respon imun terhadap virus
TRANSCRIPT
RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS
Pendahuluan
Penyakit infeksi dapat menyebabkan kematian satu sampai dua juta orang setiap
tahunnya. Penyebab infeksi yang paling banyak pada manusia adalah virus,bakteri dan parasit.
Masing-masing patogen ini memiliki mekanisme yang berbeda dalam menyebabkan infeksi pada
manusia. Virus merupakan mikroorganisme yang sangat kecil,yang terdiri dari material genetik
yang diselubungi oleh lapisan protein pelindung yang disebut kapsid. Virus hanya dapat
bereproduksi dengan menginvasi sel induknya, virus tidak memiliki kemampuan bereproduksi
sendiri tanpa menginvasi sel induknya. Jenis virus bermacam-macam, berdasarkan bentuknya
antara lain bulat,spiral,seperti butiran salju,dan sebagainya. Virus terdiri dari virus RNA atau
DNA,rantai tunggal atau ganda,monomerik,dismerik,fragmen,sederhana atau kompleks..
Infeksi virus pada manusia akan mengaktifkan sistem imun, berupa respon imun innate
dan adaptif. Respon imun merupakan respon tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut.
Mekanisme pertahanan tubuh terdiri dari mekanisme pertahanan non spesifik dan
mekanisme pertahanan spesifik.Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen
nonadaptif atau innate,atau imunitas alamiah, yang tidak dutujukan hanya untuk satu jenis
antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi dan terdiri
atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk
antigen tertentu.
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga adaptif atau imunitas didapat
adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus untuk satu jenis antigen, karena itu tidak
dapat berperan terhadap jenis antigen yang lain.
Referat ini akan menjelaskan lebih dalam mengenai mekanisme imunitas tubuh manusia
dalam kaitannya dengan infeksi virus.
Virus
1
Virus merupakan organisme subselular yang karena ukurannya sangat kecil, hanya dapat dilihat
dengan menggunakan mikroskop elektron. Ukurannya lebih kecil daripada bakteri. Karena itu
pula, virus tidak dapat disaring dengan penyaring bakteri.
Partikel virus mengandung DNA atau RNA yang dapat berbentuk untai tunggal atau ganda.
Bahan genetik kebanyakan virus hewan dan manusia berupa DNA, dan pada virus tumbuhan
kebanyakan adalah RNA yang beruntai tunggal. Bahan genetik tersebut diselubungi lapisan
protein yang disebut kapsid. Kapsid bisa berbentuk bulat (sferik) atau heliks dan terdiri atas
protein yang disandikan oleh genom virus.
Untuk virus berbentuk heliks, protein kapsid (biasanya disebut protein nukleokapsid) terikat
langsung dengan genom virus. Misalnya, pada virus campak, setiap protein nukleokapsid
terhubung dengan enam basa RNA membentuk heliks sepanjang sekitar 1,3 mikrometer.
Komposisi kompleks protein dan asam nukleat ini disebut nukleokapsid. Pada virus campak,
nukleokapsid ini diselubungi oleh lapisan lipid yang didapatkan dari sel inang, dan glikoprotein
yang disandikan oleh virus melekat pada selubung lipid tersebut. Bagian-bagian ini berfungsi
dalam pengikatan pada dan pemasukan ke sel inang pada awal infeksi.
Kapsid virus sferik menyelubungi genom virus secara keseluruhan dan tidak terlalu berikatan
dengan asam nukleat seperti virus heliks. Struktur ini bisa bervariasi dari ukuran 20 nanometer
hingga 400 nanometer dan terdiri atas protein virus yang tersusun dalam bentuk simetri
ikosahedral. Jumlah protein yang dibutuhkan untuk membentuk kapsid virus sferik ditentukan
dengan koefisien T, yaitu sekitar 60t protein. Sebagai contoh, virus hepatitis B memiliki angka
T=4, butuh 240 protein untuk membentuk kapsid. Seperti virus bentuk heliks, kapsid sebagian
jenis virus sferik dapat diselubungi lapisan lipid, namun biasanya protein kapsid sendiri langsung
terlibat dalam penginfeksian sel.
Partikel lengkap virus disebut virion. Virion berfungsi sebagai alat transportasi gen, sedangkan
komponen selubung dan kapsid bertanggung jawab dalam mekanisme penginfeksian sel inang.
Penggolongan virus
2
Lwoff,Horne dan Tournier merupakan ahli yang berjasa dalam pengembangan taksonomi
virus. Mereka menganjukan beberapa criteria sebagai dasar penggolongan virus. Kriteria tersebut
adalah :
1.Jenis asam nukleat,RNA atau DNA
2.Simetris kapsid
3.Ada tidaknya selubung
4.Banyaknya kapsomer untuk virus ikosahedral atau diameter nukleokapsid untuk virus
Helikoidal
• Virus Berselubung . Virus Kompleks
• Virus Telanjang
3
Virus adalah mikroorganisme yang mengadakan replikasi di dalam sel dan kadang-
kadang memakai asam nukleat atau protein pejamu. Sifat virus yang sangat khusus adalah:
1. Mengganggu sel khusus tanpa merusak. Virus yang tidak menyebabkan kerusakan sel
disebut virus non sitopatik (non cytopathic virus). Bila terjadi kerusakan sel, maka hal ini
akibat reaksi antigen antibodi. Virus ini dapat menjadi persisten dan akhirnya menjadi
kronik, sebagai contoh adalah virus hepatitis B
2. Virus merusak sel atau mengganggu perkembangan sel kemudian menghilang dari tubuh,
dan virus seperti ini disebut virus sitopatik (cytopathic virus), sebagai contoh infeksi
virus HIV, infeksi hepatitis virus lain, dan sebagainya.
