respirasi

26
Difteri Pada Anak Pratiwi Agustiyanti Soepratiknyo 10.2012.279 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp. (021) 56942061 PENDAHULUAN Difteria adalah toksik infeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria yang ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. Keadaan difteri ini sering sekali kita temukan di masyarakat sekitar. Namun sayangnya masih banyak yang tidak paham tentang kolitis infeksi, penyebabnya, bahayanya dan juga komplikasinya sehingga masih banyak orang yang menganggap remeh dan berakhir pada kerugian lainnya yang seharusnya dapat ditanggulangi dengan baik. Disini akan dibahas lebih lanjut menganai difteri yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, different diagnosis, working diagnosis, gejalanya, epidemiologi, etiologi, anatomi, fisiologi, patofisiologi, komplikasi dan juga tatalaksananya. ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN NAFAS ATAS

Upload: pratiwi-agustiyanti-soepratiknyo

Post on 23-Dec-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

medstudent

TRANSCRIPT

Page 1: Respirasi

Difteri Pada Anak

Pratiwi Agustiyanti Soepratiknyo10.2012.279

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp. (021) 56942061

PENDAHULUAN

Difteria adalah toksik infeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria yang

ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa.

Keadaan difteri ini sering sekali kita temukan di masyarakat sekitar. Namun sayangnya

masih banyak yang tidak paham tentang kolitis infeksi, penyebabnya, bahayanya dan juga

komplikasinya sehingga masih banyak orang yang menganggap remeh dan berakhir pada

kerugian lainnya yang seharusnya dapat ditanggulangi dengan baik.

Disini akan dibahas lebih lanjut menganai difteri yang meliputi anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan penunjang, different diagnosis, working diagnosis, gejalanya, epidemiologi,

etiologi, anatomi, fisiologi, patofisiologi, komplikasi dan juga tatalaksananya.

ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN NAFAS ATAS

Anatomi

Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O²) yang dibutuhkan tubuh untuk metabolisme

sel dan karbondioksida (CO²) yang dihasilkan dari metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh

melalui paru.1

Sistem pernafasan meliputi paru, sistem saraf pusat (SSP), dinding dada (dengan diafragma dan

otot interkostalis) dan sirkulasi paru. Sistem saraf pusat mengendalikan kerja otot dinding dada,

yang bekerja sebagai pompa sistem pernafasan. Karena komponen sistem pernafasan bekerja

sama untuk mencapai pertukaran gas, malfungsi tiap-tiap komponen atau perubahan hubungan

Page 2: Respirasi

antara komponen dapat menyebabkan gangguan fungsi. Tiga aspek utama gangguan fungsi

pernafasan yaitu gangguan fungsi ventilasi, gangguan sirkulasi pulmonal, dan gangguan

pertukaran gas. Anatomi pernafasan agar udara bisa mencapai paru-paru adalah rongga hidung,

faring, laring, trakhea, bronkhus dan bronkhiolus.1

Rongga Hidung (Cavum Nasalis)

Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung berlapis

selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat

(kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat saluran

pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel

kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah

yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk.2

Faring (Tenggorokan)

Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2 saluran, yaitu

saluran pernafasan (nasofarings) pada bagian depan dan saluran pencernaan (orofarings) pada

bagian belakang.2

Laring

Terdapat pita suara / flika vokalis, bisa menutup dan membuka saluran nafas, serta melebar dan

menyempit. Fungsi laring ini membantu dalam proses mengejan, membuka dan menutup saluran

nafas secara intermitten pada waktu batuk. Pada saat akan batuk, flika vokalis menutup, saat

batuk membuka, sehingga benda asing keluar. Secara reflektoris menutup saluran napas pada

saat menghirup udara yang tidak dikehendaki.2

Tenggorokan (Trakea)

Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak sebagian di leher dan sebagian di

rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan,

dan pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda asing

yang masuk ke saluran pernafasan.2

Page 3: Respirasi

Cabang-cabang Tenggorokan (Bronkhus)

Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri.

Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkus bentuknya

tidak teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang rawannya melingkari lumen

dengan sempurna. Bronkus bercabangcabang lagi menjadi bronkiolus.2

Bronkhiolus

Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya masih mempunyai silia dan di

bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada bagian distal kemungkinan

tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara (alveolus).2

Fisiologi

Fungsi faring terutama adalah untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga

dari fungsi-fungsi ini adalah jelas. Berikut fungsi penelanan dijelaskan secara terperinci.

