resiliensi jurnal

Upload: psychopsycho

Post on 08-Oct-2015

69 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Resiliensi

TRANSCRIPT

  • PREDICARA Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    47

    GAMBARAN RESILIENSI SISWA SMA YANG BERESIKO PUTUS SEKOLAH

    DI MASYARAKAT PESISIR

    Ahmad Junaedi Salim Pulungan1 dan Tarmidi

    2

    PS Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

    Jl. Dr Mansyur No. 7 Padang Bulan Medan [email protected]

    Abstrak

    Penelitian ini mengkaji resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat

    pesisir. Hasil menunjukkan bahwa resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di

    masyarakat pesisir secara umum tergolong sedang sampai tinggi. Penelitian kuantitatif

    deskriptif ini mendeskripsikan nilai mean, standar deviasi, skor minimum dan skor

    maksimum dari tujuh aspek yang membentuk resiliensi yaitu: Emotion regulation, Impuls

    control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy dan Reaching out pada siswa

    SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir.

    Kata Kunci: Resiliensi, Siswa SMA, Masyarakat pesisir

    Abstract

    The present study examines the resilience of high school drop out risk in coastal community.

    The results showed that resilience of high school drop out risk in the coastal community is

    moderate to high level. This study descriptive quantitative research looking for the mean

    value, standard deviation, as well as minimum and maximum score are seven aspects that

    form resilience: Emotion regulation, Impuls control, Optimism, Causal analysis, Emphaty,

    Self-efficacy and Reaching out of high school drop out risk in coastal community.

    Keywords: Resilience, High School Students, Coastal Communities

    Resiliensi secara umum

    didefinisikan sebagai kemampuan

    beradaptasi terhadap situasi-situasi yang

    sulit dalam kehidupan (Reivich & Shatte,

    2002). Individu dianggap sebagai

    seseorang yang memiliki resiliensi jika

    mereka mampu untuk secara cepat kembali

    kepada kondisi sebelum trauma dan

    terlihat kebal dari berbagai peristiwa-

    peristiwa kehidupan yang negatif (Reivich

    & Shatte, 2002). Di dalam penelitian ini,

    kami berasumsi bahwa tingkat fleksibilitas

    yang membuat siswa berhasil dalam

    akademis walaupun mereka berada pada

    kondisi yang sulit, sehingga ia mampu

    untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan

    dengan kondisi sulit, ini yang disebut

    dengan resiliensi. Sehubungan dengan

    asumsi ini, kami mencoba untuk melihat

    gambaran resiliensi siswa SMA yang

    beresiko putus sekolah di masyarakat

    pesisir. Melalui penelitian deskriptif ini,

    kami berharap untuk memberikan

    gambaran ilmiah tentang resiliensi siswa

    SMA yang beresiko putus sekolah di

    masyarakat pesisir.

    Banyak siswa yang mengalami putus

    sekolah berasal dari anak nelayan yang

    tinggal di daerah pesisir pantai. Kelurahan

    Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan,

    merupakan salah satu daerah pesisir pantai

    yang ada di Medan. Berdasarkan data

    laporan bulanan kepala lingkungan Mutas

    Mutandis kependudukan di Kelurahan

    Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan

    selama bulan Mei tahun 2011, penduduk

    yang berusia 15-19 tahun pada lingkungan

    2, 4 dan 7 sebesar 487 orang, sedangkan

    siswa yang bersekolah pada usia tersebut

    atau jenjang SLTA sebanyak 193 orang.

    Dengan demikian tingkat capaian kinerja

    angka partisipasi murni (APM) SLTA di

    Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan

    Belawan hanya sebesar 39,6%. Siswa yang

    beresiko putus sekolah tidak terlepas dari

    kemiskinan yang melingkupi masyarakat

  • PREDICARA Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    48

    pesisir (Sulistyowati, 2003). Namun

    ditengah kemiskinan dan kesulitan

    tersebut, masih ada siswa yang tetap

    melanjutkan sekolah. Hal ini dapat dilihat

    selama bulan Mei tahun 2011, penduduk

    yang berusia 15-19 tahun berjumlah

    kurang lebih 1.500 orang, sedangkan

    penduduk yang bersekolah SMA pada usia

    tersebut hannya sekitar 500 orang saja.

    Siswa yang tetap melanjutkan sekolah

    tersebut menyadari bahwa akan pentingnya

    pendidikan untuk masa depan mereka

    nanti (Prasodjo, 2005). Berdasarkan

    fenomena yang terjadi yaitu banyaknya

    anak nelayan yang putus sekolah dan

    beresiko putus sekolah, tetapi tetap masih

    ada anak nelayan yang bertahan untuk

    meneruskan pendidikanya hingga ke

    jenjang sekolah menengah atas (SMA),

    maka kami tertarik ingin mengamati

    kondisi ini dengan melihat lebih jauh

    resiliensi siswa ini berada dalam kondisi

    yang sulit (terutama kemiskinan) yang

    dapat mencegah kebanyakan anak dari

    latar belakang yang sama untuk tetap

    bersekolah.

    Masyarakat nelayan dan beresiko putus

    sekolah

    Banyak siswa yang beresiko putus

    sekolah berasal dari daerah pesisir. Siswa

    yang beresiko putus sekolah, merupakan

    efek dari kemiskinan yang dialami pada

    masyarakat pesisir (Sulistyowati, 2003).

    Masyarakat pesisir adalah sekelompok

    orang atau komunitas yang tinggal di

    daerah pesisir yang sumber kehidupan

    perekonomiannya secara langsung

    bergantung pada pemanfaatan sumberdaya

    laut dan pesisir. Dari segi mata

    pencaharian masyarakat pesisir terdiri dari

    nelayan, buruh nelayan, pembudidaya

    ikan, pedagang ikan, pengolah ikan dan

    orang-orang yang bekerja pada sarana

    produksi perikanan (Muhadjirin, 2009).

    Pada umumnya, mereka mempunyai ciri

    yang sama yaitu berpendidikan yang

    rendah. Hal ini terjadi karena pekerjaan

    sebagai nelayan merupakan pekerjaan

    kasar yang lebih banyak mengandalkan

    otot dan pengalaman, oleh karena itu

    setinggi apa pun tingkat pendidikan

    masyarakat pesisir tidak akan

    mempengaruhi kemahiran mereka dalam

    melaut (Sudarso, 2005). Dengan

    penghasilan yang selalu tergantung pada

    kondisi alam, membuat mereka sulit untuk

    merubah kehidupannya menjadi lebih baik.

