resusitasi pada luka bakar
TRANSCRIPT
RESUSITASI PADA LUKA BAKAR
Frederick W Endorf dan David J Dries
Pendahuluan
Hal yang menjadi tantangan terbesar bagi tenaga medis pada pasien luka bakar adalah
pemberian resusitasi pada keadaan akut. Respon inflamasi yang luas akibat luka
bakar melebihi pasien trauma maupun sepsis, dan kebutuhan akan cairan dapat sangat
meningkat. Meningkatnya penelitian yang dilakukan dengan skala besar dilakukan
untuk menemukan strategi penanganan resusitasi luka bakar keadaan akut, dan dalam
artikel ini akan kami rangkumkan beberapa temuan penting di lapangan.
Setelah kejadian pada tahun 1942 yaitu kebakaran Coconut Grove yang
mengancam banyak nyawa, Cope dan Moore mengeluarkan postulat pertama bahwa
resusitasi pada luka bakar berperan dalam mengurangi berat dan ukuran dari luka
bakar. Kemudian Baxter dan Shires mengembangkannya berdasarkan dasar yang
dikemukakan oleh Cope dan Moore, menggunakan data dari anjing dan manusia,
khususnya untuk mengukur kebutuhan cairan berdasarkan luas dan derajat luka bakar
(%TBSA). Formulanya yaitu 3,5 hingga 4,5 ml Ringer laktat per % TBSA per
kilogram berat badan yang kini dikenal sebagai formula Parkland. Meskipun formula
Parkland telah digunakan secara luas di seluruh dunia, namun masih jauh dari
kesempurnaan.
Kini para peneliti fokus untuk menemukan formula untuk mencegah terjadinya
komplikasi selama resusitasi. Seperti meghitung rata-rata tetesan cairan resusitasi.
Difokuskan pula pada jenis cairan yang digunakan sebagai resusitasi, yaitu cairan
koloid dan salin hipertonik. Pengobatan dengan obat-obatan ditujukan untuk
mengurangi respon inflamasi, seperti penggunaan vitamin C yang menunjukkan
adanya manfaat pada resusitasi akut. Selain dengan vitamin C, para peneliti juga
menggunakan plasmafaresis untuk menghambat mediator radang di darah saat
resusitasi. Topik akhir yang diharapkan yaitu outcome resusitasi, baik mengetahui
cara mengukur yang terbaik dalam praktek klinisnya.
Volume Resusitasi
Formula Parkland mudah digunakan untuk menghidung yang telah digunakan di
seluruh dunia. Para peneliti tidak berhenti di rumus Parkland saja, para praktisi ini
mencoba apakah formula tersebut telah tepat atau tidak dalam penggunaannya.
Yang masih tetap dikritisi dari formula Parkland yaitu pasien menerima cairan lebih
banyak dari yang diperkirakan berdasarkan berat badan dan %TBSA. Terlepas dari
formulanya ataupun dari kesalahan dokternya, hal ini masih diperdebatkan, namun
yang jelas bahwa volume cairan yang digunakan dalam resusitasi lebih tinggi dari
yang seharusnya dibutuhkan. Fenomena ini dijelaskan oleh Pruitt sebagai “fluid
creep”. Engrav dkk dalam penelitian yang tergabung dari berbagai pusat penelitian di
tahun 2000 menilai resusitasi pada 50 pasien dan mendapatkan hasil bahwa 58%
pasien membutuhkan cairan lebih banyak dari yang diperkirakan dari jumlah yang
didapat dengan menggunakan formula Parkland, dibandingkan dengan yang
diprediksi oleh Baxter yaitu sekitar 12%. Friedrich dkk melanjutkan penelitian ini di
tahun 2004, dengan membandingkan pasien dari institusinya sejak 1970, dan
menemukan bahwa kebutuhan cairan selama dilakukannya resusitasi yaitu dua kali
lipatnya. Pada penelitian berikutnya, ia menghubungkan perubahan yang terjadi
tersebut dengan terjainya peningkatan kebutuhan cairan pada pasien yang mendapat
pengobatan narkotik selama periode resusitasi. Teori yang ia kemukakan bahwa efek
vasodilatasi dari pemberian terapi opioid tersebut menyebabkan hipotensi, sehingga
akan diikuti dengan kebutuhan cairan yang meningkat. Temuan ini kemudian
dijadikan sebagai panduan oleh Wibbenmeyer dkk yang menemukan bahwa terdapat
korelasi yang kuat antara penggunaan opioid dalam 24 jam pertama setelah
mengalami luka bakar dengan volume cairan yang dibutuhkan pada waktu yang
sama. Bahkan di pusat penelitian Parkland, Blumetti dkk menemukan bahwa sekitar
48% pasien menerima cairan lebih banyak dari yang diperkirakan. Meskipun muncul
kekhawatiran mengenai “fluid creep”, Cartotto dkk pada pasien terkininya
menemukan bahwa di pusat penelitiannya yang menggunakan rumus kebutuhan
cairan 6,3 ml/kg/%TBSA selama resusitasi, dimana didapatkan 76% membutuhkan
cairan lebih dari 4,3 ml/kg/%TBSA dari penelitian yang pernah Baxter lakukan.
