return to work pada stroke iskemik yang mengenai seorang pemborong bangunan

64
UNIVERSITAS INDONESIA EVALUASI KEMBALI BEKERJA PADA PEMBORONG BANGUNAN PASCA STROKE ISKEMIK MAKALAH KARYA ILMIAH III dr. David Rudy Wibowo 1006826036

Upload: david-rudy-wibowo

Post on 23-Nov-2015

100 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Makalah Kegiatan Ilmiah 3 PPDS Kedokteran Okupasi FKUI

TRANSCRIPT

Evaluasi Kembali Bekerja pada Pemborong Bangunan yang Menderita Stroke Iskemik dr. David Rudy Wibowo (1006826036) ____________________________________________________________________________________________

UNIVERSITAS INDONESIA

EVALUASI KEMBALI BEKERJA PADA PEMBORONG BANGUNAN PASCA STROKE ISKEMIK

MAKALAH KARYA ILMIAH III

dr. David Rudy Wibowo1006826036

FAKULTAS KEDOKTERANPROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALISKEDOKTERAN OKUPASIJAKARTAJUNI 2013

Tugas Makalah Gizi Kerjadr. David Rudy Wibowo (1006826036) ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

iii

KATA PENGANTAR

Pertama-tama, saya selaku penulis ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmatNya tugas makalah yang berjudul Evaluasi Kembali Bekerja pada Pemborong Bangunan yang Menderita Stroke Iskemik dapat terselesaikan dengan baik.

Tugas makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi kriteria kelulusan pada mata kuliah Kegiatan Ilmiah 3 di dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Okupasi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Saya juga ingin mengucapan terima kasih kepada para dosen pembimbing Mata Kuliah Kegiatan Ilmiah 2, khususnya kepada Dr. dr. Astrid W. Sulistomo, MPH, Sp.Ok yang telah memberikan petunjuk guna menyempurnakan makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini membawa manfaat bagi mereka yang membaca dan mempelajarinya.

Jakarta, Juni 2013

Penulis

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN1I.1Latar belakang1I.2Permasalahan2I.3Tujuan Penulisan Makalah2I.4Metode Pengkajian2I.4.1Metode Pencarian Literatur2I.4.2Metode Pemilihan Literatur3BAB II ILUSTRASI KASUS4II.1Anamnesa4II.2Pemeriksaan Fisik8II.3Pemeriksaan Penunjang12II.4Diagnosis Kerja13II.5Tata Laksana13BAB III TINJAUAN PUSTAKA14III.1Stroke14III.1.1Klasifikasi Stroke14III.1.2Epidemiologi15III.1.3Patofisiologi16III.1.4Faktor-faktor Risiko17III.1.5Diagnosis18III.1.6Penatalaksanaan19III.1.7Pemulihan19III.1.8Pencegahan20III.1.9Kembali Bekerja Pasca Serangan Stroke21III.2Tinjauan Jurnal23III.2.1Indicators for Return to Work After Stroke and The Importance of Work For Subjective Well-Being and Life Satisfaction 23III.2.2Working After a Stroke: Survivors Experiences And Perceptions of Barriers to and Facilitators of The Return to Paid Employment 24III.2.3Returning to Work After a Stroke: An Important but Neglected Area 25III.2.4Ethnic Disparities in Stroke : Epidemiology, Acute Care, and Post-acute Outcomes)26III.2.5Work After Stroke: Focusing on Barriers and Enablers 26III.2.6The Safety of Driving a Commercial Motor Vehicle After a Stroke 27III.2.7Frequency of Depression After Stroke: A Systematic Review of Observational Studies 28BAB IV PEMBAHASAN29BAB V KESIMPULAN DAN SARAN34V.1Kesimpulan34V.2Saran34

Evaluasi Kembali Bekerja Pada Pemborong Bangunan Pasca Stroke IskemikDavid Rudy Wibowo, dr. (1006826036) ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakangStroke didefinisikan sebagai hilangnya fungsi dari otak yang mendadak karena blokade atau ruptur dari pembuluh darah otak. Klasifikasi jenis patologi stroke terdiri dari stroke iskemik dan stroke perdarahan. Stroke iskemik mencakup 85% dari semua kasus stroke. Stroke iskemik sering disebabkan karena adanya emboli ekstrakranial atau intrakranial yang menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah otak.

Stroke merupakan masalah kesehatan yang penting. Di Amerika terdapat 700.000 orang terkena serangan stroke setiap tahunnya dengan angka kematian 160.000 orang pertahun, pada tahun 2003 terdapat 4,8 juta orang yang menderita stroke. Stroke menempati peringkat ketiga sebagai penyebab kematian (Goldstein et al 2006 cit American Heart Association, 2003). Walaupun terdapat 60% penurunan kematian stroke selama periode antara tahun 1968-1996 ternyata angka penurunan mengalami perlambatan pada tahun 1990 di beberapa negara bagian (Goldstein et al., 2006 cit Howard et al., 2001). Kejadian stroke diperkirakan akan meningkat (Goldstein et al., 2006 cit Brown et al., 1989). Laki-laki mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terkena stroke dibandingkan dengan perempuan, walaupun stroke sering terjadi pada orang tua, sekitar 25% dari penderita stroke adalah orang dengan usia kurang dari 65 tahun (Becker, 2006).

Kebanyakan dari pasien pasca stroke mempunyai keinginan yang besar untuk kembali bekerja. Keinginan tersebut tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan finansial saja, namun juga untuk membantu membangun kembali kepercayaan diri mereka, kemandirian dan membantu proses pemulihan menjadi maksimal. (1)

Namun tentu saja, tidak semua pasien pasca stroke akan dapat kembali bekerja sebagai pekerja penuh waktu (full time employment). Stroke masih menjadi penyebab utama kecacatan jangka panjang di Amerika Serikat. Akibatnya, penderita stroke sering mengalami perubahan kondisi dan gaya hidup yang membatasi aktivitas hidup sehari-hari, meningkatkan risiko untuk jatuh, dan dapat berkontribusi tinggi untuk kekambuhan stroke yang kedua dan penyakit jantung.

Dalam sebuah studi yang dilakukan di Inggris oleh Different Strokes, dari 3.000 orang pekerja umur muda pasca stroke, 75% dari responden mengatakan mereka ingin kembali bekerja, tetapi, 48% mengatakan mereka tidak merasa cukup sehat. Pada studi yang sama, sampel yang lebih kecil memberi alasan untuk tidak kembali bekerja karena 43 orang dipaksa untuk pensiun oleh pengusaha (18,5%), 70 orang tidak dapat memenuhi target pekerjaan (30,2%), 71 orang tidak bisa mengemudi/menggunakan kendaraan umum (30,6%), 74 orang takut kehilangan manfaat asuransi (31,9%), 141 orang tidak cukup fit untuk bekerja (60,7%), 144 orang tidak bisa lagi melakukan pekerjaan sebelumnya (62,0%). Studi lain menunjukkan menunjukkan bahwa pada saat pekerja pasca stroke kembali untuk bekerja, lingkungan pekerjaan malah belum dapat memberikan dukungan. Dari 339 orang dalam studi yang segera kembali bekerja setelah mengalami stroke, hanya 59 orang (17%) yang masih bekerja hingga lebih dari setahun. Sekitar 80 orang tidak dapat bekerja karena cacat atau mengalami gangguan kesehatan lainnya dan 32 orang dipensiunkan. (1)

I.2 PermasalahanMengingat bahwa stroke merupakan penyakit degeneratif yang gejalanya sebagian besar bersifat menetap, maka dipandang perlu untuk menentukan kelaikan kerja seseorang yang pulih dari serangan stroke untuk dapat bekerja kembali.

I.3 Tujuan Penulisan MakalahMenjelaskan langkah-langkah untuk menetapkan kelaikan kerja penderita stroke yang telah mengalami proses pemulihan berdasarkan 7 langkah penetapan kelaikan kerja.

I.4 Metode PengkajianI.4.1 Metode Pencarian LiteraturPenelusuran artikel terutama dilakukan melalui Google Scholar, ProQuest, ScienceDirect, dan SpringerLink. Kata kunci yang digunakan adalah stroke AND return to work, stroke AND fit to work.

I.4.2 Metode Pemilihan LiteraturJurnal atau artikel penelitian yang akan dibahas haruslah memiliki persyaratan sebagai berikut:a. Jumlah sampel penelitian haruslah cukup.b. Metode penyeleksian sampel dijelaskan dengan cermat.c. Artikel harus memuat prosedur penelitian dengan terperinci, dan jikalau perlu prosedur penelitian bersifat reproducible.d. Harus ada pelaporan nilai p dan/atau CI.e. Hasil penelitian bermakna secara medis.

