.1.3.Klasifikasi Persendian Sinovial

a. Sendi sferoidal terdiri dari sebuah tulang dengan kepala berbentuk

bulat yang masuk dengan pas ke dalam rongga berbentuk cangkir

pada tulang lain. Memungkinkan rentang gerak yang lebih besar,

menuju ke tiga arah. Contoh sendi sferoidal adalah sendi panggul

serta sendi bahu.

b. Sendi engsel. Sendi ini memungkinkan gerakan kesatu arah saja

dan dikenal sebagai sendi uniaksial. Contohnya adalah persendian

pada lutut dan siku.

c. Sendi kisar (pivot joint). Sendi ini merupakan sendi uniaksial yang

memungkinkan terjadinya rotasi disekitar aksial sentral, misalnya

persendian tempat tulang atlas berotasi di sekitar prosesus odontoid

aksis.

d. Persendian kondiloid. Sendi ini merupakan sendi biaksial, yang

memungkinkan gerakan kedua arah disudut kanan setiap tulang.

Contohnya adalah sendi antara tulang radius dan tulang karpal.

e. Sendi pelana. Persendian ini adalah sendi kondiloid yang

termodifikasi sehingga memungkinkan gerakan yang sama.

Contohnya adalah persendian antara tulang karpal dan metakarpal

pada ibu jari.

f. Sendi peluru. Sedikit gerakan ke segala arah mungkin terjadi

dalam batas prosesus atau ligamen yang membungkus persendian.

Persendian semacam ini disebut sendi nonaksial; misalnya

persendian invertebrata dan persendian antar tulang-tulang karpal

dan tulang-tulang tarsal.

2.2. Pengertian Artritis Reumatoid

Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis

yang tidak diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan oleh kerusakan dan

proliferasi membran sinovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang

sendi, ankilosis, dan deformitas. (Kusharyadi, 2010)

6

Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik yang kronis

dan terutama menyerang persendian, otot-otot, tendon, ligamen, dan

pembuluh darah yang ada disekitarnya. (Kowalak, 2011).

2.3. Etiologi Artritis Reumatoid

Penyebab utama penyakit artritis reumatoid masih belum diketahui

secara pasti. Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab

artritis reumatoid, yaitu :

1. Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus.

2. Endokrin

Kecenderungan wanita untuk menderita artritis reumatoid dan

sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan

dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu

faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena

pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan

perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil

dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab

penyakit ini.

3. Autoimmun

Pada saat ini artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor

autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II,

faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme

mikroplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II

kolagen dari tulang rawan sendi penderita.

7

4. Metabolik

5. Faktor genetik serta pemicu lingkungan

Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga

berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya

hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II,

khususnya HLA-DR4 dengan artritis reumatoid seropositif. Pengemban

HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.

2.4. Patofisiologi Artritis Reumatoid

Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis artritis

reumatoid terjadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut : Suatu

antigen penyebab artritis reumatoid yang berada pada membran sinovial,

akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai

jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya

mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang

telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan

determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut

membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan

bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag

selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.

Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut

akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-

2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor

spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya

mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan

berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut.

Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin

lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin-

3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating

factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang

makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang

8

proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi

antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.

Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang

dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara

bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan

mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-

komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik

yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih

banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut.

Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi

yang paling dini dijumpai pada artritis reumatoid adalah peningkatan

permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan

pengendapan fibrin pada membran sinovial.

Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh

pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien,

prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan

menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat

menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan

terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen

bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.

Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan

dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan

IL-1 dan TNF-b. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti

bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan

tetapi pada artritis reumatoid, antigen atau komponen antigen umumnya

akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi

akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada artritis

reumatoid kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid.

Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG

yang dijumpai pada 70-90 % pasien artritis reumatoid. Faktor reumatoid

akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri,

sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks

9

imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang

menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim

proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.

Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat

pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang

merupakan elemen yang paling destruktif dalam patogenesis artritis

reumatoid. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel

fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang.

Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus

terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan

jaringan kolagen dan proteoglikan. (Aru, 2006)

10

2.5. WOC

11

Antigen penyebab RA berada pada membran sinovial

Monosit & makrofag mengeluarkan IL-1

Aktivasi sel CD4+

Sekresi IL-2

Merangsang pembentukan IL-3 dan IL 4

Terjadi mitosis & proliferasi sel >>

Aktivasi sel B

Terbentuk antibodi

Reaksi antibodi terhadap penyebab RA

Terbentuk kompleks imun di ruang sendi

Pengendapan kompleks imun

Reumatoid Artritis (RA)

Pelepasan mediator kimia bradikinin Inflamasi membran sinovial Kurangnya pemajanan/mengingat

Stimulus ujung saraf nyeri Kurang pengetahuanPenebalan membran sinovial Fagositosis kompleks imun

oleh sel radang

12

Menyentuh serabut CNyeri Terbentuk tannus

Menghambat nutrisi pada kartilago

Kerusakan kartilago & tulang

Tendon & ligamen melemah

Kekuatan otot ↓

Kartilago nekrosis

Erosi kartilago

Adhesi permukaan sendi

Ankylosis fibrosa

Kekakuan pada sendi

Gangguan Mobilitas fisik Keterbatasan gerak

Kurang perawatan diri

Terbentuk nodul

Deformitas sendi

Gangguan body image

Pembentukan radikal oksigen bebas

Depolimerasi hialorunat

Veskositas cairan sendi ↓

Pembentukan tulang terganggu

Pemendekan tulang

Kontraktur

Risiko cedera

2.6. Manifestasi Klinik Artritis Reumatoid

Jika pasien artritis reumatoid pada lansia tidak diistirahatkan, maka

penyakit ini akan berkembang menjadi empat tahap :

1. Terdapat radang sendi dengan pembengkakan membran sinovial dan

kelebihan produksi cairan sinovial. Tidak ada perubahan yang bersifat

merusak terlihat pada radiografi. Bukti osteoporosis mungkin ada.

2. Secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau tulang rawan dapat dilihat.

Pasien mungkin mengalami keterbatasan gerak tetapi tidak ada

deformitas sendi.

3. Jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus, sehingga

mengurangi ruang gerak sendi. Ankilosis fibrosa mengakibatkan

penurunan gerakan sendi, perubahan kesejajaran tubuh, dan deformitas.

Secara radiologis terlihat adanya kerusakan kartilago dan tulang.

4. Ketika jaringan fibrosa mengalami kalsifikasi, ankilosis tulang dapat

mengakibatkan terjadinya imobilisasi sendi secara total. Atrofi otot yang

meluas dan luka pada jaringan lunak seperti medula-nodula mungkin

terjadi.

13

Pada lansia artritis reumatoid dapat digolongkan ke dalam tiga

kelompok, yaitu :

1. Kelompok 1

Artritis reumatoid klasik. Sendi-sendi kecil pada kaki dan tangan

sebagian besar terlibat. Terdapat faktor reumatoid, dan nodula-nodula

reumatoid yang sering terjadi. Penyakit dalam kelompok ini dapat

mendorong ke arah kerusakan sendi yang progresif.

2. Kelompok 2

Termasuk ke dalam klien yang memenuhi syarat dari American

Rheumatologic Association untuk artritis reumatoid karena mereka

mempunyai radang sinovitis yang terus-menerus dan simetris, sering

melibatkan pergelangan tangan dan sendi-sendi jari.

3. Kelompok 3

Sinovitis terutama memengaruhi bagian proksimal sendi, bahu dan

panggul. Awitannya mendadak, sering ditandai dengan kekuatan pada

pagi hari. Pergelangan tangan pasien sering mengalami hal ini, dengan

adanya bengkak, nyeri tekan, penurunan kekuatan genggaman, dan

sindrome karpal tunnel. Kelompok ini mewakili suatu penyakit yang

dapat sembuh sendiri yang dapat dikendalikan secara baik dengan

menggunakan prednison dosis rendah atau agens antiinflamasi dan

memiliki prognosis yang baik.

2.7. Pemeriksaan Diagnostik Artritis Reumatoid

2.7.1 Pemeriksaan cairan synovial :

1. Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang

menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.

2. Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses

inflamasi yang didominasi oleh sel neutrophil (65%).

3. Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan

berbanding terbalik dengan cairan sinovium.