Protokol Resusitasi
Terdapat satu hal yang cenderung menyebabkan kebutuhan cairan saat resusitasi yang
lebih tinggi yaitu kemungkinan indadekuatnya tetesan cairan yang diberikan oleh
dokternya. Cancio dkk mennjau kembali berdasarkan pengalaman yang telah ia dapat
ketika melakukan resusitasi menggunakan formula Brooke yang telah dimodifikasi,
yang diprediksikan kebutuhan cairannya 2 ml/kg/%TBSA. Sebuah temuan penting
dari tinjauan yang dilakukan oleh Cancio yaitu jarang klinisi mengarahkan
pengurangan pemberian cairan ketika urin output pasien tinggi dan meningkatkan
pemberian tetesan cairan ketika uron output rendah. Demi mengurangi
ketergantungan terhadap penilaian subjektif dari para klinisi dalam pembuatan
keputusan mengenai resusitasi, , beberapa pusat penelitian melakukan percobaan
menggunakan algoritma yang terstandarisasi yang berasal dari urin output per jam.
Dengan menggunakan arahan perawat yang didasarkan pengalamannya diharapkan
mampu mempengaruhi kebutuhan cairan saat resusitasi. Pengembangan algoritma ini
diharapkan memberikan perkembangan ke arah yang lebih baik demi menurunkan
tetesan pemberian cairan ketika urin output tinggi, dan bahkan jika memungkinkan
dapat dilakukan penurunan tetesan meskipun urin output adekuat. Jenabza dkk
menggunakan protocol yang diarahkan oleh para perawat dan menunjukkan
penurunan secara signifikan pemberian cairan selama resusitasi dan penurunan
volume cairan yang signifikan pada kasus sindrom kompartemen abdomen.
Untuk menyingkirkan factor human error, beberapa pusat kesehatan telah
mengkombinasikan algoritma resusitasi dengan system terkomputerisasi. Salinas dkk
menjelaskan dengan sebuah komputer percontohan pada resusitasi luka bakar yang
digunakan pada 32 pasien luka bakar dengan membandingkan dengan variable
control. Mereka menemukan protocol kebutuhan cairan kristaloid dalam waktu
kurang dari 24 jam dan 48 jam , dan kebutuhan total kristaloid selama di ICU. Jumlah
cairan yang dibutuhkan berdasarkan derajat dan luasnya luka bakar secara signifikan
berkurang pada kelompok resusitasi yang berbasis computer tersebut. Protocol
terkomputerisasi tersebut juga membantu pasien dalam mencapai urin output per
jamnya. Pada penelitian berikutnya, Salinas dkk menganalisa cara para praktisi
tersebut dalam menggunakan program komputerisasi yang direkomendasikan tersebut
dan menemukan bahwa penerapan system tersebut diterapkan oleh 83,2% praktisi
kesehatan. Para praktisi tersebut ada yang menolak menerapkan system computer
yang direkomendasikan tersebut dengan alasan bahwa klinisi merasa jumlah cairan
yang direkomendasikan kadang berlebihan dari yang dibutuhkan atau kadang
inadekuat, atau jika pasien mengalami hipotensi.
Koloid
Berdasarkan sebelum-sebelumnya yang terjadi, opini yang beredar bahwa
penggunaan koloid untuk resusitasi pada 24 jam pertama merupakan sebuah
kontraindikasi. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa koloid akan merembes melewati
“celah” kapiler pada kasus syok luka bakar dan akan menyebabkan tarikan osmotic,
cairan akan tertarik ke rongga intersisial dan memperparah edema luka bakar.
