representasi femininitas dalam anime gake no ue …
TRANSCRIPT
REPRESENTASI FEMININITAS DALAM ANIME GAKE NO UE NO PONYO
Marini Adline
Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas representasi femininitas dalam anime Gake no Ue no Ponyo karya Hayao Miyazaki. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konstruksi imaji femininitas dalam anime tersebut. Metode analisis dalam skripsi ini menggunakan pendekatan semiotika Rolland Barthes. Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan teori Dorothy Smith dalam bukunya Text, Fact, and Femininity (1990). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa representasi femininitas dalam anime Gake no Ue no Ponyo bertentangan dengan representasi femininitas umumnya ada dalam budaya patriarki, ditampilkan dalam bentuk femininitas yang bernegosiasi yaitu strategic femininity.
REPRESENTATION OF FEMININITY IN ANIME GAKE NO UE NO PONYO
Abstract
This study focused on representation of femininity which is contained in Hayao Miyazaki’s anime Gake no Ue no Ponyo. The purposed of this study is to analyze the construction image of femininity that is shown in the anime. The analysis method of this study uses Rolland Barthes semiotic approached. The discussion in this study uses the theory from Dorothy Smith in her book, Text, Fact, and Femininity (1990). The result of this research showed that the representation of femininity in Gake no Ue no Ponyo anime as a contrary to the representations of femininity known in patriarchal culture, showed by the negotiation in femininity namely strategic femininity.
Keywords: Representation, femininity, anime, Gake no Ue no Ponyo
Pendahuluan
Anime merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut animasi produksi Jepang.
Dalam penggunaannya, istilah anime terkadang mengalami bias dengan animasi secara
umum1 yang seringkali diasosiasikan dengan anak-anak. Anime populer pada tahun 90-an
seperti Pokemon atau Sailor Moon dapat dikatakan memiliki kedekatan dengan animasi pada
umumnya. Akan tetapi, tidak semua anime berisi konten ringan untuk anak-anak. Adapula
anime dengan konten lebih beragam, seperti paska kiamat dalam Akira, penderita skizofrenia
1 Pengertian animasi secara umum cenderung diasosiasikan dengan cartoon atau kartun seperti Disney di Amerika.
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
dalam Perfect Blue, bahkan mengenai seks dan samurai yang ditujukan bagi penonton jenjang
usia atas (Corlis, 1999; dalam Napier, 2000). Dengan begitu, anime tidak dapat disamakan
dengan animasi secara umum.
Perlu diketahui bahwa di Jepang, anime menjadi konsumsi masyarakat sehari-hari. Hal
tersebut dapat disetarakan dengan konsumsi masyarakat terhadap program televisi harian.
Dapat dikatakan anime merupakan budaya populer kontemporer yang berkembang dalam
masyarakat Jepang. Dewasa ini, perkembangan tersebut meluas hingga skala internasional.
Dengan begitu, anime berkembang menjadi budaya populer yang tidak hanya milik Jepang
namun masyarakat secara global (Napier, 2000).
Perkembangan anime sebagai budaya kontempoer global tersebut tentunya pararel
dengan pengaruh pasar internasional. Sebagai produk yang telah menglobal, anime
berkembang dengan menyesuaikan diri terhadap permintaan pasar. Meskipun begitu, anime
tetap mencirikan dirinya dengan budaya asalnya yakni budaya Jepang. Anime kerap
membawa unsur-unsur kejepangan di dalamnya, baik dalam bentuk struktur maupun isi.
Tidak jarang hal-hal yang berkaitan dengan budaya Jepang dimunculkan di dalam anime,
seperti kepercayaan Shinto, teater tradisional Kabuki dan lain sebagainya yang diolah sekian
rupa ke dalam bentuk animasi (Thomas, 2012; Suan, 2013). Selain itu, anime juga
merefleksikan keadaan budaya Jepang dalam bentuk isu, angan-angan, maupun mimpi buruk
berkaitan dengan keadaan masa kini (Napier, 2000).
Jika diperhatikan, masing-masing anime membawa gagasan yang ingin disampaikan
kepada penonton. Gagasan tersebut tidak hanya berhubungan dengan budaya tradisional,
namun berhubungan dengan budaya modern Jepang atau keadaan Jepang dewasa ini.
Termasuk pandangan mengenai nilai femininitas di Jepang kontemporer (Cavallaro, 2006).
Femininitas adalah nilai-nilai yang mengatur bagaimana perempuan berlaku dalam
masyarakat. Biasanya diidentikkan dengan sifat feminin seperti lemah lembut, keibuan, dan
lain sebagainya. Secara sederhana femininitas dapat diartikan sebagai segala hal yang bersifat
kewanitaan. Oleh karena itu, studi mengenai femininitas tidak lepas dari objek asosiasinya
yakni perempuan. Dalam anime, gambaran femininitas masih erat diasosiasikan dengan
peran-peran gender tradisional, seperti pemunculan perempuan dengan peran dan sifat
feminin.
Salah satu sutradara animator Jepang yang kerap memunculkan nilai-nilai femininitas
dalam animenya adalah Hayao Miyazaki. Miyazaki dianggap menampilkan karakter
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
perempuan terutama shoujo2 yang dianggap anomali dibandingan dengan karakter shoujo
pada anime secara umum (Napier, 2000). Miyazaki cenderung memunculkan karakter shoujo
sebagai protagonis yang memiliki sifat mandiri bahkan cenderung maskulin. Seperti contoh
Kiki dalam Kiki’s Delivery Service (1989), Mei dalam My Neighbor Totoro (1988), Nausicaä
dalam Nausicaä of the Valley of Wind (1984).
Gake no Ue no Ponyo merupakan salah satu anime Miyazaki yang memiliki keunikan
dalam memunculkan karakter shoujo. Akan tetapi tidak hanya karakter shoujo yang
ditonjolkan tampil dalam imaji tidak pada umumnya. Keunikan tersebut Miyazaki tampilkan
pula pada karakter-karakter lainnya. Gake no Ue no Ponyo berkisah mengenai Ponyo, seekor
ikan emas yang kabur daari rumah karena ingin menjadi manusia. Ponyo merupakan
protagonis yang digambarkan sebagai anak perempuan lincah. Ponyo memiliki seorang ayah
bernama Fujimoto yang selalu mengekang dirinya dan adik-adiknya di dalam rumah.
