respirasi
DESCRIPTION
medstudentTRANSCRIPT
Difteri Pada Anak
Pratiwi Agustiyanti Soepratiknyo10.2012.279
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp. (021) 56942061
PENDAHULUAN
Difteria adalah toksik infeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria yang
ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa.
Keadaan difteri ini sering sekali kita temukan di masyarakat sekitar. Namun sayangnya
masih banyak yang tidak paham tentang kolitis infeksi, penyebabnya, bahayanya dan juga
komplikasinya sehingga masih banyak orang yang menganggap remeh dan berakhir pada
kerugian lainnya yang seharusnya dapat ditanggulangi dengan baik.
Disini akan dibahas lebih lanjut menganai difteri yang meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, different diagnosis, working diagnosis, gejalanya, epidemiologi,
etiologi, anatomi, fisiologi, patofisiologi, komplikasi dan juga tatalaksananya.
ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN NAFAS ATAS
Anatomi
Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O²) yang dibutuhkan tubuh untuk metabolisme
sel dan karbondioksida (CO²) yang dihasilkan dari metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh
melalui paru.1
Sistem pernafasan meliputi paru, sistem saraf pusat (SSP), dinding dada (dengan diafragma dan
otot interkostalis) dan sirkulasi paru. Sistem saraf pusat mengendalikan kerja otot dinding dada,
yang bekerja sebagai pompa sistem pernafasan. Karena komponen sistem pernafasan bekerja
sama untuk mencapai pertukaran gas, malfungsi tiap-tiap komponen atau perubahan hubungan
antara komponen dapat menyebabkan gangguan fungsi. Tiga aspek utama gangguan fungsi
pernafasan yaitu gangguan fungsi ventilasi, gangguan sirkulasi pulmonal, dan gangguan
pertukaran gas. Anatomi pernafasan agar udara bisa mencapai paru-paru adalah rongga hidung,
faring, laring, trakhea, bronkhus dan bronkhiolus.1
Rongga Hidung (Cavum Nasalis)
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung berlapis
selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat
(kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat saluran
pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel
kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah
yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk.2
Faring (Tenggorokan)
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2 saluran, yaitu
saluran pernafasan (nasofarings) pada bagian depan dan saluran pencernaan (orofarings) pada
bagian belakang.2
Laring
Terdapat pita suara / flika vokalis, bisa menutup dan membuka saluran nafas, serta melebar dan
menyempit. Fungsi laring ini membantu dalam proses mengejan, membuka dan menutup saluran
nafas secara intermitten pada waktu batuk. Pada saat akan batuk, flika vokalis menutup, saat
batuk membuka, sehingga benda asing keluar. Secara reflektoris menutup saluran napas pada
saat menghirup udara yang tidak dikehendaki.2
Tenggorokan (Trakea)
Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak sebagian di leher dan sebagian di
rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan,
dan pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda asing
yang masuk ke saluran pernafasan.2
Cabang-cabang Tenggorokan (Bronkhus)
Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri.
Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkus bentuknya
tidak teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang rawannya melingkari lumen
dengan sempurna. Bronkus bercabangcabang lagi menjadi bronkiolus.2
Bronkhiolus
Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya masih mempunyai silia dan di
bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada bagian distal kemungkinan
tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara (alveolus).2
Fisiologi
Fungsi faring terutama adalah untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga
dari fungsi-fungsi ini adalah jelas. Berikut fungsi penelanan dijelaskan secara terperinci.
1. Penelanan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke faring
secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya bolus
melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan
makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong
bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik
berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari
lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu
oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus
esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi.
Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke
lambung.2
2. Proses berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring.
Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring.
Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan
m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior.
Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas
belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan
(fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu
pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh
kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu bersamaan.2
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula
pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan
gerakan palatum.2
Gambar 1. Sistem respirasi manusia
ANAMNESIS3
Riwayat penyakit sekarang
Sudah berapa lama sesak napas?
