respon kinerja pertumbuhan itik pedaging...
TRANSCRIPT
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”,
Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 537
RESPON KINERJA PERTUMBUHAN ITIK PEDAGING
TERHADAP LEVEL PROTEIN PAKAN BERBEDA
Suryana, A. Darmawan, H. Kurniawan, Sholih, N.H, dan Suprijono
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan
Jl. P. Batur Barat No. 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Kebutuhan daging secara nasional, hingga saat ini sebagian besar masih bertumpu pada
ternak sapi dan ayam. Sementara pemintaan konsumen terhadap daging itik dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan yang signifikan, hal ini dindikasikan dengan tumbuhnya
warung makan dan restoran dengan menu itik. Alternatif usaha untuk mengimbangi laju
permintaan daging unggas, salah satunya dapat dipenuhi dengan pemeliharaan itik pedaging.
Itik pedaging merupakan hasil persilangan antara itik Alabio betina dengan entok yang
dikenal dengan sebutuan itik serati atau mandalung Itik serati atau mule duck umumnya
merupakan salah satu hibrida hasil persilangan antara itik lokal dengan itik Manila atau
entok (Cairina moschata), yang potensial sebagai penghasil daging, serta mempunyai kadar
lemak rendah dibanding jenis itik lainnya. Kegiatan ini dilaksanakan di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan dan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, dengan memilih beberapa
peternak kooperator. Perlakuan yang dikenakan adalah sebagai berikut : A= pakan pola
petani /kontrol; B = protein pakan 14%; C= protein pakan 16% dan D = protein pakan
18%. Parameter yang diamati antara lain berat badan awal, pertambahan berat badan
mingguan, konsumsi pakan, konversi pakan, berat badan akhir, bobot potong, bobot karkas,
persentase karkas dan lemak abdominal serta perhitungan analisis finansial usaha beternak
itik pedaging. Hasil kajian mununjukkan bahwa penggunaan level protein pakan 18% dalam
ransum berpengaruh sangat nyata (P< 0,01) terhadap pertambahan bobot badan, bobot
badan akhir, bobot karkas dan persentease karkas, sementara persentase lemak abdominal
terendah diperoleh perlakuan C (protein pakan 16%). Berdasarkan perhitungan ekonomi
sederhana bahwa usaha beternak itik pedaging sebanyak 100 ekor/periode, dengan asumsi
kematian nol persen, perlakuan D (protein pakan 18%) mempunyai nilai keuntungan sebesar
Rp.1.800.000/periode, dengan nilai R/C 1,27. Karena nilai R/C-nya lebih dari 1, maka usaha
beternak itik pedaging tersebut masih layak dan menguntungkan.
Kata kunci: Itik pedaging, performa pertumbuhan, protein pakan.
Pendahuluan
Kalimantan Selatan memiliki potensi luas wilayah sebesar 3.753.052 ha, terdiri dari
lahan kering, pekarangan, tegalan/kebun, ladang/huma, padang penggembalaan, lahan tidur,
hutan rakyat, perkebunan, rawa tidak ditanami, tambak, kolam/empang dan hutan, dengan
jumlah penduduk 3.201.962 jiwa (Dinas Peternakan Kalimantan Selatan, 2011). Potensi
tersebut salah satunya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan itik, baik sebagai penghasil
Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 538
telur maupun daging. Kebutuhan daging saat ini sebagian besar masih bertumpu pada ternak
sapi dan ayam, dan kontribusi itik masih realtif kecil. Alternatif usaha untuk mengimbangi
laju permintaan daging, salah satunya dapat dipenuhi dengan pemeliharaan itik pedaging,
yakni hasil persilangan antara itik Alabio betina dengan entok atau itik peking, yang kita
kenal dengan sebutuan itik serati atau mandalung (Suparyanto 2005; Suryana, 2008), tik-tok
(Simanjuntak, 2002), branti, togri, tongki (Srigandono, 2000). Alasan dipilihnya jenis
unggas tersebut karena pertumbuhannya cepat, mempunyai bobot badan besar dan produktif
dalam menghasilkan daging (Roesdiyanto dan Purwantini, 2001; Simanjuntak, 2002;
Setioko 2003).
Itik serati atau mule duck /itik pedaging umumnya merupakan salah satu hibrida hasil
persilangan antara itik lokal dengan itik Manila atau entok (Cairina moschata), yang
potensial sebagai penghasil daging (Dijaya, 2003; Bakrie et al. 2005), dan mempunyai kadar
lemak rendah dibanding jenis itik pedaging lainnya (Simanjuntak, 2002; Setioko, 2003;
Suparyanto, 2005). Menurut Harahap (1993), itik serati sudah sejak lama berada di pedesaan
dan petani mengenalnya sebagai itik persilangan antara itik lokal dengan entok. Karena
pemeliharaanya yang ekstensif-tradisional memberi kesempatan terjadinya perkawinan
silang secara alami (Anwar, 2005). Itik serati yang berkembang di Kalimantan Selatan saat
ini berasal dari persilangan antara entok jantan dengan itik alabio betina atau sebaliknya
(Wasito dan Rohaeni, 1994; Suryana, 1998).