Tindakan membangkang Ponyo untuk keluar tanpa izin ayahnya, mempertemukannya dengan
Sousuke. Semenjak saat itu perjalanan Ponyo dimulai, dan kedatangannya ke dunia manusia
diikuti dengan konflik alam yang menimpa tempat tinggak Sousuke. Konflik tersebut
akhirnya dapat diselesaikan berkat bantuan Granmamare yakni ibu Ponyo yang merupakan
dewi laut.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah penelitian yakni
representasi femininitas dalam anime Gake no Ue no Ponyo. Berdasarkan paparan sinopsis
singkat dapat dilihat bahwa femininitas yang dimunculkan dalam anime Hayao Miyazaki
tidaklah umum. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka
dengan ancangan semiotika Rolland Barthes. Data dikumpulkan secara langsung dari anime
kemudian diolah dengan sumber-sumber valid yang ada.
Representasi Femininitas dalam Anime
Hall (1997) mengatakan bahwa representasi adalah produksi makna dari suatu konsep
yang ada dalam pikiran kita melalui bahasa. Bahasa menggunakan tanda dan simbol baik
berupa suara, tulisan, gambar elektronik, not balok, bahkan objek, untuk mewakili atau
merepresentasikan konsep, ide, dan perasaan kita kepada orang lain. Hubungan antara konsep
dan bahasa memungkinkan kita untuk memaknai suatu objek, manusia atau kejadian pada
2ShoujoadalahistilahJepangyangdigunakanuntukmenyebutgadiskecilsampaigadisyangberadapadamasaremajaawal.
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
dunia ‘nyata’, sampai objek, manusia, dan kejadian pada dunia fiksi. Makna tersebut tidak ada
dengan sendirinya dalam suatu objek di dunia ini, melainkan dikonstruksi dan diproduksi. Hal
tersebut merupakan hasil dari praktik penandaan, yakni praktik menghasilkan makna dan
membuat sesuatu bermakna (Hall 1997:24). Dengan begitu, representasi femininitas berarti
perwakilan gambaran-gambaran femininitas yang ada dalam pikiran kita melalui suatu media.
Dorothy Smith (1990) menekankan pentingnya peran teks dalam representasi
femininitas. Femininitas menurutnya merupakan hasil dari relasi sosial antara perempuan
dengan organisasi sosial dalam masyarakat, yang diperantarai oleh teks diskursus. Setiap
kegiatan sosial yang dilakukan di masyarakat diterjemahkan ke dalam teks, termasuk
femininitas (Smith, 1990:121). Teks dalam pengertian Smith mengandung arti luas, lebih dari
sekedar teks tertulis. Teks di dalamnya termasuk majalah, iklan, tayangan televisi, kosmetik,
dan lain sebagainya. Di dalam teks tersebut terdapat diskursus yang mendefinisikan
bagaimana perempuan seharusnya berlaku, yang dikenal sebagai femininitas.
Konstruksi imaji berkaitan dengan femininitas menurut Smith merupakan konstruksi
patriarki, sehingga representasi femininitas dalam teks menjadi bias laki-laki. Hal tersebut
menurutnya acapkali menghilangkan subjektifitas atau suara perempuan terutama dalam ranah
publik. Selain itu, konstruksi representasi femininitas tidak lepas dari maskulinitas.
Identifikasi femininitas dilakukan dengan mengontraskan femininitas dengan maskulinitas
(Browne dan France, 1985; dalam Smith 1990:129). Oleh karena itu, representasi tersebut
menempatkan perempuan sebagai objek, sehingga femininitas yang tampil merupakan
idealisasi laki-laki akan sosok perempuan yang sempurna. Dengan begitu, representasi
femininitas dalam teks diskursus biasanya menampilkan perempuan yang misalnya, menarik
secara fisik, lemah lembut, pasif seksual dan subordinasi laki-laki. Hal tersebut menurut
Smith sejalan dengan model diferensiasi gender menurut Rousseau: the man is for himself and
the woman is for him (Smith 1990:131).
Dalam praktiknya, femininitas memiliki ragam dalam pengekspresiannya. Hal tersebut
dibakukan oleh, Raewyn W. Connell dalam konsep ‘hegemonic masculinity’ dan ‘emphasized
femininity’. Konsep dasar dalam pembentukan ragam tersebut berangkat dari konsep dominasi
laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat patriarki (Connell dalam Giddens, 2009:611-
612). Dalam skema tersebut Connell menunjukkan adanya hubungan hirarki dalam
maskulinitas dan femininitas. Baik maskulinitas dan femininitas memarjinalkan tipe
maskulinitas dan femininitas lain yang dipandang sebagai bentuk tidak ideal dalam
masyarakat. Seperti dalam femininitas, tingkatan teratas dimulai dari emphasized femininity
yang diasosiasikan dengan tingkah feminin pada perempuan. Diikuti resistant femininity yang
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
menjadi penentang nilai-nilai feminin perempuan dan dominasi laki-laki. Pada tingkat terakhir
yakni strategic femininity yaitu femininitas yang muncul karena adanya negosiasi antara
emphasized femininity dan resistant femininity.
Ragam femininitas tersebut juga dapat ditemukan dalam anime sebagai sebuah teks.
Dalam argumen Smith (1990) yang telah dipaparkan sebelumnya tidak disebutkan secara
spesifik mengenai anime. Akan tetapi, anime sebagai perkembangan lanjut dari manga3 yang
ditampilkan sebagai gambar bergerak dapat diperlakukan sebagai sebuah teks tempat
diskursus femininitas berada. Lebih lanjut, perkembangan zaman menjadikan anime
berkembang semakin dekat dengan sinema. Secara teknis, pemilihan gambar dan penayangan
gambar anime mengadopsi cara yang dilakukan dalam memproduksi film. Anime tidak hanya
memasukkan potongan gambar, namun menitikberatkan pada pergerakan. Di dalam sinema,
pergerakan tersebut tidak hanya pergerakan gambar, namun pergerakan dalam pikiran
(Deleuze, dalam Brown, 2006:1).
Berdasarkan pemaparan tersebut, anime dapat diperlakukan layaknya media teks film
yang membawa ideologi dan doktrin berkaitan dengan femininitas. Hal tersebut mengindikasi
bahwa anime merupakan salah satu tempat femininitas dikonstruksi dalam lingkup
masyarakat Jepang. Meskipun dalam perkembangannya, anime sudah masuk ke dalam
lingkup internasional, anime masih layak digunakan untuk melihat konstruksi femininitas
Jepang.
Untuk melihat representasi femininitas dalam anime tentunya tidak lepas dari peran
target produksi anime tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anime berangkat
dari manga. Di dalam produksinya, anime dan manga memiliki target konsumen yang
dibedakan berdasar gender yakni perempuan dan laki-laki (Napier, 2005:10). Secara
sederhana, pengelompokkan tersebut lebih dikenal luas sebagai genre shounen dan shoujo.
