report on socio-political implications of pemekaran · pdf filebertolak dari keinginan untuk...

47
PROSES DAN IMPLIKASI SOSIAL-POLITIK PEMEKARAN: STUDI KASUS DI SAMBAS DAN BUTON Dari Percik untuk USAID Democratic Reform Support Program (DRSP) dan Decentralization Support Facility (DSF) December 2007 DESENTRALISASI 2007

Upload: doankhanh

Post on 24-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

PROSES DAN IMPLIKASI

SOSIAL-POLITIK PEMEKARAN: STUDI KASUS DI SAMBAS DAN BUTON

Dari Percik untuk

USAID Democratic Reform Support Program (DRSP)

dan Decentralization Support Facility (DSF)

December 2007

DESENTRALISASI 2

007

Page 2: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 1

DAFTAR ISI

1. PENGANTAR...............…………………………………….………………...........1

1.1. Tujuan Studi ……….….................…………………….……………………….......1

1.2. Penentuan Lokasi Studi ….……………….….……….……………….…………....1

1.3. Pengumpulan Data....………………….…….………………………………….......4

2. PEMEKARAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF NASIONAL……………........4

2.1. Sejarah Pemekaran dan Perkembangan Makna Pemekaran……………...................4

2.2. Kebijakan Pemekaran Daerah.…….………………………………….….................5

2.3. Implementasi Pemekaran Dalam Perspektif Nasional ….………………….…........8

3. MUNCULNYA IDE PEMEKARAN DAERAH ….……………….….….………11

3.1. Faktor Penyebab Pemekaran Daerah ….……………….….……….……….......…11

3.2. Faktor-Faktor Yang Memfasilitasi Pemekaran ….………………….…………......17

4. PROSES SOSIAL POLITIK PEMEKARAN DAN PELESTARIAN

HASIL PEMEKARAN ….……………….….……….……………….…...………20

4.1. Proses Perjuangan Pemekaran ….……………….….……….……….……........…20

4.2. Proses Pelestarian Hasil Pemekaran ….…………….……………….………….....25

5. PERKEMBANGAN KAPASITAS SOSIAL-POLITIK DOB ……….…….......…27

5.1. Kemampuan Memperoleh Sumber Daya Fiskal ….……………….….…….......…28

5.2. Corak Fisik Pada Awal Daerah Otonomi Baru ….……………….….……….........29

5.3. Kemampuan Berotonomi Dalam Konteks Lintas Daerah .................................…..30

5.4. Kebangkitan Kohesivitas Etno-Kultural Dalam Konteks Masyarakat

Multikultural ….…………….……………….……….......................................…31

5.5. Rekruitmen PNS ….…………….……………….…………..................................32

5.6. Rentang Kendali Pelayanan Publik ….…………….……………….……….....…32

5.7. Terbentuknya DPRD di Daerah Otonomi Baru ….…………….…………………33

5.8. Perkembangan Pelayanan Publik ….…………….……………….………….........33

6. PERKEMBANGAN RELASI SOSIAL-POLITIK ….…………….………..........34

6.1 Perkembangan Relasi Sosial-Politik Antar Masyarakat Sipil……….…………....34

6.2. Relasi Sosial-Politik Antara Masyarakat dengan Pemda ….…………….………..36

6.3. Relasi Sosial-Politik Antar Pemda ….…………….………....................................38

6.4. Relasi Sosial-Politik Antara Daerah dengan Pemerintah Pusat ….…….........……40

6.5. Relasi Sosial-Politik Antar Pemda Dengan Negara Lain ….…………….…..……43

7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ….…………….….……43

Page 3: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 2

1. PENGANTAR

Peningkatan jumlah daerah otonom baru pada era reformasi menunjukkan

perkembangan yang menakjubkan. Sejak tahun 1999 hingga tahun 2004 telah lahir tujuh

provinsi, 114 kabupaten, dan 27 kota; yang baru. Informasi terakhir menunjukkan bahwa

sampai tahun 2007 jumlah kabupaten baru telah mencapai 158 buah, dan diperkirakan lebih

dari 100 lokalitas sedang dalam proses pemekaran menjadi kabupaten baru. Apa

sesungguhnya yang sedang terjadi di Indonesia pada era reformasi ini sehingga masyarakat

seolah-olah menginginkan dibentuknya daerah-daerah otonom baru? Jika diamati secara

sepintas, kondisi ini disatu pihak menunjukkan adanya perkembangan yang mengarah kepada

perbaikan dan pendekatan pelayanan publik kepada masyarakat yang diharapkan akan

mensejahterakan penduduk di wilayah yang baru dimekarkan. Namun di lain pihak

perkembangan ini juga menimbulkan kekawatiran karena beban APBN untuk membiayai

daerah otonom baru akan semakin berat. Lebih dari itu, pemekaran yang marak ini belum

tentu akan lebih mengefisiensikan kinerja pemerintahan, mendekatkan pelayanan publik dan

belum tentu pada akhirnya akan mensejahterakan rakyat seperti yang dikemukakan oleh para

pemrakarsanya. Meskipun telah cukup banyak kajian yang mencoba mengevaluasi gejala

pemekaran ini namun umumnya terfokus pada segi dampak dan sedikit sekali yang mencoba

melihat segi prosesnya secara sosial politik. Memahami proses sosial politik pemekaran

sangat diperlukan karena dengan demikian diharapkan bisa dianalisis keterkaitan dan

dinamika berbagai aspek sosial politik yang berpengaruh dalam proses terbentuknya daerah

otonom baru. Bertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan

daerah otonom baru itulah kemudian disepakati oleh DRSP-USAID (Democratic Reform

Support Program- USAID) Jakarta, Yayasan Percik Salatiga dengan dibantu oleh peneliti

LIPI, untuk mengadakan suatu penelitian kualitatif yang mendalam tentang proses sosial-

politik pemekaran atau terbentuknya daerah otonom baru. Dengan pertimbangan mayoritas

pembentukan daerah otonom baru terjadi di luar Jawa penelitian ini diarahkan ke wilayah

luar Jawa.

1.1. Tujuan Studi

Studi tentang pemekaran ini, khususnya yang diselenggarakan terhadap pemekaran di

wilayah kabupaten luar Jawa, adalah telaah kasus pemekaran untuk mengungkapkan

dinamika sosial-politik-budaya berkaitan dengan pemekaran, sehingga teridentifikasikan

berbagai aspek dari pemekaran, yaitu proses terjadinya pemekaran, faktor-faktor penyebab

pemekaran (baik faktor pendorong dari dalam maupun faktor penarik dari luar), aneka

dampak yang telah terjadi sesudah pemekaran, dan upaya-upaya berkenaan dengan

pemeliharaan hasil proses pemekaran.

Sesudah melalui pembicaraan intensif, seminar internal, dan diskusi-diskusi

disepakatilah beberapa tujuan studi yang lebih empirik sifatnya yaitu untuk:

(1) Menggambarkan faktor-faktor penyebab pemekaran daerah

(2) Menggambarkan faktor-faktor yang memfasilitasi pemekaran daerah

(3) Menggambarkan proses sosial-politik pemekaran daerah

(4) Menggambarkan proses sosial-politik pemekaran dan pelestarian hasil pemakaran

daerah

(5) Menggambarkan perkembangan kapasitas sosial-politik Daerah Otonomi Baru

(6) Menggambarkan perkembangan relasi sosial-politik

1.2. Penentuan Lokasi Studi

Adalah sebuah kenyataan yang menarik bahwa maraknya pemekaran daerah yang

lebih bersifat pemecahan daerah ini lebih banyak terjadi di luar Jawa daripada di Jawa.

Page 4: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 3

Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, seperti luas wilayah yang sangat luas,

jumlah penduduk yang semakin banyak, dan kehendak masyarakat lokal untuk memekarkan

diri. Berbeda dengan masyarakat lokal di Jawa yang relatif homogen, masyarakat lokal di

luar Jawa sangat heterogen dan terfragmentasi secara etno-kultural. Luasnya wilayah dan

masih miskinnya sarana transportasi seringkali menyebabkan komunikasi antar komunitas

yang berbeda secara etno-kultural menjadi terbatas. Keadaan semacam ini diduga ikut

berpengaruh terhadap besarnya keinginan masyarakat di luar Jawa untuk membentuk daerah

otonom baru. Mempertimbangkan beberapa hal di atas, studi ini akan ditekankan di wilayah

luar Jawa. Untuk menentukan lokasi studi yang lebih tepat maka pihak DRSP, Yayasan

Percik, dan LIPI memulai langkahnya dengan mengadakan diskusi, mencari informasi dari

banyak pihak (seperti Bappenas, Depdagri, dan Depkeu, dan juga dengan rekan-rekan peneliti

lain atau pakar pemekaran daerah), dan melakukan studi literatur. Berdasar hasil penjajagan

awal inilah kemudian ditentukan dua wilayah studi yaitu: Wilayah Studi Kabupaten Sambas,

di provinsi Kalimantan Barat; dan Wilayah Studi Kabupaten Buton, di provinsi Sulawesi

Tenggara.

Wilayah Studi Kabupaten Sambas dipilih karena pemekaran di wilayah ini merupakan

pemekaran yang pertama yang terjadi di era reformasi sebelum keluarnya UU No 22 Tahun

1999. Pemekaran Kabupaten Bengkayang dari Kabupaten Sambas terjadi pada tanggal 20

April 1999 dengan ditetapkannya UU No. 10 tahun 1999. Bersamaan dengan Pembentukan

Kabupaten Bengkayang yang merupakan pemisahan dari Kabupaten Sambas, ibu kota

Kabupaten Sambas juga berpindah dari Singkawang ke Sambas. Dalam perkembangannya,

dua tahun setelah pembentukan Kabupaten Bengkayang (2001) terjadi lagi pembentukan

daerah baru yaitu Kota Singkawang. Sementara itu di Kabupaten Sambas yang baru, pada

tahun 2002an juga muncul tuntutan pemekaran dua wilayah baru yang terjadi hampir

bersamaan yaitu Kabupaten Sambas Pesisir (KSP) dan Kabupaten Sambas Utara (KSU).

Selain itu Kabupaten Sambas dipilih karena corak masyarakatnya dapat dianggap lebih

heterogen dipandang dari segi suku dan agama, dimana suku dan agama tertentu

mendominasi wilayah tertentu.

Wilayah Studi Kabupaten Buton dipilih karena pemekaran di Kabupaten Buton baru

terjadi pada tahun 2001 dan Kabupaten Buton dipilih karena corak masyarakatnya dapat

dianggap lebih homogen dilihat dari segi agama. Namun dari segi adanya dominasi suku

tertentu terhadap suku lain tidak terlalu kelihatan. Selain itu Kabupaten Buton dipilih sebagai

lokasi studi karena proses pemekaran di lokasi ini menunjukkan geneologi pemekaran yang

relatif “lengkap”, yaitu dari wilayah induk (Kab. Buton) telah memunculkan Kota Bau-Bau

pada tahun 2001, selanjutnya pada tahun 2003 dari sisa wilayah induk mekar menjadi dua

kabupaten, yaitu Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana. Akhirnya pada Januari

2007, sisa dari wilayah induk Kabupaten Buton telah terjadi persiapan pemekaran ke dalam

dua wilayah pemekaran lagi, yaitu Buton Tengah dan Buton Selatan.

Perlu dikemukakan bahwa hasil penelitian ini memiliki beberapa kelemahan yang

memang harus dan akan diperbaiki yaitu:

(a). Penelitian ini lebih menekankan ke wilayah atau lokasi penelitian di Daerah Otonomi

Baru yang sudah agak lama mengalami pemekaran, sedangkan untuk Daerah Otonomi

Baru yang baru kembali mengalami pemekaran belum tercakup dalam penelitian ini.

(b). Di dalam desain penelitian dirancang akan dilaksanakan suatu proses checking dan

pendalaman lewat beberapa kegiatan, seperti: Seminar, raoun table discussion, dan

kegiatan konsultasi publik di bebarap daerah. Dua kegiatan yang pertama telah

dilakukan namun untuk kegiatan konsultasi publik ini belum dilakukan.

Page 5: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 4

1.3. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan lewat beberapa cara yaitu dengan melakukan wawancara

mendalam dengan sejumlah informan kunci baik pada aras provinsi, kabupaten/kota,

kecamatan, dan aras desa/kelurahan, dengan menggunakan pedoman pertanyaan yang sudah

disiapkan sebelumnya. Selain itu juga dilakukan observasi baik pada aras kabupaten/kota,

kecamatan, maupun desa/keluruhan menyangkut aspek proses dan fasilitas pelayanan publik

yang ada, perkembangan fisik, dan kondisi wilayah Daerah Otonomi Baru. Untuk melengkapi

data pada tataran yang lebih general dikumpulkanlah data sekunder baik dari dinas sektoral,

pemerintah daerah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupten/kota dan provinsi), maupun dari

pihak NGO atau swasta. Pada akhirnya dilakukan cheking dan pelengkapan data dengan

melakukan Focus Group Discussion (FGD), baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.

Penelitian ini dilakukan sejak akhir Bulan Maret sampai Pertengahan April 2007, oleh

staf Percik yang dibantu beberapa staf LIPI, staf pengajar Program Pascasarjana Universitas

Tanjungpura, Pontianak dan staf pengajar Pascasarjana Universitas Haluoleo, Kendari.

Berikut ini adalah uraian yang merupakan ringkasan laporan penelitian yang dapat

dijadikan bahan pertimbang untuk pengambilan kebijakan secara cepat dan tepat di dalam

proses pemekaran daerah.

2. PEMEKARAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF NASIONAL

Sejak bergulirnya arus reformasi, bangsa Indonesia menaruh harapan besar terhadap

perubahan-perubahan sistem bernegara. Dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan

administrasi daerah terkandung harapan bahwa pembentukan, pemisahan, penggabungan dan

penghapusan daerah akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga, akibat pelayanan

yang lebih baik, peningkatan kehidupan demokratis, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat,

meningkatnya keamanan dan ketertiban dan relasi-relasi yang harmonis antar-daerah.

2.1. Sejarah Pemekaran dan Perkembangan Makna Pemekaran

Pada tahun 1880, perdebatan tentang perlunya desentralisasi pemerintahan di Daerah

Jahan Hindia Belanda mulai santer disuarakan oleh anggota Dewan Rakyat (Tweede Kamer)

yang didukung oleh kaum Swasta Belanda yang bergerak di berbagai bidang perkebunan.

Kelompok ini merasa bahwa kekuasaan sentralistik di tangan seorang Gubernur Jenderal

dianggap terlalu besar. Namun demikian baru pada tanggal 23 Juli 1903 munculah Undang-

Undang yang memungkinkan adanya desentralisasi. Undang undang yang lengkap yang

disebut sebagai Wet Houndende Decentralizatie in Nederlandsch Indie (disingkat sebagai

Decentralisatie Wet 1906) mulai diundangkan untuk mengurangi kekuasaan sentral yang

berpusat di Belanda (Wignjosoebroto, 2004).

Ide desentralisasi ini tidak hanya didorong untuk mengurangi kekuasaan sentralistis

pusat namun juga oleh adanya tuntutan dari daerah-daerah yang mempunyai variasi sifat,

potensi, identitas, dan kelokalan yang berbeda-beda untuk memperoleh kewenangan yang

lebih besar. Proses desentralisasi yang mulai tertata ini mengalami keruntuhan dengan

masuknya Pemeritahan Militer Jepang yang bersifat fasis. Sejak saat itu, sistem kekuasaan

pemerintahan menjadi tersentralisasi kembali. Munculnya UUD 1945 yang menjadi dasar

Republik Indonesia Merdeka, yang pembentukannya dipengaruhi oleh adanya keberadaan

Jepang yang bersifat fasis menyebabkan warna sentralistis menjadi lebih kuat dengan bentuk

Negara Kesatuan. Baru sesudah para pemimpin negara dapat berpikir lebih jernih dan tidak

dipengaruhi oleh pemerintahan Jepang yang fasis, menyebabkan makna desentralisasi

menjadi lebih memperoleh tempat yang utama terutama dengan munculnya UUD Republik

Indonesia Serikat, tahun 1955, yang menjadi dasar munculnya bentuk Negara Indonesia

Page 6: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 5

Federal. Di sini wilayah-wilayah luar Jawa menjadi mempunyai kewenangan yang lebih

nyata dan besar. Makna Kebinekaan di Indonesia menjadi lebih nyata dan diakui.

Munculnya Dekrit Presiden pada tahun 1959, yang menyatakan kembali

menggunakan UUD 1945 yang mendasari adanya Negara Kesatuan, menyebabkan

kekuasaan yang desentralisasi digantikan dengan kekuasaan yang sentralistis kembali. Di sini

makan Ketunggal Ikaan menjadi lebih nyata katimbang warna Kebhinekaan. Runtuh nya

Orde Baru yang ditandai oleh perubahan politik yang luar biasa pada tahun 1998

menyebabkan wilayah luar Jawa yang selama hampir 40 tahun merasa kurang diperhatikan

dan kurang memperoleh perlakuan yang adil telah mendorong (memaksa) Pemerintahan

Habibie untuk mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah (UU No. 22 Tahun 1999). Di

sini desakan politik dari daerah telah mendorong pemerintahan pusat untuk mengembalikan

kekuasaan/kewenangan ke daerah. Dengan kata lain makna Kebhinekaan di dalam kekuasaan

pemerintahan lebih menonjol dan lebih dikehendaki dibandingkan makna Ketunggal-Ikaan.

Walaupun ada usaha untuk kembali meresentarlisasi kekuasaan dengan munculnya

UU No 32 Tahun 2004 (Suwondo 2005), namun dorongan untuk lebih mewujudkan makna

Kebhinekaan menjadi lebih jelas dan menggebu-gebu. Selama sekitar 9 tahun sejak

diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 telah muncul (mekar) sekitar 150 Kabupaten/Kota

Baru. Terlepas dari kemampuan sosial-politik-ekonomi untuk secara teknis dapat dikatakan

sebagai “benar-benar mampu mekar”, namun kapasitas sosial-politik dan keinginan daerah

untuk memperoleh pembagian “kue pembangunan” yang lebih adil nampaknya menjadi lebih

besar, lebih kuat, dan akan sulit dibendung. Makna desentralisasi kekuasaan tidak hanya

berkisar pada adanya kewenangan untuk melakukan pemerintahannya sendiri namun telah

bergeser kepada dorongan untuk memperoleh perlakuan yang lebih adil dari baik dari

Pemerintahan Pusat maupun dari Daerah Induk.

Tarik menarik antara desentralisasi dan sentralisasi kekuasaan tidak terlepas dari

makna negara dan rakyat memaknai antara Ketunggal-Ikaan dengan Kebhinekaan. Tarik

menarik tersebut terjadi sejak lama dan memang menunjukkan adanya permasalahan selaku

Bangsa (Indonesia) secara keseluruhan. Walaupun demikian makna Kebhinekaan dengan

segala atribut identitas sosail-politik kedaerahan menjadi hal utama yang nampaknya lebih

didesakkan oleh rakyat yang mau-tidak mau harus memperoleh perhatian baik dari

Pemerintahan Pusat maupun Pemerintahan Induk.

2.2. Kebijakan Pemekaran Daerah

Dalam kondisi negara yang lemah (strong society and weak state), maka munculnya

Undang-undang Otonomi Daerah merupakan salah satu usaha untuk di satu pihak

“mendinginkan” euforia reformasi dan di lain pihak untuk menjaga keutuhan NKRI. Dengan

demikian maka “nada” atau isi dari UU No 22 Tahun 1999 tersebut lebih memberikan

kebebasan yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan

pemerintahannya sendiri demi untuk kesejahteraan daerahnya sendiri-sendiri. Prinsip

kebebasan, demokrasi, partisipasi (kewenangan pada rakyat) menjadi prinsip bahkan menjadi

tujuan dan bukan hanya sebagai sarana.1

Era reformasi yang diawali pada tahun 1998 dengan tergesernya paradigma

desentralisasi administratif, yang dianut Orde Baru, menjadi desentralisasi politik pasca UU

22 Tahun 1999. Pemekaran daerah atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di era

reformasi merupakan konskuensi logis dari penerapan kebijakan desentralisasi politik, oleh

1 Pada masa Otonomi Daerah ini, sebenarnya perbedaan bentuk NKRI dan “Negara Federal Indonsia” sudah

hampir tidak ada. Hal ini bisa dilihat bahwa, seperti di Negara-negara federal, yang tetap diatur atau dikuasai

oleh pemerintah pusat adalah masalah atau aspek Pertahanan, Keamanan, Moneter dan fiskal, Politik Luar

Negeri, dan Peradilan. Bedanya untuk di Indonesia masih ditambah dengan permasalahan atau aspek agama

masih harus diatur oleh Pemerinah Pusat.

Page 7: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 6

pemerintah pusat, di daerah. Dengan desentralisasi politik maka pemerintah pusat

membentuk daerah-daerah otonom atau daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan, yaitu

daerah-daerah yang mempunyai wilayah, masyarakat hukum, kepala daerah, dan anggota

DPRD yang dipilih oleh rakyat, pegawai, dan kewenangan serta keleluasaan mengatur dan

mengurus daerah.

Kebijakan pemekaran daerah pasca ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah mempunyai perbedaan yang signifikan jika dibandingkan pengaturan

pemekaran daerah berdasar UU No. 5 Tahun 1975. Kebijakan pemekaran daerah pada Orde

Baru, memang bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, yang perencanaan dan

implementasi pemekaran lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat, daripada partisipasi dari

bawah. Proses pemekaran daerah seringkali menjadi proses yang tertutup dan menjadi arena

terbatas di kalangan pemerintah pusat.

Meskipun pada masa Orde Baru kebijakan pemekaran lebih bersifat elitis dan

sentralistis, namun pada masa itu pemerintah telah mencoba mendorong upaya penyiapan

infrastruktur birokrasi (bukan infrastruktur politik), sebelum pembentukan daerah otonom.

Masa transisi teknokratis disiapkan sedemikian rupa sebelum menjadi DOB, misalnya

sebelum menjadi kotamadya disipakan terlebih dahulu sebagai kota administratif. Demikian

juga pembentukan kabupaten baru akan didahului dengan dibentuknya wilayah kawedanan.