14

2.7.2 Pemeriksaan darah tepi :

1. Leukosit : normal atau meningkat ( <>3 ). Leukosit menurun bila

terdapat splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty’s

Syndrome.

2. Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.

2.7.3 Pemeriksaan kadar sero-imunologi :

1. Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita

dengan nodul subkutan.

2. Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis

rheumatoid dini.

2.8. Komplikasi Artritis Reumatoid

Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis

dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat

antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit

(disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor

penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid.

2.9. Penatalaksanaan Artritis Reumatoid

Tujuan utama dari program penatalaksanaan perawatan adalah

sebagai berikut :

1. Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.

2. Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari

penderita.

3. Untuk mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada

sendi.

4. Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang

lain.

2.9.1 Penatalaksanaan Keperawatan

1. Pendidikan

Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian, patofisiologi

(perjalanan penyakit), penyebab dan perkiraan perjalanan

15

(prognosis) penyakit ini, semua komponen program

penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-

sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan metode efektif

tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan. Proses

pendidikan ini harus dilakukan secara terus-menerus.

2. Istirahat

Merupakan hal penting karena reumatik biasanya disertai rasa lelah

yang hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul setiap

hari, tetapi ada masa dimana penderita merasa lebih baik atau lebih

berat. Penderita harus membagi waktu seharinya menjadi beberapa

kali waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa istirahat.

3. Latihan Fisik dan Termoterapi

Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi

sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua

sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Obat untuk

menghilangkan nyeri perlu diberikan sebelum memulai latihan.

Kompres panas pada sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat

mengurangi nyeri. Latihan dan termoterapi ini paling baik diatur

oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus,

seperti ahli terapi fisik atau terapi kerja. Latihan yang berlebihan

dapat merusak struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah

oleh adanya penyakit.

2.9.2 Penatalaksanaan Medikamentosa

1. Penggunaan OAINS

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan

pada penderita AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan

untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali

dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang

bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga

memberikan efek analgesik yang sangat baik. OAINS terutama

bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase sehingga

menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah

16

hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan

tetapi jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:

a. Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal.

b. Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi

(histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).

c. Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan.

d. Menghambat proliferasi seluler.

e. Menetralisasi radikal oksigen.

f. Menekan rasa nyeri

2. Penggunaan DMARD

Terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada

pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian

DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini.

Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi

pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Cara pendekatan lain

adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara

simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan

imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. digunakan

untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi

akibat artritis reumatoid. Beberapa jenis DMARD yang lazim

digunakan untuk pengobatan AR adalah:

a. Klorokuin : Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari

hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada

dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan,

dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.

b. Sulfazalazine : Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam

bentuk enteric coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500

mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu

sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai

dengan dosis 2 g / hari, dosis diturunkan kembali sehingga

mencapai 1 g /hari untuk digunakan dalam jangka panjang

sampai remisi sempurna terjadi.

17

c. D-penicillamine : Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg

atau Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai

300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4

minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis

total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.

3. Operasi

Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil

serta terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan

pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien AR umumnya

bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip

replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.

18

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian

Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan

keterlibatan organ-organ lainnya (misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal),

tahapan misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan bersama

bentuk-bentuk arthritis lainnya.

1. Aktivitas/ istirahat

a. Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan

stres pada sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral

dan simetris. Limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup,

waktu senggang, pekerjaan, keletihan.

b. Tanda : Malaise Keterbatasan rentang gerak, atrofi otot, kulit,

kontraktor/ kelaianan pada sendi.

2. Kardiovaskuler

a. Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat intermitten,

sianosis, kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali

normal).

3. Integritas ego

a. Gejala : Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis : finansial, pekerjaan,

ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan. Keputusan dan

ketidakberdayaan ( situasi ketidakmampuan )Ancaman pada konsep

diri, citra tubuh, identitas pribadi ( misalnya ketergantungan pada

orang lain).

4. Makanan/ cairan

a. Gejala : Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi

makanan/ cairan adekuat: mual, anoreksia Kesulitan untuk

mengunyah.

b. Tanda : Penurunan berat badan Kekeringan pada membran mukosa.

5. Hygiene

19

a. Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan

pribadi. Ketergantungan.

6. Neurosensori

a. Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada

jari tangan.

b. Tanda : Pembengkakan sendi simetris.