Sistem pemeliharaan itik serati/itik pedaging masih dilakukan secara ekstensif-
tradisional dengan pemberian pakan seadanya, diumbar di padang penggembalaan seperti
sawah, sungai dan rawa-rawa yang ada di sekitar permukiman. Bibit serati diperoleh dengan
cara menyilangkan (crossing) secara alami antara itik Alabio jantan dengan entok betina,
atau sebaliknya dengan jumlah telur yang ditetaskan relatif sedikit, telur dierami
menggunakan entok betina hingga menetas (Roesdiyanto dan Purwantini, 2001; Anwar,
2005), dan daya tetasnya berkisar antara 30-75% (Harahap, 1993; Dijaya, 2003; Setioko,
2003). Jumlah DOD yang dihasilkan rendah, sehingga perkembangan populasinya lamban
(Wasito dan Rohaeni, 1994). Metzer Farms (2001) memperkirakan bahwa DOD itik serati
yang menetas 60% adalah jantan, hal ini tidak menjadi masalah karena jantan maupun
betina diarahkan untuk menghasilkan daging yang pertumbuhannya relatif sama.
Keunggulan yang dimiliki itik serati/itik pedaging, antara lain pertumbuhan yang
cepat dan mampu mengubah pakan berkualitas rendah menjadi daging (Hutabarat, 1982;
Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000), tahan terhadap serangan penyakit dan mortalitasnya
rendah berkisar antara 2-5% (Anwar, 2005), memiliki daging yang tebal, berwarna coklat
muda, tekstur lembut dan bercita rasa gurih (Suparyanto, 2005). Itik serati jantan umur 12
minggu mencapai bobot badan 1.920,3 kg/ekor, sedangkan betina 1.911,8 kg/ekor dengan
rata-rata persentase karkas masing-masing sebesar 63,23% dan 72,64% (Suparyanto, 2005).
Srigandono (2000) dan Dijaya (2003) mengemukakan bahwa itik serati pada umur 10
minggu mencapai bobot badan 2,2-2,5 kg/ekor, dan umur 12 minggu bobot badannya
berkisar antara 2,5-3,0 kg. Wasito dan Rohaeni (1994) melaporkan bahwa itik serati betina
umur 10 minggu mencapai bobot badan 2,4 kg, sedangkan jantan umur 12 minggu bobot
badannya sekitar 4,30 kg, konversi pakan 2,7, dan rata-rata persentase karkas berkisar
antara 65,0-70,0%. Bobot karkas itik serati umur 8 dan10 minggu masing-masing mencapai
1.366,8 g/ekor dan 1.142,69 g/ekor (Roesdiyanto dan Purwantini, 2001). Karakteristik itik
serati umumnya hampir menyerupai entok yaitu memiliki tubuh besar, tenang, dapat
berenang, tetapi tidak bisa terbang (Harahap, 1993).
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan itik serati/itik pedaging di tingkat
petani-ternak salah satunya adalah tingkat pertumbuhaan yang belum stabil, sehingga
peningkatan berat badan yang dicapai di tingkat petani masih bervariasi. Untuk
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”,
Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 539
meningkatkan pertumbuhan itik pedaging, di samping harus terpenuhinya asupan gizi
dengan kualitas pakan yang memadai, juga tingkat protein pakan yang sesuai dengan
kebutuhan hidup dan produksi daging. Penelitian tentang pengaruh pakan terhadap
pertumbuhan itik lokal telah banyak dilaporkan, namun pada itik pedaging atau itik
persilangan belum banyak dilaporkan. Oleh sebab itu, pengkajian ini pelu dilakukan untuk
mengetahui level protein pakan yang dapat mempenagruhi kinerja performa dan efisensi
pertumbuhan itik pedaging.
Metode Penelitian
Kegiatan ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan 4
(empat) perlakuan dan 5 (lima) kali ulangan. Tiap-tiap ulangan terdiri atas 10 ekor. Pakan
yang digunanakan selama pemeliharaan (Tabel 1), sementara perlakuan yang digunakan
adalah sebagai berikut :
A = Pakan pola petani (kontrol)
B = Pakan formulasi dengan tingkat protein 14%
C = Pakan formulasi dengan tingkat protein 16%
D = Pakan formulasi dengan tingkat protein 18%
Tabel 1. Komposisi pakan perlakuan.