ILUSTRASI KASUS

I.5 AnamnesaI. Identitas PasienNama:Tn. ST Umur:70 tahunJenis kelamin:Laki-lakiStatus perkawinan:MenikahKedudukan dalam keluarga:Kepala KeluargaAgama:KatholikPendidikan:S1Pekerjaan:Pemborong bangunan

II. Keluhan PasienA. Keluhan UtamaTangan dan kaki sebelah kiri terasa lemas sejak 4 hari sebelumnya.

B. Keluhan LainTidak ada.

C. Riwayat Perjalanan Penyakit SekarangPasien merasa tangan dan kaki sebelah kiri terasa lemas sejak 4 hari sebelumnya. Pasien merasa jika berjalan kaki, kaki sebelah kirinya terasa lebih berat, dan jalannya pun cenderung miring ke arah kiri. Ketika pulang bekerja mengendarai mobil, tangan kiri terasa kurang kuat memegang setir, sehingga mobil yang ia kendarai hampir menabrak ke sisi kiri. Ia mengaku masih bisa berjalan dan naik turun tangga, meskipun tidak bisa cepat-cepat seperti sebelumnya. Pada awalnya, Pasien menganggap keluhannya ini masuk angin biasa, dan berharap hanya dengan istirahat saja, ia bisa sembuh kembali. Namun setelah beberapa hari keluhannya tidak kunjung membaik, Pasien memutuskan untuk berobat ke RS setelah didesak oleh isterinya.

Keluhan kesemutan dan baal-baal atau mati rasa tidak ada. Keluhan sakit kepala sebelumnya disangkal. Kesulitan menelan tidak dialami Pasien. Pembicaraan Pasien masih jelas, namun mengalami perlambatan dalam merespon pembicaraan.

Setelah menjalani medical check-up di sebuah RS di Jakarta, Pasien didiagnosa menderita stroke, dan dikonsultasikan ke dokter spesialis saraf.

D. Riwayat Penyakit DahuluPasien mempunyai riwayat penyakit asam urat sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu. Riwayat DM, hipertensi, alergi, penyakit ginjal, dan penyakit jantung disangkal. Riwayat dislipidemia tidak diketahui, namun Pasien mempunyai riwayat gemar makanan yang digoreng dan berkuah santan.

E. Riwayat Penyakit KeluargaRiwayat stroke dalam keluarga (+) kakak Pasien. Riwayat hipertensi (+) ayah pasien. Riwayat penyakit jantung dalam keluarga (+) kakak Pasien.

F. Anamnesa Okupasi1. Jenis PekerjaanJenis pekerjaanBahan/material yang digunakanTempat Kerja (perusahaan)Masa kerja(dalam bulan / tahun)

Pemborong bangunan

Tanah, pasir, semen, kayu, cat, batu, dll.Proyek bangunan sesuai dengan permintaan pengguna jasa (klien)Kurang lebih 30 tahun (6 hari seminggu, kira-kira 8-12 jam sehari)

Pemilik toko kelontongBahan-bahan pokok, kebutuhan rumah tangga, dll.Toko kelontongKurang lebih 20 tahun (6 hari seminggu, 10 jam sehari)

2. Uraian TugasPasien bekerja sebagai pemborong bangunan di luar Pulau Jawa. Pasien rutin bangun pagi pada pukul 6.00 untuk mandi, sarapan, dan bersiap-siap berangkat menuju lokasi proyek milik kliennya. Dalam sehari, pasien dapat meninjau beberapa lokasi proyek (sekitar 2-3 proyek dalam sehari). Ada klien yang meminta jasa untuk merenovasi bangunannya, ada juga yang meminta jasa untuk membangun ruko, gudang, rumah tinggal, dll. dari tanah kosong. Pasien tidak pernah menentukan waktu khusus untuk bertemu dengan kliennya. Kebanyakan klien bertemu dengan pasien sebelum waktu makan siang.

Dalam melakukan pekerjaannya, pasien dibantu oleh beberapa orang mandor dan banyak pekerja. Total pekerja sekitar 30 sampai 40-an orang, yang terdiri atas tukang batu, tukang kayu, tukang besi, tukang cat, dan buruh-buruh bangunan yang tersebar di berbagai lokasi proyek.

Sesampainya di lokasi proyek (sekitar pukul 8.00), pasien dengan ditemani mandor bangunan langsung meninjau secara langsung hasil kerja para tukang dan buruh bangunan sambil memberi pengarahan kepada sang mandor. Adapun hasil kerja para tukang dan buruh bangunan yang dicek adalah kerapihan hasil pengecatan, hasil timbunan tanah, campuran semen, penyusunan bata dan keramik, dll. Dengan kata lain, pasien tidak bertindak langsung dalam proses pengerjaan suatu bangunan, melainkan hanya mengobservasi dan memberikan pengarahan. Bila pasien tidak puas dengan hasil kerja tukang dan buruhnya, maka dia akan langsung menegur mandor maupun pekerja yang tidak melaksanakan tugas dengan baik. Kadang-kadang teguran yang diberikan sifatnya cukup keras, sehingga menimbulkan gejolak emosi bagi pasien. Belum lagi jika berjumpa dengan klien yang cerewet, maka makin bertambah stress-lah pasien. Waktu meninjau lokasi proyek, pasien sama sekali tidak menggunakan alat pelindung diri apa pun, baik topi, masker, sepatu khusus, dll., padahal di lokasi proyek banyak sekali debu dan paparan uap cat yang baunya pekat. Menurut pasien, hal tersebut adalah hal yang wajar jika terpajan dengan bahan-bahan (material) bangunan.

Jika pasien membutuhkan material bangunan untuk proyeknya, maka pasien sendiri yang memesan langsung material bangunan (semen, pasir, batu bata, cat, dll.) dari agen/penyalur bahan bangunan, penjual bahan kayu (pintu, kusen, jendela, dll.), batu, ataupun tanah (untuk menimbun pondasi bangunan). Faktor resiko pajanan pasien bertambah berat dengan mengunjungi penjual material bangunan tersebut.

Siang harinya, sekitar pukul 12 siang, pasien menyempatkan diri pulang ke rumah untuk makan siang, sehabis itu istirahat sejenak kira-kira 1-2 jam.

Sekitar pukul 14.00, pasien kembali meninjau proyeknya untuk melaksanakan kegiatan rutinnya seperti pada pagi hari hingga siang harinya untuk melihat kemajuan yang sudah dicapai pekerjanya.

Biasanya pasien sampai di rumahnya sekitar pukul 17.30. Sesampainya di rumah, pasien langsung mandi, makan, dan istirahat sejenak sambil menonton televisi. Terkadang sisa waktu hingga malam hari sebelum tidur digunakan untuk membaca surat kabar, atau mempelajari gambar rancangan bangunan, serta membuat rencana anggaran biaya pembangunan yang harus ditanggung kliennya. Dalam merancang desain bangunan, terkadang pasien menggambar rancangan bangunannya sendiri, ataupun sesuai dengan gambar rancangan yang diinginkan kliennya. Setelah semua urusannya selesai, barulah sekitar pukul 22.00-23.00 pasien tidur.

3. Bahaya PotensialUrutan kegiatanBahaya PotensialGangguan kesehatan yang mungkinRisiko kecelakaan kerja

FisikKimiaBiologiErgonomiPsiko

1. Berangkat dan pulang kerja dengan mobil Debu jalanan Suhu panas Sinar matahari (UV, IR) Vibrasi Bising karena suara motor Emisi gas buang kendaraan bermotor (CO, Pb, SO2,NO2) Virus Bakteri Posisi duduk lama (statis) di atas sepeda motor Kejenuhan karena macet Gangguan saluran napas (ISPA, Asma, Rhinitis alergika) Gangguan mata (iritasi mata, katarak, pterigium) Gangguan muskuloskeletal (mialgia, LBP, hand-arm vibration syndrome) Stress karena macet Kecelakaan Lalu Lintas

2. Meninjau lokasi proyek (mengecek pondasi bangunan, susunan keramik lantai, batu bata, dan atap bangunan, serta mengecek hasil pengecatan bangunan) Kebising-an Suhu panas Sinar matahari (UV, IR) Debu Semen Pasir Uap bahan pelarut cat Posisi janggal Posisi statis Stressor di lokasi proyek karena pekerjaan yang tidak sesuai harapan NIHL Dermatitis kontak iritan Pneumokoniosis Silikosis Pneumonitis Iritasi mata Iritasi saluran napas Myalgia Low Back Pain Stress kerja Terjatuh dari ketinggian Terpeleset Kaki tertusuk benda tajam

3. Memesan material bangunan Semen Pasir Iritasi mata Iritasi saluran napas

4. Menggambar rancangan bangunan dan membuat rencana anggaran biaya pembangun-an Duduk lama Kerja dalam posisi statis jangka waktu lama Myalgia Low Back Pain

4. Hubungan Pekerjaan Dengan Penyakit Yang DialamiKeluhan timbul tidak berhubungan dengan pekerjaannya, namun dirasakan memberat terutama pada waktu terlalu lelah, dan berkurang sedikit apabila pasien beristirahat.