Shoujo merupakan genre yang ditargetkan untuk perempuan, sedangkan shounen merupakan
genre yang ditujukan untuk laki-laki4. Hal tersebut juga berlaku pada anime, mengingat anime
pada umumnya mengadopsi cerita dari manga. Lebih lanjut, pada genre shoujo menampilkan
visualisasi yang penuh bunga, cantik, bergaya romantis, serta menampilkan cerita penuh
romansa dan emosional. Sedangkan genre shounen lebih berfokus pada aksi dan petualangan
3MangaadalahistilahuntukmenyebutkomikdalambahasaJepang.Meskipunterdapatbeberapaperbedaanantarakomikdanmanga.4 Terminologi shounen dan shoujo digunakan dalam penelitian ini untuk memisahkan jenis anime yangditujukan bagi laki-laki dan perempuan, agar pengelompokkannya dapat lebihmudah dimengerti.Meskipundalam perkembangannya, kedua terminologi tersebut memiliki sub lainnya seperti seinen yakni genre yangdiperuntukkanuntuklaki-lakilebihdewasa,danjoseiyaknigenreyangdiperuntukkanbagiperempuandewasa.
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
(McCarthy, 1996:13). Selain itu, dalam genre shoujo ditekankan mengenai hubungan antar
manusia dan persahabatan antar perempuan (Prough dalam Johnson-Woods, 2010).
Visualisasi perempuan sekitar tahun 1980 dan 1990 pada anime cenderung menganut
nilai tradisional. Terutama pada anime shounen perempuan kurang ditampilkan menonjol.
Tokoh utama pada genre tersebut biasanya laki-laki, dan perempuan berada pada posisi kedua
sebagai ibu, saudara perempuan, maupun kekasih (Johnson-Woods, 2010). Misalnya seperti
Slam Dunk, Dragon Ball, dan lain sebagainya. Anime shounen acapkali mengangkat tema
olahraga, teknologi, petualangan, bela diri, dan pada tingkat lebih jauh kekerasan, nudity, dan
lain sebagainya. Lebih lanjut, dalam perkembangnnya, genre tersebut berkembang
mengadopsi unsur romansa, meskipun diidentifikasi sebagai genre maskulin (Drummon-
Mathew, dalam Johnson-Woods, 2010). Perkembangan unsur romansa tersebut, diikuti
dengan peningkatan peran perempuan sebagai pasangan dari laki-laki. Akan tetapi visualisasi
perempuan tidak jauh dari sosok yang diidealkan laki-laki. Perempuan dikaitkan dengan peran
submisif, domestik, patuh, dan seakan hanya ada untuk memenuhi kebutuhan protagonis laki-
laki. Seperti yang tampak pada anime Video Girl Ai, Urusei Yatsura, Oh My Goddes!. Lebih
jauh, perempuan tidak jarang diseksualisasikan secara visual dan digambarkan sangat jauh
dari kenyataan. Eksistensinya ibarat alien yang berasal dari dunia berbeda (Napier, 2000).
Selain itu, perempuan juga diseksualisasikan, submisif, dan acapkali menjadi korban
kekerasan (Mc-Lelland, 2010).
Sedangkan pada anime shoujo, umumnya perempuan dimunculkan sebagai protagonis.
Akan tetapi, kehadirannya tidak lepas dari hubungannya dengan karakter laki-laki di
dalamnya. Kehadirannya dihargai ketika ia mendapatkan perhatian dari laki-laki yang
disukainya, dengan berusaha menjadi apa yang diinginkan laki-laki tersebut yakni bertingkah
laku dengan sangat feminin. Representasi femininitas perempuan tersebut menjadi penunjang
genre shounen yang saat itu lebih menguasai pasar. Contoh manga populer yang termasuk
dalam golongan shoujo tersebut adalah Fruits Basket, Sailor Moon, Cardcaptor Sakura.
(Prough dalam Johnson-Woods, 2010). Lebih jauh, berkaitan dengan gambaran femininitas
dalam genre shoujo adalah kemunculan bishounen. Bishounen adalah laki-laki yang memiliki
penampilan androgini, atau dikenal dengan laki-laki cantik. Dalam perkembangan lebih lanjut,
mempelopori terciptanya anime dan manga shounen-ai atau bertema homoseksual (Mc-
Lelland dalam Johnson-Woods, 2010). Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada pergeseran
dalam representasi femininitas yang awalnya dikaitkan dengan perempuan, dapat diadopsi
oleh karakter laki-laki.
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
Dengan begitu, pola-pola yang acapkali dimunculkan dalam kedua genre tersebut
menjadi stereotip yang membedakan gender antara perempuan dan laki-laki dalam anime.
Jika mengacu pada argumen Smith (1990) pada poin sebelumnya, terdapat pembentukan pola
dasar dari femininitas tersebut yang mendefinisikan femininitas-femininitas berikutnya pada
media anime. Ideologi femininitas yang dibawa oleh anime tersebut adalah perempuan yang
masih terikat dengan tata cara berlaku perempuan Jepang tradisional yakni dengan berlaku
submisif, dan cenderung berperan dalam lingkungan domestik. Lebih jauh, tidak jarang
diseksualisasikan dan mendapat kekerasan.
Akan tetapi pengelompokkan tersebut mengalami pergeseran dalam hal target
konsumen. Seiring dengan perkembangan zaman, kedua genre yang sebelumnya ditujukan
khusus untuk kelompok gender tertentu, dikonsumsi baik oleh pihak laki-laki dan perempuan
(Napier, 2005:10-11). Genre shoujo dan shounen tetap menjadi dasar patokan untuk
mengidentifikasi anime, namun tidak lagi terikat pada gender. Hal tersebut dapat terlihat jelas
dari perkembangan kemunculan karakter shoujo dalam anime yang menjadi dominan muncul
sekitar tahun 1980. Karakter shoujo identik dengan kepolosan, berjiwa anak-anak, serta
biasanya diasosiasikan dengan kawaii (cuteness) dan dianggap sebagai penanda perubahan
femininitas di Jepang karena kepopuleran dalam kemunculannya (Napier, 2005:149). Hal
tersebut terlihat jelas dalam anime ‘magical girl’ yang memunculkan perempuan sebagai
sosok pahlawan, namun tetap terikat dengan norma-norma femininitas tradisional (Saito,
2014).
Kemunculan shoujo juga tampak dalam anime Hayao Miyazaki. Miyazaki kerap
menggunakan shoujo sebagai tokoh protagonis dalam animenya. Tidak hanya sebagai
protagonis, karakter shoujo Miyazaki divisualisasikan berbeda dengan karakter shoujo pada
anime secara umum. Karakter shoujo Miyazaki tidak seperti karakter dalam shoujo klasik
yang direpresentasikan dengan sangat feminin dan senang berkhayal. Karakter shoujo
Miyazaki cenderung aktif dan mandiri. Ia dapat mengatasi kesulitan di sekitarnya dengan
kekuatannya. Lebih lanjut, karakternya tersebut cenderung mengadopsi apa yang
distereotipkan maskulin (Napier, 2000). Selain itu, Miyazaki juga menampilkan karakter
shoujo dalam sosok agung, seperti Nausicaa dalam Nausicaa of the Valley of the Wind, yang
kehadirannya dapat dikatakan sebagai messiah (Boyd, 2009).