    Kondisi tersebut yang menyebabkan

    rendahnya kemampuan dan keterampilan

    mereka, sehingga membuat mereka tetap

    hidup dalam kemiskinan (Winengan,

    2007).

    Hampir setiap tahun jumlah anak-

    anak nelayan yang putus sekolah di

    seluruh wilayah Indonesia mengalami

    peningkatan. Peningkatan tersebut terjadi

    karena terus memburuknya kemiskinan

    keluarga mereka. Memburuknya

    kemiskinan nelayan tersebut terjadi seiring

    dengan terus menurunnya pendapatan

    melaut mereka (Suhana, 2006).

    Kemiskinan ini membuat mereka kesulitan

    untuk menyekolahkan anak-anaknya.

    Anak-anak mereka harus menerima

    kenyataan untuk mengenyam tingkat

    pendidikan yang rendah, karena

    ketidakmampuan ekonomi orang tuanya.

    Hal ini membuat anak-anak nelayan ini

    sulit membebaskan diri dari profesi

    nelayan, biasanya mereka turun-temurun

    adalah nelayan (Mubyarto, 1989). Anak-

    anak dituntut untuk ikut mencari nafkah,

    menanggung beban kehidupan rumah

    tangga, dan mengurangi beban tanggung

    jawab orangtuannya (Fathul, 2002). Oleh

    karena itu, sebagian besar anak nelayan

    harus tetap bekerja sebagai nelayan untuk

    menambah pendapatan keluarga daripada

    bersekolah dan melanjutkan pendidikan ke

    jenjang yang lebih tinggi (Mulyadi, 2005).

    Fenomena keseharian masyarakat

    pesisir baik anak pria atau wanita mulai

    sejak kecil sudah terlibat dalam proses

    pekerjaan nelayan, mulai dari persiapan

    orangtua untuk ke laut sampai dengan

    menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya

    berdampak kepada keberlangsungan

    pendidikan anak-anak nelayan

    (Pengemanan, 2002). Pada umumnya

  • PREDICARA Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    49

    rumah tangga di masyarakat pesisir kurang

    memiliki perencanaan yang matang untuk

    pendidikan anak-anaknya. Pendidikan

    untuk sebagian besar keluarga di

    masyarakat pesisir masih belum menjadi

    suatu kebutuhan yang penting didalam

    keluarga. Dapat dikatakan bahwa antusias

    terhadap pendidikan di masyarakat pesisir

    relatif masih rendah (Anggraini, 2000).

    Resiliensi dan pilihan melanjutkan

    sekolah

    Sebagian siswa tetap melanjutkan

    sekolah hingga jenjang SMA atau berhasil

    dalam akademis walaupun mereka berada

    pada kondisi yang sulit, mereka tetap

    yakin bahwa mereka mampu untuk

    bertahan dan bangkit dari kondisi tersebut.

    Kemampuan yang membuat mereka

    bertahan lalu tetap melanjutkan sekolah

    dan menyesuaikan dengan kondisi sulit,

    disebut dengan resiliensi (Reivich &

    Shatte, 2002).

    Resiliensi secara umum

    didefinisikan sebagai kemampuan

    beradaptasi terhadap situasi-situasi yang

    sulit dalam kehidupan (Reivich & Shatte,

    2002). Individu dianggap sebagai

    seseorang yang memiliki resiliensi jika

    mereka mampu untuk secara cepat kembali

    kepada kondisi sebelum trauma dan

    terlihat kebal dari berbagai peristiwa-

    peristiwa kehidupan yang negatif (Reivich

    & Shatte, 2002). Reivich & Shatte (2002)

    mengungkapkan beberapa kemampuan

    yang menyumbang pada resiliensi individu

    yaitu: Emotion regulation, Impuls control,

    Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-

    efficacy dan Reaching out.

    Penelitian ilmiah yang telah

    dilakukan lebih dari 50 tahun, telah

    membuktikan bahwa resiliensi adalah

    kunci dari kesuksesan kerja dan kepuasan

    hidup (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi

    yang dimiliki oleh seorang individu,

    mempengaruhi kinerja individu tersebut

    baik di lingkungan sekolah maupun di

    lingkungan masyarakat, memiliki efek

    terhadap kesehatan individu tersebut

    secara fisik maupun mental, serta

    menentukan keberhasilan individu tersebut

    dalam berhubungan dan berinteraksi

    dengan lingkungannya. Semua hal tersebut

    adalah faktor-faktor dasar dari tercapainya

    kebahagiaan dan kesuksesan hidup

    seseorang (Reivich & Shatte, 2002).

    Dalam penelitian yang dilakukan oleh

    Morales (2008) resiliensi dapat dilihat

    sebagai proses dan hasil.

    Bobey (1999) mengatakan bahwa

    orang-orang yang disebut sebagai individu

    yang resilien, adalah mereka yang dapat

    bangkit, berdiri diatas penderitaan, dan

    memperbaiki kekecewaan yang

    dihadapinya. Kapasitas resiliensi ini ada

    pada setiap orang. Artinya kita semua lahir

    dengan kemampuan untuk dapat bertahan

    dari penderitaan, kekecewaan, atau

    tantangan. Resiliensi dapat terlihat dengan

    jelas apabila seseorang berada pada

    tantangan atau masalah. Semakin

    seseorang berhadapan dengan banyak

    tantangan dan hambatan, maka akan

    semakin terlihat apakah ia telah berhasil

    mengembangkan karakteristik resiliensi

    dalam dirinya atau tidak (Bobey, 1999).

    Dalam bidang pendidikan, resiliensi

    bisa disebut sebagai resiliensi edukasi,

    resiliensi akademik atau siswa yang

    memiliki resiliensi yang baik disebut

    sebagai siswa resilien. Siswa resilien

    adalah siswa yang berhasil di sekolah

    meskipun adanya kondisi yang kurang

    menguntungkan (Waxman et al., 2003).