Namun, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan cairan koloid
pada kasus luka bakar, terutama sebagai resusitasi pada 24 jam pertama
Lawrence dkk melakukan sebuah tinjauan retrospektif pada 52 pasien luka
bakar dengan luas luka bakar lebih dari 20% TBSA. Dua puluh enam pasien ini
mendapat resusitasi albumin, dan 26 lainnya hanya diberikan kristaloid. Sebagai
bagian dari institusi yang menggunakan algoritma resusitasi, yang dimana pasien
membutuhkan cairan lebih banyak dari yang diperkirakan formula Parkland dengan
mendapat cairan sepertiga dari kebutuhannya berupa albumin 5%, disertai dua
pertiganya diberikan cairan Ringer laktat (RL). Setelah pemberian infuse koloid
dimulai, volume cairan yang diberikan dikembalikan segera ke jumlah cairan sesuai
prediksi, dan konstan dengan jumlah tersebut. Tidak didapatkan satu pun baik pada
kelompok koloid maupun non-koloid yang mengalami sindrom kompartemen
abdomen, meskipun pada kelompok pasien koloid memiliki eskarotomi yang lebih
ekstrim, diduga akibat luas luka bakar rata-rata yang lebih luas. Pada penelitian
sebelumnya dari pusat penelitian yang sama, Cochran dkk melakukan analisa dengan
case-control luas luka bakar (>20%TBSA) dimana ada yang mendapat albumin dan
ada yang tidak diberikan albumin saat resusitasi. Albumin bukan hanya tidak
berbahaya, namun memberikan keuntungan dalam menurunkan mortalitas. Fenomena
ini tampaknya yang membuat pasien pediatric tetap dalam keadaan baik. Pada
kelompok pasien yang sama dilakukan pemeriksaan pada 53 pasien pediatric dengan
luka bakar lebih dari 15% TBSA dan ditemukan pada kebutuhan cairan pasien lebih
tinggi dari yang diperkirakan di”normalkan” oleh pemberian albumin. Dan juga, tidak
ada kasus sindrom kompartemen abdomen yang terjadi, sereta pada kelompok
pediatric tidak didapatkan perbedaan insiden eskarotomi di ekstremitas atau di tubuh
pasien. Kelompok yang mendapat terapi albumin memiliki masa rawat inap di rumah
sakit yang lebih lama, sekali laki berhubungan dengan luas luka bakar dan tingkat
cidera saluran pernapasan yang lebih tinggi. Penggunaan koloid buatan dalam
resusitasi luka bakar juga menarik bagi beberapa kalangan. Vlachou dkk melakukan
penelitian acak pada 26 pasien dewasa, ada yang mendapat resusitasi hanya koloid
dan ada yang diganti dengan hydroxyethylstarch (HES) 6% pada sepertiga perkiraan
volume kristaloid yang dibutuhkan. Mereka menemukan bahwa pada pasien yang
mendapat HES lebih sedikit membutuhkan cairan di 24 jam pertamanya dan lebih
sedikit terjadi peningkatan berat badan. Mereka juga melakukan pemeriksaan
terhadap C-reaktive protein sebagai penanda putatif untuk inflamasi dan menemukan
nilai yang lebih rendah pada kelompok yang diberikan HES. Namun, perlu
diperhatikan ketika memberikan HES dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Bechir
dkk meneliti cairan HES 10% yang dibandingkan dengan kristaloid yang diberikan
pada 30 pasien luka bakar dan menemukan tren angka mortalitas dan gagal ginjal
yang lebih tinggi, meskipun tidak satupun memberikan angka statistic yang terlalu
mencolok.
Cairan Hipertonik
Sebagai usaha mencegah terjadinya resusitasi yang berlebihan, beberapa peneliti
mencoba untuk memulai menggunakan cairan hipertonik, yang digunakan tunggal
maupun yang dikombinasikan dengan koloid. Belba dkk elakukan penelitian metode
prospektif, penelitian acak terhadap 110 pasien luka bakar, 55 pasien mendapat
resusitasi RL dengan formula Parkland pada pasien dewasa dan formula Shriner
untuk pasien anak-anak. Pada 55 pasien sisanya mendapat cairan hipertonik laktat
yang mengandung sodium (250 mEq/L) dan laktat (120 mEq/L). kelompok
hipertonik awalnya membutuhkan cairan yang lebih banyak, namun kedua kelompok
tersebut menunjukkan penurunan kebutuhan berdasarkan formula Parkland dalam 24
jam pertama. Pasien kelompok hipertonik membutuhkan cairan yang lebih sedikit
dibandingkan kelompok isotonic, namun secara statistic tidak terlalu signifikan.