1. Penelanan

Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke faring

secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya bolus

melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan

makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong

bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik

berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari

lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu

oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus

esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi.

Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke

lambung.2

2. Proses berbicara

Page 4: Respirasi

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring.

Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring.

Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan

m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior.

Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas

belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan

(fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu

pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh

kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada

waktu bersamaan.2

Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula

pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan

gerakan palatum.2

Gambar 1. Sistem respirasi manusia

ANAMNESIS3

Page 5: Respirasi

Riwayat penyakit sekarang

Sudah berapa lama sesak napas?

Bagaimana awalnya: mendadak atau bertahap? Apa yang sedang dilakukan pasien saat

awal gejala: berbaring, berlari, berjalan, dan sebagainya?

Apakah sesak napas semakin memburuk?

Apakah yang memicunya dan apakah yang meredakannya? (postur, obat, atau oksigen)

Adakah ortopnea?

Adakah gejala penyerta? (nyeri dada, batuk, palpitasi, hemoptisis, dan mengi)

Riwayat penyakit dahulu

Adakah episode serupa sebelumnya?

Adakah riwayat penyakit kardiovaskular atau pernapasan? (khususnya gagal jantung,

asma, PPOK, atau emboli paru)

Adakah sebab potensial untuk asidosis? (misalnya ketoasidosis diabetikum, gagal

jantung)

Adakah alergi?

Riwayat pengobatan

Terapi apa yang pernah dilakukan pasien? Adakah pajanan pada obat dengan efek

samping pernapasan (misalnya amiodaron dan fibrosis paru)?

Apakah pasien menggunakan oksigen/nebiliser/inhaler di rumah?

Riwayat social

Bagaimana pengaruh sesak pada aktivitas?

Pernahkah ada pajanan di tempat tinggal?

Keluhan batuk

Sudah berapa lama?

Akut (≤ 3 minggu)

Penyebabnya antara lain adalah infeksi saluran napas atas (misalnya influenza),

pneumonia, oedem paru, eksaserbasi PPOK, rhinitis alergika, dan pertusis.

Subakut (3-8 minggu)

Penyebab di antaranya: batuk pasca infeksi, sinusitis, dan asma.

Kronis (≥ 8 minggu)

Page 6: Respirasi

Penyebab di antaranya: postnasal drip, asma, refluks gastroesofagus, kanker paru,

bronkiektasis, TB, dan PPOK.

Apakah ada sputum? Apa warna dan berapa banyak sputum?

Adakah darah?

Apakah disertai gejala yang menunjukkan penyakit serius? (hemoptisis, sesak napas,

nyeri dada, penurunan berat badan)

Adakah demam, takikardi, takipnea?

Adakah riwayat penyakit pernapasan kronis?

Adakah tanda-tanda sinusitis (missal nyeri gigi maksilaris, secret hidung purulen, atau

nyeri wajah) ?

Apakah pasien terpajan penyebab infeksi khusus (misalnya pertusis, allergen, atau obat)

Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit serupa?

Riwayat imunisasi?

PEMERIKSAAN FISIK3

Tanda Vital.

Tekanan darah, temperature, frekuensi nadi dan frekuensi napas menentukan

tingkat keparahan penyakit. Seorangpasien sesak dengan tanda-tanda vital normal

biasanya hanya menderita penyakit kronik atau ringan, sementara pasien yang

memperlihatkan adanya perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya menderita

gangguan akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera.

a. Temperatur di bawah 35oC atau di atas 41oC atau tekanan darah sistolik di bawah

90 mmHg menandakan keadaan gawat darurat.

b. Frekuensi Napas kurang dari 5 kali/menit mengisyaratkan hipoventilasi dan

kemungkinan besar respiratory arrest. Bila lebihdari 35 kali/menit menunjukkan

gangguan yang parah, frekuensi yang lebih cepat dapat terlihat beberapa jam

sebelum otot-otot napas menjadi lelah dan terjadi gagal napas.

