representasi femininitas dalam anime gake no ue …

18
REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE NO PONYO Marini Adline Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas representasi femininitas dalam anime Gake no Ue no Ponyo karya Hayao Miyazaki. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konstruksi imaji femininitas dalam anime tersebut. Metode analisis dalam skripsi ini menggunakan pendekatan semiotika Rolland Barthes. Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan teori Dorothy Smith dalam bukunya Text, Fact, and Femininity (1990). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa representasi femininitas dalam anime Gake no Ue no Ponyo bertentangan dengan representasi femininitas umumnya ada dalam budaya patriarki, ditampilkan dalam bentuk femininitas yang bernegosiasi yaitu strategic femininity. REPRESENTATION OF FEMININITY IN ANIME GAKE NO UE NO PONYO Abstract This study focused on representation of femininity which is contained in Hayao Miyazaki’s anime Gake no Ue no Ponyo. The purposed of this study is to analyze the construction image of femininity that is shown in the anime. The analysis method of this study uses Rolland Barthes semiotic approached. The discussion in this study uses the theory from Dorothy Smith in her book, Text, Fact, and Femininity (1990). The result of this research showed that the representation of femininity in Gake no Ue no Ponyo anime as a contrary to the representations of femininity known in patriarchal culture, showed by the negotiation in femininity namely strategic femininity. Keywords: Representation, femininity, anime, Gake no Ue no Ponyo Pendahuluan Anime merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut animasi produksi Jepang. Dalam penggunaannya, istilah anime terkadang mengalami bias dengan animasi secara umum 1 yang seringkali diasosiasikan dengan anak-anak. Anime populer pada tahun 90-an seperti Pokemon atau Sailor Moon dapat dikatakan memiliki kedekatan dengan animasi pada umumnya. Akan tetapi, tidak semua anime berisi konten ringan untuk anak-anak. Adapula anime dengan konten lebih beragam, seperti paska kiamat dalam Akira, penderita skizofrenia 1 Pengertian animasi secara umum cenderung diasosiasikan dengan cartoon atau kartun seperti Disney di Amerika. Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Upload: others

Post on 19-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE NO PONYO

Marini Adline

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Skripsi ini membahas representasi femininitas dalam anime Gake no Ue no Ponyo karya Hayao Miyazaki. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konstruksi imaji femininitas dalam anime tersebut. Metode analisis dalam skripsi ini menggunakan pendekatan semiotika Rolland Barthes. Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan teori Dorothy Smith dalam bukunya Text, Fact, and Femininity (1990). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa representasi femininitas dalam anime Gake no Ue no Ponyo bertentangan dengan representasi femininitas umumnya ada dalam budaya patriarki, ditampilkan dalam bentuk femininitas yang bernegosiasi yaitu strategic femininity.

REPRESENTATION OF FEMININITY IN ANIME GAKE NO UE NO PONYO

Abstract

This study focused on representation of femininity which is contained in Hayao Miyazaki’s anime Gake no Ue no Ponyo. The purposed of this study is to analyze the construction image of femininity that is shown in the anime. The analysis method of this study uses Rolland Barthes semiotic approached. The discussion in this study uses the theory from Dorothy Smith in her book, Text, Fact, and Femininity (1990). The result of this research showed that the representation of femininity in Gake no Ue no Ponyo anime as a contrary to the representations of femininity known in patriarchal culture, showed by the negotiation in femininity namely strategic femininity.

Keywords: Representation, femininity, anime, Gake no Ue no Ponyo

Pendahuluan

Anime merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut animasi produksi Jepang.

Dalam penggunaannya, istilah anime terkadang mengalami bias dengan animasi secara

umum1 yang seringkali diasosiasikan dengan anak-anak. Anime populer pada tahun 90-an

seperti Pokemon atau Sailor Moon dapat dikatakan memiliki kedekatan dengan animasi pada

umumnya. Akan tetapi, tidak semua anime berisi konten ringan untuk anak-anak. Adapula

anime dengan konten lebih beragam, seperti paska kiamat dalam Akira, penderita skizofrenia

1 Pengertian animasi secara umum cenderung diasosiasikan dengan cartoon atau kartun seperti Disney di Amerika.

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 2: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

dalam Perfect Blue, bahkan mengenai seks dan samurai yang ditujukan bagi penonton jenjang

usia atas (Corlis, 1999; dalam Napier, 2000). Dengan begitu, anime tidak dapat disamakan

dengan animasi secara umum.

Perlu diketahui bahwa di Jepang, anime menjadi konsumsi masyarakat sehari-hari. Hal

tersebut dapat disetarakan dengan konsumsi masyarakat terhadap program televisi harian.

Dapat dikatakan anime merupakan budaya populer kontemporer yang berkembang dalam

masyarakat Jepang. Dewasa ini, perkembangan tersebut meluas hingga skala internasional.

Dengan begitu, anime berkembang menjadi budaya populer yang tidak hanya milik Jepang

namun masyarakat secara global (Napier, 2000).

Perkembangan anime sebagai budaya kontempoer global tersebut tentunya pararel

dengan pengaruh pasar internasional. Sebagai produk yang telah menglobal, anime

berkembang dengan menyesuaikan diri terhadap permintaan pasar. Meskipun begitu, anime

tetap mencirikan dirinya dengan budaya asalnya yakni budaya Jepang. Anime kerap

membawa unsur-unsur kejepangan di dalamnya, baik dalam bentuk struktur maupun isi.

Tidak jarang hal-hal yang berkaitan dengan budaya Jepang dimunculkan di dalam anime,

seperti kepercayaan Shinto, teater tradisional Kabuki dan lain sebagainya yang diolah sekian

rupa ke dalam bentuk animasi (Thomas, 2012; Suan, 2013). Selain itu, anime juga

merefleksikan keadaan budaya Jepang dalam bentuk isu, angan-angan, maupun mimpi buruk

berkaitan dengan keadaan masa kini (Napier, 2000).

Jika diperhatikan, masing-masing anime membawa gagasan yang ingin disampaikan

kepada penonton. Gagasan tersebut tidak hanya berhubungan dengan budaya tradisional,

namun berhubungan dengan budaya modern Jepang atau keadaan Jepang dewasa ini.

Termasuk pandangan mengenai nilai femininitas di Jepang kontemporer (Cavallaro, 2006).

Femininitas adalah nilai-nilai yang mengatur bagaimana perempuan berlaku dalam

masyarakat. Biasanya diidentikkan dengan sifat feminin seperti lemah lembut, keibuan, dan

lain sebagainya. Secara sederhana femininitas dapat diartikan sebagai segala hal yang bersifat

kewanitaan. Oleh karena itu, studi mengenai femininitas tidak lepas dari objek asosiasinya

yakni perempuan. Dalam anime, gambaran femininitas masih erat diasosiasikan dengan

peran-peran gender tradisional, seperti pemunculan perempuan dengan peran dan sifat

feminin.