    Resiliensi dalam bidang akademis dapat

    diartikan sebagai kemampuan seorang

    siswa untuk sukses di bidang akademik

    meskipun ia berada dalam kondisi yang

    membuatnya sulit untuk berhasil (Benard,

    1991 & Wang et al., 1997 dalam Bryan,

    2005). Kondisi atau lingkungan yang

    kurang mendukung tersebut bisa berupa

    kemiskinan, kondisi sekolah yang serba

    kekurangan, maupun kondisi keluarga

    yang kurang baik. Secara spesifik resiliensi

    akademik dipahami sebagai proses dan

    hasil yang menjadi bagian dari cerita hidup

    seorang individu yang meraih kesuksesan

    akademik, meskipun ia mengalami banyak

    rintangan yang dapat mencegah

  • PREDICARA Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    50

    kebanyakan orang dari latar belakang yang

    sama untuk meraih kesuksesan (Morales &

    Trotman, 2004).

    Selain faktor internal atau yang

    berasal dari siswa itu sendiri, ternyata

    faktor eksternal seperti sekolah, keluarga,

    komunitas dan masyarakat dimana siswa

    itu berada juga turut berperan dalam

    menciptakan siswa yang resilien.

    Penelitian yang dilakukan Bryan (2005)

    mengenai resiliensi dan prestasi akademik

    di sekolah pedesaan melalui sekolah,

    keluarga, dan komunitas, menunjukkan

    hubungan antara sekolah, keluarga dan

    komunitas bisa menciptakan kesempatan

    yang baik mengembangkan resiliensi

    siswa. Hal ini karena ketiga kemampuan

    tersebut dapat membantu menghilangkan

    stresor, batasan maupun rintangan dalam

    mencapai prestasi akademik (Bryan,

    2005). Karakteristik sekolah yang dapat

    meningkatkan resiliensi siswanya adalah

    model komunitas atau lingkungan sekolah

    yang mendukung, termasuk elemen-

    elemen yang secara aktif melindungi anak-

    anak dari kesulitan. Intinya adalah sekolah

    bisa menciptakan suasana yang harmonis

    agar siswanya merasa tidak berbeda dari

    kaum mayoritas (Borman & Rachuba,

    2001). Dengan kata lain, sekolah

    menggunakan cara untuk membuat

    lingkungan belajar yang positif, dimana

    kompetensi akademik dan perilaku siswa

    didukung, responsif terhadap kebutuhan

    siswa yang mengarah kepada pencapaian

    akademik, dan mengurangi masalah

    perilaku (Close & Solberg, 2007).

    Penelitian ini Meskipun sudah banyak penelitian

    yang mengambarkan resiliensi dengan

    berbagai konteks, sepengetahuan kami,

    jarang sekali ada penelitian, khususnya di

    Indonesia yang meneliti gambaran

    resiliensi di masyarakat pesisir. Dengan

    demikian, di dalam penelitian deskriptif

    ini, kami mencoba untuk mengambarkan

    resiliensi tersebut. Secara spesifik, kami

    memfokuskan penelitian ini pada resiliensi

    dalam konteks siswa SMA yang beresiko

    putus sekolah di masyarakat pesisir.

    Berdasarkan penelitian-penelitian

    sebelumnya, yang secara konsisten

    menunjukkan bahwa resiliensi yang

    dimiliki oleh seorang individu,

    mempengaruhi kinerja individu tersebut

    baik di lingkungan sekolah maupun di

    lingkungan masyarakat, kami

    mendeskripsikan bahwa tingkat resiliensi

    yang dimiliki siswa akan berkontribusi

    terhadap kesehatan siswa tersebut secara

    fisik maupun mental, serta menentukan

    keberhasilan siswa tersebut dalam

    lingkungan sekolah dan berinteraksi

    dengan lingkungannya.

    Metode

    Partisipan Partisipan ini terdiri dari 150 siswa

    SMA yang berdomisili di Kelurahan

    Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan,

    dengan spesifikasi jumlah laki-laki 36

    siswa dan perempuan 114 siswa, berusia

    antara 14 sampai 19 tahun. Partisipan kami

    pilih dengan purposive sampling. Mereka

    berpartisipasi secara sukarela dengan

    pemberian reward.

    Prosedur dan alat ukur Untuk keperluan penelitian ini,

    kami mengunakan skala untuk mengukur

    variabel-variabel penelitian. Resiliensi

    kami ukur dengan skala yang kami

    konstruksi berdasarkan resiliensi Reivich

    & Shatte (2002). Skala resiliensi ini sudah

    mencakup 7 aspek resiliensi, yaitu

    Emotion Regulation (2 aitem), Impulse

    Control (7 aitem), Optimisme (7 aitem),

    Causal Analysis (3 aitem), Emphati (6

    aitem), Self-efficacy (7 aitem), dan Reach

    Out (4 aitem). Gabungan dari ketujuh

    aspek resiliensi ini membentuk satu skala

    resiliensi (e.g., Saya yakin akan sukses di

    masa yang akan datang, Ketika ada

    masalah yang muncul, saya memiliki

    berbagai macam solusi untuk

    menyelesaikannya; 36 aitem; = .712;

    corrected item-to-total correlation = -.186

    sampai .473). Analisa data pada penelitian

    ini menggunakan analisis deskriptif,

  • PREDICARA Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    51

    dengan menghitung frekuensi, nilai

    maksimum, nilai minimum, range,

    standard deviasi (), serta mean () untuk

    masing-masing aspek dari resiliensi. Selain

    menggunakan professional judgment,

    dalam penelitian ini validitas isi diuji

    dengan menggunakan analisis faktor untuk

    menganalisis tujuh aspek resiliensi Reivich

    & Shatte (2002) dengan nilai MSA dan

    KMO sebesar 0.708. Untuk keperluan

    skoring, kami menggunakan model

    distribusi normal.

