retinopathy of prematurity
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Retinopati prematuritas (ROP) digambarkan untuk pertama kalinya oleh Terry pada tahun
1940 sebagai Retrolental Fibroplasia, yaitu suatu retinopati proliferatif dimana terdapat
gangguan perkembangan pembuluh darah retina pada bayi yang lahir prematur, hal tersebut
terkait dengan penyediaan oksigen yang terlalu tinggi dan tidak terkendali. ROP seringkali
mengalami regresi atau membaik tetapi dapat menyebabkan terjadinya gangguan visual berat
atau kebutaan. Retinopati prematuritas secara signifikan dapat mengakibatkan cacat seumur
hidup bagi penderitanya. Semakin kecil berat badan dan muda usia neonatus, maka insiden
ROP semakin meningkat.1
Sebanyak 7000 anak di Amerika Serikat dinyatakan buta akibat ROP. Lebih dari 50.000
anak di seluruh dunia setiap tahunnya dibutakan oleh ROP. Selama tahun 1940an dan
1950an, ROP merupakan penyebab utama kebutaan pada anak di Amerika Serikat. Pada
tahun 1951, Campbell pertama kali mengusulkan bahwa ROP berhubungan dengan terapi
oksigen yang diberikan dalam perawatan neonatus, dan teori ini dikonfirmasi kemudian hari
oleh Patz.2
Retinopati prematuritas merupakan penyebab utama kebutaan pada bayi dengan berat
lahir rendah/ berat badan lahir sangat rendah. Retinopati prematuritas terjadi akibat kepekaan
pembuluh darah retina di masa perkembangan terhadap oksigen konsentrasi tinggi. Pajanan
oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan tingginya tekanan oksigen retina
sehingga memperlambat perkembangan pembuluh darah retina sehingga menimbulkan
daerah iskemia pada retina.3
Sekarang ini, ditemukan bahwa tidak hanya terapi oksigen saja yang menjadi faktor
kausatif dari ROP, namun bagaimana faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam patogenesis
ROP masih belum dapat diketahui. Karenanya penting untuk memahami patogenesis kondisi
ini. Hubungan antara umur kehamilan yang rendah, hambatan pertumbuhan, faktor
pertumbuhan tergantung pada oksigen, dan hiperoksia harus lebih jelas dipahami.1
1
BAB II
ANATOMI RETINA
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang
melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan
hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan berakhir di tepi ora serrata. Pada orang
dewasa, ora serrata berada sekitar 6.5mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan
5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik melekat dengan
lapisan epitel berpigmen retina sehingga melekat juga dengan membrana Bruch, khoroid, dan
sklera. Di sebagian besar tempat, retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah hingga
mudah membentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada
diskus optikus dan ora serrata, retina dan epitelium pigmen retina saling melekat kuat,
sehingga membatasi perluasan cairan subretina pada ablasio retina. Hal ini berlawanan
dengan ruang subkhoroid yang dapat terbentuk antara khoroid dan sklera, yang meluas ke taji
sklera. Dengan demikian jika terjadi ablasi khoroid, dapat meluas melewati ora serrata, di
bawah pars plana dan pars plikata. Lapisan-lapisan epitel permukaan dalam korpus siliare dan
permukaan posterior iris merupakan perluasan anterior retina dan epitelium pigmen retina.
Permukaan dalam retina menghadap ke vitreous.
Gambar 1. Retina dan pembesaran skematiknya
2
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut:
1. Membrana limitans interna
2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan
menuju ke nervus optikus
3. Lapisan sel ganglion
4. Lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan-sambungan sel ganglion
dengan sel amakrin dan sel bipolar
5. Lapisan inti dalam sel bipolar, amakirn dan sel horizontal
6. Lapisan pleksiform luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel bipolar dan sel
horizontal dengan fotoreseptor
7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor
8. Membrana limitans eksterna
9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
10. Epitelium pigmen retina
Gambar 2. Penampang lapisan retina
Retina mempunyai tebal 0.1mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior. Di
tengah-tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis makula dapat didefinisikan
sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil), yang
berdiameter 1.5 mm. Definisi alternatif secara histologis adalah bagian retina yang lapisan
ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis sel. Secara klinis, makula adalah daerah yang
3
dibatasi oleh arkade-arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula, sekitar 3.5
mm di sebelah lateral diskus optikus, terdapat fovea, yang secara klinis jelas-jelas merupakan
suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop. Fovea
merupakan zona avaskular di retina pada angiografi fluoroesens. Secara histologis, fovea
ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak adanya lapisan-lapisan parenkim
karena akson-akson sel fotoreseptor (lapisan serat Henle) berjalan oblik dan penggeseran
secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke permukaan dalam retina. Foveola adalah
bagian paling tengah pada fovea, disini fotoreseptornya adalah sel kerucut, dan bagian retina
yang paling tipis. Semua gambaran histologis ini memberikan diskriminasi visual yang halus.