Sedangkan daerah transisi untuk tingkat propinsi dikenal dengan karesidenan. Dalam masa

transisi pembentukan daerah baru tersebut, lebih menekankan pada mekanisme teknokratis

daripada mekanisme politik, misalnya dengan penyiapan administrasi birokrasi, infrastruktur,

gedung perkantoran, dll. Setelah penyiapan teknokratis dirasa cukup barulah kemudian

penyiapan politik dilakukan yaitu dengan pembentukan DPRD, dari situ barulah kemudian

dibentuk DOB.

Proses-proses penyiapan teknokratis tersebut pada kebijakan pemekaran daerah

berdasar UU No. 22 Tahun 1999 tidak ada tetapi justru lebih menekankan pada proses-proses

politik. Ruang bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar oleh

kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999. Dengan kebijakan yang

demikian ini, kebijakan pemekaran daerah sekarang lebih didominasi oleh proses politik

daripada proses teknokratis.

Semakin meningkatnya jumlah daerah otonomi baru di Indonesia sebenarnya harus

dipahami dari mekanisme lokal dan mekanisme nasional. Pertama dari konteks lokal,

dinamika kepentingan elite lokal menjadi penyumbang terbesar dari banyaknya dan semakin

meningkatnya usulan pemekaran daerah. Dari peta jumlah usulan pemekaran daerah, usulan

pemekaran kebanyak berasal dari daerah luar Jawa terutama daerah Indonesia Timur yang

merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam tetapi kondisi ekonominya stagnan.

Kondisi perkembangan ekonomi yang stagnan sementara peningkatan kualitas sumberdaya

manusia melalui peningkatan pendidikan cukup berhasil, telah berdampak pada banyaknya

semberdaya manusia lokal yang terdidik yang tidak mempunyai ruang untuk mengabdikan

dirinya di daerah. Dengan demikian harapan terbesar untuk berkembang terletak pada arena

negara. Ketika institusi pemerintahan sudah tertutup, pilihan rasional yang tersedia adalah

membentuk institusi-institusi pemerintahan baru.

Sementara itu, regulasi pusat juga membuka peluang dan mendukung alasan untuk

pengurangan pengangguran melalui pemekaran daerah. Kebijakan susunan dan kedudukan

legislatif dan eksekutif, paling tidak sudah memberikan lowongan pekerjaan yang menarik

bagi sekitar 20 orang, seperti sebagai: kepala dearah dan wakil kepada daerah, sekretaris

daerah, asisten, kepala-kepala dinas, kepala kontor, dan pegawai-pegawai. Dilihat dari sisi

masyarakat, pembentukan Daerah Otonomi Baru, termasuk juga pembentukan kecamatan

baru, merupakan suatu proses pengembangan, pembelajaran, dan pemberdayaan masyarakat

dan wilayahnya.

Page 8: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 7

Pembentukan daerah baru yang disertai dengan pembentukan kecamatan baru,

peningkatan pembangunan, pengembangan fasiltas pelayanan publik, dan kesempatan kerja

sebagai PNS, di sekitar wilayah yang akan dijadikan ibu kota DOB dapat dipastikan akan

disertai dengan peningkatan pembangunan fisik berupa pembangunan jalan, listrik, telephon,

dan lain-lain. Dalam konteks masyarakat lokal yang demikian, pemekaran daerah merupakan

cara masyarakat untuk “memaksa” pemerintah pusat agar memperhatikan pembangunan di

daerah. Dengan demikian dari aspek politik lokal, pemekaran daerah merupakan kesempatan/peluang

bagi elite-elite lokal untuk duduk di DPRD ataupun ekskutif. Sedangkan bagi elite politik nasional,

pemekaran daerah dapat dilihat sebagai upaya menciptakan daerah-daerah pemilihan baru yang

mungkin berguna bagi pemilu. Hal ini berimplikasi bagi terciptanya transaksi politik antara elite lokal

dan elite nasional. Pandangan ini dibenarkan oleh salah satu anggota Komisi II DPR yang menyatakan

bahwa pemekaran daerah adalah sebuah bentuk kompensasi kepentingan politik dari partai-partai

politik di DPR. Dengan demikian, pemekaran daerah telah berdampak pada terciptanya daerah-daerah

otonom baru yang berimplikasi politis pada penambahan daerah-daerah pemilihan baru. Implikasi

lebih lanjut dari adanya penambahan daerah-daerah pemilihan baru tersebut adalah semakin

meluasnya conflick of interest antara partai-partai politik di tingkat nasional yang diwakili oleh elite-

elite politik di DPR RI dan ini berdampak pada prose pemekaran yang lebih didasarkan atas

pertimbangan politik daripada kebutuhan untuk menata daerah dalam tingkat nasional.

Kedua, dari konteks nasional, peranan regulasi juga telah menjadi penyumbang

meningkatnya tuntutan dan pembentukan DOB karena kebijakan meloloskan tuntutan DOB

terletak pada pemerintahan pusat. Kebijakan adanya dua pintu pemekaran juga dimanfaatkan

oleh masyarakat sebagai jalan “mudah” bagi masyarakat. Ketika pintu pemerintah tertutup,

maka masyarakar akan menggunakan celah melalui pintu DPR yang relatif lebih mudah.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa selama sembilan tahun berotonomi sejumlah

dampak positif dari prinsip otonomi telah muncul seperti:

(1). Berkembangnya prinsip demokrasi, partisipasi, dan kebebasan memang mencuat ke

permukaan

(2). Di lihat dari sudut rakyat di aras lokal, munculnya Daerah Otonomi Baru

menyebabkan adanya perkembangan infrastruktur (gedung pemerintahan, jalan,

puskesmas, sekolahan, dan lain-lain)

(3). Pelayanan publik menjadi lebih dekat terutama di bidang pelayanan pemerintahan.

(4). Identitas sosial-politik lokal menjadi mempunyai kesempatan untuk diakui

eksistensinya.

Walaupun ditemui sejumlah hasil yang menggembirakan namun sejumlah masalah

juga muncul dan semakin-lama menjadi semakin besar, yaitu:

(1). Kenthalnya warna kedaerahan (termasuk ide dominasi putra daerah) di dalam semua

proses dan bidang sosail, politik, budaya, dan ekonomi

(2). Banyaknya Provinsi dan Kabupaten/Kota baru yang kemunculannya selalu

menimbulkan konflik kepentingan antar elite yang pada akhirnya berdampak pada

konflik antar massa masing-masing pendukung

(3). Ketidak jelasan relasi antar fungsi dalam sistem pemerintahan pusat dengan daerah

dan antar daerah. Selain itu juga muncul ketidak jelasan peran Gubernur di dalam

mengkoordinasi dan mensinergikan kinerja antar kepala daerah yang ada

“dibawahnya” (Bupati dan Walikota). Hal yang terakhir ini muncul karena adanya

pasal 4 ayat 2 dari UU No 22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa “masing-masing

daerah otonom berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama

lain”

(4). Pertentangan antar wilayah (bahkan antar desa) untuk memperebutkan Sumber Daya

Alam menjadi sangat tidak rasional

Page 9: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 8

(5). Persaingan antara eksekutif dan legislatif di aras lokal (Pemerintah Desa dengan

Badan Perwakilan Desa atau BPD), di aras regional antara Bupati/Walikota dengan

DPRD Kabupaten/Kota atau antara Gubernur dengan DPRD Provinsi, bahkan

pertentangan sampai di tingkat nasional yang dipuncaki dengan dengan jatuhnya

Pemerintahan Gus Dur.

Adanya dampak positif dan negatif dari adanya proses pemekaran wilayah yang lebih

menunjukkan Kbhinekaan ini memang merupakan konsekwensi logis yang akan muncul.

Persoalannya adalah bagaimana usaha yang perlu dilakukan untuk mengurangi sebanyak

mungkin kemungkinan dampak negatif dan mendorong semaksimal mungkin munculnya

dampak positif. Usaha ini harus dilakukan baik oleh rakyat dan pemeritahan di aras lokal

maupun oleh pemerintahan di aras nasional.

2.3. Implementasi Pemekaran Dalam Perspektif Nasional

Dari aspek proses, keputusan pemekaran daerah merupakan respon terhadap tuntutan

pemekaran daerah. Jadi pemekaran daerah biasanya diawali oleh adanya kemauan politik

masyarakat yang juga didukung oleh pemerintahan daerah setempat. Kemudian pemerintah

daerah membuat usulan yang disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melaui gubernur

yang disertai lampiran hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga independen atas biaya

APBD daerah setempat dan persetujuan DPRD. Di tingkat pusat, apabila usulan tersebut

dipandang layak akan ditindaklanjuti oleh Mendagri yang akan memproses lebih lanjut dan

menugaskan tim untuk observasi ke daerah yang hasilnya menjadi dasar rekomendasi bagi

Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Mengenai realitas peran DPOD ini, Eko

Prasodjo berpendapat bahwa peran DPOD hanya bersifat formalitas sebagai ”pengetuk” palu.

Yang lebih berperan adalah tim teknis yang anggotanya mayoritas terdiri dari direktur-

direktur di Depdagri.2 Disamping itu peran konsultan juga cukup penting.

3 Kinerja dari Tim

Observasi Pusat/Tim Teknis ini oleh beberapa pihak cukup diragukan. Seorang anggota DPD

dari Kalbar menyangsikan observasi yang dilakukan Tim Observasi Pusat yang diangkat oleh

DPOD untuk melakukan penelitian secara sungguh-sungguh mengingat yang dilakukan

hanyalah monitoring dalam waktu yang relatif singkat dan hanya bersumber pada informasi

elite. Tim ini lebih banyak melakukan penelitian dokumen dan ”temu muka” formal dengan

”masyarakat” yang sebagian besar adalah elite-elite di daerah.

Di tingkat pusat, mekanisme pemekaran daerah dilakukan melalui dua pintu yang oleh

seorang pejabat Depdagri dipilah ke dalam cara yang normal dan cara yang tidak normal.4

Cara yang normal yaitu cara yang mengikuti jalur atau pintu ekskutif, dan cara yang

dipandang tidak normal yaitu melalui jalur atau pintu legislatif kemudian baru mengikuti

prosedur eksekutif. Kedua cara tersebut tidak terkait dengan aspek legalitas karena keduanya

2 Sebagai contoh yang bisa memberi gambaran dominasi Depdagri dalam pokok ini, diantaranya adalah dalam

kasus calon Kabupaten Buton Utara (Pemekaran dari Kabupaten Muna), Propinsi Sultra, Tim Observasi

Pusat/Tim Teknis (dari DPOD) yang berkunjung ke lapangan adalah: (1) Direktur Penataan Daerah dan

Otonomi Daerah Depdagri (sebagai koordinator tim); (2) Direktur Kawasan Khusus Ditjen PUM Depdagri

(anggota); (3) Satu orang staff dari Depdagri (sebagai sekretaris merangkap anggota); (4) Staf dari Depdagri

(anggota); (5) Empat staf dari Depdagri (masing-masing sebagai anggota); (6) Satu orang staf ahli Menteri dan

Kementrian PAN (anggota); Staf Ahli Hukum dan HAM dari Sekretaris Kabinet (anggota); (7) Staf Khusus

Mensesneg dari Sekretarian Negara (anggota); (8) Asdep Partisipasi Politik Kemenko Bidang Polhukam

(anggota); (9) Direktur Penanganan Konflik Ditjen Kesbangpol Depdagri (anggota); (10) Direktur Fasilitas

Rancangan Peraturan daerah Departemen Hukum dan HAM (anggota); (11) Kepala Pusat Batas Wilayah dari

bakorsurtanal (anggota); (12) Staf dari Departemen Keuangan (anggota); (12) Satu Tenaga Ahli (anggota). 3 Wawancara dengan Eko Prasojo, anggota Tim Pakar DPOD dan seorang guru besar Universitas Indonesia, di

Jakarta, 24 April 2007.

4 Wawancara dengan Dody, Ryadmaji Kepala Bagian Penataan Daerah Dirjen Otonomi Daerah, Depdagri pada

tanggal 9 April 2007 di Jakarta.

Page 10: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 9

sama-sama berdasarkan hukum. Berdasarkan hukum, proses pemekaran melalui pintu DPR

memang dimungkinkan karena berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen tahun 20005, DPR

memiliki kekuasaan sebagai badan pembentuk undang-undang. Pengaturan dalam UUD

tersebut dipertegas dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.6 Sebagai implikasinya DPR berhak mengajukan RUU inisiatif

termasuk pemekaran daerah. Dikatakan sebagai cara tidak normal karena DPR membuat

RUU Pemekaran dan mengajukannya kepada presiden, yang mana hal ini memberi kesan

bahwa seolah-olah ada dualisme kekuasaan yang memegang peranan dalam proses

pemekaran daerah di Indonesia. Selain DPR dan ekskutif (dalam hal ini Depdagri), lembaga-

lembaga seperti DPD dan DPOD juga memiliki peran dalam pemekaran daerah meskipun

harus diakui peran tersebut kurang signifikan. berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 atau UU

No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 129 Tahun 1999.

Terhadap kewenangan DPR dalam penyusunan UU tersebut diperoleh tanggapan dari

seorang pemerhati desentralisasi, Alfitra Salamm. Menurut Alfitra Salamm, sebuah UU

seharusnya disetujui bersama, baik oleh ekskutif maupun legislatif. Apabila ada sebuah RUU

yang tidak disahkan oleh Presiden dalam batas waktu yang ditetapkan, maka RUU yang

bersangkutan seharusnya gugur (tidak sah) dan otomatis tidak dapat diundangkan, terutama

yang menyangkut pemekaran. Rasionalisasi dari pandangan ini adalah bahwa masalah

pemekaran daerah merupakan domain ekskutif (karena menyangkut operasional pemerintah

daerah) sehingga sebaiknya ”pintu” pemekaran daerah cukup lewat Depdagri saja. DPR dan

DPD cukup mengawasi kebijakan pemerintah mengenai pemekaran.7 Sementara itu

keterlibatan DPR dalam pemekaran daerah juga dipandang bisa menimbulkan conflict of

interest karena ada kepentingan-kepentingan tertentu yang diperjuangkan pada daerah

pemekaran.8 Proses pemekaran bisa dijadikan investasi politik di daerah baru. Selain itu

dengan pemekaran daerah berarti terjadi perluasan daerah pemekaran dan perluasan lembaga-

lembaga pemerintahan, maka pemekaran daerah akan menjadi arena baru bagi partai-partai

politik untuk menempatkan kader-kadernya di DPRD dan kekuasaan-kekusaan lain di daerah

yang baru tersebut. Pemekaran daerah melalui DPR tidak dapat dilepaskan dari kepentingan

politik untuk memperoleh kekuasaan politikny di tingkat lokal.

Ketentuan perundang-undangan di atas yang dimaksudkan untuk memberikan

kepastian hukum justru berdampak pada ketidakpastian hukum. Yang terjadi selama ini,

menurut Alfian Salamm, ketika proposal pemekaran yang diajukan oleh daerah ditolak oleh

Depdagri, umumnya para pengusul (biasanya dengan tekanan mobilisasi massa) lari ke

anggota DPR-RI (khususnya komisi II) untuk memperjuangkannya. Anggota DPR-RI

kemudian mengabulkannya dengan alasan ”aspirasi konstituen”. Presiden tidak mempunyai

kewenangan untuk menolak RUU inisiatif DPR, sedangkan posisi DPD lemah.

Sejalan dengan pandangan di atas, menurut pejabat Depdagri, meskipun kebijakan

pemekaran daerah sangat sarat dengan logika administratif, dalam implementasi justru aspek

politik yang lebih menonjol. Menurutnya, dari sekian banyak usulan pemekaran daerah yang

5 Lihat UUD 1945 hasil amandemen IV yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002, pada pasal 20 (ayat 1)

menyatakan: “DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”.

6 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dalam pasal 17 dinyatakan

bahwa RUU yang dapat diajukan oleh DPR antara lain berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat-

daerah, pembentukan, penggabungan serta pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya

ekonomi, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan. Selanjutnya pasal 17 (ayat 5) bermaksud

memberikan kepastrian hukum dengan mengatur: “ Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama (dengan DPR-

pen) tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah

menjadi UU dan wajib diundangkan”.

7 Wawancara dengan Alfian Salamm, mantan anggota DPOD (dari unsur ADEKSI) di Jakarta, April 2007.

8 Wawancara dengan Eko Prasojo, tanggal 16 April 2007.

Page 11: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 10

lebih cepat disetujui adalah usulan pemekaran yang diusulkan melalui pintu DPR. Anggota

DPR dengan menggunakan tekanan politiknya seringkali justru ”mengingkari” persayaratan-

persayaratan administratif dan melakukan tekanan-tekanan politik ke DPOD9. Tetapi di lain

pihak, DPR juga mengaku memperoleh tekanan dari rakyat di daerah. Hal ini tampak

misalnya ketika rapat anggota DPRD, di balkon ruang rapat sudah ditunggu oleh orang-orang

daerah untuk mendengar keputusan diloloskannya atau tidak usulan pemekaran yang

diajukan. Dari pengalaman implementasi kebijakan pemekaran daerah, terutama menyangkut

aspek proses, dapat dilihat bahwa daerah dapat dengan mudah melakukan pemekaran. Ada

dua asumsi teoritik yang mendasari mudahnya proses pemekaran. Asumsi yang pertama

adalah peraturan atau persyaratan yang tidak terlalu detail sehingga memudahkan inisiator-

inisiator pemekaran melakukan terobosan. Asumsi kedua adalah bahwa peraturan dan

persyaratan (adminstratif) sudah detail tetapi karena kuatnya tekanan politis menjadikan

proses pemekaran dapat dengan mudah dilakukan.10

Kekuasaan formal yang memutuskan disetujui atau tidak disetujuinya usulan

pemekaran daerah ada pada sidang DPOD. Namun, dalam proses sidang tersebut terdapat

sebuah proses yang memframe (mengarahkan) bahwa sidang DPOD hanya bersifat formalitas

sehingga pihak yang memiliki the real power adalah Tim Observasi/Teknis yang menyiapkan

dan menganalisis angka-angka kualitatif yang mudah untuk dimanipulasi. Di balik

kekuasaan formal itu terdapat kekuasaan non formal yang menentukan berhasil atau tidaknya

usulan pemekaran daerah. Dengan demikian, kekuasaan yang menentukan proses pemekaran

terletak pada birokrasi yang menempatkan Tim Teknis dan Konsultan hanya sebagai alat

legitimasi intelektual dari sebuah proses yang tertutup bagi publik. Birokrasi di balik Tim

Teknis dan Tim Konsultan inilah sebagai pihak-pihak yang disebut sebagai the real power.11

Dari aspek keuangan negara, evaluasi pemekaran daerah selama enam tahun menunjukkan

bahwa terdapat 94% daerah yang mengandalkan dana dari pusat (DAU dan dana perimbangan). Jadi

hanya beberapa daerah yang bisa survive dengan pendanaan sendiri. Pengalokasian dana bagi daerah

baru hasil pemekaran sebagian besar anggaran justru tidak dipakai untuk pelayanan publik. Alokasi

dana untuk pelayanan publik hanya sebesar 30%, infrastruktur berupa perkantoran sebesar 20%, untuk

belanja rutin gaji pegawai sebesar 42%, dan 20% dana dialokasikan untuk belanja lain-lain. Dengan

demikian pemekaran daerah yang sudah dilakukan belum memenuhi standar pelayanan publik yang

ideal. Sementara itu dampak yang paling dirasa pada aras nasional adalah persoalan-persoalan yang

berkaitan dengan belanja negara. Pada APBN tahun 2006 misalnya, penyelenggaraan pemerintahan

daerah pemekaran memerlukan ± 250-300 triliun rupiah (±20% dari PDB). Menurut catatan APBN

tahun 2000-2004, dana yang dialokasikan untuk belanja daerah meningkat dari tahun ke tahun. Tahun

1999 dana untuk penyelenggaraan pemerintah daerah berjumlah Rp. 29,9 trilyun (2,6 dari PDB),

meningkat menjadi Rp. 33,1% trilyun (3,4% dari PDB) pada tahun 2000. Peningkatan inipun terjadi

pada tahun selanjutnya, yaitu 81,1 trilyun (5,6% terhadap PDB) tahun 2001, Rp 94,8 trilyun (5,9%

terhadap PDB) tahun 2002, Rp 116,9 trilyun (6% terhadap PDB) tahun 2003, dan Rp. 130 trilyun

(6,2% terhadap PDB) tahun 2004.12

Peningkatan pengeluaran negara tersebut adalah karena

pembentukan daerah baru memerlukan kantor polisi baru, kantor agama baru, kantor pengadilan baru,

dll.

Dari sisi politik keamanan, pemekaran daerah akan mendorong berkembangnya lembaga-

lembaga militer dan kepolisian di luar Jawa terutama di daerah-daerah rawan konflik sosial dan

konflik separatisme. Kehadiran aparat keamanan di daerah pemekaran terutama di luar Jawa dapat

menjadi persoalan di masa depan jika mereka tidak dapat dikontrol oleh pemerintah dan masyarakat

nasional. Selain itu pemekaran daerah akan membuka peluang bagi tumbuhnya etnosentrisme yang

menjadi tantangan bagi integrasi nasional. Dalam realitasnya, elite lokal yang mengusulkan

9 Hasil Roundtabel Discussion, Percik-DRSP : “Mengembangkan Kebijakan Penataan Daerah Yang Peka

Terhadap Perspektif Lokal”, diselenggarakan di Kampoeng Percik pada tanggal 20 Juli 2007. 10

Ibid 11

Wawancara dengan Eko Prasojo di Universitas Indonesia Depok pada tanggal 16 April 2006. 12

Jurnal Update Indonesia vol. 02/Tahun I Maret 2006, hal 59

Page 12: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 11

pemekaran daerah seringkali mengusung simbol-simbol etnis dan perbedaan budaya sebagai basis dari

legitimasi politik pemekaran daerah.