Melihat hal yang telah dipaparkan sebelumnya, representasi femininitas dalam anime
cenderung masih terikat femininitas dominan dalam pengekspresiannya. Hal tersebut terlihat
dari representasi femininitas yang masih berputar pada perempuan submisif, menarik secara
fisik, pasif, yang didalamnya terdapat peran dominan laki-laki, namun tetap tidak lepas dari
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
peran perempuan dalam melihat femininitas. Jika mengacu pada argumen Smith (1990),
dalam anime terdapat implikasi bahwa anime umumnya masih dikuasai oleh patriarki. Hal
tersebut didukung oleh argumen Napier (2000) mengenai alasan dari representasi femininitas
yang ada pada anime secara umumnya merupakan respon dari perubahan sosial dalam
masyarakat Jepang. Dari argumen tersebut, terdapat implikasi bahwa dalam anime, patriarki
di Jepang masih ‘berusaha’ mempertahankan eksistensinya. Pengaruh paling besar tersebut
dirasakan paska Perang Dunia II, yang menyebabkan perubahan sosial besar pada Jepang
terutama pada perempuan (Napier dalam Brown, 2006).
Meskipun demikian, dalam beberapa kasus, representasi femininitas pada anime tidak
selalu tunduk pada nilai-nilai konvensional. Hal tersebut terlihat jelas pada femininitas yang
salah satunya ditampilkan dalam anime Hayao Miyazaki dengan memunculkan karakter
shoujo yang menjadi pertentangan dalam femininitas yang ada dalam karakter shoujo pada
umumnya. Dengan begitu, mengacu pada konsep Connell (1987) femininitas dalam anime
tidak hanya merupakan emphasized femininity yakni femininitas yang pada umumnya
diangkat dalam anime serta diakui secara normatif dalam lingkup visual anime, dan
menyokong patriarki dalam masyarakat.
Adapula femininitas yang menyatakan resistensinya seperti femininitas yang
ditampilkan dalam shoujo Hayao Miyazaki juga menampilkan resistensinya, namun
cenderung tidak mendukung femininitas konvensional. Dengan begitu argumen Smith (1990)
dapat dikatakan kontras dengan karya Hayao Miyazaki. Miyazaki sebagai laki-laki yang
seharusnya menjadi penyokong dalam patriarki menampilkan perempuan sebagai karakter
utama, terlebih lagi protagonis yang kuat. Akan tetapi, hal tersebut banyak dikatakan terlihat
umumnya pada karakter utamanya, tidak dapat dipastikan pada karakter perempuan lain
dalam karyanya. Hal tersebut menjadi poin menarik untuk melihat femininitas dalam anime
Hayao Miyazaki khususnya dalam penelitian ini adalah Gake no Ue no Ponyo.
Selain itu, mengacu pada argumen Smith sebelumnya bahwa femininitas
direpresentasikan dalam bentuk berulang dalam teks. Representasi yang telah ada dalam teks
digunakan kembali untuk mendefinisikan atau mengkonstruksi femininitas berikutnya yang
ada dalam teks. Dengan begitu, imaji berkaitan dengan femininitas dalam anime yang telah
dijelaskan dalam paparan sebelumnya dapat digunakan sebagai pembanding femininitas yang
dikonstruksi dalam anime Gake no Ue no Ponyo.
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
Representasi Femininitas dalam Anime Gake no Ue no Ponyo
Sebelum menganalisis representasi femininitas dalam anime Gake no Ue no Ponyo
akan dijelaskan terlebih dahulu ancangan yang digunakan penulis. Pada bagian ini akan
diberlakukan semiotik Rolland Barthes untuk menganalisis data. Analisis tersebut dilakukan
pada adegan yang telah dipilih secara purposif menampilkan nilai femininitas. Proses
pemaknaan adegan dalam anime dilakukan dengan melihat aspek visual dan naratif.
Pemaknaan adegan tersebut juga akan dikaitkan dengan teori dan konsep yang telah
dipaparkan sebelumnya, berkaitan dengan femininitas.
Sesuai dengan semiotika Rolland Barthes, pemaknaan tanda dalam adegan anime
dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap denotasi dan konotasi. Pada tahap denotasi, dilihat
hubungan antara penanda dan petanda dalam keadaan yang sebenarnya. Proses tersebut
menghasilkan makna pasti atau eksplisit, sehingga didapatkan nilai femininitas yang
ditampilkan secara nyata dalam anime. Kemudian, tahap kedua adalah tahap konotasi yang
dilakukan dengan melihat hubungan antara penanda, yang berasal dari hasil proses
pemaknaan pertama, dengan petanda baru yang dipengaruhi oleh konteks sosial budaya.
Proses tersebut menghasilkan makna tidak langsung atau implisit, sehingga didapatkan nilai
femininitas yang dinyatakan secara tersirat di dalam anime.
Proses pemaknaan yang telah dilakukan sebelumnya, lebih lanjut membawa pada apa
yang disebut sebagai mitos oleh Barthes. Mitos yang dimaksud memiliki makna yang berbeda
dengan konsep mitos secara umum. Mitos merupakan makna ideologis sebuah bahasa.
Berkaitan dengan penelitian ini, analisis akan menghasilkan mitos berkaitan dengan
femininitas yang ada pada anime.
Berbicara mengenai femininitas, gambaran-gambaran berkaitan dengan perempuan
perlu diperhatikan lebih mendalam. Di dalam anime Gake no Ue no Ponyo, perempuan pada
umunya divisualisasikan sebagai karakter yang aktif. Selain digambarkan lebih banyak
melakukan aktifitas di luar lingkup domestik. Perempuan dalam anime Gake no Ue no Ponyo
juga cenderung memiliki perilaku yang aktif dibandingkan dengan laki-laki yang ada dalam
anime. Penggambaran perempuan tersebut terdapat dalam karakter Ponyo, Lisa, dan
Granmamare.