3. Dapat menginfeksi jaringan tanpa menimbulkan respons inflamasi
4. Dapat berkembang biak dalam sel pejamu tanpa merusak
Dalam melawan sistem imun, virus secara kontinu mengganti struktur permukaan antigennya
melalui mekanisme antigenic drift dan antigenic shift, seperti yang dilakukan oleh jenis virus
influenza. Permukaan virus influenza terdiri dari hemaglutinin, yang diperlukan untuk adesi ke
sel saat infeksi, dan neuramidase, yang diperlukan untuk menghasilkan bentuk virus baru dari
permukaan asam sialik dari sel yang terinfeksi. Hemaglutinin lebih penting dalam hal
pembentukan imunitas pelindung. Perubahan minor dari antigen hemagglutinin terjadi melalui
4
titik mutasi di genom virus (drift), namun perubahan mayor terjadi melalui perubahan seluruh
material genetik (shift).
Reproduksi virus
.
Untuk berkembangbiak, virus memerlukan lingkungan sel yang hidup. Virus hanya dapat
berkembang biak (bereplikasi) pada medium yang hidup (embrio, jaringan hewan, jaringan
tumbuhan). Karena virus tidak memiliki sistem enzim dan tidak dapat bermetabolisme, maka
virus tidak dapat melakukan reproduksi sendiri. Untuk berkembangbiak mereka harus
menginfeksi sel inang. Berikut akan diuraikan daur hidup virus
1. Fase adsorbs
Fase adsorbsi ditandai dengan melekatnya ekor virus pada dinding sel. Virus menempel
hanya pada tempat-tempat khusus, yakni pada permukaan dinding sel yang memiliki
protein khusus yang dapat ditempeli protein virus. Menempelnya virus pada protein
dinding sel sangat khas, mirip kunci dan gembok. Virus dapat menempel pada sel-sel
tertentu yang diinginkan karena memiliki reseptor pada ujung-ujung serabut ekor. Setelah
5
menempel, virus mengeluarkan enzim lisozim (enzim penghancur) sehingga terbentuk
lubang pada dinding sel.
2. Fase Injeksi
Setelah terbentuk lubang,kapsid virus berkontraksi untuk memompa asam nukleatnya
(DNA dan RNA) masuk ke dalam sel.Jadi kapsid virus tetap berada di luar sel.Jika telah
kosong kapsid lepas dan tidak berfungsi lagi.
3. Fase Sintesis
Virus tidak memiliki “mesin” biosintesis sendiri. Virus akan menggunakan biosintesis
inangnya untuk melakukan kehidupannya. Didalam sel inangnya DNA virus mengambil
alih kendali kehidupan.DNA virus mereplikasikan diri berulang kali dengan jalan
mengkopi diri membentuk DNA virus dengan jumlah banyak.Selanjutnya DNA virus
akan melakukan sintesis protein virus yang akan dijadikan kapsid dengan menggunakan
ribosom sel inangnya dan enzim-enzim sel inangnya.
4. Fase Perakitan
Kapsid yang disintesis mula-mula terpisah-pisah antara bagian kepala,ekor dan serabut
ekor.Bagian-bagian kapsid itu dirakit menjadi kapsid virus yang utuh,kemudian DNA
virus masuk didalamnya.Kini terbentuklah tubuh virus yang utuh.Jumlah virus yang
terbentuk 100-200 buah.
5. Fase Litik
Ketika perakitan virus selesai,virus telah memproduksi enzim lisozim lagi,yakni enzim
penghancur yang akan menghancurkan dinding sel inangnya.Dinding sel mengalami
lisis,dan virus baru akan keluar untuk mencari inang yang lain. Fase ini merupakan fase
lisisnya sel,namun bagi virus merupakan fase penghamburan virus.
6
RESPON IMUN
Respon imun merupakan respon yang ditimbulkan oleh sel-sel dan molekul yang
menyusun sistem imunitas setelah berhadapan dengan substansi asing (antigen). Respon imun ini
juga banyak didefinisikan sebagai respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons ini dapat melibatkan berbagai
macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling
berinteraksi secara kompleks. Respon imun bertanggung jawab mempertahankan kesehatan
tubuh, yaitu mempertahankan tubuh terhadap serangan sel patogen maupun sel kanker.
Respon imun terbagi menjadi dua jenis berdasarkan mekanisme pertahanan tubuh yaitu :
· Respon imun nonspesifik
· Respon imun spesifik
Respon sistem imun tubuh pasca rangsangan substansi asing (antigen) adalah munculnya sel
fungsional yang akan menyajikan antigen tersebut kepada limfosit untuk dieliminasi. Setelah itu
muncul respon imun nonspesifik dan/atau respon imun spesifik, tergantung kondisi survival
antigen tersebut. Apabila dengan repon imun nonspesifik sudah bisa dieliminasi dari tubuh, maka
respon imun spesifik tidak akan terinduksi. Apabila antigen masih bisa bertahan (survival), maka
respon imun spesifik akan terinduksi dan akan melakukan proses pemusnahan antigen tersebut.
Respon imun seluler bertujuan mengeliminasi mikroorganisme intrasel dan terutama
dilakukan oleh limfosit T yang teraktifasi. Aktifasi limfosit membutuhkan paparan antigen dan
stimulus dari sinyal-sinyal yang berasal dari mikroorganisme atau berasal dari respon imun
alamiah terhadap mikroorganisme tersebut.
7
8
IMUNITAS NON SPESIFIK
Imunitas non spesifik disebut juga innate immunity,natural immunity atau native immunity.