3. MUNCULNYA IDE PEMEKARAN DAERAH

Ide dan perjuangan pemekaran daerah sebenarnya sudah lama ada di kalangan rakyat

Sambas dan Buton. Proses perjuangan pemekaran itu sendiri juga sebenarnya berjalan lamban

namun tidak disertai dengan tindak kekerasan. Munculnya ide pemekaran (dalam makna

pemecahan) daerah dapat dilihat dari dua sisi yaitu: (1) faktor-faktor penyebabnya, yang

mencakup (a) faktor pendorong pemekaran yang berada di lingkungan internal daerah yang

ingin mekar, dan (b) faktor penarik yang berasal dari lingkungan eksternal; dan (2) faktor-

faktor yang memfasilitasi munculnya pemekaran. Faktor-faktor penyebab pemekaran maupun

faktor-faktor yang memfasilitasi munculnya pemekaran dapat berlaku di dua wilayah

penelitian (Sambas dan Buton) namun dapat juga bahwa faktor-faktor tertentu hanya berlaku

di salah satu wilayah penelitian.

Beberapa faktor penyebab terjadinya pemekaran di antaranya adalah (a) faktor-faktor

pendorong seperti (1) faktor kesejarahan, (2) faktor tidak meratanya pembangunan, (3)

rentang kendali pelayanan publik yang jauh, dan (4) tidak terakomodasinya representasi

politik dan (b) faktor penarik, yaitu kucuran dana (fiskal) dari pusat. Sedangkan faktor yang

memfasiltasi munculnya pemekaran diantaranya adalah: (1) Proses persiapan untuk mekar;

(2) Political crafting oleh para elite; (3) Kondisi perpolitikan nasional; dan (4) faktor tuntutan

kemanan daerah perbatasan.

Perlu dikemukakan sebelumnya bahwa secara kronologis formal, Wilayah Induk

Kabupaten Sambas mengalami pemekaran yang pertama, adalah dengan keluarnya UU

Nomor 10 Tahun 1999, tanggal 22 April 1999 (mendahului munculnya UU Nomor 22 Tahun

1999 yang mengatur tentang pemekaran daerah). Undang-undang tersebut menetapkan

Sambas menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas dengan

Ibu Kota di Sambas13

. Kemudian pada tahun 2001 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2001 ditetapkanlah Singkawang, yang semula merupakan bagian dari Kabupaten

Bengkayang, menjadi Kota Otonom. Dengan demikian Kabupaten Induk Sambas telah mekar

menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan Kota

Singkawang.

Kabupaten Induk Buton secara kronologis formal telah mengalami pemekaran yang

pertama pada 21 Juni 2001 dengan keluarnya UU Nomor 13 Tahun 2001, yang menetapkan

Bau-Bau sebagai Kota Otonom. Kemudian pada tahun 2003, dengan keluarnya Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2003, Kabupaten Buton mengalami pemekaran yang kedua dengan

terbentuknya DOB Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana. Dengan demikian maka

Kabupaten Induk Buton telah mengalami pemekaran menjadi DOB Kabupaten Buton,

Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, dan Kota Otonom Bau-Bau.

3.1. Faktor Penyebab Pemekaran Daerah

Sebuah territorial reform sebagaimana diamanatkan dalam UU 22 tahun 1999 dan PP

129 tahun 2000 sebenarnya mengusung pesan bagaimana teritori ditata dalam kebijakan

penggabungan, penghapusan, dan pemekaran. Pilihan pada salah satu dari tiga kebijakan

13

Di sini, sebenarnya ada ketetapan yang menunjukkan adanya pemindahan letak Ibu Kota Kabupaten Sambas,

yang semula ada di Kota Singkawang dipindahkan ke Sambas. Dengan keluarnya UU Nomor 10 Tahun 1999

tersebut, Kota Singkawang yang semula menjadi Kota Administratif dan sekaligus sebagai Ibu Kota Sambas

telah dipahami sebagai penurunan status hanya menjadi kecamatan dan menjadi bagian dari Kabupaten

Bengkayang, walaupun menurut ketentuan perundang-undangan sesungguhnya tetap berstatus sebagai kota

administratif (lihat UU No. 12 Tahun 2001, pasal 5 dan pasal 12 ayat (2).

Page 13: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 12

tersebut secara administrasi publik merupakan sebuah evaluasi, apakah kemudian sebuah atau

beberapa daerah sekaligus akan mengalami penggabungan, penghapusan, ataupun

pemekaran. Bagi kebanyakan negara maju, kebijakan territorial reform biasanya berbentuk

amalgamasi atau penggabungan yang merupakan sebuah pilihan yang harus ditempuh karena

pertimbangan efisiensi dalam penyediaan pelayanan publik. Sedangkan bagi sejumlah negara

yang berkembang (termasuk Indonesia), beberapa kebijakan territorial reform memang lebih

berbentuk sebagai pemecahan. Persoalannya adalah mengapa semua bentuk territorial reform

di Indonesia mengambil bentuk pemecahan (yang untuk selanjutnya disebut sebagai

pemekaran daerah), apa saja yang menjadi penyebab terjadinya pemekaran, dan apakah

pemekaran merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh akses terhadap sumber-sumber

sosial, ekonomi, dan politik bagi daerah yang bersangkutan ? Semua pertanyaan itulah yang

akan diungkapkan dalam uraian berikut.

Beberapa faktor penyebab yang berupa pendorong munculnya pemekaran saling

berkaitan satu dengan yang lain. Sementara faktor penyebab berupa penarik yang berperan

dalam pemekaran adalah kucuran dana (fiskal) dari pusat.

3.1.1. Faktor-faktor Penyebab Yang Berupa Pendorong:

(1) Faktor Kesejarahan

Aspek yang berkaitan dengan sejarah baik di Sambas maupun Buton nampaknya

menjadi pendorong munculnya ide untuk mekar, walaupun dengan intensitas yang tidak

sama. Keberadaan Kasultanan Sambas ataupun Buton pada masa-masa sebelum kemerdekaan

menjadi faktor yang menentukan. Di Kabupaten Buton, aspek kesejarahan terkait dengan

masih bertahannya ingatan/kesadaran kolektif komunitas di wilayah Buton. Modal sosial

dalam bentuk ingatan kolektif atau kesadaran kolektif tentang sejarah kejayaan masa lalu

Kesultanan Buton yang terekam dalam benak komunitas masyarakat di Buton dan wilayah

yang akan dimekarkan, menginspirasi bahwa dengan ingatan kolektif ini kejayaan masa lalu

dapat diraih kembali dengan memanfaatkan momentum pemekaran daerah untuk kemudian

membentuk sebuah wilayah teritori Provinsi Buton Raya.14

Kejayaan masa lalu yang

dimaksud adalah bahwa Kesultanan Buton pernah menjadi kawasan transito dagang berbasis

kelautan, pusat pemerintahan yang otonom tidak tersubordinasi oleh siapapun. Bagi

Komunitas Buton ingatan kolektif ini dapat berfungsi sebagai perekat sosial sehingga

kohesivitas sosial menjadi pendorong pemekaran wilayah termasuk munculnya Bau-bau

sebagai kota otonom yang sekaligus juga mengukuhkan identitas Buton. Penetapan Bau Bau

sebagai Kota Otonom terealiasi pada 21 Juni 2001 dengan terbitnya UU Nomor 13 Tahun

2001.

Di Sambas aspek kesejarahan yang berkaitan dengan ingatan kolektif kejayaan

Kasultanan Sambas juga terasa namun lebih terasa di Daerah Otonomi Baru Sambas (hasil

pemekaran Kabupaten Induk Sambas), sedang di Kabupaten Bengkayang dan Kota

Singkawang tidak terlalu kelihatan. Keterikatan yang lemah dengan ikatan memori kejayaan

14

Sejak 1538 di wilayah Buton berdiri Kesultanan Buton. Kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama Buton,

Muna dan Kabaena, Kepulauan Tukang Besi serta dua daerah di bagian tenggara pulau Sulawesi (Rumbia dan

Poleang). Pada tahun 1960 kesultanan yang berusia lebih dari empat abad itu dibubarkan. Setahun sebelumnya

di wilayah Kesultanan Buton, berdasarkan UU 29 Thn 1959, dibentuk dua kabupaten, yaitu Kabupaten Muna

dan Kabupaten Buton. Kabupaten Muna terletak di utara Muna dan Buton, dan Kabupaten Buton meliputi

bagan-bagian lain dari bekas wilayah kesultanan. Jejak peninggalan Kesultanan Buton hingga kini masih tersisa

baik yang berupa tempat dan bangunan kraton, benteng maupun kultur yang pernah berkembang pada masa

kesultanan, yang menjadi ingatan kolektif masyarakat Buton (terutama yang tinggal di Pulau Buton) mengenai

kejayaan kesultanan. Ingatan kolektif tentang kejayaan Kesultanan Buton ini pada gilirannya memberi warna

dalam proses pemekaran di Kabupayen Buton. Meskipun derajad pengaruhnya berbeda antara wilayah yang satu

dengan wilayah yang lainnya.

Page 14: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 13

Kasultanan Sambas di Kabupaten Bengkayang dan Singkawang nampaknya terkait dengan

pengalaman yang tidak menyenangkan dengan daerah induk dan adanya politik identitas dari

kedua wilayah tersebut. Ide pembentukan Provinsi Sambas Raya nampaknya juga lebih

banyak terdengar dan diusahakan di Daerah Otonomi Baru Kabupaten Sambas, yang sedang

gencar mengusahakan pemekaran kembali Daerah Otonom Baru Kabupaten Sambas menjadi

tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas

Pesisiran. Strategi pemekaran kabupaten yang baru ini memang diusahakan dalam rangka

membentuk Provinsi Sambas yang dapat mengingatkan masa kejayaan Kasultanan Sambas.15

Di Sambas aspek kesejarahan yang menonjol lebih banyak berupa ketegangan,

persaingan, dan bahkan konflik berulang antar etnis yang penyebabnya dapat dilacak pada

rentang sejarah yang panjang. Pada jaman kolonial Belanda tindakan represip pemerintah

terhadap pemberontakan yang berbau ikatan kesukuan dilakukan dengan memanfaatkan

dukungan dari suku yang lain. Situasi ini menempatkan relasi yang saling berhadapan antar

suku. Situasi ini tidak berubah sesudah jaman kemerdekaan. Situasi kesejarahan ini

memunculkan pandangan yang dianut secara luas dilingkungan para elite politik dan tokoh

adat setempat bahwa ”pemisahan” dominasi suku pada DOB yang berbeda melalui

pemekaran akan menyelesaikan problem laten antar etnis.

(2) Ketimpangan Pembangunan

Faktor tidak meratanya pembangunan sangat dirasakan oleh wilayah-wilayah yang

bukan merupakan pusat kegiatan atau pusat pemerintahan (ibu kota). Ketidakmerataan

pembangunan bisa terjadi karena pihak elite birokrasi pemerintahan, legislatif, dan pelaku

pembangunan yang kebanyakan tinggal di pusat pemerintahan, sering tidak memprioritaskan

daerah pinggiran dan perbatasan untuk memperoleh jatah pembangunan yang adil.

Pengalaman kurang menyenangkan dengan daerah induk ini terasa, baik di Buton maupun di

Sambas.

Gambaran adanya pengalaman kurang menyenangkan dalam hubungan dengan

wilayah induk di Buton dapat dilihat dari tertinggalnya pembangunan fisik (prasarana dan

sarana pelayanan publik) di tiga Daerah Otonomi Baru (Kabupaten Wakatobi, Kabupaten

Bombana, dan Kota Bau-Bau). Bagi tiga kawasan yang mekar (Kabupaten Wakatobi,

Kabupaten Bombana, dan Kota Bau-Bau), kondisi sebelum mekar merupakan cermin dari

situasi yang kurang menyenangkan dengan alasan berbeda. Bagi Kota Bau-Bau alasan utama

adalah karena pertimbangan tidak adanya otoritas (kewenangan) dalam menetapkan/mengatur

kota Bau-Bau dengan kompleksitas masalah perkotaan yang muncul. Kabupaten Wakatobi

dan Kabupaten Bombana memiliki argumentasi bahwa selama belum mekar, tidak

dimungkinkan adanya pelayanan publik yang maksimal, dibandingkan apa yang bisa

diberikan pada kabupaten induk. Diskriminasi pelayanan publik, rentang kendali yang terlalu

panjang, dibandingkan dengan kawasan yang dekat pusat pemerintahan, terasa sebagai

praktik ketidakmerataan pembangunan. Praktik ketidakadilan ini sekaligus juga merupakan

perwujudan praktik marginalisasi oleh wilayah induk bahkan oleh negara pusat terhadap

wilayah pinggiran. Dengan demikian pemekaran merupakan satu-satunya jalan yang paling

15

Usaha untuk memindahkan ibukota Sambas dari Singkawang ke Sambas yang dilakukan sejak tahun 1961

juga merupakan usaha untuk mengingatkan akan adanya kejayaan masa lalu Sambas. Perjuangan untuk

memindahkan Ibu Kota Kabupaten ini diawali dengan adanya aspirasi, tuntutan, dan gerakan masyarakat

Sambas yang muncul pada tahun 1961. Tuntutan pemindahan ini didasarkan pada UU No. 27 tahun 1959

tentang Pembentukan daerah Tingkat II Di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun

1953), yang dalam pasal 3 ayat (1) menetapkan Daerah Tingkat II Sambas berkedudukan di Sambas. Kenyataan

menunjukkan (de facto) bahwa Ibu Kota Kabupaten Sambas berada di Singkawang, sehingga sebagian besar

pembangunan fisik ada di sekitar Singkawang. Perjuangan untuk mengembalikan Ibu Kota Kabupaten Sambas

dari Singkawang ke Sambas baru berhasil dengan keluarnya UU No. 10 Tahun 1999.

Page 15: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 14

cepat dan efektif untuk memperoleh akses ekonomi dan politik untuk membangun

wilayahnya.

Gambaran yang tidak jauh berbeda juga terjadi di DOB Kabupaten Bengkayang dan

Sambas. Usaha untuk memindahkan (mengembalikan) Ibu Kota Sambas dari Singkawang ke

Sambas dan adanya usaha untuk memekarkan diri dari wilayah Bengkayang untuk menjadi

DOB Kabupaten Bengkayang merupakan gambaran adanya ketidak puasan DOB Kabupaten

Sambas dan DOB Kabupaten Bengkayang terhadap Singkawang (sebagai Ibu Kota Sambas)

karena tidak meratanya pembangunan pelayanan publik. Secara faktual dapat diamati bahwa

(juga data sekunder) menunjukkan ketertinggalan wilayah pedalaman dan perbatasan

dibandingkan wilayah yang dekat dengan pusat pemerintahan Singkawang.

(3) Luasnya Rentang Kendali Pelayanan Publik

Usaha untuk mendekatkan pelayanan publik ke rakyat sebenarnya bisa dilakukan

dengan memperbanyak (menyebarkan ke pinggiran) pusat-pusat pelayanan publik (seperti

kantor kecamatan, puskesmas, Polsek, sekolah, dll), membangun prasarana jalan, dan

memberi kewenangan untuk melayani publik ke aras kecamatan. Namun selama belum ada

pemekaran (sejak jaman Orde Lama sampai Orde Baru), semua pembangunan lebih banyak

terpusat di ibu kota kabupaten. Oleh sebab itu pemekaran merupakan jalan tercepat

(langsung) dan efektif untuk mendekatkan pelayanan publik ke masyarakat.

Untuk wilayah Kalimantan Barat (termasuk Kabupaten Induk Sambas) yang

mempunyai wilayah sangat luas dengan garis perbatasan yang sangat panjang maka

pelayanan terhadap kepentingan publik menjadi suatu prioritas yang harus diusahakan oleh

kabupaten induk. Sebagai gambaran, rakyat di wilayah pinggiran atau perbatasan untuk

mencapai Ibu Kota Kabupaten Sambas harus menempuh perjalanan sekitar 200 Km yang

harus ditempuh (sebelum mekar) selama minimal 4 jam dengan ongkos kendaraan bisa

mencapai Rp 50.000,-. Kondisi ini mendorong munculnya DOB Kabupaten Sambas dan

DOB Kabupaten Bengkayang. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi di Buton yang

wilayahnya sangat luas dengan bentuk wilayah kepulauan. Hanya dengan memekarkan diri

dengan membentuk DOB Kabupaten Wakatobi, DOB Kabupaten Bombana, dan sampai

derajat tertentu Kota Otonom Bau-Bau maka pelayanan publik menjadi lebih dekat, murah,

dan efisien.

(4) Tidak Terakomodasinya Representasi Politik

Representasi politik dari suatu wilayah tertentu menjadi satu kebutuhan yang sangat

penting. Bagi daerah-daerah pinggiran yang mayoritas penduduknya mempunyai perbedaan

yang mencolok dengan mayoritas penduduk di wilayah Kabupaten Induk, selalu merasa

bahwa aspirasi mereka tidak terwadahi karena wakil-wakil yang duduk di pemerintahan

dianggap tidak merepresentasikan aspirasi kelompoknya. Ketidakterakomodasikannya

kepentingan dan representasi politik mereka menyebabkan mereka berusaha untuk

memekarkan diri demi untuk menunjukkan eksistensi dan politik identitas mereka.

Mekarnya Kabupaten Bengkayang dari Kabupaten Induk Sambas (juga mekarnya

Kota Singkawang) menunjukkan adanya usaha dari mayoritas rakyat di Kabupaten

Bengkayang dan Kota Singkawang untuk menunjukkan identitasnya yang memang berbeda.

Mayoritas penduduk di DOB Kabupaten Bengkayang (kecuali Kecamatan Sungai Raya,

Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, dan Kecamatan Capkala) adalah Suku Dayak yang

beragama Kristen (Katolik dan Protestan), sedangkan mayoritas penduduk Kota Singkawang

adalah Suku Cina yang beragama Non Islam. Kedua wilayah tersebut jelas berbeda dengan

wilayah DOB Kabupaten Sambas yang didominasi oleh Suku Melayu yang beragama Islam.

Oleh sebab itu kedua wilayah DOB tersebut mempunyai kecenderungan untuk menunjukkan

identitasnya yang memang berbeda dengan identitas mayoritas daerah induk. Sebagai

Page 16: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 15

gambaran, pada akhir-akhir ini telah marak pemakaian simbol-simbol kesukuan dan agama

di tempat umum dan perkatoran DOB Kabupaten Bengkayang dan Singkawang. Semua itu

menunjukkan adanya usaha untuk menunjukkan eksistensi dari identitas yang memang

berbeda.

Kondisi yang sama juga terjadi di DOB Kota Singkawang. Pada awal Pemekaran

Kabupaten Sambas (UU Nomor 10 Tahun 1999) secara langsung telah meninggalkan Kota

Singkawang yang semula menjadi ibukota Kabupaten Sambas telah dipahami sebagai

penurunan status Singkawang menjadi hanya sekedar kecamatan, walaupun menurut

ketentuan perundang-undangan sesungguhnya Singkawang tetap berstatus sebagai kota

administratif (lihat juga catatat kaki no. 15). Kondisi ini menjadi penyebab utama munculnya

tuntutan rakyat Singkawang untuk mekar dan mandiri menjadi kota. Secara faktual,

Singkawang sudah menikmati menjadi Ibu Kota Kabupaten sejak keluarnya UU No 27 Tahun

1959 (lebih dari 40 tahun), tiba-tiba status kotanya turun hanya menjadi Ibu Kota Kecamatan

dengan keluarnya UU No 10 Tahun 1999. Dalam kondisi semacam ini banyak fasilitas fisik

yang kemudian ditinggalkan tanpa ada pemeliharaan. Selama statusnya turun, yaitu sekitar

dua tahun, Singkawang menjadi kota yang hampir tidak tersentuh dengan pembangunan.

Bahkan sejumlah bangunan fisik perkantoran tidak dimanfaatkan.

Keinginan para elit Singkawang untuk memperjuangkan pemekaran, selain

dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap penurunan status dan kemerosotan kualitas

kesejahteraan hidup kota Singkawang, juga diwarnai kekhawatiran para elit Melayu untuk

berada dibawah dominasi Dayak bila Singkawang menjadi bagian dari Bengkayang. Semua

kondisi tersebut menyebabkan perjuangan untuk memekarkan diri merupakan satu-satunya

jalan yang paling cepat untuk mengatasi permasalahan ini.Gambaran yang sama juga ditemui

di Kabupaten Induk Buton terutama di DOB Kabupaten Bombana dan Wakatobi. Bagi

Wakatobi soal representasi politik tidak terlalu kuat dibandingkan dengan semangat

mewujudkan pelayanan publik. Sedangkan komunitas Bombana merasa bahwa selain

kurangnya akses untuk memperoleh sumber ekonomi dan politik, juga kurang

terepresentasikannya komunitas Moronene (yang merupakan mayoritas suku di DOB

Kabupaten Bombana), yang selama ini merasa termarginalkan. Upaya memisahkan diri bagi

Bombana sebenarnya telah dilakukan semenjak tahun 1948.16

Namun karena hegemoni

pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, usaha ini baru berhasil dilakukan pada tahun 2003.

Usaha ini sebenarnya bukan merupakan prakarsa tunggal karena di Bombana juga

tinggal penduduk Kabaena dan suku Bugis. Komunitas Bombana ini, untuk membangun

kohesivitas sosialnya, mengembangkan cara pandang ”territorial-pluralis-inklusif” yang

mengandalkan tiga pilar Rumbia (Moronene) - Poleang (Bugis) – Kabaena (Moronene).

Komunitas ini melandasi diri dalam lembaga tandualle. Sebelum Bombana mekar,

pemerintah Kabupaten Buton melakukan hegemoni atas Bombana. Namun, pada saat yang

sama, meskipun baru berhasil pada tahun 2003, komunitas Bombana telah pula berhasil

melakukan counter-hegemony atas pemerintahan kabupaten induk. Kesadaran kolektif ini

juga menjadi kian mengerucut karena representasi politik (anggaran) melalui legislatif dari

Bombana tak juga mampu mewujudkan keadilan akses kue pembangunan. Bombana, yang

telah memberi kontribusi hampir 50 persen terhadap pendapatan Kabupaten Buton, ternyata

alokasi pembangunan infrastruktur wilayah Bombana dirasakan tidak adil. Dengan posisi

representasi seperti itu maka langkah pemisahan diri menjadi jalan keluar terbaik bagi

Bombana untuk membangun governance sendiri. Degan begitu Bombana akan memiliki

16

Di masa Hindia-Belanda komunitas sosial Moronene yang terhimpun dalam Kerajaan Moronene dimasukkan

dalam wilayah administrasi Kesultanan Buton. Masuknya Kerajaan Moronene ke dalam Kesultanan Buton ini

dipandang sebagai praktik hegemoni Kesultanan Buton atas Kerajaan Moronene. Ingatan kolektif inilah yang

juga mendorong usaha pemisahan diri dari Kabupaten Buton.