Ponyo merupakan protagonis dalam anime. Ia adalah ikan emas yang dalam anime
diidentifikasi sebagai perempuan. Sebagai anak perempuan, Ponyo digambarkan sebagai anak
pembangkang. Sejak awal adegan, Ponyo cenderung tidak peduli terhadap keinginan ayahnya
agar ia tetap berada di rumah. Ponyo kabur dari rumah secara diam-diam untuk melihat dunia
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
luar yakni dunia manusia. Semenjak bertemu dengan anak manusia lelaki bernama Sousuke,
keinginan Ponyo untuk pergi ke dunia manusia semakin kuat. Ia bahkan ingin menjadi
manusia agar dapat bertemu kembali dengan Sousuke. Dalam perjalanannya tersebut Ponyo
terus menerus mencari cara untuk dapat bertemu dengan Sousuke, meskipun kedatangannya
ke dunia manusia diikuti dengan bencana manusia yang melanda.
Pembacaan adegan secara denotatif memberikan informasi bahwa femininitas yang
ditampilkan pada Ponyo bertentangan dengan femininitas pada umumnya. Ponyo ditampilkan
sebagai gadis kecil yang memiliki kesadaran terhadap keinginan dirinya sendiri. Ponyo juga
ditampilkan agresif daripadi anak lelaki yang berdampingan dengannya. Dalam konteks
budaya patriarki penggambaran tersebut tidaklah wajar. Sebab, penggambaran perempuan
ideal berkisar pada kelakuan lemah lembut serta tindakan pasif. Akan tetapi, jika adegan
dilakukan secara konotatif, didapatkan bahwa meskipun Ponyo dikarakterisasikan sebagai
gadis kecil yang cenderung memiliki tingkah maskulin, ia tetap memiliki sisi feminin. Ponyo
tetaplah seorang gadis kecil biasa yang memiliki sisi perempuan. Ia tetap bertindak seperti
shoujo pada anime secara umum dengan memiliki rasa romansa pada Sousuke.
Selain itu, penggambaran perempuan yang cenderung mengadopsi sifat maskulin tidak
hanya dilakukan Miyazaki pada karakter shoujo saja. Penggambaran femininitas yang
bertentangan dengan norma femininitas umum juga ditemukan pada karakter perempuan yang
lebih tua. Ibu Sousuke yakni Lisa merupakan salah satu contohnya. Ia digambarkan sebagai
seorang ibu pekerja yang melakukan pekerjaan fulltime di panti jompo. Selain itu, Lisa juga
digambarkan sebagai seorang ibu dan istri yang mandiri. Ia dapat menjaga dirinya sendiri dan
melakukan berbagai kegiatan tanpa bergantung pada suaminya yang jarang berada di rumah
karena berprofesi sebagai pelaut.
Pembacaan secara denotatif pada adegan yang memunculkan Lisa, memperlihatkan
bahwa Lisa adalah sosok perempuan yang tidak ideal dalam budaya patriarki. Lisa
digambarkan sebagai seorang istri yang tidak mengerjakan rumah seharian penuh. Lisa juga
digambarkan tidak bergantung pada laki-laki yakni suaminya. Ia cenderung dapat bergerak
sendiri sebagai sosok perempuan bernama Lisa dan memiliki kesadaran dan kendali atas
dirinya sendiri. Tidak seperti gambaran perempuan ideal pada anime secara umum yang
biasanya menampilkan seorang istri sebagai ibu rumah tangga yang selalu mengerjakan
pekerjaan domestik. Selain itu, ia tidak selalu bergantung kepada suaminya untuk melakukan
aktivitasnya. Akan tetapi, meskipun begitu jika dibaca secara konotatif, Lisa tetap
menunjukkan sisi istri dan keibuannya. Saat Lisa melakukan pekerjaannya Lisa tidak
melupakan tugasnya sebagai seorang ibu. Ia tetap menjaga Sousuke untuk tetap berada di
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
dekatnya. Bahkan tempat kerja Lisa bersebelahan dengan sekolah anaknya. Dalam
kesehariannya juga diperlihatkan seusai Lisa bekerja dan kembali ke rumah, ia tetap
melakukan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Dengan begitu, meskipun Lisa ditampilkan
sebagai sosok perempuan yang tidak pada umumnya, ia tetap memiliki sisi femininnya.
Lebih lanjut, perempuan digambarkan sebagai tokoh yang tampak superior
dibandingkan laki-laki. Hal tersebut dimunculkan Miyazaki melalui Granmamare.
Granmamare merupakan ibu dari Ponyo dan digambarkan sebagai dewi laut. Pada awal
kemunculannya Granmamare tampil sebagai perempuan anggun dan agung. Sosoknya tampil
dalam bentuk besar di tengah laut. Kemunculannya pada saat itu membawa berkah kepada
sekitarnya. Ia juga merupakan sosok yang kuat dan cenderung terlihat beraktifitas di luar
rumah.
Pembacaan teks anime berkaitan dengan Granmamare secara denotatif
memperlihatkan Granmamare sebagai sosok agung. Ia ditampilkan sebagai sosok yang
memiliki kuasa di atas laki-laki bahkan manusia biasa. Dengan begitu, femininitas
ditampilkan dalam bentuk anomali. Perempuan biasanya ditampilkan sebagai sosok yang
inferior laki-laki. Ia bahkan seharusnya tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Namun,
Granmamare ditampilkan sebagai sosok superior daripada laki-laki. Selain itu, Granmamare
seringkali beraktifitas di luar rumahnya walaupun ia adalah seorang ibu dari Ponyo. Meskipun
begitu, pembacaan secara konotatif memunculkan bahwa Granmamare tetap terikat pada
definisi femininitas yang diidealkan secara umum. Granmamare memiliki penampilan ideal
perempuan seusiannya. Ia tampil sebagai seorang istri dari Fujimoto. Gambaran perempuan
sebagai istri merupakan gambaran ideal perempuan dalam teks secara umum. Dengan begitu,
femininitas yang dimunculkan dalam sosok Granmamare merupakan paduan antara resistensi
terhadap penggambaran feminintas secara umum dan femininitas yang diidealkan dalam
masyarakat pada umumnya.
Selain itu, femininitas yang tidak umum dalam anime tampak dengan adanya dominasi
istri dalam keluarga. Hal tersebut ditunjukkan dengan peran aktif istri dalam menghadapi
suaminya. Istri pada konteks ini memiliki kuasa akan dirinya sendiri. Sementara itu suami
cenderung bertindak pasif dalam menghadapi istri. Meskipun peran keibuan masih lekat
ditampilkan pada sosok istri, istri tetap memiliki suara dalam mengutarakan pendapatnya
dalam keluarga. Mereka tidak bertindak submisif. Bahkan dalam adegan tertentu, istri
mengambil peran yang biasa dilakukan oleh suami. Hal tersebut terlihat dari hubungan suami-
istri antara Lisa dengan Kouichi dan Granmamare dengan Fujimoto.
