resiliensi pada penderita kanker

Download RESILIENSI PADA PENDERITA KANKER

If you can't read please download the document

Upload: hanik-i

Post on 29-Jun-2015

1.766 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

RESILIENSI PADA PENDERITA KANKER DITINJAU DARI DUKUNGAN SOSIAL

Disusun Oleh : Rr. Indah Ria Sulistya Rini No. Mhs : 52594

Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2006/2007

I. Pengantar 1. Latar Belakang Masalah Kanker merupakan penyakit yang mengerikan bagi kebanyakan orang. Cara, sikap ataupun reaksi orang dalam menghadapi kanker pada dirinya, berbeda satu sama lain dan individual sifatnya. Hal ini tergantung kepada sampai seberapa jauh kemampuan individu yang bersangkutan menyesuaikan diri terhadap situasi yang mengancam kehidupannya. Berbagai reaksi penderita kanker di bidang kejiwaan antara lain kecemasan, ketakutan dan depresi (Hawari, 2004). Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang. Dalam 10 tahun mendatang diperkirakan sembilan juta orang akan meninggal setiap tahun akibat kanker. Dua pertiga dari penderita kanker di dunia akan berada di negara-negara yang sedang berkembang. Di Indonesia diperkirakan setiap tahunnya terdapat 100 penderita kanker yang baru di setiap 100.000 penduduk. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI, kematian yang disebabkan kanker meningkat dari tahun ke tahun adalah : 4,5 %0 (1989), 4,5 %0 (1992), dan 4,9 %0 (1995) (news.indosiar.com). Data terakhir menunjukkan bahwa kematian akibat kanker pada wanita tetap menunjukkan titik tertinggi. Dr Asrul Harsal SpPD KHOM mengatakan bahwa khusus kanker payudara menduduki peringkat kedua penyebab kematian pada wanita, setelah kanker leher rahim. Setiap tahun ada seratus wanita dari 100 ribu penduduk di Indonesia terserang kanker payudara. Kanker payudara ternyata paling banyak menyerang wanita Indonesia. Menurut data WHO (World Health Organization) sebagaimana diungkapkan Prof Dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM ada sekitar 1,2 juta wanita yang didiagnosis menderita kanker payudara pada 2004 lalu. Angka tersebut jelas jauh lebih tinggi dibanding dengan jumlah penderita kanker di Amerika. Di Amerika, diperkirakan sekitar 215.990 wanita didiagnosis menderita kanker payudara invasif (stadium 1-4) dan 59.390 lainnya didiagnosis dengan kanker payudara tingkat dini (www.minggupagi.com). Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker dalam perkembangannya, sel-sel kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga dapat menyebabkan kematian. Kanker dapat menimpa semua orang, pada semua bagian tubuh, dan pada semua golongan umur.

Kanker dapat timbul pada pria, wanita, maupun anak-anak. Walaupun kanker dapat timbul pada anak-anak, tetapi labih sering timbul pada orang dewasa, terutama pada orang yang berusia 40 tahun keatas. Ini disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon dan proses menua atau kemunduran pertumbuhan sel. Umumnya sebelum kanker meluas atau merusak jaringan di sekitarnya, penderita tidak merasakan adanya keluhan ataupun gejala. Bila sudah ada keluhan atau gejala biasanya penyakitnya sudah lanjut (news.indosiar.com). Ada tiga fase reaksi emosional penderita ketika diberitahu bahwa penyakit yang dideritanya adalah kanker yang sudah lanjut. Fase pertama, penderita akan merasakan shock mental, kemudian diliputi oleh rasa takut, dan depresi. Muncul reaksi penolakan dan kemurungan, terkadang penderita menjadi panik, melakukkan hal-hal yang tidak berarti dan sia-sia. Setelah fase ini berlalu, akhirnya penderita akan sadar dan menerima kenyataan bahwa jalan hidupnya telah berubah (Hawari, 2004). Stress yang dialami oleh pasien kanker, cenderung membuat cara berpikir menjadi tidak akurat. Hal itu membawa individu menjadi tidak resilien dalam Stress membahayakan menghadapi masalah, dalam hal ini adalah penyakit kanker.

sistem kekebalan, yang memungkinkan individu menjadi lebih sering sakit. Individu dengan resiliensi yang baik mampu menghadapi masalah dengan baik, mampu mengontrol diri, mampu mengelola stress dengan baik dengan mengubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stress. Resiliensi memungkinkan individu untuk tetap fokus pada persoalan yang sesungguhnya, dan tidak menyimpang ke dalam perasaan dan pikiran yang negatif, sehingga individu bisa mengatasi resiko depresi dan banyak tantangan. Pikiran dan perasaan adalah inti dalam memahami individu dalam rangka meningkatkan resiliensi. Sejumlah fakta menunjukkan bahwa terapi kognitif yang berbasis aspek-aspek dari resiliensi sangat efektif dalam mengatasi depresi (Reivich dan Shatte, 2002). Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika

berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich dan Shatte, 2002). Faktor yang mendukung resiliensi, diantaranya adalah dukungan sosial, berhubungan dengan tingkat stress yang rendah. Individu dengan resiliensi yang tinggi memiliki dukungan sosial yang lebih baik dan memiliki tingkat stress yang rendah (Aitken dan Morgan, 1999). Resiliensi sebagai kemampuan untuk secara terus menerus mendefinisikan diri dan pengalaman, menjadi dasar untuk proses kehidupan yang menghubungkan antara sumber daya individu dan spiritual (Southwick, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Utami dan Hasanat (1998), yang menyimpulkan bahwa dukungan sosial yang diperoleh penderita kanker akan menurunkan tingkat depresi penderita. Seseorang yang dihadapkan pada masalah atau kesulitan hidup dan ia mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya berupa tersedianya orang yang dapat memberikan motivasi yang diperlukan ketika sedang dalam kondisi down, mendengarkan keluh kesah, memberikan informasi yang diperlukan, diajak berdiskusi dan bertukar pikiran maka orang tersebut akan merasa lebih nyaman, merasa diperhatikan, serta memiliki tempat untuk berbagi keluh kesah yang dialami sehingga beban psikologis yang terasa berat, jika harus ditanggung sendirian, bisa lebih ringan. Demikian halnya apabila dukungan sosial tidak diperoleh maka beban yan dialami oleh orang tersebut akan terasa lebih berat sehingga bisa memunculkan stres dan frustrasi ketika menghadapi masa-masa yang sulit. Dukungan sosial yang diterima dan dirasakan dapat berbeda antara individu yang satu dengan yang lain karena terdapat persepsi yang berbeda dalam merasakan penerimaan dukungan tersebut. 2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan ruhaniah dengan resiliensi pada penderita kanker.

II. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas individu untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat diri, dan tetap melakukan perubahan sehubungan dengan ujian yang dialami. Setiap individu memiliki kapasitas untuk menjadi resilien. Konsep resiliensi menitikberatkan pada pembentukan kekuatan individu sehingga kesulitan dapat dihadapi dan diatasi. Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Resiliensi adalah seperangkat pikiran yang memungkinkan untuk mencari pengalaman baru dan memandang kehidupan sebagai sebuah kemajuan. Resiliensi menghasilkan dan mempertahankan sikap positif untuk digali. Individu dengan resiliensi yang baik memahami bahwa kesalahan bukanlah akhir dari segalanya. Individu mengambil makna dari kesalahan dan menggunakan pengetahuan untuk meraih sesuatu yang lebih tinggi. Individu menggembleng dirinya dan memecahkan persoalan dengan bijaksana, sepenuhnya, dan energik. Connor & Davidson (2003) mengatakan bahwa resiliensi merupakan kualitas seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan. Block & Kreman (Xianon&Zhang, 2007) menyatakan bahwa resiliensi digunakan untuk menyatakan kapabilitas individual untuk bertahan/survive dan mampu beradaptasi dalam keadaan stress dan mengalami penderitaan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kapasitas individu, untuk beradaptasi dengan keadaan, dengan merespon secara sehat dan produktif untuk memperbaiki diri, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi tekanan hidup sehari-hari. 2. Resiliensi Pada Penderita Kanker Banyak kasus stress yang berhubungan dengan kanker, sebagian besar pasien menunjukkan muatan resiliensi yang besar dan dapat menyesuaikan diri dengan baik (Sarafino, 1994). Penelitian terhadap pasien kanker payudara (Taylor, Lichtman, dan Wood, 1984, dalam Taylor dkk, 2000), memperlihatkan bahwa keadaan emosi dan kepedihan pasien menunjukkan kembali normal setelah mengalami peristiwa yang

traumatis dan secara potensial mengancam jiwa.

Sebagian besar pasien dilaporkan

bahwa hidupnya berubah dalam beberapa hal, ke arah yang lebih baik. Sebagian dari pasien telah memiliki pemahaman baru akan dirinya, sebagai individu yang lebih kuat dan resilien. Keyakinan positif berhubungan dengan penyakit fisik dalam hal mengembangkan perilaku yang lebih sehat. Individu yang memiliki pemahaman yang positif akan makna dirinya, yakin terhadap kontrol dirinya, dan optimis akan masa depan, akan lebih cenderung melakukan kebiasaan yang sehat dengan bersungguh-sungguh. Hubungan antara keyakinan positif dan penyakit berpangkal dari fakta bahwa keadaan emosi yang positif diyakini berhubungan dengan hubungan sosial yang baik (Taylor dan Brown, 1988, dalam Taylor, 2000). Optimis, keyakinan terhadap pemahaman kontrol diri akan lebih memiliki dukungan sosial, atau menjadi lebih efektif dalam pengerahan selama stress (Taylor dan Brown, 1994, dalam Taylor, 2000). Optimis, pemahaman akan kontrol diri, dan self esteem berhubungan dengan usaha pemecahan masalah secara aktif (Aspinwall dan Taylor, 1997; Taylor dkk, 1992, dalam Taylor, 2000), yang memungkinkan individu untuk berhati-hati atau mengimbangi peristiwa yang menekan sebelum seluruh implikasinya terasa. Kemampuan itu untuk menanggulangi secara aktif dan proaktif dengan menghargai kesehatan, akan meminimalkan pengaruh psikologis yang merugikan dari stress. Mood, depresi, perilaku yang sehat, dan hal lain yang secara potensial mendukung faktor psikososial, menjelaskan hubungan antara proses kognitif, pencarian makna, dan perkembangan penyakit. Banyak fakta yang menyebutkan bahwa kemampuan untuk mancari makna dalam peristiwa yang menekan atau traumatis, termasuk sakit yang berat, biasanya memberikan penyesuaian psikologis (Mendola, Tennen, Affleck, McCann, dan Fitzgerald, 1990; Schwartzberg, 1993; Thompson, 1991, dalam Taylor, 2000). Banyak fakta mengindikasikan bahwa akibat positif dari peristiwa yang menekan adalah pencarian makna hidup, mengembangkan cara pemecahan masalah yang lebih baik, meningkatkan sumber daya sosial individu, membuat prioritas penting, dan menghargai nilai dari hubungan sosial (Leedham dkk, 1995; Petrie dkk, Rose dkk, 1995; Shifren, 1996, dalam Taylor, 2000). Hal yang menentukan individu mampu merespon peristiwa yang traumatis atau menekan, tanpa keputusasaan, depresi, dan kehilangan