Inspeksi

Page 7: Respirasi

Kontraksi otot bantu napas dapat mengungkapkan adanya tanda obstruksi saluran

napas. Otot bantu pernapasan di leher dan otot interkostal akan berkontraksi/digunakan

pada keadaan adanya obstruksi saluran napas moderat hingga parah. Asimetri gerakan

dinding dada atau deviasi trakeal dapat pula dideteksi selama pemeriksaan otot-otot

napas. Pada tension pneumotoraks suatu keadaan gawat darurat-sisi yang terkena akan

membesar pada setiap inspirasi dan trakea akan terdorong ke sisi yang disebelahnya.

Pasien dengan obstruksi saluran napas dapat memperlihatkan rongga dada yang

hiperekspansi atau kontraksi otot-otot bantu napas. Penyakit parenkim seperti pneumonia,

fibrosis intersisial dan edema paru biasanya meimbulkan suara ronki. Pneumonia juga

dapat  menyebabkan melemahnya suara napas, pekak pada perkusi dan fremitus yang

mengeras.

Palpasi

Tertinggalnya pengembangan satu hemitoraks (salah satu sisi paru) yang

dirasakan dengan palpasi bagian lateral bawah rib cage paru bersangkutan menunjukkan

adanya gangguan pengembangan pada hemitoraks tersebut. Hal ini bisa akibat obstruksi

salah satu bronkus utama, pneumotoraks atau efusi pleura.

Fremitus taktil. Menurunnya fremitus taktil yang diperoleh dengan

memerintahkan pasien menyebutkan tujuh puluh tujuhberulang-

ulang terpalpasi pada area yang mengalami atelektasis seperti yang terjadi pada bronkus

yang tersumbat atau area yang ada efusi pleura. Meningkatnya fremitus disebabkan

oleh konsolidasi parenkim pada suatu area yang mengalami inflamasi.

Perkusi

a. hipersonor akan ditemukan pada hiperinflasi paru seperti terjadiselama serangan asma

akut, emfisema, juga pada pneumotoraks.

b. redup pada perkusi menunjukkan konsolidasi paru atau efusipleura

Auskultasi

Berkurangnya intensitas suara napas pada kedua bidang paru menunjukkan adanya

obstruksi saluran napas. Keadaan ini dapat terdengar pada konsolidasi, efusi pleura atau

pneumotoraks.

Page 8: Respirasi

Ronki kasar dan nyaring sesuai dengan obstruksi parsial atau penyempitan saluran

napas. Ronki basah halus terdengar pada parenkim paru yang berisi cairan.

Adanya egofoni (diucapkan huruf “I” seperti “e” datar)menandakan konsolidasie.

Pada pasien dengan sesak dan rasa sakit di dada harusdipikirkan kemungkinan adanya

friction rub, bila 2 komponen merupakan ciri pleuritis dan suara 3 komponen seperti

perikarditis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG4

1. Pemeriksaan laboratorium : pada apusan tenggorok terdapat kuman Cornybacterium

difteri.

2. Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis

polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan juga kadar albumin. Pada urin terdapat

albuminuria ringan.

3. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bawah membrane lalu

dibiak dalam Loeffner, Tellurite dan media blood.

4. Leukosit dapat meningkat atau normal, kadang terjadi anemia karena hemolisis seld arah

merah.

5. Schick tes : tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita.

WORKING DIAGNOSIS

Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri

coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasovaring, kulit dan

lesi lain dari orang yang terinfeksi

Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada

permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke

sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh

darah.

Page 9: Respirasi

Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama

8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya

sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada

mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane

putih/keabu-abuan.

Kematian terjadi pada 5%-10% dari kasus pernapasan yang terjadi. Imunisasi umum

dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan kadar antitoksin protektif konstan dan

untuk mengurangi penghuni C. diphtheriae yang merupakan satu-satunya cara pengendalian

efektif untuk penyakit difteri. Status imunisasi difteri yang dimaksudkan dalam penelitian ini

meliputi status imunisasi DPT1, DPT2, DPT3 dan DT booster beserta cakupan dari imunisasi

tersebut. 5

ETIOLOGI

Penyebab penyakit difteri adalah corynebacterioum diphtheria. Basil ini juga disebut

bakteri Klebs – Loffler karena ditemukan pertama kalinya tahun 1884 oleh bacteriologist dari