Ruang ekstraseluler retina yang normalnya kosong potensial paling besar di makula, dan
penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan ekstrasel dapat menyebabkan daerah ini
menjadi tebal sekali.
Retina menerima darah dari dua sumber, yaitu: khoriokapilaria yang berada tepat di luar
membrana Bruch, yang memperdarahi sepertiga bagian luar retina, termasuk lapisan
pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina; serta
cabang-cabang dari arteri sentralis retina, yang memperdarahi dua pertiga bagian sebelah
dalam. Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh khoriokapilaria dan sangat mudah terkena
kerusakan yang tak dapat diperbaiki jika retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina
mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar darah-retina.
Lapisan endotel pembuluh khoroid dapat ditembus. Sawar darah-retina sebelah luar terletak
setinggi lapisan epitel pigmen retina.
Gambar 3. Skema Funduskopi Retina
4
BAB III
RETINOPATI PREMATURITAS
DEFINISI
Retinopati prematuritas (Retinopathy of Prematurity = ROP) adalah suatu keadaan
dimana terjadi gangguan pada pembentukan pembuluh darah retina pada bayi prematur.
Retinopati yang berat ditandai dengan proliferasi pembuluh retina, pembentukan jaringan
parut dan pelepasan retina. Retinopati prematuritas terjadi akibat kepekaan pembuluh darah
retina di masa perkembangan terhadap oksigen konsentrasi tinggi (kondisi ketika neonatus
harus bertahan akibat ketidakmatangan paru). Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hlperoksia)
mengakihatkan tingginya tekanan oksigen retina sehingga memperlambat perkemhangan
pembuluh darah retina (vaskulogenesis). Hal ini menimbulkan daerah iskemia pada retina4
ROP terjadi bila pembuluh darah normal tumbuh dan menyebar ke seluruh retina,
jaringan lapisan bagian belakang mata. Abnormal pembuluh ini rapuh dan bisa bocor,
jaringan parut retina dan menariknya keluar dari posisi. Hal ini menyebabkan ablasi retina.
detasemen retina adalah penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan pada ROP5
Gambar 4 dan 5. Retinopati prematuritas
5
EPIDEMIOLOGI
Frekuensi
Dari hasil suatu penelitian di Korea melaporkan angka insidensi terjadinya ROP
20,7% (88 dari 425 bayi prematur) dan melaporkan bahwa usia gestasi ≤ 28 minggu dan
berat lahir ≤ 1000g merupakan faktor risiko yang paling signifikan. Pada penelitian
lainnya melaporkan angka insidensi sebesar 29.2% (165 dari 564 bayi dengan BBLASR).
Usia median dari onset ROP adalah 35 minggu (range 31-40 minggu).6
Gambar 6. Insiden ROP berdasarkan umur kehamilan
Gambar 7. Angka insiden ROP berdasarkan berat lahir
6
Mortalitas dan Morbiditas
Setiap tahunnya, sekitar 500-700 anak mengalami kebutaan akibat ROP di Amerika
Serikat, sekitar 2100 bayi akan mengalami gejala sisa sikatrisial, termasuk miopia,
strabismus, kebutaan, dan ablasio retina. Terdapat ±20% dari semua bayi prematur yang
mengalami suatu bentuk strabismus dan kelainan refraksi pada usia 3 tahun. Hal inilah
mengapa bayi dengan usia gestasi kurang dari 32 minggu atau berat kurang dari 1500 gr
harus melakukan kontrol kesehatan mata setiap 6 bulan, terlepas dari ada atau tidaknya
ROP.6
Ras kulit hitam menderita ROP yang lebih ringan dibanding ras Kaukasian. Insidens
sedikit lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki. ROP adalah penyakit bayi prematur.
Semua bayi yang memiliki berat lahir kurang dari 1500 gr dan usia gestasi kurang dari 32
minggu memiliki risiko untuk menderita ROP. Maka dibuat semacam screening protocol
yang sesuai dengan usia gestasi.