a. Pakan Perlakuan B (Protein 14%)
No. Bahan pakan Persentase
1. Paya/sagu 40
2. Dedak halus 35
3. Pakan jadi (bama/PAR L) 20
4. Mineral itik 2,0
5. Konsentrat 3,0
JUMLAH 100
No. Kandungan nutrien
1. Energi metabolis (kkal/kg) 2.900
2. Protein kasar (%) 14,0
3. Serat kasar (%) 4,17
4. Lemak kasar (%) 5,88
5. Kalsium (%) 3,99
6. Phosphor tersedia (%) 0,65
7. Harga pakan/ kg (Rp). 4.850,-
Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 540
b. Pakan Perlakuan C (Protein 16%)
No. Bahan pakan Persentase
1. Paya/sagu 40
2. Dedak halus 20
3. Pakan jadi (bama/PAR L) 30
4. Mineral itik 2,0
5. Konsentrat 8,0
JUMLAH 100
No. Kandungan nutrien:
1. Energi metabolis (kkal/kg) 2.850
2. Protein kasar (%) 16,0
3. Serat kasar (%) 6,17
4. Lemak kasar (%) 6,88
5. Kalsium (%) 4,99
6. Phosphor tersedia (%) 0,70
7. Harga pakan/ kg (Rp). 5850,-
c. Pakan Perlakuan D (Protein 18%)
No. Bahan pakan Persentase
1. Paya/sagu 35
2. Dedak halus 20
3. Pakan jadi (bama/PAR L) 30
4. Mineral itik 2,0
5. Konsentrat 13
JUMLAH 100
No. Kandungan nutrien
1. Energi metabolis (kkal/kg) 2.950
2. Protein kasar (%) 18,0
3. Serat kasar (%) 4,17
4. Lemak kasar (%) 5,88
5. Kalsium (%) 3,00
6. Phosphor tersedia (%) 0,85
7. Harga pakan/ kg (Rp). 6450,-
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”,
Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 541
Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan meliputi: variabel berat badan awal (g/ekor), konsumsi
pakan, koversi pakan, pertambahan berat badan (g/ekor), berat badan akhir (g/ekor), berat
hidup (g/ekor), berat potong (g/ekor), berat karkas (g/ekor), persentase karkas (%), lemak
abdominal (%) dan perhitungan finansial sederhana usahatani/ternak itik pedaging (R/C
ratio).
Semua data hasil pengamatan dari masing-masing variabel respons dikumpulkan,
dihitung dan dianalisis, sedangkan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap variabel
respons dilakukan analisis ragam. Jika hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh nyata,
dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).
Hasil dan Pembahasan
Konsumsi Pakan
Data pengukuran konsumsi pakan pada masing-masing perlakuan selama
pengkajian disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa
penggunaan level protein pakan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi
pakan itik pedaging umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan
bahwa perlakuan penggunaan level protein pakan 18% berbeda sangat nyata (P<0,01)
dengan perlakuan lainnya.
Tabel 2. Rata – rata konsumsi pakan itik pedaging umur 10 minggu (g/ekor)
Perlakuan Konsumsi Pakan
A (Pakan pola petani/kontrol) 4579,75 a
B (Protein pakan 14%) 4679,75 a
C (Protein pakan 16%) 4794,50 a
D (Prptein pakan 18%) 4840,50 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak
menunjukkan perbedaan nyata pada DMRT 5%.
Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi pakan itik pedaging tertinggi
dihasilkan perlakuan D sebesar 4840,50 g/ekor, disusul perlakuan C (4794,50 g/ekor) dan
terendah perlakuan A sebesar 4579,75 g/ekor. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh
komposisi kandungan bahan penyusun pakan masing-masing perlakua dengan tingkat
palatabilitasnya berbeda-beda, yang menyebabkan konsumsi pakan tinggi. Hasil penelitian
ini sejalan dengan hasil yang dikemukakan Hahliyansyah (2013) bahwa konsumsi pakan
yang dicapai itik serati umur 8 minggu dengan pemberian pakan berbasis empulur sagu
fermentasi dengan tingkat protein pakan 18% sebesar 4347,25 g/ekor.
Pertambahan Berat Badan
Rata-rata penimbangan berat badan akhir masing-masing perlakuan selama
pengkajian tertara pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa
penggunaan level protein pakan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pertambahan
Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 542
berat badan itik pedaging umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan
menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan protein pakan 18% berbeda sangat nyata (P<
0,01) dengan perlakuan lainnya.
Tabel 3. Rata – rata pertambahan berat badan itik pedaging umur 10 minggu (g/ekor)
Perlakuan Pertambahan berat badan
A (Pakan pola petani/kontrol) 915,79 a
B (Protein pakan 14%) 1145,65 b
C (Protein pakan 16%) 1247,82 c
D (Protein pakan 18%) 1545,74 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak
menunjukkan perbedaan nyata pada DMRT 5%.
Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan berat badan itik pedaging
tertinggi dihasilkan perlakuan D sebesar 1545,74 g/ekor, disusul perlakuan C (1247,82
g/ekor), B (1145,65 g/ekor), dan perlakuan A 1041,31 g/ekor. Perbedaan ini diduga
disebabkan oleh konsumsi pakan yang dicapai selama pertumbuhan berbeda pada masing-
masing perlakuan, sehingga pertambahan berat badannya bervariasi. Selain itu, jumlah
konsumsi pakan yang tinggi juga disebabkan oleh tingkat palatabilitas dan kecernaan pakan
yang lebih efisien, sehingga pakan dapat dimanfaatkan lebih baik untuk menghasilkan
daging. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibanding yang dikemukakan Mahliansyah (2013),
bahwa rata-rata pertambahan berat badan tertinggi yang dicapai itik serati umur 8 minggu
dengan pakan berbasis empulur sagu fermentasi mencapi 1247,82 g/ekor. Pernyataan
senada dikemukakan Nasroedin (1995) dan Zuprizal (1998) bahwa pertambahan berat badan
selama pemeliharaan akan berdampak kepada berat badan akhir yang tinggi. Pendapat yang
sama dikemukakan Rasyaf (1995) bahwa laju pertambahan berat badan salah satunya dapat
menentukan berat badan akhir. Menurut Syamsuardi (1989) dalam Matitaputty (2002)
dalam hasil penelitiannya melaporkan bahwa pertambahan berat badan yang tinggi pada itik
dan entog serta hasil persilangannya akan lebih baik, apabila keseimbangan ransum dan
protrein ransum sesuai dengan tingkat umur dan kebutuhan fisiologisnya.
Konversi pakan
Konversi pakan merupakan salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan
efisiensi penggunaan pakan dalam menghasilkan satu kg daging/telur selama satu siklus
produksi. Rata-rata konversi pakan atau perbandingan antara jumlah berat badan akhir
dengan konsumsi pakan pada masing-masing perlakuan selama pengkajian, disajikan pada
Tabel 4. Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa penggunaan protein pakan 18%
dalam pakan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konversi pakan itik serati umur
10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan D tidak
berbeda nyata (P> 0,05) dengan perlakuan lainnya. Walaupun tidak berbeda antar
perlakuan, namun perlakuan C menunjukkan kecenderungan nilai konversi pakan paling
rendah dibanding perlakuan A dan B.
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”,
Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 543
Tabel 4. Rata-rata konversi pakan itik pedaging umur 10 minggu
Perlakuan Konversi Pakan
A (Pakan pola petani/ kontrol ) 3,82 a
B (Protein pakan 14%) 3,32 a
C (Protein pakan 16%) 3,07 a
D (Protein pakan 18%) 3,66 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak
menunjukkan perbedaan nyata pada DMRT 5%.
Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata konversi pakan itik pedaging terendah
dihasilkan perlakuan C sebesar 3,07, disusul perlakuan B (3,32). Perbedaan angka konversi
pakan diduga oleh perbedaan tingkat efisiensi pemanfaatan pakan selama proses
pertumbuhan menjadi daging, masing-masing individu ternak berbeda-beda, walaupun
jumlah, jenis dan waktu pemberiannya sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (1995)
bahwa perbedaan angka konversi pakan salah satunya disebabkan oleh tingkat palabilitas
pakan yang dikonsumsi itu sendiri. Pendapat lain dikemukakan Nuraini (2009) bahwa salah
satu indikator untuk mengukur keberhasilan peningkatan pertambahan berat badan akhir,
salah satunya ditentukan oleh tingkat konsumsi pakan yang efisen dan nilai konversi pakan
(feed conversion ratio) yang lebih kecil. Hasil pengkajian ini lebih rendah dari yang
dilaporkan Mahliansyah (2013), bahwa konversi pakan itik serati selama pemeliharaan 8
minggu sebesar 4,12.
Berat Badan Akhir
Data rata-rata penimbangan berat badan akhir masing-masing perlakuan selama
pengkajian, dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis ragam diketahui bahwa penggunaan
level protein pakan sebesar 18 % berpengaruh sangat nyata (P< 0,01) terhadap berat badan
akhir itik pedaging umur 10 minggu.
Tabel 5. Rata – rata berat badan akhir itik pedaging umur 10 minggu (g/ekor)
Perlakuan Berat badan akhir
A (Pakan pola petani/kontrol ) 1.700 a
B (Protein pakan 14%) 1.850 b
C (Protein pakan 16%) 1.990 c
D (Protein pakan 18%) 2.150 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak
menunjukkan perbedaan nyata pada DMRT 5%.
Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata berat badan akhir itik pedaging tertinggi
dihasilkan perlakuan D sebesar 2.150 g/ekor, disusul perlakuan C (1.990 g/ekor), B (1.850
g/ekor), dan terendah perlakuan A sebesar 1.700 g/ekor. Perbedaan ini diduga disebabkan
oleh tingkat konsumsi pakan yang dicapai selama pertumbuhan masing-masing perlakuan
berbeda. Selain jumlah konsumsi pakan yang tinggi juga disebabkan oleh tingkat
palatabilitas pakan yang baik dengan tingkat kecernaannya optimal, sehingga pakan dapat
Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 544
dimanfaatkan lebih efisien untuk menghasilkan daging. Berat badan akhir yang dicapai
menunjukkan peningkatan yang lebih baik seiring dengan pertambahan level protein pakan.
Hasil pengkajian ini lebih tinggi dibanding yang dikemukakan Mahliansyah (2013), bahwa
rata-rata berat badan akhir yang dicapai itik serati pada 8 minggu, dengan pemberian pakan
berbasis empulur sagu fermentasi sebasar 1393,75 g/ekor. Selain itu, pertambahan berat
badan yang tinggi akan mengakibatkan berat badan akhir ikut meningkat seiring dengan laju
pertumbuhan ternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nasroedin (1995) dan Zuprizal
(1998) bahwa pertambahan berat badan selama proses pemeliharaan akan berdampak
kepada berat badan akhir yang tinggi. Pendapat yang sama dikemukakan Rasyaf (1995),
bahwa laju pertambahan berat badan salah satunya dapat menentukan berat badan akhir.
Berat Potong
Data rata – rata hasil penimbangan terhadap berat potong masing-masing perlakuan,
disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa penggunaan level
protein pakan 18% berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap berat potong itik pedaging
umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan
penggunaan level protein pakan 18% berbeda sangat nyata (P< 0,01) dengan perlakuan
lainnya.
Tabel 6. Rata-rata berat potong itik pedaging umur 10 minggu (g/ekor)
Perlakuan Berat potong
A (Pakan pola petani/kontrol ) 1,100 a
B (Protein pakan 14%) 1,759 b
C (Protein pakan 16%) 1,801 c
D (Protein pakan 18%) 2,000 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata
menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.
Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata berat potong itik pedaging tertinggi dihasilkan
perlakuan D sebesar 2.000 g/ekor, disusul perlakuan C (1.801 g/ekor), sementara terendah
pada perlakuan A sebesar 1.100 g/ekor. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh berat badan
akhir yang dicapai selama pertumbuhan masing-masing perlakuan berbeda. Berat badan
akhir yang tinggi salah satunya disebabkan karena jumlah konsumsi pakan yang tinggi
dengan tingkat palatabilitas dan efisiensi kecernaan pakan yang baik, sehingga daging yang
dihasilkan meningkat. Selain itu, korelasi antara berat badan akhir yang tinggi akan
mengakibatkan berat potong meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nasroedin (1995)
dan Zuprizal (1998), bahwa berat badan akhir yang dicapai selama pemeliharaan dengan
komposisi pakan berbeda atau sama, akan berdampak kepada berat potong yang dihasilkan.
Pendapat yang sama dikemukakan Rasyaf (1995) bahwa berat badan akhir salah satunya
dapat menentukan berat potong, apabila ternak sudah disembelih.
Berat Karkas
Data rata-rata berat karkas itik pedaging masing-masing perlakuan selama
pengkajian (Tabel 7). Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan
level protein pakan berpengaruh sangat nyata (P<0,1) terhadap berat karkas itik pedaging
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”,
Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 545
umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan
penggunaan level protein pakan 18% berbeda sangat nyata (P< 0,01) dengan perlakuan
lainnya.
Tabel 7. Rata - rata berat karkas itik pedaging umur 10 minggu (g/ekor)
Perlakuan Berat karkas
A (Pakan pola petani/kontrol ) 910 a
B (Protein pakan 14%) 1,100 b
C (Protein pakan 16%) 1,500 c
D (Protein pakan 18%) 1,900 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata
menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.
Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata berat karkas itik pedaging tertinggi dihasilkan
perlakuan D sebesar 1.900 g/ekor, disusul perlakuan C (1.500 g/ekor) dan terendah
perlakuan A sebesar 910 g/ekor. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh berat potong yang
dicapai masing-masing perlakuan berbeda. Semakin tinggi berat potong yang dihasilkan,
semakin tinggi pula berat karkas yang diperoleh. Hal ini senada dengan pendapat
Mahliansyah (2013), bahwa itik serati dengan pemberian pakan berbasis empuluh sagu
fermentasi yang berbeda tingkat kandungan serat kasarnya, menunjukkan perbedaan berat
karkas nyata. Pernyataan yang selaras dikemukakan Uhi et al. (2004), bahwa semakin
tinggi tingkat serat kasar dalam pakan, maka konsumsi pakan semakin rendah, sehingga
mempunyai konsekuensi terhadap pertambahan bobot badan, berat akhir dan berat karkas
yang dicapai berbeda-beda.