7. Nyeri/ kenyamanan

a. Gejala : Fase akut dari nyeri ( mungkin tidak disertai oleh

pembengkakan jaringan lunak pada sendi ).

8. Keamanan

a. Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutaneus. Lesi kulit, ulkus

kaki. Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan

rumah tangga. Demam ringan menetap Kekeringan pada meta dan

membran mukosa.

3.2. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.

3. Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas sendi.

4. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.

5. Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.

6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya

pemajanan/mengingat.

3.3. Rencana Intervensi

3.3.1.Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).

1. Tujuan

Dalam waktu 2 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan

skala nyeri berkurang

2. Kriteria Hasil

a. Skala nyeri berkurang

b. Pasien dapat beristirahat

20

c. Ekspresi meringis (-)

d. TTV dalam batas normal (TD : 120-140/60-80 mmHg, N : 60-

100, RR : 16-24 x/menit, T : 36,5-37,5°C)

3. Intervensi

MANDIRI

a. Kaji keluhan nyeri, kualitas, lokasi, intensitas dan waktu. Catat

faktor yang mempercepat dan tanda rasa sakit nonverbal.

R/ Membantu menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan

keefektifan program.

b. Pantau TTV pasien.

R/ Mengetahui kondisi umum pasien

c. Berikan posisi nyaman waktu tidur/duduk di kursi. Tingkatkan

istirahat di tempat tidur sesuai indikasi.

R/ Penyakit berat/eksaserbasi, tirah baring diperlukan untuk

membatasi nyeri atau cedera sendi.

d. Pantau penggunaan bantal, karung pasir, bebat, dan brace.

R/ Mengistirahatkan sendi yang sakit dan mempertahankan

posisi netral. Catatan : penggunaan brace menurunkan nyeri dan

mengurangi kerusakan sendi.

e. Berikan masase yang lembut.

R/ Meningkatkan relaksasi atau mengurangi ketegangan otot.

f. Anjurkan mandi air hangat/pancuran pada waktu bangun.

Sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi yang sakit

beberapa kali sehari.

R/ Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas,

menurunkan rasa sakit dan kekakuan di pagi hari. Sensitivitas

pada panas dapat hilang dan luka dermal dapat sembuh.

KOLABORASI

g. Berikan obat sesuai petunjuk :

1) Asetilsalisilat (aspirin)

R/ ASA bekerja antiinflamasi dan efek analgesik ringan

mengurangi kekakuan dan meningkatkan mobilitas.

21

2) D-penisilamin

R/ Mengontrol efek sistemik reumatoid artritis jika terapi

lainnya tidak berhasil.

h. Bantu dengan terapi fisik, misal sarung tangan parafin.

R/ Memberi dukungan panas untuk sendi yang sakit.

i. Siapkan intervensi operasi (sinovektomi).

R/ Pengangkatan sinovium yang meradang mengurangi nyeri

dan membatasi progresif perubahan degeneratif.

3.3.2.Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan

otot.

1. Tujuan

Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan

kekuatan otot pasien meningkat

2. Kriteria Hasil

a. Mempertahankan fungsi posisi dengan pembatasan kontraktur.

b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi dari

dan/atau kompensasi bagian tubuh.

c. Mendemostrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan

melakukan aktivitas.

3. Intervensi

MANDIRI

a. Evaluasi pemantauan tingkat inflamasi/rasa sakit pada sendi.

R/ Tingkat aktivitas atau latihan tergantung dari perkembangan

proses inflamasi.

b. Pertahankan tirah baring/duduk. Jadwal aktivitas untuk

memberikan periode istirahat terus-menerus dan tidur malam

hari.

R/ Istirahant sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan

seluruh fase penyakit untuk mencegah kelelahan,

mempertahankan kekuatan.

c. Bantu rentang gerak aktif/pasif, latihan resistif dan isometrik.

22

R/ Meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina.

d. Dorong klien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi,

berdiri serta berjalan.

R/ Memaksimalkan fungsi sendi, mempertahankan mobilitas.

KOLABORASI

e. Konsul dengan ahli terapi fisik atau okupasi dan spesialis

vokasional.

R/ Memformulasi program latihan berdasarkan kebutuhan

individual dan mengidentifikasi bantuan mobilitas.

f. Berikan obat sesuai indikasi (Steroid)

R/ Menekan inflamasi sistemik

3.3.3.Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas sendi.