- Bayi yang lahir pada usia gestasi 23-24 minggu, harus menjalani pemeriksaan
mata pertama pada usia gestasi 27-28 minggu
- Bayi yang lahir pada usia gestasi 25-28 minggu , harus menjalani pemeriksaan
mata pertama pada usia kehidupan 4-5 minggu
- Bayi yang lahir pada usia gestasi ≥29 minggu, pemeriksaan mata pertama
dilakukan sebelum bayi tersebut dipulangkan
PATOFISIOLOGI
ROP merupakan kelainan vaskular retina imatur. Pembuluh darah retina belum
berkembang penuh sampai sekitar kehamilan 34-36 minggu. Semakin bayi kurang bulan,
semakin besar resiko menglami ROP. Vasokontriksi arteri retina terjadi sebagai respon
terhadap peningkatan tekanan oksigen arteri (PaO2), vasokontriksi ini merupakan respon
protektif dan tidak mebahayakan bagi retina yang sudah berkembang penuh, tetapi
hipoperfusi dan hipoksemia setempat pada retina dengan vaskularisasi tidak lengkap
merangsang proliferasi pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi) sebagai upaya
mensuplai daerah yang kurang mendapat perfusi. Perdarahan selanjutnya ke dalam badan
kaca dan retina menyebabkan proliferasi fibrosa, retraksi parut dan pada kasus terburuk
lepasnya retina dan kebutaan.7
7
Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan tingginya tekanan oksigen
retina sehingga memperlambat perkembangan pembuluh darah retina (vaskulogenesis) Hal
ini menimbulkan daerah iskemia pada retina. Pada kondisi normal, retina mempunyai
kepekaan terhadap kerusakan oksidatif yang disebahkan tiga hal, yaitu:
1. Berlimpahnya substrat untuk reaksi oksidatif dalam bentuk asam lemah tak jenuh
ganda
2. Retina memproses cahaya sedangkan cahaya merupakan inisiator pembentukan
oksigen radikal bebas, dan
3. Adanya aliran oksigen lintas membran yang relatif tinggi.
Pada bayi prematur, kepekaan retina terhadap stres oksidatif disebabkan oleh:
- retina mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap reaksi kimia, sehingga mampu
merambatkan kerusakan oksidatif
- bayi prematur mengalami hiperoksia tidak hanya diakibatkan oleh perubahan
konsentrasi oksigen di uterus ke udara bebas, tetapi juga akibat peningkatan oksigen
inspirasi, dan
- bayi prematur tidak mempunyai pengganti komponen antioksidan retina.
Retinopati prematur merupakan manifestasi alamiah akibat toksisitas pemberian oksigen pada
bayi prematur.4
Retinopati prematuritas terutama terjadi pada bayi dengan Berat Badan Lahir Amat
Sangat Rendah (BBLASR). Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa berat badan lahir
rendah, usia gestasi yang rendah, dan penyakit penyerta yang berat (misalnya respiratory
distress syndrome, displasia bronkopulmoner, dan sepsis) merupakan faktor-faktor yang
terkait. Bayi yang lebih kecil, lebih tidak sehat, dan lebih immatur memiliki risiko yang jauh
lebih tinggi untuk menderita penyakit ini.8
Vaskularisasi retina mulai berkembang pada usia gestasi kurang lebih 16 minggu.
Pembuluh retina tumbuh keluar dari optic disc sebagai perpanjangan dari sel spindle
mesenkimal. Sementara sel-sel spindel mesenkimal ini mensuplai sebagian besar aliran darah,
sehingga terjadilah proliferasi endotelial dan pembentukan kapiler-kapiler. Kapiler-kapiler
baru ini akan membentuk pembuluh retina yang matur. Pembuluh darah choroid (yang
terbentuk pada usia gestasi 6 minggu) mensuplai retina avaskular yang tersisa. Bagian nasal
dari retina akan tervaskularisasi secara menyeluruh sampai ke ora serrata pada usia gestasi 32
minggu. Sedangkan bagian temporal yang lebih besar biasanya telah tervaskularisasi
seluruhnya pada usia gestasi 40-42 minggu (aterm).
8
Prematuritas mengakibatkan terhentinya proses maturasi dari pembuluh retina normal.