tujuan atau makna, adalah dengan resiliensi dan memperbaharui pemahaman akan makna. Persepsi manusia normal, dengan ciri-ciri pemahaman positif tentang diri, pemahaman akan kontrol diri, dan optimis, memandang masa depan, menunjukkan sumber daya yang bukan saja membantu individu mengelola pasang surut kehidupan sehari-hari, tetapi juga mengasumsikan arti khusus yang membantu individu mengatasi dengan sangat, peristiwa yang menekan dan mengancam jiwa (Taylor, 1983; Taylor dan Brown, 1988, dalam Taylor, 2000). Pada kasus penyakit yang mengancam jiwa, sumber daya tersebut adalah sebagai penyangga melawan kenyataan keparahan penyakit dan kematian pada akhirnya, dimana individu menghadapi berbagai pengalaman tidak hanya dengan sumber psikologis yang berguna, tetapi juga dengan sumber resiliensi. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penderita kanker memiliki resiliensi yang baik, bila memiliki kontrol diri yang baik, optimis, memiliki cara pemecahan masalah yang baik, menghargai nilai dari hubungan sosial, dan memiliki pemahaman akan makna hidup. 3. Aspek-aspek dalam resiliensi Berdasarkan Reivich dan Shatte (2002), ada tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu : a. Pengendalian emosi Pengendalian emosi adalah suatu kemampuan untuk tetap tenang meskipun berada di bawah tekanan. perilaku. Individu yang mempunyai resiliensi yang baik, menggunakan kemampuan positif untuk membantu mengontrol emosi, memusatkan perhatian dan Mengekspresikan emosi dengan tepat adalah bagian dari resiliensi. Individu yang tidak resilient cenderung lebih mengalami kecemasan, kesedihan, dan kemarahan dibandingkan dengan individu yang lain, dan mengalami saat yang berat untuk mendapatkan kembali kontrol diri ketika mengalami kekecewaan. Individu lebih memungkinkan untuk terjebak dalam kemarahan, kesedihan atau kecemasan, dan kurang efektif dalam menyelesaikan masalah. b. Kemampuan untuk mengontrol impuls Kemampuan untuk mengontrol impuls berhubungan dengan pengendalian emosi. Individu yang kuat mengontrol impulsnya cenderung mempu mengendalikan

emosinya.

Perasaan yang menantang dapat meningkatkan kemampuan untuk

mengontrol impuls dan menjadikan pemikiran lebih akurat, yang mengarahkan kepada pengendalian emosi yang lebih baik, dan menghasilkan perilaku yang lebih resilient. c. Optimis Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai Optimis harapan akan masa depan dan dapat mengontroal arah kehidupannya.

membuat fisik menjadi lebih sehat dan tidak mudah mengalami depresi. Optimis menunjukkan bahwa individu yakin akan kemampuannya dalam mengatasi kesulitan yang tidak dapat dihindari di kemudian hari. Hal ini berhubungan dengan self efficacy, yaitu keyakinan akan kemampuan untuk memecahkan masalah dan menguasai dunia, yang merupakan kemampuan penting dalam resiliensi. Penelitian menunjukkan bahwa optimis dan self efficacy saling berhubungan satu sama lain. Optimis memacu individu untuk mencari solusi dan bekerja keras untuk memperbaiki situasi. d. Kemampuan untuk menganalisis penyebab dari masalah Analisis penyebab menurut Martin Seligman, dkk (dalam Reivich dan Shatte, 2002), adalah gaya berpikir yang sangat penting untuk menganalisis penyebab, yaitu gaya menjelaskan. Hal itu adalah kebiasaan individu dalam menjelaskan sesuatu yang baik maupun yang buruk yang terjadi pada individu. Individu dengan resiliensi yang baik sebagian besar memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara kognitif dan dapat mengenali semua penyebab yang cukup berarti dalam kesulitan yang dihadapi, tanpa terjebak di dalam gaya menjelaskan tertentu. Individu tidak secara refleks menyalahkan orang lain untuk menjaga self esteemnya atau membebaskan dirinya dari rasa bersalah. Individu tidak menghambur-hamburkan persediaan resiliensinya yang berharga untuk merenungkan peristiwa atau keadaan di luar kontrol dirinya. Individu mengarahkan dirinya pada sumber-sumber problem solving ke dalam faktorfaktor yang dapat dikontrol, dan mengarah pada perubahan. e. Kemampuan untuk berempati Beberapa individu mahir dalam menginterpretasikan apa yang para ahli psikologi