Bagaimana awalnya: mendadak atau bertahap? Apa yang sedang dilakukan pasien saat
awal gejala: berbaring, berlari, berjalan, dan sebagainya?
Apakah sesak napas semakin memburuk?
Apakah yang memicunya dan apakah yang meredakannya? (postur, obat, atau oksigen)
Adakah ortopnea?
Adakah gejala penyerta? (nyeri dada, batuk, palpitasi, hemoptisis, dan mengi)
Riwayat penyakit dahulu
Adakah episode serupa sebelumnya?
Adakah riwayat penyakit kardiovaskular atau pernapasan? (khususnya gagal jantung,
asma, PPOK, atau emboli paru)
Adakah sebab potensial untuk asidosis? (misalnya ketoasidosis diabetikum, gagal
jantung)
Adakah alergi?
Riwayat pengobatan
Terapi apa yang pernah dilakukan pasien? Adakah pajanan pada obat dengan efek
samping pernapasan (misalnya amiodaron dan fibrosis paru)?
Apakah pasien menggunakan oksigen/nebiliser/inhaler di rumah?
Riwayat social
Bagaimana pengaruh sesak pada aktivitas?
Pernahkah ada pajanan di tempat tinggal?
Keluhan batuk
Sudah berapa lama?
Akut (≤ 3 minggu)
Penyebabnya antara lain adalah infeksi saluran napas atas (misalnya influenza),
pneumonia, oedem paru, eksaserbasi PPOK, rhinitis alergika, dan pertusis.
Subakut (3-8 minggu)
Penyebab di antaranya: batuk pasca infeksi, sinusitis, dan asma.
Kronis (≥ 8 minggu)
Penyebab di antaranya: postnasal drip, asma, refluks gastroesofagus, kanker paru,
bronkiektasis, TB, dan PPOK.
Apakah ada sputum? Apa warna dan berapa banyak sputum?
Adakah darah?
Apakah disertai gejala yang menunjukkan penyakit serius? (hemoptisis, sesak napas,
nyeri dada, penurunan berat badan)
Adakah demam, takikardi, takipnea?
Adakah riwayat penyakit pernapasan kronis?
Adakah tanda-tanda sinusitis (missal nyeri gigi maksilaris, secret hidung purulen, atau
nyeri wajah) ?
Apakah pasien terpajan penyebab infeksi khusus (misalnya pertusis, allergen, atau obat)
Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit serupa?
Riwayat imunisasi?
PEMERIKSAAN FISIK3
Tanda Vital.
Tekanan darah, temperature, frekuensi nadi dan frekuensi napas menentukan
tingkat keparahan penyakit. Seorangpasien sesak dengan tanda-tanda vital normal
biasanya hanya menderita penyakit kronik atau ringan, sementara pasien yang
memperlihatkan adanya perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya menderita
gangguan akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera.
a. Temperatur di bawah 35oC atau di atas 41oC atau tekanan darah sistolik di bawah
90 mmHg menandakan keadaan gawat darurat.
b. Frekuensi Napas kurang dari 5 kali/menit mengisyaratkan hipoventilasi dan
kemungkinan besar respiratory arrest. Bila lebihdari 35 kali/menit menunjukkan
gangguan yang parah, frekuensi yang lebih cepat dapat terlihat beberapa jam
sebelum otot-otot napas menjadi lelah dan terjadi gagal napas.
Inspeksi
Kontraksi otot bantu napas dapat mengungkapkan adanya tanda obstruksi saluran
napas. Otot bantu pernapasan di leher dan otot interkostal akan berkontraksi/digunakan
pada keadaan adanya obstruksi saluran napas moderat hingga parah. Asimetri gerakan
dinding dada atau deviasi trakeal dapat pula dideteksi selama pemeriksaan otot-otot
napas. Pada tension pneumotoraks suatu keadaan gawat darurat-sisi yang terkena akan
membesar pada setiap inspirasi dan trakea akan terdorong ke sisi yang disebelahnya.