I.6 Pemeriksaan Fisik1. Tanda Vitala. Nadi:80 kali/menitb. Pernapasan:16 kali/menitc. Tekanan darah:120/80 mmHg d. Suhu badan:36,7 C2. Status Gizia. Tinggi badan:165 cmb. Berat badan:63 kgc. IMT:24,14 kg/m2 d. Bentuk badan:atletikus3. Tingkat Kesadaran dan Keadaan Umuma. Kesadaran:compos mentisb. Tampak kesakitan:tidak4. Kelenjar Getah Beninga. Leher:normalb. Submandibula:normalc. Ketiak:normald. Inguinal:normal5. Mata(Kanan)(Kiri)a. Persepsi warna:tidak diperiksatidak diperiksab. Kelopak mata:normalnormalc. Bulu mata:normalnormald. Konjungtiva:tidak anemistidak anemise. Kesegarisan bola:ortoforia, strabismus (-)ortoforia, strabismus (-)mataf. Gerakan bola mata:simetrissimetrisg. Sklera:tidak ikteriktidak ikterikh. Lensa mata:jernihjernihi. Visus:tidak diperiksatidak diperiksa6. Telinga(Kanan)(Kiri)a. Daun telinga:normalnormalb. Liang telinga:normalnormalc. Serumen:tidak adatidak adad. Membrana timpani:intak, perforasi (-)intak, perforasi (-)7. Hidung dan Sinus Paranasala. Meatus nasi:normalb. Septum nasi:tidak ada deviasic. Konka nasal:normal/normald. Nyeri ketok sinus:nyeri (-)/(-)maksilar8. Gigi dan Gusia. Gigi:oral hygiene baikb. Gusi:normalc. Lidah: deviasi ke arah kiri9. Tenggorokana. Pharynx:hiperemis (-), granulasi (-)b. Tonsil:T1/T1, hiperemis (-)/(-), granulasi (-)/(-)c. Palatum:normal10. Lehera. Kelenjar tiroid:normalb. Pulsasi carotis:bruit (-)c. Tek.V. Jugularis:5 2 cm H2Od. Trachea: di tengah11. Dadaa. Bentuk:simetris dalam statis dan dinamis, pelebaran sela iga (-), napas cuping hidung (-), barrel chest (-), penggunaan otot bantu napas (-), venektasi (-)b. Mammae:normal, tumor (-)/(-)12. Paru2 & Jantung(kanan)(kiri)a. Palpasi:stem fremitus normalstem fremitus normalb. Perkusi:sonorsonor Iktus kordis:normal Batas jantung:sulit ditentukanc. Auskultasi: Bunyi napas: vesikulervesikuler Bunyi napas:ronchi (-), wheezing (-)ronchi (-), wheezing (-)tambahan Bunyi jantung:BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)13. Abdomena. Inspeksi:tidak tampak ascitesb. Palpasi:soepel Nyeri tekan:tidak ada Hati:tidak teraba membesar Limpa:tidak teraba membesar Ginjal:tidak ada kelainanc. Perkusi:timpani, nyeri costo-vertebrae (-), ballotement (-)d. Auskultasi: Bising usus: normal14. Genitourinariaa. Kandung kemih:tidak diperiksab. Anus/perianal:tidak diperiksac. Genitalia externa:tidak diperiksa15. Ekstremitas atas(kanan)(kiri)a. Gerakan:normalnormalb. Tulang:normalnormalc. Sensibilitas:baikbaikd. Edema:tidak adatidak adae. Varises:tidak adatidak adaf. Kekuatan otot:5/5/5/54/4/4/4g. Vaskularisasi:baikbaikh. Kelainan kuku jari:tidak adatidak ada16. Ekstremitas bawah(kanan)(kiri)a. Gerakan:normalnormalb. Tulang:normalnormalc. Sensibilitas:baikbaikd. Edema:tidak adatidak adae. Varises:tidak adatidak adaf. Kekuatan otot:5/5/5/54/4/4/4g. Vaskularisasi:baikbaikh. Kelainan kuku jari:tidak adatidak ada17. Refleksa. Refleks fisiologis (Patella): positif / positifb. Refleks fisiologis (Babinsky) : negatif / negatif

I.7 Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan Laboratorium

Nama TestHasilUnitNilai Rujukan

KIMIA KLINIK

Glukosa darah puasa93mg/dl70 110

Glukosa darah 2 jam PP106mg/dl70 140

Ureum34mg/dl15 39

Kreatinin1,29mg/dl0,8 1,5

Trigliserida168mg/dl< 150 : yang diinginkan150 199 : batas tinggi 200 : tinggi

Kolesterol total189mg/dl< 200 : yang diinginkan200 239 : batas tinggi 240 : tinggi

Kolesterol HDL48mg/dl< 40 : rendah 60 : tinggi

Kolesterol LDL117mg/dl190 : sangat tinggi

Pemeriksaan MRI Brain (hari ke-4)

Gambaran Diffusion Weighted MRI tampak gambaran subacut infark di basal ganglia/paraventrikel lateral serta cortex parietal kanan. Intracerebral tidak tampak gambaran infark lama / s.o.l. / perdarahan.Axial Flair tampak deep white matter brain ischemic foci di batang otak bagian kanan. Susunan ventrikel di tengah, simetris, agak melebar.Cerebellum dalam batas normal.

I.8 Diagnosis KerjaDari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Pasien (Tn. ST), maka disimpulkan bahwa diagnosis kerjanya adalah Stroke Iskemik.

I.9 Tata Laksana 1. Medikamentosa: Neurotropik: Piracetam 800 mg 2x1 Citicolin 500 mg 1x1 Antiplatelet agregasi: Ascardia 80 mg 1x1 Clopidogrel 75 mg 1x1 Anti lipidemik: Atorvastatin 20 mg 2x1 selama 2 minggu, lanjutkan dengan dosis 20 mg 1x1

2. Non medika mentosa (saran/konseling): Anjuran: pemeriksaan Digital Subtraction Angiography (DSA) disertai pemberian heparin intravaskuler untuk diagnostik dan terapi supportif Kontrol profil lemak darah setiap 3 bulan. Makan rendah lemak; hindari makan goreng-gorengan dan makanan bersantan dan seafood selain ikan. Makan makanan tinggi serat, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran Olah raga ringan (non aerobic, dengan selama 30 menit per hari dengan target heart rate = 90-100 x/menit), misalnya jalan kaki, 5 kali dalam seminggu. Anjuran untuk kontrol 2 minggu kemudian, kontrol pengobatan yang teratur setiap 3 bulan.

TINJAUAN PUSTAKA

I.10 StrokeStroke (bahasa Inggris: stroke, cerebrovascular accident, CVA) adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi biokimia, yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel saraf di otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan itu. Stroke adalah penyebab kematian yang ketiga di Amerika Serikat dan banyak negara industri di Eropa (Jauch, 2005). Bila dapat diselamatkan, kadang-kadang penderita mengalami kelumpuhan di anggota badannya, hilangnya sebagian ingatan atau kemampuan bicaranya. Beberapa tahun belakangan ini makin populer istilah serangan otak. Istilah ini berpadanan dengan istilah yang sudah dikenal luas, "serangan jantung".

Stroke terjadi karena cabang pembuluh darah terhambat oleh emboli. Emboli bisa berupa kolesterol atau udara.

I.10.1 Klasifikasi StrokeStroke dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama: iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan oleh gangguan suplai darah, sementara stroke hemoragik adalah stroke akibat pecahnya pembuluh darah atau struktur pembuluh darah abnormal. Sekitar 87% dari stroke disebabkan oleh iskemia, dan sisanya oleh perdarahan. Beberapa perdarahan berkembang di dalam area iskemia ("transformasi hemoragik"). Tidak diketahui berapa banyak perdarahan benar-benar mulai sebagai stroke iskemik.

A. Stroke IskemikDalam stroke iskemik, suplai darah ke bagian otak menurun, menyebabkan disfungsi jaringan otak di daerah yang terkena. Ada empat alasan mengapa hal ini mungkin terjadi:1. Trombosis (obstruksi pembuluh darah oleh bekuan darah yang terbentuk secara lokal)2. Embolisme (obstruksi akibat embolus yang terbentuk dan terbawa dari tempat lain di tubuh),3. Hipoperfusi sistemik (penurunan suplai darah secara umum, misalnya, dalam kasus syok)4. Trombosis vena.Stroke tanpa penjelasan yang jelas disebut "kriptogenik" (asal tidak diketahui); ini merupakan 30-40% dari semua stroke iskemik.Penyumbatan pembuluh darah pada stroke iskemik dapat terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri carotis interna merupakan cabang dari arteri carotis communis sedangkan arteri vertebralis merupakan cabang dari arteri subclavia.