Persentase Karkas
Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa penggunaan level protein pakan
18% berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase karkas itik pedaging umur 10
minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan
level protein pakan berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan perlakuan lainnya. Rata-rata
persentase karkas itik pedaging umur 10 minggu selama pengkajian, disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Rata- rata persentase karkas itik pedaging umur 10 minggu (%)
Perlakuan Karkas (%)
A (Pakan pola petani/kontrol) ) 61,24 a
B (Protein pakan 14%) 65,66 b
C (Protein pakan 16%) 69,45 c
D (Protein pakan 18%) 71,23 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak
menunjukkan perbedaan nyata pada DMRT 5%.
Tabel 8 menunjukkan bahwa rata-rata persentase karkas itik pedaging tertinggi
dihasilkan perlakuan D sebesar 71,23%, disusul perlakuan C (69,45%), dan terendah
perlakuan A sebesar 61,24%. Perbedaan persentase karkas yang diperoleh dari perlakuan D
yakni penggunaan level protein pakan 18%, diduga bahwa tingkat konsumsi pakan yang
Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 546
tinggi dan palatabilitasnya baik, sehingga berat potong yang dicapai masing-masing
perlakuan berbeda-beda. Bobot potong berhubungan erat dengan berat badan akhir dan
pertambahan berat badan. Pertambahan berat badan akhir yang tinggi karena jumlah
konsumsi pakan yang tinggi, dengan tingkat palatabilitas pakan yang baik akan
meningkatkan pencapaian berat dan persentase. Hal ini sejalan dengan pendapat Matitaputty
(2002), bahwa konsumsi pakan yang tinggi akan menyebabkan pertambahan berat badan
dan berat badan akhir yang tinggi serta persentase karkas yang tinggi. Persentase karkas itik
pedaging yang dihasilkan dalam kajian ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Lutfi (1988)
dalam Matitaputty (2002) yakni sebesar 64,39%. Selanjutnya laporan lain dikemukakan
Lukman (1995) bahwa persentase karkas itik serati sebesar 63,20% dari bobot hidup.
Laporan lainnya dikemukakan Mahliansyah (2013), bahwa persentase karkas itik serati
selama pemeliharaan 8 minggu berkisar antara 63,34 - 70,66%.
Persentase Lemak Abdominal
Data rata – rata hasil perhitungan persentase lemak abdominal itik pedaging masing-
masing perlakuan selama pengkajian, disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan hasil analisis
ragam, diketahui bahwa penggunaan level protein pakan 18% berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap persentase lemak abdominal itik serati umur 10 minggu. Hasil uji wilayah
berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan level protein pakan 18%
berbeda sangat nyata (P< 0,01) dengan perlakuan lainnya.
Tabel 9. Rataan persentase lemak abdominal itik pedaging umur 10 minggu (%)
Perlakuan Lemak Abdominal
A (Pakan pola petani/kontrol) ) 15,40 a
B (Protein pakan 14%) 13,26 b
C (Protein pakan 16%) 13,57 b
D (Protein pakan 18%) 18,15 c
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sam pada kolom rata-rata tidak
menunjukkan perbedaan nyata pada DMRT 5%.
Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata persentase lemak abdominal tertinggi
dihasilkan perlakuan D sebesar 18,15% dan terendah perlakuan B sebesar 13,26%.
Perbedaan ini diduga disebabkan oleh faktor efiensi pemanfaatan nurien pakan lebih baik,
terutama energi metabolisme (EM/k/kal) yang digunakan selama pertumbuhan masing-
masing perlakuan berbeda, walaupun pakan yang diberikan iso protein dan iso energi,
namum selama proses metabolisme di dalam tubuh karena ada faktor lainnya yang ikut
mempengaruhi, seperti temperatur dan kondisi fisiologis ternak, hal ini akan berdampak
pada pengurangan kandungan lemak tubuh. Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa
penggunaan level protein pakan 14% dapat menurunkan persentase lemak abdominal,
sehingga kandungan lemak abdominalnya lebih yang baik. Hasil kajian ini didukung oleh
pernyataan Mahliansyah (2013), bahwa pakan yang mengandung empulur sagu fermentasi
sebesar 30% dapat mempengaruhi persentase lemak abdominal itik serati selama
pemeliharaan 8 minggu.
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”,
Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 547
Berat Hati
Data penimbangan bobot jerohan (jantung dan empela) itik pedaging masing-masing
perlakuan selama pengkajian, disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan hasil analisis ragam
diketahui bahwa penggunaan level protein 18% berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap berat hati itik pedaging umur 10 minggu. Hasil uji wilayah berganda Duncan
menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan level protein pakan 18% berbeda sangat nyata
(P<0,01) dengan perlakuan lainnya.
