resume buku ibn khaldun & pola pemikiran islam
DESCRIPTION
Pada kesempatan kali ini saya akan memberikan sebuah resume buku mengenai pola pemikiran Islam dalam sudut pandang Ibnu Khaldun.TRANSCRIPT
RESUME BUKU BACAAN
“Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam”
Pengarang : Fuad Baali dan Ali Wardi
Penyunting : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Pustaka Firdaus
Jl. Siaga I No. 3, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Tahu : 2003
Tebal Buku : 221 halaman
BAB I
IBN KHALDUN : KEHIDUPAN DAN MUQADDIMAHNYA
1. Kehidupan Ibn Khaldun
Abu Zaid Abdul-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun Wali al-Din al-Tunisi
al-Hadrami lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H (7 Mei 1332 M). Dia
dididik oleh keluarga yang terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan maupun
politik. Para kakekmya Banu Khaldun, yang tertua Khaldun bin al-Khattab, pindah ke
Andalusia (Spanyol) pada abad ke-18, dengan demikian dia menyaksikan
pertumbuhan dan kemunduran kekuasaan Islam di Spanyol. Mereka berangkat ke
Maroko menjelang kejatuhan Sevelle tahun 1248.
Ibn Khaldun hidup bermasyarakat sebelum berusia 20 tahun. Pada mulanya ia
menjabat sebagai tukang stempel surat pada pemerintahan Abu Muhammad Ibn
Tafrakin. Tatkala Ibn Tafrakin ini ditaklukan oleh Abu Zaid, penguasa konstatinopel,
Ibn Khaldun melarikan diri, dan bekerja sama dengan Sultan Abu Inan di Tlemcen.
Ibn Khaldun digaji oleh Abu Inan, sebagai sekretaris, mengurus surat menyurat. Ibn
Khaldun mengaku menerima jabatan itu dengan setengah hati sebab dia menganggap
sebagai kerja rendahan, dan tidak seorang pun leluhurnya melakukan pekerjaan
serendah itu. Meskipum dia mengaku mendapat penghargaan tinggi dari Sultan,
1
namun hasratnya menjadi orang besar dan disegani memaksanya untuk terjun ke
dunia politik dan bekerja sama dengan pihak lain untuk menggulingkan sultan.
Dia membantu Amir Abu Abdullah Muhammad memperoleh kembali
kekuasaannya, dengan syarat kalau usaha itu berhasil dia diangkat sebagai perdana
menteri. Namun Abu Inan mengetahui persekongkolan itu dan segera memerintahkan
politisi muda untuk menumpas. Ibn Khaldun mendekam dua tahun di penjara (1357-
1358), dan selama itu berkali-kali dia memohon kepada sultan untuk
membebaskannya. Menjelang kematiannya, sultan berjanji membebaskannya. Keluar
dari penjara Ibn Khaldun mendukung Abu Salim pada tahun 1359 menjadi penguasa
Maroko dan mengangkat Ibn Khaldun sebagai sekretaris negara dan penasihatnya.
Setelah mengabdi kepada pemerintah yang satu ke yang lain, Ibn Khaldun
merasa lelah dalam petualangan politiknya. Ketika Abu Hamu memintanya agar
mencari dukungan dari para suku lebih banyak, dia memanfaatkan kesempatan ini
untuk meninggalkan politik dengan meminta kepada Banu Arif. Itulah masa dia
menulis bukunya Muqaddimah yang terkenal itu.
Ibn Khaldun wafat pada tanggal 26 Ramadhan 808 H (16 Maret 1406 M), tak
lama setelah ditunjuk keenam kalinya sebagai hakim. Beliau dikebumikan di kawasan
pemakaman orang sufi di Kairo. Perlu disebutkan di sini bahwa Ibn Khaldun telah
menuliskan riwayat hidupnya yang panjang dan lengkap dengan kejujuran dan
keterusterangan yang sangat mengagumkan tanpa sedikitpun menutupi sisi buruk dari
perjalanan hidupnya. Riwayat hidupnya tentu saja dapat dianggap sebagai penerapan
teori sosiologisnya.
2. Muqaddimah
Muqaddimah Ibn Khaldun yang ditulis berdasar pengalamannya yang kaya
dan pemikiran yang realistis, itu tampaknya menjadi bagaikan sebuah Injil atau Al-
Qur’an di mana setiap golongan yang mengalami konflik dapat menemukan sesuatu
di dalamnya untuk mencapai tujuan golongannya.
Keterangan Husain dan Slane tentang kekaburan dan kekacauan dalam karya
Ibn Khaldun tidak dapat diterima begitu saja. Berdasarkan kenyataan yang ada, Ibn
Khaldun jauh dari kekaburan dan kekacauan. Karyanya sangat jelas dibanding para
penulis lain yang hidup pada masa dan kebudayaannya. Kekaburan itu boleh jadi
disebabkan Slane meneliti Ibn Khaldun dari sudut pandang yang statis, padahal Ibn
Khaldun melihat fenomena sosial dari sudut pandang yang dinamis. Bagi Ibn Khaldun
2
hal yang dipandang benar-benar sama dapat menjadi baik buruk, berguna dan
berbahaya. Pernyataan ini sangat bertentangan dengan logika Aristoteles.
Hal ini akan mengantar kita sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Ibn
Khaldun tidak menggunakan logika Aristoteles. Ibn Khaldun tidak mengabaikan
kenyataan bahwa logika memang bermanfaat, yang dengan menggunakannya
membantu kita untuk mampu mengemukakan argumentasi yang teratur; tetapi logika
tradisional ini hanya piranti untuk menyerang dan bertahan di tangan dua kelompok
yang saling bertentangan. Di samping itu logika tidak menghasilkan pengetahuan.
Dengan menulis Muqaddimah Ibn Khaldun bermaksud mengembangkan suatu bentuk
logika yang realistis. Dia memang pernah mengikuti pola pikir berdasar logika
Aristoteles yang menyebabkannya tidak mampu mengembangkan “ilmu organisasi
kemasyarakatan”nya (Urn al-umran), yang hanya menerima logika peristiwa-
peristiwa yang nyata (logika yang dapat diuji). Ini menjelaskan mengapa dia berusaha
mencari hukum-hukum nyata yang menguasai proses-proses kemasyarakatan.
BAB II
IDEALISME VS REALISME
1. Pola-Pikir
Idealisme dan realisme adalah bentuk-bentuk gaya pikir atau dengan
menggunakan istilah Mannheim, thought-styles. Karena itu, tidak cukup kiranya
hanya mengklasifikasi masyarakat sebagai yang idealis atau yang realis tanpa
mempelajari bagaimana kedua kecenderungan sikap mental ini berkembang.
Pemikiran, sebagaimana diungkapkan John Dewey, adalah suatu bentuk
perbuatan manusia. Dan seperti perbuatan manusia lainnya, pemikiran cenderung
mengikuti aturan-aturan masyarakat. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa
aturan-aturan logika tidaklah mutlak atau “swadaya di dalam pikiran” sebagaimana
dianggap oleh Aristoteles. Aturan-aturan itu lahir dari hasil perdebatan, diskusi, dan
manipulasi. Artinya, aturan logika adalah aturan masyarakat yang dipedomani dalam
pembicaraan yang berlangsung melewati batas yang ditetapkan oleh suatu kelompok
tempat seorang pemikir kebetulan hidup.