Imunitas non spesifik terdiri dari
1.Mekanisme pertahanan fisik dan kimia
2. Sel fagosit (neutofil,makrofag) dan natural killer cell (NK)
3.Protein darah,termasuk system komplemen, dan mediator inflamasi
4.Sitokin yang mengatur dan mengkoordinasi aktivitas sel pada imunitas nonspesifik
Imunitas non spesifik memiliki karakteristik yang khas,yaitu bekerja dengan cepat dalam
hitungan jam,memiliki spesifisitas yang khas terhadap struktur kelompok mikroba tertentu dan
keterbatasan diversity atau keterbatasan dalam mengenal pathogen yang menginveksi
tubuh.Imunitas nonspesifik tidak memiliki kemampuan memori serta terdiri dari beberapa
komponen yang meliputi komponen pertahanan fisikbarier kimia berupa kulit,mukosa epitel dan
zat kimia. Imunitas non spesifik memiliki protein yang beredar dalam sirkulasi darah berupa
komplemen.Sel yang berperan pada pertahanan ini adalah sel fagosit berupa
makrofag,neutrofil,dan natural killer.
9
Respon Imun Non Spesifik mencakup empat sistem kerja yaitu :
1. Peradangan, cedera jaringan, yang berperan : fagositik, neutrofil dan makrofag
2. Interferon, protein yang menjaga tubuh dari Infeksi virus
3. Sel NK, Infeksi virus dan sel kanker
4. Sistem komplemen, dapat diaktifkan oleh benda asing dan antibodi
Respon Peradangan :
1. Pertahanan oleh makrofag
2. Vasodilatasi lokal aliran darah,leukosit fagositik dan protein plasma
3. Peningkatan permeabilitas kapiler, protein plasma lolos ke jaringan
4. Edema lokal akibat pergeseran keseimbangan cairan
5. Pembatasan daerah yang meradang
6. Emigrasi Leukosit yang melibatkan : marginasi, diapedesis, gerakan amuboid dan
kemotaksis
7. Destruksi sel oleh leukosit
Fagosit mengenali sasaran untuk dihancurkan melalui :
1. Jaringan mati atau zat asing memiliki karakteristik permukaan yang berbeda dengan sel
normal
2. Zat asing dilapisi dengan 2 zat kimia yang dihasilkan oleh sel imun menghasilkan
opsonin.
Interferon :
Menghasilkan resistensi non spesifik terhadap infeksi virus serta menghambat replikasi virus.
Juga memperkuat aktifitas imun lain
Sel NK :
Menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan sel kanker dengan langsung melisiskan
membran sel tersebut.
Sistem komplemen :
Merupakan protein – protein plasma yang dihasilkan oleh hati yang inaktif
10
Fungsi komplemen :
1. Komponen komplemen C5 – C9 aktif membrane Attack Complex, yang melubangi sel
sasaran
2. Komponen komplemen aktif lain memperkuat peradangan :
- Sebagai kemotoksin - Merangsang histamin
- Sebagai opsonin - Mengaktifkan kinin
RESPON IMUN SPESIFIK
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas
spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang
diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti
sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan
spesifik disebut juga respons imun didapat.
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang
merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori
imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di
11
kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik
terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen.
Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen (APC =
antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit
B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan
meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan
berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau
meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan
sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell
mediated cytotoxicy (ADCC).
Respon Imun Spesifik terbagi dua sistem kerja yaitu :
Imunitas yang diperantarai oleh antibodi yang merupakan turunan limfosit B
Imunitas yang diperantarai oleh sel yang merupakan limfosit T
Imunitas selular
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan
komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel pluripotensial
yang pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum
tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi limfosit T memerlukan
lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada
permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada permukaan
membran ini dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh
antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya cluster of
differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan masuk ke darah
perifer (limfosit T matur) terdiri atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan
limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel
T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang dipakai adalah
keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali
gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan reseptor
12
antigen dari sel limfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah
memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya mengalami aborsi dalam
timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.
Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor.
Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong
meningkatkan aktivasi sel imunokompeten lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang
akan menekan aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi. Sedangkan
limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis sel target, dan
limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang merekrut sel radang ke
tempat antigen berada.
Pajanan antigen pada sel T
Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T dependent antigen), artinya antigen
akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel Th melalui zat
yang dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan
antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T
independent antigen) adalah antigen yang strukturnya sederhana dan berulang-ulang, biasanya
bermolekul besar.
Limfosit Th umumnya baru mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul
produk MHC (major histocompatibility complex) kelas II yaitu molekul yang antara lain terdapat
pada membran sel makrofag. Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan
bersama molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR dengan
antigen. Ikatan tersebut terjadi sedemikian rupa dan menimbulkan aktivasi enzim dalam sel
limfosit T sehingga terjadi transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif
dan sel Tc memori. Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal antigen dan
mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Tc memori dan sel Tc
aktif yang melisis sel target yang telah dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel
target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I. Sel Th aktif juga dapat merangsang sel Td
untuk mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Td memori dan sel
Td aktif yang melepaskan limfokin yang dapat merekrut makrofag ke tempat antigen.
13
Limfokin
Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor Fc dan C3B
pada permukaan makrofag sehingga mempermudah melihat antigen yang telah berikatan dengan
antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain itu limfokin
merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit oksigen yang bersifat bakterisid
atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, parasit, dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya
penghancuran antigen oleh makrofag.
Aktivitas lain untuk eliminasi antigen
Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk melepaskan faktor
fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran
dapat dibatasi.
Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir
aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga menimbulkan
sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan
berdiferensiasi.