    Hasil

    Deskriptif dan normalitas Dalam analisis, respon-respon

    setiap partisipan pada setiap aitem pada

    setiap skala pengukuran (Resiliensi) kami

    reratakan sehingga menciptakan rentang

    skor antara 1 sampai dengan 5, senada

    dengan skala Likert yang kami gunakan

    dalam pengukuran. Uji normalitas

    dilakukan dengan menggunakan One

    Sample Kolmogorov-Smirnov, dengan nilai

    Z sebesar 0,839 dan nilai signifikansi (p)

    sebesar 0,482. Karena nilai p > .05, data

    dalam penelitian ini terdistribusi secara

    normal. Dengan demikian, subjek

    penelitian dapat dikategorikan ke dalam

    tiga kategori berdasarkan model distribusi

    normal, yaitu resiliensi tinggi, resiliensi

    sedang, dan resiliensi rendah.

    Sebelum dipaparkan cara

    pengkategorian subjek ke dalam kelompok

    subjek yang memiliki resiliensi tinggi,

    sedang, dan rendah, berikut ini akan

    disajikan deskripsi umum skor resiliensi

    siswa. Data ini penting dalam pengolahan

    data untuk mengkategorikan subjek ke

    dalam tiga kelompok subjek yang

    dimaksudkan. Deskripsi umum skor

    maksimum, minimum, mean, dan standar

    deviasi resiliensi siswa dapat dilihat pada

    tabel 1.

    Tabel 1

    Deskripsi Umum Skor Maksimum,

    Minimum, Mean,

    dan Standar Deviasi Skor Resiliensi

    Variabel N Min MaksMeanStandard

    Deviasi

    Resiliensi 150 36 180 108 24

    Kemudian siswa dikatakan memiliki

    resiliensi tinggi, sedang atau rendah

    berdasarkan masing-masing aspek dari

    resiliensi, berdasarkan klasifikasi tinggi

    dan rendah dari mean dan standard deviasi

    yang dibuat dalam tiga rentang,

    berdasarkan model distribusi normal, yaitu

    kategori rendah, kategori sedang, dan

    kategori tinggi.

    Tabel 2

    Penggolongan Resiliensi Siswa SMA

    yang Beresiko Putus Sekolah

    di Masyarakat Pesisir Berdasarkan

    Skor Skala Resiliensi

    Varia

    bel

    Rent

    ang

    Skor

    Katego

    risasi

    Freku

    ensi

    (N)

    Perse

    ntase

    Resili

    ensi

    X <

    84

    Rendah - -

    84

    X <

    132

    Sedang 100 66,7 %

    X

    132

    Tinggi 50 33,3 %

    Jumlah 150 100 %

    Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa

    mayoritas siswa memiliki kemampuan

    resiliensi yang tergolong sedang yaitu

    sebanyak 100 orang (66,7%) sedangkan

    kemampuan resiliensi yang tergolong

    tinggi sebanyak 50 orang (33,3%) dan

    tidak ada siswa yang tergolong kedalam

    kemampuan resiliensi rendah.

    Gambaran resiliensi siswa dapat

    dilihat berdasakan tujuh aspek resiliensi.

    Karena tidak ada siswa yang tergolong

    kedalam kemampuan resiliensi rendah,

    berikut grafik penggolongan siswa yang

    tergolong kedalam kemampuan resiliensi

    sedang dan tinggi.

  • PREDICARA

    Grafik 1

    Penggolongan resiliensi siswa

    berdasarkan aspek-aspek

    resiliensi sedang

    Grafik 2

    Penggolongan resiliensi siswa

    berdasarkan aspek-aspek

    resiliensi tinggi

    Diskusi

    Di dalam penelitian ini, kami melihat

    gambaran resiliensi siswa SMA yang

    beresiko putus sekolah di masyarakat

    pesisir. Hasil penelitian ini menunjukkan

    secara umum siswa memiliki kemampu

    resiliensi yang tergolong sedang sampai

    dengan kemampuan resiliensi yang

    tergolong tinggi. Dalam penelitian ini

    tidak ada subjek yang memiliki

    kemampuan resiliensi yang tergolong

    rendah. Artinya, mereka memiliki

    resiliensi yang tergolong sedang sampai

    tinggi. Dengan demikian, penelitian ini

    mendemonstrasikan bagaimana resiliensi

    yang dimiliki siswa SMA yang beresiko

    putus sekolah di masyarakat pesisir

    merupakan hal yang sangat penting, agar

    siswa mampu mengatasi kesulitan yang

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    Resiliensi Sedang

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    Resiliensi Tinggi

    Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    Penggolongan resiliensi siswa

    aspek

    sedang

    resiliensi siswa

    aspek

    Di dalam penelitian ini, kami melihat

    gambaran resiliensi siswa SMA yang

    beresiko putus sekolah di masyarakat

    pesisir. Hasil penelitian ini menunjukkan

    secara umum siswa memiliki kemampuan

    resiliensi yang tergolong sedang sampai

    dengan kemampuan resiliensi yang

    tergolong tinggi. Dalam penelitian ini

    tidak ada subjek yang memiliki

    kemampuan resiliensi yang tergolong

    rendah. Artinya, mereka memiliki

    resiliensi yang tergolong sedang sampai

    inggi. Dengan demikian, penelitian ini

    mendemonstrasikan bagaimana resiliensi

    yang dimiliki siswa SMA yang beresiko

    putus sekolah di masyarakat pesisir

    merupakan hal yang sangat penting, agar

    siswa mampu mengatasi kesulitan yang

    dihadapi dalam hidupnya unt

    melanjutkan pendidikan.

    Sesuai dengan penelitian

    sebelumnya, penelitian ini menunjukkan

    bagaimana resiliensi dapat bermanfaat bagi

    individu yang sedang menghadapi tekanan

    dalam menjalani hidupnya (

    dalam Klohnen, 1996; Rutter &

    dalam Klohnen, 1996; Liquanti, 1992;

    Reivich & Shatte, 2002). Secara khusus,

    penelitian ini mendukung hasil

    penelitian sebelumnya tentang bagaimana

    resiliensi berperan penting bagi siswa

    dalam menghadapi berbagai tantangan

    hidup, untuk berhasil di sekolah meskipun

    ia berada dalam kondisi yang membuatnya

    sulit untuk berhasil (e.g.,

    Waxman et al., 2003; Morales & Trotman,

    2004; Benard, 1991 & Wang et al., 1997

    dalam Bryan, 2005; Prasodjo, 2005;

    Borman & Rachuba, 2001;

    Solberg, 2007). Namun demikian,

    penelitian ini dapat dikatakan cukup unik

    karena objek eksplorasi berfokus pada

    bagaimana resiliensi yang dimiliki siswa

    SMA yang beresiko putus sekolah di

    masyarakat pesisir.