Salah satu sutradara animator Jepang yang kerap memunculkan nilai-nilai femininitas

dalam animenya adalah Hayao Miyazaki. Miyazaki dianggap menampilkan karakter

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 3: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

perempuan terutama shoujo2 yang dianggap anomali dibandingan dengan karakter shoujo

pada anime secara umum (Napier, 2000). Miyazaki cenderung memunculkan karakter shoujo

sebagai protagonis yang memiliki sifat mandiri bahkan cenderung maskulin. Seperti contoh

Kiki dalam Kiki’s Delivery Service (1989), Mei dalam My Neighbor Totoro (1988), Nausicaä

dalam Nausicaä of the Valley of Wind (1984).

Gake no Ue no Ponyo merupakan salah satu anime Miyazaki yang memiliki keunikan

dalam memunculkan karakter shoujo. Akan tetapi tidak hanya karakter shoujo yang

ditonjolkan tampil dalam imaji tidak pada umumnya. Keunikan tersebut Miyazaki tampilkan

pula pada karakter-karakter lainnya. Gake no Ue no Ponyo berkisah mengenai Ponyo, seekor

ikan emas yang kabur daari rumah karena ingin menjadi manusia. Ponyo merupakan

protagonis yang digambarkan sebagai anak perempuan lincah. Ponyo memiliki seorang ayah

bernama Fujimoto yang selalu mengekang dirinya dan adik-adiknya di dalam rumah.

Tindakan membangkang Ponyo untuk keluar tanpa izin ayahnya, mempertemukannya dengan

Sousuke. Semenjak saat itu perjalanan Ponyo dimulai, dan kedatangannya ke dunia manusia

diikuti dengan konflik alam yang menimpa tempat tinggak Sousuke. Konflik tersebut

akhirnya dapat diselesaikan berkat bantuan Granmamare yakni ibu Ponyo yang merupakan

dewi laut.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah penelitian yakni

representasi femininitas dalam anime Gake no Ue no Ponyo. Berdasarkan paparan sinopsis

singkat dapat dilihat bahwa femininitas yang dimunculkan dalam anime Hayao Miyazaki

tidaklah umum. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka

dengan ancangan semiotika Rolland Barthes. Data dikumpulkan secara langsung dari anime

kemudian diolah dengan sumber-sumber valid yang ada.

Representasi Femininitas dalam Anime

Hall (1997) mengatakan bahwa representasi adalah produksi makna dari suatu konsep

yang ada dalam pikiran kita melalui bahasa. Bahasa menggunakan tanda dan simbol baik

berupa suara, tulisan, gambar elektronik, not balok, bahkan objek, untuk mewakili atau

merepresentasikan konsep, ide, dan perasaan kita kepada orang lain. Hubungan antara konsep

dan bahasa memungkinkan kita untuk memaknai suatu objek, manusia atau kejadian pada

2ShoujoadalahistilahJepangyangdigunakanuntukmenyebutgadiskecilsampaigadisyangberadapadamasaremajaawal.

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 4: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

dunia ‘nyata’, sampai objek, manusia, dan kejadian pada dunia fiksi. Makna tersebut tidak ada

dengan sendirinya dalam suatu objek di dunia ini, melainkan dikonstruksi dan diproduksi. Hal

tersebut merupakan hasil dari praktik penandaan, yakni praktik menghasilkan makna dan

membuat sesuatu bermakna (Hall 1997:24). Dengan begitu, representasi femininitas berarti

perwakilan gambaran-gambaran femininitas yang ada dalam pikiran kita melalui suatu media.

Dorothy Smith (1990) menekankan pentingnya peran teks dalam representasi

femininitas. Femininitas menurutnya merupakan hasil dari relasi sosial antara perempuan

dengan organisasi sosial dalam masyarakat, yang diperantarai oleh teks diskursus. Setiap

kegiatan sosial yang dilakukan di masyarakat diterjemahkan ke dalam teks, termasuk

femininitas (Smith, 1990:121). Teks dalam pengertian Smith mengandung arti luas, lebih dari

sekedar teks tertulis. Teks di dalamnya termasuk majalah, iklan, tayangan televisi, kosmetik,

dan lain sebagainya. Di dalam teks tersebut terdapat diskursus yang mendefinisikan

bagaimana perempuan seharusnya berlaku, yang dikenal sebagai femininitas.

Konstruksi imaji berkaitan dengan femininitas menurut Smith merupakan konstruksi

patriarki, sehingga representasi femininitas dalam teks menjadi bias laki-laki. Hal tersebut

menurutnya acapkali menghilangkan subjektifitas atau suara perempuan terutama dalam ranah

publik. Selain itu, konstruksi representasi femininitas tidak lepas dari maskulinitas.

Identifikasi femininitas dilakukan dengan mengontraskan femininitas dengan maskulinitas

(Browne dan France, 1985; dalam Smith 1990:129). Oleh karena itu, representasi tersebut

menempatkan perempuan sebagai objek, sehingga femininitas yang tampil merupakan

idealisasi laki-laki akan sosok perempuan yang sempurna. Dengan begitu, representasi

femininitas dalam teks diskursus biasanya menampilkan perempuan yang misalnya, menarik

secara fisik, lemah lembut, pasif seksual dan subordinasi laki-laki. Hal tersebut menurut

Smith sejalan dengan model diferensiasi gender menurut Rousseau: the man is for himself and

the woman is for him (Smith 1990:131).

Dalam praktiknya, femininitas memiliki ragam dalam pengekspresiannya. Hal tersebut

dibakukan oleh, Raewyn W. Connell dalam konsep ‘hegemonic masculinity’ dan ‘emphasized

femininity’. Konsep dasar dalam pembentukan ragam tersebut berangkat dari konsep dominasi

laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat patriarki (Connell dalam Giddens, 2009:611-

612). Dalam skema tersebut Connell menunjukkan adanya hubungan hirarki dalam

maskulinitas dan femininitas. Baik maskulinitas dan femininitas memarjinalkan tipe

maskulinitas dan femininitas lain yang dipandang sebagai bentuk tidak ideal dalam

masyarakat. Seperti dalam femininitas, tingkatan teratas dimulai dari emphasized femininity

yang diasosiasikan dengan tingkah feminin pada perempuan. Diikuti resistant femininity yang

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 5: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

menjadi penentang nilai-nilai feminin perempuan dan dominasi laki-laki. Pada tingkat terakhir

yakni strategic femininity yaitu femininitas yang muncul karena adanya negosiasi antara

emphasized femininity dan resistant femininity.

Ragam femininitas tersebut juga dapat ditemukan dalam anime sebagai sebuah teks.

Dalam argumen Smith (1990) yang telah dipaparkan sebelumnya tidak disebutkan secara

spesifik mengenai anime. Akan tetapi, anime sebagai perkembangan lanjut dari manga3 yang

ditampilkan sebagai gambar bergerak dapat diperlakukan sebagai sebuah teks tempat

diskursus femininitas berada. Lebih lanjut, perkembangan zaman menjadikan anime

berkembang semakin dekat dengan sinema. Secara teknis, pemilihan gambar dan penayangan

gambar anime mengadopsi cara yang dilakukan dalam memproduksi film. Anime tidak hanya

memasukkan potongan gambar, namun menitikberatkan pada pergerakan. Di dalam sinema,

pergerakan tersebut tidak hanya pergerakan gambar, namun pergerakan dalam pikiran

(Deleuze, dalam Brown, 2006:1).