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
Pembacaan adegan secara denotatif memperlihatkan istri yang memiliki kuasa atas
rumah tangganya. Seperti pada Lisa yang dapat dengan bebas mengekpresikan perasaannya
saat Kouichi suaminya membatalkan janjinya untuk pulang ke rumah. Lisa memilih untuk
marah kepada suaminya sementara suaminya membujuknya untuk berbaikan. Adapula
Granmamare yang memiliki hak suara lebih dalam kehidupan rumah tangganya. Dapat dilihat
pada saat Fujimoto memanggilnya untuk berdiskusi mengenai Ponyo. Sebagai istri,
Granmamare seakan memiliki kuasa di atas suaminya dengan mengambil keputusan akhir dari
diskusi yang dilakukan. Ia bahkan lebih banyak menyumbangkan pendapatnya dan
mempertahankannya daripada mendengarkan pendapat suaminya. Penggambaran tersebut
bertentangan dengan sosok ideal istri sebagai sosok submisif yang menurut pada suaminya.
Femininitas yang dimunculkan seperti yang telah dipaparkan tersebut merupakan bentuk
resistensi femininitas pada umumnya.
Akan tetapi secara konotatif sosok Lisan dan Granmamare tetap memiliki sifat-sifat
femininnya. Meskipun Lisa terlihat tidak patuh terhadap suaminya sehingga dapat dikatakan
Lisa bukan istri yang baik, Lisa tetap bertindak sebagai istri yang baik dalam menjaga
anaknya. Pembagian peran suami sebagai pekerja dan istri sebagai pengurus anak diterapkan
Lisa dalam keluarganya. Kemudian, pada Granmamare hal tersebut ditunjukkan dengan
penggambaran visual Granmamare terlihat sangat feminin. Dapat dilihat dari perhiasan dan
riasan wajah yang ditempelkan pada sosoknya. Hal tersebut sesuai dengan argumen Smith
(1990) bahwa perempuan cenderung ditampilkan sesuai dengan definisi femininitas dalam
patriarki, yang mengasosiasikan perempuan dengan produk-produk kecantikan. Adapula sikap
lemah lembut yang ditunjukkan Granmamare saat berkomunikasi dengan suaminya, yang
mendukung nilai femininitas dominan sebagai seorang istri. Dengan begitu, femininitas yang
dimunculkan dapat dikatakan bahwa femininitas yang dimunculkan adalah resistensi terhadap
femininitas dominan namun memunculkan dukungan terhadap femininitas dominan yakni
dengan memunculkan istri yang berperan sebagai pengambil keputusan namun tetap diikuti
dengan sifat feminin yang umumnya diasosiasikan dengan perempuan yakni peran rumah
tangga dan sikap lemah lembut.
Selain memunculkan femininitas yang tidak umum pada sosok perempuan, didapati
pula adanya pergeseran femininitas dalam anime. Hal tersebut ditunjukkan dalam sosok ayah
Ponyo. Peran mengurus anak merupakan peran domestik yang biasanya dilakukan oleh
seorang ibu di rumah. Akan tetapi, peran tersebut diadopsi pula oleh laki-laki dalam anime ini.
Meskipun tidak digambarkan secara eksplisit, pergerakan Fujimoto yang cenderung banyak
bersentuhan dengan anaknya mengindikasikan perannya sebagai pengurus anak dalam
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
keluarga. Hal tersebut terlihat dalam interaksi Fujimoto dengan Ponyo dan anak-anak
perempuannya.
Pembacaan adegan secara denotatif menunjukkan peran ayah dalam mengurus
anaknya di rumah. Dapat dilihat dari ketidakhadiran ibu Ponyo saat adegan menyorot keadaan
rumah. Adegan tersebut lebih memunculkan interaksi antara Fujimoto dan anak
perempuannya yang mengindikasikan bahwa Fujimoto mengemban tugas sebagai pengurus
anak di rumah. Hal tersebut ditekankan dengan tindakan Fujimoto dalam memberikan
pendidikan dan pandangan kepada anaknya. Jika mengacu pada nilai femininitas pada
umumnya, peran mengasuh anak di rumah seharusnya dibebankan kepada perempuan yakni
istri (Connell, 1987). Dengan begitu, peran yang dijalankan Fujimoto dalam mengurus
anaknya tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk pergeseran nilai femininitas dalam bentuk
peran ibu yang diadopsi oleh ayah.
Akan tetapi, pembacaan konotatif pada adegan tersebut menunjukkan adanya tindak
pelestarian nilai femininitas dominan yang dilakukan dengan menekan femininitas resisten.
Femininitas yang diadopsi oleh Fujimoto dapat dikatakan merupakan femininitas dominan
karena mendukung adanya pembungkaman suara perempuan. Hal tersebut ditunjukkan
melalui tindakan pengekangan yang dilakukan Fujimoto terhadap anak perempuannya di
rumah. Lebih lanjut, hal tersebut ditunjukkan saat Fujimoto menggunakan sihirnya untuk
meredam kekuatan Ponyo saat ia berusaha kabur dari gelembung yang digunakan Fujimoto
untuk mengurungnya. Femininitas seperti yang ditampilkan secara implisit dalam adegan
tersebut dapat dikatakan merupakan femininitas yang biasa dimunculkan dalam teks anime.
Jika mengacu pada argumen dari Smith (1990) terdapat usaha membungkam perempuan oleh
patriarki agar menjadi semakin lestari dalam masyarakat. Dengan begitu, terdapat implikasi
bahwa meskipun terdapat resistensi terhadap nilai femininitas dominan dengan pergeseran
peran feminin yang diadopsi oleh laki-laki, masih terdapat permbudayaan femininitas
dominan dengan memunculkan penekanan terhadap kebebasan perempuan.
Lebih lanjut, meskipun dalam poin sebelumnya, perempuan dalam anime ini
digambarkan dengan aktif dan melawan nilai femininitas pada umumnya, beberapa adegan
menunjukkan penggambaran femininitas yang stereotip. Stereotip dalam hal femininitas
merupakan sifat yang selalu diidentikkan dengan perempuan yakni feminin. Dalam anime,
respon yang ditampilkan oleh para karakternya saat berhadapan dengan stereotip tersebut
menunjukkan reaksi yang tidak pada umumnya dimunculkan dalam konteks budaya patriarki.
Penggambaran tersebut terlihat jelas ketika Ponyo dan Sousuke ditempatkan dalam satu
adegan.
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
Pembacaan adegan secara denotatif menunjukkan bahwa ketidakfemininan yang
dibawa oleh Ponyo dipandang sebagai suatu stigma5. Stigma tersebut diberikan oleh teman
perempuan Sousuke yang diidentifikasikan dengan sangat feminin layaknya gambaran ideal
perempuan. Hal tersebut dikarenakan femininitas yang mendominasi melihat femininitas yang
berbeda dengannya sebagai suatu ketidakwajaran, sehingga terjadi subordinasi femininitas
resisten (Connell, 1987). Selain itu, adapula adegan yang menunjukkan nilai-nilai feminin
konvesional seperti peran perempuan sebagi pendukung laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat
pada saat Ponyo dan Sousuke berte,u dengan pasangan suami istri saat mencari ibu Sousuke
ditengah tsunami.
