representasi nilai perempuan dalam islam pada …repository.fisip-untirta.ac.id/797/1/representasi...
TRANSCRIPT
1
REPRESENTASI NILAI PEREMPUAN DALAM
ISLAM PADA NOVEL RATU YANG BERSUJUD (Analisis Semiotika Roland Barthes)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu komunikasi pada Konsetrasi Public Relation Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh:
Bayu Teja Kusuma
NIM. 6662121351
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG-BANTEN
2017
1
2
3
4
MOTTO
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kamu. Dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kamu. Allah
Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui”
(Al-Baqarah: 216)
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya,
keluarga dan mereka yang telah memberikan motivasi
dalam bentuk apapun.
5
Abstrak
Bayu Teja Kusuma. 6662121351. SKRIPSI. Representasi Nilai Perempuan
Dalam Islam Pada Novel Ratu yang Bersujud (Analisis Semiotika Roland
Barthes). Program Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2016. Uliviana Restu, S.Sos.,M.Si.
husnan Nurjuman S.Ag, M.Si
Novel Ratu yang Bersujud nerupakan medium komunikasi yang mengangkat
fenomena yang terjadi di masyarakat. Cerita yang disampaikan mengandung suatu
pesan yang diharapkan dapat mempengaruhi tidak hanya pemikiran, tapi juga
sikap dan perilaku pembacanya, novel ini menggambarkan bagaimana seharusnya
perempuan dalam Islam bertindak sesuai dengan syariat agama. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui representasi nilai perempuan dalam Islam pada novel
Ratu yang Bersujud dengan berdasarkan pada teori semiotika Roland Barthes
yaitu, makna denotatif, konotatif dan mitos nilai perempuan dalam Islam.
Penelitian menunjukan bahwa, makna denotatif nilai perempuan dalam Islam,
perempuan digambarkan sebagai hamba yang taat kepada Tuhannya. Makna
konotatif nilai perempuan dalam Islam, perempuan digambarkan sebagai
seseorang yang taat beragama serta mengikuti nilai dan norma yang berlaku.
Mitos nilai perempuan dalam Islam adalah, dibangun sesuai dengan tujuan penulis
yaitu membuat perspektif tentang perempuan dalam Islam yang sesungguhnya
yang bukan berasal dari berbagai propaganda melainkan dari Alquran dan Hadits.
Novel ini dapat dijadikan contoh bagaimana perempuan muslim bertindak, karena
saat ini banyak perempuan beragama Islam yang tidak tahu nilai perempuan
dalam Islam. Tidak luput dari semuanya, penelitian ini diharapkan dapat
menambah dan memberikan sumbangan pemikiran, serta dapat bermanfaat untuk
pengembangan studi ilmu komunikasi
Kata kunci: Novel Ratu yang Bersujud, Representasi Nilai Perempuan Dalam
Islam, Semiotika Roland Barthes
6
Abstract
Bayu Teja Kusuma. 6662121351. THESIS. Representation women values in
Islam at Novel Ratu yang Bersujud (Analysis of Semiotics Roland Barthes).
Communication Studies program. Faculty of Social and Political Science.
University of Sultan Ageng Tirtayasa. 2016. Uliviana Restu, S.Sos., M.Si.
Husnan Nurjuman S.Ag, M.Si
Novel Ratu yang Bersujud is communication medium lifted a phenomenon that
occurs in society. The story submitted contains a message that is expected to
afford not only idea, but also attiude and behavior of readers, the novel illustrates
how women in islam should act in conform with the Islamic laws. This research
aim to know representation of the women value in Islam from Novel Ratu yang
Bersujud with based on semiotics theory of Roland Barthes is denotative,
connotative and myth women value in islam. The research shows that in
denotative women are described as obedient servant to his Lord. Connotative
women are described as someone who are religious people and follow values and
norms. Myth from women value in Islam is built conform with the author‟s
purpose to make a perspective real women in Islam that‟s not derived from
variety propaganda but from the Qur‟an and Hadith. This novel can used as
example how muslim wopmen should act. From it all, this research expected to
add and contribute and can be benefit to development of communication study.
Keywords: Novel Ratu yang Bersujud, Representation women value in Islam,
Roland Barthes semiotics
7
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan atas limpahan rahmat dan
nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi guna
memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar kesarjanaan strata (S1) pada
program studi Ilmu Komunikasi konsentrasi Public Relations di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Skripsi berjudul
“Representasi Nilai Perempuan dalam Islam pada Novel Ratu yang Bersujud
(Analisis Semiotika Roland Barthes)”. Skripsi ini mengangkat masalah nilai
perempuan dalam Islam pada novel Ratu yang Bersujud menggunakan analisis
semiotika.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
kritik dan saran sangat penulis harapkan. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih atas segala rahmat serta doa, dukungan,
motivasi, bimbingan, dan bantuan yang tak terhingga dalam proses penelitian
serta penyusunan skripsi ini kepada :
1. Kedua inspirator nyata yang aroma nafas tubuhnya mengalir mengisi laju
darah dalam kehidupan penulis yaitu Ibunda Titik Sukarti dan Ayahanda
Sutarjo yang selalu setia memberikan semangat dan motivasi dalam segala
bentuk yang belum dapat penulis balas.
i
8
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si. selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Ibu Dra. Rahmi Winangsih, M.Si. selaku ketua prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Bapak Darwis Sagita, S.IKom Selaku Sekertaris prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Ibu Uliviana Restu H, S.Sos.,M.Si selaku pembimbing I yang telah
menyediakan waktu untuk selalu memberikan arahan, dukungan dan motivasi
untuk penulis.
6. Bapak Husnan Nurjuman S.Ag, M.Si selaku dosen pembimbing II skripsi
yang juga sidah menyediakan waktu untuk membantu memberikan saran serta
masukan dalam proses menyelesaikan skripsi ini
7. Ibu Isti Nursih, S.I.P., M.I.K. selaku dosen pembimbing akademik.
8. Adik penulis Maulina Joti Masitoh, yang terkadang memberikan inspirasi
ketika sedang dalam keadaan yang baik
9. Lale bagi penulis, yang selalu bisa memberikan canda dan hiburan kedua
setelah orang tua dalam kondisi apapun
10. Geng Wakwaw Revan, Juhendi, Arya dan Hari yaang selalu bersama dari
semmester 1 hingga 7 selalu di kelas yang sama pula dan saling berjuang
untuk mendapatkan gelar S.
11. Rekan-rekan Himabe 2012, Abdul, Irma, Erlin, Deni, Rizon, Siti Julaeha, Eri,
Egi, Yesi, Putri, Siti Nurfaizah, Indah, Annisa, Asyil, Diah Fitri, Ayu, Lita,
Damar, Gangan, Ersyad, Delia, Renggaanis dan Mitha yang gokil dan seru
ii
9
12. Rekan-Rekan llmu Komunikasi 2012 Ratu, Jannah, Nina, Mutia, Aci, Rahel,
Ayel, Bani, Tio, Mahda, Risky, Gian, Rengga, Putri Dwi, Hardi, Ardi, Awal,
Cici, Bella, Disa, Emil, Juan, Fikri, Azi, Juan, Roy, Nida, Mety, Nissa, Dania,
Putri, Hasti, Rezza, Rahmat, daan Dwi yang berjuaang untuk lulus dari
Untirta secepat mungkin
13. Fosmai angkatan 2010 - 2014, Bang Hen, Teh Nur, Bang Nayev, Bang
Katno, Bang Cahyo, Teh Lulu, Teh Mpes, Raidhil, Bang Dindin, Muyas,
Ririn, Ida, Nadia, Mike, Yanah, Azmi, Imam, Ali, Yandi, Mirza, Vina,
Dhika, Farkhi, Adhi, Alif, Agus, dan teman - teman fosmai yang lain yang
selalu mengingatkan agar tidak lupa bersyukur kepada Allah SWT
14. Teman dan kerabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Kiranya tidak ada balasan yang lebih baik kecuali yang datang dari
Allah SWT, terimakasih untuk segalanya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
semua, khususnya bagi penulis dan pihak yang berkepentingan lainnya.
Wassalamualikum Wr. Wb.
Serang, November 2016
Penulis
iii
10
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
MOTTO
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 12
1.3 Identifikasi Masalah ............................................................................ 12
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................ 13
1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 13
1.5.1 Manfaat Teoritis ........................................................................ 13
1.5.2 Manfaat Praktis ......................................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 14
2.1 Perempuan ........................................................................................... 14
2.2 Perempuan dalam Islam ...................................................................... 18
2.2.1 Hakikat penciptaan perempuan .................................................. 19
2.2.2 Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Islam ......................... 21
2.2.2 Hak - hak Perempuan dalam Berbagai Bidang ........................... 24
2.3 Varian Pemikiran Islam tentang Perempuan ........................................ 33
2.3.1 Perempuan dalam Pemikiran Islam Fundamentalis .................... 33
iv
11
2.3.2 Perempuan dalam Pemikiran Islam liberal ................................. 39
2.3.3 Perempuan dalam Pemikiran Islam Moderat .............................. 42
2.4 Representasi ........................................................................................ 46
2.5 Novel .................................................................................................. 47
2.6 Semiotika ............................................................................................ 49
2.7 Semiotika Roland Barthes ................................................................... 51
2.8 Kerangka Berpikir ............................................................................... 59
2.9 Penelitian Terdahulu ........................................................................... 61
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 68
3.1 Metode Penelitian ................................................................................ 68
3.2 Fokus Penelitian .................................................................................. 70
3.3 Teknik Pengumpulan data ................................................................... 70
3.3.1 Studi Pustaka .............................................................................. 70
3.3.2 Dokumentasi .............................................................................. 71
3.4 Teknik Analisis Data ........................................................................... 72
3.5 Lokasi dan Jadwal Penelitian .............................................................. 74
BAB IV ANALISIS .......................................................................................... 75
4.1 Objek Penelitian .................................................................................. 75
4.1.1 Novel ........................................................................................ 75
4.1.2 Perempuan dalam Novel ............................................................ 76
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ................................................................... 82
4.2.1 Analisis Semiotika .................................................................... 98
4.2.2 Makna Denotasi ........................................................................ 99
4.2.3 Makna Konotasi ...................................................................... 102
4.2.4 Makna Mitos ........................................................................... 104
4.4 Pembahasan ...................................................................................... 106
4.4.1 Novel sebagai Sarana Merepresentasikan
Nilai Perempuan dalam Islam ................................................. 106
v
12
4.4.2 Pemikiran Islam Moderat dan
Perempuan dalam Novel Ratu yang Bersujud .......................... 109
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 117
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 117
5.2 Saran ................................................................................................. 119
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 121
LAMPIRAN ................................................................................................... 123
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 128
vi
13
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2 Peta Tanda Roland Barthes 58
Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu 63
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian 74
Tabel 4.1 Orasi Pembebasan perempuan dari moral agama dan
pemakaian hijab 82
Tabel 4.2 Peta Tanda Roland Barthes pada Kalimat Pembebasan
perempuan dari moral agama dan pemakaian hijab 83
Tabel 4.3 Penggolongan Tanda 84
Tabel 4.4 Kewajiban beribadah bagi muslim 85
Tabel 4.5 Peta Tanda Roland Barthes pada Kewajiban beribadah
bagi muslim 86
Tabel 4.6 Penggolongan Tanda 87
Tabel 4.7 Hubungan laki – laki dan perempuan dalam Islam 88
Tabel 4.8 Peta Tanda Roland Barthes pada hubungan antara laki – laki
dan perempuan dalam Islam 89
Tabel 4.9 Penggolongan Tanda 90
Tabel 4.10 Peran perempuan dalam rumah tangga 92
Tabel 4.11 Peta Tanda Roland Barthes pada Pertanyaan Charlotte
seputar peran perempuan dalam rumah tangga 93
Tabel 4.12 Penggolongan Tanda 93
Tabel 4.13 Hak mendapatkan ilmu dan pendidikan serta
hak dasar politik 95
Tabel 4.14 Peta Tanda Roland Barthes pada Hak mendapatkan ilmu
dan pendidikan serta hak dasar politik 96
Tabel 4.15 Penggolongan Tanda 97
vii
14
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes 53
Gambar 2.2 Peta Tanda Roland Barthes 58
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berpikir 72
Gambar 4.1 Cover Novel Ratu yang Bersujud 75
viii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ada anggapan dari masyarakat bahwa perempuan cenderung emosional,
irasional dalam berpikir, tidak dapat mengambil keputusan sehingga perempuan
selalu ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan strategis dalam masyarakat
atau dianggap sebagai “second person”1. Pandangan ini pada akhirnya
juga memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Perempuan dipandang
kurang mampu sehingga diberi tugas yang ringan dan mudah. Bagi perempuan
sendiri, tersubordinasi dalam kehidupan membuat mereka merasa seperti seorang
pembantu bagi laki-laki2. Bentuk subordinasi akibat perbedaan jender ini
bermacam-macam, berbeda menurut tempat dan waktu. Praktik subordinasi
sendiri sebenarnya bermula dari kesadaran gender yang tidak adil dalam
masyarakat.
Bersamaan dengan marginalisasi dan stereotip yang diderita oleh kaum
perempuan, mereka juga masih mengalami subordinasi dalam kehidupan
bermasyarakat. Perempuan tidak diberikan hak untuk terlibat dalam keputusan-
1 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengatar dan Terapan, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007). hlm.274
2 Muniarti Nunuk , Getar Gender 1, (Yogyakarta : Yayasan indonesiatera, 2004), hlm.xxiii
1
2
keputusan penting masyarakat atau bahkan kehidupan pribadinya. Perempuan
dianggap tidak cakap dalam memimpin masyarakat. Perempuan hanya harus
mengurus anak dan suaminya, terlepas dari terlibat atau tidaknya mereka dalam
mencari nafkah keluarga mereka wajib dan mutlak bertugas untuk mengurus
anak-anak, suami dan keluarganya3
Perempuan dicitrakan sebagai makhluk lemah dan menempati peran yang
tidak membahagiakan (dari aspek fisik), serta lebih rendah daripada laki-laki jika
dilihat dari pandangan laki-laki dan lingkungan masyarakat. Citra perempuan itu
berada dalam masyarakat patriarki yang memiliki ideologi gender. Ironisnya,
perempuan menerima hal itu sebagai sesuatu yang semestinya terjadi4
Perempuan dengan segala posisi dan keadaannya selalu menjadi obyek
pembahasan menarik bagi banyak kalangan. Persepsi masyarakat bahwa
perempuan lebih rendah statusnya dari laki laki dapat memicu munculnya
diskriminasi jenis kelamin yang menyebabkan perempuan termajinalkan,
meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan disebabkan ketidakadilan gender5.
Munculnya berbagai ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan di atas,
disebabkan oleh banyak faktor yaitu salah satunya karena adanya sifat - sifat
tertentu (stereotype) pada kaum perempuan yang cenderung merendahkan,
3 Dyah Purbasari Kusumaning Putri, Sri Lestari, “PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA
PADA PASANGAN SUAMI ISTRI”, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 16, No. 1, Februari 2015: 72-85
4 Faninda Zenitsa “Representasi Perempuan (Studi Semiotika Tentang Representasi Perempuan
Dalam Novel “Perempuan Keumala” karya Endang Moerdopo), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik , UPN, 2010, hlm 1
5 Ibid. , hlm.1
3
misalnya, bahwa perempuan itu lemah, lebih emosional ketimbang
mengedepankan nalar, cengeng, tidak tahan banting, tidak patut hidup selain di
dalam rumah, dan sebagainya. Berdasarkan pelebelan sifat-sifat manusia kelas dua
inilah ketidakadilan terjadi atas mereka.
Kepercayaan agama juga membentuk sikap terhadap perempuan.
Interpretasi umum ajaran agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia
adalah bahwa laki-laki merupakan pemimpin. Sistem nilai dan budaya selanjutnya
berkontribusi terhadap langgengnya patriarki yang telah melekat dari generasi ke
generasi, yang membuat posisi perempuan dibawah superioritas laki-laki, Istilah
patriarki sendiri digunakan untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas
perempuan di dalam keluarga dan pada akhirnya berlanjut pada dominasi laki-laki
dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya.
Islam menempatkan Laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang
memiliki posisi seimbang dan sama6. Islam juga tidak membuat perempuan
merasa berdosa ketika harus terlibat dalam berbagai aktivitas sosial. Hanya saja,
Islam mewarnainya dengan adab-adab syar‟i sebagaimana berbagai aktivitas lain.
Islam meletakkan panduan bagi perempuan yang dapat menjaga diri berikut
masyarakatnya, misalnya menutup aurat, larangan berduaan (berkhalwat),
pemberian batas-batas ikhtilath dan hal lain yang terkait dengan keterlibatan
perempuan dalam aktivitas sosial.
6 Maslamah dan Suprapti Muzani, “KONSEP-KONSEP TENTANG GENDER PERSPEKTIF ISLAM”,
SAWWA – Volume 9, Nomor 2, April 2014, h.275
4
Islam telah menerapkan persamaan hak antara kaum perempuan dan pria.
Setiap orang muslim berhak mendapatkan pendidikan yang tinggi. Hasilnya
banyak muslimah (perempuan muslim) yang berhasil menjadi dokter, guru, dosen,
insinyur, dan lain-lain. Dalam rumah tangga perempuan bukan menjadi pelayan
atau budak suaminya tetapi perempuan menjadi mitra laki-laki dan mempunyai
peranan penting dalam menjaga dan memelihara keutuhan rumah tangganya.
Bahkan seorang perempuan akan menjadi ibu yang melahirkan dan membentuk
sebuah generasi yang dapat menentukan sebuah masyarakat7.
Islam sudah lebih dulu menyamakan derajat perempuan dan laki-laki, dan
yang membedakan hanyalah kadar ketakwaan mereka. Sebagaimana Firman Allah
dalam Surat Al-Hujarat ayat 13;
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dalam tafsir ibnu katsir pada surat Ali imraan ayat 195 disebutkan
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang
diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan
yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di
7 La Jamaa, “ADVOKASI HAK-HAK ISTRI DALAM RUMAH TANGGA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”,
Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016
5
bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang
baik.” (QS. Ali Imran: 195).8
Secara umum, perempuan di Indonesia saat ini mengalami kemajuan
bukan hanya lagi sekedar penghuni rumah tangga saja tetapi juga menyatakan
fungsinya dalam pembangunan. Di era globalisasi ini perempuan tidak hanya
bekerja di lingkungan rumah ataupun melayani suami akan tetapi, peempuan juga
dapat beperan di dalam ranah politik, ekonomi dan sosial. Bisa kita lihat dari
banyaknya perempuan karir di Indonesia dan juga banyaknya perempuan yang
menenpati posisi strategis di Indonesia seperti menteri menteri dan juga gubernur
serta adanya 30% keterwakilan perempuan dalam parlemen9. Ini merupakan bukti
bahwa perempuan memiliki kesempatan yang seluas - luasnya untuk berkiprah
baik dalam keluarga maupun masyarakat. Artinya, Islam telah memosisikan
perempuan di tempat mulia sesuai dengan kodratnya. Dr. Yusuf Qardhawi pernah
mengatakan, “Perempuan memegang peranan penting dalam kehidupan keluarga
dan masyarakat. Jadi, mana mungkin keluarga dan masyarakat itu baik jika
perempuannya tidak baik”10
Melihat fenomena tersebut, semua ini sangat jauh berbeda dengan realitas
kehidupan perempuan di dunia barat, baik di negara Eropa maupun Amerika.
Perempuan lebih diidentikkan sebagai makhluk yang lemah. Karena itu, muncul
8 AlQuranMulia, Tafsir ibnu katsir Surah Ali Imraan 195, diakses dari
https://alquranmulia.wordpress.com/2015/03/20/tafsir-ibnu-katsir-surah-ali-imraan-ayat-195/ pada
tanggal 28 Februari 2016 pukul 17.07
9 Yenti Afrida, “KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PARLEMEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM”, Jurnal
Ilmiah Kajian Gender, h.241
10 Yusuf Qordhawi, Fatwa-Fatwa Kontenporer Jus II, alih bahasa As’ad Yasin, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1993), 42.
6
gerakan kesetaraan gender dan feminisme. Mereka menuntut persamaan hak
antara kaum laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran perempuan dalam konsep
Islam dan sekuler memang sangat signifikan, karena konsep dasar yang saling
bertolak belakang.
Peran perempuan dalam konsep sekuler selalu berorientasikan pada apa
yang bisa dihasilkan dalam bentuk materi, seperti pendapatan, keterwakilan
perempuan dalam parlemen, dan lain sebagainya. Padahal, Islam sangat
menghormati perempuan baik sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat.
Sebagai keluarga, seorang perempuan memiliki peranan penting, yakni
melahirkan, mengasuh, dan mendidik anak. Tidak heran ada yang mengatakan,
“Ibu merupakan sekolah pertama. jika anda mempersiapkan perempuan dengan
baik, maka anda telah mempersiapkan masa depan bangsa dengan baik.” Menurut
Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA., Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI), perempuan sebenarnya tidak dilarang agama untuk menjadi
pintar11
. Justru seorang ibu merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Seorang anak biasanya selalu melihat sosok ibu sebagai idola dan teladan, karena
frekuensi kebersamaan ibu dengan anak cenderung lebih banyak daripada dengan
sang ayah. Islam sangat menganjurkan perempuan untuk menuntut ilmu. Seorang
perempuan pandai sangat diperlukan keluarga untuk mendidik dan mengajarkan
ilmunya kepada sang anak, bahkan Islam tidak melarang perempuan menjadi
pemimpin, sebagaimana Ratu Balqis yang berhasil memimpin negaranya. Ini
11
Kompasiana, “Peran ibu bagi anak menurut Islam”, diakses dari
http://www.kompasiana.com/yeyemdj/peran-ibu-bagi-anak-menurut-
islam_552907fbf17e61b82d8b45f5, pada tanggal 28 Februari 2016
7
merupakan bukti bahwa perempuan pun bisa memimpin. Islam memperbolehkan
perempuan memimpin di luar rumah, tapi tidak untuk di dalam rumah tangga.,
karena sudah kodratnya bahwa lelaki (suami) adalah pemimpin bagi perempuan
(istri) dan keluarganya tanpa terkecuali.
Saat ini banyak penulis di Indonesia yang menggunakan novel sebagai
media mereka untuk menyampaikan protes atas ketidakadilan gender yang dialami
kaum perempuan. Sebagai salah satu jenis buku yang merupakan bentuk dari
media massa, melalui novel seseorang dapat menyampaikan pemikiran dan
pendapatnya kepada khalayak luas. Novel merupakan sebuah teks naratif kisah
yang merepresentasikan suatu situasi yang dianggap mencerminkan kehidupan
nyata atau untuk memancing imajinasi seseorang (Danesi, 2010 : 75). Novel
merupakan bentuk karya sastra yang sangat populer dan digemari oleh masyarakat
karena daya komunikasinya yang luas dan daya imajinasinya yang menarik.
Melalui novel penulis mencoba menyampaikan pesan kepada pembaca melalui isi
cerita dalam novel, pesan yang disampaikan oleh penulis bisa berupa ide-ide atau
pandangan sang penulis mengenai keadaan sosial lingkungan sekitarnya, kritikan
tentang sesuatu, maupun gagasan mengenai sesuatu hal yang baru.
Novel sebagai salah satu bagian dari media massa memiliki peranan
penting dalam penyebaran informasi dan wacana, termasuk informasi dan wacana
tentang perempuan. Dewasa ini banyak penulis novel Indonesia yang
menyuarakan gerakan feminisme lewat karyanya, Kehadiran para penulis dalam
ranah kesusastraan mencoba untuk memperlihatkan adanya perubahan sikap
8
dalam menempatkan posisi dan peranan perempuan dalam kehidupan masyarakat
melalui karya - karyanya. Tema yang diangkat dalam sejumlah karya para penulis
tentang perempuan pada masa ini adalah kebanyakan mengangkat tema mengenai
gerakan feminism yang bertujuan untuk melawan nilai – nilai perempuan dalam
Islam yang bertentangan dengan kaum feminisme dan ketidaksetaraan terhadap
perempuan.