    Dari berbagai permasalahan

    kehidupan (Risk factor

    masyarakat pesisir yaitu

    merupakan nelayan tradisional dengan

    penghasilan pas-pasan,

    miskin, kondisi keluarga yang kurang baik

    sebagian besar penduduk

    tingkat pendidikan yang rendah

    kondisi sekolah yang serba kekurangan

    tentunya hal ini

    pendidikan yang rendah

    anaknya sehingga menyebabkan

    banyaknya anak yang beresiko putus

    sekolah hingga akhirnya terpaksa putus

    sekolah. Hasil dari beberapa p

    telah menunjukkan bah

    sekolah menengah, terjadi

    yang berasal dari sosial ekonomi rendah

    (Balfanz & Legters, 2004). Selain masalah

    kemiskinan, terdapat masalah lain didalam

    masyarakat pesisir yaitu antusias terhadap

    pendidikan di masyarakat pesisir relatif

    masih relatif rendah (Anggraini, 2000).

    Emotion

    Regulation

    Impilse

    Control

    Optimisme

    Causal

    Analysis

    Emotion

    Regulation

    Impilse

    Control

    Optimisme

    Causal

    Analysis

    Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    52

    dihadapi dalam hidupnya untuk

    melanjutkan pendidikan.

    Sesuai dengan penelitian-penelitian

    sebelumnya, penelitian ini menunjukkan

    bagaimana resiliensi dapat bermanfaat bagi

    individu yang sedang menghadapi tekanan

    dalam menjalani hidupnya (e.g., Block

    dalam Klohnen, 1996; Rutter & Garmezy

    dalam Klohnen, 1996; Liquanti, 1992;

    Reivich & Shatte, 2002). Secara khusus,

    penelitian ini mendukung hasil-hasil

    penelitian sebelumnya tentang bagaimana

    resiliensi berperan penting bagi siswa

    dalam menghadapi berbagai tantangan

    sil di sekolah meskipun

    dalam kondisi yang membuatnya

    e.g., Bryan, 2005;

    Waxman et al., 2003; Morales & Trotman,

    2004; Benard, 1991 & Wang et al., 1997

    dalam Bryan, 2005; Prasodjo, 2005;

    Borman & Rachuba, 2001; Close &

    rg, 2007). Namun demikian,

    penelitian ini dapat dikatakan cukup unik

    karena objek eksplorasi berfokus pada

    bagaimana resiliensi yang dimiliki siswa

    SMA yang beresiko putus sekolah di

    Dari berbagai permasalahan

    Risk factor) yang ada di

    yaitu sebagian besar

    merupakan nelayan tradisional dengan

    tergolong keluarga

    kondisi keluarga yang kurang baik,

    ebagian besar penduduknya memiliki

    tingkat pendidikan yang rendah dan

    ah yang serba kekurangan,

    tentunya hal ini berdampak pada

    rendah untuk anak-

    sehingga menyebabkan

    banyaknya anak yang beresiko putus

    sekolah hingga akhirnya terpaksa putus

    sekolah. Hasil dari beberapa penelitian

    menunjukkan bahwa kegagalan di

    , terjadi karena siswa

    berasal dari sosial ekonomi rendah

    Legters, 2004). Selain masalah

    kemiskinan, terdapat masalah lain didalam

    masyarakat pesisir yaitu antusias terhadap

    pendidikan di masyarakat pesisir relatif

    masih relatif rendah (Anggraini, 2000).

  • PREDICARA Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    53

    Pandangan terhadap penting atau tidaknya

    pendidikan menjadi penyebab terjadinya

    putus sekolah.

    Ditengah kemiskinan dan kesulitan

    tersebut, tetap ada siswa yang meneruskan

    sekolah hingga SMA di masyarakat peisir.

    Mereka tetap yakin bahwa mereka mampu

    untuk bertahan dan bangkit dari kondisi

    tersebut. Hal ini terjadi karena adanya

    (Protective factors) yaitu minat, motivasi,

    harapan, dan persepsi siswa tentang

    sekolah tinggi, lalu persepsi orangtua

    tentang pendidikan yang tinggi dan

    bantuan dari pihak sekolah. Grotberg

    (1995) mengemukakan sumber-sumber

    resiliensi, salah satunya adalah I Have. I

    Have merupakan dukungan eksternal dan

    sumber dalam meningkatkan resiliensi.

    Salah satu sumbernya adalah Trusting

    relationships yaitu orangtua, anggota

    keluarga lainnya, guru, dan teman-teman

    yang mengasihi dan menerima anak

    tersebut. Dengan adanya hubungan antara

    sekolah, keluarga dan komunitas, bisa

    menciptakan kesempatan yang baik untuk

    menciptakan siswa yang resilien, dengan

    seperti itu siswa dapat menghilangkan

    stressor, batasan maupun rintangan dalam

    mencapai prestasi akademiknya (Bryan,

    2005).

    Hubungan antara Risk factor dengan

    Protektive factor itulah yang menciptakan

    resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan

    siswa untuk mampu bertahan dan tidak

    mengalah dalam situasi tertekanan,

    sehingga terhindar dari kegagalan di

    sekolah dan mampu untuk beradaptasi

    terhadap kejadian yang berat atau masalah

    yang terjadi dalam kehidupannya. Dengan

    adanya resiliensi telah membuat siswa bisa

    sekolah dan tetap meneruskan sekolah

    hingga SMA. Oleh karena itu sesuai

    dengan hasil penelitian ini yang

    menunjukkan bahwa secara umum siswa

    memiliki kemampuan resiliensi yang

    tergolong sedang sampai dengan

    kemampuan resiliensi yang tergolong

    tinggi dan tidak ada subjek yang memiliki

    kemampuan resiliensi yang tergolong

    rendah.

    Selanjutnya, kami menyadari

    berbagai kekurangan dari penelitian ini.