Imunitas humoral
Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa
bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang
disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG,
IgA, IgD, dan IgE.
Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkembangannya pada mamalia
dipengaruhi oleh lingkungan bursa fabricius dan pada manusia oleh lingkungan hati, sumsum
tulang dan lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam
perkembangan ini terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan reseptor antigen
pada permukaan membran. Pada sel B ini reseptor antigen merupakan imunoglobulin permukaan
(surface immunoglobulin). Pada mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM, dan
pada perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya
14
dengan bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga
semua sel B matur mempunyai reseptor antigen tertentu.
Pajanan antigen pada sel B
Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi
antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah
transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan
membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa
bantuan sel Th.
Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau
berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang
dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen
yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigen-antibodi pada
sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran antigen oleh makrofag.
Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain
mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi
komplemen.
Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang
mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular
mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen.
Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang
menyebabkan terjadinya lisis antigen.
Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang
kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal
inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur
panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan berlangsung
dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini
disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang
akan dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.
15
Setelah antigen dapat dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi sistem imun yang tak
terkendali, maka diperlukan adanya regulasi respons imun. Ada 3 macam mekanisme tubuh
untuk meregulasi respons imun yang sudah terjadi.
Regulasi oleh antibodi yang terbentuk
Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi
selanjutnya. Pada waktu kadar antibodi masih rendah, yaitu pada waktu tahap respons
permulaan, antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas
memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk merupakan
faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi karena antibodi yang
terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen,
sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi terhadap antigen atau
berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan juga berafinitas tinggi.
Adanya efek antibodi seperti tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip antibodi. Umumnya
IgM mempunyai tendensi untuk meningkatkan produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering bersifat
supresif. Di samping itu, pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen masih lebih
besar daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah kompleks Ag-Ab terfiksasi
pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat dipresentasikan pada sel Th yang kemudian
merangsang sel B membentuk antibodi. Jadi pada permulaan terjadi peningkatan jumlah maupun
afinitas antibodi. Tetapi bila antibodi sudah ada dalam konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai
jumlah cukup untuk menetralkan antigen yang ada, antibodi akan merupakan umpan balik
negatif agar tidak terbentuk antibodi yang sama lebih lanjut. Hal ini terjadi karena dengan
terikatnya bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen maka reseptor antigen pada sel B tidak
akan terangsang lagi oleh epitop antigen tersebut, sehingga tidak terjadi aktivasi dan priming sel
B terhambat (lihat Gambar 3-3).
Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan umpan balik negatif
melalui bagian Fc-nya. Sel B selain mempunyai reseptor antigen juga mempunyai reseptor Fc.
Dengan terikatnya antibodi pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat pada
reseptor antigen pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya gabungan
silang antara reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak terjadi aktivasi sel B (lihat Gambar
3-4). Tidak adanya bridging antara suatu reseptor antigen dengan reseptor antigen lainnya pada
16
sel B mengakibatkan tidak terjadinya aktivasi enzim, sehingga sel B tidak terangsang untuk
mengalami transformasi blast, berproliferasi dan berdiferensiasi, dan akibatnya pembentukan
antibodi makin lama makin berkurang.
Regulasi idiotip spesifik
Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin
bertambah. Pada kadar tertentu, idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus
imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini sebenarnya belum
jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. Tetapi fakta memang membuktikan
adanya limfosit yang dapat mengenal dan bereaksi dengan idiotip antibodi, karena ada limfosit
yang mempunyai reseptor untuk idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk juga mempunyai idiotip
hingga akan merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan seterusnya.
Pada binatang adanya anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase respons imun mulai
menurun. Anti-idiotip yang terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu
dinamakan internal image dari antigen asal. Tetapi adanya antibodi anti-idiotip ini pada respons
imun yang normal tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi terhadap antigen asal.
Terbentuknya anti-idiotip berturut-turut mengakibatkan jumlah antibodi makin lama makin
berkurang. Dapat dipersamakan seperti batu yang jatuh ke dalam ir dan menimbulkan
gelembung air yang makin lama makin menghilang. Regulasi melalui pembentukan anti-idiotip
adalah regulasi untuk menurunkan respons imun (down regulation) yang dikenal sebagai
jaringan imunoregulator dari Jerne (1974).
Regulasi oleh sel T supresor (Ts)
Dalam tubuh kita terdapat limfosit yang dapat meregulasi limfosit lainnya untuk meningkatkan
fungsinya yang dinamakan sel T helper (Th = CD4). Selain itu terdapat juga limfosit yang
menekan respons imun yang terjadi secara spesifik yang dinamakan sel T supresor (Ts = CD8).
Sel Ts dapat juga diaktifkan pada respons imun normal dengan tujuan mencegah respons imun
yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts melakukan tugasnya belumlah jelas, tetapi secara in
vitro dapat diketahui bahwa pada aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan
menekan respons imun yang sedang berlangsung.
17
Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang merangsang respons
imun itu sendiri. Antigen merangsang CD4 yang 2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor supresi
antigen spesifik yang akan merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh antigen yang
mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya, seperti sel B dan sel Th,
sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3) oleh sel B atau sel Th yang mempunyai
reseptor idiotip dari idiotip sel Ts, sehingga sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th.
RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS
Untuk membatasi penyebaran virus dan mencegah reinfeksi, sistem imun harus mampu
menghambat masuknya virion ke dalam sel dan memusnahkan sel yang terinfeksi. Antibodi
spesifik mempunyai peran penting pada awal terjadinya infeksi, dimana ia dapat menetralkan
antigen virus dan melawan virus sitopatik yang dilepaskan oleh sel yang mengalami lisis. Peran
antibodi dalam menetralkan virus terutama efektif untuk virus yang bebas atau virus dalam
sirkulasi. Proses netralisasi virus dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya dengan cara
menghambat perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel, sehingga virus
tidak dapat menembus membran sel, sehingga virus tidak dapat menembus membran sel; dengan
demikian replikasi virus dapat dicegah. Antibodi dapat juga mengahancurkan virus dengan cara
aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau menyebabkan agregasi virus sehingga mudah
difagositosis dan dihancurkan melalui proses yang sama seperti diuraikan diatas. Antibodi dapat
mencegah penyebaran virus yang dikeluarkan dari sel yang telah hancur. Tetapi sering kali
antibodi tidak cukup mampu untuk mengendalikan virus yang telah mengubah struktur
antigennya dan yang melepaskan diri (budding of) melalui membran sel sebagai partikel yang
infeksius, sehingga virus dapat menyebar ke dalam sel yang berdekatan secara langsung. Jenis
virus yang mempunyai sifat seperti ini, diantaranya adalah virus oncorna (termasuk didalamnya
virus leukemogenik), virus dengue, virus herpes, rubella dan lain-lain. Walaupun tidak cukup
mampu menetralkan virus secara langsung, antibodi dapat berfungsi dalam reaksi ADCC
Disamping respons antibodi, respons imun selular merupakan respons yang paling penting,
terutama pada infeksi virus yang non-sitopatik respons imun seluler melibatkan T-sitotoksik, sel
18
NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I. Peran IFN sebagai anti virus cukup besar,
khususnya IFN-α dan IFN-β. Dampak antivirus dari IFN terjadi melalui :
a) Peningkatan ekspresi MHC kelas I
b) Aktivasi sel NK dan makrofag
c) Menghambat replikasi virus. Ada juga yang menyatakan bahwa IFN menghambat penetrasi
virus ke dalam sel maupun budding virus dari sel yang terinfeksi.
Seperti halnya pada infeksi dengan mikroorganisme lain, sel T-sitotoksik selain bersifat
protektif juga dapat merupakan penyebab keruskan jaringan, misalnya yang terlihat pada infeksi
dengan virus LCMV (lympocyte choriomeningitis virus) yang menginduksi inflamasi pada
selaput susunan saraf pusat.
Pada infeksi virus makrofag juga dapat membunuh virus seperti halnya ia membunuh
bakteri. Tetapi pada infeksi dengan virus tertentu, makrofag tidak membunuhnya bahkan
sebaliknya virus memperoleh kesempatan untuk replikasi di dalamnya. Telah diketahui bahwa
virus hanya dapat berkembang biak intraselular karena ia memerlukan DNA-pejamu untuk
replikasi. Akibatnya ialah bahwa virus selanjutnya dapat merusak sel-sel organ tubuh yang lain
terutamaapabila virus itu bersifat sitopatik. Apabila virus itu bersifat non sitopatik ia
menyebabkan infeksi kronik dengan menyebar ke sel-sel lain.
Pada infeksi sel secara langsung di tempat masuknya virus (port d’entre), misalnya di
paru, virus tidak sempat beredar dalam sirkulasi dan tidak sempat menimbulkan respons primer,
dan antibody yang dibentuk seringkali terlambat untuk mengatasi infeksi. Pada keadaan ini
respons imun selular mempunyai peran lebih menonjol, karena sel T-sitotoksik mampu
mendeteksi virus melalui reseptor terhadap antigen virus sekalipun struktur virus telah berubah.
Sel T sitotoksik kurang spesifik dibandingkan antibody dan dapat melakukan reaksi silang
dengan spectrum yang lebih luas. Namun ia tidak dapat menghancurkan sel sasaran yang
menampilkan MHC kelas I yang berbeda. Beberapa jenis virus dapat menginfeksi sel-sel system
imun sehingga mengganggu fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus
influenza, polio dan HIV. Sebagian besar infeksi virus membatasi diri sendiri (self limiting) pada
sebagian lagi menimbulkan gejala klinik atau subklinik. Penyembuhan dari infeksi virus
umumnya diikuti imunitas jangka panjang.
Untuk mencapai organ sasaran, virus menempuh 2 cara :
19
1. Virus memasuki tubuh pada suatu tempat, kemudian ikut peredaran darah mencapai organ
sasaran. Contohnya virus polio. Virus polio memasuki tubuh melalui selaput lender usus, lalu
masuk ke dalam peredaran darah mencapai sumsum tulang belakang dotak, di sana virus
melakukan replikasi.
Infeksi virus melalui peredaran darah ini dapat diatasi dengan anti toksin dalam titer yang
rendah. Dengan kata lain titer anti toksin yang rendah di dalam darah sudah cukup untuk
mengikat toksis yang berada dalam perjalanan ke sumsum syaraf pusat, sehingga tidak lagi dapat
berikatan dengan reseptor sel sasaran. Penyakit virus dengan pola penyebaran melalui peredaran
darah mempunyai periode inkubasi yang panjang.
2. Virus langsung mencapai organ sasaran, tidak melalui peredaran darah jadi tempat masuk
virus merupakan organ sasaran. Contohnya virus influenza organ sasarannya adalah selaput
lender saluran pernafasan yang sekaligus merupakan tempat masuknya virus.
Pada jenis infeksi ini, titer antibody yang tinggi di dalam serum relative tidak efektif
terhadap virus penyebab penyakit bila dibandingkan dengan virus penyebab penyakit yang
penyebarannya melalui peredaran darah. Hal ini disebabkan karena selaput lendir saluran nafas
tidak terlalu permiabel bagi Ig G dan Ig M.