katakan sebagai bahasa non verbal dari orang lain, seperti ekspresi wajah, nada suara, bahasa tubuh, dan menentukan apa yang orang lain pikirkan dan rasakan. Walaupun individu tidak mampu menempatkan dirinya dalam posisi orang lain, namun mampu untuk memperkirakan apa yang orang rasakan, dan memprediksi apa yang mungkin dilakukan oleh orang lain. Dalam hubungan interpersonal, kemampuan untuk membaca tanda-tanda non verbal menguntungkan, dimana orang membutuhkan untuk merasakan dan dimengerti orang lain. f. Self efficacy Self efficacy adalah keyakinan bahwa individu dapat menyelesaikan masalah, mungkin melalui pengalaman dan keyakinan akan kemampuan untuk berhasil dalam kehidupan. Self efficacy membuat individu lebih efektif dalam kehidupan. Individu yang tidak yakin dengan efficacynya bagaikan kehilangan jati dirinya, dan secara tidak sengaja memunculkan keraguan dirinya. Individu dengan self efficacy yang baik, memiliki keyakinan, menumbuhkan pengetahuan bahwa dirinya memiliki bakat dan ketrampilan, yang dapat digunakan untuk mengontrol lingkungannya. g. Kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan Resiliensi membuat individu mampu meningkatkan aspek-aspek positif dalam kehidupan. Resiliensi adalah sumber dari kemampuan untuk meraih. Beberapa orang takut untuk meraih sesuatu, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, bagaimanapun juga, keadaan menyulitkan akan selalu dihindari. Meraih sesuatu pada individu yang lain dipengaruhi oleh ketakutan dalam memperkirakan batasan yang sesungguhnya dari kemampuannya. Connor & Davidson (2003), mengatakan bahwa resiliensi akan terkait dengan hal-hal di bawah ini : a. Kompetensi personal, standar yang tinggi dan keuletan. Ini memperlihatkan bahwa seseorang merasa sebagai orang yang mampu mencapai tujuan dalam situasi kemunduran atau kegagalan b. Percaya pada diri sendiri, memiliki toleransi terhadap afek negatif dan kuat/tegar dalam menghadapi stres Ini berhubungan dengan ketenangan , cepat melakukan coping terhadap stress, berpikir secara hati-hati dan tetap fokus sekalipun sedang dalam menghadapi masalah

c. Menerima perubahan secara positif dan dapat membuat hubungan yang aman (secure) dengan orang lain. Hal Ini berhubungan dengan kemampuan beradaptasi atau mampu beradaptasi jika menghadapai perubahan d. Kontrol/pengendalian diri dalam mencapai tujuan dan bagaimana meminta atau mendapatkan bantuan dari orang lain e. Pengaruh spiritual, yaitu yakin yakin pada Tuhan atau nasib. 5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi Menurut Holaday (Southwick, P.C. 2001), faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah : a. Social support, yaitu berupa community support, personal support, familial support serta budaya dan komunitas dimana individu tinggal b. Cognitive skill, diantaranya intelegensi, cara pemecahan masalah, kemampuan dalam menghindar dari menyalahkan diri sendiri, kontrol pribadi dan spiritualitas c. Psychological resources, yaitu locus of control internal, empati dan rasa ingin tahu, cenderung mencari hikmah dari setiap pengalaman serta selalu fleksibel dalam setiap situasi 2. Dukungan Sosial Sarafino (1997), mendefiniskan dukungan sosial sebagai perasaan nyaman, penghargaan, perhatian atau bantuan yang diperoleh seseorang dari orang lain atau kelompoknya. Cohen dan Syrne (1985) mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu keadaan yang bermanfaat atau menguntungkan yang diperoleh individu dari orang lain baik berasal dari hubungan sosial struktural yang meliputi keluarga/teman dan lembaga pendidikan maupun berasal dari hubungan sosial yang fungsional yang meliputi dukungan emosi, informasi, penilaian dan instrumental. Gottlieb (Smet, 1994) menjelaskan bahwa dukungan sosial adalah bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh orang terdekat yang dapat menimbulkan reaksi emosional dan perubahan perilaku pada orang yang menerima bantuan tersebut. Cohen & Syrne (1985) berpendapat bahwa dukungan sosial bersumber dari : tempat kerja, keluarga, pasangan suami istri, teman di lingkungan sekitar. Dukungan sosial secara efektif dapat mengurangi penyebab timbulnya stres psikologis ketika menghadapi masamasa yang sulit (Cohen & Wills, Kessler & Mc Leod, dan Littlefiled, dkk).