Page 17: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 16

identitas sendiri, otonom, dan representasi politik yang dibangun kelak tak direcoki dengan

hierarki yang tidak adil dalam membagi kue pembangunan.

3.1.2. Faktor Penyebab Yang Berupa Penarik (Kucuran Dana Dari Pusat).

Limpahan fiskal yang berasal dari APBN, yang dapat diwujudkan lewat turunnya

DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Kusus), merupakan sebuah simbol

bahwa kue pembangunan (dari negara pusat) dapat diakses melalui mekanisme pemekaran

ini. Dengan limpahan fiskal seperti ini sebenarnya menegaskan bahwa sumber satu-satunya

kue pembangunan (atau dalam bahasa lain disebut dengan common pools resources-CPR)

bagi daerah yang akan mekar dapat diakses. Jumlah fiskal sebelum mekar yang diterima

ketika itu dibandingkan dengan setelah mekar terlalu jauh bedanya. Kondisi semacam ini

menyebabkan semakin banyaknya wilayah yang mencoba memekarkan diri dengan alasan

untuk memperoleh limpahan dana dari pusat tersebut. Kondisi semacam ini terjadi baik di

Sambas maupun di Buton.

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa hasil wawancara (lewat FGD) dengan

sejumlah tokoh di DOB Kabupaten Sambas yang sedang giat berjuang untuk memekarkan

kembali DOB Kabupaten Sambas menjadi tiga (Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas

Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisiran). Demikian pula ada usaha untuk memekarkan

kembali DOB Kabupaten Buton menjadi tiga Kabupaten Baru, yaitu Kabupaten Buton,

Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Buton Barat (usaha di DOB Buton ini bahkan telah

masuk dalam Perda Kabupaten Buton). Berkaitan dengan usaha ini para elite yang

diwawancarai menyebutkan bahwa mereka tidak terlalu memperhitungkan ketidak

terpenuhinya sejumlah syarat untuk mekar (sesuai dengan PP No 129 Tahun 2000), yang

memang dapat dimanipulasi. Yang paling penting bagi mereka adalah turunnya DAU dari

pemerintah pusat. Dengan demikian maka pemekaran adalah satu-satunya jalan untuk

memperoleh akses terhadap sumber ekonomi dari pusat. Bahkan kesan ”balas dendam”

sangat terasa karena pemekaran merupakan ”pukulan balik” bagi pusat yang sudah cukup

lama dan cukup banyak menyerap kekayaan daerah untuk mengembalikan kekayaan tersebut

ke daerah.

Kasus nyata yang lain dapat dikemukakan proses pembangunan di DOB Kabupaten

Bengkayang. Semenjak menjadi DOB Bengkayang telah mengembangkan jumlah kecamatan

dari semula hanya tujuh kecamatan menjadi 17 kecamatan. Pembangunan kecamatan

biasanya akan diikuti oleh pembangunan sarana pelayanan publik yang lain seperti:

Puskesmas, Sekolahan (SLTP bahkan SLTA), Polsek, dan lain-lain (lihat lampiran 1). Selain

itu dengan adanya Dana Alokasi Umum maka Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang

dapat mengangkat sekitar 500 Calon Pegawai Negeri baru.Gambaran di DOB Kabupaten

Wakatabi juga menunjukkan hal yang sama. Perbandingan jumlah dukungan dana dari pusat

antara sebelum dan sesudah pemekaran menunjukkan perbedaan yang sangat besar. Dari

wawancara di lapang, kasus yang mirip juga terjadi di Bombana. Fakta ini juga menegaskan

bahwa negara pusat merupakan sebuah institusi satu-satunya yang dapat memberikan

common pools resources seperti ini. Tak ada sumber lain selain negara yang memungkinkan

untuk bisa diakses kue pembangunannya. Pada kasus pemekaran di Buton meski dibalut

dengan keinginan memperjuangkan identitas etnis, namun harapan memperoleh CPR juga

besar.17

17

Hasil wawancara dengan Ketua DPRD, Staf WWF dan ketua KNPI (tgl 30/3/2007), diperoleh informasi

bahwa, dihitung dari waktu sekarang (2007), Kabupaten Wakatobi sudah memasuki tahun ketiga dalam proses

penganggaran. Anggaran tahun pertama (2005) sebesar Rp 47 milyar, tahun kedua (2006) sebesar Rp 280

milyar, dan tahun ketiga (2007) sebesar 300 milyar. Setelah mekar, Kabupaten Wakatibi memperoleh dana

pembinaan dari Kabupaten Buton sebesar Rp 1,5 milyar. Sebelum mekar, oleh Kabupaten Buton, wilayah

Wakatobi mendapat alokasi pendanaan pembangunan senilai Rp 500 juta.

Page 18: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 17

3.2. Faktor-Faktor Yang Memfasilitasi Pemekaran

Dalam bagian ini akan disajikan sejumlah faktor pendukung yang yang

memungkinkan para aktor yang terlibat dalam proses pemekaran menggulirkan usaha

pemekaran. Cakupan dari faktor yang akan disebutkan berikut bisa jadi merupakan bentuk-

bentuk ketersediaan kerangka regulasi nasional, proses dan saluran-saluran prosedur yang

harus ditempuh, dan kemungkinan pengalaman yang sudah dirintis sebelumnya. Sejumlah

faktor pendukung mengapa pilihan pemekaran menjadi keputusan banyak daerah yang akan

mekar disajikan dibawah ini.

(1) Persiapan Pemekaran

Persiapan untuk memekarkan wilayah di Kabupaten Sambas sebenarnya telah terjadi

dalam waktu yang lama dan berjalan damai. Kabupaten Sambas yang pertama, terbentuk

berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang Penetapan UU Darurat No. 3 Tahun 1953

tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan Barat. Berdasarkan UU tersebut, Ibu

Kota Kabupaten Sambas ditetapkan di Sambas. Sejak tahun 1963 status kawedanan dihapus

sehingga wilayah Pemerintahan Kabupaten Sambas berubah menjadi 15 wilayah kecamatan

dan pada tahun 1988, kecamatan bertambah menjadi 19 kecamatan. Dua kecamatan

diantaranya merupakan bagian wilayah dari Pemerintahan Kota Adminstratif Singkawang.

Lintasan sejarah panjang tersebut tidak hanya menampakkan adanya usaha untuk

mekar namun dibalik semua peristiwa formal tersebut juga menunjukkan peristiwa dan gejala

yang meletakkan berbagai suku di Kalbar untuk bersaing dan saling berhadapan. Perseteruan

antar suku tersebut dapat dilacak kembali sejak pemerintahan Belanda. Sudah sejak jaman

kasultanan melayu yang Islam, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda harus menghadapi

pemberontakan dari para sultan. Pada abad 19 pemerintah Belanda juga harus menghadapi

kerusuhan di kongsi-kongsi penggalian tambang oleh orang-orang Cina yang datang dari

daratan Cina. Sementara itu komunitas Dayak di pedalaman yang kurang berkembang secara

ekonomis memperoleh kemajuan di bidang pendidikan dan kesehatan dari kehadiran zending.

Kedekatannya dengan Belanda menyebabkan Suku Dayak “menjadi mempunyai jarak”

dengan kedua suku (Melayu dan Cina) lain yang juga merupakan suku-suku utama.

Pemekaran Kabupaten Sambas sebenarnya tidak lepas dari adanya tuntutan awal

pemindahan Ibu Kota Kabupaten Sambas dari Singkawang ke Sambas. Perjuangan untuk

memindahkan Ibu Kota Kabupaten ini diawali dengan adanya aspirasi, tuntutan, dan gerakan

masyarakat Sambas yang muncul pada tahun 1961. Tuntutan pemindahan ini didasarkan pada

UU No. 27 tahun 1959 tentang Pembentukan daerah Tingkat II Di Kalimantan (Lembaran

Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 1953), yang dalam pasal 3 ayat (1) menetapkan

Daerah Tingkat II Sambas berkedudukan di Sambas.

Kenyataan menunjukkan (de facto) bahwa Ibu Kota Kabupaten Sambas berada di

Singkawang. Penunjukkan ini menyebabkan konsentrasi pembangunan berada di

Singkawang, yang kebetulan mayoritas sukunya adalah Suku Cina. Hal ini menyebabkan

Sambas, yang mayoritasnya Suku Melayu, kemudian hanya menjadi daerah pinggiran yang

secara fisik menjadi tertinggal. Perkembangan politik semasa Orde Baru juga tidak

memberikan perbaikan posisi hubungan antar etnis di atas. Pada tahun 1967, pada akhir era

konfrontasi dengan Malaysia telah membawa nasib buruk bagi Etnis Cina. Pada masa itu

muncul tuduhan bahwa komunitas Cina di hulu-hulu sungai, di pedalaman, dan di perbatasan

dengan Serawak, merupakan sumber dukungan logistik dari kelompok PGRS/PARAKU.

Atas dasar tuduhan tersebut, mereka di kejar-kejar, banyak yang di bunuh, dan dipaksa

pindah dari daerah hulu sungai di pedalaman, ke kota-kota di pesisiran, melalui sebuah

Page 19: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 18

operasi militer yang didukung oleh para tokoh adat Dayak setempat. Diantara tahun 1967-

1972 setidaknya 100.000 etnis Cina di relokasi.

Dengan demikian proses pemekaran Kabupaten Sambas yang berjalan sudah sangat

lama dan kelihatannya damai, namun pada kenyataannya proses damai tersebut sebenarnya

berada di atas tumpukan bara persaingan dan pertentangan antar etnis yang sangat kuat, yang

setiap saat akan meledak. Ketegangan dan konflik antara Suku Dayak dengan Suku Madura

pada sekitar tahun 1997, kemudian mengalami akselerasi konflik yang luar biasa pada era

reformasi. Peristiwa “penghapusan” Suku Madura dari Daerah Kabupaten Sambas pada Era

Reformasi, yang dilakukan baik oleh Suku Dayak maupun Suku Malayu, sebenarnya juga

merupakan manifestasi ketegangan dan konflik tersebut. Dengan demikian maka pemekaran

daerah dari Kabupaten Sambas menjadi Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan

Kota Singkawang, yang kebetulan ketiga wilayah kabupaten/kota baru tersebut jatuh sama

dengan perbedaan suku dan agama di masing-masing wilayah, merupakan satu-satunya jalan

bagi masing-masing kelompok di atas memperoleh akses ekonomi dan politik di Kalimantan

Barat. Selain itu muncul pula pandangan di kalangan kelompok elite dari suku-suku utama di

Sambas, yang menganggap adanya pemekaran Kabupaten Sambas akan dapat meredam

ketegangan dan konflik antar suku-suku utama di Kalimantan Barat (Sambas).

Dari uraian proses perjuangan yang sangat panjang tersebut maka munculnya

pemekaran dapat lebih dipercepat karena proses penyiapannya sudah berjalan lama. Adanya

persiapan pemekaran juga terjadi di Kabupaten Buton. Dari catatan yang terdokumentasikan,

proses pemekaran di kabupaten Buton diawali dengan keluarnya SK Bupati Kabupaten Buton

Nomor 46 Tahun 1999 tertanggal 25 Mei 1999 tentang pembentukan Tim Khusus untuk

mempersiapkan Bau-Bau menjadi kota otonom, pemindahan kabupaten Buton dan

pembentukan Kabupaten Wakatobi. Meskipun SK ini tidak menyebut Kabupaten Bombona,

tetapi prakarsa lokal untuk mempersiapkan pemisahan diri Bombana dari Kabupaten Buton

telah jauh dirintis sebelumnya. Bagi Kabupaten Buton Baru (sisa setelah dimekarkan) atau

sering disebut dengan kabupaten induk, prakarsa mekar ini juga berimpit dengan keinginan

untuk mewujudkan kembali kejayaan Kesultanan Buton melalui pembentukan Provinsi Buton

Raya. Alasan lain bagi kabupaten induk untuk melepaskan sebagian wilayahnya adalah

rentang kendali yang memang panjang dengan kawasan yang akan dimekarkan ini.

(2) Political Crafting Oleh Elite

Dengan melihat perkembangan sosial politik dan fisik baik di Sambas maupun Buton,

nampak ada sejumlah permasalahan mendasar yang dapat menyebabkan pemekaran di

wilayah masing-masing. Namun demikian semua faktor tersebut tidak akan mencapai hasil

seperti sekarang kalau tidak ada campur tangan elite lokal, regional, dan pusat yang

memanfaatkan kondisi yang ada untuk memekarkan daerah. Semua permasalahan tersebut

merupakan kombinasi faktor yang sangat kuat yang oleh elite lokal, regional, dan pusat

dijadikan dasar bagi ide dan perjuangan pemekaran daerah. Di dalam hal ini dapat terjadi

bahwa di satu pihak para elite daerah (atau elite pusat yang berasal dan berakar di daerah)

memiliki peluang untuk memperoleh akses ke sumber-sumber ekonomi dan politik bagi

kepentingan pribadi (rent seekers), namun di lain pihak bisa juga memang betul-betul di

desak oleh rakyat di daerahnya untuk memperjuangkan pemekaran agar semua permasalahan

tersebut dapat diatasi

Munculnya aktor-aktor elite yang hadir sebagai pejuang pemekaran yang dengan

alasan apapun mampu mendorong penyiapan proses proses menjadi sebuah kenyataan. Para

elite ini ternyata memegang peranan penting dalam membaca dan sekaligus menyikapi

perkembangan tata pemerintahan. Mereka juga mengikuti perjalanan sejarah Kabupaten

Sambas atau Kabupaten Buton yang sebelumnya merupakan bentuk Kasultanan Sambas dan

Kasultanan Buton kemudian terjadi pembekuan monarki yang diikuti dengan pembentukan

Page 20: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 19

kabupaten bar. Elite ini juga belajar bagaimana menyikapi hadirnya regulasi dalam bentuk

UU No. 5 tahun 1974 dan kemudian UU No. 22 tahun 1999 dan PP 129 tahun 2000.

Dinamika elite ini bukan saja sebatas bergerak pada teritori di mana ia berdomisili, tetapi

juga membangun jejaring pada aras provinsi dan pusat. Jika dapat dikategorisaskan, maka

para elite ini dapat dipilah dalam tiga kelompok, yakni: birokrasi, legislatif, tokoh masyarakat

(civil society), dan gabungan dari ketiganya. Dalam praktik membangun interaksi politik, bisa

terjadi elemen-elemen elite tersebut menjadi berbaur. Meski demikian, wilayah yang mekar

baik di Sambas maupun Buton dapat ditandai dengan aktifnya elite yang berasal dari elemen

birokrasi dan politisi. Sedangkan dari DOB Kabupaten Sambas dan DOB Kabupaten

Bombana, elite yang aktif dalam proses pemekaran didominasi oleh peran tokoh civil society.

Elite (yang sama) ini jika dicermati ternyata tidak hanya aktual dalam satu penggal

momentum pemekaran saja, melainkan juga proaktif menyikapi perkembangan perpolitikan

pascapemekaran.

(3) Kondisi Perpolitikan Nasional

Kondisi perpolitikan nasional yang membuka ruang politik dan ruang untuk

memekarkan diri, sebagaimana diundangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129

Tahun 2000, menjadi akselerator pemekaran daerah. Sejumlah alasan pemekaran yang sudah

diuraikan di atas, sebenarnya menjadi tidak cukup signifikan jika tidak ada kebijakan yang

dikeluarkan pemerintah tentang desentralisasi yang di antaranya mengatur tentang penataan

daerah. Dengan keluarnya regulasi seperti itu, maka bagi sejumlah aktor

politik/birokrasi/tokoh lokal, regulasi semacam ini tidak hanya menjadi akselerator

pemekaran namun juga menjadi ruang satu-satunya untuk merealisasikan ketidakpuasan atas

sulitnya rentang kendali, disparitas akses kue pembangunan, pertimbangan akan

dikucurkannya limpahan fiskal, yang sekaligus berimpit dengan kesadaran kolektif akan

kejayaan masa lalu, menjadi dorongan kuat untuk mekar.

Diluncurkannya regulasi UU No 22 tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000 tidak diikuti

dengan penegakan syarat regulatif yang kualitatif. Syarat pemekaran hanya didominasi

indikator kuantitatif. Dengan substansi regulasi seperti ini maka ruang untuk melakukan studi

kelayakan menjadi relatif longgar. Dalam posisi seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa

pihak negara berada pada posisi yang relatif lemah.

(4) Pertimbangan Keamanan Wilayah Perbatasan

Khusus untuk Wilayah Sambas yang mempunyai daerah perbatasan yang sangat

panjang dengan Serawak Malaysia dan Singapura, terdapat faktor yang mengakselerasi

terjadinya pemekaran, yaitu adanya skenario dari atas untuk dimekarkan dengan

pertimbangan utama adalah memperkuat keamanan wilayah NKRI. Di lihat dari aspek

pertahanan keamanan (hankam), daerah perbatasan semacam Kabupaten Sambas ini cukup

rawan karena orang asing (yang dapat dianggap musuh) dapat dengan mudah keluar masuk

wilayah Indonesia. Dengan demikian Kabupaten Sambas dengan wilayah perbatasan yang

sangat panjang ini, dilihat dari segi keamanan memang menuntut perhatian ekstra dan spesial.

Berkaitan dengan keamanan di wilayah perbatasan tersebut, pada tahun 1988

munculah Perda di Propinsi Kalimantan Barat yang mempersiapkan ide pemekaran di

Kabupaten Sambas dengan tujuan utama selain untuk membuka isolasi daerah perbatasan

juga sekaligus ada upaya untuk lebih memperhatikan keamanan di wilayah perbatasan

dengan sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata) yang lebih mendorong

partisipasi rakyat untuk ikut menjaga keamanan di wilayah perbatasan. Pada tahun 1994

muncul pula skenario pemekaran Kabupaten Sambas yang tercantum dalam Pola Dasar

Pembangunan Daerah Tingkat II Kabupaten Sambas. Dari dua fakta di atas nampak bahwa

Page 21: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 20

munculnya ide pemekaran wilayah Kabupaten Sambas sebenarnya juga diakselerasi

(diwarnai) oleh skenario dan rancangan dari pihak pusat (paling tidak pada aras provinsi dan

kabupaten), dengan menekankan pemeliharaan aspek keamanan di wilayah perbatasan.

Dengan demikian maka pemekaran wilayah Kabupaten Sambas yang memiliki wilayah

perbatasan sangat panjang, adalah suatu keharusan demi menjaga keamanan wilayah

perbatasan. Walaupun demikian, ide dan skenario pemekaran Kabupaten Sambas yang

berasal dari atas tersebut dan yang menyangkut keamanan ini, nampaknya cocok dengan ide

pemekaran dari elite dan rakyat Kabupaten Sambas untuk memekarkan diri dengan berbagai

macam alasan. Kombinasi dan resultante dari dua kehendak untuk mekar itulah yang

mendorong pemekaran di Sambas dapat terjadi lebih cepat.

4. PROSES SOSIAL POLITIK PEMEKARAN DAN PELESTARIAN HASIL

PEMEKARAN

Pembahasan tentang proses pemekaran Kabupaten Sambas dan Kabupaten Buton

tidak hanya pada aspek bagaimana pemekaran tersebut diperjuangkan namun juga proses

pemeliharaan (pelestarian) yang dilakukan oleh daerah otonomi baru sehingga mencapai

bentuk daerah otonom seperti yang terjadi sekarang ini.

4.1. Proses Perjuangan Pemekaran

Usaha untuk memperjuangkan pemekaran dapat dilihat dari tiga segi yaitu: (1). Peran

elite lokal dan elite pusat di dalam memperjuangkan pemekaran; (2). Adanya perjuangan

rakyat yang berada di daerah; dan (3). Proses pemenuhan syarat administratifi. Berikut ini

gambaran ke tiga segi yang berkaitan dengan proses perjuangan untuk mekar.

(1) Peran Elite Politik Lokal

Adnya pemekaran sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari adanya usaha konsolidasi

para elite (birokrasi, politisi, ketua-ketua adat, dan pengusaha) baik di aras lokal, regional,

maupun nasional (pusat). Usaha yang dilakukan oleh para aktor pemekaran ini selain dalam

bentuk konsolidasi elite dan mobilisasi massa juga dilakukan upaya pemenuhan sejumlah

persyaratan adminsitrasi. Berdasar kenyataan adanya permasalahan di daerah dan munculnya

sejumlah faktor penyebab seperti terurai di muka menyebabkan munculnya sejumlah tokoh

yang memperjuangkan pemekaran. Di bagian muka juga disebutkan bahwa para elite ini

kemudian juga berfungsi sebagai akselerator pemekaran. Proses yang dilakukan oleh para

elite untuk memperjuangkan pemekaran adalah melakukan pengembangan jejaring dengan

aktor elite negara (birokrasi) dan elite politik baik di aras lokal maupun nasional.

Pembangunan jejaring ini merupakan keharusan karena dalam proses-proses penyiapan

pemekaran diperlukan relasi pengambilan keputusan, baik resmi maupun tidak resmi, untuk

memuluskan persiapan pemekaran. Kesadaran kolektif berbasis teritori-etnik dari tokoh

masyarakat (civil society) memaksa mereka untuk bekerjasama dengan pejabat negara pada

aras kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Pada saat yang sama, mereka juga menyadari bahwa

ada sejumlah saluran politik untuk menguatkan proses pemekaran yang juga harus digunakan

untuk mendukung proses pemekaran ini, misalnya anggota DPR RI di Komisi II. Mobilisasi

kaum elite di calon Daerah Otonomi Baru (DOB) dalam menyiapkan pemekaran memiliki

dinamika sendiri-sendiri. Dinamika mobilisasi elite ini juga berimpit dengan proses interaksi

politik. Secara keorganisasian, para elite pejuang pemekaran ini mengorganisasi diri dalam

bentuk panitia.

Kepanitiaan ini bisa bersifat tidak resmi namun pada akhirnya juga bersifat resmi.