Imunoglobulin yang terdapat dalam titer tinggi pada selaput lendir saluran nafas adalah
Ig A, karena Ig A dihasilkan oleh sel plasma yang terdapat dalam lamina propria selaput lendir
setempat. Ig A dalam secret hidung inilah yang menetralisir aktivitas virus pada penyakit
influenza.
Kekebalan terhadap penyakit virus seringkali bertahan lama, malah ada yang seumur
hidup. Contohnya penyakit morbili dan parotitis epidemika. Hal ini terjadi karena virus yang
sudah berada di dalam jaringan terlindung terhadap antibody. Sewaktu-waktu ada virus yang
keluar dari sel persembunyiannya yang segera dikenali oleh limfosit B pengingat. Sel limfosit
kemudian akan bereaksi memperbanyak diri, menghasilkan sel-sel plasma dan memproduksi
antibody. Semuanya terjadi dalam waktu singkat sehingga kekebalan dengan cepat ditingkatkan.
Pada beberapa penyakit virus antara lain influenza serangan penyakit dapat kembali
terjadi dalam waktu relative singkat setelah kesembuhan. Hal ini bukan disebabkan rendahnya
kekebalan, tapi karena virus influenza mengalami mutasi sehingga didapatkan strain baru yang
tidak sesuai dengan antibody yang telah ada.
20
Pada penyakit-penyakit influenza dan pilek yang mempunyai masa inkubasi pendek yang
dihubungkan dengan kenyataan bahwa organ sasaran akhir bagi virus itu adalah sama dengan
jalan masuk sehingga tidak terdapat stadium antara yang terpengaruh pada perjalanan memasuki
tubuh. Hanya ada sedikit sekali waktu bagi suatu reaksi antibody primer dan dalam segala
kemungkinan pembentuk interferon yang cepat adalah cara yang paling tepat untuk mengatasi
infeksi virus itu.pada penyelidikan terlihat bahwa setelah produksi interferon mulai menanjak,
maka titer virus yang masih hidup dalam paru-paru tikus yang telah di infeksi influenza cepat
turun. Titer antibody yang diukur dari serum, nampaknya sangat lambat untuk mencukupi nilai
yang diperlukan bagi penyembuhan.
Walaupun begitu, beberapa penyelidik akhir-akhir ini telah melihat bahwa kadar antibody
pada cairan local yang membasahi permukaan jaringan yang terinfeksi mungkin meningkat,
misalnya pada selaput lendir hidung dan paru-paru, meskipun titer serum rendah dan ini
merupakan antibody antivirus (terutama Ig A) oleh sel-sel yang telah menjadi kebal dan tersebar
ditempat itu yang dapat membuktikan manfaatnya yang besar sebagai pencegahan bagi infeksi
berikutnya. Celakanya, sampai begitu jauh yang menyangkut soal pilek, tampaknya infeksi
berikutnya mungkin disebabkan oleh virus yang secara antigenic sama sehingga kekebalan
umum terhadap pilek ini sukar dikendalikan.
Respons imun nonspesifik terhadap infeksi virus
Secara jelas terlihat bahwa respons imun yang terjadi adalah timbulnya interferon dan sel
natural killler (NK) dan antibodi yang spesifik terhadap virus tersebut. Pengenalan dan
pemusnahan sel yang terinfeksi virus sebelum terjadi replikasi sangat bermanfaat bagi pejamu.
Permukaan sel yang terinfeksi virus mengalami modifikasi, terutama dalam struktur karbohidrat,
menyebabkan sel menjadi target sel NK. Sel NK mempunyai dua jenis reseptor permukaan.
Reseptor pertama merupakan killer activating receptors, yang terikat pada karbohidrat dan
struktur lainnya yang diekspresikan oleh semua sel. Reseptor lainnya adalah killer inhibitory
receptors, yang mengenali molekul MHC kelas I dan mendominasi signal dari reseptor aktivasi.
Oleh karena itu sensitivitas sel target tergantung pada ekspresi MHC kelas I. Sel yang sensitif
atau terinfeksi mempunyai MHC kelas I yang rendah, namun sel yang tidak terinfeksi dengan
molekul MHC kelas I yang normal akan terlindungi dari sel NK. Produksi IFN-α selama infeksi
virus akan mengaktivasi sel NK dan meregulasi ekspresi MHC pada sel terdekat sehingga
21
menjadi resisten terhadap infeksi virus. Sel NK juga dapat berperan dalam ADCC bila antibodi
terhadap protein virus terikat pada sel yang terinfeksi.
Beberapa mekanisme utama respons nonspesifik terhadap virus, yaitu :
1. Infeksi virus secara langsung yang akan merangsang produksi IFN oleh sel-sel terinfeksi;
IFN berfungsi menghambat replikasi virus
2. Sel NK mampu membunuh virus yang berada di dalam sel, walaupun virus menghambat
presentasi antigen dan ekspresi MHC klas I. IFN tipe I akan meningkatkan kemampuan
sel NK untuk memusnahkan virus yang berada di dalam sel. Selain itu, aktivasi
komplemen dan fagositosis akan menghilangkan virus yang datang dari ekstraseluler dan
sirkulasi.
Respons imun spesifik terhadap infeksi virus
Mekanisme respons imun spesifik ada dua jenis yaitu respons imunitas humoral dan selular.