Berdasarkan pemaparan tersebut, anime dapat diperlakukan layaknya media teks film

yang membawa ideologi dan doktrin berkaitan dengan femininitas. Hal tersebut mengindikasi

bahwa anime merupakan salah satu tempat femininitas dikonstruksi dalam lingkup

masyarakat Jepang. Meskipun dalam perkembangannya, anime sudah masuk ke dalam

lingkup internasional, anime masih layak digunakan untuk melihat konstruksi femininitas

Jepang.

Untuk melihat representasi femininitas dalam anime tentunya tidak lepas dari peran

target produksi anime tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anime berangkat

dari manga. Di dalam produksinya, anime dan manga memiliki target konsumen yang

dibedakan berdasar gender yakni perempuan dan laki-laki (Napier, 2005:10). Secara

sederhana, pengelompokkan tersebut lebih dikenal luas sebagai genre shounen dan shoujo.

Shoujo merupakan genre yang ditargetkan untuk perempuan, sedangkan shounen merupakan

genre yang ditujukan untuk laki-laki4. Hal tersebut juga berlaku pada anime, mengingat anime

pada umumnya mengadopsi cerita dari manga. Lebih lanjut, pada genre shoujo menampilkan

visualisasi yang penuh bunga, cantik, bergaya romantis, serta menampilkan cerita penuh

romansa dan emosional. Sedangkan genre shounen lebih berfokus pada aksi dan petualangan

3MangaadalahistilahuntukmenyebutkomikdalambahasaJepang.Meskipunterdapatbeberapaperbedaanantarakomikdanmanga.4 Terminologi shounen dan shoujo digunakan dalam penelitian ini untuk memisahkan jenis anime yangditujukan bagi laki-laki dan perempuan, agar pengelompokkannya dapat lebihmudah dimengerti.Meskipundalam perkembangannya, kedua terminologi tersebut memiliki sub lainnya seperti seinen yakni genre yangdiperuntukkanuntuklaki-lakilebihdewasa,danjoseiyaknigenreyangdiperuntukkanbagiperempuandewasa.

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 6: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

(McCarthy, 1996:13). Selain itu, dalam genre shoujo ditekankan mengenai hubungan antar

manusia dan persahabatan antar perempuan (Prough dalam Johnson-Woods, 2010).

Visualisasi perempuan sekitar tahun 1980 dan 1990 pada anime cenderung menganut

nilai tradisional. Terutama pada anime shounen perempuan kurang ditampilkan menonjol.

Tokoh utama pada genre tersebut biasanya laki-laki, dan perempuan berada pada posisi kedua

sebagai ibu, saudara perempuan, maupun kekasih (Johnson-Woods, 2010). Misalnya seperti

Slam Dunk, Dragon Ball, dan lain sebagainya. Anime shounen acapkali mengangkat tema

olahraga, teknologi, petualangan, bela diri, dan pada tingkat lebih jauh kekerasan, nudity, dan

lain sebagainya. Lebih lanjut, dalam perkembangnnya, genre tersebut berkembang

mengadopsi unsur romansa, meskipun diidentifikasi sebagai genre maskulin (Drummon-

Mathew, dalam Johnson-Woods, 2010). Perkembangan unsur romansa tersebut, diikuti

dengan peningkatan peran perempuan sebagai pasangan dari laki-laki. Akan tetapi visualisasi

perempuan tidak jauh dari sosok yang diidealkan laki-laki. Perempuan dikaitkan dengan peran

submisif, domestik, patuh, dan seakan hanya ada untuk memenuhi kebutuhan protagonis laki-

laki. Seperti yang tampak pada anime Video Girl Ai, Urusei Yatsura, Oh My Goddes!. Lebih

jauh, perempuan tidak jarang diseksualisasikan secara visual dan digambarkan sangat jauh

dari kenyataan. Eksistensinya ibarat alien yang berasal dari dunia berbeda (Napier, 2000).

Selain itu, perempuan juga diseksualisasikan, submisif, dan acapkali menjadi korban

kekerasan (Mc-Lelland, 2010).

Sedangkan pada anime shoujo, umumnya perempuan dimunculkan sebagai protagonis.

Akan tetapi, kehadirannya tidak lepas dari hubungannya dengan karakter laki-laki di

dalamnya. Kehadirannya dihargai ketika ia mendapatkan perhatian dari laki-laki yang

disukainya, dengan berusaha menjadi apa yang diinginkan laki-laki tersebut yakni bertingkah

laku dengan sangat feminin. Representasi femininitas perempuan tersebut menjadi penunjang

genre shounen yang saat itu lebih menguasai pasar. Contoh manga populer yang termasuk

dalam golongan shoujo tersebut adalah Fruits Basket, Sailor Moon, Cardcaptor Sakura.

(Prough dalam Johnson-Woods, 2010). Lebih jauh, berkaitan dengan gambaran femininitas

dalam genre shoujo adalah kemunculan bishounen. Bishounen adalah laki-laki yang memiliki

penampilan androgini, atau dikenal dengan laki-laki cantik. Dalam perkembangan lebih lanjut,

mempelopori terciptanya anime dan manga shounen-ai atau bertema homoseksual (Mc-

Lelland dalam Johnson-Woods, 2010). Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada pergeseran

dalam representasi femininitas yang awalnya dikaitkan dengan perempuan, dapat diadopsi

oleh karakter laki-laki.

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 7: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

Dengan begitu, pola-pola yang acapkali dimunculkan dalam kedua genre tersebut

menjadi stereotip yang membedakan gender antara perempuan dan laki-laki dalam anime.

Jika mengacu pada argumen Smith (1990) pada poin sebelumnya, terdapat pembentukan pola

dasar dari femininitas tersebut yang mendefinisikan femininitas-femininitas berikutnya pada

media anime. Ideologi femininitas yang dibawa oleh anime tersebut adalah perempuan yang

masih terikat dengan tata cara berlaku perempuan Jepang tradisional yakni dengan berlaku

submisif, dan cenderung berperan dalam lingkungan domestik. Lebih jauh, tidak jarang

diseksualisasikan dan mendapat kekerasan.