Kegiatan yang pertama yang biasanya dilakukan adalah dengan mengadakan diskusi-diskusi

informal, seminar resmi, sampai kepada bentuk-bentuk unjuk rasa damai. Semua kegiatan ini

Page 22: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 21

biasanya dilakukan pada masa awal sebelum munculnya UU No 22 Tahun 1999. Kepanitiaan

ini juga bertugas dalam merumuskan proposal atau profil daerah yang akan mekar dengan

merujuk pada PP 129 Tahun 2000. Proposal atau studi kelayakan ini kemudian mereka

konsultasikan dengan konsultan independen, kelengkapan resmi dari DPRD, dan Gubernur.

Persiapan ini juga mengakomodasikan lobi dan penyampaian aspirasi kepada DPR RI dan

Depdagri. Konsolidasi yang bertumpu pada aktivitas para elite inilah yang kemudian

bermuara pada sejumlah kegiatan terencana seperti: penyiapan proposal pemekaran,

kelayakan pemilihan calon ibukota kabupaten, permohonan restu dari gubernur, permohonan

restu dari DPRD, penyaluran aspirasi kepada DPR RI Komisi II (yang salah satunya adalah

putra daerah Wakatobi). Selain konsolidasi elite pejuang pemekaran ini muncul pula

mobilisasi massa dari sejumlah kelompok pendukung pemekaran.

Diperoleh kesan bahwa “kerjasama” antar aktor-aktor politik lokal dan nasional

(lobbying)dapat memunculkan praktek penyuapan untuk mempercepat proses pemekaran.

Disamping itu adanya semangat yang besar untuk memekarkan diri menyebabkan di satu

pihak terjadinya manipulasi regulasi pemekaran kabupaten/propinsi, namun di lain pihak

proses pemekaran tersebut menjadi peluang pengungkapan aspirasi dan hak politik

masyarakat lokal untuk memperoleh otonomi daerahnya. Hasil wawancara menunjukkan

bahwa secara terbuka diakui adanya manipulasi beberapa data terutama menyangkut kesiapan

fisik untuk memenuhi persyaratan pemekaran.

Di Sambas peran elite lokal di dalam memperjuangkan pemekaran Keberhasilan

pemekaran Kabupaten Sambas tidak dapat dipisahkan dari peran elite lokal di dalam

memperjuangkan pemekaran tersebut sekaligus juga memperjuangkan kesempatan untuk

memperoleh akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik. Para elite daerah tersebut

dapat berupa elite di kalangan pemerintahan (termasuk para birokrat, anggota DPRD dan

anggota DPR), elite pengusaha, dan elite atau tokoh agama dan budaya. Dapat pula

dikemukakan bahwa di Kabupaten Sambas peran elite yang menjadi tokoh budaya

masyarakat juga memegang peran besar di dalam proses pemekaran tersebut. Di wilayah

bekas Kasultanan atau Kerajaan Sambas, sultan (raja) dan kerabatnya mempunyai peran

penting di dalam ide dan proses pemekaran wilayah. Di dalam hal ini bisa saja sultan atau

raja dan kerabatnya hanya dijadikan alat oleh elite tertentu untuk mencapai maksudnya.

Khusus Pemekaran Kabupaten Sambas juga tidak bisa dilepaskan dari peran elite

politik dan elite militer di aras pusat. Proses pemekaran di Kabupaten Sambas sebenarnya

selalu terkait dengan ide dan design pemekaran yang ada di tataran pemikir pusat atau

provinsi. Seperti diuraikan di muka design pemekaran Kabupaten Sambas yang mempunyai

wilayah perbatasan sangat panjang, juga ditentukan oleh adanya usaha dari elite nasional

untuk mengamankan wilayah perbatasan dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta.

Berkaitan dengan keamanan di wilayah perbatasan tersebut, pada tahun 1988 munculah Perda

di Propinsi Kalimantan Barat yang mempersiapkan ide pemekaran di Kabupaten Sambas

dengan tujuan utama selain untuk membuka isolasi daerah perbatasan juga sekaligus ada

upaya untuk lebih memperhatikan keamanan di wilayah perbatasan dengan sistem Pertahanan

Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata) yang lebih mendorong partisipasi rakyat untuk ikut

menjaga keamanan di wilayah perbatasan.

Pada tahun 1994 muncul pula skenario pemekaran Kabupaten Sambas yang tercantum

dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah Tingkat II Kabupaten Sambas. Di dalam Pola Dasar

tersebut secara jelas dirancang bahwa pada akhirnya Kabupaten Sambas akan dipecah

menjadi tiga yaitu: Kabupaten Sambas Utara dengan ibukota Sambas; Kabupaten Sambas

Selatan dengan ibukota Bengkayang; dan Kota Madya Dati II Singkawang dengan ibukota di

Singkawang. Dengan demikian maka proses pemekaran Kabupaten Sambas sebenarnya

sudah berjalan lama dan memperoleh dukungan dari elite di aras nasional dan pusat, terutama

justru dari pihak Hankam. Proses pemekaran tersebut memperoleh percepatannya pada era

Page 23: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 22

reformasi. Munculnya UU Nomor 10 Tahun 1999 (yang mendahului UU No 22 Tahun 1999)

merupakan fakta bahwa pemekaran di Kabupaten Sambas memang terkait dengan

persetujuan dan design dari pihak pusat.

Dari dua fakta di atas nampak bahwa munculnya ide pemekaran wilayah Kabupaten

Sambas sebenarnya diwarnai juga dengan skenario dan rancangan oleh elite di aras pusat

(paling tidak pada aras provinsi dan kabupaten), dengan menekankan pemeliharaan aspek

keamanan di wilayah perbatasan. Dengan demikian maka pemekaran wilayah Kabupaten

Sambas yang memiliki wilayah perbatasan sangat panjang, adalah suatu keharusan demi

menjaga keamanan wilayah perbatasan. Walaupun demikian, ide dan skenario pemekaran

Kabupaten Sambas yang berasal dari elite pusat tersebut dan yang menyangkut keamanan ini,

nampaknya juga cocok dengan ide dan perjuangan pemekaran dari elite dan rakyat

Kabupaten Sambas yang memang sudah ada sebelum ide dan usaha dari elite tersebut terjadi.

Kenyataan ini menyebabkan proses pemekaran Kabupaten Sambas sebenarnya merupakan

proses yang memperoleh dukungan baik dari atas maupun dari bawah dan telah melalui suatu

proses seleksi alam yang sangat panjang. Dengan demikian maka keberadaan Daerah

Otonomi Baru di ex Kabupaten Sambas sebenarnya merupakan daerah yang memang secara

teknis dan ideologi telah lebih siap untuk mekar.

Di Kabupaten Buton adanya sinyal pemekaran yang berasal dari regulasi tentang

penataan daerah pada aras nasional (UU No 22 Tahun 1999), langsung terjadi akselerasi

persiapan pemekaran setidaknya dalam dua gelombang penyiapan administrasi. Pertama,

mobilisasi pemekaran Kota Administratif Bau-Bau menjadi Kota Otonom Bau-Bau

Mobilisasi ini berujung pada penetapan Bau-Bau sebagai Kota Otonom pada 2001. Penetapan

Bau Bau sebagai Kota otonom berarti menepis peluang turun status menjadi kecamatan.18

Kedua, penyiapan wilayah Wakatobi dan Bombana menjadi kabupaten baru yang terealisasi

ssecara bersamaan pada tahun 2003. Penetapan dua kabupaten baru ini bersamaan dengan

penetapan Kolaka Utara sebagai kabupaten baru yang tertuang dalam UU No 29/2003. Proses

mobilisasi ini sendiri memerlukan interaksi politik di antara para pejuang pemekaran dan

pejabat aras kabupaten, provinsi, dan pusat.

(2) Proses Perjuangan Panjang Rakyat di Daerah

Proses pemekaran Daerah baik di Kabupaten Sambas maupun di Kabupaten Buton

sebenarnya juga ditentukan oleh perjuangan panjang rakyat di wilayah yang bersangkutan

untuk memekarkan diri. Sebagai gambaran yang lebih jelas adalah proses perjuangan untuk

memindahkan Ibukota dari Singkawang ke Sambas merupakan proses perjuangan yang

sangat panjang namun damai dengan menggerakkan sebagian besar organisasi

kemasyarakatan di Kabupaten Sambas terutama di daerah Suku Melayu (Sambas Pesisir).

Perjuangan untuk memindahkan Kabupaten dari Singkawang ke Sambas sebenarnya dapat

dibagi menjadi tiga periode perjuangan yaitu: (a). Periode Tahun 1960 – 1970; (b). Periode

tahun 1980an; dan (c). Periode tahun 1990an.

Perjuangan untuk memindahkan Ibu Kota Kabupaten ini diawali dengan adanya

penyampaian aspirasi, tuntutan, dan gerakan masyarakat Sambas yang muncul pada tahun

1961. Sejumlah organisasi kemasyarakatan ikut terlibat di dalam proses penyampaian

aspirasinya. Tuntutan pemindahan ini didasarkan pada UU No. 27 tahun 1959 tentang

Pembentukan daerah Tingkat II Di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 9

18

Dalam sebuah lembaran informasi mengenai Pembentuan Daerah Otonom Baru Setelah Terbitnya UU No. 22

Tahun 1999, tercatat bahwa pada tahun 1999 terdapat 24 Kota Administratif. Dari 24 kota administratif ini yang

naik status menjadi kota otonom berjumlah 16, termasuk di dalamnya adalah Bau Bau dan Singkawang (UU No.

2 Tahun 2001 tertanggal 21 Juni 2001). Sedangkan 8 kota administratif lainnya turun menjadi berstatus

kecamatan. Kedelapan kotif yang turun menjadi kecamatan adalah: Baturaja, Kisaran, Rantau Prapat,

Watampone, Jember, Cilacap, Klaten, dan Purwokerto.

Page 24: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 23

Tahun 1953), yang dalam pasal 3 ayat (1) menetapkan Daerah Tingkat II Sambas

berkedudukan di Sambas”. Gerakan-gerakan masyarakat pada dekade 60-an tersebut tidak

direspon oleh pemerintah secara positif, bahkan pada tanggal 1 April 1963 terbit Surat

Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. Dbs. 52/2/36-33 yang

memutuskan pemindahan tempat kedudukan Pemerintah Daerah Tingkat II Sambas dari

Sambas ke Singkawang dan mulai berlaku surut sejak 1 Januari 1963.

Gerakan masyarakat untuk mengembalikan Ibu Kota Dati II Sambas kembali muncul

pada tahun 1988. Bermula dari kegiatan MTQ tingkat Propinsi Kalbar yang diadakan di

Sambas, secara terus menerus sejak tahun 1988, 1989, 1990 yang mengggulirkan keinginan

kuat untuk mengembalikan Ibu Kota Dati II Sambas ke Sambas. Sejumlah usaha untuk

menyampaikan aspirasi-aspirasi masyarakat Sambas mengenai pemekaran wilayah

Kabupaten Dati II Sambas ditujukan kepada DPRD II, Sambas, DPRD I Kalbar, dan DPR RI,

serta Bupati Sambas dan Gubernur Kalbar.

Menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut, Pemda Dati II Sambas membentuk Tim

Peneliti Kemampuan Wilayah yang akan dimekarkan dengan SK Bupati No. 326 tahun 1994

tanggal 14 Oktober 1994 yang kemudian melaksanakan tugas dengan merumuskan pokok-

pokok pikiran tentang pemekaran wilayah. Selanjutnya Bupati Kepala Daerah Dati II Sambas

dengan surat nomor 135/032/Tapem tanggal 8 Januari 1996 Tanggal 21 Desember 1995

menjelaskan kepada DPRD Tingkat II Sambas tentang perlunya menindaklanjuti aspirasi

masyarakat yang berkembang dengan melakukan pengkajian secara mendalam.

Pada tahun 1996 di tingkat Kabupaten Sambas telah dibentuk Tim Penelitian dan

Evaluasi Pemekaran Kabupaten Sambas dengan SK Bupati Sambas No. 406 tahun 1996 yang

merupakan penyempurnaan SK Bupati KDH Tingkat II Sambas No. 326 Tahun 1994 tanggal

14 Oktober 1994. Gubernur KDH Tingkat I Kalbar dengan Surat Nomor 135/0728/Pem.C.

tanggal 15 Pebruari 1996, meminta agar Bupati Sambas dan DPRD Sambas segera

mengambil langkah-langkah konkrit untuk mewujudkan aspirasi masyarakat. Sehubungan

dengan surat Gubernur di atas, kemudian DPRD Tingkat II Sambas dengan surat No.

135/200/DPRD tanggal 13 Juni 1996 melalui Bupati KDH II Sambas meminta agar Tim

Pemekaran Daerah Otonom segera menyusun Proposal Pemekaran Wilayah. Pada tahun 1996

tersebut di tingkat Kabupaten Sambas telah dibentuk Tim Penelitian dan Evaluasi Pemekaran

Kabupaten Sambas dengan SK Bupati Sambas No. 406 tahun 1996. Surat Keputusan ini

merupakan penyempurnaan dari SK Bupati No. 326 Tahun 1994. Tim ini bertugas menyusun

proposal untuk diajukan kepada Pemda Sambas.

Berdasar hasil kajian team ini akhirnya Bupati KDH II Sambas mengusulkan kepada

Pemerintah Pusat tentang pemekaran Kabupaten Sambas menjadi Kota Madia Singkawang;

Kabupaten Sambas; dan Kabupaten Bengkayang. Namun keputusan Pusata lewat UU Nomor

10 Tahun 1999 hanya membagi Kabupaten Sambas menjadi Kabupaten Sambas dengan

ibukota di Sambas dan Kabupaten Bengkayang. Dengan demikian muncul pula permasalahan

yang menginginkan Singkawang menjadi Kota Otonom Baru.Untuk memperkuat tekanan

politik oleh para elite politik dibentuklah organisasi-organisasi pergerakan masyarakat.

Paling tidak ada lima belas organisasi yang mendukung pembentukan Kota Singkawang.

Kebanyakan organisasi itu merupakan bentukan baru dan bersifat instan. Namun dalam

perkembangannya beberapa diantaranya tetap eksis, berkembang dengan baik dan menjadi

awal /embrio dari kebangkitan organisasi civil society di Singkawang.

Salah satu organisasi penting khususnya dalam loby politik dan pendanaan adalah

Kelompok Peduli Singkawang (KPS). Kelompok ini beranggotakan 17 orang yang terdiri dari

beberapa tokoh politik, birokrat, dan pengusaha. Ada sembilan pengusaha yang bergerak di

perbagai bidang, antara lain jasa konstruksi (kontraktor), pengadaan barang, percetakan,

perhotelan, dsb bergabung dalam KPS. KPS ikut mendampingi panitia pemekaran yang

dibentuk Bupati Bengkayang untuk melakukan lobi di tingkat daerah, propinsi, bahkan juga

Page 25: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 24

pusat. Perwakilan mereka ikut ke Jakarta dalam pertemuan dengan Tim Konsultan

Independen di Hotel Mercury Jakarta. Dalam mengusahakan dana, mereka juga berusaha

menghimpun dana dari jaringan pengusaha Cina Singkawang di Jakarta dan di kota-kota

besar lain di Indonesia. Perjuangan yang tidak dilakukan dengan kekerasan tersebut akhirnya

berhasil disetujui oleh Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2001, yang menetapkan Singkawang sebagai Kota Otonom.

Proses yang sama sebenarnya juga terjadi pada pemekaran di wilayah Buton. Sebagai

contoh dapat dikemukakan secara ringkas proses perjuangan rakyat Buton di dalam

memperjuangkan Kota Bau-Bau sebagai Kota Otonom, seperti terlihat pada boks di bawah

ini.

(3) Proses Pemenuhan Persyaratan Administratif

Para aktor yang memperjuangkan pemekaran tak bisa mengelak dari ketentun

persyaratan indikator yang harus dipenuhi sebagaimana diamanatkan dalam PP 129 Tahun

2000. Khusus untuk persiapan Kotif Bau-Bau menjadi Kota Otonom, penyiapan proposal

dibantu oleh Tim CRISE dari Jakarta. Dalam penyiapan proposal pemekaran, sebenarnya

juga terbuka peluang untuk melakukan manipulasi data, meskipun secara teoretik manipulasi

data tersebut sebenarnya dapat ditekan dengan adanya indikator kuantitatif yang kebanyakan

bersumber dari data Biro Pusat Statistik. Hanya saja justru karena sudah diketahui sumber

legitimasi data ada pada lembaga BPS, maka melalui pintu inilah kemudian data, misalnya

tentang luas wilayah dan jumlah penduduk, di mark-up.

Proses pemenuhan syarat-syarat administratif ini juga tidak terlepas dari usaha dan

persepsi para elite yang ada di aras nasional. Persepsi penataan daerah pada aras nasional,

yang dikerucutkan menjadi persoalan pemekaran, merupakan sebuah usaha melacak persepsi

penerapan kebijakan penataan daerah sebagaimana diatur dalam UU 22 Tahun 1999 (yang

kemudian direvisi dalam UU No 32 Tahun 2004) dan PP 129 Tahun 2000. Persepsi bertolak

dari sumber dokumen dan wawancara pada sejumlah informan kunci. Persepsi yang hendak

digali merujuk pada penelitian di lapang (dua studi kasus di wilayah yang mekar Sambas,

Kronologi Pemekaran Kotif Bau Bau menjadi Kota otonom Bau Bau

20 Mei 1999 – Walikota Administratif Bau Bau, Umar Abibu mengajukan usulan

peningkatan status Kotif Bau Bau menjadi Kota otonom kepada Bupati

Buton

25 Mei 1999 – Bupati Bupton, Saidoe, menerbitkan SK Pembentukan Tim Khusus untuk

mempersiapkan Bau Bau menjadi kota otonom, pemindahan ibukota

Kabupaten Buton, dan pembentukan Kabupaten Wakatobi.

01 Juni 1999 – Mosi Aspirasi untuk peningkatan status kot administratif menjadi kota

otonom dari Forum Silaturohmi partai Politik Kabupaten Buton kepada

Mendagri (17 partai politik)

10 Juni 1999 – Resolusi Forum Silaturahmi Partai Politik Kabupaten Buton kepada Bupati

Buton yang terkait dengan ibukota Kabupaten ditempatkan di Batuaga.

14 Juni 1999 – Permintaan Bupati Buton kepada DPRD Kabupaten Buton dalam rangka

peningkatan status kotif Bau Bau menjadi kota otonom.

28 Juni – Persetujuan DPRD Kabupaten Buton mengenai peningkatan kota

adminsitratif Bau Bau menjadi kota otonom

01 Juli 1999 – Usulan Bupati Buton kepada Gubernur Kendari untuk peningkatan status

kotif Bau Bau menjadi kota otonom.

19 Juli 1999 – Perantara rekomendasi dari DPRD provinsi untuk peningkatan status Kotif

Bau Bau menjadi Kota otonom

06 Agustus 1999 – Persetujuan DPRD Provinsi atas usul peningkatan status kota Bau-Bau.

14 Agustus 1999 – Penetapan DPRD Kab. Buton tentang ibukota Kabupaten Buton: Loompo,

Batuaga.

Page 26: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 25

Provinsi Kalimantan Barat, dan Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemaparan persepsi ini

akan disajikan dari dialektika persepsi negatif dan persepsi positif.

Kecenderungan ”membingkai” kerja DPOD oleh elite politik yang tak berdasarkan

pada kajian akademik tetapi lebih mengutamakan proses prosedural dan legal-formal

mengakibatkan pihak yang bekerja adalah tim teknis yang rawan manipulasi data. Dengan

kata lain determinasi politik terhadap DPOD selain dilakukan oleh para politisi juga

dilakukan oleh tim teknis, yang prosesnya tidak transparan bagi publik.

Kerja Tim Teknis dan Tim Konsultan sebenarnya tak bisa dilepaskan dari peran elite-

elite politik (baik lokal maupun nasional) dalam keinginan memperebutkan kontrol terhadap

sumber daya ekonomi dan politik. Jika sinyalemen yang dikemukakan oleh Eko Prasojo

benar, maka catatan ini lebih mengukuhkan adanya praktik oligarkhi para elite politik lokal

dan nasional

Tiadanya check and balances antara pihak Depdagri dan DPR dalam pengambilan

keputusan tentang mekar atau tidak sebuah daerah: Ada dua jalur pengajuan usulan

pemekaran. Pertama adalah jalur pintu Depdagri yang mengandalkan PP 129 tahun 2000 jo

UU No. 22 tahun 1999, yang dikenal dengan jalur normal. Kedua, selain jalur normal, masih

ada jalur,”tidak normal” yakni melalui DPR. Dalam hal ini bisa saja terjadi conflict of interest

antara elite politik nasional dan elite politik lokal. Hal ini dijelaskan oleh Eko Prasodjo

sebagai berikut, ”Pemekaran daerah melalui DPR tidak dapat dilepaskan dari kepentingan

partai politik untuk memperoleh kekuasaan politik dan menanamkan pengaruh politiknya di

tingkat lokal. Pemekaran daerah bukanlah semata-mata kepentingan para elite lokal saja

tetapi juga urusan para elite tingkat nasional dan relasi antar-elite lokal-nasional yang

bercorak simbiosis mutualisme berdasarkan politik pembagian kekuasaan yang bersifat

vertikal. Bagi elite-elite politik di DPR, pemekaran daerah adalah pembukaan panggung-

panggung politik baru dengan DPR sebagai pemain utama dan masyarakat daerah sebagai

penonton saja.”

Usaha membangun panggung-panggung politik baik oleh elite lokal maupun nasional

tak bisa dipungkiri sangat sensitif dengan transaksi politik uang. Pihak eksekutif yang

mendorong lancarnya proses pemekaran akan ”membiayai” para DPR Daerah. Atau, DPRD

sebuah daerah yang akan dimekarkan akan berperan sebagai fasilitator atau broker.

4.2. Proses Pelestarian Hasil Pemekaran

Pelestarian pemekaran menjadi suatu proses penting yang dapat mencegah adanya

kemungkinan Daerah Otonomi Baru menjadi mekar kembali dan sekaligus mencegah gejolak

ketidak puasan dari rakyat di wilayah pinggiran baru yang muncul oleh akibat pemekaran.