Pasien dengan obstruksi saluran napas dapat memperlihatkan rongga dada yang
hiperekspansi atau kontraksi otot-otot bantu napas. Penyakit parenkim seperti pneumonia,
fibrosis intersisial dan edema paru biasanya meimbulkan suara ronki. Pneumonia juga
dapat menyebabkan melemahnya suara napas, pekak pada perkusi dan fremitus yang
mengeras.
Palpasi
Tertinggalnya pengembangan satu hemitoraks (salah satu sisi paru) yang
dirasakan dengan palpasi bagian lateral bawah rib cage paru bersangkutan menunjukkan
adanya gangguan pengembangan pada hemitoraks tersebut. Hal ini bisa akibat obstruksi
salah satu bronkus utama, pneumotoraks atau efusi pleura.
Fremitus taktil. Menurunnya fremitus taktil yang diperoleh dengan
memerintahkan pasien menyebutkan tujuh puluh tujuhberulang-
ulang terpalpasi pada area yang mengalami atelektasis seperti yang terjadi pada bronkus
yang tersumbat atau area yang ada efusi pleura. Meningkatnya fremitus disebabkan
oleh konsolidasi parenkim pada suatu area yang mengalami inflamasi.
Perkusi
a. hipersonor akan ditemukan pada hiperinflasi paru seperti terjadiselama serangan asma
akut, emfisema, juga pada pneumotoraks.
b. redup pada perkusi menunjukkan konsolidasi paru atau efusipleura
Auskultasi
Berkurangnya intensitas suara napas pada kedua bidang paru menunjukkan adanya
obstruksi saluran napas. Keadaan ini dapat terdengar pada konsolidasi, efusi pleura atau
pneumotoraks.
Ronki kasar dan nyaring sesuai dengan obstruksi parsial atau penyempitan saluran
napas. Ronki basah halus terdengar pada parenkim paru yang berisi cairan.
Adanya egofoni (diucapkan huruf “I” seperti “e” datar)menandakan konsolidasie.
Pada pasien dengan sesak dan rasa sakit di dada harusdipikirkan kemungkinan adanya
friction rub, bila 2 komponen merupakan ciri pleuritis dan suara 3 komponen seperti
perikarditis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG4
1. Pemeriksaan laboratorium : pada apusan tenggorok terdapat kuman Cornybacterium
difteri.
2. Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan juga kadar albumin. Pada urin terdapat
albuminuria ringan.
3. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bawah membrane lalu
dibiak dalam Loeffner, Tellurite dan media blood.
4. Leukosit dapat meningkat atau normal, kadang terjadi anemia karena hemolisis seld arah
merah.
5. Schick tes : tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita.
WORKING DIAGNOSIS
Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri
coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasovaring, kulit dan
lesi lain dari orang yang terinfeksi
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh
darah.
Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama
8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya
sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada
mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane
putih/keabu-abuan.
Kematian terjadi pada 5%-10% dari kasus pernapasan yang terjadi. Imunisasi umum
dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan kadar antitoksin protektif konstan dan
untuk mengurangi penghuni C. diphtheriae yang merupakan satu-satunya cara pengendalian
efektif untuk penyakit difteri. Status imunisasi difteri yang dimaksudkan dalam penelitian ini
meliputi status imunisasi DPT1, DPT2, DPT3 dan DT booster beserta cakupan dari imunisasi
tersebut. 5
ETIOLOGI
Penyebab penyakit difteri adalah corynebacterioum diphtheria. Basil ini juga disebut
bakteri Klebs – Loffler karena ditemukan pertama kalinya tahun 1884 oleh bacteriologist dari
German yaitu Edwin Kelbs (1894 - 1912) dan Friedrich Loffler (1852 - 1915). Basil ini termasuk
jenis batang gram positif, pleomorfik, tersusun berpasangan (palisade), tidak bergerak , tidak
membentuk spora (kapsul),aerobic dan dapat memproduksi eksotoksin. Bentuknya seperti palu
(pembesaran pada salah satu ujung), diamaternya 0,1-1 mm dan panjangnya beberapa mm.6
EPIDEMIOLOGI
Penyakit difteria tersebar diseluruh dunia, terutama di Negara miskin, yang penduduknya
tinggal pada tempat – tempat permukiman yang rapat, hygiene dan sanitasi jelek, dan fasilitas
kesehatan yang kurang.