Akan tetapi pengelompokkan tersebut mengalami pergeseran dalam hal target

konsumen. Seiring dengan perkembangan zaman, kedua genre yang sebelumnya ditujukan

khusus untuk kelompok gender tertentu, dikonsumsi baik oleh pihak laki-laki dan perempuan

(Napier, 2005:10-11). Genre shoujo dan shounen tetap menjadi dasar patokan untuk

mengidentifikasi anime, namun tidak lagi terikat pada gender. Hal tersebut dapat terlihat jelas

dari perkembangan kemunculan karakter shoujo dalam anime yang menjadi dominan muncul

sekitar tahun 1980. Karakter shoujo identik dengan kepolosan, berjiwa anak-anak, serta

biasanya diasosiasikan dengan kawaii (cuteness) dan dianggap sebagai penanda perubahan

femininitas di Jepang karena kepopuleran dalam kemunculannya (Napier, 2005:149). Hal

tersebut terlihat jelas dalam anime ‘magical girl’ yang memunculkan perempuan sebagai

sosok pahlawan, namun tetap terikat dengan norma-norma femininitas tradisional (Saito,

2014).

Kemunculan shoujo juga tampak dalam anime Hayao Miyazaki. Miyazaki kerap

menggunakan shoujo sebagai tokoh protagonis dalam animenya. Tidak hanya sebagai

protagonis, karakter shoujo Miyazaki divisualisasikan berbeda dengan karakter shoujo pada

anime secara umum. Karakter shoujo Miyazaki tidak seperti karakter dalam shoujo klasik

yang direpresentasikan dengan sangat feminin dan senang berkhayal. Karakter shoujo

Miyazaki cenderung aktif dan mandiri. Ia dapat mengatasi kesulitan di sekitarnya dengan

kekuatannya. Lebih lanjut, karakternya tersebut cenderung mengadopsi apa yang

distereotipkan maskulin (Napier, 2000). Selain itu, Miyazaki juga menampilkan karakter

shoujo dalam sosok agung, seperti Nausicaa dalam Nausicaa of the Valley of the Wind, yang

kehadirannya dapat dikatakan sebagai messiah (Boyd, 2009).

Melihat hal yang telah dipaparkan sebelumnya, representasi femininitas dalam anime

cenderung masih terikat femininitas dominan dalam pengekspresiannya. Hal tersebut terlihat

dari representasi femininitas yang masih berputar pada perempuan submisif, menarik secara

fisik, pasif, yang didalamnya terdapat peran dominan laki-laki, namun tetap tidak lepas dari

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 8: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

peran perempuan dalam melihat femininitas. Jika mengacu pada argumen Smith (1990),

dalam anime terdapat implikasi bahwa anime umumnya masih dikuasai oleh patriarki. Hal

tersebut didukung oleh argumen Napier (2000) mengenai alasan dari representasi femininitas

yang ada pada anime secara umumnya merupakan respon dari perubahan sosial dalam

masyarakat Jepang. Dari argumen tersebut, terdapat implikasi bahwa dalam anime, patriarki

di Jepang masih ‘berusaha’ mempertahankan eksistensinya. Pengaruh paling besar tersebut

dirasakan paska Perang Dunia II, yang menyebabkan perubahan sosial besar pada Jepang

terutama pada perempuan (Napier dalam Brown, 2006).

Meskipun demikian, dalam beberapa kasus, representasi femininitas pada anime tidak

selalu tunduk pada nilai-nilai konvensional. Hal tersebut terlihat jelas pada femininitas yang

salah satunya ditampilkan dalam anime Hayao Miyazaki dengan memunculkan karakter

shoujo yang menjadi pertentangan dalam femininitas yang ada dalam karakter shoujo pada

umumnya. Dengan begitu, mengacu pada konsep Connell (1987) femininitas dalam anime

tidak hanya merupakan emphasized femininity yakni femininitas yang pada umumnya

diangkat dalam anime serta diakui secara normatif dalam lingkup visual anime, dan

menyokong patriarki dalam masyarakat.

Adapula femininitas yang menyatakan resistensinya seperti femininitas yang

ditampilkan dalam shoujo Hayao Miyazaki juga menampilkan resistensinya, namun

cenderung tidak mendukung femininitas konvensional. Dengan begitu argumen Smith (1990)

dapat dikatakan kontras dengan karya Hayao Miyazaki. Miyazaki sebagai laki-laki yang

seharusnya menjadi penyokong dalam patriarki menampilkan perempuan sebagai karakter

utama, terlebih lagi protagonis yang kuat. Akan tetapi, hal tersebut banyak dikatakan terlihat

umumnya pada karakter utamanya, tidak dapat dipastikan pada karakter perempuan lain

dalam karyanya. Hal tersebut menjadi poin menarik untuk melihat femininitas dalam anime

Hayao Miyazaki khususnya dalam penelitian ini adalah Gake no Ue no Ponyo.

Selain itu, mengacu pada argumen Smith sebelumnya bahwa femininitas

direpresentasikan dalam bentuk berulang dalam teks. Representasi yang telah ada dalam teks

digunakan kembali untuk mendefinisikan atau mengkonstruksi femininitas berikutnya yang

ada dalam teks. Dengan begitu, imaji berkaitan dengan femininitas dalam anime yang telah

dijelaskan dalam paparan sebelumnya dapat digunakan sebagai pembanding femininitas yang

dikonstruksi dalam anime Gake no Ue no Ponyo.

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 9: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

Representasi Femininitas dalam Anime Gake no Ue no Ponyo

Sebelum menganalisis representasi femininitas dalam anime Gake no Ue no Ponyo

akan dijelaskan terlebih dahulu ancangan yang digunakan penulis. Pada bagian ini akan

diberlakukan semiotik Rolland Barthes untuk menganalisis data. Analisis tersebut dilakukan

pada adegan yang telah dipilih secara purposif menampilkan nilai femininitas. Proses

pemaknaan adegan dalam anime dilakukan dengan melihat aspek visual dan naratif.

Pemaknaan adegan tersebut juga akan dikaitkan dengan teori dan konsep yang telah

dipaparkan sebelumnya, berkaitan dengan femininitas.

Sesuai dengan semiotika Rolland Barthes, pemaknaan tanda dalam adegan anime

dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap denotasi dan konotasi. Pada tahap denotasi, dilihat

hubungan antara penanda dan petanda dalam keadaan yang sebenarnya. Proses tersebut

menghasilkan makna pasti atau eksplisit, sehingga didapatkan nilai femininitas yang

ditampilkan secara nyata dalam anime. Kemudian, tahap kedua adalah tahap konotasi yang

dilakukan dengan melihat hubungan antara penanda, yang berasal dari hasil proses

pemaknaan pertama, dengan petanda baru yang dipengaruhi oleh konteks sosial budaya.

Proses tersebut menghasilkan makna tidak langsung atau implisit, sehingga didapatkan nilai

femininitas yang dinyatakan secara tersirat di dalam anime.

Proses pemaknaan yang telah dilakukan sebelumnya, lebih lanjut membawa pada apa

yang disebut sebagai mitos oleh Barthes. Mitos yang dimaksud memiliki makna yang berbeda

dengan konsep mitos secara umum. Mitos merupakan makna ideologis sebuah bahasa.

Berkaitan dengan penelitian ini, analisis akan menghasilkan mitos berkaitan dengan

femininitas yang ada pada anime.