Dari semua penjelasan di atas, lewat salah satu novel “Ratu yang Bersujud
” penulis menemukan banyaknya pertanyaan pada bagaimana pandangan Islam
menilai perempuan untuk mengetahui derajat kaum perempuan di tengah
maraknya isu gender seperti, Mengapa perempuan harus memakai jilbab?
Mengapa perempuan harus mengurusi rumah tangga? Bagaimana kedudukan
perempuan di dalam Islam? Dan bagaimana lainnya menjadi pertanyaan yang
lumrah dipertanyakan oleh kaum feminism, sebagian kaum non muslim bahkan
umat muslim sendiri. Ada beberapa kalimat yang dinyatakan dalam novel ini yang
sangat terlihat bagaimana penggambaran perempuan dalam Islam.
“apakah kalian puas dengan keadaan kalian saat ini wahai kaum
perempuan?!” matanya begitu tajam dalam menyampaikan orasinya
tersebut. “kami berjuang untuk emansipasi, kesetaraan! Kami ingin
suara kami didengar, kami tidak ingin direndahkan sebagai perempuan!
Tempat kami bukan hanya didapur. Tugas kami bukan hanya mengurus
suami dan anak. Lebih dari itu semua, kami ingin keadilan. Tempat yang
sama dan sejajar dengan kaum pria! hapuskan semua bentuk poligami
yang menyengsarakan kaum perempuan, bebaskan perempuan dari hijab
dan tradisi kolot! Bebaskan kaum perempuan dari moral – moral agama
yang mengekang!12
”
12 Mahdavi, Ratu yang Bersujud, 2012, hlm 4-5
9
Inilah yang memang sedang banyak disuarakan oleh kaum perempuan
yang membenci Islam di seluruh dunia, perempuan melihat adanya pengekangan
dan ketidakadilan gender dengan kaum laki – laki dikarenakan adanya subordinasi
(penomorduaan) anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mau memimpin,
cengeng, mengakibatkan perempuan menjadi nomor dua setelah laki – laki, lalu
pada kalimat selanjutnya
“Islam hadir dengan membawa harapan bagi tegaknya keadilan.
Perempuan bukan lagi dianggap sebagai benda, tapi lebih jauh. Ia
adalah mitra kaum lelaki. Perempuan telah menjadi subjek hukum.
Rasulullah bersabda, menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
muslim dan muslimah. Ini bukti bahwa perempuan memiliki hak untuk
mencari ilmu dan kesempatan meraih pendidikan yang sama dengan
kaum laki – laki. “Kemudian Allah berfirman dalam Alqur‟an.
Bismillahirrahmanirrahim. Hai Nabi, apabila datang kepadamu
perempuan – perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia,
bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan allah,
tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak –
anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada – adakan antara
tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan
yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah
ampunan kepada Allah untuk mereka. Sungguh Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Ayat tersebut menjadi bukti perempuan dalam
Islam benar – benar telah menjadi subjek hukum dan dapat menentukan
pilihannya sendiri. Mereka memiliki hak dasar politik13
.”
Ini sesuai dengan realitas masyarakat pada saat ini contohnya adanya peran
perempuan dalam ranah politik dan Negara dengan adanya menteri – menteri
perempuan dan juga gubernur perempuan bahkan presiden perempuan, ini terlihat
sekali bahwa Indonesia dengan mayoritas orang beragama Islam, telah
menerapkan konsep Islam yang melihat tidak adanya perbedaan antara laki – laki
dan perempuan.
13 Ibid hlm 200 -201
10
Lebih lanjut Charlotte ingin mengetahui secara mendalam bagaimana nilai
– nilai perempuan dalam agama Islam yang selama ini selalu dianggap tidak adil
oleh kalangan kaum feminism. Ia ingin keluar dari komunitas feminis, ia merasa
jenuh banyak hal yang ia perjuangkan atas nama perempuan justru memiliki
tujuan yang tidak jelas, tidak memiliki substansi sama sekali. Ada susupan
ideology yang begitu dendam terhadap ajaran agama, terutama agama Islam. Dan
selama ini ia secara tidak sadartelah menjadi seorang agen dalam permainan
konspirasi tersebut. Ia tidak memahami Islam, belum mengenal Islamsaat
bergabung dengan kaum feminis, tapi dia tanpa ragu menentang Islam dan
bagaimana nilai perempuan dalam ajaran Islam dan memposisikan dirinya sebagai
musuh nomor satu kaum perempuan. Kemudian Lale hadir. Datang, penuh dengan
persahabatan dan rasa keakraban persaudaraan. Ia berhijab, ya, ia berhijab. Ia
seorang muslimah dan taat melaksanakan shalat. Penjelasaan tentang hijab, shalat
dan nilai – nilai perempuan dalam Islam yang membuat ikatan emosionalnya
dengan agama Islam telah tumbuh menghujam jiwanya
Isi dalam novel ini memperlihatkan adanya bagaimana penggambaran
perempuan dari sudut pandang Islam yang selama ini salah diartikan dan banyak
yang tidak mengetahuinya. Penulis novel berusaha untuk menggambarkan sosok
perempuan dengan menempatkan perempuan sebagai perempuan yang ingin
mendapatkan emansipasi, kesetaraan dan juga derajat yang sama dengan laki –
laki Menurut Mary Wollstonecraft dalam buku A Vidication of the Rights of
Woman seharusnya perempuan mempunyai kebebasan dan hak yang sama setara
11
dengan laki-laki14
. Dengan demikian secara nonverbal, perempuan dalam novel
tersebut direpresentasikan atau digambarkan seperti perempuan yang memiliki
pandangan feminis dan menginginkan kesetaraan gender.
Lebih jauh, Mahdavi sepertinya ingin menunjukkan sisi lain dari
kehidupan perempuan, sebuah fenomena yang jarang terjadi ketika sosok
perempuan yang sudah membulatkan tekadnya dari awal untuk menjadi seorang
feminis dengan tekad dan kegigihannya berusaha keluar dari kondisi tersebut
untuk memeluk agama Islam. Novel “Ratu yang Bersujud” juga menyuarakan
resistensi kaum perempuan melalui tokoh Charlotte.
Karya ini juga menampilkan permasalahan dan resistensi perempuan yang
dikenal dengan women issues. Permasalahan yang dianggap sebagai sesuatu yang
aktual, yang sering dibicarakan dan dibahas. Dalam seminar, gerakan-gerakan
perempuan, dunia pendidikan dan juga di media massa. Ini karena women issue
dianggap berkaitan dengan pandangan masyarakat yang secara tidak langsung
merugikan kaum perempuan.
Penulis tertarik untuk meneliti bukan karena kualitas novel yang hendak
peneliti teliti, melainkan karena tema yang diangkat novel tersebut menemukan
beberapa fenomena komunikasi yang dinilai cukup menarik jika dibahas dengan
menggunakan perspektif ilmu komunikasi, karena komunikasi pada dasarnya
merupakan interaksi antara pribadi yang menggunakan system symbol linguistic,
14 Faninda Zenitsa “Representasi Perempuan (Studi Semiotika Tentang Representasi Perempuan
Dalam Novel “Perempuan Keumala” karya Endang Moerdopo), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik , UPN, 2010. hlm 7
12
misalnya meliputi verbal, kata-kata, para verbal, dan non verbal. Sehingga novel
ini menarik untuk diteliti dalam kajian penelitian semiotik Roland Barthes,
metode semiotik Roland Barthes menitikberatkan pada hubungan penanda dan
petanda, denotative, konotatif, mitos dan sistem sosial yang ada pada novel,
melalui kata dan kalimat yang bersifat atomistis.
Pada penelitian ini yang mendasari penulis untuk menganalisa konsep nilai
perempuan dalam Islam dari 2 tokoh perempuan yang terdapat dalam novel ”Ratu
yang Bersujud ” karena 2 tokoh perempuan ini memiliki peran yang sentral dan
dapat menimbulkan tanda tanya besar dimana dalam feminisme barat tujuan
utamanya adalah ingin melepaskan diri dari cengkeraman kaum laki – laki dan
Islam yang ternyata diturunkan untuk mengatasi permasalan tentang ketidakadilan
gender yang selama ini menjadi permasalahan kaum feminisme.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimana Representasi Nilai Perempuan dalam Islam yang terdapat pada
novel Ratu yang Bersujud ?
1.3 Identifkasi Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat di identifikasikan
masalah penelitian sebagai berikut :
13
1. Bagaimana makna denotasi nilai perempuan dalam Islam pada novel Ratu
yang Bersujud?
2. Bagaimana makna konotasi nilai perempuan dalam Islam pada novel Ratu
yang Bersujud?
3. Bagaimana makna mitos nilai perempuan dalam Islam pada novel Ratu
yang Bersujud?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah representasi nilai
perempuan dalam Islam pada novel Ratu yang Bersujud
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Memberi gambaran bagaimana perempuan dalam novel Ratu yang
Bersujud digambarkan untuk bacaan di masyarakat dan untuk memperkaya
wawasan tentang persoalan perempuan di masyarakat serta penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dan dokumentasi ilmiah
untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagai dasar bagi studi - studi
selanjutnya mengenai analisis semiotika dalam novel
1.4.2 Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat
khususnya kaum perempuan mengenai feminisme dalam sudut pandang Islam
14
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Perempuan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perempuan adalah jenis kelamin,
yakni orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil,
melahirkan anak, dan menyusui. Perempuan merupakan makhluk lemah lembut
dan penuh kasih saying karena perasaannya yang halus. Secara umum sifat
perempuan yaitu keindahan, kelembutan serta rendah hati dan memelihara.
Demikianlah gambaran perempuan yang sering terdengar di sekitar kita.
Perbedaan secara anatomis dan fisiologis menyebabkan pula perbedaan pada
tingkah lakunya, dan timbul juga perbedaan dalam hal kemampuan, selektif
terhadap kegiatan – kegiatan intensional yang bertujuan dan terarah dengan kodrat
perempuan.
Kata perempuan dalam tinjauan etimologis, berasal dari kata empu yang
berarti 'tuan', 'orang yang mahir/berkuasa', atau pun 'kepala', 'hulu', atau 'yang
paling besar' maka, kita kenal kata empu jari 'ibu jari', empu gending 'orang yang
mahir mencipta tembang'15
. Kata perempuan berhubungan dengan kata ampu
'sokong', 'memerintah', 'penyangga', 'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata
15 Sudarwati, D Jupriono, Betina, Wanita, Perempuan:Telaah Semantik Leksikal, Semantik
Historis, Pragmatik diakses dari http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html pada 6
Maret 2016 pukul 13.23
14
15
mengampu artinya 'menahan agar tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh';
kata mengampukan berarti 'memerintah (negeri)'; ada lagi pengampu 'penahan,
penyangga, penyelamat', sehingga ada kata pengampu susu 'kutang' alias 'BH'.
Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan, kata ini mengalami
pemendekan menjadi puan yang artinya „sapaan hormat pada perempuan‟, sebagai
pasangan kata tuan „sapaan hormat pada lelaki‟ (Sudarwati dan Jupriono, 2000).
Nah pada konteks itulah maka perempuan mendapat tempat kehormatan, lebih
bermartabat dan tidak diposisikan di lapisan bawah. Persepsi terdahulu yang
dilandasi kultur feodalisme konvensional tidak lagi mendapatkan tempat, karena
keberadaan perempuan sebagai kaum feminin semakin dihormati, di junjung
tinggi dan berperan sejajar dengan laki – laki.
Pemahaman kebudayaan menyangkut persoalan perempuan, status dan
perannya dalam kehidupan sosial sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan
keadaan dan waktu. Juga tergantung pada bagaimana pemahaman-pemahaman
tersebut berhubungan dengan posisi kaum perempuan di berbagai komunitas. Para
antropolog sekalipun, yang tengah menyelidiki posisi perempuan dalam
perkembangan masyarakat secara tidak sadar ikut dalam perdebatan menyangkut
asal-usul dan universalitas keterpinggiran kaum perempuan. Dengan begitu kajian
terhadap hubungan hierarkis antara laki-laki dan perempuan menjadi penting.
Laki-laki dan perempuan secara alamiah, bilogis dan genetis berbeda,
adalah sebuah kenyataan, sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat diubah. Akan
tetapi yang kemudian melahirkan perdebatan adalah ketika perbedaan secara
16
alamiah ini lalu kemudian menimbulkan pemahaman yang beragam pada tiap
orang dan kelompok masyarakat. Perbedaan pemahaman ini selanjutnya dikenal
dengan konsep gender, yaitu beberapa sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki
dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan kultural(Fakih, 1997:8).
Misalnya stereotype perempuan yang dikenal lemah lembut, keibuan, emosional
atau lebih sabar. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan
sebagainya. Stereotype seperti ini dapat dipertukarkan dan bisa jadi berbeda pada
masing-masing masyarakat, tergantung pada budaya dan sistem nilai yang
dibangun.
Ketertindasan perempuan, secara antropologis, dipandang oleh Sherry
Ortner(dalam Moore, 1998:30) disebabkan oleh sebuah sistem nilai yang
diberikan makna tertentu secara kultural16
. Ortner menempatkan ketertinggalan
perempuan pada tataran ideologi dan simbol kebudayaan. Dalam budaya
universal, ketertindasan perempuan, menurut Ortner merupakan manivestasi dari
pemahaman antara budaya dan alam yang kemudian dibandingkan dengan posisi
laki-laki dan perempuan pada peran sosialnya. Secara umum, kebudayaan
memberikan pembedaan antara masyarakat manusia dan alam. Kebudayaan
berupaya mengendalikan dan menguasai alam yang selanjutnya dimanfaatkan
untuk berbagai kepentingan. Oleh sebab itu kebudayaan berada pada posisi
superior dan alam dipihak inferior. Kebudayaan diciptakan untuk menguasai,
mengelola dan mengendalikan alam untuk mempertahankan kelangsungan
16 perempuan dalam perspektif budaya, diakses dari
https://agnessekar.wordpress.com/2009/01/08/perempuan-dalam-perspektif-budaya/ pada 7 Maret
2016 pukul 14.51
17
kehidupan masyarakat. Dalam hubungannya dengan laki-laki dan perempuan,
maka perempuan selalu diasosiasikan dengan alam, dan laki-laki diasosiasikan
dengan kebudayaan. Oleh karenanya merupakan suatu hal yang alami jika
perempuan berada pada posisi yang dikontrol, dikendalikan dan dikuasai. Konsep
ini ada kesamaan dengan konsep orang Turki tentang perempuan, bahwa
perempuan diasosiasikan dengan tanah dan laki-laki diasosiasikan dengan
benih(padi) sebagai pemahaman atas reproduksi(Robbins, 1997:11)
Pendekatan lain yang bisa dipakai untuk memahami penindasan terhadap
perempuan adalah analisis Karl Marx(dalam Heilbroner, 1991:34) tentang
kekuasaan kelas. Marx melihat bahwa politik ekonomi kapitalisme sebagai biang
keladi kehancuran dan ketertindasan sebagian besar warga masyarakat.
Kapitalisme menciptakan kelas, dalam arti kelas yang memiliki modal, kelas kaya
dan kelas miskin, majikan dan buruh. Untuk menjelaskan posisi perempuan dalam
analisis Marx ini tentang kelas, memang perempuan tidak dapat dikategorikan
sebagai satu kelas saja. Artinya ia datang dari golongan buruh(proletar) saja atau
golongan borjuis saja. Tetapi perempuan yang bekerja di bidang domestik dapat
dikatakan sebagai satu kelas. Mereka sesungguhnya bekerja, memiliki pekerjaan
yang kurang lebih sama tanggung jawabnya dengan pekerjaan di bidang lain.
Namun lagi-lagi hasil kerja mereka dinilai rendah atau tidak dihargai sama sekali.
Maka jadilah perempuan sebagai kelas yang dikuasai karena dianggap tidak
menghasilkan nilai-nilai ekonomi.
18
Friedrick Engels (1972;103), seorang filsuf Jerman, menerangkan
bagaimana perubahan kondisi material mempengaruhi hubungan keluarga,
hubungan laki-laki dan perempuan17
. Ia menjelaskan bahwa pada awalnya laki-
laki dan perempuan tidak mengenal perkawinan18
. Mereka sama-sama bebas
untuk menentukan kepada siapa mereka ingin berhubungan seks. Atau dapat
dikatakan semua menikah dengan semua, sehingga mereka sering berganti-ganti
pasangan. Sampai pada suatu kondisi dimana populasi perempuan lebih sedikit
daripada laki-laki, dan karenanya banyak laki-laki yang tidak ingin melepaskan
perempuannya. Mulai saat itulah terbentuk tradisi perkawinan dengan pasangan
hidup.
2.2 Perempuan dalam Islam
Manusia, baik itu laki laki maupun perempuan adalah ciptaan Allah yang
menduduki kemuliaan tertinggi di muka bumi ini yang dibekali dengan akal dan
intuisi pada segala macam keadaan. Kehadiran manusia merupakan puncak
ciptaan Tuhan. Dia adalah wakil Tuhan atau khalifah di muka bumi ini. Menurut
fitrah kejadiannya, manusia diciptakan bebas dan merdeka, dalam pengertian
bahwa kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni
untuk mencapai keridlaan Allah SWT sebagai Sang Pencipta dan supaya
bagaimana mereka dapat berperan dalam masyarakat.
17 Ibid
18 Ibid
19
Kedudukan laki laki dan perempuan pada dasarnya adalah sama dalam
AlQuran Sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam. Keduanya diciptakan
dengan tidak memiliki keunggulan satu terhadap yang lain. Atas dasar itu, prinsip
AlQuran terhadap hak kaum laki laki dan perempuan adalah sama, dimana hak
istri adalah diakui secara adil dengan hak suami. Laki laki memiliki hak dan
kewajiban atas perempuan, dan kaum perempuan juga memiliki hak dan
kewajiban terhadap laki laki.
Ajaran AlQuran tentang perempuan merupakan bagian dari usaha untuk
menguatkan dan juga memperbaiki posisi lemah perempuan dalam kehidupan
masyarakat Arab praIslam. Ajaran Islam memberikan porsi perhatian yang besar
dan kedudukan yang terhormat kepada perempuan, dapat dilihat dari segi asal
penciptaannya dan bisa juga dilihat dari segi hakhak atau peran sertanya dalam
berbagai bidang.
2.2.1 Hakikat Penciptaan Perempuan
Prinsip pokok dalam ajaran agama Islam adalah persamaan antara
manusia. Perbedaan yang patut digaris bawahi dan yang kemudian
meninggikan atau merendahkan seseorang di mata Tuhannnya hanyalah nilai
pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
firmanNya disebutkan, “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu
berbangsa bangsa dan bersuku suku agar kamu saling mengenal,
20
sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa”
(QS AlHujuraat : 13).
Konsep penciptaan perempuan merupakan hal yang sangat
mendasar untuk dibahas. Berangkat dari hal ini, maka dapat ditarik benang
merah konsep kesetaraan antara laki laki dan perempuan. AlQuran tidak
menyebutkan secara rinci tentang asal usul penciptaan perempuan, tetapi
AlQuran menolak berbagai persepsi yang membedakan diantaranya. AlQuran
surat AnNisa‟ ayat pertama menyebutkan : “Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang
sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki dan perempuan yang banyak.”
Pemahaman tentang kesamaan antara lakilaki dan perempuan dapat
dipertegas dalam surat Ali „Imron ayat 195 yang menyebutkan bahwa,
“Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain”. Maksudnya, bahwa
sebagaimana laki laki berasal dari laki laki dan perempuan, maka demikian
pula halnya perempuan berasal dari laki laki dan perempuan. Kedua duanya
sama sama manusia, tidak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang
penilaian iman dan amalnya. Dipertegas pula dalam ayat “Sesungguhnya Allah
tidak menyianyiakan amal orang orang yang beramal, baik lelaki maupun
perempuan”(QS. AliImron : 195). Melalui ayat tersebut di atas, AlQuran telah
mengikis pandangan masyarakat yang membedakan antara lelaki dan
perempuan, terutama dalam bidang kemanusiaan. Terdapat ayat ayat dalam
21
AlQuran yang juga menerangkan bahwa baik lelaki maupun perempuan dapat
tergoda oleh bujuk rayu Iblis seperti yang telah tersebut pada kisah
kebersamaan antara Adam dan Hawa. Artinya, baik laki laki maupun
perempuan, sama sama mendapat kesempatan untuk menentukan nasib mereka
sendiri. Laki laki bertindak sebagai pemimpin ada pada hubungannya pada
isterinya, yang berarti ia bertanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi
pasangannya dan menghormati apa yang menjadi fitrahnya. Demikian terlihat
bahwa AlQuran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya dan
meluruskan pandangan yang salah terkait dengan posisi ataupun asal
kejadiannya.
2.2.2 Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Islam
Perempuan sesungguhnya memiliki kedudukan yang tinggi dalam
Islam dan sangat berpengaruh pada kehidupan setiap manusia. Diantara
kedudukan tertinggi tersebut adalah :
1. Perempuan Sebagai Hamba Allah
Seorang perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama
dengan laki-laki delam kedudukannya sebgai hamba Allah, yakni sama-
sama mempunyai kewajiban untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT.
Dalam firmanNya dikatakan, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan untuk beribadah” (QS Adz Dzariat : 56). Hakikat hidup
manusia, termasuk di dalamnya adalah seorang perempuan adalah untuk
beribadah dan mencari keridlaan Allah SWT. Ibadah dapat meliputi ritual-
22
ritual khusus seperti salat, puasa, zakat, dan haji, namun juga ibadah yang
yang sifatnya mencakup seluruh aktivitas kebaikan hidup di seluruh aspek.
Hal tersebut dapat terlaksana melalui adanya keterikatan pribadinya sendiri
dengan peraturan-peraturan dari yang telah Allah tetapkan.
2. Perempuan Sebagai Istri
Kedudukan posisi seorang istri dan pengaruhnya terhadap
ketenangan jiwa seorang suami. Allah berfirman, "Dan di antara tanda-
tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari
jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara kalian." (QS.
Ar- Rum: 21).Laki-laki menjadikan seorang permpuan sebagia istrinya
dapat karena memang cintanya kepada perempuan tersebut, yang
selanjutnya cinta dan kasih sayangnya tersebut membuahkan putera dan
puteri yang salih. Seorang istri adalah sahabat bagi suaminya. Di dalamnya
melekat segala kewajiban yang harus dilaksanakan kepada suaminya.
Seorang istri harus mampu menjaga rahasia dan harta benda suaminya
sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan
Allah. Seorang istri seyogyanya harus mempunyai keahlian dan
ketrampilan, seperti memasak, penataan rumah, menata penampilan, dan
cerdas dalam ilmu pengetahuan masalah kesehatan dan pengaturan
keuangan. Istri adalah menteri keuangan terbaik dalam rumah tangga.
23
3. Perempuan Sebagai Ibu
Dijelaskan dalam Al-Quran betapa pentingnya peran perempuan
sebagai ibu, istri, saudara perempuan, maupun sebagai anak yang berbakti.
Demikian juga dengan hak-hak dan kewajibannya. Peran permpuan
adakalanya sangat berat, bahkan bisa sampai semisal harus menanggung
beban-beban yang semestinya dipikul oleh laki-laki. Oleh karena itu,
menjadi suatu keharusan bagi kita untuk selalu berterimasih kepada ibu,
berbakti, dan bersikap baik padanya. Posisi ibu terhadap anak-anaknya
ebih didahulukan dari ayah. Disebutkan dalam firman Allah, "Dan Kami
perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.