Orang – orang yang beresiko terkena penyakit difteri adalah :6
1. Tidak mendapatkan imunisasi atau imunisasinya tidak lengkap
2. Immunocopromised, seperti : social ekonomi yang rendah, seperti : Populasi anak
jalanan, penduduk asli (di Amerika Serikat, penduduk asli beresiko tinggi terkena difteri
dibandingkan warga kulit putih), pemakaian obat immunosupresif, penderita HIV,
Diabetes mellitus, pecandu alcohol dan narkotika.
3. Tinggal pada tempat – tempat yang padat, seperti : rumah tahanan (penjara), tempat
penampungan
4. Sedang melakukan perjalanan (travel) ke daerah – daerah yang sebelumnya merupakan
daerah endemic difteri.
MANIFESTASI KLINIS
Lesu , sakit menelan, anoreksia, demam yang tidak begitu tinggi tapi pasien keliatan
toksik. Dalam waktu 2 – 3 hari terbentuk membrane yang berwarna putih kebiruan dan menyebar
sampai ke daerah tonsil dan menutupi hamper seluruh palatum mole. Membrane melekat pada
jaringan dan berdarah kalau dilepaskan. Pembentukan membrane secara ekstensif dapat
menimbulkan sumbatan pernapasan. Pada keadaan berat, pasien kelihatan pucat, nadi cepat,
stupor, dan bias meninggal dalam waktu 6 – 10 hari. Pada keadaan berat juga dapat
menimbulkan udema yang hebat pada daerah submandibuler dan terjadinya limfadenopati
kelenjar servikalis anterior. Keadaan ini disebut bullnect appearance.6
PATOFISIOLOGI
Difteri merupakan penyakit infeksi yang akut dengan masa inkubasi 1-7 hari yang
disebabkan oleh strain C. diphteriae yang toksigenik. Toksin yang dibuat pada lesi local
diabsorpsi oleh darah dan diangkut ke bagian tubuh yang lain, tetapi efek toksin yang paling
utama ialah meliputi jantung dan saraf perifer. Jalan masuk infeksi yang umum untuk C.
diphteriae adalah saluran napas bagian atas, di mana organism berkembang biak pada lapisan
superficial pada selaput lendir. C. diphteriae biasanya tetap pada lapisan superficial lesi kulit atau
mukosa pernapasan, menginduksi reaksi radang local. Di sana, eksotoksinnya diuraikan,
menyebabkan nekrosis pada jaringan sekitarnya. Virulensi utama organism terletak pada
kemampuannya menghasilkan eksotoksin polipeptida 62-KD kuat, yang menghambat sintesis
protein dan menyebabkan nekrosis jaringan local.4 Respons dari peradangan membentuk suatu
pseudomembran berwarna keabuan yang terdiri dari bakteri, sel-sel epitel yang mengalami
nekrotik, sel-sel fagosit, dan fibrin. Mula-mula membran tersebut tampak pada tonsil atau pada
bagian posterior faring dan bisa menyebar ke atas ke bagian palatum yang lunak dan keras dan
ke nasofaring, atau ke bagian bawah ke laring dan trakea. Pengambilan specimen dari daerah
yang dilapisi pseudomembran ini sukar dan menampakkan perdarahan edema submukosa.
Paralisis palatum dan hipofaring merupakan pengaruh toksin local awal. Penyerapan toksin dapat
menyebabkan nekrosis tubulus ginjal, trombositopenia, miokardiopati, dan demielinasi saraf.7
Difteria laryngeal sangat berbahaya sebab kemungkinan terjadi sumbatan pada saluran
napas. Difteria kulit biasa ditemukan di daerah tropic. Di Amerika Utara, luka kulit yang juga
memberikan hasil C. diphteriae positif biasanya merupakan infeksi-infeksi sekunder pada luka
gores atau pada gigitan serangga, di mana juga mengandung Streptococcus beta hemolyticus atau
Staphylococcus aureus atau keduanya.