Respons imun spesifik ini mempunyai peran penting yaitu :
1. Menetralkan antigen virus dengan berbagai cara antara lain menghambat perlekatan virus
pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel sehingga virus tidak dapat menembus
membran sel, dan dengan cara mengaktifkan komplemen yang menyebabkan agregasi
virus sehingga mudah difagositosis
2. Melawan virus sitopatik yang dilepaskan dari sel yang lisis.
Molekul antibodi dapat menetralisasi virus melalui berbagai cara. Antibodi dapat menghambat
kombinasi virus dengan reseptor pada sel, sehingga mencegah penetrasi dan multiplikasi
intraseluler, seperti pada virus influenza. Antibodi juga dapat menghancurkan partikel virus
bebas melalui aktivasi jalur klasik komplemen atau produksi agregasi , meningkatkan fagositosis
dan kematian intraseluler.
Kadar konsentrasi antibodi yang relatif rendah juga dapat bermanfaat khususnya pada
infeksi virus yang mempunyai masa inkubasi lama, dengan melewati aliran darah terlebih dahulu
22
sebelum sampai ke organ target, seperti virus poliomielitis yang masuk melalui saluran cerna,
melalui aliran darah menuju ke sel otak. Di dalam darah, virus akan dinetralisasi oleh antibodi
spesifik dengan kadar yang rendah, memberikan waktu tubuh untuk membentuk resposn imun
sekunder sebelum virus mencapai organ target.
Infeksi virus lain, seperti influenza dan common cold, mempunyai masa inkubasi yang pendek,
dan organ target virus sama dengan pintu masuk virus. Waktu yang dibutuhkan respons antibodi
primer untuk mencapai puncaknya menjadi terbatas, sehingga diperlukan produksi cepat
interferon untuk mengatasi infeksi virus tersebut. Antibodi berfungsi sebagai bantuan tambahan
pada fase lambat dalam proses penyembuhan. Namun, kadar antibodi dapat meningkat pada
cairan lokal yang terdapat di permukaan yang terinfeksi, seperti mukosa nasal dan paru.
Pembentukan antibodi antiviral, khususnya IgA, secara lokal menjadi penting untuk pencegahan
infeksi berikutnya. Namun hal ini menjadi tidak bermanfaat apabila terjadi perubahan antigen
virus.
Respons imunitas seluler juga merupakan respons yang penting terutama pada infeksi virus
nonsitopatik. Respons ini melibatkan sel T sitotoksik yang bersifat protektif, sel NK, ADCC dan
interaksi dengan MHC kelas I sehingga menyebabkan kerusakan sel jaringan. Dalam respons
infeksi virus pada jaringan akan timbul IFN (IFN-a dan IFN-b) yang akan membantu terjadinya
respons imun yang bawaan dan didapat. Peran antivirus dari IFN cukup besar terutama IFN-a
dan IFN-b.
Kerja IFN sebagai antivirus adalah :
1. Meningkatkan ekspresi MHC kelas I
2. Aktivasi sel NK dan makrofag
3. Menghambat replikasi virus
4. Menghambat penetrasi ke dalam sel atau budding virus dari sel yang terinfeksi.
Limfosit T dari pejamu yang telah tersensitisasi bersifat sitotoksik langsung pada sel yang
teinfeksi virus melalui pengenalan antigen pada permukaan sel target oleh reseptor αβ spesifik di
limfosit. Semakin cepat sel T sitotoksik menyerang virus, maka replikasi dan penyebaran virus
akan cepat dihambat.
23
Sel yang terinfeksi mengekspresikan peptida antigen virus pada permukaannya yang terkait
dengan MHC kelas I sesaat setelah virus masuk. Pemusnahan cepat sel yang terinfeksi oleh sel T
sitotoksik αβ mencegah multiplikasi virus. Sel T sitotoksik γδ menyerang virus (native viral coat
protein) langsung pada sel target.
Sel T yang terstimulasi oleh antigen virus akan melepaskan sitokin seperti IFN-γ dan kemokin
makrofag atau monosit. Sitokin ini akan menarik fagosit mononuklear dan teraktivasi untuk
mengeluarkan TNF. Sitokin TNF bersama IFN-γ akan menyebabkan sel menjadi non-permissive,
sehingga tidak terjadi replikasi virus yang masuk melalui transfer intraseluler. Oleh karena itu,
lokasi infeksi dikelilingi oleh lingkaran sel yang resisten. Seperti halnya IFN-α, IFN-γ
meningkatkan sitotoksisitas sel NK untuk sel yang terinfeksi.
Antibodi dapat menghambat sel T sitotoksik γδ melalui reaksi dengan antigen permukaan pada
budding virus yang baru mulai, sehingga dapat terjadi proses ADCC. Antibodi juga berguna
dalam mencegah reinfeksi.
Beberapa virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga mengganggu fungsinya dan
mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus polio, influenza dan HIV atau penyakit AIDS.
Sebagian besar virus membatasi diri (self-limiting), namun sebagian lain menyebabkan gejala
klinik atau subklinik. Penyembuhan infeksi virus pada umumnya diikuti imunitas jangka
panjang. Pengenalan sel target oleh sel T sitotoksik spesifik virus dapat melisis sel target yang
mengekspresikan peptida antigen yang homolog dengan region berbeda dari protein virus yang
sama, dari protein berbeda dari virus yang sama atau bahkan dari virus yang berbeda. Aktivasi
oleh virus kedua tersebut dapat menimbulkan memori dan imunitas spontan dari virus lain
setelah infeksi virus inisial dengan jenis silang. Demam dengue dan demam berdarah dengue
merupakan infeksi virus akut yang disebabkan oleh empat jenis virus dengue. Imunitas yang
terjadi cukup lama apabila terkena infeksi virus dengan serotipe yang sama, tetapi bila dengan
serotipe yang berbeda maka imunitas yang terjadi akan berbeda. Gangguan pada organ hati pada
demam berdarah dengue telah dibuktikan dengan ditemukannya RNA virus dengue dalam
jaringan sel hati dan organ limfoid. Virus dengue ternyata menyerang sel kupffer dan hepatosit
sehingga terjadi gangguan di hati
Pencegahan Memakai Antibody Serum
24
Molekul antibody dapat menetralkan virus dalam berbagai pengertian. Mungkin berupa
hambatan penggabungan dengan penangkan reseptor pada sel secara stereokemik, dengan
demikian mencegah penetrasi dan multiplikasi dalam sel, penutupan neurominidase virus
influenza oleh antibody merupakan contoh bagus. Mungkin berupa pengahancuran partikel virus
secara langsung melalui aktivasi komplemen cara klasik atau menyebabkan penggumpalan virus,
meningkatkan fagositosis dan pembunuhan intraselular dengan cara seperti yang telah diuraikan.