Sejumlah usaha dilakukan untuk memelihara kelestarian wilayah namun baik untuk

Kabupaten Sambas maupun untuk Kabupaten Buton usaha tersebut nampaknya tidak

sepenuhnya berhasil. Hal ini terlihat bahwa di DOB Kabupaten Sambas pada tahun 2007

telah muncul usaha untuk memecah kembali Kabupaten Sambas menjadi tiga kabupaten baru,

yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisir.

Demikian pula di DOB Kabupaten Buton pada tahun 2007 telah muncul usaha untuk kembali

memecah DOB Kabupaten Buton menjadi tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Buton,

Kabupaten Buton Barat, dan Kabupaten Buton Selatan.

Gambaran tentang kekurangberhasilan pelestarian DOB di DOB Kabupaten Sambas

dan Buton ini sebenarnya lebih didorong oleh keinginan untuk memperoleh limpahan dana

dari pusat (lewat DAU dan DAK) dan oleh adanya keinginan untuk membangun “kembali”

Provinsi Sambas Raya dan Provinsi Buton Raya. Di samping adanya kekurangberhasilan

melestarikan DOB seperti terurai di atas, sejumlah DOB sudah dengan serius mengusahakan

pelestarian DOB yang sudah mereka mekarkan. Beberapa usaha untuk melestarikan wilayah

dapat dikemukakan sebagai berikut.

Page 27: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 26

(1) Membentuk Kecamatan, Desa, dan Kelurahan Baru

Salah satu usaha untuk melestarikan kabupaten Sambas adalah dengan membentuk

kecamatan baru. Dengan cara ini maka pelayanan kepada publik dan pembangunan fisik

dapat lebih merata dan tidak terkonsentrasi di Ibu Kota Kabupaten. Selain itu dari usaha ini

diharapkan ketidak puasan wilayah pinggiran dapat diredam. Sejak pemindahan Ibukota

Kabupaten Sambas dan pemekaran Kabupaten Bangkayang (tahun 1999) sampai dengan

tahun 2006, telah terbentuk delapan Kecamatan Baru di Kabupaten Sambas. Hal yang sama

juga terjadi di Kabupaten Bengkayang, yaitu semenjak terbentuknya Kabupaten Bengkayang

telah munculnya tujuh kecamatan baru. Yang semula jumlah kecamatan hanya 10 telah

berkembang menjadi 17 kecamatan. Di Kota Singkawang juga terjadi pemekaran jumlah

kecamatan. Pada tahun 2005 dari 3 kecamatan dimekarkan menjadi 5 Kecamatan, dan

bersamaan dengan itu semua desa diubah statusnya menjadi kelurahan. Kondisi yang sama

juga berlaku di DOB Buton, yang pada saat Bau-Bau, Bombana, dan Wakatobi memisahkan

diri pada tahun 2003, jumlah kecamatan DOB Kabupaten Buton hanya 9 kecamatan maka

pada tahun 2005 jumlah kecamatan sudah menyamai jumlah kecamatan sebelum pemekaran

yaitu 21 kecamatan. Penambahan kecamatan baru ini selalu diikuti oleh pembangunan sarana

pelayanan publik lain, seperti puskesmas, sekolahan (SLTP dan SLTA), Polsek, dan fasilitas

pelayanan publik lain.

Pemekaran lanjut untuk tingkat kecamatan untuk Kota Singkawang nampaknya tidak

lagi diperlukan mengingat luas wilayah yang relatif kecil. Walaupun demikian, pemekaran

pada tingkat kelurahan masih akan berlangsung terus. Saat ini sedang di proses pemekaran

Desa Sedau di Kecamatan Singkawang Selatan yang memang memiliki jumlah penduduk dan

luas wilayah yang lebih besar. Alasan utama untuk memekarkan Sedau menjadi 3 kelurahan

(Sedau Utara, Sedau Tengah dan Sedau Selatan) adalah agar selain dapat melayani rakyat

lebih intens juga mempunyai peluang untuk mendapatkan bantuan dari pusat untuk

“pembangunan” daerah menjadi semakin besar. Setiap pemekaran kelurahan akan membuka

lowongan pegawai sekitar 15-20 staf (Lurah, Seklu, Kasipem, Kasi Trantib, Kasi Ekon dan

Pendapatan, Kasi Pembangunan, plus masing-masing kasi punya dua sampai tiga staf).

Kondisi yang hampir sama sebenarnya juga terjadi di Kota Otonom Bao-Bau.

(2) Pelayanan Yang Lebih Intens Bagi Wilayah Pinggiran

Adanya pemekaran memang selain meningkatkan efisiensi pelayanan publik, namun

juga bisa terjadi untuk wilayah tertentu justru terjadi hal yang sebaliknya. Oleh sebab itu

untuk kondisi khusus semacam itu maka diperlukan pelayanan publik yang lebih intens.

Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa cakupan Daerah Otonomi Baru Bengkayang

tidak hanya berada di wilayah pedalaman tetapi juga (telah ditetapkan) sampai di wilayah

pantai yaitu wilayah Kecamatan Sungai Raya, yang kebetulan pula Wilayah Sungai Raya

terletak berbatasan dengan Kota Singkawang namun berjarak sekitar 100 Km dari Ibukota

Kabupaten Bengkayang. Rakyat di Daerah Kecamatan Sungai Raya merasa tidak puas karena

sebelumnya letak ibukota kabupaten adalah lebih dekat yaitu Kota Singkawang. Mereka

berkehendak untuk bergabung dengan Kota Singkawang atau Kabupaten lain, lewat satu

proses perjuangan yang panjang (demonstrasi dan membawa ke pengadilan negeri).

Perjuangan mereka mengalami kegagalan karena pengadilan tetap memutuskan bahwa

Kecamatan Sungai Raya masuk dalam Daerah Otonomi Kabupaten Bengkayang.

Untuk meredam ketidakpuasan rakyat di wilayah Kecamatan Sungai Raya,

pemerintah Kabupaten Bengkayang kemudian memecah Kecamatan Sungai Raya menjadi

tiga, yaitu Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Capkala (tahun 2005), dan Kecamatan

Sungai Raya Kepulauan (2006). Selain itu Kabupaten Bengkayang memberi perhatian lebih

terhadap pelayanan publik di tiga kecamatan tersebut. Sebagai contoh, untuk pengurusan

Page 28: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 27

Kartu Keluarga (KK) dan KTP rakyat Sungai Raya tidak perlu datang ke kantor kabupaten

yang letaknya jauh namun cukup diselesaikan di kantor kecamatan masing-masing. Demikian

pula proses pembayaran pajak kendaraan dapat dilakukan di Kota Singkawang. Selain itu,

mengingat sebagian besar penduduk Kecamatan Sungai Raya adalah nelayan maka pihak

kabupaten mendirikan Kantor Cabang Dinas Perikanan yang bertempat di Kecamatan Sungai

Raya Kepulauan.

(3) Pemerataan dan Prioritas Pembangunan

Seiring dengan pembentukan kecamatan baru dan kelurahan baru seperti terurai ÿÿ

atas, maka pembanguman fisikk, seperti: Kantor kecamatan, Puskesmas, SD, SLTP, jalan,

dan jembatan juga mulai dapat disebarkan ke wilayah di luar Ibu Kota Kabupaten. Dengan

cara ini diharapkan ketidakpuasan wilayah pinggiran yang akan dan sudah muncul akan dapat

diredam. Selain usaha untuk memeratakan pembangunan ada pula usaha untuk

memprioritaskan pembangunan bagi jenis-jenis pembangunan yang memang langsung

dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa di DOB

Kabupaten Bengkayang, DOB Kabupaten Bombana, dan DOB Kabupaten Wakatobi pada

tahun-tahun awal pemerintahannya, mereka tidak mengutamakan untuk mengembangkan

PAD, tetapi memprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur. DAK dan semua dana yang

ada diprioritaskan untuk membangun berbagai prasarana yang dapat dirasakan langsung oleh

rakyat seperti: membangun jalan dan jembatan di wilayah terpencil dan perbatasan;

membangun kantor-kantor kecamatan dan desa baru, membangun puskesmas di setiap

kecamatan, membangun SD dan SLTP di setiap kecamatan.19

Disamping membangun

prasarana fisik hampir semua Daerah Otonomi Baru mempunyai usaha untuk menambah

pegawai negeri demi untuk mengefektifkan pelayanan publik. Jumlah pegawai negeri baru

yang mereka terima setiap tahunnya bisa mencapai 500 orang. Selain itu dapat pula

dikemukakan usaha lain yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melestarikan

pemekaran adalah dengan memberi fasilitas yang memadai bagi datangnya investor, terutama

untuk bidang pertambangan, kelautan, pengolahan hasil kayu,20

dan perkebunan kelapa

sawit.21

Semua usaha tersebut paling tidak dapat memberikan kesempatan kerja bagi rakyat.

5. PERKEMBANGAN KAPASITAS SOSIAL-POLITIK DOB

Paling tidak ada delapan hal yang akan dibahas di dalam sub bab ini yaitu: (1)

Kemampuan Memperoleh Sumberdaya Fiskal; (2) Corak Fiskal pada Awal Daerah Otonomi

Baru; (3) Kemampuan Berotonomi Dalam Konteks Lintas Daerah; (4) Kebangkitan

Kohesivitas Etno-Kultural Dalam Konteks Masyarakat Multikultural; (5) Rekritmen PNS;

(6). Rentang Kendali; (7) Masuknya DPRD Baru; dan (8) Perkembangan DOB.

19

Khusus untuk DOB Kabupaten Bengkayang, pembangunan kantor kabupaten yang megah baru dilakukan

pada tahun-tahun terakhir. Bahkan pembangunan rumah dinas Bupati Bengkayang tidak dilakukan. Walaupun

rumah dinas bupati tidak dibangun Bupati Bengkayang telah berhasil membangun rumah pribadinya dengan

sangat megah. 20

Pada saat penelitian ada investor dari Finlandia yang akan melakukan investasi untuk membangun dermaga di

salah satu pulau dari 13 pulau yang ada di Kecamatan Sungai Raya Kepulauan dan akan membuat industri

pengolahan kayu. 21

Pada saat ini sudah muncul pemahaman bahwa adanya perkebunan kelapa sawit tidak selalu menguntungkan,

sehingga sebagian Suku Dayak menolak perkebunan kelapa sawit karena dapat merusak lingkungan (tidak dapat

menahan air) dan dapat menyebabkan ketergantungan kepada pabrik.

Page 29: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 28

5.1. Kemampuan Memperoleh Sumber Daya Fiskal

Membayangkan Indonesia sebagai sebuah kawasan kepulauan dengan keragaman

etnis, bahasa, dan budaya, maka tantangan terbesar untuk keberlangsungan hidup Indonesia

sebagai negara-bangsa adalah bagaimana menjaga prinsip keberlangsungan berdasarkan

pada distribusi kue pembangunan secara adil. Kue pembangunan, yang adalah terkumpulnya

sumber-sumber daya publik (common pool resources), sudah selayaknya dapat diakses

melalui mekanisme representasi politik yang adil pula. Prinsip ini merupakan prinsip yang

dapat saja mendorong tumbuhnya praktik yang sebaliknya, yakni membangun ketidakadilan

dalam membagi kue pembangunan tetapi juga sekaligus memandulkan representasi politik

masyarakat sipil (civil society). Ketiadaan representasi politik inilah yang mendorong

tumbuhnya oligarkhi berupa kekuasaan di tangan segelintir orang yang secara sistematis

melakukan perampokan atas state resources atau elite captures. Jika ini terjadi, maka

fenomenanya adalah tragedi atas milik bersama (tragic of the the common). Tantangan seperti

inilah yang akan menguji apakah kebijakan penataan daerah yang digulirkan oleh negara

akan membawa angin keadilan dalam pembagian kue pembangunan atau justru semakin

maraknya praktik investasi politik yang mendorong perampokan sumber-sumber negara.

Kebijakan desentralisasi yang terjadi sekarang ini telah menjadi dasar terjadinya

transfer sumber keuangan dan kewenangan yang cukup besar dari pemerintah pusat ke

pemerintah daerah. Pemerintah daerah menjadi pelaku pembangunan di berbagai sektor.

Kebijakan desentralisasi yang diikuti munculnya kebijakan pemberian DAU ( dan DAK) ke

daerah merupakan konskuensi dari kebijakan desentralisasi kewenangan kepada daerah.

Kebijakan keuangan untuk daerah yang demikian telah menjadi alasan bagi masyarakat di

daerah untuk berlomba membentuk DOB dengan jalan pemekaran. Dengan demikian

kebijakan keuangan pemerintah pusat telah menjadi faktor penarik utama tuntutan

pemekaran. Limpahan fiskal yang berasal dari APBN, yang dapat diwujudkan lewat turunnya

DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), serta bantuan lainnnya

merupakan sebuah simbol bahwa kue pembangunan (dari negara pusat) dapat diakses melalui

mekanisme pemekaran ini. Dengan limpahan fiskal seperti ini sebenarnya menegaskan bahwa

sumber satu-satunya kue pembangunan bagi daerah yang akan mekar dapat diakses. Jumlah

fiskal sebelum mekar yang diterima ketika itu dibandingkan dengan setelah mekar terlalu

jauh bedanya. Kondisi semacam ini, yang terjadi baik di Sambas maupun Buton,

menyebabkan semakin banyaknya wilayah yang mencoba memekarkan diri dengan alasan

untuk memperoleh limpahan dana dari pusat tersebut.

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa hasil wawancara (lewat FGD) dengan sejumlah

tokoh di DOB Kabupaten Sambas yang sedang giat berjuang untuk memekarkan kembali

DOB Kabupaten Sambas menjadi tiga (Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan

Kabupaten Sambas Pesisiran). Demikian pula ada usaha untuk memekarkan kembali DOB

Kabupaten Buton menjadi tiga Kabupaten Baru, yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton

Selatan, dan Kabupaten Buton Barat (usaha di DOB Buton ini bahkan telah masuk dalam

Perda Kabupaten Buton). Berkaitan dengan usaha ini para elite yang diwawancarai

menyebutkan bahwa mereka tidak terlalu memperhitungkan ketidak terpenuhinya

sejumlah syarat untuk mekar (sesuai dengan PP No 129 Tahun 2000), yang memang dapat

dimanipulasi. Yang paling penting bagi mereka adalah turunnya DAU dari pemerintah

pusat. Dengan demikian maka pemekaran adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh

akses terhadap sumber ekonomi dari pusat. Bahkan kesan ”balas dendam” sangat terasa

karena pemekaran merupakan ”pukulan balik” bagi pusat yang sudah cukup lama dan

cukup banyak menyerap kekayaan daerah untuk mengembalikan kekayaan tersebut ke

daerah.

Kasus nyata yang lain dapat dikemukakan proses pembangunan di DOB Kabupaten

Bengkayang. Semenjak menjadi DOB Bengkayang telah mengembangkan jumlah kecamatan

Page 30: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 29

dari semula hanya tujuh kecamatan menjadi 17 kecamatan. Pembangunan kecamatan

biasanya akan diikuti oleh pembangunan sarana pelayanan publik yang lain seperti:

Puskesmas, Sekolahan (SLTP bahkan SLTA), Polsek, dan lain-lain (lihat lampiran 1). Selain

itu dengan adanya Dana Alokasi Umum maka Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang

dapat mengangkat sekitar 500 Calon Pegawai Negeri baru.Gambaran di DOB Kabupaten

Wakatabi juga menunjukkan hal yang sama. Perbandingan jumlah dukungan dana dari pusat

antara sebelum dan sesudah pemekaran menunjukkan perbedaan yang sangat besar. Dari

wawancara di lapang, kasus yang mirip juga terjadi di Bombana. Fakta ini juga menegaskan

bahwa negara pusat merupakan sebuah institusi satu-satunya yang dapat memberikan

common pools resources (CPR) seperti ini. Tak ada sumber lain selain negara yang

memungkinkan untuk bisa diakses kue pembangunannya. Pada kasus pemekaran di Buton

meski dibalut dengan keinginan memperjuangkan identitas etnis, namun harapan

memperoleh CPR juga besar.22

Demikian pula untuk DAK yang pada dasarnya merupakan dana untuk kegiatan

pembangunan yang lebih banyak dikelola oleh dinas sektoral merupakan sumber utama bagi

dinas sektoral di aras regional untuk melaksanakan kegiatannya. Dengan demikian maka

DAK juga menjadi salah satu faktor pemacu munculnya DOB, namun penggunaan dari DAK

ini seringkali hanya berorientasi kepada rencana dinas yang datang dari atas dan tidak sesuai

dengan kebutuhan rakyat di daerah.

5.2. Corak Fisik Pada Awal Daerah Otonomi Baru

Di Daerah Otonomi Baru (DOB) yang lewat pemekaran menjadi kabupaten,

ketersediaan dana kucuran dari pusat diutamakan atau diprioritaskan untuk membangun

sarana dan prasarana fisik, khususnya gedung perkantoran, rumah jabatan bupati dan rumah

jabatan wakil bupati (khusus di Kabupaten Bengkayang rumah jabatan bupati sengaja tidak

diprioritaskan untuk dibangun), gedung DPRD (khusus untuk gedung DPRD kurang

ditunjukkan oleh DOB yang semula sudah menjadi ibu kota kabupaten induk), sementara

prioritas berikut barulah untuk pembangunan sarana dan prasarana publik (seperti jalan,

jembatan, dan sebagainya). Walaupun demikian adapula wilayah yang juga memprioritaskan

pembangunan sarana dan prasarana pelayanan publik tanpa terlebih dahulu membangun

gedung untuk rumah jabatan kepala daerah. Pola ini mengungkapkan antara lain:

(1). Pertanda visual bahwa DOB yang bersangkutan telah memiliki status baru, sehingga

sarana dan prasarana fisik itu menjadi pertanda konkret tentang status baru itu yang

pada masa sebelum pemekaran belum ada. Proses pembangunan sarana dan prasarana

fisik untuk kepentingan umum (jalan, jembatan, dan sebagainya) juga mendukung

tujuan untuk menunjukkan status DOB itu.

(2). Untuk daerah tertentu, yang memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana

fisik untuk kepentingan pejabat dan legislatif (yang bias elite), selain menunjukkan

adanya pengalokasian yang tidak langsung bermanfaat bagi rakyat namun juga

berfungsi sebagai pengungkapan kebanggaan dan identitas DOB.

(3). Dalam kebanggaan ini yang lebih kuat menonjol adalah citra pembangunan sarana-

prasarana yang bias elite, yaitu dibangunnya bangunan rumah-rumah dinas lebih

dahulu ketimbang sarana-prasarana jembatan, pelabuhan, jalan, dan puskesmas yang

22

Hasil wawancara dengan Ketua DPRD, Staf WWF dan ketua KNPI (tgl 30/3/2007), diperoleh informasi

bahwa, dihitung dari waktu sekarang (2007), Kabupaten Wakatobi sudah memasuki tahun ketiga dalam proses

penganggaran. Anggaran tahun pertama (2005) sebesar Rp 47 milyar, tahun kedua (2006) sebesar Rp 280

milyar, dan tahun ketiga (2007) sebesar 300 milyar. Setelah mekar, Kabupaten Wakatobi memperoleh dana

pembinaan dari Kabupaten Buton sebesar Rp 1,5 milyar. Sebelum mekar, oleh Kabupaten Buton, wilayah

Wakatobi mendapat alokasi pendanaan pembangunan senilai Rp 500 juta

Page 31: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 30

lebih melayani rakyat banyak. Akibatnya pelayanan publik yang seharusnya bisa lebih

didahulukan menjadi tertunda.

(4). Pembangunan seperti terurai di atas lebih menegaskan fenomena kedaerahan yang

sempit, yang hanya berorientasi untuk daerah sendiri. Pada sisi lain, klaim

kedaerahan yang sempit ini merupakan sebuah arena pengukuhan identitas daerah

yang selama ini tak dapat dijadikan sebagai faktor posisi tawar terhadap daerah lain

(5) Munculnya relasi sosial yang berbasis neo-feodalisme, khususnya di komunitas Bau-

Bau yang memiliki anggapan hanya kelompok tertentu –Kaomu dan Walaka – yang

mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kalau di Kalimantan Barat,

kebanggaan sebagai Suku Melayu Sambas yang terkait dengan keberadaan

Kesultanan Sambas menjadi penentu di dalam menentukan pemimpin

(6) Aktor-aktor pejuang pemekaran, sangat berkepentingan menjadikan dirinya sebagai

bagian dari representasi politik masyarakat di DOB, meskipun dalam praktiknya

cenderung lebih mengedepankan kepentingan elite itu sendiri. Dalam kondisi seperti

ini, maka dalam rangka kehadiran DOB muncul juga fenomena yang bercorak

oligarkhis.

5.3. Kemampuan Berotonomi Dalam Konteks Lintas Daerah

Idealnya pemekaran daerah akan mendorong masing-masing DOB untuk

mengembangkan kemampuan daerahnya baik berupa PAD, dan sekaligus mampu

meningkatkan ekonomi regional. Namun pada kanyataannya sebagian besar DOB masih

lebih menggantungkan pengembangan ekonominya pada kucuran dana dari pusat. Di dalam

hal ini kampanye elite politik lokal untuk mendatangkan kucuran dana dari pusat yang

sekaligus juga mengurangi beban rakyat dari “kewajiban” meningkatkan PAD. Kondisi ini

kemudian menjadi penanda adanya kepedulian atau keberhasilan pemimpin lokal terhadap

nasib rakyatnya.

Orientasi kepada pengembangan potensi regional bersama dengan DOB sebagai

sumber pembiayaan dan kesejahteraan masyarakat dimasa depan belum nampak. Ketiadaan

proses persiapan sebelum pemekaran dan ketiadaan masa transisi yang cukup menyebabkan

pada periode lima tahun pertama pasca pemekaran kebanyakan DOB masih disibukkan

dengan pembangunan infrastruktur fisik, pengembangan keorganisasian, dan pengembangan

sumberdaya manusia. Upaya untuk memfasilitasi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan

rakyat secara langsung nampaknya masih minimal.