German yaitu Edwin Kelbs (1894 - 1912) dan Friedrich Loffler (1852 - 1915). Basil ini termasuk

jenis batang gram positif, pleomorfik, tersusun berpasangan (palisade), tidak bergerak , tidak

membentuk spora (kapsul),aerobic dan dapat memproduksi eksotoksin. Bentuknya seperti palu

(pembesaran pada salah satu ujung), diamaternya 0,1-1 mm dan panjangnya beberapa mm.6

EPIDEMIOLOGI

Penyakit difteria tersebar diseluruh dunia, terutama di Negara miskin, yang penduduknya

tinggal pada tempat – tempat permukiman yang rapat, hygiene dan sanitasi jelek, dan fasilitas

kesehatan yang kurang.

Orang – orang yang beresiko terkena penyakit difteri adalah :6

1. Tidak mendapatkan imunisasi atau imunisasinya tidak lengkap

Page 10: Respirasi

2. Immunocopromised, seperti : social ekonomi yang rendah, seperti : Populasi anak

jalanan, penduduk asli (di Amerika Serikat, penduduk asli beresiko tinggi terkena difteri

dibandingkan warga kulit putih), pemakaian obat immunosupresif, penderita HIV,

Diabetes mellitus, pecandu alcohol dan narkotika.

3. Tinggal pada tempat – tempat yang padat, seperti : rumah tahanan (penjara), tempat

penampungan

4. Sedang melakukan perjalanan (travel) ke daerah – daerah yang sebelumnya merupakan

daerah endemic difteri.

MANIFESTASI KLINIS

Lesu , sakit menelan, anoreksia, demam yang tidak begitu tinggi tapi pasien keliatan

toksik. Dalam waktu 2 – 3 hari terbentuk membrane yang berwarna putih kebiruan dan menyebar

sampai ke daerah tonsil dan menutupi hamper seluruh palatum mole. Membrane melekat pada

jaringan dan berdarah kalau dilepaskan. Pembentukan membrane secara ekstensif dapat

menimbulkan sumbatan pernapasan. Pada keadaan berat, pasien kelihatan pucat, nadi cepat,

stupor, dan bias meninggal dalam waktu 6 – 10 hari. Pada keadaan berat juga dapat

menimbulkan udema yang hebat pada daerah submandibuler dan terjadinya limfadenopati

kelenjar servikalis anterior. Keadaan ini disebut bullnect appearance.6

PATOFISIOLOGI

Difteri merupakan penyakit infeksi yang akut dengan masa inkubasi 1-7 hari yang

disebabkan oleh strain C. diphteriae yang toksigenik. Toksin yang dibuat pada lesi local

diabsorpsi oleh darah dan diangkut ke bagian tubuh yang lain, tetapi efek toksin yang paling

utama ialah meliputi jantung dan saraf perifer. Jalan masuk infeksi yang umum untuk C.

diphteriae adalah saluran napas bagian atas, di mana organism berkembang biak pada lapisan

superficial pada selaput lendir. C. diphteriae biasanya tetap pada lapisan superficial lesi kulit atau

mukosa pernapasan, menginduksi reaksi radang local. Di sana, eksotoksinnya diuraikan,

menyebabkan nekrosis pada jaringan sekitarnya. Virulensi utama organism terletak pada

kemampuannya menghasilkan eksotoksin polipeptida 62-KD kuat, yang menghambat sintesis

Page 11: Respirasi

protein dan menyebabkan nekrosis jaringan local.4 Respons dari peradangan membentuk suatu

pseudomembran berwarna keabuan yang terdiri dari bakteri, sel-sel epitel yang mengalami

nekrotik, sel-sel fagosit, dan fibrin. Mula-mula membran tersebut tampak pada tonsil atau pada

bagian posterior faring dan bisa menyebar ke atas ke bagian palatum yang lunak dan keras dan

ke nasofaring, atau ke bagian bawah ke laring dan trakea. Pengambilan specimen dari daerah

yang dilapisi pseudomembran ini sukar dan menampakkan perdarahan edema submukosa.