Bentuk-bentuk dukungan sosial (Sarafino, 1997) : a. Dukungan Emosional (Emotional Support) : menyangkut ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orag-orang yang bersangkutan. Dukungan menghadirkan perasaan nyaman, tentram, rasa memiliki, dan merasa dicintai ketika mengalami stres b. Dukungan penghargaan (Esteem support) : dukungan dalam bentuk penghargaan terjadi lewat ungkapan rasa hormat (penghargaan) penerimaan yang positif untuk orang yang bersangkutan. c. Dukungan berupa pemberian alat (Tangible or Instrumental Support) : mencakup bantuan langsung seperti memberikan pinjaman uang atau benda d. Dukungan Informasi (Informational Support) : dukungan dalam bentuk informasi dapat berupa pemberian nasihat, petunjuk-petunjuk, cara-cara ataupun umpan balik C. Alat Ukur 1. Skala Resiliensi Banyak skala yang sudah dikembangkan untuk mengukur resiliensi. Namun skala-skala ini tidak bisa digunakan secara luas karena itu buku teks pengukuran psikiatrik milik Asosiasi Psikiater Amerika memuat tidak hanya satu macam pengukuran resiliensi. Salah satu alat yang dikembangkan pada beberapa tahun terakhir ini adalah CD-RISC. Alat ini dikembangkan sebagai suatu asesmen ringkas untuk membantu mengukur resiliensi dan pengukuran di klinik untuk melihat respon dari suatu treatmen (Connor & Davidson, 2003). Isi skala telah diambil dari banyak sumber. Salah satunya dari Kobasa (Farber, Jennifer Schwartz, 2000), item-item resiliensi menggambarkan tentang kontrol yaitu perasaan/tanggapan seseorang tentang makna dan tujuan hidup dengan kepedulian terhadap diri sendiri dan orang lain, komitmen yaitu perasaan/tanggapan seseorang mengenai otonomi dan kemampuan untuk mempengaruhi jalan hidup/pola hidup sendiri, tantangan yaitu perasaan/tanggapan seseorang dimana ia memaknai tantangan sebagai bagian alami dari kehidupan, yang menyediakan kesempatan untuk tumbuh. dan perubahan yang dipandang sebagai tantangan juga dimasukkan. Sementara dari Rutter (Connor&Davidson, 2003), menggambarkan bahwa karakteristik orang yang resiliensi

adalah sebagai berikut :memiliki strategi pengembangan dengan arah yang jelas/realistik dalam menentukan pilihan, adanya suatu orientasi dalam tindakan, adanya suatu keyakinan yang kuat/efikasi diri, kemampuan beradaptasi ketika berhadapan dengan perubahan, memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah sosial, humor dalam menghadapi stres, kuat/tegar dalam menghadapi stres, memiliki perasaan yang stabil, memiliki pengalaman keberhasilan di masa lalu (dua pernyataan yang terakhir merupakan inti dari resiliensi). Lyons (Connor&Davidson, 2003) mengatakan bahwa karateristik dari orang yang resilien adalah sabar , memiliki daya toleransi terhadap perasaan yang negatif, dapat beradaptasi terhadap perubahan. Namun untuk saat ini, resiliensi mengacu pada sikap optimis dan yakin. Skala CD-RISC, terdiri dari 5 aspek yaitu : 1. Kompetensi personal, standar yang tinggi dan keuletan Memperlihatkan bahwa seseorang merasa sebagai orang yang mampu mencapai tujuan dalam situasi kemunduran atau kegagalan 2. Percaya pada diri sendiri, memiliki toleransi terhadap afek negatif dan kuat/tegar dalam menghadapi stres Ini berhubungan dengan ketenangan , cepat melakukan coping terhadap stress, berpikir secara hati-hati dan tetap fokus sekalipun sedang dalam menghadapi masalah 3. Menerima perubahan secara positif dan dapat membuat hubungan yang aman (secure) dengan orang lain Ini berhubungan dengan kemampuan beradaptasi atau mampu beradaptasi jika menghadapai perubahan 4. Kontrol/pengendalian diri dalam mencapai tujuan dan bagaimana meminta atau mendapatkan bantuan dari orang lain 5. Pengaruh spiritual, yaitu yakin yakin pada Tuhan atau nasib.

Ke-5 aspek tersebut diturunkan menjadi 25 aitem sebagai berikut : No item Deskripsi

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Kemampuan dalam beradaptasi terhadap perubahan Menjalin hubungan yang dekat dan aman dengan orang lain Terkadang nasib atau Tuhan dapat menolong Dapat berkompromi dengan apapun yang terjadi Keberhasilan masa lalu memberi keyakinan dalam menghadapi tantangan yang baru Melihat sisi lucu dari sesuatu Melakukan coping terhadap stress Cenderung segar kembali setelah sembuh dari penyakit Sesuatu terjadi karena suatu alasan Berusaha dengan maksimal, walau apapun yang terjadi Mampu mencapai tujuan Pada saat sesuatu tampak tidak memberikan harapan lagi, saya tidak akan menyerah Tahu kapan harus meminta pertolongan Walaupun berada dalam suatu tekanan, tetap bisa fokus dan berpikir dengan jernih Lebih cenderung untuk memimpin/mengawali dalam pemecahan masalah Tidak mudah berkecil hati karena kegagalan Merasa diri sendiri adalah orang yang kuat Berani membuat keputusan yang sulit dan tidak biasanya Dapat mengatasi perasaan tidak nyaman Harus melakukan sesuatu terhadap suatu dugaan/firasat Peka terhadap maksud yang disampaikan oleh orang lain Dapat mengendalikan hidup Menyukai tantangan Bekerja untuk mencapai tujuan Bangga terhadap hasil/prestasi yang sudah dicapai.