Dalam usaha mereka untuk menyelesaikan pertentangan antara berbagai
kepentingan, para ahli membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan arah yang
dituju di berbagai lapisan masyarakat. Hal-hal yang dianggap merusak peraturan
3
tersebut dianggap tidak berlaku. Begitu pula, cara-cara berpikir yang merusak aturan
logika Aristoteles dianggap tidak logis.
Berdasarkan pembahasan di atas, seseorang dapat memahami sifat gaya-pikir
dan faktor utama dari perkembangan pikiran manusia. Manusia tidak bebas
sepenuhnya untuk tidak memihak dan objektif dalam pengamatannya. Seseorang
berhak menyimpulkan bahwa selama manusia mempunyai kesadaran untuk
menyingkap sistem nilai yang berbeda dari berbagai kelompok yang dianutnya, dia
dapat juga mempunyai bermacam gaya-pikir. Dengan mudah dapat ditilik bahwa
manusia berpikir dan bertindak secara berbeda-beda begitu dia berpindah dari satu
kelompok ke kelompok lain.
2. Tipologi Gaya-Pikir
Dalam peradabaan modern, pada saat tertentu, manusia menjadi anggota dari
berbagai kelompok dan perkumpulan. Dia tidak turut serta dalam aktifitas masing-
masing kelompok dengan seluruh kepribadiannya. Perlu disebutkan di sini, bahwa
yang demikian tidak berlaku untuk apa yang disebut masyarakat primitif. Masyarakat
primitif memasuki kelompoknya dengan seluruh kepribadiannya. Tidak ada satu pun
hal yang perlu disimpan untuk diperlihatkan kepada kelompok lain. Kelompok
masyarakat primitif biasanya berjumlah sedikit, dan kegiatannya muncul dari
kebiasaan bertemu antara satu dengan yang lain. Kalau manusia primitif berpikir, dia
biasanya mengambil peran kelompok kecilnya tersebut. “Hal lainnya yang
tergeneralisir” adalah satu dan berlaku untuk selamanya. Dengan kata lain, adat
istiadat dan nilai yang berlaku dalam kelompok tetap dipertahankan dan dijaga
kesuciannya.
3. Kompartementalisasi Pemikiran
Adalah menarik mengamati masyarakat yang mengalami kompartementalisasi
atau yang berpikir kontradiktif tanpa menyadarinya. Dapat diamati dengan jelas
dalam masyarakat yang telah maju dan modern. Di pasar-pasar atau bahkan dalam
kegiatan politiknya orang lupa akan kebenaran spiritual, absolut, dan abadi. Dia hanya
mencari jalan yang paling mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup duniawinya.
Begitu mereka meninggalkan suatu keadaan dan memasuki keadaan lain, seperti
pertemuan keagamaan, di mana kebenaran sakral menggelantung di dalam angan-
4
angannya, dia lupa sesuatu dan mulai berkhotbah dan mengajar penuh semangat
tentang bagaimana manusia harus berbuat untuk tujuan hidupnya di akhirat.
4. Gaya-Pikir Islam
Islam muncul dalam masyarakat sakral. Begitu Nabi Muhammad wafat, Islam
dengan cepat berkembang ke berbagai daerah dan kebudayaan, serta menjadi salah
satu kerajaan terbesar dalam sejarah.
Para sejarawan Islam biasanya membagi sejarah Imperium Islam ke dalam tiga
periode:
1) Periode para Khalifah Rasyidin (ortodoks), yang mengganti sesudah Nabi
Muhammad wafat dan memerintah selama lebih kurang 30 tahun.
2) Periode Dinasti Umayyah yang mengganti periode pertama dan memerintah
selama lebih kurang dari satu abad; dan
3) Periode Dinasti Abbasiah, yang mengganti periode kedua dan memerintah
hingga invasi tentara Mongol yang menyerang Baghdad (1258) dan
merupakan abad awal kemunduran Islam. Pembagian klasik sejarah Islam ini,
penting untuk dijadikan pedoman dalam menelusuri tingkatan-tingkatan yang
dilalui gaya pemikiran Islam dalam perkembangannya.
5. Pola-Pikir Ibn Khaldun
Ibn Khaldun benar-benar dapat dianggap Machiavelli versi Islam. Baik Ibn
Khaldun maupun Machiavelli membedakan dirinya dari sarjana-sarjana sezaman
mereka dengan menghadapi peristiwa sosial sebagai kerangka acuan yang benar-
benar realistis. Machiavelli menolak idealisme dan menerima realisme, sedangkan Ibn
Khaldun menganggap keduanya sama-sama penting. Bagi Ibn Khaldun apa yang
harus terjadi sama sebenarnya dengan apa yang ada, namun keduanya harus
dipisahkan, masing-masing harus ditempatkan pada tempatnya tersendiri dan dijaga
dari percampuradukkan oleh bidang lain.
Ibn Khaldun berbeda dari Machiavelli, dia tidak meremehkan makna sesuatu
yang ideal dan yang religius. Kenyatannya dia mengaku dirinya sebagai orang yang
sangat alim. Yang paling tidak disukainya adalah campur tangan idealisme agama
dalam masalah-masalah kehidupan yang nyata. Ibn Khaldun menyerang pemikiran-
pemikiran idealis karena mereka melupakan masa kini dan mencurahkan perhatian
kepada masa lalu Nabi cocok dengan waktu dan tempat di mana Nabi kebetulan
5
hidup. Dia juga dengan tegas menolak kedatangan seorang Mahdi. Karena itu Ibn
Khaldun dapat dianggap sebagai penulis pertama, dan barangkali yang terakhir, dalam
Islam yang menolak kedatangan Imam Mahdi.
Ibn Khaldun berpendapat bahwa pemerintah khalifah telah berakhir pada masa
Mu’awwiyah, saat pendiri Dinasti Umayyah itu naik tahta. Ibn Khaldun tidak dapat
menolak ini karena ada ucapan yang sangat terkenal dari Nabi yang maksudnya
bahwa khalifah akan segera berakhir hanya tiga puluh tahun sepeninggal Nabi, dan
kemudian suatu kerajaan yang tidak adil akan berlaku. Bagaimana pun, Ibn Khaldun
mengakui bahwa Mu’awiyyah lebih merupakan seorang raja dari pada khalifah, dan
tidak ada salahnya yang demikian itu.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa ‘assabiyah yang sama dapat bertambah
kuat atau lemah tergantung pada perubahan situasi. Banyak pemimpin kehilangan
‘assabiyah mereka sendiri setelah mereka menderita kekalahan berkali-kali; beberapa
pemimpin lainnya justru lebih kuat ‘assabiyah nya setelah kebetulan memperoleh
beberapa kemenangan atau karena nasib mujur secara tiba-tiba. Kehidupan
Muhammad sendiri merupakan suatu contoh yang baik. Pada mulanya dia berusaha
keras menanamkan prinsip-prinsip idealnya dengan sedikit hasil. Ketika akhirnya
beliau memenangkan perang Badar, di mana peristiwa tersebut merupakan suatu
keberuntungan belaka, dia secara pelan-pelan mengembangkan ‘assabiyah yang
sangat kuat di Arabia.