" (QS. Luqman: 14).
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-
laki datang kepada Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, siapa orang
yang paling berhak untuk aku untuk berlaku bajik kepadanya?" Nabi
menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya lagi, "Kemudian setelah dia siapa?
"Nabi menjawab," Ibumu. "Orang itu bertanya lagi," Kemudian setelah dia
siapa? "Nabi menjawab," Ibumu. "Orang itu bertanya lagi," Kemudian setelah
dia siapa? "Nabi menjawab," Ayahmu. " (HR. Bukhari-Muslim). Besarnya
bakti seorang anak kepada ibunya dianjurkan untuk tiga kali lebih hormat dari
24
bakti kepada ayahnya. “Al-ummu madrosatul uulaa”, ibu adalah madrasah
pertama. Peran tersebut adalah dalam kapasitasnya membangun keluarga dan
masyarakat yang shalih selama dia berada pada jalan Al-Quran dan sunnah
Nabi yang akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan segala
hal. Ibu adalah pembuka ilmu pertama bagi anaknya. Darinya, anak pertama
kali belajar, sehingga dia mempunyai pengaruh yang besar dalam tumbuh
kembang dan pola pikir anak-anaknya dalam membina generasi masa depan
yang baik. Perempuan adalah tiang negara.
2.2.3 Hak - hak Perempuan dalam Berbagai Bidang
Al-Quran yang menerangkan perempuan dalam berbagai ayatnya.
Keterangan tersebut meliputi berbagai sisi kehidupan, seperti tentang kisah
penokohan perempuan muslim, akhlak, keistimewaannya dalam agama, fiqh
keperempuanan, warisan, kewajibannya pada Allah, suami, dan sekitarnya,
sampai pada hak hak perempuan yang dapat ia perjuangkan. Secara umum surat
An Nisa ayat 32 menerangkan, “Untuk lelaki hak (bagian) dari apa yang
dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang
dianugerahkan kepadanya”. Ayat inilah yang menjadi simbol bahwa
dipersilahkan bagi perempuan mendapatkan hakhaknya di hadapan manusia lain.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan
menurut pandangan ajaran Islam.
25
1. Hak - hak Kemanusiaan
Diantara hak - hak kemanusiaan antara lain;
Hak hidup,
Hak mendapat kemuliaan,
Hak kesetaraan dengan laki laki, dan
Hak mengemukakan pendapat dan musyawarah.
Sejak awal, Islam telah memberikan hak kepada perempuan untuk
berpendapat dan disertakan dalam musyawarah. Hak itu sebelumnya
dibelenggu di era jahiliyah.
2. Hak - hak Ekonomi
Hak - hak ekonomi perempuan meliputi hak kepemilikan dan
pengelolaan. Islam memberikan kebebasan terhadap perempuan dalam hal
pengelolaan dan urusannya dalam harta, perdagangan, akad jual beli,
persewaan, perserikatan, dan sebagainya. Perempuan juga diperbolehkan
untuk menetapkan mahar yang akan diterima dari calon suaminya.
3. Hak – hak Sosial
Diantara hak - hak tersebut antara lain:
a. Mendapatkan perlakuan baik
Perempuan dalam suatu lingkaran tertentu berhak mendapatkan
perlakuan baik dari manusia lain, baik posisinya dia sebagai saudari, anak,
ibu, istri, atau nenek.
26
b. Memilih suami
Dalam menerima pinangan seorang laki laki, maka perempuan
memiliki hak untuk menerima dan menolak khitbah tersebut.
c. Mendapatkan nafkah
Merupakan kewajiban dan tanggung jawab bagi para suami dan
seorang ayah untuk menafkahi keluarganya, bagi istrinya, bagi anak
lakilaki dan perempuannya. Nafkah tersebut harus bersumber dari segala
pekerjaan dan usaha yang halal.
d. Mendapatkan warisan
Secara garis besar, teori hukum warisan untuk perempuan separuh
dari lelaki bukan merupakan suatu bentuk diskriminasi Islam terhadap
perempuan, sudah sangat adil jika dalam konteks arab pra Islam yang
mana perempuan sama sekali tidak mendapatkan warisan, bahkan
perempuan menjadi barang yang diwariskan kepada anaknya. hukum
warisan adalah salah satu hukum yang diturunkan secara detail langsung
dari Allah. Jika perintah shalat, zakat, puasa dan naik haji hanya dijelaskan
secara global, peraturan pembagian warisan telah terperinci langsung dari
sumbernya. Memang, dalam AlQur‟an terdapat ayat yang menerangkan
bahwa hak perempuan adalah separuh dari hak lelaki, “Allah mewasiatkan
kepadamu tentang anak anakmu, yang lelaki hendaklah mendapatkan dua
kali dari hak perempuan” (QS. AnNisa : 11), namun itu bukanlah sebuah
patokan utama dalam warisan. Konsep ini bukanlah konsep umum dalam
27
warisan. Konsep ini hanya berlaku ketika ada ahli waris lelaki dan
perempuan yang memiliki derajat (generasi) yang sama, seperti anak
pewaris lelaki dan perempuan, atau saudara kandung pewaris yang lelaki
dan perempuan.
Perbedaan hak pembagian warisan dalam Islam tidak berpatok
pada perbedaan jenis kelamin. Perbedaan itu dipengaruhi oleh tiga hal;
Pertama, derajat kedekatan antara ahli waris dan pewaris. Semakin dekat
ahli waris dengan pewaris, maka semakin besar hak yang ia dapatkan.
Kedua, perbedaan generasi antara para ahli waris. Generasi yang muda
yang memiliki kemungkinan hidup lebih besar biasanya akan mendapatkan
hak lebih dari generasi yang telah hidup lebih dulu. Hal ini dikarenakan
generasi yang lebih muda akan lebih membutuhkan sokongan keuangan
dari pada generasi yang lama, karena ia dibebani untuk membiayai
generasi setelahnya yang belum mampu untuk mandiri. Contoh, seorang
anak perempuan akan mendapatkan hak lebih besar (1/2) dibanding suami
dari pewaris (1/4). Ketiga, perbedaan beban kehidupan antara para ahli
waris. Inilah satu hal yang membedakan antara lelaki dan perempuan.
Dalam Islam, seorang lelaki diwajibkan untuk menafkahi istri dan
keturunannya, sedangkan perempuan tidak dibebankan dengan hal itu.
e. Mendapatkan mahar
Mahar merupakan harta yang diberikan pihak calon suami kepada
calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Calon
28
suami boleh memberikan mahar berapapun asal pihak calon istri setuju.
Mahar ini menjadi hak calon istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai
mahar ini pun sangat dapat ditentukan oleh kehendak calon istri. Mahar
dapat berbentuk uang, benda atau pun jasa, tergantung kesesuaian pihak
calon istri.
f. Meminta cerai
Hak untuk istri meminta cerai dibenarkan jika ada alasan yang
diizinkan syariat. Perceraian adalah hal halal yang paling dibenci oleh
Allah. Perceraian dipilih ketika dibutuhkan saja. Bila mempertahankan
pernikahan akan mengakibatkan mudharat yang lebih besar.
g. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
Berbicara tentang kewajiban belajar atau menuntut ilmu bagi laki
laki dan perempuan, telah banyak ayat AlQuran yang membeberkan
tentang hal tersebut. Salah satunya adalah wahyu pertama AlQuran surat
Al‟Alaq ayat 1 sampai 5 yang berisi perintah untuk membaca atau belajar.
“Bacalah demi nama Tuhanmu yang telah menciptakan ...”. Dalam surat
AlBaqarah ayat 31-34 diterangkan pula bahwa keistimewaan manusialah
yang menjadikan para malaikat diperintahkan oleh Allah sujud kepadanya
karena manusia memiliki pengetahuan.
Baik laki laki maupun perempuan diperintahkan untuk mencari
ilmu sebanyak mungkin demi kemaslahatan hidupnya. “Menuntut ilmu
adalah wajib bagi setiap muslim laki laki dan muslim perempuan”.
29
Pendidikanlah yang berperan sebagai katalis untuk perubahan.
"Katakanlah: Apakah sama orang orang yang mengetahui dengan orang
orang yang tidak mengetahui? Sebenarnya hanya orang yang
mempergunakan akal sehat yang dapat menerima pelajaran "(QS.
AzZumar : 9).
Allah SWT berfirman dalam ayat yang lain, "Sesungguhnya Aku
tidak menyia nyiakan amal orang orang yang beramal di antara kamu,
baik lelaki maupun perempuan ..." (QS Al Imron: 195). Hal ini berarti
bahwa kaum perempuan mampu untuk berpikir, mempelajari, untuk
kemudian mengamalkan apa yang mereka dapatkan dalam proses
pembelajaran dan dari apa yang mereka peroleh dari alam raya ini.
Pengetahuan lam raya meliputi berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat
tersebut perempuan bebas untuk belajar bapa saja sesuai dengan minat dan
kecenderungan mereka.
h. Beraktifitas
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan
perempuan aktif dalam beraktivitas. Perempuan dapat bekerja di berbagai
bidang, baik secara mandiri atau relasi, di dalam atau di luar rumah, milik
pemerintah atau sasta, asalkan masih dalam koridor yang sopan, terhormat,
tidak menimbulkan fitnah, dan dapat memelihara agamanya. Perempuan
perempuan zaman Nabi pun ada yang sampai terlibat langsung dengan
aktivitas peperangan, seperti Ummu Salamah(istri Nabi), Shafiyah, Laila
30
AlGhaffariyah, dan Ummu Sinam AlAslamiyah. Mereka bahu membahu
dengan kaum pria dalam bekerja sama. Istri Nabi Muhammad SAW yang
pertama, Khadijah binti Khuwailid sendiri tercatat sebagai saudagar atau
pedagang yang sangat sukses. Perempuan dapat melakukan pekerjaan
apapun selama dia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya,
seperti bidan yang dapat membantu proses kelahiran bayi, asalkan sesuai
dengan norma agama dan asusila. Melalui pengetahuan dan
ketrampilannya, perempuan juga berhak menempati jabatan tertentu dalam
pekerjaannya.
4. Hak – hak Konstitusi
a. Bidang Politik
“Dan orangorang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”(At Taubah: 71). Ayat tersebut merupakan ayat yang
seringkali dikaitkan dengan hak – hak politik kaum perempuan sebagai
gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antar lelaki dan
perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilikiskan dengan
kalimat peintah menyuruh untuk mengerjakan perkara ma‟ruf dan
mencegah kemunkaran.
31
Kata auliya‟ dalam pengertiannya mencakup makna kerja sama
dalam bantuan dan penguasaan. Pengertian dari menyuruh untuk
mengerjakan yang ma‟ruf mencakup seluruh sendi kebaikan, termasuk
nasihat atau kritik terhadap penguasa. Berdasar hal tersebut, diharapkan
perempuan dapat mengikuti perkembangan masyarakat sekitar agar
mampu melihat dan berbagi kebaikan dan nasehat dalam berbagai segi
kehidupan. Keikutsertaan perempuan dan laki laki dalam konten di atas
jelas tidak dapat disangkal.
Selain dalam urusan nasehat, perempuan juga berhak
mengeluarkan pendapat melalui musyawarah. “Sedang urusan mereka
diputuskan dengan musyawarah antar mereka”(Assyuuraa: 38). Ayat ini
menjadi dasar bahwa perempuan memiliki hak untuk berpolitik bagi laki
laki dan perempuan. Musyawarah sendiri merupakan salah satu prinsip
pengelolaan bidang bidang kehidupan bersama, termasuk kehidupan
berpolitik, dalam arti setiap warga masyarakat diharapkan untuk
memutuskan segala sesuatu dengan jalan musyawarah untuk kepentingan
bersama atau golongan.
Kesetaraan hak tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak melarang
keterlibatan perempuan dalam bermasyarakat. Tidak dipungkuri bahwa
AlQuran dalam ayat 34 surat AnNisa‟ memang menyebutkan “Lelaki
lelaki adalah pemimpin perempuan perempuan”. Sebagian orang
menjadikan dasar tersebut sebagai larangan bagi perempuan untuk
berpolitik. Ayat tersebut berbicara tentang kepemimpinan laki laki (suami)
32
terhadap seluruh keluarganya dalam bidang rumah tangga. Kepemimpinan
itupun tidak lantas mencabut hak – hak perempuan (istri) dalam berbagai
segi, seperti dalam harta kepemilikan pribadi meski tanpa ada persetujuan
suami.
Yang dimaksud dengan hak – hak politik adalah yang ditetapkan
dan diakui oleh undang undang berdasarkan keanggotaan sebagai warga
negara. Biasanya ada korelasi antara hak hukum dan politik dengan
masalah kewarganegaraan. Artinya hak politik itu hanya dimiliki oleh
orang yang berada di wilayah hukum negara tertentu dan tidak berlaku
untuk orang asing
b. Bidang hukum
Islam memberikan perempuan hak sebagai saksi dalam proses
penyelesaian suatu masalah hukum. Perbedaan yang ada antara lakilaki
dan perempuan akibat fungsi dan tugastugas utama yang dibebankan oleh
Allah kepada masing masing jenis kelamin, tetapi perbedaan tersebut tidak
menjadikan yang satu mempunyai kelebihan atas yang lain. “Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki
ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi
perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan)
dan bermohonlah kepada Allah dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”(QS An Nisa : 32).
33
2.3 Varian Pemikiran Islam tentang Perempuan
2.3.1 Perempuan dalam pemikiran Islam Fundamentalis
Istilah „fundamentalisme agama‟ sebenarnya bukanlah hal baru
dalam perbincangan tentang Islam, gender, dan hak hak perempuan. Namun,
terminologi ini sejatinya bukanlah khas terkait dengan Islam. Istilah
fundamentalisme pada mulanya muncul dalam kaitan dengan Protestanisme
Amerika awal abad kedua puluh. Istilah itu dimaksudkan untuk menunjuk suatu
gerakan keagamaan di AS yang, antara lain, menolak kritik terhadap Bibel,
gagasan evolusi, otoritas dan moralitas patriarkis yang ketat, dan seterusnya.
Ahmad Gaus AF. mendefinisikan ”fundamentalisme” sebagai suatu pola
pikir yang menempatkan teks agama sebagai rujukan utama yang bersifat
absolut dan final. Tidak hanya itu, perujukan tersebut juga dilakukan secara
harfiah, dan menerapkan pemahaman harfiah itu dalam realitas kekinian secara
apa adanya tanpa mempertimbangkan dinamika dan perubahan. Dalam Concise
Oxford Dictionary of Current English, fundamentalisme diartikan sebagai upaya
kembali kepada ajaran orisinal guna mempertahankan kebenaran absolut (strict
maintenance of ancient or fundamental doctrines of any religion).
Kesimpulannya, fundamendalisme adalah upaya untuk “kembali” dan
“mempertahankan” akar keagamaan.
Ciri ciri fundamentalisme pada umumnya adalah rigid dan literalis. Dua
ciri ini berimplikasi pada sikap yang tidak toleran, radikal, militan, dan berpikir
sempit, bersemangat secara berlebih lebihan atau cenderung ingin mencapai
34
tujuan dengan cara kekerasan. Sebagai sebuah fenomena, fundamentalisme
keagamaan muncul di Indonesia dengan bentuk yang beragam. Dalam konteks
dimana muslim adalah mayoritas penduduk, maka kesan yang nampak tentang
fundamentalisme di Indonesia, tentulah yang terkait dengan Islam. Gerakan
fundamentalisme Islam sendiri dapat dimaknai sebagai gerakan keagamaan
(Islam) yang mempunyai agenda yang menjadikan Islam sebagai entitas politik,
Islam sebagai sistem politik yang berujung pada pembentukan aldaulah
alIslamiyyah. Gerakan ini menerapkan gaya generasi salafusshaleh, yang
muncul sekitar 400 tahun setelah Rasul wafat, untuk meniru segala aspek
kehidupan untuk kiranya mengopi peradaban yang lalu.
Fundamentalisme keagamaan sebenarnya merupakan potret kekuasaan
patriarki yang beroperasi dengan menggunakan doktrin doktrin agama. Di antara
doktrin yang mereka bangun adalah kepemimpinan lakilaki, ketaatan mutlak
seorang istri pada suami, kebolehan laki laki berpoligami. Bagi mereka yang tak
sepaham, mereka seringkali melakukan klaim „sesat‟ pada orang lain, bahkan
melakukan caracara kekerasan seperti sweeping, penyegelan rumah ibadah, dan
sebagainya.
Kontrol atas tubuh perempuan juga merupakan contoh nyata dalam praktik
fundamentalisme. Doktrin kembali pada ajaran Islam yang benar (back to
Sharia) maupun implementasi menuju Islam yang kaffah seringkali ditandai
tentang aturan berbusana bagi perempuan, dengan mewajibkan pemakaian cadar
bagi perempuan. Di Iran, perempuan yang tidak mengenakan cadar dengan
benar (bad hijab) akan dikenakan hukuman keras, di Aljazair perempuan
35
dihadapkan pada pilihan ‟mengenakan cadar‟ atau ‟mati‟, di Sudan aturan
tentang cadar diberlakukan setelah jatuhnya Presiden Numeiri oleh mereka yang
mengangkat dirinya sebagai ‟penjaga moral‟, dan oleh mereka perempuan
perempuan karir dipersoalkan statusnya karena keberadaan mereka di muka
umum maupun hubungan kerja dengan laki laki di perusahaan mereka.
Sementara di Tepi Barat dan Jalur Gaza, kaum Hamas memaksa perempuan
untuk bercadar dan mengidentifikasi perempuan yang menolak berkerudung
sebagai sekutu Israel. Di Indonesia, fenomena serupa nampak dengan hadirnya
berbagai peraturan daerah dan kebijakan diskriminatif atas dasar agama (yang
dikenal dengan Perda Syariah) yang kebanyakan isinya mengatur tata cara
perempuan berpakaian, larangan keluar malam, segregasi di ruang publik,
maupun larangan pelacuran yang rumusannya sangat mendiskreditkan
perempuan. Seringkali, kita lupa bahwa undang undang (UU) kita pun diwarnai
oleh pemahaman keagamaan yang bercorak literal. Salah satu contoh pada UU
Perkawinan No 1 tahun 1974 yang dalam salah satu pasalnya menyebut soal laki
laki sebagai pemimpin keluarga. Selama ini, masyarakat sering merujuk pada
penggalan teks QS. An Nisa‟ ayat 34: “Ar rijaalu qawwamuuna ala alnisaa”
yang dijadikan dasar untuk mengukuhkan laki laki sebagai kepala keluarga.
Ternyata teks ini tak hanya dijumpai di kalangan muslim tetapi juga di kalangan
Nasrani dengan menggunakan teks Alkitab (Bible) yang punya doktrin serupa.
“Wives, submit to your husbands as to the Lord. For the husband is the head of
the wife as Christ is the head of the church, his body, of which he is the Savior.
Now as the church submits to Christ, so also wives should submit to their
36
husbands in everything. (Ephesians 5:22, New International Version). Artinya,
“Wahai para istri, taatilah para suamimu sebagaimana ketaatan kepada Tuhan
karena suami adalah pemimpin bagi istri sebagaimana Kristus menjadi
pemimpin gereja, dirinya adalah Juru Selamat. Kini, sebagaimana gereja
mentaati Yesus Kristus, kaum perempuan juga harus taat pada suaminya dalam
segala hal. Contoh di atas sekedar menunjukkan betapa doktrin keagamaan yang
dipakai dalam kelompok kelompok yang memiliki gagasan fundamentalisme ini
seringkali mensubordinasikan perempuan. Celakanya, UU Perkawinan tersebut
oleh sebagian orang dianggap tak perlu dipersoalkan dan tak bisa diubah,
meskipun sejatinya merendahkan perempuan dan menjadi penyebab munculnya
kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah keluarga.
Kaum perempuan seringkali jadi korban atas proses Islamisasi yang
bersifat fundamentalis. Selain mereka dijadikan sebagai simbol kesalehan, ada
semacam pengalihan tanggung jawab atas kerusakan moral ini ke pundak
mereka. Oleh karena itu, berbagai aturan yang ada cenderung mengatur,
membatasi, bahkan mengekang kaum perempuan. Dan seringkali aturan yang
sebenarnya membatasi itu telah dianggap sebagai kebenaran yang harus
dilaksanakan. Aturan aturan itu, secara lebih jauh juga membatasi hakhak
reproduksi kaum perempuan.
Dalam komunitas fundamentalis, perempuan seringkali tak berdaya
menentukan pasangan hidupnya sendiri maupun melakukan kontrol atas
tubuhnya. Salah satunya adalah Sri Pulung, aktivis Persaudaraan Muslimah
(SALIMAH) yang memutuskan menikah setelah sang Murabbi (pembimbing
37
spiritualnya) menjodohkan dirinya dengan seorang lelaki yang dipandang
memiliki prinsip ghadhul bashar (menutup pandangan dari aurat perempuan
perempuan yang bukan mahram), namun akhirnya juga melakukan poligami. Sri
merasa harus turut bertanggung jawab atas ulah suami yang menurutnya ”sempat
tergelincir berpacaran dengan perempuan lain”, sehingga perempuan itu harus
dinikahinya. Pada usianya yang ke 42 tahun, Sri dianugerahkan 6 orang anak
dari perkawinannya. Ia sempat menggunakan KB hormonal, namun karena tidak
cocok akhirnya ia tidak menggunakan alat kontrasepsi sama sekali sehingga ia
pernah mengurus tiga balita sekaligus. Yaitu saat anak keenamnya baru lahir,
anak kelima berumur 15 bulan, dan anak keempatnya berumur 3 tahun. Sang
suami mendukung aktivitasnya dalam kondisi memiliki banyak anak, karena
bercitacita memiliki banyak keturunan demi memperkuat umat Islam di masa
depan. Suami Sri, memiliki 9 orang anak kandung yaitu 6 dari Sri dan 3 dari
madunya. Ditambahkan dengan anak tirinya yang 4 orang, berarti suaminya
memiliki 13 orang anak.
Selain perempuan perempuan dalam kelompok fundamentalis yang
terpinggirkan dari ruang publik maupun tak kuasa melakukan kontrol atas hak
hak reproduksinya sendiri akibat aturan aturan dan pandangan fundamentalisme
keagamaan yang berkembang ini, perempuan awam juga menjadi korban akibat
masuknya fundamentalisme di ranah negara. Di Padang, beberapa siswi non
muslim terpaksa harus mengenakan jilbab demi beradaptasi dengan teman
temannya di sekolah karena adanya aturan yang mewajibkan para siswi untuk
berjilbab. Sementara di Bulukumba, aturan berjilbab telah membuat banyak
38
perempuan warga sipil yang tak berjilbab kehilangan hakhak dasarnya dalam
pelayanan publik akibat adanya stiker di kantor pemerintahan yang menyebutkan
”perempuan yang tidak berjilbab tidak akan dilayani”.
Qanun - qanun terkait penerapan Syariat Islam di Aceh yang seringkali
dijadikan rujukan dan diambil secara copy paste bagi daerah daerah lain yang
hendak menerapkannya melalui perda maupun kebijakan lokal. Dua di antaranya
adalah Qanun Pokok Pokok Syariat Islam dan Qanun tentang Hukum Jinayat.