Skala tersebut, dibuat dalam 5 rentang pilihan respons, yaitu : 0 = Tidak ada sama sekali pada diri saya, 1 = jarang terjadi pada diri saya, 2 = kadang-kadang ini terjadi/ada pada diri saya, 3 = sering terjadi pada diri saya, 4 = hampr selalu terjadi dalam diri saya. Ini dilihat dari keadaan 1 bulan terakhir dan total nilai bergerak dari 1-100. Skala ini juga pernah diterapkan pada orang-orang cina oleh 2 orang akademisi sains cina yaitu Xiaonan & Zhang (2007). Koefisien reabilitas versi Cina dari CD_RISC adalah 0,91. Begitupun dengan validitasnya tergolong memuaskan. Walaupun konsep tentang resiliensi itu satu dan universal, namun karena manusia hidup dalam kultur yang berbeda, maka secara realitas, kesulitan yang dihadapi oleh orang pun akan berbeda-beda. Masyarakat yang bukan dari barat akan beradaptasi dengan cara yang berbeda dari orang-orang barat. Dan kebanyakan perbedaan kultural hampir

tidak disentuh oleh penelitian-penelitian yang membahas mengenai resiliensi (Wagnild & Young 1993 dalam Xiaonan & Zhang, 2007). Berdasarkan dari uraian di atas maka peneliti mencoba memodifikasi skala resiliensi sebagai berikut : No 1 2 Aspek Kompetensi personal, standar yang tinggi dan keuletan Percaya pada diri sendiri, memiliki toleransi terhadap afek negatif dan kuat/tegar dalam menghadapi stres Menerima perubahan secara positif dan dapat membuat hubungan yang aman (secure) dengan orang lain Kontrol/pengendalian diri dalam mencapai tujuan dan bagaimana meminta atau mendapatkan bantuan dari orang lain Pengaruh spiritual, yaitu yakin yakin pada Tuhan atau nasib Favorable Unfavorable Jumlah butir 12 12

10, 13, 18, 20, 5, 12, 25, 32, 28, 37, 43 36 15, 24, 33, 34, 1, 3, 4, 6, 11, 38, 40 37

3

8, 9, 16, 23, 29, 21, 22, 26, 39, 35 42

11

4

2, 14, 17, 27, 12, 19, 44 44

7

5

7, 41

43, 45

4

Aspek-aspek tersebut diuraikan dalam aitem-aitem sebagai berikut : No. aitem 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pernyataan Sejak saya mengetahui penyakit yang saya derita, hari-hari saya lalui dengan kesedihan Menurut saya, pasien dalam keadaan tertentu boleh didahulukan penanganannya Saya ragu apakah saya mampu menjalani pengobatan yang berat ini Penyakit saya menjadi parah karena kesalahan dokter dalam mengambil tindakan Saya ragu apakah penyakit saya bisa disembuhkan Ketika saya tidak suka obat yang diberikan, saya tidak meminumnya Menurut saya, penyakit yang saya derita ada hikmahnya Saya menganggap bahwa penyakit yang saya derita merupakan sesuatu yang harus dihadapi

9 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.

Ada pelajaran yang saya dapatkan dari penyakit saya Dalam menyelesaikan masalah, saya menggunakan satu cara saja Saya sering bertindak spontan, tanpa berpikir panjang Tindakan saya seringkali terbawa perasaan Menurut saya, membuat rencana itu penting Saya bisa mengatur perasaan saya Saya yakin, saya mampu memperbaiki kesehatan saya Ketika melihat raut muka seseorang, saya tahu perasaannya Saya menyukai pengalaman baru Saya yakin, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya Saya mudah marah jika ada yang menyinggung perasaan saya Dalam menyelesaikan masalah, saya bisa mencari pokok permasalahan yang sebenarnya Jika mengingat keadaan saya, saya tidak berani menemui temanteman saya Dalam keadaan sakit, saya tidak perlu memikirkan perasaan temanteman saya Saya tidak mencemaskan penyakit saya Dalam keadaan sedih, saya masih bisa berpikir dengan baik Saya khawatir, kelak tidak bisa melakukan kegiatan saya lagi Saya takut perubahan, karena saya harus menyesuaikan diri lagi Ketika pasien lain sedih atau menangis, saya mengerti perasaan mereka Saya yakin, saya mampu menyelesaikan kegiatan saya yang tertunda Saya sakit karena saya kurang memperhatikan kesehatan saya Penyakit ini merupakan akhir dari semua proses hidup yang saya jalani Ketika saya ditawari pengobatan altenatif, saya langsung setuju Sepertinya susah mengembalikan semangat saya untuk melakukan kegiatan seperti semula Masih banyak hal atau kegiatan lain yang bisa saya lakukan selain kegiatan yang kemarin saya lakukan Ketika seseorang mengecewakan saya, saya mampu menahan diri untuk mendengarkan penjelasannya, sebelum saya bertindak Ketika saya mengetahui tentang penyakit yang saya derita, saya berpikir saya akan mampu menghadapinya Penyakit yang saya derita membuat saya harus menghapus semua impian saya Saya sudah membayangkan apa yang akan saya lakukan setelah saya sembuh Sekalipun saya berada dalam suatu tekanan, saya tetap akan berpikir dengan jernih untuk menemukan alternatif dari pemecahan masalah Tidak mudah bagi saya untuk menerima penyakit yang saya derita Saya ingin berbuat lebih baik lagi sekalipun saya dalam keadaan sakit Penyakit yang saya alami merupakan ujian dari Tuhan