    Pertama, penelitian ini merupakan

    penelitian yang bersifat deskriptif

    kuantitatif, di mana kami mengukur

    resiliensi siswa SMA yang beresiko putus

    sekolah di masyarakat pesisir. Dengan

    metodologi seperti ini, kami kurang

    memiliki jumlah data statistik yang jelas

    tentang jumlah siswa SMA yang beresiko

    putus sekolah dan putus sekolah di

    masyarakat pesisir, baik secara nasional

    dan perdesa-desa sehingga kurang

    diperoleh data yang cukup komprehensif.

    Dengan demikian, akan sangat menarik di

    penelitian selanjutnya untuk melihat

    bagaimana resiliensi siswa SMA yang

    beresiko putus sekolah di masyarakat

    pesisir, apabila datanya lengkap disetiap

    daerah pesisir yang ada di Indonesia.

    Kedua, pengambilan data dalam

    penelitian ini kami menggunakan skala

    resiliensi umum (Reivich & Shatte, 2002)

    yang telah di adopsi kedalam bahasa

    Indonesia, sehingga diperoleh hasil yang

    sangat luas mengenai hal-hal yang

    berkaitan dengan resiliensi pada siswa

    SMA yang beresiko putus sekolah di

    masyarakat pesisir. Akan lebih baik lagi

    untuk penelitian selanjutnya jika

    menggunakan skala yang khusus

    menugkur resiliensi akademik. Selain itu

    penerjemahan dari bahasa Ingris ke bahasa

    Indonesia harus disesuaikan dengan

    budaya, situasi, kebiasaan, norma-norma

    dan perilaku di negara Indonesia, agar

    hasil yang diperoleh sudah lebih terfokus

    pada resiliensi akademik siswa SMA yang

    beresiko putus sekolah di masyarakat

    pesisir di negara Indonesia.

    Ketiga, dalam penelitian ini

    menggunakan jenis penelitian kuantitatif

    deskriptif, sehingga terdapat beberapa data

    yang missing yang tidak dapat

    diungkapkan dengan menggunakan jenis

    ini. Akan sangat menarik untuk penelitian

    selanjutnya diharapkan menggunakan jenis

    penelitian kualitatif terhadap subjek

    penelitian, guna memperoleh gambaran

    resiliensi siswa SMA yang beresiko putus

  • PREDICARA Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    54

    sekolah di masyarakat pesisir yang lebih

    komperhensif.

    Terakhir, sebagai implikasi praktis,

    kami ingin mengajak bagi pihak yang

    terkait dan kepada siswa SMA yang

    beresiko putus sekolah di masyarakat

    pesisir, dengan cara-cara seperti berikut:

    1. Pemerintah setempat diharapkan dapat

    memberikan bantuan pendidikan yang

    besar, agar bisa membantu pihak

    sekolah setempat untuk dapat

    menerima siswa-siswa SMA di

    masyarakat pesisir yang lebih banyak

    lagi dan mempertahankan para siswa

    agar tidak beresiko putus sekolah.

    2. Resiliensi sangat penting bagi

    kemajuan diri siswa dibidang

    akademik. Dengan adanya resiliensi

    maka siswa dapat bertahan dalam

    menempuh pendidikannya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alifianto, A. (2008). Kuliah Kerja Nyata

    Wajib Belajar 9 Tahun. [online].

    http://www.pewarta-

    kabarindonesia.blogspot.com.

    Tanggal akses 06 Maret 2011.

    Al-Husaini, A. H. (2003). Pendidikan

    Anak Menurut Islam (Terjemahan

    Abdullah Mahadi), cet.I, Bandung:

    Sinar baru Al-Gensiondo.

    Anggraini, E. (2000). Menyelamatkan

    Generasi Nelayan. [online].

    www.SuaraKaryaOnline.com.

    Tanggal akses 06 Maret 2011.

    Audiyahira, J. (2010). 13 Juta Anak

    Terancam Putus Sekolah. [online].

    http://www.mediaindonesia.com/rea

    d/2010/08/04/159874/88/14/13-Juta-

    Anak-Terancam-Putus-Sekolah.

    Tanggal akses 25 Maret 2011.

    Harahap, A.H. (1981). Bina Remaja.

    Medan: Yayasan Bina Pembangunan

    Indonesia.

    Axford, K., M. (2007). Attachment, Affect

    Regulation, and Resilience in

    Undergraduate Students.

    Dissertation, Walden University,

    hlm. 63.

    Azwar, S. (1999). Reliabilitas dan

    Validitas. Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar.

    _______. (1999). Penyusunan skala

    psikologi (edisi 1). Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar Offset.

    _______. (2001). Methodology Research.

    Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    _______. (2005). Penyusunan Skala

    Psikologi. Yogyakarta: Pustaka

    Belajar.

    _______. (2007). Metode Penelitian.

    Yogyakarta: Pustaka Belajar.

    Baharuddin, M. (1982). Putus Sekolah dan

    Masalah Penanggulangannya,

    Jakarta: Yayasan Kesejahteraan

    Keluarga Pemuda 66.

    Balfanz, B., Legters, N. (2004). Locating

    the dropout crisis: Which high

    schools produce the nations

    dropouts? Where are they located?

    Who attends them?. Center for

    Research on the Education of

    Students Placed At Risk, Baltimore,

    MD: Johns Hopkins University.

    Bandura, Albert. (1997). Self Efficacy: The

    Exercise of Control. New York:

    W.H Freeman and Company.

    Benard, B. (1991). Fostering resiliency in

    kids: Protective factors in the family,

    school, and community. Portland,

    OR: Northwest Regional

    Educational Laboratory. (ERIC

    Document Reproduction Service No.

    ED335781).

    Bobey, Mary. (1999). Resilience : The

    ability to Bounce Back from

    Adversity. American Academy of

    Pediatric. Available

    http://www.crha-

    health.ab.ca/clin/wowen102_MarApr

    .htm.

    Bryan, J. A. (2005). Fostering Educational

    Resilience and Achievement in

    Urban Schools Through School-

    Family-Community Partnerships.

    Professional School Counseling. 8:3.

    Brown, J. H., D'Emidio-Caston, M., &

    Benard, B. (2001). Resilience

  • PREDICARA Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    55

    education. U.S.; California: Corwin

    Press.

    Close, W. & Solberg, S. (2007). Predicting

    achievement, distress and retention

    among lower-income Latino youth.

    Journal of Vocational Behavior, 72,

    pp. 31-42.