Luka difteria juga terjadi pada bagian depan lubang hidung, bagian dalam hidung, mulut,
mata, telinga tengah, dan pada kasus-kasus yang jarang, pada vagina. Endokarditis yang
disebabkan oleh C. diphteriae yang toksik dan nontoksik juga sudah pernah dilaporkan. Beberapa
Corynebacteria, seperti C. pseudodiphteriticum, C. hofmannii, C. xerosis, C. pyogenes, dan C.
ulcerans, biasa disebut difteroid. Kuman ini merupakan flora normal pada selaput mukosa
saluran pernapasan, saluran kencing, dan konjungtiva, kadang-kadang bisa juga menyebabkan
penyakit. Sejumlah difteroid menyebabkan penyakit pada hewan, tetapi jarang menyerang
manusia.
Difteroid yang anaerob (Propionibacterium acnes) biasa terdapat pada kulit yang normal,
dan sering dapat ikut berperan pada patogenitas jerawat. Beberapa Corynebacteria bisa menjadi
oportunis dan menghasilkan atau menyebabkan bakteremia disertai angka kematian yang tinggi
(C. xerosis, C. equi, C. matruchotii, dan C. pseudodiphteriticum) pada pasien-pasien yang
imunosupresif. C. minutissimum merupakan penyebab eritrasma, suatu infeksi superficial pada
daerah-daerah ketiak dan pubis.
Status kebal seseorang merupakan penentu utama apakah penyakit akan timbul atau tidak
setelah invasi oleh kuman difteri. Imunitas terhadap difteria terutama tergantung pada adanya
antitoksin dalam tubuh. Antitoksin ini dibentuk sebagai respon terhadap infeksi baik klinik
maupun subklinik, atau sebagai akibat imunisasi aktif buatan. Antitoksin ini dapat dipindahkan
secara alamiah, misalnya secara transplasental dalam uterus, atau secara buatan seperti pada
transfuse. Imunisasi bayi dan anak prasekolah sangat menurunkan insiden difteria pada anak-
anak, dan juga menyebabkan menurunnya jumlah karier. Kekebalan seseorang terhadap toksin
difteria dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.7
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa :6
1. Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
a) 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil
secara unilateral/bilateral.
b) 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil,
meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
c) 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan
faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.
2. Antibiotik
a) Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari·
b) Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
3. Kortikosteroid
a) Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
b) Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
c) Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)
Non Medikamentosa :6
a. Pasien dirawat di ruangan isolasi untuk menghindari kontak dengan orang sehat.
b. Istirahat ditempat tidur minimal 2 – 3 minggu.
c. Makanan lunak dan cair tergantung kondisi penderita.
d. Kebersihan jalan napas dan penghisapan lender.
e. Control EKG secara serial 2 – 3 kali seminggu selama 4 – 6 minggu untuk mendeteksi
miokarditis secara dini.
f. Bila terjadi miokarditis harus istirahat total ditempat tidur selama 1 minggu.
g. Bila terjadi paralisis dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi aktif bila keadaan
membaik. Paralisis palatum dan faring dapat aspirasi, maka dianjurkan pemberian makanan
cair melalui selang lambung (sonde lambung).
h. Pasien difteri dalam keadaan berat, dianjurkan dirawat diruang rawat intensif. Bila terjadi
obstruksi larinks, secepat mungkin dilakukan trakeostomi.
Komplikasi
Kegagalan napas
Difteri pada saluran pernapasan dapat berkembang dengan cepat, sehingga dapat
menimbulkan kesulitan bernapas karena terjadi sumbatan/hambatan jalan masuknya udara.