Tabel 10. Rata-rata bobot jantung dan empela itik serati umur 10 minggu (g)
Parameter Perlakuan
A B C D
Berat hati (g) 54,62a 54,03
a 63,86
b 74,04
c
Berat jantung (g) 31,19 b 27,41
c 20,58
b 20,58
c
Berat ampela (g) 85,02a 90,75
b 94,33
c 90,57
b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata
menunjukkan tidak nyata pada DMRT 5%.
Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata berat hati itik pedaging tertinggi dihasilkan
perlakuan D 74,04 g/ekor, disusul perlakuan B (63,86 g/ekor) dan terendah perlakuan B
sebesar 54,62 g/ekor. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh berat badan akhir yang dicapai
selama pertumbuhan masing-masing perlakuan berbeda-bedan. Pertambahan berat badan
yang tinggi karena iik mengkonsumsi jumlahi pakan yang tinggi, dengan tingkat
palatabilitas dan kecernaan pakan yang baik. Berat hati yang berbeda diduga oleh
penambahan berat selama pertumbuhan, sehingga berat hati mengalamai peningkatan. Berat
hati menurut Zuprizal (1995) ada hubungannya dengan konsumsi pakan, terutama jika
unggas diberi pakan berupa jagung butiran.
Berat Jantung
Data penimbangan terhadap berat jantung itik pedaging (Tabel 10). Berdasarkan hasil
analisis ragam, diketahui bahwa penggunaan pakan berptotein 18% dalam pakan
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap berat jantung itik pedaging umur 10 minggu.
Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan protein
pakan 18% berbeda sangat nyata (P< 0,01) dengan perlakuan lainnya. Berat jantung
berbeda diduga disebabkan oleh berat akhir masing-masing individu ternak berbeda dengan
tingkat konsumsi pakan yang berbeda pula. Pertumbuhan yang cepat pada unggas dengan
komposisi pakan yang banyak mengandung lemak kasar sering diikuti dengan pembesaran
jantung, sehingga terjadi penimbunan lemak tinggi yang menyelimuti permukaan jantung.
Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (1995) bahwa besarnya jantung pada unggas sangat
berhubungan dengan berat badan dan perlemakan di sekitar jantung.
Berat Empela
Data penimbangan berat rampela itik pedaging masing-masing perlakuan (Tabel 10).
Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa penggunaan pakan berprotein 18%
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap berat empela itik pedaging umur 10 minggu.
Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 548
Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan level
protein 18% berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan perlakuan lainnya.
Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata berat empela itik pedaging tertinggi
dihasilkan perlakuan C sebesar 94,33 g disusul perlakuan B (90,75 g), dan terendah
perlakuan A sebesar 85,02 g. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh berat badan akhir yang
dicapai selama pertumbuhan masing-masing perlakuan berbeda-beda. Berat empela itik
pedaging yang berbeda diduga disebabkan oleh berat akhir masing-masing individu ternak
yang berbeda dalam usaha untuk menghancur pakan secara kimiawi di dalam empela.
Kekuatan otot empela yang besar, menyebabkan empelanya menjadi besar. Hasil pengkajian
ini senada dengan yang dilaporkan Kusyanti (2013), bahwa besarnya empela sangat
dipengaruhi oleh tingkat kontraksi empela pada saat melakukan proses pemecahan pakan
secara kimiawi di dalam empela.
Analisis Usaha (Income Over Duck Feed Cost - IODFC)
Income over duck feed cost (IODFC) itik pedaging dihitung berdasarkan total
pendapatan - (harga bibit/DOD + biaya pakan). Hasil perhitungan analisis usaha sederhana
pemeliharaan itik pedaging selama 10 minggu, disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Analisis kelayakan usaha tani sederhana (Income Over Duck Feed Cost IODFC))
itik pedaging selama 10 Minggu.
No. Uraian Jumlah Harga
satuan (Rp)
Perlakuan (dalam Rp .000)
A B C D
A. Pengeluaran :
Bibit DOD umur 7
hari
100 ekor 12.000 1.200 1.200 1.200 1.200
Pakan 890 kg 4.000 4.000 3.560 3.000 3.500
Obat-obatan/
vitamin
1 paket 100.000 - 100 1000 150
Peralatan kandang/
tempat air minum
20 buah 15.000 300 300 300 300
Upah Tenaga Kerja 2 OB 750.000 1.500 1.500 1.500 1.500
Sub Jumlah 5.000 6.660 6.100 6.650
B Pemasukan :
Jual itik pedaging 100 ekor 70.000 6.000 7.000 7.500 8.000
Pupuk kandang 5 karung 15.000 0 45 50 45
Sub Jumlah 6.000 7.450 7.550 8.450
Keuntungan (B-A) 1.000 850 1.4500 1.800
R/C ratio - - 0,85 1,11 1,23 1,27
Keterangan : OB (orang/bulan)
Tabel 11 dapat dikemukakan bahwa berdasarkan perhitungan sederhana
pemeliharaan itik pedaging dengan jumlah 100 ekor, masing - masing perlakuan yang
memperoleh keuntungan tertinggi adalah level protein 18% yakni sebesar Rp. 1.800.000,-,
R/C ratio atau perbandingan antara biaya dan keuntungan 1,27, dengan asumsi-asumsi yang
digunakan salah satunya tidak ada kematian (mortalitas). Angka R/C ratio lebih dari 1
(satu), dinyatakan bahwa usaha tersebut layak dan menguntungkan.