Terdapat dua teori yang menjelaskan patogenesis ROP. Sel-sel spindel mesenkimal, yang
terpapar kondisi hiperoksia, akan mengalami gap junction. Gap junction ini mengganggu
pembentukan pembuluh darah yang normal, mencetuskan terjadinya respon neovaskular,
sebagaimana dilaporkan oleh Kretzer dan Hittner, yang menjelaskan akan adanya dua fase
pada proses terjadinya ROP. Fase pertama, yaitu fase hiperoksik, menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi pembuluh retina dan destruksi sel-sel endotel kapiler yang irreversibel.
Keadaan hyperoxia-vasocessation ini dikenal sebagai stadium I dari retinopati prematuritas.9
Gambar 8 dan 9. ROP Stadium I
Seiring area ini mengalami iskemik, faktor angiogenik, seperti vascular endothelial
growth factor (VEGF), dibentuk oleh sel-sel spindel mesenkimal dan retina yang iskemik
untuk membuat vaskularisasi yang baru. Vaskularisasi baru ini bersifat immatur dan tidak
berespon terhadap regulasi yang normal.5
Segera setelah itu, nutrisi dan oksigen dapat dikirim ke retina melalui difusi dari kapiler-
kapiler yang berada pada lapisan choroid. Retina terus tumbuh semakin tebal dan akhirnya
melebihi area yang dapat disuplai oleh pembuluhnya. Seiring waktu, terjadilah hipoksia
retinal yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pertumbuhan pembuluh darah yang
berlebihan; keadaan hypoxia-vasoproliferation ini dikenal sebagai ROP stadium II.9
9
Gambar 10 dan 11. ROP Stadium II
MANIFESTASI KLINIS
Pada tahun 1984, 23 Oftalmologis dari 11 negara membentuk International Classification
of Retinopathy of Prematurity (ICROP). Sistem klasifikasi ini membagi lokasi penyakit ini
dalam zona-zona pada retina (1, 2, dan 3), penyebaran penyakit berdasarkan arah jarum jam
(1-12), dan tingkat keparahan penyakit dalam stadium (0-5). Dalam anamnesis dari bayi
prematur, harus mencakup hal-hal berikut ini :
- Usia gestasi saat lahir, khususnya bila lebih kurang dari 32 minggu
- Berat badan lahir kurang dari 1500 gr, khususnya yang kurang dari 1250 gr
- Faktor risiko lainnya yang mungkin (misalnya terapi oksigen, hipoksemia,
hiperkarbia, dan penyakit penyerta lainnya)
ROP dikategorisasikan dalam zona-zona, dengan stadium yang menggambarkan tingkat
keparahan penyakit. Semakin kecil dan semakin muda usia bayi saat lahir, semakin besar
kemungkinan penyakit ini mengenai zona sentral dengan stadium lanjut.6
Gambar 12. Pembagian ROP
Pembagian Zona.
1. Zona I
- Zona 1 adalah yang paling labil. Pusat dari zona 1 adalah nervus optikus. Area ini
memanjang dua kali jarak dari saraf optik ke makula dalam bentuk lingkaran.
10
ROP yang terletak pada zona 1 (bahkan pada stadium 1, imatur) dianggap kondisi
yang kritikal dan harus dimonitor dengan ketat.
- Area ini sangat kecil dan perubahan pada area dapat terjadi dengan sangat cepat,
kadangkala dalam hitungan hari. Tanda utama dari perburukan penyakit ini
bukanlah ditemukannya neovaskularisasi tetapi dengan ditemukan adanya
pembuluh darah yang mengalami peningkatan dilatasi. Vaskularisasi retina
tampak meningkat mungkin akibat meningkatnya shunting ateriovena.
Gambar 13. ROP zona I
2. Zona 2
- Zona 2 adalah area melingkar yang mengelilingi zona 1 dengan nasal ora serrata
sebagai batas nasal.
- ROP pada zona 2 dapat berkembang dengan cepat namun biasanya didahului
dengan tanda bahaya (warning sign) yang memperkirakan terjadinya perburukan
dalam 1-2 minggu. Tanda bahaya tersebut antara lain : (1) tampak vaskularisasi
yang meningkat pada ridge (percabangan vaskular meningkat); biasanya
merupakan tanda bahwa penyakit ini mulai agresif. (2) Dilatasi vaskular yang
meningkat. (3) tampak tanda ‘hot dog’ pada ridge; merupakan penebalan vaskular
pada ridge; hal ini biasanya terlihat di zona posterior 2 (batas zona 1) dan
merupakan indikator prognosis yang buruk.