Akan tetapi, pembacaan secara konotatif memperlihatkan bahwa adanya perlawanan
terhadap pandangan terhadap stereotip-stereotip feminin. Seperti pemberian stigma pada
Ponyo yang dilawan secara langsung oleh Ponyo dan mendapat dukungan dari Sousuke.
Selain itu, pada kasus Sousuke dan Ponyo bertemu dengan pasangan suami istri. Peran-peran
konvensional yang dimunculkan dipandang secara positif. Femininitas tidak ditampilkan
sebagai bentuk inferior laki-laki. Akan tetapi, Stereotip feminin pada adegan tersebut
dimunculkan dalam bentuk positif. Ia tidak muncul untuk mendukung laki-laki mengesahkan
kuasanya dalam budaya patriarki dengan bertindak sebagai pembantu, namun sebagai sesuatu
yang ada sejajar dengannya. Jika stereotip feminin tersebut tidak dimunculkan, diasumsikan
usaha yang dilakukan untuk menghadapi bencana tidak akan dapat berjalan dengan baik.
Seperti contoh pada pasangan suami istri yang tanpa peran istrinya anaknya akan terabaikan.
Dengan begitu, dapat dikatakan stereotip feminin dipandang sebagai hal positif yang
ditampilkan bernegosiasi.
Hubungan antar perempuan digambarkan dalam bentuk suportif. Perempuan saling
mendukung untuk membantu satu sama lain melalui tindakan maupun dukungan mental.
Selain itu, ketika perempuan digambarkan bersama, mereka cenderung divisualisasikan
dengan damai. Dapat dilihat dalam hubungan Lisa dan pekerja jompo dengan perempuan
lansia, serta hubungan Lisa dan Granmamare. Penggambaran lebih jelas dipaparkan pada
beberapa cuplikan adegan berikut.
Jika dilakukan pembacaan denotatif terhadap adegan di dalam rumah jompo pada saat
badai melanda, dapat dilihat Lisa dan para pekerja lainnya sibuk mengurus lansia saat lampu
mati karena badai. Lansia yang berada dalam rumah jompo tersebut semuanya adalah
perempuan. Tidak ada lansia laki-laki di dalamnya. Hal tersebut menunjukkan femininitas 5/stig·ma/ncirinegatifyangmenempelpadapribadiseseorangkarenapengaruhlingkungannya.KamusBesarBahasaIndonesia(KBBI).Kamusversionline/daring(dalamjaringan).
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
resisten dengan menampilkan perempuan lansia tanpa suami. Nenek-nenek tersebut tidak
disubordinasikan oleh laki-laki karena tidak memiliki peran khusus seperti ibu rumah tangga.
Di sisi lain, para pekerja di rumah lansia hampir semuanya adalah perempuan. Hanya ada satu
laki-laki dewasa bertindak sebagai penjaga dan tidak mendapat banyak sorotan. Hal tersebut
menunjukkan perempuan yang bekerja dalam sektor perempuan.
Dengan begitu, femininitas yang ditampilkan secara eksplisit adalah femininitas
resisten oleh perempuan lansia, dan femininitas resistensi yang masih dipengaruhi
maskulinitas hegemoni, yakni perempuan bekerja dalam sektor perempuan, melalui Lisa dan
rekan kerjanya. Kombinasi pemunculan femininitas seperti dalam adegan tersebut dapat
dikatakan bukan merupakan hal yang biasa dimunculkan pada lingkup patriarki. Patriarki
memunculkan perempuan sebagai sosok ideal dalam teks (Smith, 1990). Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa pemunculan lansia dan pekerja perempuan yang melayani lansia
bukan merupakan imaji yang diidealkan oleh patriarki. Mengacu pada representasi femininitas
teks anime pada umumnya menampilkan perempuan muda yang menarik secara fisik sebagai
hal yang diidealkan (Napier, 2000; Johnson-Woods, 2010).
Akan tetapi, pembacaan konotatif menggambarkan pekerjaan yang dilakukan oleh
Lisa dan rekan kerjanya dalam sektor perempuan dilakukan dengan dasar melayani
perempuan. Meskipun dalam pekerjaan tersebut mereka masih terikat dengan bidang kerja
pelayan yang sangat kuat kaitannya dengan femininitas dominan, pekerjaan tersebut tidak
dilakukan untuk menyokong laki-laki. Dalam adegan tersebut, para pekerja perempuan seakan
menguasai ruang kerjanya daripada pegawai laki-laki yang ada. Tidak didapati adanya
subordinasi laki-laki terhadap perempuan dalam lingkup kerja tersebut. Selain itu, tindak
mengurus yang dilakukan terhadap perempuan lansia tersebut lebih menunjukkan pelayanan
perempuan kepada perempuan lain, dan tidak bersifat mengsubordinasi. Dengan begitu,
adegan tersebut mengimplikasi femininitas resisten pada lansia dan perempuan pekerja di
rumah jompo. Lebih lanjut, kemunculan femininitas tersebut tidak menunjukkan adanya
subordinasi.
Kemudian kemunculan perempuan dalam keadaan damai ditunjukkan pula dalam
adegan di atas. Potongan adegan yang diambil pada gambar di atas adalah saat ibu Ponyo
berbicara dengan Lisa di rumah jompo. Pembacaan denotatif pada adegan tersebut
memberikan informasi secara eksplisit kepada penonton bahwa pertemuan Lisa dan ibu Ponyo
pertama kali berjalan tanpa konflik. Lebih lanjut, melihat keduanya digambarkan jauh dari
keramaian mengindikasi diskusi yang dilakukan keduanya bersifat pribadi. dikatakan Lisa dan
Granmamare sedang membicarakan hal penting. Lebih lanjut, respon para lansia saat
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
menyatakan dukungannya pada Ponyo dan Sousuke menandakan bahwa diskusi yang mereka
lakukan berkaitan dengan anak mereka. Selain itu, dukungan yang diberikan oleh para lansia
menunjukkan tindak suportif antara perempuan satu dengan lainnya. Penggambaran imaji
femininitas tersebut memiliki kemiripan dengan genre shoujo yang menekankan hubungan
antarmanusia dan persahabatan (Prough dalam Johnson-Woods, 2010). Genre shoujo
merupakan genre stereotip feminin. Dengan begitu, konstruksi femininitas dalam adegan
tersebut menunjukkan definisi berkelanjutan yang pernah ada dalam teks sebelumnya (Smith,
1990). Dalam hal ini yaitu teks anime, yang memunculkan hubungan stereotip perempuan
dalam bentuk hubungan damai dan suportif perempuan.