B. Stroke HemorragikDalam stroke hemorragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Pendarahan dapat terjadi di seluruh bagian otak seperti caudate putamen; talamus; hipokampus; frontal, parietal, dan occipital cortex; hipotalamus; area suprakiasmatik; cerebellum; pons; dan midbrain. Hampir 70 persen kasus stroke hemorragik menyerang penderita hipertensi.Stroke hemorragik terbagi menjadi subtipe intracerebral hemorrhage (ICH), subarachnoid hemorrhage (SAH), cerebral venous thrombosis, dan spinal cord stroke. ICH lebih lanjut terbagi menjadi parenchymal hemorrhage, hemorrhagic infarction, dan punctate hemorrhage.

I.10.2 Epidemiologi Insidens terjadinya stroke di Amerika Serikat lebih dari 700.000 orang per tahun, dimana 20% darinya akan mati pada tahun pertama. Jumlah ini akan meningkat menjadi 1 juta per tahun pada tahun 2050. Secara internasional insidens global dari stroke tidak diketahui (Becker, dkk, 2010).

Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada. Tetapi dari data sporadik di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka morbiditas stroke, yang seiring dengan semakin panjangnya life expentancy dan gaya hidup yang berubah (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009)

Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia dilaporkan bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986. Sedangkan di Jogyakarta pada penelitian Lamsudin dkk (1998) dilaporkan bahwa proporsi morbiditas stroke di rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan kecendrungan meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita) dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per 100 penderita) (Sjahrir, 2003).

Dari studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001, ternyata pada 12 rumah sakit di Medan dirawat 1263 kasus stroke terdiri dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, dimana meninggal 201 orang (15,91%) terdiri dari 98 (11,93%) stroke iskemik dan 103 (23,30%) stroke hemoragik. (Nasution, 2007).

I.10.3 PatofisiologiPada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark otak (Becker, dkk, 2010).

Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel-sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi-fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami kematian (Misbach, 2007).

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003):Tahap 1 :a. Penurunan aliran darahb. Pengurangan O2 c. Kegagalan energi d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ionTahap 2 :a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ionb. Spreading depressionTahap 3 : Inflamasi Tahap 4 : Apoptosis

I.10.4 Faktor-faktor RisikoPenelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-faktor yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya stroke. Faktor risiko timbulnya stroke :

1. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi: Tekanan darah tinggi, di atas 120/80 mmHg Merokok, atau terpajan dengan asap rokok (perokok pasif) Kolesterol tinggi: kolesterol total di atas 200 mg/dl, atau 5,2 mmol/l Diabetes mellitus Overweight atau obese Gaya hidup menetap (sedentary) Obstructive sleep apnea Penyakit kardiovaskuler (riwayat gagal jantung, kelainan jantung, miokarditis, atau gangguan irama jantung) Penggunaan pil KB yang mengandung estrogen Ketergantungan alkohol Penggunaan narkoba seperti kokain dan metamfetamin.

2. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi: Riwayat pribadi atau keluarga penderita stroke, serangan jantung, atau Transient Ischemic Attack (TIA) Usia di atas 55 tahun. Ras dan suku bangsa Jenis kelamin: pria lebih berisiko terkena stroke daripada wanita, namun serangan stroke pada wanita umumnya bersifat lebih fatal.

I.10.5 DiagnosisDiagnosis stroke adalah secara klinis beserta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain CT scan kepala, MRI. Untuk menilai kesadaran penderita stroke dapat digunakan Skala Koma Glasgow. Untuk membedakan jenis stroke dapat digunakan berbagai sistem skor, seperti Skor Stroke Siriraj, Algoritma Stroke Gajah Mada, atau Algoritma Junaedi.

Tanda-tanda dan gejala stroke yang paling sering, antara lain: Tiba-tiba mati rasa atau lumpuh atau kelemahan pada lengan, wajah, atau kaki. Kebingungan mendadak Kesulitan berbicara, bicara pelo, cedal atau sulit memahami kata-kata orang lain. Gangguan penglihatan secara tiba-tiba pada satu atau kedua mata. Pusing mendadak, kesulitan berjalan, atau kehilangan keseimbangan atau koordinasi. Mendadak sakit kepala parah dengan tidak diketahui penyebabnya.

Tanda-tanda dan gejala stroke selalu datang tiba-tiba. Jika gejala hilang setelah beberapa menit, Anda mungkin mengalami mini-stroke atau stroke ringan disebut juga transient ischemic attack (TIA). TIA tidak menimbulkan kerusakan permanen tetapi dapat menjadi tanda peringatan dari stroke yang sesungguhnya akan dan harus mendapatkan pertolongan segera.

I.10.6 PenatalaksanaanPenderita stroke akut biasanya diberikan microplasmin, oksigen, dipasang infus untuk memasukkan cairan dan zat makanan, kemudian diberikan manitol atau kortikosteroid untuk mengurangi pembengkakan dan tekanan di dalam otak, akibat infiltrasi leukosit. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kelumpuhan dan gejala lainnya bisa dicegah atau dipulihkan jika recombinan tissue plasminogen activator (rtPA) atau streptokinase yang berfungsi menghancurkan emboli diberikan dalam waktu 3 jam, setelah timbulnya stroke. Trombolisis dengan rtPA terbukti bermanfaat pada manajemen stroke akut, walaupun dapat meningkatkan risiko pendarahan otak, terutama pada area sawar darah otak yang terbuka.

Metode perawatan hemodilusi dengan menggunakan albumin masih kontroversial, namun penelitian oleh The Amsterdam Stroke Study memberikan prognosis berupa penurunan angka kematian dari 27% menjadi 16%, peningkatan kemandirian aktivitas dari 35% menjadi 48%, saat 3 bulan sejak terjadi serangan stroke akut.

I.10.7 PemulihanSerangan stroke terkait dengan keterbatasan pulihnya fungsi otak, meskipun area peri-infark menjadi lebih bersifat neuroplastik sehingga memungkinkan perbaikan fungsi sensorimotorik melakukan pemetaan ulang di area otak yang mengalami kerusakan. Di tingkat selular, terjadi dua proses regenerasi dalam korteks peri-infark, akson akan mengalami perubahan fenotipe dari neurotransmiter ke dalam status regeneratif, dan menjulurkan tangkainya untuk membuat koneksi baru di bawah pengaruh trombospondin, laminin, dan NGF hasil sekresi sel Schwann, dan terjadi migrasi sel progenitor neuron ke dalam korteks peri-infark. Hampir sepanjang 1 bulan sejak terjadi serangan stroke, daerah peri-infark akan mengalami penurunan molekul penghambat pertumbuhan, sehingga terjadi semacam neurogenesis dan angiogenesis.

I.10.8 PencegahanDalam manusia tanpa faktor risiko stroke dengan umur di bawah 65 tahun, risiko terjadinya serangan stroke dalam 1 tahun berkisar pada angka 1%. Setelah terjadinya serangan stroke ringan atau TIA, penggunaan senyawa anti-koagulan seperti warfarin, salah satu obat yang digunakan untuk penderita fibrilasi atrial, akan menurunkan risiko serangan stroke dari 12% menjadi 4% dalam satu tahun. Sedangkan penggunaan senyawa anti-platelet seperti aspirin, umumnya pada dosis harian sekitar 30 mg atau lebih, hanya akan memberikan perlindungan dengan penurunan risiko menjadi 10,4%. Kombinasi aspirin dengan dipyridamole memberikan perlindungan lebih jauh dengan penurunan risiko tahunan menjadi 9,3%.

Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya stroke adalah dengan mengidentifikasi orang-orang yang berisiko tinggi dan mengendalikan faktor risiko stroke sebanyak mungkin, seperti kebiasaan merokok, hipertensi, dan stenosis di pembuluh karotid, mengatur pola makan yang sehat dan menghindari makanan yang mengandung kolesterol jahat (LDL), serta olaraga secara teratur. Stenosis merupakan efek vasodilasi endotelium yang umumnya disebabkan oleh turunnya sekresi NO oleh sel endotelial, dapat diredam asam askorbat yang meningkatkan sekresi NO oleh sel endotelial melalui lintasan NO sintase atau siklase guanilat, mereduksi nitrita menjadi NO dan menghambat oksidasi LDL di lintasan aterosklerosis.