Makna kawasan regional adalah suatu kawasan (daerah) yang dimungkinkan adanya

kerjasama antar-daerah secara sinergis. Kerjasama antar-daerah yang didukung

pengembangan kawasan berbasis spatial planning, memungkinkan adanya peningkatan

pendapatan asli daerah. Namun jika dilacak dalam politik anggaran nasional yang tertuang

dalam APBN, ternyata yang justru ditekankan adalah bukan pengembangan kawasan regional

yang terefleksikan dengan adanya kerjasama lintas sektoral; yang ditekankan dalam

kebijakan APBN adalah kerja sektoral. Akibat dari kebijakan penganggaran yang demikian,

maka sulit membayangkan akan berhasilnya sebuah spatial planning di kawasan yang

dimekarkan. Bagi daerah, prinsip regionalisasi dari wilayah yang baru saja mekar sebenarnya

akan sangat menguntungkan secara mutualistis. Yang jelas dengan regionalisasi seperti ini

akan banyak penghematan dalam aktivitas perekonomian regional. Di sini dapat diharapkan

adanya perwujudan kawasan Wakatobi atau Singkawang sebagai salah satu pelabuhan

transito dan dorongan bagi daerah-daerah yang berdekatan dengan Wakatobi atau

Singkawang untuk saling bekerjasama.

Sesudah pemekaran di kebanyak DOB hampir seluruh kegiatan pembangunan

diarahkan kepada pemenuhan prasaranan administratif pemerintahan, seperti gedung-gedung

perkantoran, rumah dinas, termasuk jalan-jalan yang menuju ketempat dimana prasarana

Page 32: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 31

pemerintahahn itu berada. Kerjasama untuk membangun ekonomi kawasan bersama belum

nampak, demikian pula kerjasama antara daerah induk dan daerah pemekaran nampaknya

belum terjadi. Yang terjadi justru sebaliknya yaitu munculnya persaingan dalam

memperebutkan sumber ekonomi. Di Sambas misalnya, masing-masing kabupaten ingin

memiliki lapangan terbang dan pelabuhan laut. Kabupaten Singkawang misalnya ingin

membangun pelabuhan laut sendiri sekalipun sebelum pemekaran mereka memakai

pelabuhan Sintete yang kini masuk kedalam wilayah kabupaten Sambas. Semangat kerjasama

ini juga dihambat oleh persoalan perebutan asset dan sengketa tapal batas. Walaupun

demikian dibeberapa daerah kerjasama antar daerah juga terjadi (lihat uraian di Bab 6).

5.4. Kebangkitan Kohesivitas Etno-Kultural Dalam Konteks Masyarakat

Multikultural

Adanya pemekaran daerah selalu dibarengi dengan bangkitnya kohesivitas etnik yang

semula dalam posisi minoritas. Dengan adanya pemekaranp posisi tawar etnik yang semula

minoritas tersebut menjadi semakin kuat, terutama dengan derasnya dana fiskal dari pusat. Di

dalam hal ini perkembangan kohesivitas etnik ini perlu diletakkan dalam hubungan antar

etnik yang bersifat plural.

Dengan kondisi seperti ini, upaya membangun keberagaman representasi politik

beragam etnik itu masih merupakan sebuah pertanyaan. Jika prinsip ”kesatuan dalam

keragaman” hendak dipertahankan di tengah naik pasangnya identitas lokal etnis, maka

beberapa catatan berikut perlu dikemukakan, yaitu:

(a). Pentingnya visi nasionalisme NKRI yang juga menjadi preferensi para pemimpin

lokal (politisi dan birokrasi).

(b). Terkait dengan konflik batas wilayah yang sekaligus berimpit dengan isu etnisitas

perlu didorong peran mediasi pada aras provinsi untuk mampu menjadi penengah

melalui rekonsiliasi konflik,

(c). Perlunya peningkatan kapasitas para pihak yang berkonflik agar bisa menyelesaikan

persoalan dengan agenda duduk bersama dengan memanfaatkan regulasi

pemerintahan yang telah tersedia.

Pemekaran di Kabupaten Sambas dan di Kabupaten Buton nampaknya sesuai dengan

kebutuhan dan keinginan rakyat. Selain memperoleh pelayanan publik yang lebih baik dan

efektif dari negara, pemekaran juga menyebabkan kelompok tertentu atau etnis tertentu

menjadi teraktualisasi identitasnya. Sebagai gambaran masyarakat Suku Dayak di Kabupaten

Bengkayang yang selama ini merasa identitasnya tersubordinasi oleh Suku Melayu maka

sesudah pemekaran mereka dapat menunjukkan identitas dirinya secara lebih jelas. Simbol-

simbol budaya Dayak terpampang di hampir setiap kantor pemerintahan, dan kantor

pelayanan publik yang lain.

Demikian pula kelompok masyarakat Kabupaten Sambas (sebelah utara) yang selama

ini identitasnya tertutup oleh elite Singkawang, maka sesudah pemekaran mereka dapat lebih

menunjukkan identitasnya ke-Sambasan-nya kembali terutama terkait dengan makna

Kasultanan di Sambas.

Di Singkawang perjuangan untuk memperoleh identitas sebagai kota dagang dan kota

pariwisata sangat diwarnai oleh persoalan etnisitas terutama dari Suku Cina. Di sini Suku

Cina mempunyai kesempatan lebih terbuka untuk menunjukkan identitasnya sebagai suku

yang sejajar dengan suku lain. Bahkan terbuka kemungkinan menjadikan Singkawang

sebagai Centre of Origin dari Suku Cina di Indonesia. Selain itu Pemekaran Singkawang

membuka partisipasi politik yang lebih luas bagi golongan Cina yang selama ini karena

politik nasional dan sentiment regional posisi mereka selalu depresif.

Page 33: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 32

Munculnya DOB Kabupaten Bombana juga mencerminkan adanya pengakuan

terhadap keberadaan Suku Moronene dan Bugis yang selama ini lebih menjadi subordinasi

Suku Buton. Munculnya institusi tandualle merupakan landasan identitas baru wilayah

Bombana yang lebih mengetengahkan pandangan territorial-plural-inklusif. Lembaga ini

nampaknya dapat menjadi dasar pembangunan wilayah yang lebih mengetengahkan

kerjasama yang searas dari pada kerjasama atasan dan bawahan.

5.5. Rekruitmen PNS

Penyelenggaraan daerah otonomi baru (DOB) memerlukan dukungan sumber daya

manusia yang memadahi. Dengan demikian pembentukan DOB telah membuka peluang bagi

sumber daya manusia di tingkat lokal untuk mengisi jabatan-jabatan yang ada baik di ekskutif

maupun legislatif sebagai konskuensi pembentukan DOB. Dari aspek pengisian pegawai ini,

pemekaran daerah telah menyumbangkan upaya pengurangan pengangguran di DOB

tersebut. Dalam rangka meningkatkan serta mendorong pencapaian pelayanan publik yang

efektif dan efisien diperlukan ketersediaan sumber daya manusia yang mempunyai kapabel.

Persoalan yang sedang dihadapi sekarang oleh DOB adalah kurangnya SDM yang

memadai. Selain itu, ketersediaan SDM di DOB seringkali tidak bisa memenuhi kompetensi

dan kualitas SDM seperti yang sudah ditetapkan dalam regulasi tentang syarat golongan dan

eselonisasi untuk menduduki jabatan tertentu di daerah itu. Selama ini kebijakan rekruitmen

PNS memang menjadi kewenangan pemerintah pusat, kebijakan ini nampaknya sulit untuk

diimplementasikan di daerah karena keterbatasan SDM yang ada. Kelemahan lain dari proses

rekruitmen ini disebabkan oleh ketidakadaan persiapan pada masa sebelum pemekaran. Tidak

adanya masa transisi yang khusus memprogramkan penataan dan rekriutmen pegawai ini

menyebabkan beberapa akibat yang kurang baik. Beberapa dampak ketidakadaan masa

transisi, yang terjadi baik di Sambas maupun di Buton, diantaranya adalah seperti dibawah

ini:

(a). Adanya tarik menarik pegawai lama yang dianggap berkualitas antara DOB dengan

Daerah Induk

(b). Munculnya usaha untuk melakukan bongkar pasang pegawai

(c). Para guru yang biasanya mempunyai kemampuan intelektual dan pengalaman yang

lebih baik dari kebanyak pegawai, menjadi sangat dibutuhkan, sehingga banyak guru

“terpaksa” ditempatkan pada posisi diatas namun dengan kompetensi yang

sebenarnya tidak cocok dengan bidang baru yang ditanganinya.

Ke tiga proses penataan pegawai di daerah tersebut biasanya sangat kenthal diwarnai

oleh ikatan-ikatan primordia (agama dan suku). Dengan cara ini dimungkinkan adanya

dominasi dari suku atau etnis tertentu, yang biasanya merupakan suku mayoritas, di daerah

tertentu.

Kondisi yang kurang baik tersebut pada akhir-akhir ini sudah mulai memperoleh

masukan dan koreksi dari banyak pihak. Hal ini ditunjukkan oleh adanya keinginan dan

kesadaran daerah (baik di DOB maupun Daerah Induk), untuk memulai menyeimbangkan

komposisi keetnisan dari pegawai yang ada. Usaha ini lebih nampak nyata di kelompok

pegawai golongan bawah (seperti eselon IV atau pegawai baru yang berijazahkan setingkat

SLTA). Selain itu adanya seleksi PNS yang bersifat terbuka, yang mendasarkan penerimaan

pegawai pada kompetensi calon, menyebabkan variasi etnis pegawai yang diterima menjadi

lebih banyak. Dengan kondisi ini maka dominasi etnis tertentu pada PNS di masa depan

diharapkan akan lebih berkurang.

5.6. Rentang Kendali Pelayanan Publik

Rentang kendali (span of control) terasa lebih baik pada masa setelah pemekaran.

Rentang kendali pelayanan publik yang didukung oleh birokrasi memang didorong untuk

Page 34: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 33

mengarah pada peningkatan pelayanan publik. Sejumlah catatan perlu ditegaskan berkaitan

dengan praktik rentang kendali, yakni:

(a). Visi-misi-tupoksi sebuah daerah yang baru mekar perlu dipahami secara sama oleh

seluruh jajaran birokrasi dan aktor politik (legislatif). Dengan dipahaminya visi-misi

secara sama, diharapkan bahwa penerjemahan di dalam program tahunan SKPD (Satuan

Kerja Perangkat Daerah) dapat diandalkan untuk mengawal proses good governance;

(b). Pemahaman visi-misi-tupoksi seperti ini juga dibarengi dengan kesamaan wawasan

oleh mitra pemerintah (rekanan pemerintah yang akan mengikuti tender). Jika hal ini

diabaikan, kapasitas proses governance yang harus bergulir menjadi tereduksi dan

akibatnya limpahan fiskal tak dapat dimanfaatkan maksimal;

(c). Selain memahami visi-misi-tupoksi, di kawasan DOB belum dijalankan program

pelatihan pegawai secara optimal. Gejala seperti ini nampak di kawasan Wakatobi dan

Bombana. Jika program pelatihan ini dapat dijalankan, maka kekurangan dalam

mekanisme rekrutmen dapat diimbangi dengan pelatihan yang optimal. Dengan

demikian profesionalitas dalam menjalankan good governance berangsur dapat dicapai

5.7. Terbentuknya DPRD di Daerah Otonomi Baru

Pemekaran membuka peluang bagi organisasi-organisasi kekuatan politik (terutama

parpol), yang semula hanya ada di kabupaten induk, untuk membentuk kepengurusan

organisasinya di tiap DOB. Parpol-parpol itu mendapat peluang untuk merepresentasikan

kepentingan masyarakat konstituennya dalam badan legislatif (DPRD) di DOB. Dengan

begitu, pemekaran telah membuka peluang representasi politik secara lebih luas di DPRD-

DPRD DOB dibandingkan sebelum pemekaran yang hanya terbuka di DPRD kabupaten

induk. Dengan begitu, check and balances dapat terwujud di tiap DOB dan tidak hanya

kabupaten induk.

Kapasitas anggota-anggota DPRD di DOB masih perlu dikembangkan (antara lain

dalam menyusun perda-perda; misalnya jumlah perda yang disusun atas inisiatif DPRD jauh

lebih kecil dibandingkan dengan jumlah perda yang disusun atas inisiatif eksekutif di DOB).

Peningkatan kapasitas DPRD itu antara lain dapat mengurangi kecenderungan kolusi atnara

DPRD dan ekesekutif dan/atau potensi munculnya oligharki baru.

5.8. Perkembangan Pelayanan Publik

Perkembangan pelayanan publik di DOB merupakan modal dasar bagi munculnya

kapasistas sosial-politik daerah. Oleh sebab itu perlu dikemukakanperkembangan pelayanan

publik di DOB.

Untuk wilayah seperti Kabupaten Sambas yang mempunyai wilayah yang sangat luas

(walaupun jumlah penduduknya sedikit), atau wilayah seperti Kabupaten Buton yang terdiri

dari sejumlah pulau (kepulauan) adanya pemekaran membawa dampak yang positif.

Tersebarnya pembangunan fisik yang berupa komplek perkantoran, pelayanan publik,

dan perdagangan selain dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan lebih

efisien, proses pembangunan fisik itu sendiri (bangunan fisik dan prasarana lain) juga telah

memberi kesempatan kerja yang cukup baik. Dengan adanya bangunan fisik dan telah

berfungsinya pusat-pusat pelayanan publik, seperti pembangunan kantor kabupaten, kantor

kecamatan, kantor desa/kelurahan, rumah sakit, puskesmas, sekolah, dan kantor-kantor lain

menyebabkan rakyat di DOB merasakan adanya kemudahan dan keefektifan pelayanan

publik. Selain itu letak fasilitas pelayanan publik yang lebih dekat menyebabkan rakyat

merasa memperoleh pelayanan yang lebih murah dan mudah.

Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa di sepanjang jalan utama di Kota

Sambas telah selesai dibangun paling tidak 20 bangunan baru dengan satu bangunan lama

yang direnovasi sebagai kantor Bupati Sambas. Di Jalan Pembangunan ini terdapat satu

Page 35: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 34

bangunan baru yang baru saja diselesaikan yaitu Gedung Pengadilan Negeri Sambas, tetapi

sampai sekarang Gedung tersebut belum dipergunakan. Di seberang jalan Pembangunan

tepatnya di Jalan Terigas (eks Jalan Sukaramai) terdapat paling tidak lima bangunan baru

yang dibangun pasca pemindahan Ibu Kota Kabupaten Sambas. Di luar dua lokasi tersebut,

masih ada beberapa bangunan baru seperti Kantor Polsek Sambas, rumah sakit (yang baru

saja direnovasi), kantor-kantor kecamatan yang baru, dll. Selain itu untuk membangun akses

perhubungan telah dirintis akses jalan ke Serawak Malaysia dengan Proyek Palsa (Paloh –

Sajingan).

Di Kabupaten Bengkayang terdapat komplek perkantoran terpadu (satu atap) yang

sangat megah yang merupakan kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang, Gedung

DPRD Kabupaten Bengkayang, Pengadilan, PU dan lain-lain yang jelas lebih mendekatkan

pelayanan publik ke masyarakat. Demikian pula pembangunan sarana kesehatan (rumah sakit

dan puskesmas), kemanan (Polsek), pendidikan, prasarana jalan (dan jembatan), bahkan

perbaikan wilayah perbatasan (di Kecamatan Jagoi Babang) menyebabkan rakyat di wilayah

yang semula jauh dari pusat pemerintahan menjadi lebih mudah terlayani oleh negara.

Demikian pula di DOB Kabupaten Buton, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten

Wakatobi juga terjadi hal yang hampir sama dengan di DOB Kabupaten Sambas dan

Kabupaten Bengkayang. Sejumlah kantor pemerintahan dan pelayanan publik dibangun di

sejumlah wilayah kecamatan baru yang dirasakan manfaatnya oleh rakyat secara langsung.

6. PERKEMBANGAN RELASI SOSIAL-POLITIK

Sebagai sebuah wilayah yang baru mekar dan sekaligus sebagai wilayah yang menjadi

wilayah ”sisa”, maka tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana melakukan

konsolidasi birokrasi dan konsolidasi politik. Dua konsolidasi ini sekaligus mendorong

adanya kredo baru dalam melakukan praktik good governance (tata pemerintahan yang baik).

Tentu saja yang dimaksudkan dengan praktik tata pemerintahan yang baik memiliki indikator

pengikat yang dapat diukur, misalnya: partisipasi, transpransi, akuntabilitas, dan lain-lain.

Munculnya DOB juga menyebabkan berkembangnya relasi sosial politik baik yang

terjadi antar masyarakat sipil; antara masyarakat sipil dengan Pemda; antar pemda; antara

pemda dengan pemerintah pusat; dan antara pemda dengan negara lain. Temuan di wilayah

penelitian Sambas dan Buton dapat dikemukakan sebagai berikut.

6.1. Perkembangan Relasi Sosial-Politik Antar Masyarakat Sipil

Pada masa perjuangan untuk memperoleh status Daerah Otonomi Baru sejumlah

organisasi yang bisa dikelompokkan menjadi masyarakat sipil telah melakukan fungsinya

dengan baik, namun pada perkembangannya peran masyarakat sipil bisa berkembang kearah

yang berbeda-beda. Tiga hal yang akan dikemukakan di dalam subab ini yaitu menyangkut:

Konflik Antar Elite; Perubahan adesi sosial; dan Munculnya pengusaha politik baru.

(1) Konflik Antar Elite

Potensi konflik antar elite dapat muncul dalam proses pilkada yang dapat

mengaburkan kohesivitas sosial yang sudah terbentuk. Pada kasus Bau-Bau, misalnya,

pilkada yang diselenggarakan pada November 2007 diwarnai dengan perseteruan antara

Walikota dan Bupati yang telah mendahuluinya (batas wilayah akan diperebutkan baik oleh

Walikota Bau-Bau maupun oleh anak Bupati mencalonkan diri). Konflik juga terjadi sejak

tahun 2004, antara bupati dan wakil bupati dalam memperebutkan kewenangan, yang diikuti

oleh perpecahan antar kelompok pendukung. Konflik antar elite juga dapat muncul oleh

adanya akibat alih fungsi lahan untuk keperluan pembangunan sarana/prasarana umum,

perumahan, atau pembukaan perkebunan.

Page 36: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 35

Berbeda dengan di Bau-bau, di Bengkayang hubungan antar elite yaitu antara

eksekutif dengan legislatif, terlihat sangat harmonis tanpa konflik yang berarti. Kondisi yang

terlihat harmonis ini bisa jadi justru dapat menimbulkan permasalahan lain apabila terjadi

konspirasi kedua pihak yang merugikan rakyat.

Apa yang kemudian mencuat menjadi konflik di atas bila ditelusuri lagi nampaknya

bersumber dari kurang sempurnanya regulasi yang mengatur tentang pembagian aset,

penetapan batas wilayah, mekanisme proses sosialisasi regulasi pada para birokrat. Sosialisasi

tentang regulasi juga harus dilakukan kepada masyarakat yang akan menjadi subyek

penetapan batas wilayah, karena berdasar konflik batas wilayah tersebut memungkinkan

konflik antar elite di daerah yang bersangkutan.

(2). Perubahan Adhesi Sosial

Seperti sudah dikemukakan di muka proses pemekaran biasanya terjadi sejalan

dengan pemisahan berdasarkan perbedaan etnis. Salah satu dampak adanya pemekaran adalah

adanya dominasi satu suku tertentu (atau semakin dominannya). Dilihat dari sudut pandang

modal sosial dampak adanya pemekaran ialah semakin kuatnya bounding di antara

masyarakat yang sesuku (kohesi sosial yang menguat), namun bridging (adesi atau relasi

dengan suku lain) menjadi semakin lemah. Kondisi semacam ini kalau tidak segera disadari,

akan memperbesar kemungkinan munculnya ketegangan bahkan konflik di masa mendatang.

Sebagai contoh, munculnya Kabupaten Bengkayang yang mayoritasnya Suku Dayak (non-

Muslim), Kabupaten Sambas yang menjadi semakin Melayu (Muslim), dan Kota Singkawang

yang dapat dianggap pusatnya Suku Cina, dan Kabupaten Buton yang menjadi semakin

Buton di masa mendatang akan menghadapi permasalahan kerukunan antar suku dan umat.

Khusus untuk Kota Singkawang perkembangan pemaknaan suku mayoritas dan

pandangan putra daerah yang sempit dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

Namun demikian perkembangan penduduk Suku Cina yang cukup tinggi seringkali juga

merisaukan suku yang bersangkutan. Adanya jargon tentang “KB wajib” yang bermaksud

menekan pertumbuhan Suku Cina seringkali akan merisaukan suku mayoritas Cina.

Sebaliknya kerisauan di antara Suku Melayu juga terjadi, terutama berkaitan dengan adanya

paham lunturnya ke-Islam-an karena berkembangnya budaya Cina yang dapat memusrikkan

umat (contoh kasus tatung).

Sementara itu dapat pula dikemukakan reproduksi ingatan kolektif tentang Kesultanan

Buton yang terjadi di Kota Bau-Bau, yang menebarkan pengetahuan mengenai pelapisan

sosial yang pernah tercipta pada masa lalu, terutama pelapisan sosial yang mempunyai hak

memegang (yaitu antara Kaomu dan Wakala). Reproduksi ingatan kolektif ini membawa

anggapan bahwa para keturunan dari Kaomu dan Wakala saja yang dapat menjadi pimpinan

dalam arena kontestasi politik. Kondisi ini merupakan suatu anggapan yang mengabaikan

lapisan sosial lainnya dan etnis lain (minoritas) yang tinggal di wilayah ini.23

Dengan demikian munculnya DOB yang mencirikan menguatnya bounding (kohesi

sosial), dapat melemahkan bridging (adhesi sosial) di antara kelompok primordial yang ada.

Di dalam hal ini munculnya kaum minoritas baru di DOB perlu memperoleh perhatian lebih.