Penggunaan cairan hipertonik saat resusitasi juga dapat mengurangi resiko sindrom
kompartemen abdomen. Oda dkk menilai pada 36 pasien dengan luas luka bakar lebih
dari 40% TBSA, pada 14 pasien tersebut yang mendapat resusitasi cairan laktat
hipertonik dan 22 pasien mendapat resusitasi RL. Cairan hipertonik diberikan secara
bertahap, dimulai dari cairan yang mengandung sodium (300 mEq/L), klorida (88
mEq/L), dan laktat (212 mEq/L). kemudian diturunkan secara perlahan, setelah 48
jam luka bakar diberikan sodium (150 mEq/L), klorida (102 mEq/L), dan laktat (48
mEq/L). mereka menemukan bahwa dua dari 14 pasien pada kelompok hipertonik
mengalami sindrom kompartemen abdomen berbanding 11 dari 22 pasien pada
kelompok yang mendapat RL.
Antioksidan
Perluasan inflamasi tampak pada cidera luka bakar disebabkan karena pelepasan
radikal oksigen bebas, yang dimana memperparah permeabilitas vascular dan
menyebabkan edema perifer yang signifikan. Kehilangan cairan yang berpindah ke
intersisial terjadi pada pasien resusitasi yang mendapat cairan lebih banyak. Hal ini
menimbulkan pemikiran bahwa penggunaan antioksidan selama resusitasi mungkin
dapat membantu membuang radikal bebas dan memperbaiki permeabilitas vascular.
Tanak dkk membandingkan dua kelompok pasien, 18 pasien diresusitasi
hanya dengan RL, dan 19 pasien lainnya diberikan RL yang disertai asam askorbat
dosis tinggi (vitamin C, 66 mg/kg/jam). Mereka menemukan bahwa rata-rata
kebutuhan cairan sekitar 3 ml/kg/%TBSA pada kelompok yang mendapat vitamin C
dibandingkan dengan kemlompok yang mendapat RL saja sekitar 5,5 ml/kg/%TBSA.
Ditambah lagi, pada kelompok pasien vitamin C memiliki waktu pemberian ventilator
yang lebih singkat. Kahn dkk melakukan penelitian retrospektif pada 33 pasien, 17
pasien mendapat terapi vitamin C dosis tinggi (66 mg/kg/jam) disertai pemberian RL,
dan 16 pasien hanya diberikan RL. Mereka juga menemukan hal yang sama dimana
kebutuhan rata-rata cairan pada kelompok vitamin C plus RL (5,3 ml/kg/%TBSA)
berbanding kelompok RL (7,1 ml/kg/%TBSA). Tidak didapatkan perbedaan hasil
akhir pada penelitian yang mereka lakukan, dan juga tidak didapatkan komplikasi
yang berbeda. Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan vitamin C aman diberikan
untuk mengurangi kebutuhan cairan pada 24 jam pertama resusitasi luka bakar.
Pada percobaan yang dilakukan terhadap hewan golongan murine, Constantini
dkk menggunakan pentoksifilin (PTX) setelah mengalami trauma luka bakar, setelah
terpanggan sekitar 30%, PTX dalam salin diinjeksikan secara intraperitoneal ke
kelompok tikus dan salin tunggal diberikan pada kelompok lainnya. Kelompok yang
mendapat PTX mengalami penurunan permeabilitas dan inflamasi pada intestinum.
Temuan lainnya, mereka juga mencatat adanya penurunan insiden cidera paru akut
pada kelompok PTX. Meskipun belum pernah dilakukan percobaan pemberian
resusitasi luka bakar menggunakan PTX pada manusia, hal ini menjanjikan untuk
kemudian harinya sebagai pemacu antioksidan sistem imun ketika mendapat
resusitasi akut.