Beberapa institusi kesehatan seperti American Heart Association atau American Stroke Association Council, Council on Cardiovascular Radiology and Intervention memberikan panduan pencegahan yang dimulai dengan penanganan seksama berbagai penyakit yang dapat ditimbulkan oleh aterosklerosis, penggunaan senyawa anti-trombotik untuk kardioembolisme dan senyawa anti-platelet bagi kasus non-kardioembolisme, diikuti dengan pengendalian faktor risiko seperti arterial dissection, patent foramen ovale, hiperhomosisteinemia, hypercoagulable states, sickle cell disease; cerebral venous sinus thrombosis; stroke saat kehamilan, stroke akibat penggunaan hormon pasca menopause, penggunaan senyawa anti-koagulan setelah terjadinya cerebral hemorrhage; hipertensi, hipertensi, kebiasaan merokok, diabetes, fibrilasi atrial, dislipidemia, stenosis karotid, obesitas, sindrom metabolik, konsumsi alkohol berlebihan, konsumsi obat-obatan berlebihan, konsumsi obat kontrasepsi, mendengkur, migrain, peningkatan lipoprotein dan fosfolipase.

I.10.9 Kembali Bekerja Pasca Serangan Stroke (3)Sebuah serangan stroke dapat memiliki dampak besar pada setiap aspek kehidupan seseorang, termasuk dirinya atau pekerjaannya. Kebanyakan penderita membutuhkan cuti bekerja selama berbulan-bulan pasca serangan stroke. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hanya sekitar setengah dari penderita stroke dapat kembali bekerja, dan cacat menetap dan depresi adalah penyebab utama seseorang tidak melanjutkan kembali pekerjaannya.

Meskipun stroke sering diasosiasikan dengan usia lanjut (para pensiunan), sekitar 20% kasus stroke sebenarnya terjadi pada orang-orang usia produktif. Karena saat ini penderita pasca serangan stroke memiliki tingkat kelangsungan hidup yang cukup tinggi, kondisi tersebut dapat memiliki dampak yang nyata pada dunia kerja.

Kelemahan tubuh, gangguan bicara, dan gangguan pergerakan adalah permasalahan yang sering terjadi pasca stroke, dan dapat menyebabkan cacat jangka panjang bagi banyak pasien. Seringkali penderita stroke juga mengalami depresi dan masalah kejiwaan lainnya. Semua faktor ini dapat berkontribusi pada keputusan untuk tidak kembali bekerja.

Untuk menilai dampak stroke terhadap lapangan kerja, sekelompok peneliti di Australia dan Selandia Baru meneliti 210 pasien yang sebelumnya bekerja (rata-rata usia 55) yang telah mengalami stroke pertama antara 2002 dan 2003. Peneliti menilai pasien segera setelah stroke, kemudian lagi pada satu dan enam bulan sesudahnya. Hasilnya, lima puluh tiga persen pasien mampu kembali bekerja penuh waktu dalam beberapa bulan pasca serangan stroke. Dengan kata lain, lebih dari setengah dari pasien stroke dapat kembali bekerja. Akan tetapi, dokter yang merawat pasien stroke harus secara kontinyu menilai mood pasien setelah stroke, karena hal tersebut merupakan prediktor terpenting apakah pasien akan kembali bekerja atau tidak.

Depresi memang memiliki dampak yang signifikan dan independen terhadap status pekerjaan setelah stroke. Empat puluh lima persen pasien yang tidak kembali bekerja pada enam bulan mengalami depresi, dibandingkan dengan 33% dari mereka yang kembali bekerja. Hanya 30% dari pasien dengan depresi setelah menderita stroke dilaporkan menerima pengobatan depresinya. Para peneliti menyarankan bahwa jika anggota keluarga menyadari bahwa pasien mengalami depresi setelah stroke, sebaiknya meminta pemeriksaan dan campur tangan dokter jika diperlukan. Depresi pasca-stroke dapat dengan mudah diobati, dan pengobatan dapat membantu pasien, keluarga, dan masyarakat.

Determinan penting lainnya dalam menentukan apakah pasien bisa kembali bekerja adalah derajat keparahan stroke dan impairment, serta kemampuan pasien untuk merawat diri sendiri secara mandiri. Tujuh puluh satu persen dari mereka yang kembali bekerja dalam kurun waktu enam bulan setelah stroke, dinilai "independen" pada skala kemampuan perawatan diri yang disebut Indeks Barthel, dibandingkan dengan hanya 32% dari mereka yang tidak kembali bekerja. Peneliti mengatakan orang-orang yang berfungsi dengan baik setelah stroke harus mempertimbangkan rehabilitasi vokasional, yang dapat membantu mereka membuat transisi kembali ke dunia kerja.

Masalah fisik yang dihadapi oleh penderita kelumpuhan pasca stroke sangat berdampak pada aktivitas sehari-hari individu. Keterbatasan yang dialami oleh penderita kelumpuhan pacsa stroke akan sangat mempengaruhi kehidupan penderita. Untuk melihat tingkat keparahan kelumpuhan atau kecacatan stroke, berikut ada skala yang digunakan yaitu skala kecacatan stroke (the modified Rankin Scale):1) Kecacatan derajat 0. Tidak ada gangguan fungsi.2) Kecacatan derajat 1. Hampir tidak ada gangguan fungsi pada aktivitas sehari-hari atau gangguan minimal. Pasien mampu melakukan tugas dan kewajiban sehari-hari.3) Kecacatan derajat 2 (Ringan). Pasien tidak mampu melakukan beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi tetap dapat melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.4) Kecacatan derajat 3 (Sedang). Pasien memerlukan bantuan orang lain, tetapi masih mampu berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin membutuhkan tongkat.5) Kecacatan derajat 4 (Sedang). Pasien tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain, perlu bantuan orang lain untuk menyelesiakan sebagian aktivitas diri seperti mandi, pergi ketoilet, merias diri, dan lain-lain.6) Kecacatan derajat 5 (Berat). pasien terpaksa terbaring ditempat tidur dan kegiatan buang air dan besar dan kecil tidak terasa (inkontinesia), memerlukan perawatan dan perhatian.

I.11 Tinjauan JurnalI.11.1 Indicators for Return to Work After Stroke and The Importance of Work For Subjective Well-Being and Life Satisfaction (4)Penelitian ini dilakukan oleh Vestling, dkk. yang diterbitkan dalam jurnal Journal of Rehabilitation Medicine tahun 2009. Penelitian ini berfokus pada hal-hal yang mempengaruhi pekerjaan subyek pasca serangan stroke. Faktor-faktor yang diteliti antara lain kesiapan kembali bekerja, kesejahteraan subyektif, dan kepuasan hidup. Penelitian dilakukan pada 120 pasien yang menjalani rehabilitasi pasca stroke, dengan cara menganalisis rekam medis dan mengirim kuesioner lewat pos. Hasil penelitian adalah 41% subyek kembali bekerja, namun ada perubahan-perubahan dalam hal jenis pekerjaan, tugas-tugas, dan jam kerja. Individu yang kembali bekerja pasca serangan stroke melaporkan tingkat kesejahteraan subyektif dan kepuasan hidup yang lebih tinggi secara signifikan. Faktor-faktor yang paling menentukan kesiapan untuk kembali bekerja adalah kemampuan berjalan kembali seperti biasa (odds ratio = 3,98), diikuti oleh pekerja kerah putih (odds ratio = 2,99), dan kapasitas kognitif yang dapat dipertahankan (odds ratio = 2,64). Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dapat kembali bekerja adalah faktor terpenting dalam hal kesejahteraan subyektif dan kepuasan hidup. Tiga faktor yang merupakan indikasi kesiapan kembali bekerja telah berhasil diidentifikasi, sehingga dapat menjadi landasan penyusunan program rehabilitasi vokasional selanjutnya.