Paralisis palatum dan hipofaring merupakan pengaruh toksin local awal. Penyerapan toksin dapat

menyebabkan nekrosis tubulus ginjal, trombositopenia, miokardiopati, dan demielinasi saraf.7

Difteria laryngeal sangat berbahaya sebab kemungkinan terjadi sumbatan pada saluran

napas. Difteria kulit biasa ditemukan di daerah tropic. Di Amerika Utara, luka kulit yang juga

memberikan hasil C. diphteriae positif biasanya merupakan infeksi-infeksi sekunder pada luka

gores atau pada gigitan serangga, di mana juga mengandung Streptococcus beta hemolyticus atau

Staphylococcus aureus atau keduanya.

Luka difteria juga terjadi pada bagian depan lubang hidung, bagian dalam hidung, mulut,

mata, telinga tengah, dan pada kasus-kasus yang jarang, pada vagina. Endokarditis yang

disebabkan oleh C. diphteriae yang toksik dan nontoksik juga sudah pernah dilaporkan. Beberapa

Corynebacteria, seperti C. pseudodiphteriticum, C. hofmannii, C. xerosis, C. pyogenes, dan C.

ulcerans, biasa disebut difteroid. Kuman ini merupakan flora normal pada selaput mukosa

saluran pernapasan, saluran kencing, dan konjungtiva, kadang-kadang bisa juga menyebabkan

penyakit. Sejumlah difteroid menyebabkan penyakit pada hewan, tetapi jarang menyerang

manusia.

Difteroid yang anaerob (Propionibacterium acnes) biasa terdapat pada kulit yang normal,

dan sering dapat ikut berperan pada patogenitas jerawat. Beberapa Corynebacteria bisa menjadi

oportunis dan menghasilkan atau menyebabkan bakteremia disertai angka kematian yang tinggi

(C. xerosis, C. equi, C. matruchotii, dan C. pseudodiphteriticum) pada pasien-pasien yang

imunosupresif. C. minutissimum merupakan penyebab eritrasma, suatu infeksi superficial pada

daerah-daerah ketiak dan pubis.

Status kebal seseorang merupakan penentu utama apakah penyakit akan timbul atau tidak

setelah invasi oleh kuman difteri. Imunitas terhadap difteria terutama tergantung pada adanya

Page 12: Respirasi

antitoksin dalam tubuh. Antitoksin ini dibentuk sebagai respon terhadap infeksi baik klinik

maupun subklinik, atau sebagai akibat imunisasi aktif buatan. Antitoksin ini dapat dipindahkan

secara alamiah, misalnya secara transplasental dalam uterus, atau secara buatan seperti pada

transfuse. Imunisasi bayi dan anak prasekolah sangat menurunkan insiden difteria pada anak-

anak, dan juga menyebabkan menurunnya jumlah karier. Kekebalan seseorang terhadap toksin

difteria dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.7

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa :6

1. Serum Anti Difteri (SAD)

Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.

a) 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil

secara unilateral/bilateral.

b) 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil,

meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.

c) 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan

faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.

2. Antibiotik

a) Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari·

b) Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.

3. Kortikosteroid

a) Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)

b) Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.

c) Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)

Page 13: Respirasi

Non Medikamentosa :6

a. Pasien dirawat di ruangan isolasi untuk menghindari kontak dengan orang sehat.

b. Istirahat ditempat tidur minimal 2 – 3 minggu.

c. Makanan lunak dan cair tergantung kondisi penderita.

d. Kebersihan jalan napas dan penghisapan lender.

e. Control EKG secara serial 2 – 3 kali seminggu selama 4 – 6 minggu untuk mendeteksi

miokarditis secara dini.

f. Bila terjadi miokarditis harus istirahat total ditempat tidur selama 1 minggu.

g. Bila terjadi paralisis dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi aktif bila keadaan

membaik. Paralisis palatum dan faring dapat aspirasi, maka dianjurkan pemberian makanan

cair melalui selang lambung (sonde lambung).

h. Pasien difteri dalam keadaan berat, dianjurkan dirawat diruang rawat intensif. Bila terjadi

obstruksi larinks, secepat mungkin dilakukan trakeostomi.

Komplikasi

Kegagalan napas

Difteri pada saluran pernapasan dapat berkembang dengan cepat, sehingga dapat

menimbulkan kesulitan bernapas karena terjadi sumbatan/hambatan jalan masuknya udara.