Ibn Khaldun kelihatannya melupakan kenyataan bahwa politik dapat menjadi
semacam pertaruhan antara dua kelompok yang bermusuhan untuk mengadakan
perhitungan atau pengukuran. Dalam karirnya sendiri dia mungkin menjadi saksi
terhadap sifat spekulasi politiknya. Tampak bahwa dengan mengkritik pemberontakan
Husain dia cenderung meremehkan pergerakan idealistik pada umumnya. Menurut
pendapatnya, kecenderungan idealistik tidak dapat diekspresikan dalam bidang sosial,
di mana semua kejadian tergantung kepada pola yang tidak terelakkan, tetapi lebih
baik tempatnya yang khusus tidak dinodai oleh pertimbangan-pertimbangan sekular.
Pandangan Ibn Khaldun menyangkut tatanan sosial dalam beberapa hal dapat
digunakan dengan beberapa hal dan beberapa pandangan para ahli ekonomi klasik.
Dia kelihatannya begitu percaya bahwa kebajikan, tangan-tangan gaib tangan Allah
sendiri membangun dan menuntun masyarakat. Allah adalah pencipta segala yang
baik dan yang buruk di dunia.
6
Suatu masalah penting yang sangat kontroversial pada masa Ibn Khaldun
adalah soal khalifah. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi pernah mengatakan bahwa
khalifah harus orang dari suku Quraisy. Pada masa Ibn Khaldun, tidak ada seorang
pun khalifah Quraisy di dalam Imperium Islam. Bagi Ibn Khaldun masalah tersebut
sebenarnya sangat sederhana. Berdasar perspektif yang relativistik-temporalistik-
materialistik. Dia menganggap bahwa khalifah tidak harus dari orang Quraisy untuk
setiap ruang dan waktu. Ketika Nabi menegaskan bahwa khalifah harus dari suku
Quraisy dia tidak bermaksud bahwa orang Quraisy mempunyai karakterisitik spiritual
tertentu yang tidak dipunyai oleh suku-suku lainnya. Alasan sabda Nabi tersebut,
menurut Ibn Khaldun adalah fakta, bahwa orang Quraisy merupkan suku terkuat di
Jazirah Arab pada masa Nabi. Dengan demikian mereka mempunyai ‘assabiyah
sangat kuat.
Di dalam Muqaddimah Ibn Khaldun, kita dapatkan contoh-contoh lain yang
menunjukkan pemikirannya yang realistis. Hal ini tidak mesti menyesatkan kita untuk
berpikir bahwa gaya-pikir Ibn Khaldun benar-benar sekular dan realistik. Begitu
membahas masalah-masalah keagamaan secara murni, dia meloncat dari sikapnya
yang materialistik ke yang spiritualistik, dari rasionalisme ke mistisisme.
BAB III
KEKUATAN VERSUS KEBENARAN
1. Kekuatan dan Kebenaran
Istilah kekuatan dan kebenaran digunakan di sini menurut pengertian sosial
dan bersifat relatif, yaitu yang telah disepakati oleh para anggota masyarakat. Apa
yang dianggap benar oleh suatu masyarakat belum tentu benar menurut masyarkat
lain. Kriteria dari kekuatan atau kekuasaan dapat pula berubah dengan berubahnya
system nilai.
Pertentangan klasik antara kekuatan vs kebenaran, politik vs agama, realisme
vs idealisme tidak begitu terasa dalam masyarakat sakral. Dalam masyarakat
semacam ini tidak terdapat kesenjangan antara apa yang disebut kekuatan dan
kebenaran. Mereka dapat menghasilkan sistem nilai-nilai baru sebagai reaksi terhadap
sistem nilai-nilai yang dominan. Kemudian timbullah jurang pemisah antara kekuatan
dan kebenaran, sehingga berkembang dua sistem nilai yang saling terpisah, yang satu
dipelopori oleh agamawan dan kebenaran.
7
2. Harapan Millenial
Dalam pembahasan sebelumnya kita telah melihat bagaimana di dalam
masyarakat sakral, penguasa adalah pemangku tradisi, simbol agama dan pemilik
mana yang kuat. Munculnya peradaban dan Negara pada zaman kuno menyebabkan
timbulnya jarak antara kekuatan dan kebenaran. Pertentangan antara “candi” dan
“istana” yang dilukiskan oleh H.G. Wells dalam pembahasannya tentang peradaban
Sumeria dapat dijumpai dalam berbagai bentuk di mana pun peradaban atau
masyarakat sekular muncul. Negara lebih memerlukan seorang Hammurabi
ketimbang seorang Patesi. Negara lebih membutuhkan perundang-undangan yang
tertulis ketimbang sekadar sistem kehidupan pedesaan dan adat istiadat lokal. Raja
sekular yang didukung oleh prajurit yang berdisiplin dan pegawai yang patuh, mereka
menjadi bagian (pilar) sangat penting dari sebuah Negara baru.
Machiver dan Page menunjukkan bahwa salah satu perbedaan antara
“kebudayaan” dan “peradaban” ialah bahwa nilai-nilai kebudayaan berangkat dan
berakhir pada saat yang bersamaan.
Satu-satunya penyelesaian yang terbuka bagi mereka dalam situasi yang kritis
tersebut tampaknya terletak pada apa yang disebut “harapan ratu adil”. Untuk
mendamaikan cita-cita lama dengan kenyataan yang ada mereka tidak mempunyai
pilihan kecuali berusaha membuat doktrin harapan masa depan, atau apa yang disebut
Sorel “mitos sosial”. Jadi mereka mulai mengharapkan bahwa meskipun kekuatan dan
kebenaran terpisah, keduanya akan menyatu kembali di masa mendatang.
Adalah menarik bagi kita menelaah perkembangan harapan ratu adil, dengan
berbagai bentuknya dalam peradaban kuno. Setiap peradaban mempunyai konsep
tersendiri mengenai fluktuasi dunia secara siklus diandaikan menjadi jelek dan
kemudian baik kembali. Misalnya, dialektika Hegelian bukanlah asli pemikiran
Hegel, karena ia dapat dijumpai di mana-mana dalam masyarakat kuno dalam
berbagai bentuknya. Perlu diingat bahwa baik dialektika sosial maupun harapan ratu
adil menghendaki terjadinya penyatuan kembali antara kekuatan dan kebenaran
setelah keduanya terpisahkan.
Ketika para agamawan, sebagaimana lazimnya dalam masyarakat sakral,
mulai membuka mata kelas bawah tentang penindasan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh para penguasa, serempak mereka bangkit melawan “istana” dan
mengharap agar ketiakadilan sosial akhirnya akan digantikan oleh dewata ketika
8
“yang terkahir menjadi yang pertama”, “candi” (agama) menjadi pusat harapan
millenial.
3. Kekuatan versus Kebenaran dalam Islam
Islam adalah fenomena religio-politik. Sang pembawa Muhammad pada saat-
saat terakhir adalah seorang pemimpin sakral serta pemimpin sekular bagi umat
Muslim.