Qanun yang berisi tentang pidana Islam yang mengatur soal Khalwat
(berduaduaan antara laki laki dan perempuan di satu ruangan) dan Ikhtilat
(bercampurnya sekelompok laki laki dan perempuan baik di dalam maupun di
luar ruangan) itu berpotensi pada munculnya fitnah atas dasar prasangka atas
tubuh perempuan sebagai isu moralitas, dan berakibat membatasi ruang gerak
perempuan di ruang publik. Keberadaan Qanun itu memicu tindakan sewenang
wenang aparat penegak hukum seperti Wilayatul Hisbah (WH) kepada
masyarakat karena perbedaan antara norma objektif (yang tertera di atas kertas)
dengan norma subjektif (apa yang dipahami oleh anggota WH) misalnya tentang
khalwat, karena batasan yang tidak begitu jelas dan mengandung multi
interpretasi. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan keberadaan Qanun ini rentan
menimbulkan perlakuan diskriminatif dan tindak kekerasan. Hukum cambuk
merupakan salah satu bentuk hukuman yang diperkenalkan oleh Qanun Jinayat,
sebuah bentuk Hukum Pidana Islam yang rumusannya lebih banyak berupa
pelanggaran atas moralitas yang dirumuskan dalam kerangka pikir lakilaki.
Seorang perempuan di Aceh yang menjadi korban pemerkosaan massal beberapa
39
waktu yang lalu sempat terancam menerima hukuman cambuk karena dituduh
melakukan perbuatan mesum. Y, seorang janda berusia 25 tahun, dan
pasangannya, W (40), digerebek oleh sekelompok pemuda di sebuah desa di
Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa, karena dituduh membawa masuk
seorang lelaki bernama W di rumahnya.Setelah memukul W dan mengikatnya di
dalam kamar, delapan pemuda itu menyeret Y ke kamar lain dan memperkosa
korban secara bergiliran. Sekelompok pemuda yang melakukan tindak perkosaan
ini beralasan bahwa Y dan W telah melakukan khalwat, yaitu berada dalam satu
ruangan antara laki laki dan perempuan yang bukan mahram. Alih alih
memberikan hukuman kepada kedelapan pemuda yang melakukan tindak
perkosaan, Wilayatul Hisbah malah berencana untuk merajam pasangan tersebut
yang meskipun menurut penuturan Ibrahim Latif, kepala Dinas Syariat Islam
Kota Langsa mereka belum sempat melakukan hubungan layaknya suami istri
tetapi mereka diketemukan sedang berada dalam satu rumah.
2.3.2 Perempuan dalam pemikiran Islam Liberal
Istilah Islam Liberal disusun dari dua buah kata, yaitu Islam dan
liberal. Islam maksudnya adalah agama Islam yang diturunkan oleh Allah
kepada Muhammad saw. Dan Liberal yang artinya adalah kebebasan. Kata
Liberal adalah satu istilah asing yang diambil dari kata Liberalism dalam bahasa
Inggris dan liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti kebebasan. Kata ini
kembali kepada kata Liberty dalam bahasa Inggrisnya dan Liberte dalam bahasa
prancisnya yang bermakna bebas.
40
Lebih lanjut Menurut Owen Chadwik Kata “Liberal” secara harfiah artinya
bebas (free) dan terbuka, artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from
restraint). Menurut Luthfie juga, istilah “Islam Liberal” mulai dipopulerkan
sejak tahun 1950-an. Di Timur Tengah, akar-akar gerakan liberalisme Islam bisa
ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa yang disebut “gerakan
kebangkitan” (harakah al-nahdhah) di kawasan itu secara hampir serentak
dimulai. Sampai sekarang komunitas Islam Liberal makin melebarkan sayapnya
hingga ke perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Dampak hadirnya
Islam Liberal kita bisa lihat lewat peristiwa-peristiwa menyedihkan seperti
penghinaan terhadap Tuhan (Allah), penyalah gunaan tafsir alqur‟an yang
mengandalkan akal semata, sampai kesalahan dalam menerapkan syari‟at Islam.
Istilah Islam Liberal ini diperkenalkan oleh seorang intelektual asal India,
Asaf 'Ali Asghar Fyzee, pada tahun 1950-an. Pada salah satu tulisannya dia
menuliskan, ”Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur”. Tetapi jika sebuah
nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu 'Islam liberal” Kemudian
istilah ini dipopulerkan di Indonesia melalui karya Greg barton, Leonard Binder
dan Charles Kurzman. Kemudian wacana ini lebih dipertajam lagi dengan
munculnya jaringan Islam Liberal yang dikomandani oleh Ulil Abshar Abdala.
Posisi Islam liberal terhadap hak-hak perempuan, tidak seperti tentang
demokrasi yang tidak terlalu banyak disinggung dalam penafsiran-penafsiran
oleh para kaum intelektual muslim, melainkan dihadapkan pada sejumlah
pernyataan Ayat Al Quran dan sunnah yang kelihatannya menunjukkan
kontradiksi langsung. Sebagai contoh, Ayat al Qur‟an tentang poligami bagi
41
laki-laki, hak-hak unilateral kaum pria untuk bercerai, hak - hak kewarisan dan
otoritas kesaksian hukum pria yang lebih besar. Hadits - hadits tentang jilbab,
pemisahan gender, dan ketidaksesuaian kaum perempuan untuk menjadi
pemimpin sebuah komunitas muslim. Para cendekiawan liberal menentang
pernyataan-pernyataan dengan berbagai cara. Pertama-pertama memeriksa
kembali pernyataan-pernyataan tersebut dan kedua menyimpulkan bahwa
pernyataan-pernyataan itu tidak benar-benar mengurangi hak - hak kaum
perempuan sebagaimana anggapan sebelumnya.
Menurut perhitungan akal secara liberal, keadilan adalah ketika semua
manusia dapat memperoleh persamaan hak dalam hidup mereka, di mana tidak
semestinya terjadi kesenjangan dan ketimpangan di antara mereka, termasuk
antara laki-laki dan perempuan. Menurut keyakinan liberal, perempuan haruslah
mendapatkan hak dan kebebasan yang sama layaknya laki-laki, dan tidak
seharusnya memperoleh perlakuan yang dibeda-bedakan dari kaum laki-laki.
Dan di antara konsekuensi fatal dari keyakinan semacam itu adalah, bahwa
dalam aturan pembagian warisan, misalnya, jatah warisan bagi perempuan
haruslah disamakan dengan jatah warisan bagi laki-laki; atau juga misalnya
dalam perkara shalat, bahwa perempuan juga mesti diperbolehkan untuk menjadi
imam shalat bagi laki-laki; dan begitulah seterusnya dalam perkara-perkara yang
lain, yang mana pada intinya adalah bahwa perempuan haruslah disamakan
dengan laki-laki dalam hal apapun, di mana tiada lagi pemaksaan batasan bagi
mereka.
\
42
2.3.3 Perempuan dalam pemikiran Islam Moderat
Dalam wacana keberagamaan sekarang ini, istilah moderat
memiliki konotasi yang sangat positif. Moderat adalah kata yang menghipnotis.
Islam moderat, misalnya, dimaknai sebagai Islam yang anti-kekerasan dan anti-
terorisme. Islam moderat identik dengan Islam yang bersahabat, tidak ekstrem
kanan dan tidak ekstrim kiri. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pun
dengan tegas mengklaim dirinya sebagai representasi dari Islam yang moderat,
bukan liberal dan juga bukan fundamentalis.
Istilah moderat (moderate) berasal dari bahasa Latin moderare yang
artinya mengurangi atau mengontrol. Kamus The American Heritage Dictionary
of the English Language mendefinisikan moderate sebagai: not excessive or
extreme (tidak berlebihan dalam hal tertentu). Kesimpulan awal dari makna
etimologi ini bahwa moderat mengandung makna obyektif dan tidak ekstrim,
sehingga definisi akurat Islam Moderat adalah Nilai-nilai Islam yang dibangun
atas dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan (I‟tidal dan wasath). Menurut
Syaikh Yusuf Al Qardhawi, Wasatiyah (pemahaman moderat) adalah salah satu
karakteristik Islam yang tidak dimiliki oleh Ideologi-ideologi lain. Dalam
alquran di jelaskan: Dan demikianlah aku jadikan kalian sebagai Umat yang
pertengahan.(QS. Al Baqarah: 143). Beliau termasuk deretan ulama yang
menyeru kepada dakwah Islam yang moderat dan menentang segala bentuk
pemikiran yang liberal dan Radikal. Liberal dalam arti memahami Islam dengan
standar hawa nafsu dan murni logika yang cenderung mencari pembenaran yang
tidak ilmiah. Radikal dalam arti memaknai Islam dalam tataran tekstual yang
43
menghilangkan fleksibilitas ajarannya. Sehingga terkesan kaku dan tidak mampu
membaca realitas hidup. Padahal Rasulullah menegaskan : Hindarilah sifat
berlebihan dalam agama. Karena Umat sebelum kalian hancur hanya karena
sifat tersebut. (HR. Bukhari). Di dalam istilah ini, tercermin karakter dasar Islam
yang terpenting yang membedakan manhaj Islam dari metodologi-metodologi
yang ada pada paham-paham, aliran-aliran, serta falsafah lain. Sikap wasathiyah
Islam adalah satu sikap penolakan terhadap ekstremitas dalam bentuk kezaliman
dan kebathilan. Ia tidak lain merupakan cerminan dari fithrah asli manusia yang
suci yang belum tercemar pengaruh-pengaruh negatif.
Salah satu dari prinsip yang melandasi Islam Moderat yakni adalah
sensitifitas yang artinya Islam diturunkan oleh Allah sebagai penuntun,
pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan bagi umat manusia. Dengan
fungsi ini Islam mengakibatkan perubahan cara pandang pemeluknya terhadap
perempuan. Islam mendeklarasikan kesamaan hak dan kewajiban laki-laki dan
perempuan di hadapan Tuhan.
Islam Moderat memandang perempuan mempunyai persamaan dengan laki
– laki dalam hal kemuliaan dan juga Islam Moderat memandang bahwa setiap
jenis laki-laki dan perempuan memiliki kelebihan masing-masing. Allah
memberikan kelebihan bagi laki-laki atas perempuan dengan satu derajat firman-
Nya “dan bagi mereka (perempuan-perempuan) hak sebagaimana kewajiban
dengan makruf, bagi kaum lelaki atas mereka derajat, dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 228). Karenanya Allah SWT
memberikan tugas lebih berat bagi lelaki atas kaum perempuan; kaum lelakilah
44
yang mengemban tugas-tugas berat seperti kenabian, kepemimpinan global (al-
imamah al-uzhma), tugasqodho (peradilan), megimami shalat, jihad fi sabilillah.
Sebagaimana diberikan kekhususan kepada kaum pria seperti penisbatan anak
kepada bapaknya (lelaki), pembagian waris dua kali lipat atas bagian perempuan
dan sebagainya. Namun demikian, kelebihan tersebut yang merupakan karunia
dari Sang Pencipta alam semesta, tidak berarti pelecehan terhadap hak - hak
asasi perempuan dan tidak sama sekali berarti sikap diskriminatif terhadap
perempuan; tidak pula secara otomatis bahwa setiap lelaki lebih baik dari semua
perempuan
Posisi perempuan dalam Islam Moderat bisa dikatakan adalah yang paling
baik dari aliran Islam yang lain baik dari liberalis ataupun fundamentalis dilihat
dari diwajibkannya seorang perempuan untuk mendapatkan pendidikan secara
khusus, ini berkaitan dengan perannya sebagai seorang ibu di dalam keluarga,
bagaimana perempuan diwajibkan untuk mendapatkan pendidikan dasar hingga
pendidikan skill dan keterampilan sesuai dengan kebutuhan zaman lalu
bagaimana posisi perempuan di dalam Islam moderat mendapatkan kesetaraan
dengan laki – laki secara umum adapun terkait tugas masing – masing dalam
keluarga dan masyarakat ditetapkan sikap proporsional dalam hak dan kewajiban
mereka, begitupun di dalam hal kepemimpinan Islam moderat memperbolehkan
perempuan menjadi pemimpin selain dalam hal kekuasaan secara umum,
Islam Moderat juga berbicara mengenai peran social politik bagi kaum
perempuan, bisa dilihat dari tidak membeda – bedakannya antara laki – laki dan
perempuan, FirmanNya : ”inna akramakum 'indallahi atqakum, yang artinya
45
: sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling
bertaqwa, terdapat sebuah penegasan bahwa Allah SWT sama sekali tidak pilih
kasih dalam hal pahala dan ganjaran. Allah juga tidak pilih kasih dalam hal dosa.
Demikian pula persamaan dalam kewajiban-kewajibannya sebagai hamba
termasuk pula kewajiban-kewajiban terhadap agamanya. Semua itu dilakukan
dalam rangka menyiapkan perempuan muslimah untuk mengemban peran besar
dalam kehidupan sosial politik umat. Dengan demikian pemikiran Islam moderat
sangat mengakomodir peran-peran strategis dalam kehidupan sosial dan politik;
peran dalam rumah tangga, peran di mesjid, memberantas buta aksara, peran
arahan dan bimbingan masyarakat, pendidikan dan pengajaran, peran dalam
amar makruf nahi munkar, peran memberdayakan sesama kaum perempuan,
peran mengembangkan ilmu pengetahuan dan dakwah kepada kebajikan, peran-
peran perempuan dalam bidang kesehatan dsb.
Dalam pemikiran Islam moderat bahkan menganjurkan perempuan –
perempuan muslimah untuk berperan aktif dalam rumah tangga, masyarakat,
negara dan pemerintahan tanpa mengorbankan kewajiban-kewajibannya yang
lain sebagai istri, ibu rumah tangga; karena semua hal tersebut dilakukan secara
seimbang, moderat dan adil antara hak dan kewajiban, dengan tetap menjaga
harga diri dan kehormatannya selaku makhluk Allah yang dimuliakan dan
dihormati. Peran perempuan dalam ranah politik, khususnya dalam kesertaan di
parlemen suatu negara, maka hal itu dibolehkan selama ada kemaslahatan.
Kalimat dibolehkan disini tidak berarti keharusan dan kewajiban, tetapi diboleh
dalam batas kemaslahtan dan kemudharatan. Kecuali posisi kepala negara, maka
46
hal tersebut diserahkan kepada lelaki, karena bagi perempuan secara umum
amanat kepala negara merupakan suatu yang berat dan di luar kemampuan
perempuan dalam menghadapi persoalan negara yang sangat kompleks dan
pelik. Sangat nampak jelas bahwa peran perempuan di ranah sosial politik
merupakan peran yang tidak boleh dikebiri dan dipasung. Perempuan bahkan
sejatinya memainkan perannya dalam ranah ini sesuai dengan adab dan etika
Islam, tanpa mengorbankan kehormatan dan kemuliaan dirinya sebagaimana
diberikan penghargaan tersebut oleh Islam.
2.4 Representasi
Representasi biasanya di pahami sebagai gambaran suatu yang akurat atau
realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya sebatas to present, to image, atau
to depict. Representasi diartikan sebagai suatu cara dimana memaknai apa yang
di berikan pada objek yang digambarkan. Konsep awal mengenai representasi
didasarkan pada premis bahwa ada suatu gap representasi yang menjelaskan
perbedaan makna yang diberikan oleh representasi dan arti objek yang sebenarnya
di gambarkan.
Berlawanan dengan pemahaman awal tersebut, Stuart Hall menyatakan
bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif memaknai dunia.
“So the respresentation is the way which meaning is some how given to the things
which are depicted through the image or wherever it is, on screens or the words
on a page which stands what we „re talking about”
47
Hall menjelaskan bahwa sebuah imaji yang dibuat mempunyai makna
yang berbeda dan tidak dapat di pastikan imaji tersebut dapat berfungsi dan
bekerja sebagaimana mereka di ciptakan atau di kreasikan. Hall menyatakan
bahwa resprentasi di anggap sebagai suatu konstitutif, ini karena representasi tidak
akan terbentuk sebelum ada kajadian yang menyertainya. Representasi adalah
konstitutif dari sebuah kejadian dan representasi merupakan sebuah objek dari
bagian representasi itu sendiri.
Kedua, representasi dapat didefinisikan lebih jelasnya sebagai penggunaan
tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan,
memotret atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan. Dengan,
atau dirasakan dalam benda fisik tertentu19
. Dengan kata lain, proses menaruh X
dan Y secara berbarengan itu sendiri. Menentukan makna X = Y bukanlah
pekerjaan yang mudah. Maksud dari pembuat bentuk, konteks sejarah dan social
saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya dan sebagainya, merupakan faktor
kompleks yang masuk dalam sebuah lukisan. Sebenarnya, salah satu dari berbagai
tujuan utama semiotika adalah untuk mempelajari faktor-faktor tersebut
2.5 Novel
Novel dalam kamus besar bahasa Indonesia merupakan karangan prosa
yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang
orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap perilaku.
19 Akhmad Padila, Representasi Sensualitas Perempuan dalam Iklan, Fakultas Ilmu Sosial dan
Humaniora, UIN Sunan Kalijaga, 2013, hlm.20
48
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia.
Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas
pada masyarakat.
Novel merupakan media komunikasi, melalui media novel itulah
pengarang mengkomunikasikan sebuah pesan. Sementara, kegiatan komunikasi
tidak dapat dipisahkan dengan proses pembentukan makna ( Lindlof, 1995:13 )20
.
Novel merupakan salah satu bentuk teks, novel memiliki sifat polisemi dan
membuka peluang pembacanya untuk memaknai sebuah teks tersebut secara
berbeda ( McQuail, 1997:19 ). Novel modern selama ini lebih banyak diteliti
sebagai karya sastra daripada sebagai media komunikasi modern (Hoed, 1989:6 ).
Sebenarnya sebagai media massa cetak berbentuk fisik, novel digemari karena
mampu tampil secara individu , personal serta isi pesannya sangat spesifik dan
mendalam. Isi pesan dalam novel saat ini begitu banyak menyajikan gambaran
suatu realitas sosial saat ini.
Ditinjau dapat dari penjelasan diatas, maka karya sastra berbentuk buku
yang dibuat oleh penulis atau pengarang yaitu novel, dapat digolongkan sebagai
sebuah media massa seperti media cetak yang dapat memberikan kehidupan dan
informasi bagi pembacanya. Novel juga memiliki fungsi untuk menghibur dan
persuasif ( mempengaruhi ) pembacanya. Selain itu novel juga banyak digunakan
untuk keperluan studi, pengetahuan, hobi atau media hiburan dengan penyajian
mendalam yang sangat jarang ditemukan pada media lain.
20 Dhika Widyanintya, Representasi Perjuangan Hidup dalam Novel “surat kecil untuk tuhan”,
FISIP , UPN, 2011, hlm.3
49
2.6 Semiotika
Semiotik (semiotics) berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti
tanda atau sign. Tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat
komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else)
yang dapat dipikirkan atau dibayangkan (Broadbent, 1980). Semiotik adalah ilmu
yang mempelajari sistem tanda atau teori tentang pemberian tanda.
Istilah semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika sedangkan di Eropa
lebih banyak menggunakan sitilah semiologi. Semiotik adalah cabang ilmu yang
berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:
1)21
. A. Teew (1984: 6) mendefinisikan semiotika adalah tanda sebagai tindak
komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model model sastra yang
mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman
gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun.
Bahasa sebagai sistem tanda seringkali mengandung „sesuatu‟ yang
misterius. Sesuatu yang terlihat terkadang tidak sesuai dengan realita yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, pengguna bahasalah – manusia – yang
mempunyai otoritas untuk melihat dan mencari seperti apa „sesuatu‟ yang tidak
tampak pada bahasa.
21 Ni Wayan Sartini, Tinjauan Teoritik tentang Semiotik, diakses dari
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/Tinjauan%20Teoritik%20tentang%20Semiotik.pdf pada
7 Maret 2016 pukul 15.21
50
Teori semiotik adalah teori kritikan pascamodern, ia memahami karya
sastra melalui tanda-tanda atau perlambangan yang ditemui di dalam teks. Teori
ini berpendapat bahwa dalam sebuah teks terdapat banyak tanda dan pembaca atau
penganalisis harus memahami apa yang dimaksudkan dengan tanda-tanda
tersebut. Hubungan antara tanda dengan acuan dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu:
1. Ikon
Ada kemiripan antara acuan dengan tanda. Tanda merupakan gambar/arti
langsung dari petanda. Misalnya, foto merupakan gambaran langsung yang difoto.
Ikon masih dapat dibedakan atas dua macam, yakni ikon tipologis, kemiripan
yang tampak disini adalah kemiripan rasional. Jadi, didalam tanda tampak juga
hubungan antara unsur-unsur yang diacu, contohnya susunan kata dalam kalimat,
dan ikon metaforis, ikon jenis ini tidak ada kemiripan antara tanda dengan
acuannya, yang mirip bukanlah tanda dengan acuan melainkan antar dua acuan
dengan tanda yang sama. Kata kancil misalnya, mempunyai acuan „binatang
kancil‟ dan sekaligus „kecerdikan‟.
2. Indeks
Istilah indeks berati bahwa antara tanda dan acuannya ada kedekatan
ekstensial. Penanda merupakan akibat dari petanda (hubungan sebab akibat).
Misalnya, mendung merupakan tanda bahwa hari akan hujan, asap menandakan
adanya api. Dalam karya sastra, gambaran suasana muram biasanya merupakan
indeks bahwa tokoh sedang bersusah hati.
51
3. Simbol
Simbol yang ada tentunya sudah mendapat persetujuan antara pemakai
tanda dengan acuannya. Misalnya, bahasa merupakan simbol yang paling lengkap,
terbentuk secara konvensional, hubungan kata dengan artinya dan sebagainya.
Ada tiga macam simbol yang dikenal, yakni simbol pribadi, misalnya seseorang
menangis bila mendengar sebuah lagu gembira karena lagu itu telah menjadi
lambang pribadi ketika orang yang dicintainya meninggal dunia, simbol
pemufakatan, misalnya burung Garuda/Pancasila, bintang= keutuhan, padi dan
kapas= keadilan sosial, dan simbol universal, misalnya bunga adalah lambang
cinta, laut adalah lambang kehidupan yang dinamis.
2.7 Semiotika Roland Barthes
Semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak keluar
kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit,
tersembunyi dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan
perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti penunjukkan (denotative).
Salah satu pakar semiotik yang memfokuskan permasalahan semiotic pada dua
makna tersebut adalah Roland Barthes. Ia adalah pakar semiotik Prancis yang
pada tahun 1950-an menarik perhatian dengan telaahnya tentang media dan
budaya pop menggunakan semiotik sebagai alat teoritisnya. Tesis tersebut
mengatakan bahwa struktur makna yang terbangun di dalam produk dan genre
media diturunkan dari mitos mitos kuno, dan berbagai peristiwa media ini
52
mendapatkan jenis signifikansi yang sama dengan signifikansi yang secara
tradisional hanya dipakai dalam ritual-ritual keagamaan.
Dalam terminologi Barthes, jenis budaya populer apapun dapat diurai
kodenya dengan membaca tanda-tanda di dalam teks. Tanda-tanda tersebut adalah
hak otonom pembacanya atau penonton. Saat sebuah karya selesai dibuat, makna
yang dikandung karya itu bukan lagi miliknya, melainkan milik pembaca atau
penontonnya untuk menginterpretasikannya begitu rupa.
Representasi menurut Barthes menunjukkan bahwa pembentukan makna
tersebut mencakup sistem tanda menyeluruh yang mendaur ulang berbagai makna
yang tertanam dalam-dalam di budaya Barat misalnya, dan menyelewengkannya
ke tujuan tujuan komersil. Hal ini kemudian disebut sebagai struktur22
. Sehingga,
dalam semiotik Barthes, proses representasi itu berpusat pada makna denotasi,
konotasi, dan mitos. Ia mencontohkan, ketika mempertimbangkan sebuah berita
atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain
mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out,
rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga
menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut
fenomena ini – membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu –
sebagai penciptaan mitos.