    Coulson, R. (2006). Resilience and Self-

    Talk in University Students. Thesis

    University of Calgary, hlm. 5.

    Dahuri, R. (2001). Pengelolaan Sumber

    Daya Wilayah Pesisir dan Lautan

    Secara Terpadu. PT. Pradnya

    Paramitha, Jakarta.

    Dahuri, R. (2004). Membangun Indonesia

    yang Maju, Makmur dan Mandiri

    Melalui Pembangunan Maritim.

    Makalah disampaikan pada Temu

    Nasional Visi dan Misi Maritim

    Indonesia dari Sudut Pandang

    Politik, Jakarta, 18 Februari 2004.

    Daftar Tabel Data Pendidikan Sekolah

    Menengah Atas (SMA) Tahun

    2009/2010.

    Daradjat, Z. (1975). Pendidikan Rumah

    Tangga Dalam Pembinaan Mental.

    Jakarta: Bulan Bintang.

    Davis, N. J. (1999). Subtance Abuse and

    Mental Health Services

    Administration Center for Mental

    Health Services Division of Program

    Development, Special Populations &

    Projects Special Programs

    Development Branch (301), pp.443-

    2844. Status of Research and

    Research-based Programs.

    HYPERLINK. [online].

    http://mentalhealth.samhsa.gov/scho

    olviolence/. Tanggal akses 20

    Febuari 2011.

    Fakhrudin, A. & Yulianto. G. (2008).

    Karakteristik sosial ekonomi

    masyarakat. Pesisir.[online].

    http://coastaleco.wordpress.com/200

    8/04/26/karakteristik-sosial-

    ekonomimasyarakat-pesisir/.

    Tanggal akses 25 Mei 2011.

    Farmadi. (2004). Selamatkan Anak-Anak

    dari Putusnya Pendidikan.

    Semarang: Mujahid Press.

    Fathul. (2002). Peran Komunitas dalam

    Pengasuhan. [online].

    http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/index.ph

    p?option=com_content&view=articl

    e&id=187%3Aperan-komunitas-

    dalam

    pengasuhan&catid=20%3Aterbaru&

    Itemid=94&lang=id. Tanggal akses 3

    September 2011.

    Garmenzy, N. (1991). Resiliency and

    vulnerability to adverse

    developmental outcomes associated

    with poverty. American Behavioral

    Scientist, 34(4), 416430.

    Gordan, E., & Song, L. (1994). Variations

    in the experience of educational

    resilience. In M. Wang, & E. Gordan

    (Eds.), Educational resilience in

    inner-City America: Challenges and

    prospects (pp. 2743). Hillsdale, NJ:

    Lawrence Erlbaum.

    Grahacendikia. (2009). Anak Putus

    Sekolah dan Cara Pembinaannya.

    [online].

    http://www.google.co.id/putussekola

    h/ReferensiPenelitianSkripsi-Tesis.

    Tanggal akses 06 Maret 2011.

    Grothberg, E. (1995). A Guide to

    Promoting Resilience in Children:

    Strengthening the Human Spirit. The

    Series Early Childhood

    Development: Practice and

    Reflections. Number8. The Hague:

    Benard van Leer Voundation.

    Hadi, S., (2000). Metodologi research.

    Jilid I, II & III. Yogyakarta: Penerbit

    Andi.

    Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L.

    and Black, W.C. (2006).

    Multivariate Data Analysis. Sixth

    Edition. Prentice Hall International:

    UK.

    Hasanuddin, B. (2000). Diundur Hingga

    2009, Penuntasan Wajib Belajar

    Sembilan Tahun. [online].

    http://edukasi.kompas.com/read/201

    1/03/03/ Diundur-Hingga-2009-

    Penuntasan-Wajib-Belajar-

    Sembilan-Tahun. Harian Kompas.

  • PREDICARA Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    56

    Edisi 3 Maret. Tanggal akses 06

    Maret 2011.

    Holaday, M. (1997). Resilience and Severe

    Burns. Journal of Counseling and

    Development.75. 346-357.

    Johnson, N. And Wichern, D. (2002).

    Applied Multivariate Statistical

    Analysis. Prentice-Hall. Englewood

    Cliffs. N.J.

    Kalyanamitra. (2005). Kuingin Anak

    nelayan Pintar. Kompas Cyber

    Media. [online].

    www.kalyanamitra.or.id/kalyanamed

    ia/2/2/sosok.htm. Tanggal akses 30

    Maret 2011.

    Kiroyan, J. (2010). 13 Juta Anak

    Terancam Putus Sekolah. [online].

    http://www.mediaindonesia.com/rea

    d/2010/08/04/159874/88/14/13-Juta-

    Anak-Terancam-Putus-Sekolah.

    Tanggal akses 30 Maret 2011.

    Kitano, M. K., & Lewis, R. B. (2005).

    Resilience and coping: Implications

    for gifted children and youth at risk.

    Roeper Review, 27(4), 200215.

    Klohnen, E.C. (1996). Conseptual

    Analysis and Measurement of The

    Construct of Ego Resilience. Journal

    of Personality and Social

    Psychology, Volume. 70 No 5, p

    1067-1079.

    Kurniawan, I., N. & Vita R. (2008).

    Pengaruh Pelatihan Resiliensi

    terhadap Perilaku Asertif pada

    Remaja. Jurnal Psikologi Islam, Vol.

    5, Nomor 1, hlm. 93-105. ada,

    berorientasi pada tujuan, pencarian

    dukungan dari orang lain, rasa

    humor (sense of humor) dan efikasi

    diri (self-efficacy).

    Kusnadi. (2003). Akar Kemiskinan

    Nelayan, LkiS, Yogyakarta.

    Latief. (2009). Siswa SD Putus Sekolah.

    [online].

    http://edukasi.kompas.com/read/201

    1/03/04/10323346/527.850.Siswa.S

    D.Putus.Sekolah. Tanggal akses 06

    Maret 2011.

    Liquanti, R. (1992). Using Community-

    wide Collaboration to Foster

    Resiliency in Kids: A Conceptual

    Framework Western Regional

    Center For Drugs-Free School and

    Communities. Far West Laboratory

    fo Educational Research and

    Development. San Fransisco.