Mereka barangkali telah diajarkan sejak kanak-kanak bahwa Yesus menolak
“mahkota” yang ditawarkan kepadanya, sehingga mereka cenderung menganggap
Nabi Muhammad sebagai “penipu yang keji” hanya karena dia telah menerima
mahkota itu. Mereka mengabaikan perbedaan radikal antara masyarakat Yesus dengan
masyarakat Muhammad. Yesus hidup dalam masyarakat sekular, di mana jurang
pemisah antara kekuatan dan kebenaran demikian lebar, sementara Nabi Muhammad
hidup dalam masyarakat nomad di mana asosiasi kesukuan sakral begitu kuat.
Yesus tidak pernah menjadi seorang pemimpin sekular yang berhasil, karena
jurang pemisah antara politik dan agama, antara apa yang harus ada dengan apa yang
ada, sangat lebar di dalam masyarakatnya sehingga tidak seorang pun di dunia ini
mampu mendamaikannya. Di Arabia sebaliknya, masyarakat masih dan terus bertahan
pada tipe masyarakat sakral dengan dasar integrasi kesukuan yang mapan di mana
syekh nya yang jujur melayani kepentingan masyarakatnya. Muhammad berusaha
menjadi Nabi seperti Yesus, yang membatasi diri pada karir suci semata-mata, selama
kurang lebih tiga belas tahun.
Muhammad gagal karena orang-orang nomad Arabia tidak dapat memahami
kebenaran tanpa didukung kekuatan. Sebagian besar pengikutnya pemeluk Islam awal
terdiri dari budak-budak dan masyarakat kelas bawah yang hidup di kota.
Begitu sesudah Hijrah Muhammad berubah menjadi pemimpin sekular dan
panglima perang yang berhasil, suku-suku nomad Arabia berbalik mendukungnya.
Mereka mulai menganggapnya sebagai seorang rasul suci utusan Allah.
“Kemenangannya sendiri”, kata Hitti, “dianggap sebagai sanksi ilahiah kepercayaan
baru”. Ketika Muhammad masuk Mekah sebagai penakluk, pemimpin lawannya Abu
Sufyan yang menyatakan diri masuk Islam, mengatakan, “Muhammad, kalaulah
berhala-berhala kami benar-benar tuhan, maka mereka pasti melindungi kami
darimu.”
9
Ketika Nabi Muhammad wafat, kaum muslimin segera memilih penggantinya.
Mereka menunjuk Abu Bakar, salah seorang sahabat Nabi yang sangat setia.
Pemilihan itu sangat menimbulkan penolakan dan gangguan, tetapi tidak berkembang
menjadi pertentangan yang serius. Setelah Abu Bakar wafat, hampir seluruh kaum
muslimin menunjuk Umar ibn Al-Khattab sebagai penggantinya. Proses pergantian ini
tidak mengalami kekacauan sama sekali karena masyarakat Muslim pada saat itu
masih tetap berpegang kepada adat istiadat lama dan belum beranjak dari cara hidup
masyarakat sakral ke pola sekular. Jurang pemisah antara kelas bawah dengan kelas
atas belum berkembang. Berapa pun besar integritas dan kebijaksanannya, khalifah
kedua Umar melakukan sesuatu yang dalam beberapa hal menyebabkan
berkembangnya jurang pemisah itu. Dia mulai membagikan harta rampasan yang di
dapat dari Negara taklukan, tidak sama rata sebagaimana dilakukan para
pendahulunya, tetapi membagi-baginya kepada masing-masing prajurit menurut
ketaatan dan pengabdiannya terhadap Islam.
Sangat disayangkan, khalifah ketiga Ustman adalah orang yang lemah dan
lebih mengutamakan orang-orang terdekatnya dalam membagikan harta rampasan dan
menentukan pejabat-pejabat Negara. Ustman melakukan atau harus melakukan
nepotisme yang ekstrim dengan menyetujui orang-orang yang dipandang oleh para
tokoh Muslim saleh sebagai “orang-orang fasik”.
Akibatnya, terbentuklah dua kubu yang saling terpisah. Satu kubu dipimpin
oleh Ali dan beberapa pengikut setia Nabi lainnya, dan kubu lainnya dipimpin oleh
Bani Umayyah, kerabat keturunan khalifah Ustman (yang kebetulan pernah
memimpin kaum pemberontak Mekkah melawan Nabi Muhammad dan yang baru
memeluk Islam setelah Mekkah ditaklukkan). Selama Dinasti Umayyah yang
didirikan oleh Mu’awiyah, perbedaan apa yang disebut Wells istana dan candi sangat
jelas. Nama Ali pada saat itu menjadi tolok ukur bagi kubu “kebenaran”, sementara
kubu “kekuatan” berada pada pihak Bani Umayyah.
Ketika Bani Umayyah mengalahkan Ali dan mendirikan dinasti orang-orang
Arab memandang ini sebagai isyarat yang jelas bahwa kebenaran memihak ke Bani
Umayyah. Hal ini akan lebih dapat dipahami bila kita ingat bahwa Bani Umayyah
lebih menghormati cara hidup dan adat istiadat suku nomad ketimbang
penghormatannya terhadap ajaran Islam.
Sebagai reaksi terhadap politik diskriminasi ini, orang-orang Islam non-Arab
terpaksa uzlah mempelajari Hadis Muhammad dan khalifah Rasyidinnya. Masjid-
10
masjid kemudian menjadi sekolah tempat mempelajari “ilmu pengetahuan” Islam
yang baru muncul itu, dan banyak “ilmuwan” sebagaimana dikatakan Ibn Khaldun
adalah non-Arab.
4. Harapan Millenial dalam Islam
Dalam Islam, harapan Ratu adil tetap ada dan biasanya berkembang dengan
nama Mahdiisme. Tampaknya alami jika orang Islam megharapkan kedatangan Imam
Mahdi, apalagi mereka sering merasakan kesenjangan yang lebar antara prinsip ideal
Muhammad dan kenyataan actual dari kehidupan politik keadaan mereka.
Para sarjana Islam modern percaya bahwa gagasan tentang Imam Mahdi,
berkembang semasa pemerintahan Bani Umayyah berkat pengaruh ajaran masianisme
Yahudi dan Kristen, kemudian dikaitkan dengan hadis (dari Muhammad).
Nabi Muhammad membikin kata Mahdi seakan-akan padanan bahasa Arab
bagi istilah Yahudi Messiah. Keduanya hampir mempunyai arti yang sama; kalau
Messiah berarti orang yang diberi upacara perminyakan suci; Mahdi berarti “yang
dituntun Tuhan”. Fakta bahwa dia akan menjadi “orang yang dituntun Tuhan”, atau
“yang diminyaki” menurut istilah Yahudi, maka benarlah bahwa baginya kekuatan
dan kebenaran pasti akan bisa dipersatukan kembali.
Hadis Nabi Muhammad sering menyebut datangnya Yesus bersamaan dengan
munculnya Imam Mahdi. Menurut hadis itu, kedua utusan tersebut secara bersama-
sama menentang para anti Kristus, atau al-Masih al-Dajjal seperti biasa disebutkan.
Mahdiisme ini secara berangsur telah kehilangan pengaruhnya bagi kalangan
Islam sesudah memperoleh kemenangan gemilang dan dapat membangun kerajaan
yang kuat. Harapan terdahulu mulai meluntur sebagai akibat munculnya kekuatan
baru dalam Islam. Sejak periode Khalifah Rasyidin, kekuatan dan kebenaran berjalan
seiring. Kemudian Mahdi tidak ditunggu-tunggu lagi; kaum Muslimin mengganti
gagasan tentang masa depan dengan hari akhir. Bahkan ketika “Mu’awiyah
mengalahkan Ali dan menempatkan dinasti Umayyah yang tidak ortodoks pada
singgasana kekhalifahan yang “tidak lazim”, tidak ada Mahdi yang tampak. Kaum
muslimin yang saleh masih yakin bahwa pemerintahan yang baik cepat atau lambat
akan dikembalikan.