Berbicara mengenai femininitas, gambaran-gambaran berkaitan dengan perempuan

perlu diperhatikan lebih mendalam. Di dalam anime Gake no Ue no Ponyo, perempuan pada

umunya divisualisasikan sebagai karakter yang aktif. Selain digambarkan lebih banyak

melakukan aktifitas di luar lingkup domestik. Perempuan dalam anime Gake no Ue no Ponyo

juga cenderung memiliki perilaku yang aktif dibandingkan dengan laki-laki yang ada dalam

anime. Penggambaran perempuan tersebut terdapat dalam karakter Ponyo, Lisa, dan

Granmamare.

Ponyo merupakan protagonis dalam anime. Ia adalah ikan emas yang dalam anime

diidentifikasi sebagai perempuan. Sebagai anak perempuan, Ponyo digambarkan sebagai anak

pembangkang. Sejak awal adegan, Ponyo cenderung tidak peduli terhadap keinginan ayahnya

agar ia tetap berada di rumah. Ponyo kabur dari rumah secara diam-diam untuk melihat dunia

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 10: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

luar yakni dunia manusia. Semenjak bertemu dengan anak manusia lelaki bernama Sousuke,

keinginan Ponyo untuk pergi ke dunia manusia semakin kuat. Ia bahkan ingin menjadi

manusia agar dapat bertemu kembali dengan Sousuke. Dalam perjalanannya tersebut Ponyo

terus menerus mencari cara untuk dapat bertemu dengan Sousuke, meskipun kedatangannya

ke dunia manusia diikuti dengan bencana manusia yang melanda.

Pembacaan adegan secara denotatif memberikan informasi bahwa femininitas yang

ditampilkan pada Ponyo bertentangan dengan femininitas pada umumnya. Ponyo ditampilkan

sebagai gadis kecil yang memiliki kesadaran terhadap keinginan dirinya sendiri. Ponyo juga

ditampilkan agresif daripadi anak lelaki yang berdampingan dengannya. Dalam konteks

budaya patriarki penggambaran tersebut tidaklah wajar. Sebab, penggambaran perempuan

ideal berkisar pada kelakuan lemah lembut serta tindakan pasif. Akan tetapi, jika adegan

dilakukan secara konotatif, didapatkan bahwa meskipun Ponyo dikarakterisasikan sebagai

gadis kecil yang cenderung memiliki tingkah maskulin, ia tetap memiliki sisi feminin. Ponyo

tetaplah seorang gadis kecil biasa yang memiliki sisi perempuan. Ia tetap bertindak seperti

shoujo pada anime secara umum dengan memiliki rasa romansa pada Sousuke.

Selain itu, penggambaran perempuan yang cenderung mengadopsi sifat maskulin tidak

hanya dilakukan Miyazaki pada karakter shoujo saja. Penggambaran femininitas yang

bertentangan dengan norma femininitas umum juga ditemukan pada karakter perempuan yang

lebih tua. Ibu Sousuke yakni Lisa merupakan salah satu contohnya. Ia digambarkan sebagai

seorang ibu pekerja yang melakukan pekerjaan fulltime di panti jompo. Selain itu, Lisa juga

digambarkan sebagai seorang ibu dan istri yang mandiri. Ia dapat menjaga dirinya sendiri dan

melakukan berbagai kegiatan tanpa bergantung pada suaminya yang jarang berada di rumah

karena berprofesi sebagai pelaut.

Pembacaan secara denotatif pada adegan yang memunculkan Lisa, memperlihatkan

bahwa Lisa adalah sosok perempuan yang tidak ideal dalam budaya patriarki. Lisa

digambarkan sebagai seorang istri yang tidak mengerjakan rumah seharian penuh. Lisa juga

digambarkan tidak bergantung pada laki-laki yakni suaminya. Ia cenderung dapat bergerak

sendiri sebagai sosok perempuan bernama Lisa dan memiliki kesadaran dan kendali atas

dirinya sendiri. Tidak seperti gambaran perempuan ideal pada anime secara umum yang

biasanya menampilkan seorang istri sebagai ibu rumah tangga yang selalu mengerjakan

pekerjaan domestik. Selain itu, ia tidak selalu bergantung kepada suaminya untuk melakukan

aktivitasnya. Akan tetapi, meskipun begitu jika dibaca secara konotatif, Lisa tetap

menunjukkan sisi istri dan keibuannya. Saat Lisa melakukan pekerjaannya Lisa tidak

melupakan tugasnya sebagai seorang ibu. Ia tetap menjaga Sousuke untuk tetap berada di

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 11: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

dekatnya. Bahkan tempat kerja Lisa bersebelahan dengan sekolah anaknya. Dalam

kesehariannya juga diperlihatkan seusai Lisa bekerja dan kembali ke rumah, ia tetap

melakukan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Dengan begitu, meskipun Lisa ditampilkan

sebagai sosok perempuan yang tidak pada umumnya, ia tetap memiliki sisi femininnya.

Lebih lanjut, perempuan digambarkan sebagai tokoh yang tampak superior

dibandingkan laki-laki. Hal tersebut dimunculkan Miyazaki melalui Granmamare.

Granmamare merupakan ibu dari Ponyo dan digambarkan sebagai dewi laut. Pada awal

kemunculannya Granmamare tampil sebagai perempuan anggun dan agung. Sosoknya tampil

dalam bentuk besar di tengah laut. Kemunculannya pada saat itu membawa berkah kepada

sekitarnya. Ia juga merupakan sosok yang kuat dan cenderung terlihat beraktifitas di luar

rumah.

Pembacaan teks anime berkaitan dengan Granmamare secara denotatif

memperlihatkan Granmamare sebagai sosok agung. Ia ditampilkan sebagai sosok yang

memiliki kuasa di atas laki-laki bahkan manusia biasa. Dengan begitu, femininitas

ditampilkan dalam bentuk anomali. Perempuan biasanya ditampilkan sebagai sosok yang

inferior laki-laki. Ia bahkan seharusnya tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Namun,

Granmamare ditampilkan sebagai sosok superior daripada laki-laki. Selain itu, Granmamare

seringkali beraktifitas di luar rumahnya walaupun ia adalah seorang ibu dari Ponyo. Meskipun

begitu, pembacaan secara konotatif memunculkan bahwa Granmamare tetap terikat pada

definisi femininitas yang diidealkan secara umum. Granmamare memiliki penampilan ideal

perempuan seusiannya. Ia tampil sebagai seorang istri dari Fujimoto. Gambaran perempuan

sebagai istri merupakan gambaran ideal perempuan dalam teks secara umum. Dengan begitu,

femininitas yang dimunculkan dalam sosok Granmamare merupakan paduan antara resistensi

terhadap penggambaran feminintas secara umum dan femininitas yang diidealkan dalam

masyarakat pada umumnya.