    [online].

    http://www.ncrel.org/sdrs/cityschool/

    citu11bhtm. Tanggal akses 20

    Febuari 2011.

    Lusiana. (2010). Faktor-Faktor Sosial

    Ekonomi Yang Berpengaruh

    Terhadap Motivasi Anak Nelayan

    Untuk Sekolah. [online].

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/

    123456789/17858/7/Cover.pdf.

    Tanggal akses 25 April 2011.

    Mendiola, J. J. (2006) . A Case of

    Resilience at a Local Bay Area

    School: Defying the Odds.

    International Comparative

    Education. School of Education.

    Stanford University.

    McCubbin, L. (2001). Chalange to The

    Definition of Resilience. Paper

    presented at The Annual Meeting of

    The American Psychological

    Association in San Francisco, 24-28

    Agustus 2001, hlm. 9.

    Morales, E. E. (2008). Exceptional Female

    Students of Color: Academic

    Resilience and Gender in Higher

    Education. Innovative Higher

    Education. 33:197213.

    Morales, E. E., & Trotman, F. (2004).

    Promoting academic resilience in

    multicultural America: Factors

    affecting student success. New York,

    NY: Peter Lang.

    Mubyarto. (1989). Pengantar Ekonomi

    Pertanian. Jakarta: LP3S.

    Muhadjirin. (2009). Sosiologi Pedesaan

    Masyarakat Pesisiran. [online].

    http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjah

    irin/2010/07/30/masyarakat-pesisir/ .

    Tanggal akses 25 April 2011.

    Mulyadi, S. (2005). Ekonomi Kelautan.

    Jakarta: Rajawali Pers.

  • PREDICARA Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    57

    Nata, A. (2003). Mengatasi Kelemahan

    Pendidikan Islam di Indonesia, ed. 1,

    cet. 1, Jakarta: Kencana.

    Nikijuluw, V.P.H. (2001). Rezim

    pengelolaan sumberdaya perikanan.

    Jakarta: Kerja Sama Pusat

    Pemberdayaan dan Pembangunan

    Regional (P3R) dengan PT Pustaka

    Cidesindo.

    Nusajaya. (2011). 3.000 Anak Nelayan

    Putus Sekolah. [online].

    http://nusajaya72.com/tag/penyebab-

    putus-sekolah/. Tanggal akses 30

    Maret 2011.

    Pengemanan, A.P. (2002). Sumber daya

    Manusia (SDM) Masyarakat

    Nelayan. [online].

    http://tumoutou.net/702_05123/grou

    p_a_123.htm. Tanggal akses 30

    Maret 2011.

    Prasodjo, I. (2005). Remaja berdamai

    dengan kekerasan dan kriminalitas.

    [online]. www.tempointeraktif.co.id.

    Tanggal akses 06 Maret 2011.

    Reivich, K & Shatte, A. (2002). The

    Resilience Factor; 7 Essential Skill

    For Overcoming Lifes Inevitable

    Obstacle. New York, Broadway

    Books.

    Riley, J., R., & Masten, A. S. (2005).

    Resilience in Context. Dalam Peters

    dkk., Resilience in Children,

    Families and Community: Linking

    Context to Practice and Policy.

    Plenum Publisher, New York, hlm.

    16.

    Roberts, K., A. (2007). Self-Efficacy, Self-

    Concept, and Social Competence as

    Resources Supporting Resilience and

    Psychological Well-Being in Young

    Adults Reared within The Military

    Community. Dissertation, Fielding

    Graduate University, hlm. 18.

    Rudkin, J.K. (2003). Community

    Psychology: Guiding Principles and

    Orienting Concepts. New Jersey:

    Prentice Hall.

    Santrock, Jhon, W. (2003). Life-Span

    development: Perkembangan Masa

    Hidup Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

    Schoon, I. (2006). Risk and Resilience:

    Adaptation in Changing Times.

    Cambridge University Press, New

    York, hlm. 8.

    Sharma, S. (1996). Applied Multivariate

    Techniques. New-York: John Wiley

    & Sons, Inc.

    Singgih D.G dan Ny. Y. Singgih D. G.

    (1985) Psikologi Remaja, Jakarta:

    Gunung Mulia.

    Sudarso. (2005). Tekanan Kemiskinan

    Struktural Komunitas Nelayan

    Tradisonal di Perkotaan. Universitas

    Airlangga.

    Suhana. (2006). Krisis Sumberdaya

    Manusia Nelayan (Memperingati

    Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei

    2006). [online].

    http://ocean.iuplog.com. Tanggal

    akses 02 Maret 2011.

    Sulistyowati, L. (2003). Analisis

    Kebijakan Pemberdayaan

    Masyarakat Dalam Pengelolaan

    Sumber Daya Alam Gugus

    Kepulauan. [online].

    http://tumoutou.net/702_07134/vend

    a_i_pical.htm. Tanggal akses 8

    Maret 2011.

    Surachmad, W. (1977). Dasar-dasar Ilmu

    Pendidikan. Jakarta: Departemen

    Pendidikan dan Kesehatan.

    Tilaar, H.A.R. (2000). Paradigma Baru

    Pendidikan Nasional. Jakarta:

    Rineka Cipta.

    Vembriarto. (1975) Pendidikan Sosial.

    Jilid II. Yogyakarta: Paramita.

    Wang, M. C., Haertel, G.D., & Walberg,

    H. J. (1997). Fostering educational

    resilience in inner-city schools.

    Children and Youth, 7, 119140.

    Waxman, H. C., Gray, J.P., & Padron, Y.

    N. (2003). Review of Research on

    Educational Resilience (p.1). CA:

    Center for Research on Education,

    Diversity & Excellence.

    Winengan. (2007). Masalah Sosial

    Masyarakat Pesisir. [online].

    http://perikanan-

    hangtuah.blogspot.com/2011/02/mas

  • PREDICARA Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012

    58

    alah-sosial-masyarakat-pesisir.html.

    Tanggal akses 14 November 2011.

    Werner, Emmy, E. (2005). Resilience

    Research: Past, Present, and Future.

    Dalam Peters dkk., Resilience in

    Children, Families and Community:

    Linking Context to Practice and

    Policy. Plenum Publisher, New

    York, hlm. 5.