11
Gambar 14. ROP zona II
3. Zona 3
- Zona 3 adalah bentuk bulan sabit yang tidak dicakup zona 2 pada bagian temporal.
- Pada zona ini jarang terjadi penyakit yang agresif. Biasanya, zona ini mengalami
vaskularisasi lambat dan membutuhkan evaluasi dalam setiap beberapa minggu.
- Banyak bayi yang tampak memiliki penyakit pada zona 3 dengan garis demarkasi
dan retina yang nonvaskular. Kondisi ini ditemukan pada balita dan dapat
dipertimbangkan sebagai penyakit sikatrisial. Tidak ditemukan adanya penyakit
sequelae dari zona ini.
Gambar 15. ROP zona III
Pembagian Stadium
1. Stadium 0
Bentuk yang paling ringan dari ROP. Merupakan vaskularisasi retina yang imatur.
Tidak tampak adanya demarkasi retina yang jelas antara retina yang tervaskularisasi
dengan nonvaskularisasi. Hanya dapat ditentukan perkiraan perbatasan pada
pemeriksaan.
a. Pada zona 1, mungkin ditemukan vitreous yang berkabut, dengan saraf optik
sebagai satu-satunya landmark. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang setiap
minggu.
b. Pada zona 2, sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu.
c. Pada zona 3, pemeriksaan setiap 3-4 minggu cukup memadai.
2. Stadium 1
12
Ditemukan garis demarkasi tipis diantara area vaskular dan avaskular pada retina.
Garis ini tidak memiliki ketebalan.
13
Gambar 16 dan 17. Demarcation line
a. Pada zona 1, tampak sebagai garis tipis dan mendatar (biasanya pertama kali
pada nasal). Tidak ada elevasi pada retina avaskular. Pembuluh retina tampak
halus, tipis, dan supel. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap minggu.
b. Pada zona 2, sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu
c. Pada zona 3, pemeriksaan dilakukan setiap 3-4 minggu
3. Stadium 2
Tampak ridge luas dan tebal yang memisahkan area vaskular dan avaskular retina.
Gambar 18 dan 19. Ridge
a. Pada zona 1, apabila ada sedikit
saja tanda kemerahan pada ridge, ini merupakan tanda bahaya. Apabila terlihat
adanya pembesaran pembuluh, penyakit dapat dipertimbangkan telah
memburuk dan harus ditatalaksana dalam 72 jam.
14
b. Pada zona 2, apabila tidak ditemukan perubahan vaskular dan tidak terjadi
pembesaran ridge, pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan tiap 2 minggu.
c. Pada zona 3, pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali
ditemukan adanya pembentukan arkade vaskular.
4. Stadium 3
Dapat ditemukan adanya proliferasi fibrovaskular ekstraretinal (neovaskularisasi)
pada ridge, pada permukaan posterior ridge atau anterior dari rongga vitreous.
Gambar 20 dan 21. Extraretinal fibrovascular
proliferation
a. Pada zona 1, apabila ditemukan adanya neovaskularisasi, maka kondisi ini
merupakan kondisi yang serius dan membutuhkan terapi.
b. Pada zona 2, prethreshold adalah bila terdapat stadium 3 dengan penyakit
plus.
c. Pada zona 3, pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali bila
ditemukan adanya pembentukan arkade vaskular.
5. Stadium 4
Stadium ini adalah ablasio retina subtotal yang berawal pada ridge. Retina tertarik
ke anterior ke dalam vitreous oleh ridge fibrovaskular.
a. Stadium 4A : tidak mengenai fovea
b. Stadium 4B : mengenai fovea
15
Gambar 22 dan 23. Retinal detachment (subtotal)
6. Stadium 5
Stadium ini adalah ablasio retina total berbentuk seperti corong (funnel).
Gambar 24 dan 25. Ablasio retina (total)
16
a. Stadium 5A : corong terbuka
b. Stadium 5B : corong tertutup
Penyakit Plus
Penyakit plus didefinisikan sebagai arteriolar yang berkelok-kelok dan pembesaran vena
pada kutub posterior, pembesaran vaskularisasi iris, rigiditas pupil, dan vitreous yang
berkabut, yang mana merupakan bagian dari subklasifikasi dari stadium-stadium di atas.