Akan tetapi, meskipun adegan tersebut secara eksplisit menggambarkan femininitas
stereotip, femininitas tidak digambarkan dalam bentuk negatif. Maksudnya adalah imaji
femininitas tidak digambarkan dalam bentuk inferior laki-laki seperti yang ada dalam teks
anime pada umumnya. Jika dilihat secara denotatif, secara implisit adegan tersebut
menggambarkan ibu sebagai penengah konflik yang sedang terjadi. Mengacu pada konteks
sebelumnya, diskusi tersebut secara tersirat dilakukan sebagai tindakan negosiasi dengan
konflik yang ditimbulkan akibat hubungan kedua anak mereka. Lebih lanjut, dukungan dari
lansia mengimplikasi dukungan terhadap usaha meredakan konflik. Selain itu, pemunculan
stereotip feminin sebagai hal positif didukung dengan ketidakhadiran laki-laki dalam usaha
peredaan konflik di dimensi anime tersebut. Tidak ada campur tangan laki-laki di dalamnya.
Dapat dikatakan perempuan dipandang sebagai kaum yang dapat menyelesaikan masalah
yang terjadi dengan sikap femininnya.
Kesimpulan
Temuan skripsi ini adalah bahwa representasi femininitas dalam anime Gake no Ue no
Ponyo bertentangan dengan konstruksi femininitas dalam budaya patriarki. Pembacaan
adegan anime dengan pendekatan semiotika Rolland Barthes menghasilkan bahwa perempuan
direpresentasikan secara resisten terhadap nilai femininitas dominan. Hal tersebut dilakukan
melalui sikap, tampilan visual, peran yang diemban, dan stereotip yang tidak sesuai dengan
ekspektasi femininitas dominan. Seperti, perempuan aktif, perempuan mendominasi rumah
tangga, pandangan stereotip yang positif, dan hubungan damai antar perempuan. Adapula,
pergeseran dalam representasi femininitas yang digambarkan melalui ayah sebagai pengasuh
anak.
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
Akan tetapi, representasi yang resisten terhadap femininitas dominan tersebut diikuti
dengan serangkaian aspek feminin. Sehingga, penggambaran femininitas dalam anime Gake
no Ue no Ponyo dapat dikatakan tidak menghilangkan nilai-nilai kewanitaan dalam
melakukan resistensi. Seperti pada tokoh Lisa, ibu Sousuke, yang meskipun secara eksplisit
ditampilkan maskulin, ia tetap dikaitkan dengan peran feminin seperti menjadi ibu. Dengan
begitu, anime Gake no Ue no Ponyo, menghasilkan mitos atau makna ideologis yakni
negosiasi antara femininitas resistensi dengan femininitas dominan dalam patriarki.
Implikasi teoritis berkaitan dengan temuan penelitian dalam skripsi ini terdiri dari dua
poin. Pertama, teori Dorothy Smith bahwa femininitas dalam teks merupakan konstruksi
patriarki, tidak dapat diaplikasikan secara menyeluruh pada anime khususnya Gake no Ue no
Ponyo. Sebab anime tersebut merepresentasikan femininitas bertentangan dengan femininitas
yang umumnya diasosiasikan dengan budaya patriarki. Tidak ditemukan gambaran-gambaran
perempuan yang disubordinasikan oleh laki-laki, perempuan pasif, submisif, maupun
pengobjekkan perempuan seperti penggambaran perempuan yang diseksualisasikan.
Kedua, konsep Raewyn W. Connell mengenai strategic femininity yakni femininitas
yang bernegosiasi, dekat dengan pembacaan teks anime Gake no Ue no Ponyo menggunakan
metode Rolland Barthes. Namun, femininitas tersebut tidak ditampakkan dalam hubungan
yang hierarkis dengan femininitas dominan. Ideologi berkaitan dengan femininitas dominan
cenderung mendapat perlawanan, bahkan terdapat dukungan terhadap femininitas resisten dan
strategik. Dengan begitu, hubungan hierarki dalam femininitas tidak berlaku sepenuhnya
dalam anime tersebut.
Akan tetapi, penelitian ini terbatas pada lingkup teks sempit yakni anime. Lebih
khususnya pada anime karya Hayao Miyazaki yaitu Gake no Ue no Ponyo. Lebih jauh,
penelitian ini hanya difokuskan pada aspek femininitas saja, tidak dapat dipastikan apakah
hasil tersebut akan sama jika ditinjau dari sudut maskulinitas. Diharapkan penelitian ini dapat
membuka prospek studi ke depan untuk meneliti femininitas yang dimunculkan dalam anime
Hayao Miyazaki lainnya, maupun femininitas dalam lingkup anime yang lebih luas.
Daftar Kepustakaan
Artikel Jurnal
Boyd, I. D. (2009). “Shojo Savior: Princess Nausicaä, Ecological Pacifism, and The Green Gospel” dalam
Journal of Religion and Popular Culture Vol. 21, No. 2, Hal. 1-13.
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016
Saito, K. (2014). “Magic, Shoujo, and Metamorphosis: Magical Girl Anime and the Challenges of Changing
Gender Identities in Japanese Society” dalam The Journal of Asian Studies Vol. 73, No. 1, Hal. 143–
164.
Buku
Brown, S. T. (2006). Cinema Anime: Critical Engangements with Japanese Animation. US: Palgrave Macmillan.
Cavallaro, D. (2006). The Anime Art of Hayao Miyazaki. UK: McFarland & Company
Connell, R. W. (1987). Gender and Power: Society, the Person and Sexual Politics. UK: Polity Press.
Johnson-Wood, T. (2010). Manga: an Anthology of Global and Cultural Perspectives. US: The Continuum
International Publishing Group.
McCarthy, H. (1997). The Anime Movie Guide. Woodstock, NY: The Overlook Press.
Napier, S. J. (2000). Anime from Akira to Princess Mononoke: Experiencing Contemporary Japanese Animation.
USA: Palgrave Macmillan.
________ (2005). Anime from Akira to Howls Moving Castle: Experiencing Contemporary Japanese Animation.
USA: Palgrave Macmillan.
Smith, E. D. (1990). Text, Fact, and Femininity. US: Routledge.
Suan, S. (2013). Anime Paradox: Patterns and Practices Through the Lens of Traditional Japanese Theater.
Leiden, NLD: BRILL.
Thomas, J. B. (2012). Drawing on Tradition: Manga, Anime, and Religion in Contemporary Japan. USA:
University of Hawai'i Press.
Representasi femininitas ..., Marini Adline, FIB UI, 2016