22 Danesi, Semiotika Media, hlm.8
53
Untuk itulah, Barthes meneruskan pemikiran Saussure dengan
menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami
dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Two
Order of Signification” (Signifikansi Dua Tahap).
Gambar 2.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes
Melalui gambar di atas, Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan
signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di
dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai
denotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikansi tahap
kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan
54
perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Pada
signifikansi tahap kedua yang berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos23
.
Makna Denotasi:
Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan
sebagainya.Makna ini tidak dibisa dipastikan dengan tepat, karena makna
denotasi merupakan generalisasi. Dalam terminologi Barthes, denotasi
adalah system signifikansi tahap pertama. Signifikasi tahap pertama
merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda
terhadap realitas eksternal, dan dalam semiotika Barthes, ia menyebutnya
sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Maka dalam konsep
Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun
juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Dalam hal ini, denotasi diasosiasikan dengan ketertutupan
makna24
. Menurut Lyons, denotasi adalah hubungan yang digunakan
dalam tingkat pertama pada kata yang secara bebas memegang peranan
penting di dalam ujaran25
. Denotasi dimaknai secara nyata. Nyata diartikan
sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya atau terkadang
dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi denotasi
biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai
dengan apa yang terucap. Misalnya ketika seseorang mengucapkan kata
23
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik dan Analisis Framing (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 128.
24 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2009, hlm 70.
25 Ibid hlm 263
55
“anjing” maka yang dimaksudkan dari pengucapan kata “anjing” tersebut
adalah konsep tentang keanjingan, seperti berkaki empat, mamalia,
ekornya selalu bergoyang, menggigit dan suka menggonggong. Dalam
semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat
pertama, yang kemudian dilanjutkan oleh sistem signifikasi konotasi yang
berada di tingkat kedua.
Makna Konotasi:
Makna yang memiliki „sejarah budaya di belakangnya‟ yaitu bahwa ia
hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikansi tertentu.
Konotasi adalah mode operatif dalam pembentukan dan penyandian teks
kreatif seperti pusis, novel, komposisi musik, dan karya-karya seni.Istilah
konotasi digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua.
Kata “konotasi” sendiri berasal dari bahasa Latin, “connotare” yang
memiliki arti “menjadi tanda” serta mengarah pada makna-makna kultural
yang terpisah dengan kata atau bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Makna
konotatif adalah gabungan antara makna denotatif dengan segala gambar,
ingatan dan perasaan yang muncul ketika indera kita bersinggungan
dengan petanda. Sehingga akan terjadi interaksi saat petanda bertemu
dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari
kebudayaannya. Contohnya ketika kita menyebutkan kata “vespa”, makna
denotasi “vespa” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah skuter,
kendaraan bermotor beroda dua yang rodanya lebih kecil daripada sepeda
motor. Namun secara konotatif kata “vespa” akan dimaknai sebagai
56
sesuatu yang membuat bahagia, mengingatkan akan perjalanan ke suatu
tempat dan identik dengan seseorang yang terlibat dalam ingatan akan
kata “vespa” tersebut. Jika ditelaah melalui kerangka Barthes, konotasi
identik dengan operasi ideologi yang disebut sebagai mitos serta berfungsi
untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai
dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi mengacu
pada makna yang menempel pada suatu kata karena sejarah pemakainya,
oleh karena itu dapat dimaknai secara berbeda oleh setiap individu. Jika
denotasi sebuah kata dianggap sebagai objektif kata tersebut, maka
konotasi sebuah kata dianggap sebagai makna subjektif atau
emosionalnya. Arthur Asa Berger menyatakan bahwa konotasi melibatkan
symbol simbol, historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional.
Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa terdapat
pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan
rasa dan nilai tertentu26
. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti
banyak orang, maka makna konotatif hanya bisa dicerna oleh mereka
yang jumlahnya lebih kecil.
Mitos:
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebut dengan mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai - nilai dominan yang berlaku dalam
26 Ibid
57
suatu periode tertentu, jadi mitos memiliki tugasnya untuk memberikan
sebuah justifikasi ilmiah kepada kehendak sejarah, dan membuat
kemungkinan tampak abadi. Dalam Alex Sobur (2009:71) Budiman
mengatakan pada kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi
ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan memiliki fungsi untuk
memberikan pembenaran bagi nilai nilai dominan yang berlaku pada
periode tertentu27
. Selain itu, dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi
penanda, petanda dan tanda. Mitos biasanya dianggap sama dengan
dongeng, dan dianggap sebagai cerita yang aneh serta sulit dipahami
maknanya katau diterima kebenarannya karena kisahnya irasional (tidak
masuk akal). Namun, berangkat dari ketidakmasuk akalan tersebut lah
akhirnya muncul banyak penelitian tentang mitos yang melibatkan banyak
ilmuwan Barat. Mereka menaruh minat untuk meneliti teks-teks kuno dan
berbagai mitos yang telah mereka kumpulkan dari berbagai tempat dan
berbagai suku bangsa di dunia. Manusia banyak bertanya-tanya tentang
segala hal yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari. Menurut mitologi
Yunani, pertanyaan-pertanyaan manusia tentang kejadian di alam semesta
sudah dijawab, namun dikemas dalam bentuk mitos. Oleh sebab itu dalam
bahasa Yunani dikenal mitos yang berlawanan dengan logika (muthos dan
logos). Dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa
penanda. Imperialisme Inggris misalnya, ditandai oleh berbagai ragam
penanda, seperti penggunaan baju pada perempuan di zaman Victoria,
27 Ibid hlm 71
58
bendera Union Jack yang lengan-lengannya menyebar ke delapan penjuru,
bahasa Inggris yang kini telah mendunia, dan lain-lain.
Mitos, oleh Barthes disebut sebagai tipe wicara. Ia juga menegaskan
bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal
ini memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah
objek, konsep, atau ide; mitos adalah cara penandaan (signification), sebuah
bentuk. Segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana.
Dalam mitos, sekali lagi kita mendapati pola tiga dimensi yang disebut Barthes
sebagai: penanda, petanda, dan tanda. Ini bisa dilihat dalam peta tanda Barthes
yang dikutip dari buku Semiotika Komunikasi, karya Alex Sobur:
Gambar 2.2 Peta Tanda Roland Barthes
Dari peta Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur
material: hanya jika anda mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga
59
diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes,
tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung
kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
2.8 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir penelitian ini berdasarkan uraian landasan konsep dan
teori yang telah dipaparkan. Peneliti menggambarkan kerangka berpikir dalam
menganalisis novel Ratu yang Bersujud lewat diagram berikut ini
Perempuan sebagai makhluk kasta kedua
Perempuan dalam Islam
Konotasi Denotasi
Representasi
Mitos
Novel Ratu yang Bersujud
Representasi nilai perempuan dalam Islam pada novel
Ratu yang Bersujud
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berpikir
60
Kerangka berpikir penelitian ini menjabarkan perempuan sebagai makhluk
kasta kedua dikarenakan peran dan kedudukannya dilanjutkan dengan perempuan
dalam pandangan Islam sebagai akar masalah dalam penelitian bagaimana
ternyata perempuan di dalam Islam sudah diatur peran dan kedudukannya di
dalam Alquran. Peneliti memilih novel Ratu yang Bersujud sebagai objek
penelitian yang akan dianalisis karena didalamnya sesuai dengan permasalahan
yang ingin diteliti. Dalam novel Ratu yang Bersujud peneliti akan melihat teks
atau kalimat yang hanya merepresentasikan perempuan sebagai unit analisisnya.
Alat analisis yang peneliti gunakan adalah teori semiotika Roland Barthes tentang
denotasi, konotasi dan mitos, untuk mencari denotasi peneliti melihat teks atau
kalimat yang menandakan makna awal dari perempuan, selanjutnya konotasi
peneliti akan melihat teks atau kalimat yang maknanya menempel pada suatu kata
karena sejarahnya yang berkaitan tentang perempuan dan yang terakhir mitos
peneliti akan melihat teks atau kalimat yang didalamnya terdapat penggabungan
makna denotasi dan konotasi misalnya perempuan adalah makhluk kasta kedua,
mitos ini didapat dari makna denotative dari perempuan yaitu makhluk yang
lemah dan makna konotasi dari perempuan yaitu seseorang yang hanya bekerja di
rumah.
61
2.9 Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian terdahulu sebagai
perbandingan dan tolak ukur penelitian. Untuk menghindari kesamaan terhadap
penelitian yang telah ada sebelumnya, maka peneliti mengadakan peninjauan
terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya. Berikut ini beberapa penelitian
terdahulu yang dijadikan peneliti sebagai referensi dalam melakukan penelitian
mengenai representasi yang menggunakan metode penelitian semiotik sebagai
berikut:
Skripsi yang berjudul “REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM
PEREMPUAN TETAP PEREMPUAN” yang disusun oleh Eviyono Adi Wibowo
tahun 2015, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Informatika,
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian ini termasuk jenis penelitian
studi kualitatif. Subjek penelitiannya adalah film “Perempuan tetap Perempuan”.
Objek penelitiannya adalah scene yang merepresentasikan perempuan yang ada
dalam film Perempuan tetap Perempuan. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis semiotik dengan mengambil teori dari Roland Barthes.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat tanda-tanda perempuan kuat,
pintar dan bekerja keras dalam scene dan tanda verbal yang ada dalam film ini.
Kemudian Jurnal yang berjudul “REPRESENTASI PEREMPUAN
DALAM SAMPUL ALBUM RAISA” yang disusun oleh R.A Granita Dwisthi
Ismujihastuti , Adi Bayu Mahadian, S.Sos., M.I. Kom tahun 2013, Jurusan Ilmu
Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Universitas Telkom. Penelitian ini
62
termasuk jenis penelitian studi kualitatif. Subjek penelitiannya adalah sampul
album “Raisa” dan “Heart to Heart”. Objek penelitiannya adalah elemen – elemen
komunikasi visual yang merepresentasikan perempuan yang ada dalam sampul
album “Raisa” dan “Heart to Heart”. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis semiotik dengan mengambil teori dari Roland Barthes.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat pemaknaan denotatif (tentang
representasi perempuan adalah bahwa penggambaran perempuan secara ideal
adalah memiliki rambut panjang yang indah, ber make up, menggunakan aksesoris
seperti kalung, gelang, cincin, hair piece dan lain-lain dalam kesehariannya.
Menggunakan warna-warna pastel atau menggunakan warna-warna cerah dalam
penampilannya sehari-hari), pemaknaan konotatif (tentang representasi
perempuan adalah warna-warna pastel dan warna cerah menunjukan sisi lemah
lembut dan ceria dari seorang perempuan. Warna yang sedikit gelap menunjukan
sisi anggun, namun dapat juga dinilai sebagai warna yang elegan atau cenderung
maskulin. Rambut panjang serta indah yang menjadi salah satu tanda representasi
perempuan dimaknai sebagai wujud ketekunan perempuan dalam menjaga hal hal
yang dimilikinya) dan Mitos (bahwa penanda, petanda dan tanda yang terdapat
dalam sampul album Raisa merepresentasikan gambaran sosok perempuan dalam
kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai yang berkembang dalam masyarakat.)
perempuan yang ada sampul album “Raisa” dan “Heart to Heart”.
63
No ITEM PENELITIAN TERDAHULU PENELITI
AN
TERDAHU
LU
PENELITI
1 Nama Eviyono Adi Wibowo R.A Granita
Dwisthi
Ismujihastuti
, Adi Bayu
Mahadian,
S.Sos., M.I.
Kom
Bayu Teja
Kusuma
2 Judul REPRESENTASI PEREMPUAN
DALAM FILM PEREMPUAN
TETAP PEREMPUAN
REPRESEN
TASI
PEREMPUA
N DALAM
SAMPUL
ALBUM
RAISA
REPRESEN
TASI
PEREMPU
AN
DALAM
NOVEL
RATU
YANG
BERSUJUD
3 Tahun 2015 2013 2016
64
4 Tujua
n
Peneli
tian
Untuk mengetahui representasi
perempuan dalam film Perempuan
tetap Perempuan
untuk
mengetahui
penanda dan
petanda yang
merepresenta
sikan tentang
perempuan
dalam
sampul
album self-
titled
“Raisa” dan
“Heart to
Heart”
Menjelaskan
representasi
perempuan
melalui
denotative,
konotatif
dan mitos
dalam novel
Ratu yang
Bersujud
5 Teori Semiotika Roland Barthes Semiotika
Roland
Barthes
Semiotika
Roland
Barthes
6 Paradi
gma
- konstruktivis -
7 Hasil
Peneli
tian
menunjukan bahwa terdapat tanda-
tanda perempuan kuat, pintar dan
bekerja keras dalam scene dan
Terdapat
pemaknaan
denotatif,
-
65
tanda verbal yang ada dalam film
“Perempuan tetap Perempuan”
pemaknaan
konotatif,
dan mitos
perempuan
pada sampul
album
“Raisa” dan
“Heart to
Heart”
8 Persa
maan
Sama sama menggunakan metode
analisis semiotik dengan teori
semiotika Roland Barthes
Sama sama
menggunaka
n metode
analisis
semiotik
dengan teori
semiotika
Roland
Barthes
Sama sama
menggunaka
n metode
analisis
semiotik
dengan teori
semiotika
Roland
Barthes
9 Perbe
daan
Tidak menyebutkan teori yang
digunakan pada teknik analisis data
apakah mengacu pada peta tanda
barthes atau signifikansi dua tahap
Tidak
menyebutkan
teknik
pengumpula
Menggunaka
n teori yang
berkaitan
dengan
66
n data signifikansi
dua tahap
barthes pada
teknik
analisis data
10 Kritik Tidak mengaitkan teori pada teknik
analisis data
Tidak ada
teknik
pengumpula
n data
-
11 Sumb
er
http://digilib.unila.ac.id/12047/13/B
AB%20II.pdf
https://reposi
tory.telkomu
niversity.ac.i
d/pustaka/fil
es/100097/ju
rnal_eproc/re
presentasi-
perempuan-
dalam-
sampul-
album-raisa-
analisis-
semiotik-
Penelitian
Skripsi
Penulis
tahun 2016
67
roland-
barthes-
terhadap-
sampul-
album-raisa-
andriana-
raisa-dan-
heart-to-
heart-.pdf
Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu
68
BAB III
Metodologi Penelitian
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik. Analisis semiotik
adalah metode penelitian untuk menafsirkan makna dari suatu pesan komunikasi
baik yang tersirat (tertulis) maupun yang tersurat (tidak tertulis/terucap). Makna
yang dimaksud mulai dari parsial sebagian bagian saja hingga makna
komprehensif atau luas. Sehingga dapat diketahui motif komunikasi dari
komunikatornya. Metode semiotika dikembangkan untuk menafsirkan simbol
komunikasi sehingga dapat diketahui bagaimana komunikator mengkontruksi
pesan untuk maksud – maksud tertentu. Melalui analisis semiotika dapat dikupas
tanda dan makna yang diterapkan pada sebuah naskah pidato, iklan, novel, film,
dan naskah lainnya. Hasil analisis rangkaian tanda itu akan dapat menggambarkan
konsep pemikiran yang hendak disampaikan oleh komunikator, dan rangkaian
tanda yang terinterpretasikan menjadi suatu jawaban atas pertanyaan nilai – nilai
ideologi dan kultural yang berada di balik sebuah naskah.
Metode analisis semiotik lebih bersifat interpretif-kualitatif yaitu sebuah
metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai obyek kajiannya,
serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode di balik tanda dan teks
tersebut. Seperti halnya dalam analisis wacana, pada umumnya ada tiga jenis
68
69
masalah yang hendak diulas dalam analisis semiotik. Pertama, masalah makna.
Bagaimana orang memahami pesan? Informasi apa yang dikandung dalam stuktur
sebuah pesan? Kedua, masalah tindakan atau pengetahuan tentang bagaimana
memperoleh sesuatu melalui pembicaraan. Ketiga, masalah koherensi, yang
menggambarkan bagaimana membentuk suatu pola pembicaraan masuk akal dan
dapat dimengerti. Ada tiga unsur yang menjadi pusat perhatian penafsiran teks
secara kontekstual, yaitu (Sudibyo, Hamd, Qodari, 2000:23)28
:
1. Medan Wacana (field of discourse): menunjuk pada hal yang terjadi, apa
yang dijadikan wacana oleh pelaku mengenai sesuatu yang sedang terjadi
dilapangan peristiwa.
2. Pelibat wacana (tenor of discourse): menunjuk pada orang-orang yang
dicantumkan dalam teks (berita); sifat orang-orang itu, kedudukan dan
peran mereka.
3. Sarana Wacana (mode of discourse) menunjuk pada bagian yang
diperankan oleh bahasa bagaimana komunikator (media massa)
menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan
pelibat orang-orang yang dikutif), apakah menggunakan bahasa yang
diperhalus atau hiperbolik, eufemistik atau vulgar.
28 Kerangka dan Langkah - Langkah Penelitian Analisis Semiotika diakses dari
http://element.esaunggul.ac.id/file.php?file=%2F6004%2FKerangka_dan_Langkah.pdf pada 22
Maret 2016 pukul 19.02
70
3.2 Fokus Penelitian
Agar mempermudah dalam melaksanakan penelitian maka diperlukan
fokus penelitian. Adapun fokus penelitian yang diambil oleh penulis dalam
penelitian ini yaitu menganalisis representasi perempuan pada novel Ratu yang
Bersujud , dengan menggunakan teori semiotika Barthes . Fokus penelitian dalam
penelitian ini adalah teks atau kalimat yang terkandung dalam novel Ratu yang
Bersujud karya Mahdavi.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang relevan dengan tujuan penelitian, maka
penulis menggunakan beberapa teknik dalam mengumpulkan data. Dengan
menggunakan beberapa cara itu diharapkan dapat diperoleh data yang
representatif. Teknik-teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data tersebut
meliputi:
3.3.1 Studi Pustaka
Studi pustaka adalah metode pengumpulan data dan informasi dengan
menggunakan data yang diperoleh orang lain melalui penelitian sebelumnya,
atau yang diperoleh dari sumber tertulis yang terdapat dalam berbagai referensi
buku, surat kabar dan lain sebagainya. Salah satu hal yang perlu dilakukan
dalam persiapan penelitian ialah mendayagunakan sumber informasi yang
terdapat di perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia. Ada dua jenis data
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
71
1. Data Primer
Data primer merupakan informasi yang dikumpulkan peneliti
langsung dari sumbernya yaitu novel Ratu yang Bersujud . Data
primer yang diambil peneliti adalah dialog yang merepresentasikan
perempuan dilakukan oleh Charlotte selaku pemeran utama dan
Lale sebagai pemeran pembantu dalam novel Ratu yang Bersujud
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan informasi yang telah dikumpulkan orang
lain, disini peneliti menggunakan beberapa artikel – artikel yang
berkaitan dengan perempuan (perempuam dalam islam, muslimah,
kesetaraan dan ketidakadilan gender, realitas perempuan dll) yang
diambil baik dari situs internet maupun jurnal ilmiah yang
penelitiannya terkait dengan representasi perempuan serta
dokumen dan buku yang membahas tentang perempuan terkait
dengan penelitian ini.
3.3.2 Dokumentasi
Penelitian ini dilakukan dengan mendokumentasikan secara langsung
Novel Ratu yang Bersujud karya Mochammad Mahdavi untuk mengetahui
lebih mendalam mengenai representasi perempuan yang terdapat di dalam
novel tersebut.
72
3.4 Teknik Analisis Data
Menurut Bogdan dan Biklen, analisis data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dana pa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain29
.
Selanjutnya dalam penelitian ini langkah-langkah analisis data menggunakan
pendapat Ian Dey yaitu melalui tiga proses yang berkaitan yaitu: mendeskripsikan
fenomena, mengklasifikasikannya, dan melihat bagaimana konsep - konsep yang
muncul itu satu dengan lainnya berkaitan30
. Teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah semiotika milik Roland Barthes yang berkaitan pada tatanan
signifikasi dua tahap
Gambar 3.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes
29 Pupu Saeful Rahmat, “Penelitian kualitatif”, EQUILIBRIUM, vol 5, no 9, Januari – Juni 2009, 1-8
30 Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2007, Hal. 289
73
Penelitian ini menggunakan analisis data dengan teknik analisis semiotik
teori Roland Barthes, yang menggunakan penekanan pada pemaknaan dari suatu
sistem tanda (kode) melalui system pemaknaan tingkat pertama atau yang biasa
disebut dengan denotasi, selanjutnya ke sistem pemaknaan tingkat kedua yang
disebut konotasi dan yang terakhir berupa pengungkapan mitos mengenai tanda
serta simbol perempuan. Tahapan - tahapan dalam proses analisisnya adalah
sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified
(content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal sebagai
signifikansi tahap pertama, disebut sebagai denotasi, yang terdapat dalam
novel Ratu yang Bersujud dan digambarkan melalui tanda - tanda yang
terbentuk dalam kalimat
2. Mengidentifikasi hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified
(content) di dalam sebuah tanda terhadap perasaan atau emosi dari
pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya sebagai signifikansi tahap
kedua, yang disebut sebagai konotasi,
3. Mengidentifikasi bagaimana kebudayaan (konotasi) menjelaskan atau
memahami beberapa aspek tentang realitas (denotasi) disebut sebagai
mitos
4. Menjelaskan pemaknaan berkenaan dengan kalimat yang
merepresentasikan perempuan dalam novel Ratu yang Bersujud
5. Menarik kesimpulan.
74
3.5 Lokasi dan Jadwal Penelitian
Penelitian mengenai nilai perempuan dalam Islam pada novel Ratu yang
Bersujud ini mulai dilakukan pada bulan Januari 2016. Pengambilan data dan
pengetikan Penelitian bertempat di Kota dan Kabupaten Serang.
No Kegiatan
Jan
uari
Feb
ruari
Mare
t
Ap
ril
Mei
Ju
ni
Ju
li
Agu
stu
s
Sep
tem
ber
Ok
tob
er
Novem
ber
Des
emb
er
1 Pra Penelitian
2 Penelitian Bab
1-3
3 Pengumpulan
data
4 Penyusunan
Bab 4
5 Penyusunan
Bab 5
6 Pelaksanaan
Sidang
*Ket: Januari – Desember 2016
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian
75
BAB IV
ANALISIS
4.1 Objek Penelitian
4.1.1 Novel
Gambar 4.1 Cover Novel Ratu yang Bersujud
MAHDAVI - RATU YANG BERSUJUD
Republika, 396 Hal, 2012
Original Soundtrack : Harmoni Sang Cinta – Denda
75
76
Awalnya, Charllotte Melati Neumuller—seorang gadis keturunan Jerman -
Indonesia adalah seorang feminis sejati. Begitu gigih ia membela kepentingan kaum
perempuan. Ia menganggap bahwa agama, terutama Islam, telah melegitimasi
perlakuan diskriminatif dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Kehadiran Lale,
sepupunya, di Berlin membawa dimensi baru bagi kehidupan Charllotte. Lale
menjawab dengan sangat indah segala kecurigaan Charllotte. Lale menyadarkan
Charllotte bahwa persepsi yang diyakininya selama ini terbentuk oleh berbagai
propaganda jahat. “Hijab adalah pembebasan dari ketergantungan kosmetik dan
topeng. Hijab adalah pembebasan untuk jujur pada hatimu. Hijab adalah pembebas
jiwamu dari rantai-rantai duniawi.” Berbagai ujian memilukan yang dialami
Charllotte serta kisah cinta yang indah turut menyempurnakan kisah dalam novel ini.