I.11.2 Working After a Stroke: Survivors Experiences And Perceptions of Barriers to and Facilitators of The Return to Paid Employment (5)Penelitian ini dilakukan oleh Alaszewski, dkk. yang diterbitkan dalam jurnal Disability and Rehabilitation tahun 2007. Penelitian ini mengevaluasi hubungan antara subyek dengan pekerjaannya setelah serangan stroke, dan menelusuri pengalaman mereka dengan berbagai penghalang dan fasilitator kembalinya ke pekerjaan semula. Penelitian yang bersifat kualitatif ini menelusuri pengalaman dan pemulihan 43 orang subyek yang berusia di bawah 60 tahun yang selamat dari serangan stroke. Para partisipan yang pernah mengalami stroke kurang dari 3 bulan sebelumnya, dan yang mampu menjalani wawancara, direkrut dari tiga tempat unit perawatan stroke. Setiap partisipan diwawancara selama empat kali berturut-turut selama periode 18 bulan, dan diminta untuk membuat catatan harian atas pengalamannya selama 1 minggu setiap bulannya. Pada saat terserang stroke, minoritas sampel (12,28% dari sampel asli) yang tidak terlibat secara aktif di pasar tenaga kerja, tidak kembali bekerja selama periode di mana mereka terlibat dalam penelitian ini. Dari 31 peserta yang bekerja pada saat stroke, 13 orang belum kembali bekerja selama periode di mana mereka terlibat dalam penelitian ini, enam orang yang kembali bekerja setelah tiga bulan kemudian dan 9 orang kembali bekerja di bawah tiga bulan, dan dalam beberapa kasus hampir segera setelah stroke. Para peserta dalam penelitian ini semua menghargai pekerjaannya dan merasa bahwa bekerja, terutama dalam jenis pekerjaan dengan bayaran, lebih diinginkan daripada tidak bekerja. Para peserta yang tidak bekerja pada saat stroke atau yang belum kembali bekerja selama periode studi ini juga mendukung pandangan ini. Namun mereka merasa bahwa ada berbagai hambatan dan masalah praktis yang mencegah mereka bekerja dan dalam beberapa kasus telah menyesuaikan diri untuk hidup tanpa pekerjaan dengan bayaran. Hubungan Peserta dengan pekerjaan dipengaruhi oleh penghalang dan fasilitator. Penilaian positif atas pekerjaan dimodifikasi oleh konteks terhadap stroke; bagi beberapa peserta pekerjaan adalah penyebab stress dan sebagian lain berpendapat bahwa bekerja adalah salah satu cara untuk menunjukkan pemulihan dari stroke. Nilai dan makna bervariasi antara peserta dan variasi ini terkait dengan pengalaman masa lalu dan riwayat hidup. Peserta yang ingin bekerja menunjukkan bahwa kemampuan mereka untuk bekerja dipengaruhi oleh sifat dan tingkat cacat residual mereka. Sekelompok kecil peserta memiliki cacat residual parah yang mengelola kehidupan sehari-hari adalah sebuah tantangan dan bekerja bukanlah prospek yang realistis kecuali situasi mereka berubah secara radikal. Para peserta yang tersisa semuanya melaporkan disabilitas residual. Sejauh mana cacat tersebut membentuk penghalang untuk bekerja tergantung pada berbagai faktor tambahan yang bertindak baik sebagai hambatan atau fasilitator untuk kembali bekerja. Lingkungan kerja yang fleksibel dan jaringan sosial yang mendukung yang dikutip sebagai fasilitator kembali ke pekerjaan dengan bayaran. Sebagai kesimpulan, peserta dalam penelitian ini melihat kembali bekerja sebagai indikator penting pemulihan pasca stroke. Individu yang belum kembali bekerja merasa bahwa pekerjaan dengan bayaran adalah merupakan impian, tetapi mereka tidak bisa mengatasi penghalangnya. Individu yang kembali bekerja mengakui adanya penghalang, namun telah menemukan cara-cara pengelolaannya.

I.11.3 Returning to Work After a Stroke: An Important but Neglected Area (6)Penelitian yang bersifat literature review ini dilakukan oleh Corr & Wilmer yang diterbitkan dalam jurnal British Journal of Occupational Therapy tahun 2003. Peneliti mengulas dua buah studi independen tentang kembali bekerja pasca serangan stroke. Studi pertama menggunakan instrumen Canadian Occupational Performance Measure dan The Role Checklist untuk mengukur persepsi kembali bekerja pada 26 partisipan pasca serangan stroke. Studi kedua menggunakan metode wawancara untuk menentukan perlunya dukungan bagi 6 partisipan yang kembali bekerja pasca serangan stroke. Kedua studi tersebut menyimpulkan bahwa bekerja adalah penting, dan mereka menginginkan agar dapat kembali bekerja secepatnya, dan dibutuhkan pertolongan untuk dapat melakukannya segera. Studi kedua menemukan bahwa terapis okupasi memiliki peran yang terbatas dalam memberikan dukungan dan merekomendasikan keterlibatan mereka lebih besar dalam pekerjaan penyediaan layanan rehabilitasi bagi mereka yang telah mengalami stroke. Temuan dari kedua studi ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan dalam memberikan dukungan yang tepat untuk memungkinkan orang untuk melakukan suatu pekerjaan yang bernilai baik bagi mereka dan masyarakat.

I.11.4 Ethnic Disparities in Stroke : Epidemiology, Acute Care, and Post-acute Outcomes (7)Penelitian ini dilakukan oleh Stansbury, dkk. yang diterbitkan dalam jurnal Stroke tahun 2005. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kesenjangan etnis dalam hal insidens, tingkat keparahan, dan mortalitas stroke, sehingga dapat mengarahkan kepada penanganan yang lebih tepat. Penelitian ini bersifat literature review yang dilakukan terhadap 20 studi yang berbeda, yang masing-masing membahas tentang variasi etnis dalam epidemiologi stroke. Bukti terbaru jelas menegaskan beban yang lebih besar dari penyakit stroke, tingkat kematian dan tingkat keparahan stroke lebih besar pada orang kulit hitam. Bukti kesenjangan dalam perawatan akut dan postakut kurang konklusif, seperti bukti kesenjangan antara kelompok etnis lainnya. Bukti kesenjangan kesehatan di perawatan stroke di seluruh wilayah, dan kelanjutan perawatan bervariasi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kelompok etnis minoritas memiliki insidens lebih tinggi dan tingkatan stroke lebih parah, tetapi variasi dalam prognosis untuk hasil klinis selain kematian tidak menentu. Perlu dilakukan studi lebih banyak lagi yang memperhitungkan variasi etnis regional dalam pengobatan dan hasil, dan dokumentasi yang lebih baik dari hasil stroke di antara kelompok-kelompok lain selain kaum kulit hitam.

I.11.5 Work After Stroke: Focusing on Barriers and Enablers (8)Penelitian ini dilakukan oleh Lock, dkk. yang diterbitkan dalam jurnal Disability & Society tahun 2005. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif yang inklusif (kelompok fokus) untuk mulai mengeksplorasi perspektif penderita stroke sendiri tentang apa yang membantu dan menghambat pekerjaan, baik itu bersifat bayaran atau sukarela, setelah serangan stroke. Penelitian ini dilakukan dalam kemitraan dengan Different Strokes, sebuah organisasi Inggris penderita stroke. Lima diskusi kelompok terfokus diadakan dengan 37 penderita pasca serangan stroke dan 12 pendukung mereka. Data dianalisis dengan menggunakan pendekatan Framework disesuaikan untuk mengidentifikasi seluruh tema dalam dan di antara individu dan kelompok. Faktor-faktor yang mewakili hambatan dan dukungan kerja telah diidentifikasi dalam empat tema utama: proses rehabilitasi, lembaga pemberi kerja, struktur sosial dan pribadi. Studi ini menemukan bukti penindasan sosial melalui infrastruktur, struktur dan praktik institusional, dan sikap beberapa individu. Sementara itu, beberapa pendukung individu, praktik dan strategi telah berhasil diidentifikasi.