Selain itu, femininitas yang tidak umum dalam anime tampak dengan adanya dominasi

istri dalam keluarga. Hal tersebut ditunjukkan dengan peran aktif istri dalam menghadapi

suaminya. Istri pada konteks ini memiliki kuasa akan dirinya sendiri. Sementara itu suami

cenderung bertindak pasif dalam menghadapi istri. Meskipun peran keibuan masih lekat

ditampilkan pada sosok istri, istri tetap memiliki suara dalam mengutarakan pendapatnya

dalam keluarga. Mereka tidak bertindak submisif. Bahkan dalam adegan tertentu, istri

mengambil peran yang biasa dilakukan oleh suami. Hal tersebut terlihat dari hubungan suami-

istri antara Lisa dengan Kouichi dan Granmamare dengan Fujimoto.

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 12: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

Pembacaan adegan secara denotatif memperlihatkan istri yang memiliki kuasa atas

rumah tangganya. Seperti pada Lisa yang dapat dengan bebas mengekpresikan perasaannya

saat Kouichi suaminya membatalkan janjinya untuk pulang ke rumah. Lisa memilih untuk

marah kepada suaminya sementara suaminya membujuknya untuk berbaikan. Adapula

Granmamare yang memiliki hak suara lebih dalam kehidupan rumah tangganya. Dapat dilihat

pada saat Fujimoto memanggilnya untuk berdiskusi mengenai Ponyo. Sebagai istri,

Granmamare seakan memiliki kuasa di atas suaminya dengan mengambil keputusan akhir dari

diskusi yang dilakukan. Ia bahkan lebih banyak menyumbangkan pendapatnya dan

mempertahankannya daripada mendengarkan pendapat suaminya. Penggambaran tersebut

bertentangan dengan sosok ideal istri sebagai sosok submisif yang menurut pada suaminya.

Femininitas yang dimunculkan seperti yang telah dipaparkan tersebut merupakan bentuk

resistensi femininitas pada umumnya.

Akan tetapi secara konotatif sosok Lisan dan Granmamare tetap memiliki sifat-sifat

femininnya. Meskipun Lisa terlihat tidak patuh terhadap suaminya sehingga dapat dikatakan

Lisa bukan istri yang baik, Lisa tetap bertindak sebagai istri yang baik dalam menjaga

anaknya. Pembagian peran suami sebagai pekerja dan istri sebagai pengurus anak diterapkan

Lisa dalam keluarganya. Kemudian, pada Granmamare hal tersebut ditunjukkan dengan

penggambaran visual Granmamare terlihat sangat feminin. Dapat dilihat dari perhiasan dan

riasan wajah yang ditempelkan pada sosoknya. Hal tersebut sesuai dengan argumen Smith

(1990) bahwa perempuan cenderung ditampilkan sesuai dengan definisi femininitas dalam

patriarki, yang mengasosiasikan perempuan dengan produk-produk kecantikan. Adapula sikap

lemah lembut yang ditunjukkan Granmamare saat berkomunikasi dengan suaminya, yang

mendukung nilai femininitas dominan sebagai seorang istri. Dengan begitu, femininitas yang

dimunculkan dapat dikatakan bahwa femininitas yang dimunculkan adalah resistensi terhadap

femininitas dominan namun memunculkan dukungan terhadap femininitas dominan yakni

dengan memunculkan istri yang berperan sebagai pengambil keputusan namun tetap diikuti

dengan sifat feminin yang umumnya diasosiasikan dengan perempuan yakni peran rumah

tangga dan sikap lemah lembut.

Selain memunculkan femininitas yang tidak umum pada sosok perempuan, didapati

pula adanya pergeseran femininitas dalam anime. Hal tersebut ditunjukkan dalam sosok ayah

Ponyo. Peran mengurus anak merupakan peran domestik yang biasanya dilakukan oleh

seorang ibu di rumah. Akan tetapi, peran tersebut diadopsi pula oleh laki-laki dalam anime ini.

Meskipun tidak digambarkan secara eksplisit, pergerakan Fujimoto yang cenderung banyak

bersentuhan dengan anaknya mengindikasikan perannya sebagai pengurus anak dalam

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 13: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

keluarga. Hal tersebut terlihat dalam interaksi Fujimoto dengan Ponyo dan anak-anak

perempuannya.

Pembacaan adegan secara denotatif menunjukkan peran ayah dalam mengurus

anaknya di rumah. Dapat dilihat dari ketidakhadiran ibu Ponyo saat adegan menyorot keadaan

rumah. Adegan tersebut lebih memunculkan interaksi antara Fujimoto dan anak

perempuannya yang mengindikasikan bahwa Fujimoto mengemban tugas sebagai pengurus

anak di rumah. Hal tersebut ditekankan dengan tindakan Fujimoto dalam memberikan

pendidikan dan pandangan kepada anaknya. Jika mengacu pada nilai femininitas pada

umumnya, peran mengasuh anak di rumah seharusnya dibebankan kepada perempuan yakni

istri (Connell, 1987). Dengan begitu, peran yang dijalankan Fujimoto dalam mengurus

anaknya tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk pergeseran nilai femininitas dalam bentuk

peran ibu yang diadopsi oleh ayah.

Akan tetapi, pembacaan konotatif pada adegan tersebut menunjukkan adanya tindak

pelestarian nilai femininitas dominan yang dilakukan dengan menekan femininitas resisten.

Femininitas yang diadopsi oleh Fujimoto dapat dikatakan merupakan femininitas dominan

karena mendukung adanya pembungkaman suara perempuan. Hal tersebut ditunjukkan

melalui tindakan pengekangan yang dilakukan Fujimoto terhadap anak perempuannya di

rumah. Lebih lanjut, hal tersebut ditunjukkan saat Fujimoto menggunakan sihirnya untuk

meredam kekuatan Ponyo saat ia berusaha kabur dari gelembung yang digunakan Fujimoto

untuk mengurungnya. Femininitas seperti yang ditampilkan secara implisit dalam adegan

tersebut dapat dikatakan merupakan femininitas yang biasa dimunculkan dalam teks anime.

Jika mengacu pada argumen dari Smith (1990) terdapat usaha membungkam perempuan oleh

patriarki agar menjadi semakin lestari dalam masyarakat. Dengan begitu, terdapat implikasi

bahwa meskipun terdapat resistensi terhadap nilai femininitas dominan dengan pergeseran

peran feminin yang diadopsi oleh laki-laki, masih terdapat permbudayaan femininitas

dominan dengan memunculkan penekanan terhadap kebebasan perempuan.

Lebih lanjut, meskipun dalam poin sebelumnya, perempuan dalam anime ini

digambarkan dengan aktif dan melawan nilai femininitas pada umumnya, beberapa adegan

menunjukkan penggambaran femininitas yang stereotip. Stereotip dalam hal femininitas

merupakan sifat yang selalu diidentikkan dengan perempuan yakni feminin. Dalam anime,

respon yang ditampilkan oleh para karakternya saat berhadapan dengan stereotip tersebut

menunjukkan reaksi yang tidak pada umumnya dimunculkan dalam konteks budaya patriarki.

Penggambaran tersebut terlihat jelas ketika Ponyo dan Sousuke ditempatkan dalam satu

adegan.