Sebuah novel yang akan menginspirasi para muslimah untuk tampil dan berani
berdialog tentang Islam dan perempuan di dalam kehidupan sehari-hari, lingkungan,
bahkan dunia internasional.
4.1.2 Perempuan dalam Novel
Charlotte Melati Neumuller merupakan tokoh utama dalam novel Ratu
yang Bersujud, diceritakan bahwa Charlotte adalah perempuan ketrunan Jerman -
Indonesia dan seorang mahasiswi jurusan filsafat di universitas Humboldt.
Charlotte awalnya adalah seorang kaum feminis liberal yang sangat aktif
menyuarakan kesetaraan gender, Charlotte beranggapan bahwa agama Islam
adalah agama yang melakukan diskriminasi terhadap perempuan dengan adanya
aturan bahwa perempuan diwajibkan memakai hijab yang menyebabkan
perempuan tidak bisa berekspresi lalu diperbolehkannya poligami bagi laki – laki
77
terhadap perempuan serta diperbolehkannya memukul seorang suami terhadap
istri yang ada dalam kitab suci umat Islam.
Charlotte sebenarnya memiliki seorang sepupu yang merupakan muslim
bernama Lale.dia tinggal di Indonesia bersama keluarganya. Ibu Lale bernama
Mawar yang merupakan adik kandung dari ibu Charlotte dan sebelumnya
beragamakan Evangelikal. Kakek mereka merupakan seorang pendeta keturunan
Jerman – Indonesia. Mawar bertemu dengan suaminya yang berkebangsaan turki
dan seorang muslim yang taat. Hal itulah yang membuat mawar berpindah agama
menjadi muslim lalu menikah dan direstui oleh Ayahnya yang memiliki
pandangan liberal. Semula keluarga mawar beranggapan bahwa itu adalah aib,
karena memeluk agama Islam merupakan pilihan yang memalukan. Lale dan
ibunya berencana untuk mengunjungi rumah Charlotte sekaligus untuk
menghadiri seminar disana . sudah sangat lama mereka tidak bersilaturahmi secara
langsung karena biasanya hanya melalui telepon. Lebih dari sepuluh tahun mereka
tidak bertemu dan perbedaan mulai terlihat. Lale yang dahulu tidak menggunakan
hijab sekarang dengan anggun menutupi rambutnya dengan hijab yang rapi
begitupun dengan ibunya. Ada keteduhan saat melihatnya. Kedatangan Lale
merupakan undangan kusus untuk mengadiri acara seminar yang telah disiapkan
oleh Charlotte dan komunitasnya untuk mengkampanyekan feminis. Charlotte
sangat terkejut karena tidak pernah disangka bahwa sepupu kesayangannya itu
akan mengikuti seminar tersebut. Seminar yang akan memojokkan kaum muslim.
Namun Charlotte menyimpan keterkejutanya itu dalam-dalam.`
78
Setiap hari Lale selalu ditemani Charlotte dan mereka bercerita seputar
pengalaman dan negara tempat tinggal mereka masing-masing hingga akhirnya
Charlotte memberanikan diri untuk bertanya-tanya mengenai apa yang ada
difikirannya mengenai agama Islam. Lale pun menjawab dengan sangat sabar dan
hati-hati. Sesekali Lale menjawabnya dengan ayat-ayat al-qur‟an. Rasa penasaran
Charlotte terhadap Islam pun akhirnya terjawab dan kebencian berubah menjadi
ketakjuban. Charlotte sangat takjub mendengar berbagai penjelasan seputar Islam.
Dan tak jarang dia menemani Lale untuk sholat dimasjid dan mendengarkan Lale
yang sedang membaca al-qu‟an dimalam hari. Hatinya tergetar mendengar alunan
ayat al-qur‟an dan ketaatan para muslim dalam menjalankan ibadahnya. Charlotte
yang sedang menunggu Lale sholat melihat pemandangan yang tak biasa. Para
jamah berdiri dengan teratur, rapi dan rapat tanpa meninggalkan sedikitpun ruang
kosong. Jamaah muslimah mengenakan mukena yang membuat mereka Nampak
sama dan seragam. Putih dan suci.
Charlotte dihubungi oleh Prof Angelica untuk menghadiri rapat yang akan
membahas lebih dalam seminar yang sudah tidak lama lagi akan berlangsung.
Sebenarnya Charlotte sudah mulai merasa jenuh mengikuti komunitas feminisnya
tersebut. Ia sudah kehilangan semangat untuk memprjuangkan sesuatu yang
dianggapkan hanya untuk kepentingan golongan saja. Ada hal lain yang
dianggapnya lebih tepat untuk hati dan fikirannya namun tidak ingin
menyikapinya secara terburu-buru. Ia harus berhati-hati karena teman-temannya
adalah orang-orang yang radikal, mereka akan mempertahankan mati-matian
jumlah komunitas mereka. Dalam rapat tersebut ternyata Charlotte ditunjuk oleh
79
Prof. Angelica untuk menjadi leader kelompoknya. Itu berarti dia yang akan
bertanggung jawab terhadap seminarnya. Namun Charlotte menolaknya dengan
mengatakan bahwa dia sekarang adalah seorang muslim. Prof. Angelica sangat
terkejut mendengarnya. Selang beberapa hari kabar mengenai Charlotte yang telah
memeluk agama Islam pun menyebar dikalangan kaum feminis lainnya. Hal itu
membuat geram teman-teman yang telah mempercayai nya. Tak jarang Charlotte
mendapatkan perlakuan kasar dari teman-teman yang dekat dengannya. Mereka
mengganggap Charlotte seorang penghianat karena telah memeluk agama Islam.
Padahal saat itu Charlotte belum memeluk agama Islam. Hingga sutau hari ketika
sepeti biasa Charlotte menemani Lale untuk sholat dimasjid. Charlotte merasakan
ketenangan jiwa dan kerinduan dalam batinnya ketika melihat jamaah itu sholat.
Charlotte terdiam dan seketika ada perasaan yang begitu kuat yang mendorongnya
untuk mengikuti gerakan mereka bersujud. Ketika dia bangkit dari sujudnya dan
mendapati Lale dan teman-teman muslimnya telah berada disekelilingnya.mereka
memandang Charlotte dengan berkaca-kaca dan dengan pandangan yang lembut.
Charlotte kemudian menghirup udara masjid yang penuh berkah dengan sedalam-
dalamnya. Ia merasa seperti terlahir kembali. Bebas dari belenggu kesesatan yang
gelap. “Dengan ketundukan hati kepada Allah, aku menyatakan untuk membuka
pintu itu selebar-lebarnya” ungkap Charlotte kepada Lale. Dengan kemantapan
hatinya Charlotte bersedia untuk memeluk agam Islam. Alunan takbir, tasbih dan
tahmid langsung terucap dari para muslim lainnya ketika mendengar Charlotte
bersedia untuk memeluk agam Islam. Lale pun segera memanggil imam masjid
untuk membantu Charlotte mengucaokan kalimat syahadat pertanda bahwa
80
Charlotte sudah menjadi seorang muslim. dengan terisak Charlotte mengucapkan
kalimat syahadat dan Lale yang berada disampingnya terus menggemggam tangan
Charlote untuk memberikan dukungan. Seusai pengucapan kalimat syahadat,
Charlotte diberikan buku panduan tentang cara shalat dan kumpulan do‟a-do‟a.
Imam yang membantu Charlotte itu pun memberikan sebuah nama Islam untuk
Charlotte yakni “Chadijah Maryam”.
Menjadi seorang muslim bukan perkara mudah untuk Charlotte karena dia
harus berhadapan dengan orangtuanya dan teman-temannya yang sudah sangat
jelas membenci agam Islam. Terbukti, dengan menjadi muslim cobaan datang
kepada Charlotte. Orangtuanya marah besar ketika mengetahui bahwa dia
sekarang menjadi seorang muslim, ayahnya menendang dan mengusirnya dari
rumah. Tak hanya Charlotte, mawar dan Lale pun yang sudah pergi dari rumah
Charlotte menjadi bulan-bulanan karena dianggap telah menjerumuskan Charlotte
untuk masuk ke agama yang dianggapnya rendah itu. Dengan diingiri tangisan
Charlotte keluar dari rumah tempat ia dibesarkan. Isak tangis ibu nya juga tiada
henti, sambil memohon kepada Charlotte untuk memikirkan kembali
langkah yang telah ia ambil itu. Dengan kesungguhan hati Charlotte tetap pada
keyakinannya bahwa Islam merupakan agama yang benar dan meminta maaf
kepada orangtuanya. Charlotte pun pergi dengan membawa baju dan
perlengkapan sholat, Al-qur‟an dan buku panduan tata cara sholat yang diberikan
oleh imam masjid kemarin. Tak lupa rambut yang biasanya tergerai indah itu ia
tutupi dengan hijab pemberian dari Lale. Dengan tak tentu arah Charlotte pergi
meninggalkan rumahnya, ia menelepon Lale dan sahabat lainnya. Namun sial
81
ketika hendak mengunjungi rumah temannya untuk menginap dia diculik. Mata
dan mulutnya disumpal dengan kain membuatnya susah untuk mengetahui siapa
yang menculiknya. Tak perlu menunggu lama Charlotte pun mengetahui siapa
yang menculiknya karena sudah hapal betul suara-suara yang mereka keluarkan
tak lain adalah teman-teman kaum feminisnya. Charlotte dibawa kesuatu hutan
yang gelap dan derasnya hujan menambah kesengsaraan Charlotte. Dia diserang
dan dihujat mati-matian oleh mereka. Tidak hanya itu, mereka juga menghina
bahkan merobek al-qur‟an yang sedang dipegang Charlotte hingga akhirnya
Badannya yang sudah lemas akhirnya tidak dapat menahan dan ia pun jatuh
pingsan. Hingga keesokannya dia ditemukan oleh seseorang dan dibawa kerumah
sakit. Ketika dia sadar disampingnya sudah berdiri Lale dan teman-temannya.
Lale memeluknya dengan erat sambil terus menyemangatinya untuk tetap
bertahan dikondisi seperti ini dan selalu ingat ada Allah yang akan
melindunginya.
Seminar yang ditunggupun tiba. Charlotte yang sebelumnya berada dikubu
kaum feminis menjadi berada dikubu muslim. Charlotte tau betul apa yang akan
disampaikan oleh kaum feminis sehingga bukan cara yang sulit untuk Lale
menjawab pemikiran-pemikiran mereka yang mengganggap Islam agama yang
diskriminasi terhadap kaum perempuan. Benar saja, Prof. Angelica dengan
semangat menyampaikan apa yang sudah diagendakan sebelumnya. Peserta yang
hadir pun memberikan apresiasi terhadap pemikiran nya. Hingga tiba saatnya Lale
menyampaikan pandangannya. Lale menyampaikannya dengan cerdas, singkat
dan lugas dalam bahasa inggris dan diselingi bahasa jerman. Tepuk tangan meriah
82
menandakan bahwa pemikiran Lale dapat diterima dengan baik bahkan mulai
dipertimbangkannya.
4.2 Deskripsi Data Penelitian
Tabel 4.1
Pembebasan perempuan dari moral agama dan pemakaian hijab
Dialog/Kalimat/Teks
Apakah kalian puas dengan keadaan kalian saat ini wahai kaum perempuan?!”
matanya begitu tajam menembus kondisi nyaman para gadis belia tersebut.
“tempat kami bukan hanya di dapur. Tugas kami bukan hanya mengurus suami
dan anak. Lebih dari itu semua, kami inginkan keadilan. Tempat yang sama dan
sejajar dengan kaum pria!”. “hapuskan semua bentuk poligami yang
menyengsarakan kaum perempuan, bebaskan perempuan dari hijab dan tradisi
kolot! Bebaskan kaum perempuan dari moral – moral agama yang mengekang!”
serunya sambil menatap tajam beberapa perempuan muslim Turki yang kebetulan
sedang lewat. Para muslimah Turki melewati para aktivis tersebut, sambil balas
melirik tanpa memperlihatkan rasa simpatik sedikit pun. Mungkin mereka
tersinggung atas serangan yang menyakitkan dari orasi di area publik tersebut.
Hal 4-5
Dalam tabel diatas berisi kalimat yang menceritakan tentang kaum feminis
yang berorasi menyuarakan tentang bagaimana ketidakadilan terhadapa peran dan
posisi perempuan dalam masyarakat serta menganggap bahwa moral agama
mengekang ekspresi kaum perempuan dengan pemakaian hijab seperti aturan
Islam bagi kaum perempuan.
83
Tabel 4.2
Peta Tanda Roland Barthes pada Kalimat Pembebasan perempuan dari
moral agama dan pemakaian hijab
Signifier (Penanda) Signified (Petanda)
Apakah kalian puas
dengan keadaan kalian
saat ini wahai kaum
perempuan?!”,
“tempat kami bukan
hanya di dapur. Tugas
kami bukan hanya
mengurus suami dan
anak. Lebih dari itu
semua, kami inginkan
keadilan. Tempat yang
sama dan sejajar dengan
kaum pria!”. “hapuskan
semua bentuk poligami
yang menyengsarakan
kaum perempuan,
bebaskan perempuan
dari hijab dan tradisi
kolot! Bebaskan kaum
perempuan dari moral –
moral agama yang
mengekang!”
Tanda Denotatif/Penanda Konotatif Petanda Konotatif
“tempat kami bukan hanya di dapur. Tugas kami
bukan hanya mengurus suami dan anak. bebaskan
perempuan dari hijab dan tradisi kolot! Bebaskan
kaum perempuan dari moral – moral agama yang
mengekang!”kalimat tersebut menandakan adanya
ketidakadilan bagi perempuan
ketidakadilan bagi perempuan
yang ada di dapur dan hanya
mengurus suami serta mengikuti
agama
Tanda Konotatif
Rumah tangga adalah urusan perempuan
84
Tabel 4.3
Penggolongan Tanda
Tanda Denotasi Tanda Konotasi Tanda Mitos
“tempat kami bukan
hanya di dapur. Tugas
kami bukan hanya
mengurus suami dan
anak. Lebih dari itu
semua, kami inginkan
keadilan. Tempat yang
sama dan sejajar dengan
kaum pria!”. “hapuskan
semua bentuk poligami
yang menyengsarakan
kaum perempuan,
bebaskan perempuan dari
hijab dan tradisi kolot!
Bebaskan kaum
perempuan dari moral –
moral agama yang
mengekang!”
tugas perempuan yang
hanya di dapur dan
mengurus suami serta
mengikuti moral agama
merupakan bentuk
ketidakdilan terhadap
perempuan
Agama mengatur peran,
hak dan kewajiban kaum
perempuan
Dalam kalimat yang terdapat pada halaman 4-5 terlihat bagaimana kaum
feminis yang sedang berjuang untuk mendapatkan emansipasi sedang berorasi
menuntut adanya kesetaraan dan juga pembebasan dari agama yang mengekang
perempuan dalam hal ini agama yang dimaksud adalah agama Islam. Hal tersebut
menggambarkan adanya perbedaan pemahaman mengenai perempuan dalam hal
peran yang diemban. Dari kalimat diatas yang menjadi penanda denotasi adalah
kalimat “Apakah kalian puas dengan keadaan kalian saat ini wahai kaum
perempuan?!”, karena kalimat tersebut memiliki arti ketidakpuasaan dari kaum
feminis terhadap peran perempuan. petanda denotasi dari kalimat ini adalah
menandakan peran perempuan yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia,
85
serta adanya identitas perempuan muslim Selanjutnya tanda denotasi yang
didapatkan menyiratkan bahwa adanya ciri – ciri dari perempuan muslim yaitu
adanya penggunaan hijab dan mengikuti moral agama..
Secara konotasi dapat dilihat nilai perempuan dalam Islam yaitu mengurus
rumah tangganya serta harus mengikuti norma dan nilai yang berlaku di dalam
Islam yang telah tercantum dalam Alquran. Ini mengisyarakat bahwa perempuan
dalam Islam telah diatur peran, hak dan kewajibannya. Dalam kalimat diatas
penulis juga dapat mengidentifikasi makna mitos nilai perempuan dalam Islam
yaitu bahwa Islam sebagai agama telah mengatur peran, hak dan kewajiban kaum
perempuan sedemikian rupa demi memuliakan perempuan.
Tabel 4.4
Kewajiban beribadah bagi muslim
Dialog/Kalimat/Teks
“Ini baru hari pertama Lale. Hari kedua aku akan mengajakmu ke tempat – tempat
yang lebih seru.” Charlotte mengungkapkan rencananya. Nada bicaranya
terdengar bangga. Ia senang sekali Lale mengapresiasi rencana perjalanan mereka.
“Oh iya, tapi saat tengah hari, antarkan aku ke masjid ya Melati. Aku harus
menunaikan shalat. Setelah itu kita lanjutkan kembali perjalanan kita
Hal 88
Dari tabel diatas berisi kalimat yang menceritakan perjalanan Charlotte
yang mengajak Lale berjalan jalan di wilayah Berlin, Jerman, Charlotte
mengungkapkan rencana perjalanannya pada Lale dengan bangga tapi ketika itu
86
juga Lale mengingatkan kepada Charlotte mengenai kewajibannya untuk
melaksanakan sholat saat tengah hari.
Tabel 4.5
Peta Tanda Roland Barthes pada Kewajiban beribadah bagi muslim
Signifier (Penanda) Signified (Petanda)
“Ini baru hari pertama
Lale. Hari kedua aku
akan mengajakmu ke
tempat – tempat yang
lebih seru.” Charlotte
mengungkapkan
rencananya.
“Oh iya, tapi saat
tengah hari, antarkan
aku ke masjid ya
Melati. Aku harus
menunaikan shalat.
Setelah itu kita
lanjutkan kembali
perjalanan kita
Tanda Denotatif/Penanda Konotatif Petanda Konotatif
Melalui kalimat “Oh iya, tapi saat tengah hari,
antarkan aku ke masjid ya Melati Aku harus
menunaikan shalat” Lale memberitahukan kepada
Charlotte bahwa ia harus melaksanakan shalat di
saat mereka sedang jalan - jalan
Perempuan dalam Islam
diwajibkan untuk
melaksanakan ibadah
shalat
Tanda Konotatif
Beribadah merupakan hal yang harus dilakukan perempuan sebagai makhluk
ciptaan Allah,
87
Tabel 4.6
Penggolongan Tanda
Tanda Denotasi Tanda Konotasi Tanda Mitos
“Oh iya, tapi saat tengah
hari, antarkan aku ke
masjid ya Melati Aku
harus menunaikan shalat”
Beribadah merupakan hal
yang harus dilakukan
perempuan sebagai
makhluk ciptaan Allah,
Shalat adalah ibadah
wajib bagi laki – laki
ataupun perempuan yang
beragama Islam
Didalam kalimat yang terdapat dalam halaman 8 ini terdapat dialog antara
Lale dan Charlotte. Hal tersebut menggambarkan adanya keakraban dari dua
orang saudara serta menggambarkan kondisi bagaimana seorang muslimah
menjalankan perannya sebagai makhluk ciptaan Allah. Dialog antara Charlotte
dan Lale terjadi karena Charlotte menyampaikan rencana perjalanannya bersama
Lale ke tempat – tempat yang seru di hari ini dan keesokan harinya dan Lale saat
mengapresiasi rencana tersebut tapi tak lupa dengan waktunya untuk beribadah
dan memberitahukan kepada Charlotte kapan waktu dia beribadah dan dimana dia
harus beribadah. Dialog didalamnya secara denotasi maknanya adalah disaat
agenda perjalanan yang padat bersama dengan Charlotte, Lale berusaha
memberitahu pada Charlotte bahwa pada tengah hari, dia harus melakukan ibadah
Shalat
Sedangkan makna konotasinya didapat saat penulis melihat adanya
kalimat “Oh iya, tapi saat tengah hari, antarkan aku ke masjid ya Melati Aku
harus menunaikan shalat” jadi disaat waktu shalat tiba maka seluruh aktivitas
harus ditinggalkan, ini adalah bukti ketaatan seorang muslim terhadap Allah SWT
sebagai hambanya. Tidak peduli sesibuk apapaun dan sesenang apapun situasi dan
88
kondisinya tetap saja shalat adalah ibadah yang sifatnya wajib dan harus
dilaksanakan ketika sudah memasuki waktunya. Makna mitos yang didapat adalah
shalat merupakan ibadah yang paling utama dan wajib didahulukan dan sudah
ditentukan waktunya serta tidak adanya batasan gender baik laki – laki ataupun
perempuan tetap harus melaksanakan shalat meski perempuan punya waktu
dimana ia dilarang untuk shalat yaitu saat sedang haid ataupun nifas
Tabel 4.7
Hubungan laki – laki dan perempuan dalam Islam
Dialog/Kalimat/Teks
“oh ya bagaimana Islam memandang hubungan antara laki – laki dan perempuan
Lale. Kudengar kultur masyarakat Islam dan arab, begitu merendahkan kaum
perempuan. Kau punya jawaban untukku?” akhirnya pembicaraan antara Charlotte
dan Lale mengarahkan Charlotte untuk mengungkap tanya kembali. Lale
tersenyum. Ia tahu Charlotte hari ini akan menuju ke titik yang lebih tinggi lagi
dalam pencariannya. “aku akan membacakan sebuah terjemahan untukmu. Dan
orang orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
makruf, mencegah dari yang munkar, melaksanakan sembahyang, menunaikan
zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Charlotte menunggu penjelasan Lale. ”Kau tahu Melati, kata penolong menurut
sebagian ulama dapat mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan. Hal ini
dapat disimpulkan dalam konteks mitra, antara lelaki dan perempuan.”
Hal 167
Dari tabel diatas berisi kalimat yang berisi keingintahuan Charlotte seputar
hubungan antara laki – laki dan perempuan dalam Islam karena Charlotte pernah
mendengar bahwa kultur masyarakat Islam dan Arab sangat merendahkan
89
perempuan lalu Lale menjawab pertanyaan Charlotte dengan menggunakan
terjemahan dari Al-Quran
Tabel 4.8
Peta Tanda Roland Barthes pada hubungan antara laki – laki dan
perempuan dalam Islam
Signifier (Penanda) Signified (Petanda)
“oh ya bagaimana Islam
memandang hubungan
antara laki – laki dan
perempuan Lale.
Kudengar kultur
masyarakat Islam dan
arab, begitu
merendahkan kaum
perempuan. Kau punya
jawaban untukku?”
“aku akan membacakan
sebuah terjemahan
untukmu. Dan orang
orang yang beriman,
lelaki dan perempuan,
sebagian mereka
(adalah) menjadi
penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka
menyuruh
(mengerjakan) yang
makruf, mencegah dari
yang munkar,
melaksanakan
sembahyang,
menunaikan zakat, dan
mereka taat kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah,
sesungguhnya Allah
Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.””Kau
tahu Melati, kata
penolong menurut
sebagian ulama dapat
mencakup kerjasama,
bantuan, dan
penguasaan. Hal ini
dapat disimpulkan
dalam konteks mitra,
antara lelaki dan
perempuan.”
90
Tanda Denotatif/Penanda Konotatif Petanda Konotatif
Penggambaran melalui terjemahan Alquran
mengenai hubungan antara laki – laki dan
perempuan
hubungan antara laki –
laki dan perempuan
dalam Islam adalah
untuk saling melengkapi
Tanda Konotatif
Dalam Islam tidak ada perbedaan dalam hal hubungan antara laki – laki dan
perempuan
Tabel 4.9
Penggolongan Tanda
Tanda Denotasi Tanda Konotasi Tanda Mitos
Dan orang orang yang
beriman, lelaki dan
perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan)
yang makruf, mencegah dari
yang munkar, melaksanakan
sembahyang, menunaikan
zakat, dan mereka taat
kepada Allah dan Rasul-
Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah,
sesungguhnya Allah
Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.”