Adanya penyakit plus merupakan salah satu tanda bahaya. Apabila terdapat tanda-tanda
penyakit plus ini, ditandai dengan tanda ‘plus’ pada stadium penyakit.10
Threshold disease
Didefinisikan sebagai area penyakit dalam jangkauan 5 arah jarum jam berturut-turut atau
8 arah jarum jam yang tidak berurutan. Adanya kelainan ini merupakan indikasi untuk
dilakukannya terapi.10
DIAGNOSIS
Standar baku untuk mendiagnosa ROP adalah pemeriksaan retinal dengan menggunakan
oftalmoskopi binokular indirek. Dibutuhkan pemeriksaan dengan dilatasi fundus dan depresi
skleral. Instrumen yang digunakan adalah:
1. spekulum Sauer (untuk menjaga mata tetap dalam keadaan terbuka),
2. depresor skleral Flynn (untuk merotasi dan mendepresi mata),
3. lensa 28 dioptri (untuk mengidentifikasi zona dengan lebih akurat).
Bagian pertama dari pemeriksaan adalah pemeriksaan eksternal, identifikasi rubeosis
retina, bila ada. Tahap selanjutnya adalah pemeriksaan pada kutub posterior, untuk
mengidentifikasi adanya penyakit plus. Mata dirotasikan untuk mengidentifikasi ada atau
tidaknya penyakit zona 1. Apabila pembuluh nasal tidak terletak pada nasal ora serrata,
temuan ini dinyatakan masih berada pada zona 2. Apabila pembuluh nasal telah mencapai
nasal ora serrata, maka mata berada pada zona 3.6
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Stadium lanjut dari ROP dapat dibedakan dari penyebab leukokoria lainnya. Diagnosis
diferensial yang penting meliputi:11
17
1. Exudative vitreoretinopathy, merupakan kelainan genetik yang merusak vaskularisasi
retina pada neonatus cukup bulan.
18
Gambar 26, 27, dan 28. Exudative vitreoretinopathy
2. Persistent hyperplastic primary vitreous, dapat mengakibatkan terlepasnya retina
akibat terjadinya tarikan.
Gambar 29. Persistent
hyperplastic primary vitreous
PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medis
Terapi medis untuk retinopati prematuritas (ROP) terdiri dari screening
oftalmologis terhadap bayi-bayi yang memiliki faktor risiko. Saat ini, belum ada
standar terapi medis yang baku untuk ROP. Penelitian terus dilakukan untuk
memeriksa potensi penggunaan obat antineovaskularisasi intravitreal, seperti
bevacizumab (Avastin). Obat-obatan ini sudah pernah berhasil digunakan pada pasien
dengan penyakit neovaskularisasi bentuk yang lain, seperti retinopati diabetik. Terapi
lainnya yang pernah dicoba dapat berupa mempertahankan level insulinlike growth
factor (IGF-1) dan omega-3-polyunsaturated fatty acids (PUFAs) dalam kadar normal
pada retina yang sedang berkembang, seperti diusulkan oleh Chen and Smith.
Meskipun terapi oksigen telah dinyatakan sebagai faktor penyebab utama ROP,
banyak ahli percaya bahwa memaksimalkan saturasi oksigen pada penderita ROP
dapat merangsang regresi dari penyakit ini. Namun, sebuah studi multisenter yang
dikenal sebagai STOP-ROP (Supplemental Therapeutic Oxygen for Prethreshold
Retinopathy Of Prematurity), menemukan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan
19
yang terjadi dengan mempertahankan saturasi oksigen diatas 95%. Namun, saturasi
oksigen yang lebih tinggi juga tidak memperparah penyakit itu sendiri.
2. Terapi Bedah
a. Terapi bedah ablatif (Ablative surgery)
- Dilakukan apabila terdapat tanda kegawatan
- Terapi ablatif saat ini terdiri dari krioterapi atau terapi laser untuk
menghancurkan area retina yang avaskular
- Biasanya dilakukan pada usia gestasi 37-40 minggu
- Apabila ROP terus memburuk, mungkin dibutuhkan lebih dari satu tindakan
b. Krioterapi
Krioterapi merupakan terapi utama ROP sejak era 1970an. Prosedur ini dapat
dilakukan dengan anestesi umum ataupun topikal. Karena tingkat stress prosedur
yang cukup tinggi, maka mungkin dibutuhkan bantuan ventilator setelah prosedur
ini selesai. Komplikasi yang paling umum terjadi adalah perdarahan intraokuler,
hematom konjunctiva, laserasi konjunctiva, dan bradikardia.