Seperti dituturkan sejarah, Imam Mahdi pertama dalam Islam muncul setelah
terjadi pembunuhan atas Husain, cucu Nabi Muhammad, yang dilakukan oleh seorang
serdadu Umayyah. Mahdi itu Ibn Al-Hanafiyah, saudara seketurunan Husain,
11
meskipun dia sendiri sebenarnya tidak ingin disebut Mahdi. Beberapa Muslim
barangkali sangat terpukul oleh pembunuhan atas Husain sehingga mereka tidak dapat
menahan diri untuk menumbuhkan kembali hadis tentang Mahdi yang telah lama
dilupakan.
Memang benar, kaum Syi’ah adalah kelompok pertama yang benar-benar
mempercayai Mahdi, karena merekalah kelompok pertama dalam Islam yang
merasakan penderitaan ketidakadilan di bawah pemerintahan khalifah Umayyah.
Khalifah Umayyah menggunakan berbagai cara untuk menekan orang-orang Syi’ah
dan mencela nama Ali yang dianggap bibit ajaran Syi’ah. Kemudian kaum sufi
menyerang Mahdiisme. Sufisme sendiri adalah semacam mistisisme yang berkembang
dalam Islam sebagai kult dan Syiisme sebagai “sekte” dalam Islam.
Namun, ada perbedaan penting antara Mahdinya kaum syi’ah dan Mahdinya
kaum sufi, serta rasukannya ke seluruh tubuh Islam. Kaum Syi’ah percaya bahwa
Mahdi itu seorang tokoh historis yang hidup pada masa lampau kemudian menghilang
dan menyendiri ke suatu tempat tak diketahui seorang pun, dan sedang menunggu
perintah dari Allah untuk muncul kembali dan “mengisi dunia ini dengan keadilan
setelah dipenuhi kezaliman.” Kaum sufi lain lagi percaya bahwa Mahdi itu manusia
biasa, yang akan dilahirkan pada suatu waktu di masa mendatang, dan setelah dewasa
dia akan muncul untuk mengemban missinya membebaskan masyarakat.
5. Ibn Khaldun dan Mahdiisme
Ibn Khaldun lahir ketika masyarakat Muslim berada dalam keadaan sangat
kritis. Kaum muslimin terkepung dan diserang dari tiga jurusan pada saat yang hampir
bersamaan. Bangsa Mongol menyerang dari Timur, tentara Salib dari Utara, dan
orang-orang Spanyol dari Barat. Kaum muslimin sudah putus asa mempertahankan
daerahnya dan mengherankan apa yang menyebabkan semua gangguan maut ini.
Sejarah menjelaskan kepada kita bahwa pada masa Ibn Khaldun pengaruh
kaum sufi demikian kuatnya di Afrika Utara. Banyak sekali orang saat itu mengaku
sebagai Mahdi. Sebagian besar Mahdi-Mahdi tersebut gagal mengemban missinya
dan membiarkan kegelisahan serta kebencian sosial timbul di mana-mana. Sebagian
besar pelajar Ibn Khaldun sependapat bahwa dia dipengaruhi oleh doktrin kaum sufi.
Enan yakin bahwa Ibn Khaldun mempunyai kecenderungan sufi yang kuat.
12
Kalau kami boleh membandingkan dialektika kaum sufi dengan dialektika
Hegel, maka Ibn Khaldun lebih mirip dengan Marx, Ibn Khaldun meyakini bahwa
masyarakat, sebagaimana juga alam, diatur oleh proses dialektis. Tetapi tampaknya
dia melihat dalam dialektika kaum sufi terlalu banyak unsur spiritual atau idealisme
untuk diterapkan dalam proses sosial yang nyata.
Pendorong utama di balik dialektika sosial Ibn Khaldun adalah ‘assabiyah.
‘Assabiyah memainkan peranan yang sama seperi kehendak Allah bagi kaum sufi. Ini
tidak berarti Ibn Khaldun menolak keterlibatan Allah dalam proses sosial. Ternyata,
sebagai muslim yang saleh dia sangat mempercayai bahwa kehendak Allah berada di
balik fenomena alam dan fenomena sosial; tetapi Allah tidak layak melakukan sesuatu
yang kontradiktif dengan hokum alam yang telah diciptakan-Nya itu. Bahkan para
Nabi, yang berhak membuat mukjizat dalam menghadapi hokum sebab-akibat, namun
gerakan mereka dalam lapangan sosial mesti sesuai dengan aspirasi dari ‘assabiyah
atau proteksi dari kelompok mereka.
Ibn Khaldun dianggap sebagai penulis pertama dalam Islam yang secara
terang-terangan menolak kedatangan Mahdi. Dia khususnya membantah apa yang
disebutnya Mahdi Fatimi yaitu keturunan Ali dan Fatimah. Dia tampaknya sangat
tidak menyukai keluarga Ali secara umum, barangkali karena mereka cenderung
bercirikan idealisme yang kuat untuk waktu yang lama dalam permulaan sejarah
Islam. Ibn Khaldun percaya bahwa keluarga Ali takkan dapat melahirkan Mahdi di
masa mendatang karena mereka tidak mempunyai kekuatan sosial yang kuat untuk
mendukungnya saat muncul.
Kemudian Ibn Khaldun melihat tiadanya pertentangan alamiah antara
kekuatan dan kebenaran; lembaga ‘assabiyah dengan sukses menggabung kedua-
duanya. Namun Ibn Khaldun, sebagaimana Pigars, mengklasifikasi raja ke dalam
pemimpin dan penguasa, dan manakala kekuatan dan kebenaran menyatu pada diri
seorang pemimpin dia kemungkinan besar punya watak kepemimpinan lebih dari
sekadar penguasa. Ternyata, ‘assabiyah tidak memperoleh tempat bila kekuasaan
memegang peranan. Ibn Khaldun dengan jelas menunjukkan dalam Muqaddimahnya
bahwa begitu kekuasaan mulai mengganti kepemimpinan di sebuah dinasti,
‘assabiyah setahap demi setahap kehilangan kekuatan dan jalinan kekuatannya dan
akhirnya mau tidak mau akan mati.
13
BAB IV
AGAMA DAN RASIONALISME
1. Agama dan Akal
Sejak awal sejarah tercatat, manusia telah menyaksikan antagonisme antara
agama dan berpikir bebas. Seringkali disebut sangat sulit, bahkan barangkali mustahil,
bagi seseorang untuk taat pada satu dogma keagamaan tertentu dan pada saat yang
sama menjadi seorang pemikir bebas atau rasionalis. Menurut Benn, rasionalisme
adalah kritik musuh dogma teologis, kebiasaan mental menggunakan akal untuk
menghancurkan keyakinan keagamaan.