I.11.6 The Safety of Driving a Commercial Motor Vehicle After a Stroke (9)Penelitian ini dilakukan oleh Rabadi, dkk. yang diterbitkan dalam jurnal Stroke tahun 2010. Penelitian yang bersifat systematic review ini bertujuan untuk memperbaharui asesmen berkendara para penderita stroke yang terakhir dikeluarkan pada tahun 1988 oleh U.S. Department of Transportations Federal Motor Carrier Safety Administration untuk mengurangi angka kecelakaan, cedera, dan kematian di kalangan pengemudi. Para peneliti mengulas beberapa literatur dan guidelines yang tersedia secara online, termasuk dari Canadian Medical Association Drivers Guide, 7th edition dan Federal Motor Carrier Safety Administration. Pencarian sistematik secara online dilakukan pada MEDLINE, PubMed (PreMEDLINE), EMBASE, PsycINFO, CINAHL, TRIS, dan Cochrane Library (sampai dengan 10 Januari 2008). Kriteria inklusi artikel adalah: (1) telah diterbitkan dalam bahasa Inggris; (2) termasuk publikasi full-length (tidak termasuk abstrak dan surat kepada editor), (3) telah memasukkan 10 subyek per kelompok dengan subyek yang terdaftar berusia 18 tahun ke atas, dan (4) menjadi versi paling lengkap dan referensi utama untuk menghindari penghitungan ganda individu jika studi yang sama dilaporkan dalam beberapa publikasi. Review ini terbagi atas 3 sub penelitian. Sub penelitian pertama mengulas tentang kemungkinan risiko terkena stroke berulang setelah kejadian Transient Ischemic Attack (TIA) pada 13 artikel case control. Ada bukti kuat bahwa orang-orang dengan riwayat TIA berada pada peningkatan risiko stroke. Ada bukti moderat yang menyatakan bahwa peningkatan risiko stroke tertinggi adalah segera setelah TIA dan menurun risikonya seiring berjalannya waktu. Sub penelitian kedua mengulas tentang risiko kecelakaan lalu lintas pada penderita pasca stroke pada 3 artikel. Hasilnya, hanya 2 dari 3 artikel yang mendukung kesimpulan bahwa penderita pasca stroke lebih berisiko mengalami kecelakaan lalu lintas. Oleh karena belum banyak penelitian yang mendukung, belum dapat ditarik kesimpulan bahwa penderita pasca stroke berada pada tingkat risiko tinggi kecelakaan lalu lintas. Sub penelitian ketiga mengulas tentang kesanggupan hasil tes neuropsikologi dalam memprediksi terjadinya kecelakaan lalu lintas pada penderita pasca stroke. Ada bukti moderat yang menunjukkan bahwa tes neuropsikologi tertentu dapat memprediksi hasil kinerja mengemudi dengan mengukur evaluasi mengemudi di klinik. Sayangnya, pengujian ini belum dapat memprediksi terjadinya kecelakaan lalu lintas.Secara umum, penelitian ini merekomendasikan 3 hal: (1) Pengemudi kendaraan dengan riwayat TIA atau stroke ringan tidak diperbolehkan mengemudikan kendaraan dalam jangka waktu 1 tahun pasca serangan, karena periode tersebut berkaitan dengan peningkatan risiko relatif kekambuhan iskemia serebral, (2) Pengemudi kendaraan yang telah bebas dari TIA atau stroke ringan harus menjalani evaluasi mental dan fisik secara menyeluruh oleh seorang dokter spesialis saraf atau dokter lain yang berkompeten dalam diagnosis dan tatalaksana TIA atau stroke, dan yang memiliki pengetahuan tentang gejala sisa stroke; dan ia harus lulus uji penilaian kemampuan berkendara, dan (3) Tes neuropsikologis dapat memberikan petunjuk tentang kecenderungan kelulusan tes evaluasi mengemudi, namun kemampuannya untuk memprediksi kemungkinan risiko kecelakaan pasca stroke masih tetap tidak diketahui.

I.11.7 Frequency of Depression After Stroke: A Systematic Review of Observational Studies (10)Systematic review ini dilakukan oleh Hackett, dkk. yang diterbitkan dalam jurnal Stroke tahun 2005. Peneliti menelaah sejumlah penelitian non eksperimental dari 51 artikel yang dikumpulkan dari tahun 1977 - 2002. Hasilnya, adalah sebanyak 33 % (95% CI, 29-36%) dari semua pasien pasca stroke menderita depresi. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa depresi sembuh secara spontan dalam beberapa bulan awal pada sebagian besar penderita stroke, dengan sedikit pasien yang menerima terapi antidepresan tertentu atau penanganan depresi lainnya. Depresi adalah hal yang umum di antara pasien stroke, dengan risiko terjadinya hampir serupa pada tahap awal, menengah, dan akhir dari pemulihan stroke.

PEMBAHASAN

Pada Bab II, telah dipaparkan mengenai contoh kasus stroke iskemik yang mengenai seorang pemborong bangunan. Untuk menentukan status kelaikan kerja pada Pasien, perlu dilakukan asesmen laik kerja, seperti berikut ini:

1. Deskripsi Pekerjaan dan Lingkungan Kerja Pasien seorang laki-laki 70 tahun, aktif bekerja sebagai pemborong bangunan di luar pulau Jawa. Saat ini, ia tidak sedang aktif bekerja karena dalam masa pengawasan oleh Dokter Spesialis Saraf di Jakarta. Pasien bekerja dari hari Senin s/d Sabtu mulai pukul 08.00 s/d 17.30. Saat berangkat dan pulang kerja, Pasien harus mengemudikan kendaraannya sendiri. Kadang-kadang Pasien harus pergi ke toko bangunan untuk memesan material bangunan dengan mobilnya. Akan tetapi Pasien jarang mengangkat barang belanjaannya yang berat-berat. Sehari-harinya kegiatan Pasien adalah meninjau lokasi proyek. Saat meninjau lokasi proyek, ia melakukan pengecekan pondasi bangunan, susunan keramik lantai, batu bata, dan atap bangunan, serta hasil pengecatan bangunan. Selama melakukan pekerjaannya, Pasien kebanyakan berada di luar ruangan, dan ia tidak mempunyai suatu aktivitas yang memaksa pasien untuk tetap berada dalam posisi tertentu. Pasien bebas melakukan apa saja, sepanjang yang diinginkannya. Kadang-kadang di malam hari sesudah pulang kerja, Pasien membuat gambar rancangan bangunan atau membuat rencana anggaran biaya pembangunan, atau urusan tertentu yang berkaitan dengan pekerjaannya.

2. Tuntutan Pekerjaan (Job Demand)Berdasarkan deskripsi pekerjaan di atas maka tuntutan pekerjaan dari berbagai aspek meliputi: Kapasitas Fisik : pekerjaan pemborong bangunan merupakan pekerjaan dengan kebutuhan kerja kategori ringan. Mobilitas : selama bekerja sebagai pemborong bangunan, dibutuhkan mobilitas yang cukup tinggi, yaitu berjalan kaki dan naik turun tangga untuk melakukan pengecekan hasil pengerjaan proyek bangunannya. Adakalanya beberapa kali pergi dengan mobil untuk memesan material bangunan atau mengurus pekerjaan lain (tetapi tidak menjadi keharusan pasien mengemudi kendaraannya sendiri, sebab tugas mengemudi dapat digantikan oleh supir). Penginderaan : dapat mendengar percakapan normal dan tajam penglihatan yang baik. Keseimbangan : Pasien harus dapat menjaga keseimbangannya selama meninjau lokasi proyek. Keterampilan motorik : tidak ada tuntutan khusus. Komunikasi : mampu melakukan komunikasi dengan bawahan (para mandor dan tukang) dan klien. Aspek Mental : tidak ada tuntutan khusus dalam melakukan pekerjaan sebagai pemborong bangunan. Aspek Organisasi: mampu mengarahkan bawahannya. Aspek Lingkungan Kerja : mampu bekerja dengan posisi duduk dan berdiri. Aspek Temporal : tidak ada tuntutan dalam pekerjaan shift. Aspek Ergonomi : tidak ada tuntutan khusus dalam hal ergonomis.

3. Kondisi Kesehatan PekerjaSetelah dilakukan kontrol atas kondisi Pasien 2 minggu setelah onset stroke, tidak ditemukan adanya kelemahan otot unilateral seperti yang dikeluhkan pada waktu pertama kali diperiksa.

Berikut ini adalah hasil penilaian skoring dengan Indeks Barthel (2 minggu setelah stroke):PenilaianTemuanSkor

1Kontrol BABTidak ada inkontinensi2

2Kontrol BAKTidak ada inkontinensi2

3Berhias dan membersihkan diriindependen1

4Toiletingindependen2

5Makan & minumindependen2

6Transfer kursi/tempat tidurindependen3

7Mobilitasindependen (tanpa bantuan apa pun)3

8Berpakaianindependen (termasuk mengancingkan baju dan mengikat tali sepatu)2

9Naik turun tanggaindependen (dapat naik turun tangga tanpa bantuan)2

10MandiIndependen1

Skor Total20

Dari penilaian Indeks Barthel, dapat disimpulkan bahwa Activities of Daily Living Pasien telah kembali seperti sedia kala.

Saat ini ia masih menjalani pengobatan yang teratur dengan obat-obatan antiplatelet agregasi (Ascardia dan Clopidogrel) dan anti dislipidemia (Atorvastatin) hingga 3 bulan ke depan, dan akan dievaluasi kembali penggunaannya hingga 1 tahun.

Pasien kembali dapat berjalan dan naik turun tangga seperti biasa. Pasien belum berani mencoba mengemudikan mobil dalam 2 minggu terakhir ini.

Dalam kondisi kesehatan sekarang, kapasitas kerja yang dapat dilakukan oleh pasien adalah kategori sedang. Dari aspek fisik, Pasien mampu melakukan pekerjaannya sebagai pemborong bangunan, akan tetapi ia masih berisiko terkena serangan stroke sekunder kapan saja. Akan tetapi, sekarang dengan pengobatan yang saat ini dijalankan, risiko serangan stroke menjadi berkurang. Dari aspek mobilitas, pasien ini dapat berjalan, bahkan naik turun tangga seperti dahulu sebelum terkena stroke. Jadi diperkirakan tidak ada masalah dalam hal pekerjaan yang mencakup mobilitas pasien selama beraktivitas di lapangan. Pada saat di kantor/rumahnya (malam hari), Pasien bekerja dengan menggunakan alat tulis dan kertas, tanpa menggunakan komputer. Berhubung karena tidak adanya kelemahan pada sisi kanan tubuh, maka pekerjaan menulis di kantor/rumah tidak mengalami masalah.