c. Terapi Bedah Laser
Saat ini, terapi laser lebih disukai daripada krioterapi karena dipertimbangkan
lebih efektif untuk mengobati penyakit pada zona 1 dan juga menghasilkan reaksi
inflamasi yang lebih ringan. Fotokoagulasi dengan laser tampaknya menghasilkan
outcome yang kurang-lebih sama dengan krioterapi dalam masa 7 tahun setelah
terapi. Sebagai tambahan, dalam data-data mengenai ketajaman visus dan kelainan
refraksi, terapi laser tampaknya lebih menguntungkan dibandingkan krioterapi,
dan juga telah dibuktikan bahwa terapi laser lebih mudah dilakukan dan lebih
bisa ditoleransi oleh bayi. Namun, krioterapi masih merupakan terapi pilihan
apabila penglihatan retina terbatas oleh opasitas medianya.
d. Early Treatment for Retinopathy of Prematurity (ET-ROP)
Studi ET-ROP menunjukkan bahwa dengan penanganan dini (early treatment)
dapat mengurangi prognosis yang buruk pada usia kehidupan 9 bulan dan 2 tahun.
Berdasarkan studi ini, para oftalmologis membagi ROP menjadi dua bagian besar,
yaitu :
1) Tipe 1 (membutuhkan terapi)
a) Mata dengan zona 1, stadium 3 ROP tanpa penyakit plus
20
b) Mata dengan zona 2, stadium 2 atau 3 dengan penyakit plus
2) Tipe 2 (membutuhkan observasi)
a) Mata dengan zona 1, stadium 1 atau 2 tanpa penyakit plus
b) Mata
dengan zona 2, stadium 3 ROP tanpa penyakit plus
Gambar 30. Guideline ETROP
TINDAK LANJUT
Dasar pemeriksaan untuk menindaklanjuti pasien dengan retinopati prematuritas (ROP)
adalah dari hasil pemeriksaan awal. Semakin immatur vaskularisasi retina atau semakin
serius kondisi penyakitnya, semakin pendek masa interval follow-up lanjutan yang harus
dijalani oleh pasien tersebut sehingga perkembangan sekecil apapun mengenai progresi
penyakit dapat segera diketahui.
21
Setelah intervensi bedah, oftalmologis harus melakukan pemeriksaan setiap 1-2 minggu
untuk menentukan apakah diperlukan terapi tambahan. Pasien yang dimonitor ini harus
menjalani pemeriksaan sampai vaskularisasi retina matur. Banyak pasien yang kehilangan
penglihatannya akibat monitor yang tidak tepat waku dan tidak sesuai. Pada pasien yang tidak
ditatalaksana, ablasio retina biasanya terjadi pada usia postmensrual 38-42 minggu.
Selain itu, 20% dari bayi-bayi prematur menderita strabismus dan kelainan refraksi,
karena itu penting untuk melakukan pemeriksaan oftalmologis setiap 6 bulan hingga bayi
berusia 3 tahun. Dan juga, 10% bayi-bayi prematur juga dapat menderita galukoma
dikemudian hari, maka pemeriksaan oftalmologis harus dilakukan setiap tahun.6
PREVENSI
Pencegahan yang benar-benar bermakna adalah pencegahan kelahiran bayi prematur.
Dapat dicapai dengan perawatan antenatal yang baik. Semakin matur bayi yang lahir,
semakin kecil kemungkinan bayi tersebut menderita ROP.
Selain itu penggunaan terapi oksigen tepat indikasi dan tepat pemberian baik frekuensi,
lama pemberian, maupun kualitas pemberian juga mempengaruhi angka kejadian retinopati
prematuritas.6
KOMPLIKASI
Komplikasi jangka panjang dari ROP antara lain adalah miopia, ambliopia, strabismus,
nistagmus, katarak, ruptur retina, dan ablasio retina. Vanderveen et al meneliti bahwa
strabismus pada penyakit ini dapat membaik pada usia 9 bulan.8
PROGNOSIS
Prognosis ROP ditentukan berdasarkan zona penyakit dan stadiumnya. Pada pasien yang
tidak mengalami perburukan dari stadium I atau II memiliki prognosis yang baik
dibandingkan pasien dengan penyakit pada zona 1 posterior atau stadium III, IV, dan V.6
22
BAB IV
KESIMPULAN
Retinopati prematuritas adalah suatu retinopati proliferatif yang terdapat pada bayi
prematur. Semakin kecil berat badan dan muda usia neonatus, maka insiden ROP semakin
meningkat. Sekarang ini, ditemukan bahwa tidak hanya terapi oksigen saja yang menjadi
faktor kausatif dari ROP, namun bagaimana faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam
patogenesis ROP masih belum dapat diketahui.