14
Sebuah kesalahan umum para pelajar agama adalah, mereka mencoba
mendefinisikan esensi semua tipe agama menurut suatu kerangka referensi. Sebagai
contoh, Durkheim membuktikan bahwa sumber agama adalah masyarakat sendiri;
tidak ada konsep keagamaan, yang ada hanyalah simbol karakteristik masyarakat itu,
dan substansi fungsi sosial agama termaktub dalam proses kreasi, penguatan, dan
pelestarian solidaritas sosial masyarakat itu. Durkheim memfokuskan diri pada agama
masyarakat sakral. Dia mengabaikan fakta bahwa agama yang hidup dalam
masyarakat sekular mempunyai fungsi dan arti berbeda.
Agama dalam dunia sekular, apapun orientasi idealistiknya, tidak akan dapat
bertahan lama tanpa berkompromi. Karena itu cepat atau lambat agama
terlembagakan, tujuan yang mengentalkan masyarakat pada dasar status quo bukan
mengembangkan relasi sosial antara penindas dan kaum tertindas. Kini tidak ada lagi
agama kelas seperti dahulu.
Sebagaimana dikemukakan Max Weber, kelompok keagamaan masuk ke
arena perjuangan itu demi kekuasaan seperti kelompok sekular lainnya. Dalam protes
terhadap sekularisasi agama, sekte muncul sebagai agama idealistis baru di antara
kelas bawah, memperuncing “dilemma gereja”. Sejarah agama dalam masyarakat
sekular menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk membicarakan lingkaran
dialektis. Setiap agama baru, yang pada mulanya berorientasi pada ideal-ideal yang
luhur, akhirnya cenderung menjadi sekular serta melembaga dan perlahan-lahan
kehilangan idealismenya.
Antagonisme antara agama dan akal tidak dapat dianggap alami, tidak pula
absolut. Hal ini dapat dianggap hasil sekularisasi dari “gereja” dan “sekte”. Para
ulama gereja, sebagaimana kelas atas yang mendukungnya, menginginkan
pengikutnya taat secara buta pada ajaran-ajaran gereja yang telah terlembaga.
Maka akal tidaklah bertentangan dengan semua bentuk agama. Biasanya akal
tidak cocok dengan apa yang disebut “agama kelompok”, yaitu tipe agama yang
bersatu dengan solidaritas sosial dan integrasi moral seluruh lapisan masyarakat. Di
sini antagonisme tidaklah antara akal dan agama sedemikian rupa, tetapi antara
pemikiran bebas dengan integrasi sosial.
2. Islam dan Akal
Kita telah mencatat sebelumnya bahwa Muhammad tidaklah muncul dalam
masyarakat pengembara. Dalam masyarakat tersebut tidak mungkin muncul seorang
15
Nabi. Sebagaimana dijelaskan oleh Margoliouth, “tata komunitas yang terbaik adalah
yang kecil kesempatan ada Nabinya.” Muhammad muncul di kota Mekkah ketika
proses sekularisasi berkembang pesat. Mekkah merupakan pusat perdagangan dan
praktek riba dan tempat menyelesaikan urusan dagang. Jurang pemisah yang lebar
timbul antara kelas atas dan kelas bawah. Suku Quraisy yang merupakan kelompok
aristokrat di kota tersebut juga melindungi Ka’bah, pusat penunaian ibadah haji di
Arabia.
Menurut ucapan Muhammad sendiri (hadis), dia dikenal mempunyai dorongan
berpikir sendiri dan penggunaan akal bebas. Dia pernah menyatakan agama adalah
akal, tidaklah beragama orang yang berakal. Keagamaan seseorang tidaklah sempurna
kecuali kemampuan berpikirnya sempurna.
Dalam periode Mekkah, Muhammad kebanyakan mengarah kepada kelas
tertindas di kota. Oleh karena itu beberapa bukti yang didasarkan indikasi kekuasaan
dan kebenaran dianggap tidak rasional dan tidak legal, karena alasan sederhana bahwa
hal itu bertentangan dengan peristiwa-peristiwa actual waktu itu. Setelah hijrah
(kepergian Muhammad ke Madinah) bukti-bukti tidak logis selama periode Mekkah
menjadi logis (dalam hubungan-hubungannya dengan anggota suku pengembara di
Arabia).
Dari pandangan ini, dapat dengan jelas dipahami sikap tegas Muhammad
melawan institusionalisasi kaku atas upacara dan pemujaan keagamaan. Beliau
melihat ritus agama tidak merupakan kewajiban formal yang harus dibentuk untuk
keperluan tersebut, tetapi lebih merupakan perwujudan ketundukan yang hidup atas
kepercayaan kepada Allah. Beliau berulangkali menegaskan bahwa do’a dan berbagai
bentuk ritus lainnya dimaksudkan untuk mengingatkan para alim ulama akan
tanggung jawab moral dan sosial mereka.
a. Hukum Identitas
Menurut hukum ini, “segala sesuatu mempunyai karakter tertentu yang ia
tetap bertahan lebih atau kurang”. Ini menunjukkan tidak berartinya waktu.
Apabila sesuatu itu bagus, maka akan bagus untuk selamanya. Dari sudut
pandangan sosial, pandangan eternalistik ini agak menguntungkan.
b. Hukum Kontradiksi
16
Sesuatu tidak dapat mempunyai dan tidak mempunyai sifat tertentu.
Hukum ini jelas-jelas memusuhi pemikiran yang relativistik. Ini merupakan suatu
keuntungan sosial bagi masyarakat sakral, di mana formulasi relativistik tentang
kebaikan bahkan tidak dapat dipahami.
c. Hukum Penolak Penengah
Hukum menunjukkan adanya orientasi spiritualistik dari logika
Aristoteles; sesuatu itu mungkin baik atau buruk. Sebagaimana diajarkan oleh
Yesus, beserta kami atau memusuhi kami. Tidak ada penengah antara kebaikan
dan kemungkaran. Ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan modern, baik ilmu
kealaman maupun ilmu sosial, gaya piker bivalen ini belum dianggap absah.
Pertentangan teoritis antara kaum tradisionis dan kaum Mu’tazilah ini
mengangkat dan masuk ke bidang politik. Memuncak ketika al-Ma’mun, yang
terkenal dengan kecenderungan rasionalistiknya, menaiki tahta khalifah.
Memang sulit untuk menjumpai pendukung pemikiran bebas dan
rasionalisme yang memaksakan kepercayaan mereka terhadap partai-partai
oposan. Ini barangkali dianggap semacam pengakuan tidak langsung dari pihak
Mu’tazilah bahwa aturan logika tidak seluruhnya benar atau meyakinkan.
Akhirnya kaum tradisionis memenangkan peperangan tersebut. Pada tahun
232 H. pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, diputuskan untuk memerangi
kaum Mu’tazilah, yang ketika mereka berkuasa dahulu, kaum tradisionis
diperiksa, diperlakukan dengan kejam dan ditindas. Meskipun kenyataannya al-
Mutawakkil seorang khalifah yang paling tidak adil dan kejam, kaum tradisionis
menganggapnya satu di antara khalifah terbesar yang menghidupkan kembali
ajaran Islam asli. Namun kemenangan kaum tradisionis tersebut sangat penting
dalam perkembangan pemikiran Islam.