Plasmafaresis
Disamping penggunaan antioksidan, beberapa pusat penelitian mencoba
menggunakan pembersih mekanik mediator inflamasi dari aliran darah. Klein dkk
melakukan pemantauan terhadap penerapan penggantian plasma di institusinya
selama 5 tahun, yang dimana 37 pasien luka bakar mendapat resusitasi akut
menggunakan penggantian plasma, dan tujuh orang mendapat terapi ganda sehingga
keseluruhannya berjumlah 44 pasien penggantian plasma. Pasien-pasien ini
mengalami luka bakar berat dengan rata-rata %TBSA 48,6, dan 73% pasien disertai
cidera saluran pernapasan. Tidak ada protocol yang digunakan pada permulaan
penggantian plasma, namun diberikan dua kali lebih banyak dari jumlah cairan yag
diprediksikan menggunakan formula Parkland. Waktu rata-rata untuk memulai
penggantian cairan sekitar 2,4 jam. Albumin (5%) digunakan sebagai pengganti
utama cairan, kecuali jika pasien memiliki kadar fibrinogen yang rendah atau faktor
pembekuan yang abnormal, pada kasus demikian digunakan fresh frozen plasma
(FFP). Mereka menemukan bahwa dengan penggantian plasma terjadi penurunan
kebutuhan akan cairan kristaloid sekitar 28,3%. Ketika ditambahkan pada pasien
dengan derajat dan %TBSA, rata-rata kebutuhan resusitasi cairan setelah penggantian
plasma turun hingga 40%. Setelah penggantian plasma, jumlah cairan perjam yang
diberikan tidak pernah kembali lagi ketingkat sebelum pasien dilakukan penggantian.
Neff dkk melakukan penelitian retrospektif dengan case-control 40 pasien
selama 2 tahun, seluruhnya dengan luka bakar lebih dari 20% TBSA. Dua puluh satu
pasiennya menerima penggantian plasma sebagai bagian dari pemberian resusitasi,
dan mereka sesuai dengan 19 kontrol lainnya. Pertukaran plasma dipicu oleh jumlah
cairan yang 1,2 kali lebih banyak dari perhitungan rumus Parkland, atau disebabkan
oleh berlanjutnya output urin yang rendah ataupun oleh hipotensi yang terjadi akibat
peningkatan jumlah cairan. Mereka menemukan beberapa keuntungan fisiologi
dengan penggantian plasma, yaitu peningkatan tekanan arteri rata-rata (MAP) sebesar
24%, peningkatan output urin sebesar 400%, dan penurunan kebutuhan cairan
resusitasi intravena yang dibutuhkan untuk mempertahankan tanda vital dan target
output urin sebesar 25%. Jumlah laktat juga menurun.
Hasil dari resusitasi dan monitoring
Tantangan kedua pada penanganan resusitasi luka bakar adalah penentuan status
klinis pasien yang dikatakan optimal. Biasanya, output urin digunakan dalam
mengukur perfusi jairngan selama resusitasi akut. Greenhalgh mempublikasikan
temuan dari survey yang dilakukan anggota-anggota American Burn Association
(ABA) dan International Society for Burn (ISBI) mengenai berbagai topic di bidang
resusitasi. Sekitar 94,9% responden menggunakan urin output sebagai indicator
utama dalam menilai keberhasilan resusitasi, dan 22,7% menggunakan indicator lain.
Meskipun telah digunakan secara luas, output urin tidak memberikan gambaran
secara umum sebagai patokan pengukuran sempurna untuk perfusi seluruh jaringan.
Difokuskan juga pada beberapa indicator konvensional yaitu berupa tekanan darah,
denyut jantung, dan tekanan vena sentral. Terdapat beberapa teknik yang digunakan
untuk memeriksa agar didapatkan pengukuran perfusi perifer yang lebih akurat, dan
dapat diberikannyatetesan yang lebih akurat terhadap kebutuhan cairan dengan
berbasis waktu/keadaan tubuh yang sebenarnya.
Tolak ukur yang digunakan berdasarkan termodilusi transkardiopulmonal
menggunakan system PiCCO, menunukkan korelasi yang baik dengan hasil yang
diperoleh dari kateter arteri pulmonal pada pasien luka bakar. Penggunaan system ini
juga mengkonfirmasi respon fisiologi hiperdinamik pada pasien anak-anak dengan
luka bakar yang luas. Namun, belum ada penelitian yang menunjukkan pengaruh
system ini terhadap hasil yang didapat selama resusitasi akut pasien luka bakar.