Kelahiran bayi prematur mengakibatkan terhentinya proses maturasi dari pembuluh retina
normal. Sel-sel spindel mesenkimal, yang terpapar kondisi hiperoksia, akan mengalami gap
junction. Gap junction ini mengganggu pembentukan pembuluh darah yang normal,
mencetuskan terjadinya respon neovaskular. Seiring area ini mengalami iskemik, faktor
angiogenik, seperti vascular endothelial growth factor (VEGF), dibentuk oleh sel-sel spindel
mesenkimal dan retina yang iskemik untuk membuat vaskularisasi yang baru. Vaskularisasi
baru ini bersifat immatur dan tidak berespon terhadap regulasi yang normal.
Untuk kepentingan tatalaksana, maka dibentuklah International Classification of
Retinopathy of Prematurity (ICROP). Sistem klasifikasi ini membagi lokasi penyakit ini
dalam zona-zona pada retina (1, 2, dan 3), penyebaran penyakit berdasarkan arah jarum jam
(1-12), dan tingkat keparahan penyakit dalam stadium (0-5). Standar baku untuk
23
mendiagnosa ROP adalah pemeriksaan retinal dengan menggunakan oftalmoskopi binokular
indirek.
Tatalaksana ROP adalah terapi bedah, yaitu Terapi bedah ablatif (Ablative surgery),
Krioterapi, dan Terapi Bedah Laser. Prognosis ROP ditentukan berdasarkan zona penyakit
dan stadiumnya.
Prognosis ROP ditentukan berdasarkan stadium, pada pasien yang tidak mengalami
perburukan dari stadium I atau II memiliki prognosis yang baik dibandingkan pasien dengan
penyakit pada zona 1 posterior atau stadium III, IV, dan V.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tejiro B,2006. Retinopathy of prematurity. Dalam: arch soc esp oftalmol; 81:129-130.
2. Campbell K. Intensive oxygen therapy as a possible cause for retrolental fibroplasia.
A clinical approach. Med J Austr. 1951;2:48-50. Cited June 5, 2010. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis
3. Gargely K,2010. Retinopathy of prematurity-epidemics, incidence, prevalence,
blindness. Faculty of medicine, comenicus university Bratistava, Slovakia
4. Setiawan bambang, 2007. Peroksidase lipid dan penyakit terkait stress oksidatif pada
bayi prematur. Dalam: majalah kedokteran Indonesia vol.57 no.1, Jakarta 2007
5. Ali farrukh. Retinopathy of prematurity. Department of ophthalmology arrow park
hospital.2010
6. Bashour M. Retinopathy of Prematurity. Emedicine. November 3, 2008. Cited
November 16 , 2010. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1225022-
diagnosis.
7. Benson C Ralph. Retinophati prematuritas. Dalam: Obsteri dan Ginekologi. Jakarta:
EGC,2004.
8. Anjli Hussain, 2004. Management of retinopathy in a tertiary care center. Dalam:
Journal of the Bombay ophtamologists association vol.3 no.1
24
9. Kretzer FL, Hittner HM. Retinopathy of prematurity: clinical implications of retinal
development. Arch Dis Child. Oct 1988;63(10 Spec No):1151-67. [Medline].
10. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology : A Systemic Approach. Fifth Edition. New York :
Elsevier Science Limited; 2003
11. Goyal R, Agarwal A, et all. Retinopathy of Prematurity: Present scenario. Available
at: http://www.rostimes.com/RJO20110113.htm
12. Fielder AR, Shaw DE, Robinson J, et al. Natural history of retinopathy of
prematurity: a prospective study. Eye. 1992;6 (Pt 3):233-42. [Medline].
13. Csak K, Szabo V, Szabo A, et al. Pathogenesis and genetic basis for retinopathy of
prematurity. Front Biosci. Jan 1 2006;11:908-20. [Medline].
14. Ilyas sidarta,2004. Retina. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran
Indonesia, Jakarta.
15. Alvin K Behrman. Prematuritas dan Retardasi pertumbuhan intrauterine. Dalam:
Nelson Ilmu Kesehatan Anak: bayi berisiko-tinggi. Edisi 15. Jakarta : Penerbit
EGC,2000.
25