42. 43

Penyakit saya menghapuskan seluruh kebahagiaan saya Saya masih tidak dapat mengerti kenapa Tuhan memberikan penyakit ini kepada saya 44. Saya kesal jika dokter mendahulukan pasien lain 43. Sekalipun orang melihat hidup saya sudah tidak ada harapan lagi, saya tidak akan menyerah 44. Ketika saya memerlukan bantuan, saya tahu kemana saya akan meminta pertolongan 45. Saya tidak percaya dengan pertolongan Tuhan untuk menyembuhkan penyakit yang saya alami Skala resiliensi pada penderita kanker menggunakan skala model Likert yang terdiri dari butir aitem, yang terdiri dari aitem favourable dan unfavourable. Pada aitem favourable skor bergerak dari angka 1 untuk pernyataan sangat tidak sesuai (STS), skor 2 untuk tidak sesuai (TS), skor 3 untuk sesuai (S), dan skor 4 untuk sangat sesuai (SS). Pada aitem unfavourable skor bergerak dari 4 untuk penyataan sangat tidak sesuai (STS), skor 3 untuk tidak sesuai (TS), skor 2 untuk sesuai (S), dan skor 1 untuk sangat sesuai (SS). Semakin tinggi skor yang diperoleh pada skala resiliensi, berarti semakin besar resiliensi pada penderita kanker, semakin rendah skor yang diperoleh berarti semakin rendah pula resiliensi pada penderita kanker, 2. Skala Dukungan Sosial Skala ini disusun sendiri mengacu pada aspek-aspek yang telah diuraikan oleh Sarafino (1997). Tujuannya adalah untuk mengetahui dukungan sosial yang dirasakan oleh penderita kanker. Dukungan sosial yang dirasakan penderita kanker ditunjukkan oleh jumlah skor yang diperoleh dari keseluruhan pernyataan yang diajukan. Berikut distibusi butir skala dukungan sosial : No 1. Aspek Dukungan Emosional Sumber Dukungan - Tenaga Medis - Keluarga - Teman 2. Dukungan Informasi Medi s Tem an Fav 1, 14 Unfavo Jumlah Butir 6

22, 23, 31, 33 3, 4, 6, 7, 2, 5, 12, 24 10 17, 26, 36 20, 25, 29, 8, 12, 13, 12 38, 39, 40 17, 30, 37 19 11, 21 4 15

3.

Dukungan Alat/Materi

-

Medi s Kelu arga Tem an Kelu arga Tem an

9, 27 10

32

4

4.

Dukungan Penghargaan

-

28 16

2

Aspek-aspek tersebut diuraikan dalam aitem-aitem sebagai berikut : No. aitem 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Pernyataan Kesabaran tim medis terhadap saya membuat saya lebih tenang dalam menghadapi penyakit yang saya derita Keluarga saya sering merasa bosan mendengar keluhan saya tentang penyakit yang saya derita Ketika saya merasa sedih dengan penyakit yang saya derita, keluarga saya menemai saya Saya merasa keluarga dan teman begitu perhatian kepada saya Keluarga saya kelihatan acuh dengan apa yang saya alami Keluarga saya mencintai saya Perhatian dari keluarga dapat membuat saya merasa tenang Saya merasa beban saya tidak berkurang meskipun teman saya sudah mencoba menghibur saya Bantuan materi yang diberikan keluarga cukup meringankan beban yang saya rasakan Ketika saya membutuhkan biaya untuk pengobatan, teman saya berusaha memberikan pinjaman uang kepada saya Informasi yang kurang lengkap dari tim medis membuat saya khawatir Kehadiran teman saya justru membuat saya tambah sedih Ketika saya bersedih keluarga saya meninggalkan saya sendirian Ketika saya mengeluh sakit para perawat berusaha mengurangi rasa sakit yang saya rasakan Ketika kondisi kesehatan saya tak kunjung membaik, teman saya mencari informasi tentang cara penyembuhan penyakit yang saya alami Ketika saya tidak mampu memenuhi tanggung jawab pekerjaan saya maka teman membantu dengan cara mengambil alih tugas saya Ketika saya menjalani pengobatan alternatif, keluarga saya mendukung Hubungan saya dengan pasien lain acuh tak acuh