Sumbatan pada saluran napas terjadi karena oedem pada faring, laring, trakea, maupun bronkus
oleh adanya inflamasi pada area tersebut. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesulitan bernapas,
takikardi, dan pucat. 5
Miokardiopati toksik
Miokardiopati toksik terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan
menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi
pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi risiko komplikasi yang
berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring local
eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin.
Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika
penyakit faring membaik, tetapi dapat muncul secara akut seawal 1 minggu bila berkemungkinan
hasil akhirnya meninggal, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi
di luar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi
system saraf autonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada
EKG relative merupakan tanda lazim.
Disritmia jantung tunggal atau disritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung
derajat I, II, dan III, disosiasi atrioventrikuler, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongesti
klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat
serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis. Disritmia berat meramalkan kematian.
Penemuan histologik pada kepentingan forensic menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus
dengan respons radang akut. Penderita yang bertahan hidup dari disritmia berat dapat memiliki
efek hantaran permanen, sedangkan yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya
sempurna. 4
Neuropati toksik
Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan
paralisis local palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat
menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan risiko kematian karena
aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor
dan paralisis siliaris, yang Nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran
akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 10 hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring
dan terutama menyebabkan difisit motor dengan hilangnya reflex tendon dalam. Kelemahan otot
proksimal tungkai menyebar ke distal, dan lebih sering kelemahan distal yang menyebar kea rah
proksimal. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. Dua atau
3 minggu sesudah mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat
menyebabkan hipotensi atau gagal jantung.4
PENCEGAHAN
Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri
dua kali berturut-turut negatif.
Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam
pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala
klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi
DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4
sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan
boster dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2
bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat
dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang
diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.8
DIFFERENT DIAGNOSA
Abses peritonsiler
Dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40
tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi
infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini
memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa
tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut
merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Abses peritonsiler
adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari
bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya
abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum
superior.
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan
kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses,
dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.
disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob
yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes(Group A
Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan
organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga
disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.9
Abses Retrofaringeal
Abses retrofaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di ruang retrofaring. Biasanya
pada anak 3 bulan-5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. Kuman penyebab
infeksi biasanya merupakan campuran aerob dan anaerob. Sumber infeksi berasal dari infeksi
akut saluran napas atas yang secara langsung atau secara limfogen menyebabkan infeksi kelenjar
limfe retrofaring, trauma benda asing, atau tuberkulosis cervikal. Demam, leher kaku, nyeri dan
sukar menelan. Posisi kepala hiperekstensi dan miring ke arah yang sehat. Anak kecil akan
menangis terus dan tidak mau makan atau minum. Dapat timbul sesak napas, stridor, dan
perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan hiperemis yang teraba lunak.10
PROGNOSIS
Prognosis untuk penderita difteri tergantung pada virulensi organism (subspecies gravis
mempunya mortalitas tertinggi), umur, status imunisasi, tempat infeksi, dan kecepatan pemberian
antitoksin. Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau difteri bull neck dan komplikasi
miokarditis menyebabkan mortalitas karena difteria yang paling besar. Mortalitas hampir 10%
untuk difteri saluran pernapasan. Pada penyembuhan, pemberian toksoid difteri terindikasi untuk
menyempurnakan dosis imunisasi booster, karena tidak semua penderita mengembangkan
antibodi pascainfeksi.4
KESIMPULAN
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae,dalam
sekenario anak sesak nafas didahului keluhan batuk pilek,dan disertai demam tinggi serta nyeri
menelan leher terlihat besar dan keras,menderita difteri,hipotesis diterima.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojodibroto, Darmanto. Respirologi. Jakarta: ECG; 2009.
2. Sloane, Ethel. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta : EGC; 2003.
3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.
4. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Jilid 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2000.
5. Adams, G.L. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar
Penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam.5th Ed. Jakarta : EGC,2009.
7. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar mikrobiologi
kedokteran. ed revisi. Tangerang: Binarupa Aksara; 2012.
8. Powel KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. .
9. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,Hidung
dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; h. 185-89.
10. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, h. 296, 308-09.
EGC, Jakarta.