3. Ibn Khaldun dan Logika Realistiknya
Kami percaya bahwa Ibn Khaldun dapat ditempatkan sebagai pengikut al-
Ghazali dan juga pengikut Ibn Rasyid sekaligus. Dia mengambil dari al-Ghazali
17
permusuhannya terhadap logika Aristoteles, dan pada saat yang sama mengambil
sikap-sikap baik Ibn Rasyid terhadap massa.
Ini barangkali merupakan titik tolak dari teori Ibn Khaldun. Dalam karyanya
Muqaddimah Ibn Khaldun terutama bermaksud membangun bentuk logika yang
realistis sebagai pengganti logika lama yang idealistik.
Ibn Khaldun dengan tegas membedakan antara Islam dan agama-agama lain.
Islam berbeda karena institusi jihadnya (perang suci), yang dengan tegas
memerintahkan pengikutnya agar memaklumkan perang terhadap masyarakat lain,
menyerang mereka dan membuat mereka memeluk agama Allah. Bagi Ibn Khaldun,
semua agama lain dimaksudkan agar dipraktekan di dalam komunitasnya sendiri;
bukan supaya dianut oleh komunitas lain. Karena itu Islam mendirikan institusi
khalifah yang khas, yang dengannya perang dan urusan politik dapat diatur untuk
kemajuan masyarakat Islam.
Logika Ibn Khaldun digunakan oleh khalayak ramai atau mayoritas manusia,
sedangkan logika Aristoteles digunakan oleh kelompok kecil. Menurut doktrin ijma’,
Allah senantiasa berpihak kepada yang mayoritas. Di antara kedua sistem berpikir
yang saling bertentangan, logika lama atau logika baru Ibn Khaldun, mana yang lebih
dekat agama? Bagi para pemikir yang menganut moralitas agama, logika idealistik
Aristoteles tentu lebih unggul, tetapi bagi mereka yang menganut agama yang
formalistis akan menganggap logika realistik Ibn Khaldun satu-satunya cara berpikir
yang benar.
BAB V
ISLAM VERSUS NOMADISME
1. Islam dan Bangsa Arab
Beberapa sarjana Islam sependapat dengan Goldziher yang mengatakan bahwa
semangat Islam berjalan bertentangan dengan pola kebudayaan kaum nomad Arab. Di
sini dikutipkan Nicholson:Ajaran Islam secara langsung menentang ideal-ideal dan tradisi-tradisi penyembahan berhala,
dan seperti dikatakan Goldziher, keasliannya terletak bukan pada doktrinnya, sebagaimana
18
ajaran Yahudi dan Kristen, tetapi fakta bahwa rupanya Muhammad yang pertama sekali
menegakkan doktrin ini dengan gigih menentang pandangan hidup bangsa Arab.
Islam menekankan bahwa umat Islam harus memperlakukan orang lain seperti
saudaranya. Dalam suatu hadisnya Nabi Muhammad menyatakan bahwa “manusia
adalah keluarga Allah, dan manusia yang paling dicintai Allah adalah mereka yang
paling suka menolong keluarga-Nya.” Nabi-nabi Yahudi yang sangat dikagumi oleh
Muhammad, dengan penuh semangat mengkritik disintegrasi moral dan sekularisasi
spesial peradaban kuno.
Menurut Muir, Islam tidak dimaksudkan untuk menjadi agama universal,
karena dunia Muhammad adalah Arabia dan untuk orang-orang Arablah Islam
diturunkan. “Dari awal hingga akhir dakwah ditujukan terutama kepada bangsa Arab
dan hanya bagi mereka saja.”
2. Asabiyah Dalam Islam
Untuk memperluas wilayah kekuasaan Islam, Muhammad berusaha
menekankan semangat kesukuan sempit kaum nomad dan menggantinya dengan
semangat keagamaan. Beberapa orang Arab dengan terang-terangan mengatakan
bahwa “Nabi palsu dari suku kami lebih baik ketimbang Nabi sebenarnya dari suku
Quraisy”. Semangat kesukuan, sebagaimana telah disebutkan merupakan satu factor
utama yang mendasari pemberontakan kaum nomad terhadap peraturan Islam.
Kendali pemerintahan Islam setelah wafatnya Nabi berada di tangan orang
berpandangan jauh, Umar Ibn al-Khattab yang tampak sangat cakap untuk menembus
sifat dasar orang-orang Arab.
Pada umumnya, para sejarawan muslim cenderung menganggap kematian
Umar (dibunuh oleh seorang Persia ketika sedang shalat di masjid besar Madinah, 644
M) satu di antara malapetaka terbesar dalam Islam. “Keberuntungan Islam telah
dibungkus dengan kain kafan Umar, kata mereka.” Para sejarawan sependapat,
sebagian besar huru-hara dan kegelisahan sosial yang terjadi pada pemerintah Usman
tidak akan terjadi seandainya Umar hidup lebih lama.
Ustman mempraktekkan nepotisme. Kaum kerabatnya, yang terdiri dari
keluarga terkemuka suku Quraisy, diangkat menjadi pejabat-pejabat penting di dalam
pemerintahan yang baru saja berdiri dan hidup di daerah yang subur.
19
Sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini, pertarungan antara Ali dan
Mu’awiyah dianggap oleh beberapa muslim ortodoks sebagai contoh konflik abadi
antara kekuasaan dan kebenaran, yang ideal dan yang real, politik dan agama. Banyak
sejarawan percaya bahwa sebab utama kegagalan Ali melawan Mu’awiyah karena Ali
gagal memperhatikan semangat kesukuan (‘asabiyah). Dia mengurus semua orang
secara sama sesuai semangat Islam yang murni. Ali tidak menganggap orang Arab
lebih baik dari orang non-Arab, dan dia tidak membujuk para kepala dan pemimpin
suku. Sebaliknya, Mu’awiyah mendasarkan segala keputusannya atas kemaslahatan
semangat kesukuan.
Setelah berdirinya dinasti Umayyah, kaum Khawarij secara pelan-pelan mulai
menarik diri dari Irak, dan bergerak menuju padang pasir, tempat kediaman yang asli,
di mana mereka lebih leluasa mempertahankan nilai-nilai agama.
Hingga batas tertentu, Bani Umayyah menganggap perlunya memulai lagi
peperangan melawan dunia luar. Yang paling penting menaklukkan orang-orang
asing, untuk melanjutkan apa yang telah dicapai Umar selama pemerintahannya.
Prajurit-prajurit Arab menjangkau perbatasan Cina sebelah Timur dan menembus
Prancis di sebelah Barat. Sebagai akibat terjadinya kontak dengan berbagai
masyarakat, dua corak semangat mulai berkembang: pertama, semangat yang
membedakan antara Arab Utara dan Arab Selatan, dan kedua semangat gabungan
seluruh Arab melawan non-Arab. Bani Umayyah sementara berpihak kepada orang-
orang Arab melawan non-Arab.
3. Sifat Dasar Islam
Sebagai akibat dari jatuhnya dinasti Umayyah, Islam mulai diberi bentuk baru
oleh sebagian besar pemeluk non-Arab; Islam mulai menghilangkan nilai-nilai
nomadisme. Secara umum para ahli hadis menerima hadis-hadis secara benar dan
jujur di satu segi dan berdasar keterlibatan mereka di dalam kelompok-kelompok
bid’ah tertentu atau partai yang tidak populer di segi lain.