19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40

Ketika kondisi saya tidak kunjung membaik, sikap dokter terhadap saya adalah berusaha mencari jalan keluar Teman saya selalu ada saat saya membutuhkan bantuan mereka Dokter tidak banyak memberikan informasi yang berharga tentang penyakit yang saya derita Ketika saya merasa sakit, perawat tidak peduli dengan apa yang saya rasakan Ketika melakukan kunjungan rutin, dokter tidak menanyakan keluhan yang saya rasakan Ketika saya mengeluh sakit di seluruh tubuh saya, keluarga justru memarahi saya Ketika di rumah sakit, teman-teman saya menjenguk saya Ketika kondisi saya tidak kunjung membaik, keluarga saya berkonsultasi dengan dokter Ketika saya membutuhkan alat penunjang kesehatan, keluarga saya membelikan alat yang saya butuhkan Dalam kondisi sakit, keluarga saya tidak mengajak saya turut serta dalam memecahkan masalah Saya sering bertukar cerita dengan pasien lain tentang penyakit yang kami alami Sikap orang-orang di lingkungan sosial saya setelah saya sakit adalah mengucilkan saya Ketika saya menjalani pengobatan alternatif, sikap dokter menyalahkan saya Ketika saya kesulitan memenuhi kebutuhan biaya pengobatan saya, maka perawat akan mencibir Ketika saya mengeluh sakit, sikap perawat tidak mau tahu Ketika saya bertanya tentang cara menjaga kondisi kesehatan saya perawat memberikan penjelasan yang kurang memuaskan Ketika saya bertanya tentang perkembangan kesehatan saya, dokter menjawab seperlunya Ketika saya merasa sehat, keluarga mengajak saya jalan-jalan Saya dengan pasien yang lain tidak saling bertegur sapa Teman-teman saya sangat memaklumi kondisi yang saya alami Ketika saya memikirkan penyakit saya, teman-teman saya mencoba mengibur saya Dalam kondisi apapun, keluarga tetap memberikan kasih sayang kepada saya

Skala dukungan sosial pada penderita kanker menggunakan skala model Likert yang terdiri dari butir aitem, yang terdiri dari aitem favourable dan unfavourable. Pada aitem favourable skor bergerak dari angka 1 untuk pernyataan sangat tidak sesuai (STS), skor 2 untuk tidak sesuai (TS), skor 3 untuk sesuai (S), dan skor 4 untuk sangat sesuai (SS). Pada aitem unfavourable skor bergerak dari 4 untuk penyataan sangat tidak sesuai

(STS), skor 3 untuk tidak sesuai (TS), skor 2 untuk sesuai (S), dan skor 1 untuk sangat sesuai (SS). Semakin tinggi skor yang diperoleh pada skala dukungan sosial, berarti semakin besar dukungan sosial yang diberikan pada penderita kanker, semakin rendah skor yang diperoleh berarti semakin kecil pula dukungan sosial pada penderita kanker. DAFTAR PUSTAKA Aitken, S, Morgan, J. 1999. How Motorola Promotes Good Health. Journal for Quality and Participation. http://www.findarticles.com /p/articles/mi_qa3616/is_199901 /ai_n8848462. Bonanno, G. A. Dkk. 2002. Resilience to Loss and Chronic Grief : A Prospective Study From Preloss to 18 Months Postloss. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 83. 1150-1164. Cohen, S., Syrne, S.L., 1985. Social Support and Health. London : Academic Pres Inc Connor & Davidson, 2003. Develompment of The New Resilience Scale : The ConnorDavidson Resilience Scale (CD-RISC). Journal of Depression and Anxiety. Vol 18 : 76-83 Farber, dkk, 2000. Resilience Factors Associated with Adaptation to HIV Desease. Journal of Psychosomatics. 41:2 Grotberg, E.H. 1999. Tapping Your Inner Strength. Oakland : New Harbinger Publication, Inc. Hawari, D. 2004. Al Quran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Bhakti Prima Yasa. Indosiar. 2005. Apa Yang Harus Anda Ketahui Tentang Kanker. .indosiar.com/news_rad.htm?id = 21479. 25 Mei 2005. http : // news

Minggu Pagi. 2005. Teror itu bernama Kanker Payudara. http : //www.minggupagi.com/article.php?sid = 94704. 6 Agustus 2005. Reivich, K. And Shatte, A. 2002. The Resilience Factor . New York : Random House, Inc. Sarafino, E.P. 1997. Health Psychology. Third Edition. New York : John Wiley & Sons, Inc.

Sinar Harapan. 2003. Solusi Bagi Pasien Kanker Penderita Depresi. http: //www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2003/0613/kes3.html. Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo. Southwick, P.C. 2001. The Tao of Resilience. http ://www.geocities.com/iona_m/ chaosophy4/Resilience/resilience.html. Taylor, S.E. 2003. Health Psychology. New York : Mc Graw Hill. Taylor, S.E. dkk. 2000. Psychological Resources, Positive Illusion, And Health. American Psychologist. Vol 55. No. 1, 99-109. Utami, M.S., Hasanat, N.U., 1998. Dukungan Sosial pada Penderita Kanker. Jurnal Psikologi. XXV (1), 44-54 Yu, X & Zhang. J. Factor Analysis and Psychometric Evaluation of The ConnorDavidson Resilience Scala (CD-RISC) with Chinese People. Journal of Social Behavior and Personality. 2007. 35 (1), 19-30.