Untuk kegiatannya berkendara, saat ini Pasien masih tidak diperbolehkan untuk mengemudikan sendiri kendaraannya selama 1 tahun pasca serangan stroke, karena selama periode ini terkait dengan tingginya risiko relatif berulangnya stroke iskemik. (9)

Dari aspek penginderaan, keseimbangan, keterampilan motorik, komunikasi, mental, organisasi, lingkungan kerja, temporal, dan ergonomis, pasien tidak mempunyai tuntutan khusus dalam melakukan pekerjaannya sebagai pemborong bangunan.

4. Penetapan Status Kecacatan Impairment : ada subacute infark serebral di daerah basal ganglia/ paraventrikel lateral serta cortex parietal kanan. Disability : tidak ada. Handicap : tidak ada.

5. Kemungkinan Membahayakan Diri Sendiri, Rekan Kerja atau LingkunganDari anamnesis dan pemeriksaan fisik terdapat gejala yang menunjukkan pasien memerlukan kebutuhan khusus dalam penyesuaian dengan lingkungan kerja dan rekan kerja (bawahannya). Pasien memerlukan rekan atau asisten yang menemaninya saat sedang bekerja di lapangan, sehingga rekannya tersebut dapat membantu Pasien jika sewaktu-waktu ia mengalami serangan stroke. Dalam melakukan pekerjaannya di dalam ruangan (kantor atau rumahnya), Pasien tidak membahayakan diri sendiri dan lingkungan kerjanya, kecuali pada saat melakukan pekerjaan di lapangan, yaitu pada saat mengemudi.

6. ToleransiPasien siap untuk bekerja kembali dengan kondisi keadaan kesehatan sekarang dan dalam pengobatan yang teratur. Tanda-tanda depresi yang umumnya ditemukan pada penderita stroke, tidak ditemukan dalam diri Pasien. Semua klien dan bawahan Pasien dapat menerima dan bekerja sama dengannya, dengan catatan bahwa mereka juga sudah mengerti kondisi kesehatan Pasien yang mempunyai riwayat stroke ringan dan siap membantu menolongnya bilamana diperlukan.

7. Status Kelaikan Kerja Dari hasil analisa diatas, dapat disimpulkan pasien adalah seorang pemborong bangunan yang bekerja dari Senin s/d Sabtu dari pukul 08.00 s/d 17.30.

Pekerjaan pasien meliputi aktivitas di dalam ruangan dan aktivitas di luar ruangan. Pada saat melakukan aktivitas di luar ruangan, pasien biasanya mengemudikan kendaraannya sendiri.

Dari anamnesis, diketahui yang bersangkutan mempunyai riwayat stroke ringan yang terjadi 2 minggu sebelumnya. Saat diperiksa, yang bersangkutan mengaku tidak mempunyai keluhan apa pun yang terkait dengan serangan stroke-nya itu dan hingga saat ini ia masih menjalani pengobatan yang teratur dengan obat-obatan antiplatelet agregasi (Ascardia dan Clopidogrel) dan anti dislipidemia (Atorvastatin) yang masih akan diminumnya selama 3 bulan ke depan dan akan dievaluasi kembali hingga 1 tahun.

Dari pemeriksaan fisik dan neurologis, didapatkan hasilnya masih dalam batas normal.

Atas dasar temuan di atas dengan mempertimbangkan ruang lingkup pekerjaan dan kondisi Pasien, kami merekomendasikan bahwa Pasien masih dapat melakukan pekerjaannya saat ini sebagai seorang pemborong bangunan. Dengan demikian status kelaikan kerja Pasien adalah laik kerja dengan keterbatasan (Fit With Note). Saat ini pasien tidak diperbolehkan untuk mengemudikan kendaraan terkait dengan riwayat stroke-nya. Dalam hal mengemudikan kendaraan, kondisi Pasien akan dinilai lagi 1 tahun kemudian.

KESIMPULAN DAN SARAN

I.12 Kesimpulan Dari ilustrasi kasus didapatkan pasien laki-laki, 70 tahun, bekerja sebagai seorang pemborong bangunan, dengan riwayat stroke iskemik ringan (serangan pertama), yang terjadi 2 minggu yang lalu. Pada saat ini, kondisi Pasien sudah dalam batas normal. Pasien bekerja mulai pk. 08.00 s.d 17.30. Sebagian besar waktunya dihabiskan di luar ruangan. Selama bekerja, Pasien berkendara dengan menggunakan kendaraan mobil pribadi yang dikendarainya sendiri. Berdasarkan analisa 7 langkah fit to work, status kelaikan kerja Pasien adalah laik kerja dengan keterbatasan (Fit With Note). Pasien dengan riwayat stroke ringan ini masih dapat bekerja melakukan aktivitasnya di lapangan selama ada rekan atau asistennya yang menemani dan membantu mengemudikan kendaraannya. Pasien dengan riwayat stroke tersebut untuk saat ini tidak dapat mengemudikan kendaraan.

I.13 SaranBerikut ini adalah beberapa saran okupasi yang dapat diterapkan terhadap Pasien, yaitu: Pasien dengan riwayat stroke ringan ini harus melakukan kontrol pengobatan setiap 3 bulan dan menjalani pengobatan yang teratur untuk mencegah serangan stroke yang kedua kalinya. Pasien dengan riwayat stroke ini harus dapat mengatur ritme kerjanya untuk menghindari terjadinya stress dan kelelahan yang dapat meningkatkan risiko terjadinya stroke yang kedua kalinya, misalnya dengan: Mengurangi jadwal bekerja sehingga tidak lebih dari 8 jam per hari, dan usahakan tidak bekerja di malam hari. Menghindari tugas-tugas yang dapat mencetuskan stress tingkat tinggi. Mengurangi beban pekerjaan, sehingga tidak bekerja dalam jangka waktu yang terlalu lama. Mengingat bahwa Pasien sedang mendapatkan terapi anti platelet jangka panjang, dengan demikian jika ia mengalami luka, maka mempunyai risiko perdarahan yang sulit berhenti, oleh karenanya disarankan untuk memakai safety shoes selama bekerja. Kontrol asupan kalori, atur pola makan yang baik, kurangi makan makanan yang mengandung kadar lemak tinggi seperti gorengan, dan makanan bersantan.

DAFTAR PUSTAKA

x1.Barker G, Wiggins K. Getting back to work after stroke. Case study. London: The Stroke Association and Different Strokes, Stroke House; 2006. Report No.: Registered Charity No. 211015.2.Gordon NF, Gulanick M, Costa F, Fletcher G, Franklin BA, Roth EJ, et al. Physical activity and exercise recommendations for stroke survivors. Circulation. 2004 April: p. 2031-2041.3.Watson S. Getting Back to Work after a Stroke. [Online].; 2008 [cited 2013 June 19. Available from: http://www.webmd.com/stroke/news/20080327/getting-back-to-work-after-a-stroke.4.Vestling M, Tufvesson B, Iwarsson S. Indicators for Return to Work After Stroke and the Importance of Work for Subjective Well-Being and Life Satisfaction. Journal of Rehabilitation Medicine. 2003; 35: p. 127-131.5.Alaszewski A, Alaszewski H, Potter J, Penhale B. Working after a stroke: Survivors experiences and perceptions of barriers to and facilitators of the return to paid employment. Disability and Rehabilitation. 2007 December; 29(24): p. 1858-1869.6.Corr S, Wilmer S. Returning to Work after a Stroke: an Important but Neglected Area. British Journal of Occupational Therapy. 2003 May; 66(5): p. 186-192.7.Stansbury JP, Jia H, Williams LS, Vogel B, Duncan PW. Ethnic Disparities in Stroke : Epidemiology, Acute Care, and Postacute Outcomes. Stroke. 2005; 36: p. 374-386.8.Lock S, Jordan L, Bryan K, Maxim J. Work after Stroke: focusing on barriers and enablers. Disability & Society. 2005 January; 20(1): p. 33-47.9.Rabadi MH, Akinwuntan A, Gorelick P. The Safety of Driving a Commercial Motor Vehicle After a Stroke. Stroke. 2010 October; 41: p. 2991-2996.10.Hackett ML, Yapa C, Parag V, Anderson CS. Frequency of Depression After Stroke : A Systematic Review of Observational Studies. Stroke. 2005; 36: p. 1330-1340.

x

http://www.cdc.gov/niosh/docs/1970/77-140.html

____________________________________________________________________________________________36