Kita dapat memahami, bagaimana sifat dasar Islam akhirnya diwarnai oleh
nilai-nilai peradaban. Kita dapat menjumpai dalam Islam, bahkan pada saat itu,
beberapa aspek yang bertentangan dengan kecenderungan dasariah dan nomadisme.
20
1. Ketika orang nomad begitu phobinya terhadap masalah intelektual, terdapat
kecenderungan yang kuat dalam Islam terhadap pengetahuan ilmiah yang
semacamnya.
2. Masyarakat nomad memandang hina profesi-profesi dan merendahkan orang-
orang yang bergantung hidup kepada mata pencaharian dan bisnis karena
menurut mereka, orang-orang ini lemah dan ditundukkan oleh yang lain, dan
itulah yang justru hendak diperangi dan dienyahkan oleh kaum nomad.
Ternyata, Umar mengambil sejumlah ukuran positif yang dengan jelas
menunjukkan kebijaksanaannya untuk lebih mengarahkan Islam menuju semangat
politik-militan ketimbang menuju ketaatan damai.
1. Mengubah azan yang tradisional. Azan, sebelum Umar, berisi kalimat-kalimat
yang mengingatkan umat Islam bahwa shalat merupakan kegiatan keagamaan
yang terbaik.
2. Melarang orang-orang Arab melakukan kegiatan pertanian. Umar bahkan
mencegah mereka hidup di kota dan berbaur dengan penduduk kota.
3. Menyusun tentara Islam berdasarkan garis kesukuan. Umar juga
memperingatkan mereka agar tidak mengambil dan menyerap adat-istiadat
orang-orang asing.
4. Mengangkat mereka yang disebut oleh Ibn Khaldun pemegang ‘asabiyah
menjadi pejabat pemerintahan dan militer.
4. Ibn Khaldun tentang Nomadisme dan Peradaban
Ibn Khaldun seorang Arab, dan sangat mengagumi bangsa Arab. Dia bukan
shu’ubite seperti kata Amin, dan bukan pula dari suku Barbar seperti dikatakan oleh
Enan.
Beberapa penulis sebelum Ibn Khaldun telah berusaha membela orang-orang
Arab namun gagal, barangkali karena mereka mempergunakan konsep
berargumentasi yang sama dengan yang digunakan oleh lawan mereka. Ibn Khaldun
sangat hati-hati dengan masalah ini. Pertama sekali dia membuktikan bahwa
kebohongan boleh jadi tidak disengaja; seorang jujur dapat saja bohong tanpa dia
sadari. Berbohong itu alami dan wajar; dan itu karena beberapa penyebabnya yang
tidak bisa dihindari:
1. Bias dan pemihakan terhadap mazhab atau aliran pemikiran tertentu.
21
2. Terlalu percaya kepada para penyiar dusta.
3. Tidak memahami maksud informasi.
4. Kecenderungan untuk percaya.
5. Ketidaktahuan bagaimana kondisi sesuai dengan realitas.
6. Sanjungan dan penghargaan yang berlebihan.
7. Tidak mengetahui waktu kondisi yang muncul dalam suatu peradaban.
Kecenderungan Ibn Khaldun untuk membela kepentingan masyarakat nomad
ini akan lebih jelas bila dimati dari karyanya:
1. Ibn Khaldun tampaknya mengistimewakan nomadisme berdasarkan nilai-nilai
dirinya (mengenai sifat manusia).
2. Alasan lain mengapa Ibn Khaldun lebih memihak nomadisme terletak pada
kenyataan bahwa ketimbang yang lainnya, kaum nomad lebuh cakap
berperang dan menaklukan masyarakat lain, manusia secara alamiah
cenderung berhasrat menguasai manusia lain.
3. Ibn Khaldun juga mencatat bahwa digunakannya kekuasaan untuk maksud
kontrol sosial membuat manusia sangat mungkin tidak jujur dan dusta.
4. Ibn Khaldun mencatat bahwa peardaban biasanya bersekutu dengan hasrat
kemeawahan.
5. Adanya perdagangan dan kerajinan tangan dalam peradaban menuntut adanya
kelihaian dan tipu daya.
6. Kaum nomad mudah menyesuaikan diri dengan disiplin keagamaan dan
asketisme.
5. Faktor Personal di Balik Teori Ibn Khaldun
Beberapa sarjana modern yang mempelajari Ibn Khaldun cenderung
menginterpretasikan teorinya yang tampak pada mereka saat kini, berdasarkan sistem
nilai peradaban modern.
Baiklah kita ambil contoh para penulis modern tersebut dan memeriksa cara
mereka menginterpretasikan sikap Ibn Khaldun mengenai orang-orang Arab.
22
1. Enan sangat yakin bahwa Ibn Khaldun adalah orang Barbar yang membenci
orang-orang Arab hanya karena sentiment kebangsannya melawan para
penakluk tanah airnya.
2. Husri berusaha menolak pendapat Enan. Dia percaya bahwa yang
dimaksudkan dengan “orang Arab” oleh Ibn Khaldun adalah orang nomad
secara umum. Husri mendasari argumennya atas pertimbangan filologis
tertentu.
3. Toynbee berusaha menjelaskan kritik Ibn Khaldun terhadap orang-orang Arab
secara agak berbeda. Dia mengacu pada kenyataan bahwa Ibn Khaldun
berasala dari Arab bagian selatan. Dengan memperolok-olokkan bangsa Arab,
Ibn Khaldun memaksudkan bangsa Arab bagian Utara.
Pada masanya, Ibn Khaldun melewati fase yang biasanya mencirikan
kehidupan manusia marginal tipikal:
1. Suatu tahapan ketika dia tidak menyadari bahwa konflik kebudayaan
melingkupi riwayat dirinya.
2. Tahapan kedua adalah periode ketika dia secara sadar mengalami konflik
nilai-nilai.
3. Tahapan ketiga menyangkut tanggapan manusia marginal terhadap situasinya,
“penyesuaian diri yang ia buat atau yang ia usahakan dibuat. Dia bisa jadi
berhasil menyesuaikan diri yang memungkinkannya merasa mudah kembali;
dia kemudian keluar dari kelas marginal”.
Marilah kita lihat bagaimana Ibn Khaldun menyingkapi masing-masing ketiga
kelompok tersebut.
1. Bani Umayyah: Ibn Khaldun percaya bahwa dinasti Umayyah seperti dinasti
lainnya dalam sejarah kemanusiaan, mereka baik pada awalnya dan jelek pada
akhirnya.
2. Bangsa Arab: Ibn Khaldun menerapkan prinsip relativisme. Bangsa Arab
tidaklah jelek seluruhnya; mereka baik dalam hal-hal tertentu dan jelek dalam
hal-hal lainnya.
3. Suku Nomad: pada umumnya Ibn Khaldun mengemukakan prinsip sebab-
akibat atau prinsip materialisme.
23
Konsepsi dan persepsi biasanya berjalan seiring, saling niscaya satu sama lain,
atau seperti dinyatakan oleh Kant, “konsepsi tanpa persepsi adalah lumpuh; persepsi
tanpa konsepsi adalah buta”. Maka kekayaan pengalaman Ibn Khaldun noleh jadi
tidak berguna sama sekali jika tidak ada kecenderungan konsepsual (dalam menelaah
data yang tersusun sepanjang garis-garis tertentu).
24