Dalam Islam tidak ada
perbedaan dalam hal
hubungan antara laki –
laki dan perempuan
Islam melihat laki – laki
dan perempuan itu sama,
hanya kodrat yang
membedakan
Di dalam kalimat yang tertuang pada halaman 167 ini terdapat pertanyaan
Charlotte mengenai hubungan antara laki – laki dengan perempuan, hal ini
91
menggambarkan rasa keingintahuan Charlotte melihat bagaimana Islam
memandang hubungan antara dua insan manusia yang berbeda jenis kelamin
tersebut, pertanyaan ini muncul karena pada halaman – halaman sebelumnya
Charlotte sedang mencari tahu sebanyak – banyaknya tentang Islam dan
perempuan dalam Islam sebelum dia memutuskan apakah akan masuk Islam atau
tidak.
Kalimat di dalamnya secara denotasi maknanya adalah mempertanyakan
bagaimana penjelasan Islam mengenaui hubungan antara laki – laki dan
perempuan. Sudah seharusnya masyarakat umum khususnya muslim
mempertanyakan hal tersebut karena banyak masyarakat muslim di berbagai
negara muslim tidak tahu adanya konsep mengenai perempuan yang telah
dijelaskan pada kalimat diatas. Sedangkan makna konotasinya bahwa Islam
sejatinya tidak membeda bedakan baik itu laki – laki ataupun perempuan karena
mereka sama masma merupakan makhluk ciptaan Allah. Makna mitos yang
didapat adalah bagaimana Islam menganggap sama antara antara laki – laki dan
perempuan perbedaannya hanya terletak dari kodratnya saja
92
Tabel 4.10
peran perempuan dalam rumah tangga
Dialog/Kalimat/Teks
“Oh iya Lale, tapi bagaimana Islam mengatur peran perempuan, misalkan dalam
urusan rumah tangga. Tidak adakah peran mereka, selain melahirkan anak?”
Charlotte begitu cerdas sehingga ia selalu saja mendapatkan bahan pertanyaan.
Otaknya memang sangat kritis. “Tolong simak, ya, Melati. Aku akan
menyampaikan sebuah hadits yang akan langsung menjawab pertanyaan kamu.”
“Setiap kaum adalah pemimpin, dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab
terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang kepala Negara adalah pemimpin dan ia
harus bertanggung jawab terhadap rakyatnya, seorang laki – laki (suami) adalah
pemimpin dan harus bertanggung jawab terhadap keluarga yang dipimpinnya,
seorang perempuan (istri) adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab
terhadap rumah tangga yang dipimpinnya.”
Hal 169
Dari tabel diatas terdapat kalimat yang berisi pertanyaan lanjutan dari
Charlotte tentang bagaimana peran perempuan dalam Islam khususnya dalam
rumah tangga, dijelaskan oleh Lale bahwa perempuan merupakan sosok
pemimpin dalam rumah tangga yang mengurusi bagian administrasi dan
harmonisasi dalam keluarga
93
Tabel 4.11
Peta Tanda Roland Barthes pada Pertanyaan Charlotte seputar peran
perempuan dalam rumah tangga
Signifier (Penanda) Signified (Petanda)
“Oh iya Lale, tapi
bagaimana Islam
mengatur peran
perempuan, misalkan
dalam urusan rumah
tangga. Tidak adakah
peran mereka, selain
melahirkan anak?”
“Setiap kaum adalah
pemimpin, dan setiap
pemimpin harus
bertanggung jawab
terhadap apa yang
dipimpinnya
Tanda Denotatif/Penanda Konotatif Petanda Konotatif
Peran perempuan sebagai pemimpin rumah tangga
melalui kalimat “seorang perempuan (istri) adalah
pemimpin dan harus bertanggung jawab terhadap
rumah tangga yang dipimpinnya.”
Perempuan merupakan
pemimpin rumah tangga
Tanda Konotatif
Perempuan mengatur urusan rumah tangga
Tabel 4.12
Penggolongan Tanda
Tanda Denotasi Tanda Konotasi Tanda Mitos
“seorang perempuan
(istri) adalah pemimpin
dan harus bertanggung
jawab terhadap rumah
tangga yang
dipimpinnya.”
Perempuan mengatur
urusan rumah tangga
Salah satu peran
perempuan adalah
mengurus dan memimpin
rumah tangga
94
Pengambilan kalimat pada halaman 169 ini memperlihatkan bagaimana
rasa ingin tahu yang besar dari Charlotte terhadap Islam sangat besar, kalimat
tersebut merupakan pertanyaan lanjutan mengenai perempuan lebih khusus
kepada peran perempuan, Charlotte ingin mengetahui apakah peran perempuan di
dalam. Kalimat “seorang perempuan (istri) adalah pemimpin dan harus
bertanggung jawab terhadap rumah tangga yang dipimpinnya.” didalamnya secara
denotasi maknanya adalah bagaimana peran perempuan sebagaio pemimpin dalam
rumah tangga menurut Islam dijelaskan melalui hadits, hadits adalah ucapan,
tingkah laku, kebiasaan, isyarat serta anjuran Rasulullah.Hadits disebut sahih atau
benar setelah melewati berbagai metode ilmiah, baik dari jalur periwayatan
maupun dari segi bahasa dan makna, didalam standar yang ditetapkan dan
disepakati para ulama ahli hadits.
Sedangkan makna konotasi yang didapat bahwa ternyata perempuan
mempunyai tugas untuk mengatur rumah tangganya dikarenakan kodratnya
sebagai manusia. Makna mitos yang terdapat dalam kalimat tersebut adalah
perempuan mempunyai peran untuk mengurus rumah tangga dan juga sebagai
seorang pemimpin, di dalam konsep Islam, bukan hanya hanya dalam urusan
rumah tangga tetapi juga dalam masyarakat. Kepemimpinannya tidak hanya
terbatas dalam upaya mempengaruhi laki – laki agar mengakui hak – haknya yang
sah tetapi juga harus mencakup sesame jenisnya agar dapat bangkit bekerja sama
meraih dan memelihara harkat dan martabat mereka, serta membendung setiap
upaya dari siapa pun lelaki atau perempuan, kelompok kecil atau besar yang
bertujuan mengarahkan mereka kea rah yang bertentangan dengan harkat dan
95
martabatnya.31
, terlihat sekali bahwa konsep pembagian peran sudah terjadi dalam
konsep Islam dimana laki – laki memimpin dalam urusan rumah tangga berupa
perlindungan dan tanggung jawab sementara peran yang lain diambil oleh pihak
perempuan seperti urusan administrasi dan harmonisasi rumah tangga.
Tabel 4.13
Hak mendapatkan ilmu dan pendidikan serta hak dasar politik
Dialog/Kalimat/Teks
“Lale melanjutkan setelah memantau perhatian Charlotte. “Islam hadir dengan
membawa harapan bagi tegaknya keadilan. Perempuan bukan lagi dianggap
sebagai benda, tapi lebih jauh. Ia adalah mitra kaum lelaki. Perempuan telah
menjadi subjek hukum. Rasulullah bersabda, menuntut ilmu adalah kewajiban
bagi setiap muslim dan muslimah. Ini bukti bahwa perempuan memiliki hak untuk
mencari ilmu dan kesempatan meraih pendidikan yang sama dengan kaum laki –
laki. “Kemudian Allah berfirman dalam Alqur‟an. Bismillahirrahmanirrahim. Hai
Nabi, apabila datang kepadamu perempuan – perempuan yang beriman untuk
mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun
dengan allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak
– anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada – adakan antara tangan dan
kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka
terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ayat tersebut
menjadi bukti perempuan dalam Islam benar – benar telah menjadi subjek hukum
dan dapat menentukan pilihannya sendiri. Mereka memiliki hak dasar politik.”
Hal 200 – 201
Dari tabel diatas berisi kalimat penjelasan Charlotte tentang hak hak pa
saja yang didapat perempuan dalam Islam Lale menjelaskan ada hak untuk
mencari ilmu serta mendapat kesempatan untuk meraih pendidikan yang sama
31 M. Quraish Shihab, dalam perempuan (Jakarta : Lentera Hati, 2013), hlm. 376
96
dengan kaum laki – laki dan hak dasar politik dan kembali Charlotte
menggunakan Al-Quran sebagai sumber referensi dari penjelasannya
Tabel 4.14
Peta Tanda Roland Barthes pada Hak mendapatkan ilmu dan pendidikan
serta hak dasar politik
Signifier (Penanda) Signified (Petanda)
“Lale melanjutkan
setelah memantau
perhatian Charlotte.
“Islam hadir dengan
membawa harapan bagi
tegaknya keadilan.
Perempuan bukan lagi
dianggap sebagai benda,
tapi lebih jauh. Ia adalah
mitra kaum lelaki.
menuntut ilmu adalah
kewajiban bagi setiap
muslim dan muslimah.
Ini bukti bahwa
perempuan memiliki
hak untuk mencari ilmu
dan kesempatan meraih
pendidikan yang sama
dengan kaum laki –
laki. perempuan dalam
Islam benar – benar
telah menjadi subjek
hukum dan dapat
menentukan pilihannya
sendiri. Mereka
memiliki hak dasar
politik
Tanda Denotatif/Penanda Konotatif Petanda Konotatif
Hak perempuan di dalam Islam terdapat
dalamkalimat : perempuan memiliki hak untuk
mencari ilmu, mereka memiliki hak dasar politik
Pendidikan dan politik
adalah hak
Tanda Konotatif
Perempuan mempunyai hak untuk mendpat pendidikan dan ikut berpartisipasi
dalam politik
97
Tabel 4.15
Penggolongan Tanda
Tanda Denotasi Tanda Konotasi Tanda Mitos
perempuan memiliki hak
untuk mencari ilmu,
perempuan dalam Islam
benar – benar telah
menjadi subjek hukum
dan dapat menentukan
pilihannya sendiri.
Mereka memiliki hak
dasar politik
Perempuan berhak
mendapatkan pendidikan
dan ikut berpartisipasi
dalam politik
Dalam dunia politik dan
pendidikan perempuan
wajib ikut terlibat
Didalam kalimat yang ada pada halaman 200 hingga 201 ini dimaksudkan
untuk menjelaskan hak perempuan yaitu untuk mencari ilmu dan juga berpolitik
ini menandakan bahwa perempuan tidak melulu bicara masalah rumah tangga
saja. Makna denotasi yang didapat dalam kalimat “perempuan memiliki hak untuk
mencari ilmu, perempuan dalam Islam benar – benar telah menjadi subjek hukum
dan dapat menentukan pilihannya sendiri. Mereka memiliki hak dasar politik”
adalah bahwa ternyata dalam Islam pun hak perempuan juga sudah diatur di
dalam Alquran, seperti hak untuk mencari ilmu dan hak dalam berpolitik.
Sedangkan makna konotasi yang didapat dari tanda konotasi Perempuan
berhak mendapatkan pendidikan dan ikut berpartisipasi dalam politik yaitu
Alquran yang merupakan pedoman hidup setiap umat muslim tenyata sudah
berbicara mengenai hak perempuan. ini sesuai dengan fungsi Alquran sebagai
petunjuk dan juga penjelasan mengenai masalah yang pernah diselisihkan umat
Islam terdahulu, karena pada kalimat sebelumnya terdapat pernyataan bahwa
98
perempuan dianggap sebagai benda yang dapat dibeli semaunya, tidak
diperbolehkan untuk menuntut ilmu dan hanya menjadi pelayan rumah tangga
saja, dan Islam hadir memberikan perempuan hak yang seimbang, adil dengan
kaum pria dimana diperbolehkannya perempuan untuk mendapatkan pendidikan
setinggi tingginya dan juga ikut dalam urusan politik, karena pada hakikatnya
yang membuat seseorang berbeda dalam Islam adalah tingkat ketakwaannya.
Makna mitos yang terdapat pada kalimat diatas adalah bagaimana dunia
pendidikan dan politik membutuhkan peran perempuan didalamnya, seperti yang
kita ketahui bahwa dalam Islam perempuan dan laki – laki diciptakan untuk saling
melengkapi kehadiran perempuan di dua dunia tersebut dapat melengkapi
kekurangan kekurangan yang ada karena jika yang digunakan hanya pendapat laki
– laki saja tentu akan adanya banyak penyimpangan dan ketidakadilan seperti
yang kita ketahui di Indonesia sendiri sudah mewajibkan partai politik untuk
menempatkan anggota perempuan sekitar 30% di dalam keanggotaan, ini
membuktikan peran perempuan juga vital dalam segi politik, dalam segi
pendidikan pun sama bagaimana jumlah guru perempuan lebih banyak
dibandingkan guru laki – laki.
4.2.1 Analisis Semiotika
Berdasarkan dari deskripsi data yang telah dijelaskan sebelumnya maka
penulis menganalisis secara keseluruhan makna denotasi, makna konotasi dan
juga mitos yang terdapat pada kalimat – kalimat yang telah dipilih untuk
merepresentasikan nilai perempuan dalam Islam sebagai berikut :
99
4.2.2 Makna Denotasi
Makna Denotasi yang coba ditonjolkan didalam novel ratu yang bersujud
ini adalah :
1. Memakai Hijab bagi Perempuan, perempuan dalam Ratu yang Bersujud
digambarkan adalah perempuan yang mencirikan bahwa perempuan
tersebut beragama Islam ini terlihat dalam kalimat “bebaskan perempuan
dari hijab dan tradisi kolot! Bebaskan kaum perempuan dari moral –
moral agama yang mengekang!” di dalam Islam hijab adalah pakaian
wajib bagi perempuan karena hijab memang difungsikan sebagai penutup
aurat dan juga sebagai bentuk perlindungan diri serta bentuk ciri khas
dari perempuan muslim.
2. Kewajiban sholat bagi perempuan, dalam kalimat lain juga disebutkan
salah satu kewajiban perempuan dalam Islam yaitu shalat “Oh iya, tapi
saat tengah hari, antarkan aku ke masjid ya Melati. Aku harus
menunaikan shalat. Setelah itu kita lanjutkan kembali perjalanan kita”
kalimat ini mengindikasikan kembali bahwa perempuan dalam Islam
mempunyai kewajiban untuk shalat, karena shalat sendiri merupakan
ibadah wajib yang dilakukan baik umat Islam laki – laki ataupun
perempuan,
3. Peran perempuan dalam rumah tangga, perempuan dalam Islam
digambarkan mempunyai peran di dalam urusan rumah tangga seperti
mengurus suami dan anak ini terdapat dalam kalimat “tempat kami
100
bukan hanya di dapur. Tugas kami bukan hanya mengurus suami dan
anak”, penggambaran pada kalimat ini mengisyaratkan bahwa sudah
menjadi kewajiban bagi perempuan mempunyai peran untuk mengurusi
rumah tangganya tapi ada kalimat yang lain menyatakan bahwa ada
peran lain yaitu perempuan merupakan seorang pemimpin “seorang
perempuan (istri) adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab
terhadap rumah tangga yang dipimpinnya”, dilihat dari konteks
kalimatnya bahwa peran perempuan dalam mengurusi rumah tangganya
bukanlah hal yang bersifat negatif justru ini seperti mengindikasikan
dalam peran tersebut terdapat peran yang sangat penting yang dimana
seorang perempuan berkewajiban untuk menjadi pemimpin dalam urusan
rumah tangga, ini dikuatkan dengan adanya hadits yang berbunyi “dan
perempuan / istri adalah pemimpin atas penghuni rumah suaminya dan
anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka. (HR. Bukhari dan
Muslim)
4. Posisi perempuan sebagai mitra laki – laki, novel Ratu yang Bersujud
ini juga menggambarkan bagaimana hubungan antara perempuan dan
laki-laki dalam Islam seperti yang terdapatdi dalam kalimat “Dan orang
orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang munkar, melaksanakan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya
101
Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” Charlotte menunggu
penjelasan Lale. ”Kau tahu Melati, kata penolong menurut sebagian
ulama dapat mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan. Hal ini
dapat disimpulkan dalam konteks mitra, antara lelaki dan perempuan.” di
dalam kalimat ini memperlihatkan bahwa baik itu laki – laki ataupun
perempuan tidak ada yag menonjol diantara satu dengan lainnya, baik
laki – laki dan perempuan berhak untuk melakukan sesuatu dan apabila
mereka dalam suatu pekerjaan menemui kendala siapapun berhak untuk
menolongnya baik itu kaum lelaki atau perempuan.
5. Hak menuntut ilmu bagi perempuan, digambarkan dalam kalimat
“menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Ini
bukti bahwa perempuan memiliki hak untuk mencari ilmu dan
kesempatan meraih pendidikan yang sama dengan kaum laki – laki”, dan
juga “Ayat tersebut menjadi bukti perempuan dalam Islam benar –
benar telah menjadi subjek hukum dan dapat menentukan pilihannya
sendiri. Mereka memiliki hak dasar politik.” Dalam kalimat yang telah
disebutkan memperlihatkan perempuan dalam Islam memiliki kewajiban
dan hak untuk menuntut ilmu dan juga hak untuk berpolitik ini
merupakan bukti bahwa Islam sangat tidak mengekang hak dari
perempuan, bahkan terlihat sangat adil, penggambaran ini merupakan
implikasi dari maraknya penggambaran tentang perempuan dalam Islam
yang selama ini diibaratkan sebagai perempuan yang terkekang dan harus
menuruti laki – laki.
102
4.2.3 Makna Konotasi
Makna konotatif yang coba ditonjolkan oleh novel Ratu yang Bersujud
dengan melihat tanda konotasi yang telah dicantumkan pada deskripsi data
diatas merupakan penegasan bahwa perempuan di dalam Islam adalah
1. Urusan rumah tangga adalah urusan perempuan melihat kembali
bagaimana peran perempuan saat ini, kita bisa melihat sendiri bahwa
hampir mayoritas perempuan baik yang beragama Islam atapun yang
lain adalah ibu rumah tangga, di Indonesia sendiri mayoritas perempuan
yang sudah menikah bekerja sebagai ibu rumah tangga dan tidak bisa
dipungkiri bahwa ibu rumah tangga adalah pekerjaan wajib bagi
perempuan.
2. Perempuan adalah Hamba Allah yang berkewajiban untuk beribadah
kepada Allah ini adalah bentuk penggambaran bahwa seorang
perempuan khususnya yang beragama Islam mempunyai kegiatan yang
wajib dilakukan sebagai bentuk ibadah kepada sang pencipta dengan
mengikuti norma dan nilai agama, dalam novel ini bentuk ibadah yang
ditampilkan adalah shalat yang wajib hukumnya bagi setiap orang yang
beragama Islam, dimanapun dia berada, dan ketika sudah memasuki
waktu sholat.
3. Tidak ada perbedaan antara laki – laki dan perempuan dalam Islam, di
dalam Islam hubungan antara laki – laki dan perempuan adalah mitra,
saling melengkapi satu sama lain tidak ada yang lebih unggul satu
103
dengan yang lainnya, dijelaskan dalam kalimat pada hal 167 “Dan
orang – orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) penolong bagi sebagian yang lain.” Kata penolong yang
terdapat dalam kalimat diatas dapat diartikan sebagai bantuan yang
artinya bahwa baik laki – laki ataupun perempuan adalah makhluk tuhan
yang harus saling membantu satu sama lain layaknya seorang mitra tidak
peduli apapun gendernya.
4. Perempuan memiliki Hak pendidikan maupun politik, perempuan berhak
turut serta dalam dunia pendidikan maupun politik, karena tidak adanya
perbedaan antara perempuan dan laki – laki maka perempuan pun
mendapatkan hak yang sama dengan laki – laki untuk mendapatkan
pendidikan yang layak dan juga turut berpartisipasi dalam politik ini
dibuktikan dengan semakin banyaknya fenomena peempuan menempati
posisi penting di kenegaraan seperti menteri dan juga gubernur.
5. Perempuan adalah pemimpin rumah tangga, konteks ini ditunjukkan
pada kalimat di dalam Hal. 169 “seorang perempuan (istri) adalah
pemimpin dan harus bertanggung jawab terhadap rumah tangga yang
dipimpinnya”. Dari kalimat tadi terlihat bahwa perempuan mempunyai
wilayah kebijakan dan kekuasaan perempuan (istri) yaitu dalam
domestik keluarga sedangkan laki – laki (suami) adalah diluar keluarga,
khususnya dalam mencari nafkah untuk keluarga. Bisa dikatakan
perempuan juga adalah pemimpin bagi rumah tangganya dalam hal ini
104
perempuan memimpin dalam urusan administrasi dan harmonisasi di
dalam rumah tangga.
4.2.4 Makna Mitos
Mitos tentang nilai perempuan dalam Islam yang terdapat pada novel ini
berhubungan dengan bagaimana perempuan bersikap dan berperilaku dalam
syariat Islam seperti Peran, Hak dan Kewajiban perempuan telah diatur oleh
Agama seperti urusan rumah tangga, dalam Islam ada kitab suci Alquran yang
memang penciptaanya adalah sebagai pedoman hidup bagi manusia yang
didalamnya telah diatur berbagai masalah didalam kehidupan termasuk masalah
yang berkaitan dengan perempuan. Perempuan dalam Islam juga selalu dikaitkan
dengan kepatuhannya terhadap normai dan nilai agama dalam hal ini
digambarkan bagaimana perempuan melaksanakan shalat dan juga memakai
hijab, hal tersebut dikarenakan sudut pandang masyarakat bahwa perempuan
yang beragama Islam diwajibkan untuk sholat seperti halnya laki – laki kecuali
di dalam keadaan tertentu seperti haid dan nifas karena shalat merupakan ibadah
wajib yang harus dilaksanakan.
Hijab adalah pakaian wajib perempuan dalam Islam, biasanya perempuan
dalam Islam terlihat mengenakan hijab ataupun kerudung dalam aktivitasnya dan
lagi memang sebagai sebuah kewajiban untuk menutup aurat. Tidak ada
perbedaan kedudukan antara laki – laki dan perempuan dalam Islam, di dalam
Islam sendiri kedudukan perempuan sama dengan laki – laki karena di dalam
Islam tidak membeda bedakan antara perempuan dan laki – laki maka dari itu
105
perempuan dalam Islam mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki –
laki, di jaman dahulu perempuan tidak berhak untuk mendapatkan pendidikan
yang tinggi dan bahkan tidak boleh ikut campur dalam hal politik namun tidak
dengan Islam kita melihat dari jaman Rasulullah perempuan diperbolehkan
menuntut ilmu setinggi – tingginya dan juga berpartisipasi dalam hal politik, di
Indonesia pun sebagai Negara dengan basis umat Islam terbesar di dunia melihat
pentingnya perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan juga ikut dalam
politik untuk memajukan bangsa dan Negara.
Nilai perempuan dalam Islam yang telah dianalisa ini memiliki kesesuaian
dengan penggambaran perempuan didalam novel Ratu yang Bersujud, karena
dapat dilihat dari sudut pandang masyarakat yang menilai bagaimana perempuan
muslim adalah perempuan yang mengikuti aturan dan norma agama yang
berlaku dimana perempuan muslim dilihat sebagai perempuan yang berperilaku
dan berakhlak baik. Novel ini bermaksud untuk memberikan informasi kepada
khalayak bagaimana sesungguhnya nilai perempuan dalam Islam dan contohnya
pada kehidupan nyata dimana perempuan dalam Islam digambarkan sebagai
seseorang yang taat beragama serta mengikuti nilai – nilai dan norma agama
yang berlaku.
Penulis juga menilai nilai perempuan dalam Islam yang digambarkan oleh
novel ini cocok untuk mengedukasi bagaimana seharusnya perempuan muslim
bertindak, karena saat ini banyak perempuan beragama Islam yang tidak tahu
106
nilai perempuan dalam Islam dikarenakan ketidaktahuannya dan juga tidak
mempelajari nilai dan norma yang berlaku pada ajaran Islam.