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 14: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

Pembacaan adegan secara denotatif menunjukkan bahwa ketidakfemininan yang

dibawa oleh Ponyo dipandang sebagai suatu stigma5. Stigma tersebut diberikan oleh teman

perempuan Sousuke yang diidentifikasikan dengan sangat feminin layaknya gambaran ideal

perempuan. Hal tersebut dikarenakan femininitas yang mendominasi melihat femininitas yang

berbeda dengannya sebagai suatu ketidakwajaran, sehingga terjadi subordinasi femininitas

resisten (Connell, 1987). Selain itu, adapula adegan yang menunjukkan nilai-nilai feminin

konvesional seperti peran perempuan sebagi pendukung laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat

pada saat Ponyo dan Sousuke berte,u dengan pasangan suami istri saat mencari ibu Sousuke

ditengah tsunami.

Akan tetapi, pembacaan secara konotatif memperlihatkan bahwa adanya perlawanan

terhadap pandangan terhadap stereotip-stereotip feminin. Seperti pemberian stigma pada

Ponyo yang dilawan secara langsung oleh Ponyo dan mendapat dukungan dari Sousuke.

Selain itu, pada kasus Sousuke dan Ponyo bertemu dengan pasangan suami istri. Peran-peran

konvensional yang dimunculkan dipandang secara positif. Femininitas tidak ditampilkan

sebagai bentuk inferior laki-laki. Akan tetapi, Stereotip feminin pada adegan tersebut

dimunculkan dalam bentuk positif. Ia tidak muncul untuk mendukung laki-laki mengesahkan

kuasanya dalam budaya patriarki dengan bertindak sebagai pembantu, namun sebagai sesuatu

yang ada sejajar dengannya. Jika stereotip feminin tersebut tidak dimunculkan, diasumsikan

usaha yang dilakukan untuk menghadapi bencana tidak akan dapat berjalan dengan baik.

Seperti contoh pada pasangan suami istri yang tanpa peran istrinya anaknya akan terabaikan.

Dengan begitu, dapat dikatakan stereotip feminin dipandang sebagai hal positif yang

ditampilkan bernegosiasi.

Hubungan antar perempuan digambarkan dalam bentuk suportif. Perempuan saling

mendukung untuk membantu satu sama lain melalui tindakan maupun dukungan mental.

Selain itu, ketika perempuan digambarkan bersama, mereka cenderung divisualisasikan

dengan damai. Dapat dilihat dalam hubungan Lisa dan pekerja jompo dengan perempuan

lansia, serta hubungan Lisa dan Granmamare. Penggambaran lebih jelas dipaparkan pada

beberapa cuplikan adegan berikut.

Jika dilakukan pembacaan denotatif terhadap adegan di dalam rumah jompo pada saat

badai melanda, dapat dilihat Lisa dan para pekerja lainnya sibuk mengurus lansia saat lampu

mati karena badai. Lansia yang berada dalam rumah jompo tersebut semuanya adalah

perempuan. Tidak ada lansia laki-laki di dalamnya. Hal tersebut menunjukkan femininitas 5/stig·ma/ncirinegatifyangmenempelpadapribadiseseorangkarenapengaruhlingkungannya.KamusBesarBahasaIndonesia(KBBI).Kamusversionline/daring(dalamjaringan).

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 15: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

resisten dengan menampilkan perempuan lansia tanpa suami. Nenek-nenek tersebut tidak

disubordinasikan oleh laki-laki karena tidak memiliki peran khusus seperti ibu rumah tangga.

Di sisi lain, para pekerja di rumah lansia hampir semuanya adalah perempuan. Hanya ada satu

laki-laki dewasa bertindak sebagai penjaga dan tidak mendapat banyak sorotan. Hal tersebut

menunjukkan perempuan yang bekerja dalam sektor perempuan.

Dengan begitu, femininitas yang ditampilkan secara eksplisit adalah femininitas

resisten oleh perempuan lansia, dan femininitas resistensi yang masih dipengaruhi

maskulinitas hegemoni, yakni perempuan bekerja dalam sektor perempuan, melalui Lisa dan

rekan kerjanya. Kombinasi pemunculan femininitas seperti dalam adegan tersebut dapat

dikatakan bukan merupakan hal yang biasa dimunculkan pada lingkup patriarki. Patriarki

memunculkan perempuan sebagai sosok ideal dalam teks (Smith, 1990). Oleh karena itu,

dapat dikatakan bahwa pemunculan lansia dan pekerja perempuan yang melayani lansia

bukan merupakan imaji yang diidealkan oleh patriarki. Mengacu pada representasi femininitas

teks anime pada umumnya menampilkan perempuan muda yang menarik secara fisik sebagai

hal yang diidealkan (Napier, 2000; Johnson-Woods, 2010).

Akan tetapi, pembacaan konotatif menggambarkan pekerjaan yang dilakukan oleh

Lisa dan rekan kerjanya dalam sektor perempuan dilakukan dengan dasar melayani

perempuan. Meskipun dalam pekerjaan tersebut mereka masih terikat dengan bidang kerja

pelayan yang sangat kuat kaitannya dengan femininitas dominan, pekerjaan tersebut tidak

dilakukan untuk menyokong laki-laki. Dalam adegan tersebut, para pekerja perempuan seakan

menguasai ruang kerjanya daripada pegawai laki-laki yang ada. Tidak didapati adanya

subordinasi laki-laki terhadap perempuan dalam lingkup kerja tersebut. Selain itu, tindak

mengurus yang dilakukan terhadap perempuan lansia tersebut lebih menunjukkan pelayanan

perempuan kepada perempuan lain, dan tidak bersifat mengsubordinasi. Dengan begitu,

adegan tersebut mengimplikasi femininitas resisten pada lansia dan perempuan pekerja di

rumah jompo. Lebih lanjut, kemunculan femininitas tersebut tidak menunjukkan adanya

subordinasi.

Kemudian kemunculan perempuan dalam keadaan damai ditunjukkan pula dalam

adegan di atas. Potongan adegan yang diambil pada gambar di atas adalah saat ibu Ponyo

berbicara dengan Lisa di rumah jompo. Pembacaan denotatif pada adegan tersebut

memberikan informasi secara eksplisit kepada penonton bahwa pertemuan Lisa dan ibu Ponyo

pertama kali berjalan tanpa konflik. Lebih lanjut, melihat keduanya digambarkan jauh dari

keramaian mengindikasi diskusi yang dilakukan keduanya bersifat pribadi. dikatakan Lisa dan

Granmamare sedang membicarakan hal penting. Lebih lanjut, respon para lansia saat

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 16: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

menyatakan dukungannya pada Ponyo dan Sousuke menandakan bahwa diskusi yang mereka

lakukan berkaitan dengan anak mereka. Selain itu, dukungan yang diberikan oleh para lansia

menunjukkan tindak suportif antara perempuan satu dengan lainnya. Penggambaran imaji

femininitas tersebut memiliki kemiripan dengan genre shoujo yang menekankan hubungan

antarmanusia dan persahabatan (Prough dalam Johnson-Woods, 2010). Genre shoujo

merupakan genre stereotip feminin. Dengan begitu, konstruksi femininitas dalam adegan

tersebut menunjukkan definisi berkelanjutan yang pernah ada dalam teks sebelumnya (Smith,

1990). Dalam hal ini yaitu teks anime, yang memunculkan hubungan stereotip perempuan

dalam bentuk hubungan damai dan suportif perempuan.