Jeng dkk melakukan penelitian pada empat pasien dengan luka bakar berat
(rata-rata dengan 58% TBSA) dan syok, menggunakan probe multisensory dengan
tiga transducers. Satu transducer diletakkan di jaringan subkutaneus yang
menggambarkan luka bakar derajat dua, transducer lainnya diletakkan di abdomen
melalui tabung gaster tonometri, dan transducer ketiga di aliran darah di sepanjang
garis femoralis lumen-tunggal. Kemudian mereka menggunakan ketiga transducer ini
untuk mengukur pH, CO2, dan PaO2 jaringan. Mereka juga secara bersamaan
mencatat jumlah output urin, tekanan arteri rata-rata (MAP), dan laktat serum. Ketiga,
peneliti ini mengukur perfusi pada luka bakar dengan menggunakan pencitraan laser
Doppler dan menghubungkan dengan variable sebelumnya yang didapatkan
mengalami perubahan terhadap perfusi luka bakar. Meskipun perubahan yang didapat
dari keseluruhan variable serupa dengan temuan pada penggunaan Doppler, mereka
menemukan pH jaringan dan CO2, sama baiknya dengan CO2 pada gaster, yang lebih
menggambarkan keadaan perfusi jaringan perifer. Output urin, MAP, dan kandungan
laktat mengalami perubahan sepanjang waktu namun cenderung terlambat dalam
menggambarkan keadaan perfusi jaringan perifer dibandingkan pengukuran
menggunakan pencitraan laser Doppler.
Meskipun laktat tidak enggambarkan informasi “keadaan sebenarnya”
mengenai keberhasilan resusitasi, dengan ini mampu memberikan gambaran
mengenai morbiditas dan motalitas pasien luka bakar. Cochran dkk meneliti 128
pasien dengan rata-rata TBSA 41,7% dan mengukur deficit basa serta level laktat
dalam interval 6 jam. Mereka menemukan bahwa pasien yang tidak mampu bertahan
hidup memiliki laktat yang lebih tinggi, pada 12, 24, 48 jam perawatan di rumah sakit
dibandingkan dengan pasien yang mampu bertahan hidup. Peningkatan laktat pada 48
jam pertama dapat dijadikan predictor independen dalam memprediksi mortalitas,
namun tidak dapat memiliki ambang batas tertentu sebagai panduan penggunaan
secara klinis. Autor menyarankan dalam memberikan pengobatan tidak hanya
berlandaskan hasil laboratorium saja.
Kesimpulan
Resusitasi yang dilakukan pada pasien luka bakar dapat berlanjut ke keadaan yang
lebih kompleks dan fase yang lebih menantang dalam perawatan pasien luka bakar.
Tren perjalanan panjang dari peningkatan cairan kristaloid kini disadari para praktisi,
dan berbagai usaha dilakukan demi mengurangi pemberian cairan yang berlebihan
disaat yang memungkinkan. Perbaikan protocol resusitasi, dan berbagai terapi
pendukung, diharapkan mampu mengurangi pemberian cairan yang berlebihan.
Pencarian standar pengukuran yang lebih akurat dalam menilai keberhasilan resusitasi
memberikan respon yang lebih baik dan lebih cepat terhadap perbaikan fisiologis.
Kesepakatan terbaik didapatkan dari American Burn Association di
tahun2008. Yaitu consensus terkini yang tetap mempergunakan resusitasi dengan
kristaloid menggunakan standar 2-4 mL/kg/body weight/%TBSA dalam 24 jam
pertama. Cairan harus berupa cairan isotonis dan tetesan ntuk mepertahankan output
urin sebesar 0,5 hingga 1,0 mL/kg/jam pada orang dewasa dan 1,0-1,5 mL/kg/jam
pada anak-anak. Anak-anak membutuhkan cairan tambahan untuk mempertahankan
kebutuhannya.
Panduan consensus yang dikeluarkan mungkin tidak berladaskan pada hasil
penelitian terkini yang telah dilakukan, namun berdasarkan keselamatan pasien. Jika
didapatkan kasus luka bakar pada institusi kesehatan yang tidak terbiasa menangani
luka bakar, sebaiknya harus segera dirujuk ke sentral medis penanganan luka bakar.
Bersama pusat kesehatan penanganan luka bakar lainnya di Amerika Serikat,
kami melakukan mempelajari pendekatan untuk membatasi pemberian cairan
kristaloid dengan berlandaskan protocol penggunaan obat-obatan vasoaktif dan
koloid pada pasien yang tidak merespon resusitasi awal yang diberikan.
Pada praktek dilapangan dalam resusitasi pasien bedah, secara otomatis akan
ditingkatkan pemberian cairan ketika terjadi hipotensi dengan pembatasan ketat
pemberian obat-obatan vasoaktif, seperti norepinefrin,dan pemberian diuretic. Pada
pasien hipotensi dengan tekanan vena sentral yang masih bisa ditoleransi dapat
diberikan vasopressin atau norepinefrin. Pada pasien dengan tekanan darah dan
tekanan vena sentral yang meningkat dapat diberikan furosemid atau dobutamin
sebagai tambahan demi mengurangi cairan resusitasi.