1. Tujuan

Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan

pasien menerima perubahan tubuh.

2. Kriteria Hasil

a. Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam

kemampuan untuk menghadapi penyakit, perubahan gaya hidup

dan kemungkinan keterbatasan.

b. Menerima perubahan tubuh dan mengintegrasikan ke dalam

konsep diri.

c. Mengembangkan keterampilan perawatan diri agar dapat

berfungsi dalam masyarakat.

3. Intervensi

MANDIRI

a. Dorong pengungkapan mengenai proses penyakit dan harapan

masa depan.

R/ Berikan kesempatan mengidentifiaksi rasa takut/kesalahan

konsep dan menhadapi secara langsung.

b. Bantu pasien mengekspresikan perasaan kehilangan.

23

R/ Untuk mendapatkan dukungan proses berkabung yang

adaptif.

c. Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan

menyangkal/terlalu memperhatikan tubuh.

R/ Menunjukkan emosional/metode koping maladaptif sehingga

membutuhkan intervensi lebih lanjut/dukungan psikologis.

d. Bantu dengan kebutuhan perawatan yang diperlukan.

R/ Mempertahankan penampilan yang meningkatkan citra diri.

KOLABORASI

e. Rujuk pada konseling psikiatri (misal perawat spesialis psikiatri,

psikologi, pekerja sosial)

R/ Pasien/keluarga membutuhkan dukungan selama berhadapan

dnegan proses jangka panjang.

f. Berikan obat sesuai indikasi (misal antiansietas)

R/ Dibutuhkan saat munculnya depresi hebat sampai pasien

dapat menggunakan kemampuan koping efektif.

3.3.4.Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.

1. Tujuan

Dalam waktu 1 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan

pasien dapat melaksanakan aktivitas perawatan diri

2. Kriteria Hasil

a. Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang

konsisten dengan kemampuan individual.

b. Mendemonstrasikan perubahan teknik atau gaya hidup untuk

memenuhi kebutuhan perawatan diri.

c. Mengidentifikasikan sumber pribadi atau komunitas yang dapat

memenuhi kebutuhan perawatan diri.

3. Intervensi

MANDIRI

a. Kaji respons emosional pasien terhadap kemampuan merawat

diri yang menurun dan diberi dukungan emosional.

24

R/ Perubahan kemampuan merawat diri dapat membangkitkan

perasaan cemas dan frustasi, dimana dapat mengganggu

kemampuan lebih lanjut.

b. Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program

latihan.

R/ Mendukung kemandirian fisik dan emosional.

c. Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri.

Identifikasi modifikasi lingkungan.

R/ Meningkatkan kemandirian yang akan meningkatkan harga

diri.

d. Beri dorongan agar berpartisipasi dalam merawat diri. Aktivitas

yang terjadwal memungkinkan waktu untuk merawat diri.

R/ Partisipasi pasien dalam merawat diri meningkatkan harga

diri dan menurunkan perasaan ketergantungan.

KOLABORASI

e. Konsultasi dengan ahli terapi okulasi

R/ Menentukan alat bantu memenuhi kebutuhan individu.

3.3.5.Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.

1. Tujuan

Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1 x 60 menit pasien

tidak menderita cidera

2. Kriteria Hasil

a. Pantau faktor resiko perilaku pribadi dan lingkungan

b. Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko

c. Mempersiapkan lingkungan yang aman

d. Mengidentifikasikan yang dapat meningkatkan reiko cedera

e. Menghindari cedera fisik

3. Intervensi

a. Lindungi klien dari kecelakaan jatuh.

25

R/ karena klien rentan untuk mengalami fraktur patologis

bahkan oleh benturan ringan sekalipun. Bila klien mengalami

penurunan kesadaran pasanglah tirali tempat tidurnya.

b. Hindarkan klien dari satu posisi yang menetap, ubah posisi klien

dengan hati-hati.

R/ perubahan posisi berguna untuk mencegah terjadinya

penekanan punggung dan memperlancar aliran darah serta

mencegah terjadinya dekubitus.

c. Bantu klien memenuhi kebutuhan sehari-hari selama terjadi

kelemahan fisik.

R/ kelemahan yang dialami oleh pasien hiperparatiroid dapat

mengganggu proses pemenuhan ADL pasien.

d. Atur aktivitas yang tidak melelahkan klien.