4.4 Pembahasan
4.4.1 Novel Sebagai Sarana Merepresentasikan Nilai Perempuan dalam
Islam
Media komunikasi bukan hanya terpaku pada media komunikasi massa
seperti pada umumnya berupa televisi, radio, dan koran saja. Karya sastra seperti
novel juga merupakan media untuk mengkomunikasikan ide atau gagasan si
pencipta kepada khalayak luas. Pencipta karya sastra bisa menuangkan saran,
sindiran, atau informasi lainnya sesuai dengan peristiwa yang biasanya sedang
hangat dibicarakan.
Novel merupakan salah satu karya sastra yang dapat dijadikan media
komunikasi, karena penyajian pesan komunikasinya dengan cara menumpangkan
pada suatu objek atau peristiwa yang sedang menarik perhatian khalayak. Kita
dapat mengetahui pesan dari novel tersebut tentunya dari amanat, baik yang
tersirat maupun yang tersurat. Hanya saja saat ini sedikit sekali novel-novel yang
dapat memberikan dampak positif bagi pembaca, sehingga pembaca terinspirasi
merubah tindak dan perilaku. Novel yang beradar kebanyakan adalah novel yang
hanya berkutat pada romansa percintaan. Padahal seharusnya sebuah karya sastra
bisa dijadikan media untuk mendidik pembaca.
107
Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah
objek sehingga eksplorasi sebuah makna dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna
dalam Putra, 2012: 17). Jika dikaitkan dengan bidang sastra seperti novel,
representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran karya sastra terhadap
suatu fenomena sosial. Penggambaran ini tentu saja melalui pengarang sebagai
kreator. Representasi dalam sastra muncul sehubungan dengan adanya pandangan
atau keyakinan bahwa karya sastra sebetulnya hanyalah merupakan cermin,
gambaran, bayangan, atau tiruan kenyataan. Merujuk pada apa yang dikemukan di
atas, dapat disimpulkan bahwa sebuah representasi berarti sebuah cermin, sebuah
karya cipta sastra yang merujuk pada suatu peristiwa nyata atau yang sebenarnya.
Proses representasi yang terjadi dalam seni seperti novel tidak semata-
mata meniru kenyataan seperti pantulan gambar cermin, tetapi melibatkan
renungan yang kompleks atas kenyataan alam. Dalam pandangan Aristoteles, seni
bekerja seperti sejarah, yakni menghadirkan peristiwa atau kenyataan faktual dan
khusus. Dalam proses penciptaan kesusastraan, seorang pengarang berhadapan
dengan suatu kenyataan yang ditemukan dalam suatu masyarakat (realitas
objektif). Realitas objektif itu dapat berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma
(tata nilai), pandangan hidup, dan lain-lain bentuk-bentuk realitas objektif yang
ada dalam masyarakat. Ia merasa tidak puas terhadap realitas objektif itu. Ia ingin
memberontak dan memprotes. Sebelum pemberontakan tersebut dilakukan atau
ditulis, ia telah memiliki suatu sikap terhadap realitas objektif itu. Setelah ada
suatu sikap, maka ia mencoba mengangankan suatu “realitas” baru sebagai
pengganti realitas objektif yang sekarang ia tolak. Hal inilah yang kemudian ia
108
ungkapkan di dalam ciptasastra yang diciptakannya. Ia mencoba mengutarakan
sesuatu terhadap realitas objektif yang ia temukan. Ia ingin berpesan melalui
ciptasastranya kepada orang lain tentang suatu yang ia anggap sebagai masalah
manusia. Ia berusaha merubah fakta-fakta yang faktual menjadi fakta-fakta yang
imajinatif dan bahkan menjadi fakta-fakta yang artistik. Pesan-pesan justru
disampaikan dalam nilai-nilai yang artistik tersebut (Esten, 1993 : 9).
Representasi yang digunakan dalam mengkaji novel ini sangat erat
kaitannya dengan fungsi novel sebagai salah satu sarana untuk merepresentasikan
suatu informasi yang banyak dibicarakan oleh masyarakat,. Karena Mahdavi
(Pengarang novel), telah berhadapan dengan suatu kenyataan yang ditemukan
dalam suatu masyarakat (realitas objektif), berupa fenomena diskriminasi agama,
dalam realitas tragedi itu ia menemukan peristiwa – peristiwa, kenyataan –
kenyataan berupa persepsi yang salah terhadap Islam, bagaimana Islam dikatakan
sebagai agama yang sangat merendahkan perempuan bagaimana Islam tidak
menghargai hak dan ekspresi para kaum perempuan, dan masih banyak lagi
pernyataan yang menyudutkan Islam, ia merasa tidak puas terhadap realitas. Ia
ingin memberontak dan memprotes sebagai bentuk empati dan dukungan terhadap
Islam. Setelah ada suatu sikap maka ia mencoba mengangankan suatu “cermin
realitas” baru sebagai pengganti realitas yang telah ia tolak. Hal inilah yang
kemudian ia coba ungkapkan di dalam novel yang dibuatnya. Ia mencoba
mengutarakan sesuatu terhadap tragedi itu Ia ingin berpesan melalui novelnya
kepada orang lain tentang suatu yang ia anggap sebagai masalah manusia. Fakta-
fakta yang faktual telah ia rubah menjadi fakta-fakta yang imajinatif, yaitu segala
109
peristiwa mengenai perempuan dalam Islam bagaimana peerempuan dalam Islam
bertindak dan berperilaku dan juga bagaimana perempuan dalam Islam merupakan
perempuan yang paling mulia, tokoh perempuan, serta sikap-sikap tokoh yang
menunjukan peempuan dalam Islam adalah sebaik baiknya perempuan. Dan
akhirnya, semua pesan-pesan yang ingin ia sampaikan dan representasikan, telah
berwujud dan termaktub di dalam sebuah novelnya ini, yang berjudul Ratu yang
Bersujud
4.4.2 Pemikiran Islam Moderat dan Perempuan dalam Novel
Ratu yang Bersujud
Pemikiran dan gerakan Islam yang memperjuangkan moderasi
Islam paling tidak memiliki sembilan prinsip yang melandasi Islam moderat:
1. Al-Qur‟an sebagai Kitab Terbuka
Al-Qur‟an merupakan pedoman yang sangat sentral (pusat) dalam
kehidupan umat Islam. Dalam pengertian tekstualnya Al-Qur‟an
adalah teks suci resmi dan tertutup. Artinya teks Al-Qur‟an tidak akan
berubah sejak masa diturunkan sehingga akhir zaman. Dalam pengertian
ini Islam moderat memandang Al-Qur‟an sebagai kitab terbuka. Islam
moderat menolak pandangan Al-Qur‟an sebagai kitab tertutup yang
memunculkan pemahaman terhadap Al-Qur‟an yang bersifat tekstualistik,
yaitu pemahaman mengenai Islam yang semata-mata mempertaruhkan
110
segala-galanya pada bunyi atau huruf-huruf teks (nash) keagamaan.
Prinsip Al-Qur‟an sebagai kitab terbuka juga didasarkan pada suatu
pandangan bahwa kehidupan manusia selalu berubah, sementara teks-teks
keagamaan terbatas. Ajaran Islam berisikan ketentuan-ketentuan yang
tetap (tsawabit) dan sekaligus berisi hal-hal yang memungkinkan untuk
berubah (mutaghayirat) sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu.
2. Keadilan
Konsep sentral Islam adalah tauhid dan keadilan. Keadilan merupakan ruh
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan,
keadilan dianggap oleh ahli ushul fiqh sebagai tujuan Syari‟at. Dalam
konteks ini Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal. Islam
merupakan risalah (catatan-catatan) yang agung bagi transformasi sosial,
pembebasan, dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi. Semua
ajaran Islam pada dasarnya bermuara pada terwujdunya suatu kondisi
kehidupan yang adil.
3. Kesetaraan
Islam berada di barisan paling depan membawa bendera kesetaraan (al-
musawah) harkat dan martabat manusia. Kesetaraan mengandaikan adanya
kehidupan umat manusia yang menghargai kesamaan asal-muasalnya
sebagai manusia dan kesamaan pembebasan dimana setiap manusia
dikarunia akal untuk berfikir. Kesetaraan merupakan landasan
paradigmatik (kerangka berpikir) dalam meneguhkan visi Islam moderat.
111
Salah satu misi dasar Islam adalah menghancurkan sistem sosial yang
diskriminatif (membeda-bedakan), dan eksploitatif (sikap sewenang-
wenang) terhadap kaum yang lemah.
4. Toleransi
Islam moderat juga dicirikan oleh keterbukaan terhadap keanekaragaman
pandangan. Sikap ini didasari oleh kenyataan bahwa perbedaan di
kalangan umat manusia adalah sebuah keniscayaan (Q.S Al-Kahfi: 29).
Sesuai dengan sunatullah, perbedaan antar manusia akan terus terjadi.
Oleh karena itu pemaksaan dalam berdakwah kepada mereka yang berbeda
pandangan, baik dalam satu agama maupun berbeda agama, tidak sejalan
dengan semangat menghargai perbedaan yang menjadi tuntunan Al-
Qur‟an.
5. Pembebasan
Agama sejatinya diturunkan ke bumi untuk mengatur dan menata
kesejahteraan manusia (limashalih al-ummat). Oleh karena itu agama
semestinya dipahami secara produktif sebagai sarana transformasi sosial.
Segala bentuk wacana pemikiran keIslaman tidak seharusnya tidak
menampilkan agama sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebaliknya
pemikiran itu dilakukan dalam rangka membebaskan akal, dan perilaku
dan etika yang dapat membentuk kesalehan sosial. Oleh karena itu sudah
semestinya agama dijadikan sebagai kekuatan kritik, dan bukan
sebaliknya, anti kririk.
112
6. Kemanusiaan
Dalam pandangan Muslim moderat, Sejak awal kehadirannya, Islam
memperlihatkan tekad yang besar dalam upaya membangun masyarakat
yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam
pandangan Islam moderat, Al-Qur‟an mengajarkan bahwa manusia secara
keseluruhan telah mendapat kemuliaan (takrim) dari Allah SWT, tanpa
membedakan agama, ras, warna kulit dan sebagainya (QS. Al-Isra: 70).
7. Pluralisme
Sebagaimana ditunjukkan oleh namanya, Islam adalah agama damai dan
menyukai perdamaian. Dalam kerangka perdamaian itu Al-Qur‟an
memandang fakta keanekaragaman agama sebagai kehendak Allah,
sebagaimana juga Nabi Muhammad sebagai seorang Rasul dari sebagian
rasul yang di utus kepada umat manusia. Perbedaan agama terjadi karena
perbedaan millah yang dianut oleh Islam, Kristen dan Yahudi. Dan agama
yang berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan.
8. Sensitifitas
Islam diturunkan oleh Allah sebagai penuntun (hadi), pembawa kabar
gembira (basyir) dan pembawa peringatan (nadzir) bagi umat manusia.
Dengan fungsi ini Islam mengakibatkan perubahan cara pandang
pemelauknya terhadap perempuan. Islam mendeklarasikan kesamaan hak
dan kewajiban laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan.
113
9. Non diskriminasi
Sejak awal kehadirannya Islam secara tegas menentang penindasan,
peminggiran dan ketidakadilan. Praktek teladan Nabi di Madinah dengan
membangun kesepakatan mengenai hak dan kewajiban yang sama diantara
kelompok-kelompok suku dan agama menunjukkan kesetaraan dan non
diskriminasi adalah prinsip sentral dalam Islam. Melalui prinsip kesetaraan
dan non diskriminasi diantara elemen masyarakat itulah Nabi membangun
tatanan masyarakat yang sangat modern dilihat dari ukuran zamannya32
.
Islam moderat lebih dikenal sebagai bentuk lawan dari Islam fundamentalis atau
Islam garis tengah. Alasan utama dilahirkannya istilah Islam moderat oleh para
pendirinya adalah karena adanya Islam garis keras tersebut.
Sikap Islam moderat terhadap wanita sangat adil dan proporsional. Islam
moderat sangat menghargai kedudukan perempuan sebagaimana memberikan
arahan – arahan untuk dapat menjaga kehormatan dan harga perempuan sebagai
makhluk Allah dengan segala keunikannya. Islam moderat menetapkan
persamaan antara laki – laki dan perempuan dalam hal kemuliaan dan tanggung
jawab secara umum33
, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits “Perempuan
adalah belahan dari pria”(HR. Ahmad dari Aisyah r.a). adapun terkait tugas
masing – masing dalam keluarga dan masyarakat, Islam moderat menetapkan
32 http://mukhsinjamil.blog.walisongo.ac.id/2013/12/20/Islam-moderat/
33 Nuzhatul-Muttaqin Syarh Riyadhush-Sholihin, Dr Musthofa Sa’id Al-Khin dkk, cet: 15
(1408/1988M), Mu’assasah Ar-Risalah Beirut
114
sikap proporsional bagi laki – laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban
mereka mereka sekaligus sebagai bukti keadilan Islam, “Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf” (QS.Al-Baqarah: 228)34
Posisi wanita dalam Islam moderat juga dapat dilihat dari perhatiannya
kepada kewajiban pendidikan perempuan secara khusus. Pendidikan perempuan
dalam Islam moderat diawali dengan pendidikan dasar, yaitu akidah dan prinsip
iman, ibadah dan akhlak wanita muslimah. Demikian juga pendidikan skill dan
keterampilan bagi wanita sesuai kebutuhan zaman.35
Nilai mulia perempuan juga
dapat dilihat dari perannya sebagai pendamping laki – laki, pertana kebesaran
Allah SWT menjadikan manusia dari satu asal (Adam a.s) yang kemudian
melengkapi pasangan untuknya seorang istri (Hawa), dari sana berawal proses
penciptaan lahirnya anak manusia sebagai asal muasal kejadian manusia yang
kemudian menjadi titik tolak berlakunya hokum sosial dalam Islam. Perhatian
Al-Quran terhadap wanita dan permasalahannya sangat Nampak pada
pengangkatan kewanitaan, baik pada aspek figure dan kriterianya maupun aspek
masalah – masalah yang dibahas. Perempuan dalam Islam sebagaimana
dijelaskan memiliki hak dan kewajiban sebagaimana kaum laki – laki ,
sebagaimana Islam moderat mengangkat prinsip persamaan antara laki – laki
dan perempuan, namun juga menyatakan realitas perbedaan baik fisik maupun
emosi antara laki – laki dan perempuan, karenanya persamaan dan kebebasan
34 Ibid
35 Qomus Al-Quran aw Ishlah Al-Wujuh wa An-Nadho’ir fi Al-Qur’an al-Karim, Al-faqih Al-Mufassir,
Al-jami’ Al-Hussein Mohammad Ad-Damighon, Darul-Ilmi lil Malayin Beirut, cet: 3 (1980)
115
yang dimiliki kaum perempuan direalisasi secara proporsional sesuai batas –
batas yang ditentukan syariat islam.36
Novel Ratu yang Bersujud menitikberatkan kepada bagaimana seorang
perempuan yang tadinya mencoba untuk menyuarakan emansipasi kaum
perempuan dan melihat agama Islam sebagai musuh bagi perempuan lalu
akhirnya berpaling menjadi seorang muslim dan menjadi sosok perempuan
dalam Islam dikarenakan contoh yang telah diberikan seorang perempuan yang
lain. dalam hal ini yaitu saudaranya sendiri. Contoh yang diberikan dalam novel
ini mengenai perempuan memperlihatkan adanya hubungan antara pemikiran
Islam moderat terhadap novel Ratu yang Bersujud, kita bisa lihat dari dua
prinsip yang ada pada pemikiran Islam moderat yaitu Kesetaraan dan juga
sensitifitas , kesetaraan melihat bagaimana tidak membeda bedakannya
seseorang baik dia laki – laki ataupun perempuan semua mempunyai harkat dan
martabat yang sama, di dalam novel Ratu yang Bersujud juga dapat terlihat
bahwa dari beberapa kalimat yang telah ditunjukan bahwa perempuan adalah
mitra dari laki – laki ini mengindikasikan bahwa di dalam novel Ratu yang
Bersujud terdapat prinsip kesetaraan yang ada pada pemikiran Islam moderat
tidak hanya sampai disitu saja kita lihat dimulai dari awal pertemuan dua tokoh
sentral yang ada pada novel tersebut yaitu Charlotte dan melati terlihat walaupun
banyak sekali diskriminasi terhadap Islam tentang perempuan namun semua itu
36
Malamih al-Mujtama’ al-Muslim alladzi Nansyuduhu, Yusuf al-Qaradhawi, Hal: 360-361, cet. 1
tahun 1417/1996M, Muassasah ar-Risalah Beirut.
116
dapat dipatahkan dengan jawaban jawaban yang memang pernah terjadi di
dalam kehidupan masyarakat dan bukti – buktinya telah jelas ada.
117
117
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Ratu yang Bersujud merupakan sebuah fiksi islami di Indonesia dari sang
penulis Mahdavi yang dikemas dalam bentuk novel. Dalam novel tersebut
Mahdavi menggunakan dua tokoh utama Charlotte dan Lale. Melalui tokoh
tersebut dalam novel Ratu yang Bersujud, mahdavi mengungkapkan
kegelisahannya sekaligus perlawanan terhadap kaum feminis terhadap propaganda
buruk tentang nilai – nilai perempuan dalam Islam.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi nilai
perempuan dalam Islam yang ada pada novel Ratu yang Bersujud. Berdasarkan
analisis yang telah dilakukan oleh penulis dengan menggunakan metode semiotika
Roland Barthes, maka penulis menyimpulkan bahwa nilai perempuan dalam Islam
pada novel Ratu yang Bersujud direpresentasikan melalui pemakaian hijab yang
menjadi identitas bagi kaum muslim perempuan di dalam novel perempuan dalam
agama Islam ditandai dengan ciri – ciri pakaian yang salah satunya adalah
pemakaian hijab, lalu berikutnya adalah seseorang yang berkewajiban untuk
beribaha kepada Tuhan dan yang terakhir adalah dapat kita lihat dari bagaimana
perempuan saat mengikuti aturan dan norma yang berlaku kepadanya seperti hak
dan kewajiban perempuan, peran hingga hubungan antara perempuan dan laki –
laki.
118
Representasi nilai perempuan dalam novel ini pun erat kaitannya dengan
salah satu pemikiran Islam yakni Islam moderat karena contoh yang didapatkan
sangat cocok dengan pemikiran Islam moderat seperti tidak adanya diskriminasi
melalui pemaparan hak dan kewajiban yang sama baik laki – laki atau perempuan,
yang kedua adanya kesetaraan dapat dilihat dalam novel ini menempatkan
perempuan sebagai mitra atau partner dati laki – laki, yang ketiga pluralisme
dapat dilihat dari banyak suku bangsa yang ada dalam novel tersebut ada Yahudi,
Nasrani, Islam dan Kristen lalu hingga sampai pada konsep Al-Quran sebagai
kitab yang terbuka yang dimana dapat kita lihat dari novel diatas banyak
mengguanakan sumber sumber dari Al-Quran yang memang dapat mengikuti
perkembangan zaman.
119
5.2 Saran
Dari penelitian ini sarannya adalah sebagai berikut :
1. Akademis
Semoga penelitian ini bisa dijadikan penelitian selanjutnya yang
membahas lebih lanjut tentang bagaimana novel sebagai bentuk media
komunikasi massa yang bisa menjadi sarana representasi agar tidak melulu
soal film dan iklan saja.
2. Praktis
Novel Ratu yang Bersujud ini sudah baik dalam merepresentasikan nilai
perempuan dalam Islam namun hanya sebatas pada Islam saja tidak
melihat dari pandangan yang lain seakan terkesan bahwa pembahasan
yang menarik soal perempuan hanyalah pada Islam saja. Novel Ratu yang
bersujud ini belum bisa menjadi sarana informasi mengenai nilai
perempuan dari berbagai perspektif, karena akan timpang jadinya jika
yang dilihat hanya seputar nilai perempuan dalam Islam saja tidak ada
pembanding ini bisa menjadi nilai minus karena akan banyak
menimbulkan pertanyaan negative terhadap Islam itu sendiri.
Bagi khalayak yang belum membaca novel Ratu yang Bersujud ini
diharapkan agar lebih cermat dalam memahami pesan pesan yang
disampaikan dari novel tersebut. Pesan yang terkandung di dalam novel
adalah pembelajaran dan sumber informasi. Kita harus benar – benar
memahami dengan baik pesan yang disampaikan oleh novel Ratu yang
120
Bersujud, karena jika tidak justru kita yang akan terprovokasi atau malah
bingung sendiri melihat hanya ada satu wacana saja yang diperdebatkan.
Bagi pengarang novel hendaknya mencoba untuk memberikan suatu
informasi atau merepresentasikan sesuatu tidak hanya dari satu sudut
pandang saja, tidak hanya menceritakan hanya dari sudut pandang Islam
saja tetapi juga dari berbagai macam perspektif lainnya. Relevansi yang
diharapkan adalah stimulus akan makna nilai perempuan dalam Islam bisa
dijadikan sumber pengetahuan karena novel itu sendiri merupakan media
komunikasi massa yang bertujuan juga untuk memberikan informasi
kepada khalayak luas
121
DAFTAR PUSTAKA
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media,
Yogyakarta: Jalasutra
Mahdavi, Mochammad. 2012. Ratu Yang Bersujud, Jakarta: Republika
Nunuk, Muniarti. 2004. Getar Gender 1, Yogyakarta: Yayasan Indonesiatera
Suyanto, Bagong dan Narwoko, J.Dwi. 2007. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Shihab, M.Quraish. 2013. Perempuan, Jakarta: Lentera Hati
Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi, Jakarta: Remaja Rosdakarya
Sobur Alex. 2001. Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan
Analisis Framing, Bandung: Remaja Rosdakarya
Skripsi :
Akhmad Padilla. 2013. “Representasi Sensualitas Perempuan dalam Iklan”.
Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN Sunan Kalijaga
Dhika Widyanintya. 2011. “Representasi Perjuangan Hidup dalam Novel surat
kecil untuk tuhan”. Skripsi. FISIP, UPN
Faninda Zenitsa. 2010. “Representasi Perempuan (Studi Semiotika Tentang
Representasi Perempuan Dalam Novel “Perempuan Keumala”
karya Endang Moerdopo)”. Skripsi. FISIP, UPN
Sumber Online :
AlQuranMulia, Tafsir ibnu katsir Surah Ali Imraan 195, diakses dari
https://alquranmulia.wordpress.com/2015/03/20/tafsir-ibnu-katsir-surah
ali- imraan-ayat-195/ pada tanggal 28 Februari 2016 pukul 17.07
Kerangka dan Langkah - Langkah Penelitian Analisis Semiotika diakses dari
http://element.esaunggul.ac.id/file.php?file=%2F6004%2FKerangka_dan_
Langkah.pdf pada 22 Maret 2016 pukul 19.02
122
Ni Wayan Sartini, Tinjauan Teoritik tentang Semiotik, diakses dari
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/Tinjauan%20Teoritik%20tentang
%20Semiotik.pdf pada 7 Maret 2016 pukul 15.21
Perempuan dalam perspektif budaya, diakses dari
https://agnessekar.wordpress.com/2009/01/08/perempuan-dalam-
perspektif-budaya/ pada 7 Maret 2016 pukul 14.51
Sudarwati, D Jupriono, Betina, Wanita, Perempuan:Telaah Semantik Leksikal,
Semantik Historis, Pragmatik diakses dari
http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html pada 6 Maret
2016 pukul 13.23
123
123
124
124
125
125
126
126
127
127
128
128