Akan tetapi, meskipun adegan tersebut secara eksplisit menggambarkan femininitas

stereotip, femininitas tidak digambarkan dalam bentuk negatif. Maksudnya adalah imaji

femininitas tidak digambarkan dalam bentuk inferior laki-laki seperti yang ada dalam teks

anime pada umumnya. Jika dilihat secara denotatif, secara implisit adegan tersebut

menggambarkan ibu sebagai penengah konflik yang sedang terjadi. Mengacu pada konteks

sebelumnya, diskusi tersebut secara tersirat dilakukan sebagai tindakan negosiasi dengan

konflik yang ditimbulkan akibat hubungan kedua anak mereka. Lebih lanjut, dukungan dari

lansia mengimplikasi dukungan terhadap usaha meredakan konflik. Selain itu, pemunculan

stereotip feminin sebagai hal positif didukung dengan ketidakhadiran laki-laki dalam usaha

peredaan konflik di dimensi anime tersebut. Tidak ada campur tangan laki-laki di dalamnya.

Dapat dikatakan perempuan dipandang sebagai kaum yang dapat menyelesaikan masalah

yang terjadi dengan sikap femininnya.

Kesimpulan

Temuan skripsi ini adalah bahwa representasi femininitas dalam anime Gake no Ue no

Ponyo bertentangan dengan konstruksi femininitas dalam budaya patriarki. Pembacaan

adegan anime dengan pendekatan semiotika Rolland Barthes menghasilkan bahwa perempuan

direpresentasikan secara resisten terhadap nilai femininitas dominan. Hal tersebut dilakukan

melalui sikap, tampilan visual, peran yang diemban, dan stereotip yang tidak sesuai dengan

ekspektasi femininitas dominan. Seperti, perempuan aktif, perempuan mendominasi rumah

tangga, pandangan stereotip yang positif, dan hubungan damai antar perempuan. Adapula,

pergeseran dalam representasi femininitas yang digambarkan melalui ayah sebagai pengasuh

anak.

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 17: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

Akan tetapi, representasi yang resisten terhadap femininitas dominan tersebut diikuti

dengan serangkaian aspek feminin. Sehingga, penggambaran femininitas dalam anime Gake

no Ue no Ponyo dapat dikatakan tidak menghilangkan nilai-nilai kewanitaan dalam

melakukan resistensi. Seperti pada tokoh Lisa, ibu Sousuke, yang meskipun secara eksplisit

ditampilkan maskulin, ia tetap dikaitkan dengan peran feminin seperti menjadi ibu. Dengan

begitu, anime Gake no Ue no Ponyo, menghasilkan mitos atau makna ideologis yakni

negosiasi antara femininitas resistensi dengan femininitas dominan dalam patriarki.

Implikasi teoritis berkaitan dengan temuan penelitian dalam skripsi ini terdiri dari dua

poin. Pertama, teori Dorothy Smith bahwa femininitas dalam teks merupakan konstruksi

patriarki, tidak dapat diaplikasikan secara menyeluruh pada anime khususnya Gake no Ue no

Ponyo. Sebab anime tersebut merepresentasikan femininitas bertentangan dengan femininitas

yang umumnya diasosiasikan dengan budaya patriarki. Tidak ditemukan gambaran-gambaran

perempuan yang disubordinasikan oleh laki-laki, perempuan pasif, submisif, maupun

pengobjekkan perempuan seperti penggambaran perempuan yang diseksualisasikan.

Kedua, konsep Raewyn W. Connell mengenai strategic femininity yakni femininitas

yang bernegosiasi, dekat dengan pembacaan teks anime Gake no Ue no Ponyo menggunakan

metode Rolland Barthes. Namun, femininitas tersebut tidak ditampakkan dalam hubungan

yang hierarkis dengan femininitas dominan. Ideologi berkaitan dengan femininitas dominan

cenderung mendapat perlawanan, bahkan terdapat dukungan terhadap femininitas resisten dan

strategik. Dengan begitu, hubungan hierarki dalam femininitas tidak berlaku sepenuhnya

dalam anime tersebut.

Akan tetapi, penelitian ini terbatas pada lingkup teks sempit yakni anime. Lebih

khususnya pada anime karya Hayao Miyazaki yaitu Gake no Ue no Ponyo. Lebih jauh,

penelitian ini hanya difokuskan pada aspek femininitas saja, tidak dapat dipastikan apakah

hasil tersebut akan sama jika ditinjau dari sudut maskulinitas. Diharapkan penelitian ini dapat

membuka prospek studi ke depan untuk meneliti femininitas yang dimunculkan dalam anime

Hayao Miyazaki lainnya, maupun femininitas dalam lingkup anime yang lebih luas.

Daftar Kepustakaan

Artikel Jurnal

Boyd, I. D. (2009). “Shojo Savior: Princess Nausicaä, Ecological Pacifism, and The Green Gospel” dalam

Journal of Religion and Popular Culture Vol. 21, No. 2, Hal. 1-13.

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016

Page 18: REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE …

Saito, K. (2014). “Magic, Shoujo, and Metamorphosis: Magical Girl Anime and the Challenges of Changing

Gender Identities in Japanese Society” dalam The Journal of Asian Studies Vol. 73, No. 1, Hal. 143–

164.

Buku

Brown, S. T. (2006). Cinema Anime: Critical Engangements with Japanese Animation. US: Palgrave Macmillan.

Cavallaro, D. (2006). The Anime Art of Hayao Miyazaki. UK: McFarland & Company

Connell, R. W. (1987). Gender and Power: Society, the Person and Sexual Politics. UK: Polity Press.

Johnson-Wood, T. (2010). Manga: an Anthology of Global and Cultural Perspectives. US: The Continuum

International Publishing Group.

McCarthy, H. (1997). The Anime Movie Guide. Woodstock, NY: The Overlook Press.

Napier, S. J. (2000). Anime from Akira to Princess Mononoke: Experiencing Contemporary Japanese Animation.

USA: Palgrave Macmillan.

________ (2005). Anime from Akira to Howls Moving Castle: Experiencing Contemporary Japanese Animation.

USA: Palgrave Macmillan.

Smith, E. D. (1990). Text, Fact, and Femininity. US: Routledge.

Suan, S. (2013). Anime Paradox: Patterns and Practices Through the Lens of Traditional Japanese Theater.

Leiden, NLD: BRILL.

Thomas, J. B. (2012). Drawing on Tradition: Manga, Anime, and Religion in Contemporary Japan. USA:

University of Hawai'i Press.

Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016