R/ aktivitas yang berlebihan dapat memperparah penyakit

pasien.

e. Ajarkan cara melindungi diri dari trauma fisik seperti cara

mengubah posisi tubuh, dan cara berjalan serta menghindari

perubahan posisi yang tiba-tiba.

R/ mencegah terjadinya cedera pada pasien

3.3.6.Kurang penegtahuan berhubungan dengan kurangnya

pemajanan/mengingat.

1. Tujuan

Dalam waktu 1 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan

pasien dan keluarga menunjukkan pemahaman tentang kondisi dan

perawatan.

2. Kriteria Hasil

a. Menunjukkan pemahaman tentang kondisi dan perawatan.

b. Mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk

modifikasi gaya hidup yang konsisten dengan mobilitas atau

pembatasan aktivitas.

3. Intervensi

26

a. Tinjau proses penyakit, prognosis, dan harapan masa depan.

R/ Memberikan pengetahuan dimana pasien dapat membuat

pilihan berdasarkna informasi.

b. Diskusikan kebiasaan pasien dalam penatalaksanaan proses sakit

melalui diet, obat, latihan dan istirahat.

R/ Tujuan kontrol penyakit adalah untuk menekan inflamasi

atau jaringan lain untuk mempertahankan fungsi sendi dan

mencegah deformitas.

c. Tekankan pentingnya melanjutkan manajemen

farmakoterapeutik.

R/ Keuntungan dari terpai obat tergantung pada ketepatan dosis,

misal : aspirin diberikan secara reguler untuk mendukung kadar

terapeutik darah 18 - 25 mg.

d. Berikan informasi mengenai alat bantu, misal : tongkat atau

palang keamanan.

R/ Mengurangi paksaan untuk menggunakan sendi dan

memungkinkan pasien ikut serta secara lebih nyaman dalam

aktivitas yang dibutuhkan.

e. Diskusikan menghemat energi, misal : duduk daripada berdiri

untuk mempersiapkan makanan dan mandi

R/ Mencegah kepenatan, memberikan kemudahan perawatan

diri dan kemandirian.

27

BAB 4

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis

yang tidak diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan oleh kerusakan dan

proliferasi membran sinovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang

sendi, ankilosis, dan deformitas. (Kusharyadi, 2010)

Penyebab utama penyakit artritis reumatoid masih belum diketahui

secara pasti. Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab

artritis reumatoid, yaitu : Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus

non-hemolitikus, endokrin, autoimmun, metabolik, dan faktor genetik serta

pemicu lingkungan

Jika pasien artritis reumatoid pada lansia tidak diistirahatkan, maka

penyakit ini akan berkembang menjadi empat tahap yaitu terdapat radang

sendi dengan pembengkakan membran sinovial dan kelebihan produksi

cairan sinovial, secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau tulang rawan

dapat dilihat, jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus,

sehingga mengurangi ruang gerak sendi, ankilosis fibrosa mengakibatkan

penurunan gerakan sendi, perubahan kesejajaran tubuh, dan deformitas.

Secara radiologis terlihat adanya kerusakan kartilago dan tulang.

Masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah nyeri,

gangguan mobilitas fisik, gangguan bodi image, kurang perawatan diri,

risiko cedera, dan kurang pengetahuan.

4.2. Saran

28

DAFTAR PUSTAKA

Anonymus, Artritis Rematoid. (online). http:// www. naturindonesia. com/ artikel-

berbagai- penyakit- degeneratif/ 449-artritis-reumatoid-.html, diakses

tanggal 11 Maret 2013 pukul 12.30

Anonymus, 2012. Makalah Rematoid Artritis. (online). http://profesional-eagle.

blogspot. Com /2012/05/makalah- reumatoid- artritis-copast.html,

diakses tanggal 11 Maret 2013 pukul 12.40

Anonymus, 2012. Asuhan Keperawatan Rematoid Artritis. (online). http://www.

kapukonline.com/2012/01/askep-asuhan keperawatan rheumatoid

arthri. html, diakses tanggal 11 Maret 2013 pukul 12.50

Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. EGC : Jakarta.

Kushariyadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Salemba

Medika : Jakarta.

Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. EGC : Jakarta.

29