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”,
Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 549
Kesimpulan
1. Penggunaan level protein pakan 18% dalam ransum berpengaruh sangat nyata terhadap
pertambahah berat badan, berat badan akhir, berat karkas dan persentease karkas itik
pedaging, sementara persentase lemak abdominal terendah diperoleh perlakuan C
(protein pakan 16%).
2. Berdasarkan analisis ekonomi sederhana, usaha beternak itik pedaging sebanyak 100
ekor/periode (2,5 bulan pemeliharaan), dengan asumsi kematian nol persen, perlakuan
D (protein pakan 18%) mempunyai nilai keuntungan sebesar Rp. 1.800.000/periode,
dengan nilai R/C 1,27. Karena nilai R/Cnya lebih dari 1, maka usaha beternak itik
pedaging tersebut layak dan menguntungkan.
Daftar Pustaka
Anwar. R. 2005. Produktivitas itik Manila (Cairina moschata) di Kota Jambi. Jurnal Ilmiah
Ilmu-Ilmu Peternakan VI (1): 24-33.
Bakrie, B., Suwandi dan L. Simanjuntak. 2005. Prospek pemeliharaan terpadu ”Tik-Tok”
dengan padi, ikan dan azolla di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Wartazoa 15 (3):128-
135.
Dijaya, A.S. 2003. Penggemukan Itik Jantan Potong. Penerbit PT. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatam. 2011. Laporan Tahunan 2011. Banjarbaru.
Harahap, D. 1993. Potensi itik mandalung sebagai penghasil daging ditinjau dari berat
karkas dan penilaian organoleptik dagingnya dibandingkan dengan tetuanya.
Disertasi. Prorgam Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Hardjosworo, P.S. dan Rukmiasih. 2000. Meningkatkan Produksi Daging Unggas. Penerbit
PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hutabarat, P.H. 1982. Genotipe x nutrient interaction of crosses between Alabio and Tegal
duck and Muscovy and Pekin draker. Brith.Poult.Sci. (24): 555-563.
Kusyanti. 2013. Tingkat pemberian empulur sagu fermentasi dengan Aspergillus niger
terhadap kualitas karkas itik serati umur 8 minggu. Skripsi. Fakultas Pertanian
Jurusan Peternakan. Universitas Islam Kalimantan. Banjarmasin
Mahliansyah. 2013. Tingkat pemberian empulur sagu fermentasi dengan Aspergillus niger
terhadap performa itik serati umur 2—8 minggu. Skripsi. Fakultas Pertanian Jurusan
Peternakan. Universitas Islam Kalimantan. Banjarmasin
Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan
MINITAB . Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.
Metzer Farms. 2001. Mule duck. [email protected] [10 September 2001].
Suryana et al. : Respon kinerja pertumbuhan itik pedaging | 550
Roesdiyanto dan D. Purwantini. 2001. Kinerja entik hasil persilangan (entok x itik) melalui
inseminasi buatan (IB) yang dipelihara secara intensif. Journal Animal Production 3
(1):31-39.
Setioko, A.R. 2003. Keragaan itik ” Serati” sebagai itik pedaging dan permasalahannya.
Wartazoa 13 (1): 14-21.
Simanjuntak, L. 2002. Mengenal lebih dekat tiktok unggas pedaging hasil persilangan itik
dan entok. Penerbit Agro-Media Pustaka. Jakarta.
Srigandono, B. 2000. Beternak Itik Pedaging. Penerbit PT. Trubus Agriwidya. Jakarta.
Suparyanto, A. 2005. Peningkatan produktivitas daging itik madalung melalui pembentukan
galur induk.Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Suryana. 1998. Optimalisasi pemanfaatan itik alabio jantan sebagai penghasil daging. Balai
Pengkajian Tengkologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan. Banjarbaru. hlm 1-11.
Suryana. 2007. Prospek dan peluang pengembangan itik Alabio di Kalimantan Selatan.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26 (3):109-114.
Wasito dan E.S. Rohaeni. 1994. Beternak Itik Alabio. Penerbit Kanisius Yogjakarta.