Kadar antibody sirkulasi yang relative rendah dapat bermanfaat dan diantaranya yang
terkenal adalah kemampuan member perlindungan antibody poliomyelitis, dan gamma globulin
yang diberikan sebagai profilaktis untuk orang yang bergaul dengan penderita campak.
Perlindungan yang paling jelas terlihat pada penyakit-penyakit virus yang mempunyai masa
inkubasi panjang, dimana virus harus melalui peredaran darah lebih dahulu sebelum mencapai
jaringan yang dituju. Sebagai contoh, pada poliomyelitis virus memasuki tubuh melalui virus
memasuki tubuh melalui saluran pencernaan dan akhirnya melewati peredaran darah untuk
mencapai sel-sel otak yang akan diinfeksi kemudian. Di dalam darah virus dinetralkan oleh
antibody spesifik dengan kadar yang sangat rendah sehingga sebelum virus mencapai otak ada
waktu yang cukup panjang untuk reaksi kekebalan sekunder pada tuan rumah yang sebelumnya
sudah divaksinasi.
Kekebalan Perantaraan Sel
Antibodi-antibodi local atau sistemik dapat menghambat penyebaran virus-virus sitolitik
tetapi hanya virus itu sendiri, biasanya mereka kurang dapat mengendalikan virus-virus tersebut
yang telah mengubah antigen-antigen selaput sel dan menonjol dari permukaan sebagai partikel
infeksius. Pentingnya peranan kekebalan perantaraan sel pada penyembuhan infeksi oleh virus-
virus tersebut disokong oleh kegagalan untuk menanggulangi virus-virus itu pada anak-anak
yang menderita imunodefisiensi sel T primer, sedangkan penderita-penderita defisiensi Ig tetap
mempunyai kekebalan perantaraan sel utuh tidak mendapat kesukaran dalam hal ini.
Limfosit-T seorang yang telah kebal, secara langsung bersifat sitotoksik terhadap sel-sel
yang terinfeksi virus-virus golongan itu, antigen permukaan baru pada sel-sel target dapat
dikenal karena adanya reseptor spesifik pada limfosit-limfosit aggressor. Dengan cara yang
sangat menyolok, limfosit-limfosit ini tidak sitotoksik untuk banyak antigen-antigen
histokompatibilitas yang berbeda. Oleh karenanya sel-T yang peka harus mengenal :
25
a. Antigen histocompatibility yang berubah karena virus
b. Suatu gabungan antigen histocompatibility dengan antigen yang berasal dari virus atau,
c. Kedua-duanya, baik antigen yang berasal dari virus ataupun antigen histocompatibility sendiri.
Serangan langsung pada sel ini akan dapat membatasi infeksi bila perubahan-perubahan antigen
permukaan sudah tampak sebelum terjadi replikasi virus sepenuhnya, sebaliknya jasad renik
tersebut akan menyebar melalui 2 cara. Pertama, mengenai partikel-partikel virus bebas yang
terlepas dari permukaan secara pembentukan tunas, dapat dengan mudah dicek oleh antibody
humoral. Kedua, yang tergantung pada cara perjalanan virus dari satu sel ke sel lain melewati
jembata antar sel, ini tidak dapat dipengaruhi oleh antibody tetapi harus ditanggulangi oleh
kekebalan perantaraan sel. Makrofaga, tertarik bergerak ketempat itu oleh factor-faktor
kemotaktik yang terlepas pada reaksi antarsel-T dengan antigen virus, tampak kecewa oleh
pembentukan jembatan-jembatan antarsel, satu keahlian yang mungkin ditingkatkan oleh
limfokin-limfokin sel-T lain seperti factor penggiat makrofaga. Selanjutnya interferon yang
dihasilkan baik oleh sel-T sendiri ataupun oleh makrofaga yang terangsang limfokin akan
mengubah sel-sel yang berdekatan tidak mengizinkan untuk replikasi virus yang diperoleh
melalui jalan antarsel. Pembentukan interferon kebal sebagai reaksi terhadap unsure-unsur virus
tanpa asam nukleat member suatu mekanisme balik yang dapat dinilai bila berurusan dengan
virus yang pada hakekatnya kurang mampu merangsang pembentukan interferon
26
Simpulan
Virus memiliki berbagai struktur dan mekanisme dalam menginfeksi pejamu. Penelitian
mengenai hal tersebut terus berkembang karena bertambahnya jenis strain virus dari waktu ke
waktu.
Sistem imun tubuh dan jenis virus dan kemampuan virus dalam menghindari respon imun
berperan dalam terjadinya infeksi virus. Respons imun terhadap virus terjadi melalui mekanisme
innate dan adaptive. Dengan mengetahui proses tersebut dan kemampuan virus dalam
menghambat sistem imun tubuh, dapat menjadi landasan untuk tatalaksana dan pencegahan
infeksi virus dengan lebih baik.
27