Sumbatan pada saluran napas terjadi karena oedem pada faring, laring, trakea, maupun bronkus

oleh adanya inflamasi pada area tersebut. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesulitan bernapas,

takikardi, dan pucat. 5

Miokardiopati toksik

Miokardiopati toksik terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan

menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi

pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi risiko komplikasi yang

berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring local

eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin.

Page 14: Respirasi

Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika

penyakit faring membaik, tetapi dapat muncul secara akut seawal 1 minggu bila berkemungkinan

hasil akhirnya meninggal, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi

di luar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi

system saraf autonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada

EKG relative merupakan tanda lazim.

Disritmia jantung tunggal atau disritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung

derajat I, II, dan III, disosiasi atrioventrikuler, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongesti

klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat

serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis. Disritmia berat meramalkan kematian.

Penemuan histologik pada kepentingan forensic menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus

dengan respons radang akut. Penderita yang bertahan hidup dari disritmia berat dapat memiliki

efek hantaran permanen, sedangkan yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya

sempurna. 4

Neuropati toksik

Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan

paralisis local palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat

menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan risiko kematian karena

aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor

dan paralisis siliaris, yang Nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran

akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 10 hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring

dan terutama menyebabkan difisit motor dengan hilangnya reflex tendon dalam. Kelemahan otot

proksimal tungkai menyebar ke distal, dan lebih sering kelemahan distal yang menyebar kea rah

proksimal. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. Dua atau

3 minggu sesudah mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat

menyebabkan hipotensi atau gagal jantung.4

Page 15: Respirasi

PENCEGAHAN

 Isolasi penderita

Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri

dua kali berturut-turut negatif.

Pencegahan terhadap kontak

Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam

pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala

klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.

Imunisasi

Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi

DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4

sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan

boster dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2

bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat

dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang

diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.8

DIFFERENT DIAGNOSA

Abses peritonsiler

Dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40

tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi

infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini

memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa

tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut

merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Abses peritonsiler

adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari

bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya

Page 16: Respirasi

abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum

superior.

Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan

kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses,

dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.

disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob

yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes(Group A

Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan

organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas,

Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga

disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.9

Abses Retrofaringeal

Abses retrofaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di ruang retrofaring. Biasanya

pada anak 3 bulan-5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. Kuman penyebab

infeksi biasanya merupakan campuran aerob dan anaerob. Sumber infeksi berasal dari infeksi

akut saluran napas atas yang secara langsung atau secara limfogen menyebabkan infeksi kelenjar

limfe retrofaring, trauma benda asing, atau tuberkulosis cervikal. Demam, leher kaku, nyeri dan

sukar menelan. Posisi kepala hiperekstensi dan miring ke arah yang sehat. Anak kecil akan

menangis terus dan tidak mau makan atau minum. Dapat timbul sesak napas, stridor, dan

perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan hiperemis yang teraba lunak.10

PROGNOSIS

Prognosis untuk penderita difteri tergantung pada virulensi organism (subspecies gravis

mempunya mortalitas tertinggi), umur, status imunisasi, tempat infeksi, dan kecepatan pemberian

antitoksin. Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau difteri bull neck dan komplikasi

miokarditis menyebabkan mortalitas karena difteria yang paling besar. Mortalitas hampir 10%

untuk difteri saluran pernapasan. Pada penyembuhan, pemberian toksoid difteri terindikasi untuk

Page 17: Respirasi

menyempurnakan dosis imunisasi booster, karena tidak semua penderita mengembangkan

antibodi pascainfeksi.4

KESIMPULAN

Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae,dalam

sekenario anak sesak nafas didahului keluhan batuk pilek,dan disertai demam tinggi serta nyeri

menelan leher terlihat besar dan keras,menderita difteri,hipotesis diterima.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djojodibroto, Darmanto. Respirologi. Jakarta: ECG; 2009.

2. Sloane, Ethel. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta : EGC; 2003.

3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.

4. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Jilid 2. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2000.

5. Adams, G.L. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar

Penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997.

6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit

dalam.5th Ed. Jakarta : EGC,2009.

7. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar mikrobiologi

kedokteran. ed revisi. Tangerang: Binarupa Aksara; 2012.

8. Powel KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting.

Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. . 

9. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,Hidung

dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; h. 185-89.

10. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, h. 296, 308-09.

EGC, Jakarta.