(3). Munculnya Pengusaha Politik Baru

Munculnya pengusaha politik baru yang ada di semau DOB ini tidak terlepas dari

proses pemekaran DOB. Pada waktu awal proses pemekaran kelompok yang

memperjuangkan membutuhkan dukungan dana yang besar baik untuk biaya pemekaran,

maupun untuk biaya lainnya. Untuk itulah biasanya kelompok ”pejuang pemekaran” ini akan

23

Pada tataran yang lebih rendah kondisi ini juga terjadi di wilayah Kasultanan Sambas, namun persoalannya

lebih terfokus pada perebutan pemanfaatan keturunan Sultan Sambas sebagai alat untuk mencapai tujuan politik

dari elite tertentu.

Page 37: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 36

menarik sejumlah pengusaha. Bisa saja pengusaha tersebut adalah tokoh politik, elite daerah,

namun bisa saja pengusaha tersebut benar-benar seorang pengusaha (murni).

Sesudah daerah yang mereka perjuangkan mekar maka para pengusaha tersebut akan

muncul sebagai pemborong proyek-proyek pembangunan di DOB yang memang mempunyai

program pembangunan fisik yang sangat banyak. Di samping itu para pengusaha tersebut

mulai dapat melanjutkan ”dominasinya” di bidang politik dan pemerintahan. Dari sini

mulailah muncul sejumlah pengusaha politik baru. Kemunculan para pengusaha politik baru

menimbulkan dampak yang berbeda tergantung posisi yang dipegangnya. Di satu pihak para

pengusaha politik baru dapat memperkuat masyarakat sipil namun di lain pihak justru dapat

melemahkan posisi dan peran masyarakat sipil untuk mengkritisi kebijakan Pemda di DOB.

6.2. Relasi Sosial-Politik Antara Masyarakat dengan Pemda

Paling tidak ada lima aspek yang akan dikemukakan di dalam sub bab ini yang

menyangkut aspek: Partisipasi Masyarakat Sipil; Checks And Balances; Aspek Transparansi;

Peran Media Massa; dan Peran Organisasi Masyarakat Sipil.

(1). Partisipasi Masyarakat Sipil

Partisipasi masyarakat sipil (civil society) belum sepenuhnya terjadi dalam proses

perencanaan pembangunan melalui mekanisme musrenbang (musyawarah pembangunan).

Meskipun telah diselenggarakan musrenbang, namun pesertanya masih bersifat elitis. Di

bawah payung UU No. 25 tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

maka ruang partisipasi seharusnya sudah bisa digulirkan. Hanya saja dalam temuan di

sejumlah FGD, praktik partisipasi seperti itu belum bisa berjalan ideal, kalau tak mau disebut

bias elite dan terjadi distorsi dalam proses ini. Apalagi UU No 25 Tahun 2005 belum ada

PPnya dan juga belum disahkannya regulasi ADD (Alokasi Dana Desa). Berkaitan dengan

hal ini, pola partisipasi dalam pembangunan masih lebih kuat nuansa mobilisasinya

dibandingkan dengan kewenangan di dalam proses pengambilan keputusan.

Perkembangan demokratisasi dan partisipasi masyarakat sipil antar wilayah

nampaknya memberi gambaran yang berbeda. Di wilayah yang kekuasaan politiknya

dikuasai oleh kelompok minoritas, seperti di Singkawang yang walaupun mayoritas

penduduknya adalah Suku Cina kekuatan politik dikuasai oleh elite dari Suku Melayu, maka

perkembangan demokrasi dan masyarakat sipil menuju arah yang lebih baik, kritis,

menghendaki transparansi, dan ada tuntutan untuk kesamaderajadan.

Di wilayah semacam ini media massa (Radio, TV, dan Surat Kabar) tidak hanya naik

oplahnya karena pemberitaan tentang aspek-aspek perkembangan pemekaran, namun juga

menjadi alat atau saluran proses kontrol masyarakat sipil terhadap pemerintahan lokal yang

cukup efektif (seperti isu korupsi, perselingkuhan pejabat, dan program pembangunan yang

tidak memihak rakyat).

(2) Checks And Balances

Kualitas legislatif, yang mestinya menjalankan fungsi pengawasan-penganggaran-

pembuat regulasi, nampaknya juga belum memadai untuk melakukan fungsi checks and

balances. Kecuali di Bau-Bau, Buton Baru, Sambas, dan Singkawang, kapasitas legislatif

juga belum optimal. Produk hukum yang dominan dikeluarkan (diperdakan) paling dominan

adalah Perda APBD dan soal Tatib.

Selain itu dapat pula dikemukakan bahwa proses kontrol oleh DPRD (sebagai

perwujudan dari checks and balances) yang biasanya diwarnai oleh pertentangan dan konflik,

namun pada ujung-ujungnya bermuara pada tawar-menawar untuk berbagi anggaran demi

kepentingan eksekutif dan legislatif. Bahkan bisa jadi proses checks and balances jutru

Page 38: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 37

berwujud sebagai konspirasi untuk saling mendukung demi kepentingan masing-masing

pihak.

(3) Aspek Transparansi

Aspek transparansi belum bisa optimal dilakukan karena informasi kebijakan publik

baru bisa diakses ketika proses pembuatan LPJ Bupati tidak terpublikasikan dengan dalih

belum diperiksa oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).24

Dengan tidak bisa diaksesnya LPJ

maka masih harus dipertanyakan aspek akuntabiltas yang juga belum optimal. Peran media di

DOB cukup baik dalam arti bahwa kini media telah memberitakan peristiwa-peristiwa yang

terjadi di masing-masing DOB. Namun ada kalanya media juga digunakan sebagai

advertorial bagi pihak-pihak yang bertikai. Fenomena seperti ini telah meletakkan media

cetak sebagai bagian dari komodifikasi para politisi melalui media.

(4) Peran Media Massa

Bagi media massa, transparansi setelah mekar memang sudah semakin terbuka dan

intens. Memang perlu menjadi catatan apakah memang media massa cetak telah melakukan

prinsip cover both sides atau masih berorientasi sumber kebenaran ada pada pemerintah;

Beberapa media massa cetak (tabloid) yang beredar di Bau Bau, Wakatobi, dan Bombana

adalah: Kendari Pos, Kendari Ekspres dan Media Sultra. Media ini biasanya banyak beredar

di kantor-kantor pemerintah dan baru tiba sehari setelah terbit. Di Kabupaten Bengkayang

pernah terbit Bengkayang Post, namun kemudian tidak terbit lagi karena kurangya pelanggan

dan permasalahan kurangnya usaha untuk memanfaatkan media koran sebagai alat kontrol

kekuasaan.

(5) Peran Organisasi Masyarakat Sipil

Pada masa pra mekar telah muncul perwakilan-perwakilan organisasi masyarakat dan

partai politik. Persoalannya adalah bahwa perwakilan-perwakilan organisasi kemasyarakatan

dan politik (partai) belum optimal melaksanakan fungsinya. Harus diakui bahwa peran riil

organisasi kemasyarakatan (CSO – Civil Society Organization) pada era pra mekar telah

mulai terlihat. Namun pasca mekar, peran ini belum optimal, bahkan beberapa organisasi

tersebut tidak aktif. Keberdayaan masyarakat sipil (civil society) juga kuat diwarnai dengan

patrimonialisme dan patronase. Belum cukupnya dasar pendidikan politik menyebabkan tidak

jarang bahwa proses penyelesaian perbedaan pendapat lebih sering disajikan dalam bentuk

demonstrasi ketimbang dalam bentuk konsultasi publik. Meski demikian, untuk kasus

Wakatobi yang merupakan wilayah konservasi internasional, telah terjadi kolaborasi CSO

yang memfasilitasi pemerintahan lokal-penduduk lokal-DPR lokal-negara pusat dalam

menyiapkan draft perda tentang zonasi laut di lingkup Kepulauan Tukang Besi dan sekaligus

draft perda tata ruang darat(-an). Kondisi civil society (melalui Paguyuban Moronene) di

Bombana yang semula begitu proaktif sebelum mekar hingga menjelang mekar, kemudian

menjadi redup pasca mekar. Para aktor kunci masyarakat sipil (civil society) di Wakatobi

lebih banyak berdomisili di Kendari ketimbang di Wakatobi. Kasus terakhir ini juga

menggambarkan ketergantungan masyarakat sipil di Wakatobi pada masyarakat sipil yang

ada di Kendari. Di DOB Kabupaten Bengkayang, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang

semula aktif memperjuangkan pemekaran wilayahnya, sesudah pemekaran kemudian menjadi

tidak aktif. Adanya rasa puas bahwa telah berhasil mendorong terbentuknya pemerintahan

dari etnis di wilayahnya dan adanya patronase dari elite lokal menyebabkan organisasi

masyarakat sipil ini menjadi enggan untuk melakukan counter balances terhadap

pemerintahan daerah.

24

Periksa kasus LPJ Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bengkayang..

Page 39: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 38

Dengan kondisi seperti di atas sebenarnya dapat dinilai bahwa promosi governance

dengan mengandalkan civil society sebagai yang berdaulat patut dipertanyakan, lantaran

peran partisipasi telah dipangkas atau tidak sungguh-sungguh diterapkan. Dalam konteks

demokrasi, maka dengan menguatnya oligharki seperti ini, dapat diduga kuat bahwa telah

terjadi pembajakan demokrasi (hijacked democracy), sehingga representasi politik tidak

dijalankan secara sungguh-sungguh.

6.3. Relasi Sosial-Politik Antar Pemda

Dua hal yang akan dikemukakan di dalam sub bab relasi sosial-politik antar pemda

yang terjadi di wilayah penelitian yaitu; Adanya perebutan aset antar-pemda; Penetapan

ibukota yang memunculkan sengketa antar kabupaten; Munculnya konflik perbatasan; dan

Kerjasama antar-daerah.

(1). Perebutan Aset-Aset Daerah

Kasus perebutan aset terjadi antara pihak DOB Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau

dan antara DOB Kabupaten Sambas dengan Kota Singkawang, karena perbedaan penafsiran

atas regulasi pembagian aset. Bagi DOB Kabupaten Buton (atau Sambas), pembagian aset ini

tidak bisa dipersamakan antara pemekaran menjadi Kabupaten Baru dan pergantian status

Kota Administratif menjadi Kota Otonom Bau-Bau (atau Singkawang). Sementara bagi Bau-

Bau (atau Singkawang) mendasarkan pada UU No. 22/ 1999. Berbeda halnya dengan

perpindahan aset di Kabupaten Wakatobi. Di Kabupaten ini telah diklaim dua pusat wisata

laut (Operation Wallacea dan Tomia Dive Resort) yang semula menjadi otoritas pemerintah

provinsi dan pusat sebagai bagian dari proyeksi sumber PAD terbesar. Namun dalam

pelaksanaannya dua kawasan tersebut terkesan belum tersentuh oleh pihak Pemkab

Wakatobi.

(2). Penetapan Lokasi Ibukota Kabupaten Baru yang Memunculkan Masalah

Penetapan sebuah ibukota kabupaten, nampaknya perlu ketegasan dan pertimbangan

yang matang. Penetapan ibukota kabupaten tersebut merupakan syarat yang tak bisa ditawar

di dalam proses pemekaran daerah. Meskipun pada akhirnya penetapan sebuah ibukota telah

dinyatakan definitif, namun ketegangan di antara para pejuang pemekaran tak dapat

dihindarkan. Beberapa ketegangan tersebut diantaranya adalah:

(a). Terjadinya ketersendatan pembangunan di kawasan perbatasan dan pembangunan

infrastruktur DOB.

(b). Perasaan tak puas tetapi pasrah dengan keputusan penetapan ibu kota.

(c). Perasaan tak puas, tetapi masih berupaya untuk mengubah lokasi ibu kota.

Ketegangan di atas dimungkinkan karena ternyata calon lokasi ibu kota lebih dari satu

nominasi. Dalam hal ini dapat dimengerti bahwa sebelumnya telah terjadi kesepakatan

penentuan sebuah ibukota pertama-tama lantaran karena syarat penilaian administratif fisik.

Hanya saja kesepakatan ini masih menyisakan agenda tersebunyi terkait soal representasi

identitas daerah Buton atau Sambas.

Contoh yang cukup menonjol dalam hal ini adalah kontestasi antar-elite pejuang

pemekaran di DOB Kabupaten Buton yang semula telah diputuskan oleh DPRD bahwa ibu

kota Kabupaten Buton adalah di La Ompo, Kecamatan Batuaga,25

tetapi yang kemudian

dijadikan ibu kota adalah Pasar Wajo. Di Bombana, meskipun telah dicapai keputusan

tentang penetapan lokasi ibu kota kabupaten, pertarungan mengenai lokasi ibukota masih

menyisakan gemanya sebagai dampak pemekaran. Dalam kampanye pilkada bupati/wakil

25

Periksa Keputusan DPRD kabupaten Buton Nomor 14/DPRD/1999 tertanggal 14 Agustus 1999 yang

menetapkan Laompo di Kecamatan Batuaga sebagai ibukota Kabupaten Buton.

Page 40: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 39

bupati, untuk mencari dukungan suara pemilih dari komunitas Bugis di Poleang dijanjikan

pemindahan lokasi ibu kota dari Kasipute ke Poleang, sementara untuk mencari dukungan

suara pemilih dari komunitas Moronene dijanjikan lokasi ibukota itu tetap di Kasipute.

Tentang lokasi ibu kota itu juga masih mencuatkan dampaknya sesudah pemekaran, yaitu

dalam penempatan lokasi gedung Polres Bombana yang ditetapkan 50 km jauhnya dari

Kasipute, sehingga gedung yang akan dibangun untuk Kantor Kabupaten akan ditempatkan

tidak jauh dari lokasi gedung Polres. Ini adalah keputusan DPRD Bombana yang dulu

sebagian anggotanya menginginkan lokasi ibu kota kabupaten berada di Poleang dan bukan

di Kasipute. Nuansa pertarungan yang muncul di masa proses pemekaran masih

menggemakan dampaknya sesudah pemekaran terwujud.

Gambaran yang hampir sama juga terjadi terhadap penetapan Ibu Kota Kabupaten

Sambas yang semula sudah ditetapkan di Sambas kemudian diubah menjadi di Singkawang.

Penetapan ibukota yang terakhir ini menimbulkan ketegangan karena hampir sebagian besar

pembangunan fisik lebih banyak diletakkan di Singkawang. Kondisi ini menimbulkan

ketidakpuasan dan semangat untuk mengembalikan ibu kota Kabupaten Sambas dari

Singkawang ke Sambas.

(3) Konflik Batas Wilayah.

Pemekaran yang lebih berarti sebagai pemecahan wilayah, selalu memunculkan

permasalahan di dalam penentuan batas wilayah baru. Penentuan batas wilayah tidak hanya

terjadi pada tataran kabupaten namun juga terjadi pada aras antar kabupaten (antar penduduk

dari wilayah kabupaten yang berbeda). Di sini penentuan batas wilayah selalu mengandung

potensi bagi munculnya konflik yang berkepanjangan. Sengketa batas wilayah terjadi baik

antara kelompok di Kabupaten Bengkayang dengan kelompok di Kota Singkawang.

Demikian pula yang terjadi antar-kecamatan atau antar-individu di dalam Kabupaten Sambas.

Di Buton, sengketa perbatasan terjadi antara Kota Otonom Bau-Bau dengan DOB Kabupaten

Buton. Konflik semacam ini bisa berakibat terabaikannya pelayanan publik dan melemahnya

kerjasama antar daerah.

Ketegangan di dalam penentuan batas wilayah sebenarnya sudah terjadi sejak lama

karena berkaitan dengan aspek ekonomi, namun menjadi semakin merebak ketika pemekaran

dijalankan. Beberapa sebab ketegangan berkaitan dengan tapal batas kepemilikan lahan, yang

secara laten ada, di antaranya adalah:

(a). Semakin komersialnya petani di wilayah perbatasan antar-desa atau antar kecamatan.

(b). Masuknya perkebunana baru (terutama kelapa sawit) yang berusaha untuk menyewa

atau membeli lahan pertanian, nampaknya menjadi penyebab utama semakin

komersialnya petani di wilayah yang bersangkutan. Para pengusaha ini di dalam

mengolah lahan selalu menggunakan alat berat untuk menggarap tanah (traktor).

Penggunaan alat berat ini juga menyebabkan tapal batas kepemilikan menjadi hilang.

(c). Ketidaktuntasan proses penentuan tapal batas oleh Dinas Pertanahan (sertifikat tanah)

sebelum pemekaran terjadi (meninggalkan bom waktu). Selain itu ketiadaan bukti

/basis legalitas yang sah dalam penentuan batas menyebabkan proses jual-beli dan

penggarapan dapat menimbulkan konflik.

(d). Adanya perebutan sumber ekonomi dan perebutan memperoleh akses ke laut atau

perebutan lahan untuk perkebunan menyebabkan petani semakin komersial dan

semakin mempertinggi ketegangan dan konflik antar kelompok masyarakat

(e). Sentimen etnis (etnosentrisme) yang ada sejak sebelum pemekaran nampaknya

menjadi semakin berkembang dengan adanya pemekaran yang secara geografis

pemekaran tersebut berujung pada pemisahkan penduduk menurut kelompok etnis.

Page 41: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 40

Kesulitan di dalam menafsir batas administrasi dimunculkan oleh lemahnya bukti-

bukti resmi kepemilikan atas tanah. Seringkali penetapan batas wialayah yang disepakati

penduduk adalah hanya merupakan kesepakatan lesan yang didasarkan kepada batas-batas

seperti: sungai, pohon, batu, dan lain-lain. Munculnya sengketa tapal batas juga didorong

oleh adanya ketegangan antar DOB khususnya menyangkut letak sumber ekonomi dan PAD.

Pada kenyataannya proses pemekaran memang tidak mempersiapkan diri untuk mengatasi

kemungkinan munculnya sengketa perbatasan, sehingga sengketa perbatasan yang ada

menjadi sulit untuk diselesaikan. Sengketa yang berkepanjangan pada akhirnya akan

menyebabkan terabaikannya kegiatan pelayanan publik di wilayah yang bersangkutan.

(4). Kerjasama Antar Daerah (Pemda).

Dapat dikemukakan bahwa program KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi

Terpadu) Khatulistiwa di Singkawang yang dibentuk tahun 2002 sebagai perluasan dari

KAPET Sanggau th 1998 (berdasarkan Keppres 13 th 1998) tidak ada implementasinya

karena tidak memperoleh dukungan yang memadai dari kabupaten-kabupaten terkait.

Program ini juga gagal dalam menarik para investor.

Pada tahun 2005 upaya penyusunan integrated planning untuk daerah Singkawang,

Sambas dan Bengkayang juga pernah disponsori oleh JICA (Japan International Cooperation

Agency), namun tidak diikuti dengan langkah tindak lanjut yang konkrit karena perhatian

masing-masing kabupaten masih kepada pengembangan dilingkungan masing-masing.

Kerjasama yang terjadi adalah kerjasama antara daerah pemekaran dengan daerah lain

(bukan daerah induk), walaupun masih dalam tahap awal. Sebagai gambaran adalah

kerjasama antara Kabupaten Bengkayang dengan Kabupaten Pontianak dengan

penandatanganan MoU pengelolaan air bersih dan pertambangan (3 April 2007). Demikian

pula kerjasama terjadi antara DOB Kabupaten Buton dengan dua kabupaten lain atau antara

DOB Kabupaten Buton dengan Kota Bau-Bau.

6.4. Relasi Sosial-Politik Antara Daerah dengan Pemerintah Pusat

Dalam perkembangannya, kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terkait dengan

territorial reform-nya direspon oleh daerah secara berbeda. Respon daerah tersebut terjelma

ke dalam alasan atau faktor pendorong maraknya keinginan daerah untuk melakukan

pemekaran daerah, yaitu: 1) Motivasi untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi

administrasi pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang

menyebar, dan ketertinggalan pembangunan di daerah-daerah; 2) kecenderungan untuk

homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat pendapatan, dll; 3) adanya

kemanjaan fiskal yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan bagi daerah-daerah

pemekaran (seperti disediakannya dana alokasi umum bagi pemerintah daerah otonom), bagi

hasil (revenue sharing) sumber daya alam, dan disediakannya sumber-sumber pendapatan

asli daerah); 4) motif politik ekonomi (bureaucratic and political rent-seeking) dari

pemekaran daerah. Disamping itu masih ada motif “tersembunyi” didorongkannya upaya

pemekaran dari pusat, yaitu gerrymander atau usaha-usaha pembelahan daerah secara politik.

Dalam implementasi kebijakan territorial reform di Indonesia dewasa ini,

teridentifikasi tiga pola proses yang teramati. Pertama, proses pemekaran sarat dengan

kolaborasi antar-elite lokal, pengusaha, dan elite nasional. Kondisi seperti ini menyebabkan

biaya pemekaran daerah menjadi tinggi dan pada gilirannya menimbulkan persekongkolan

yang tak sehat. Dalam roundtable disscusion, Percik-DRSP (2007) terungkap bahwa

kolaborasi antara elite-elite dalam pemekaran menjadi arena untuk sharing baik kekuasaan

maupun ekonomi (proyek-proyek) apabila daerah baru terbentuk. Kedua, dalam proses

pemekaran ini sangat kuat nuansa penggunaan paradigma public administration yang

muncul dalam wujud pemenuhan syarat yuridis-formal. Tetapi sebaliknya, terungkap dalam

Page 42: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 41

proses roundtable disscusion,26

meskipun pada tataran kebijakan pemekaran daerah

didominasi oleh logika administratif yang lebih mengedepankan pemenuhan persyaratan

administratif yang bersifat formal, dalam tataran implementasi justru aspek politik yang lebih

dominan dan sering menggeser aspek-aspek formal adminstratif. Proses pemekaran sering

dimanfaatkan sebagai ajang melakukan investasi politik di daerah oleh elite-elite nasional

sehingga pemenuhan tuntutan pemekaran tidak didasarkan pada pertimbangan yang obyektif.

Ketiga, kepercayaan adanya kebesaran masa lalu mendorong keinginan untuk membentuk

provinsi dengan warna etno-kultural dominan. Ingatan kolektif menjadi pengikat untuk

melakukan gerakan bersama untuk membentuk daerah (provinsi) baru. Ingatan kolektif

tersebut semakin memperoleh peluang sebagai dasar untuk memekarkan diri dengan lahirnya

kebijakan desentralisasi. Kebijakan desentralisasi yang dimaksudkan lebih memberi peluang

bagi daerah untuk mengembangkan identitas budaya lokal yang mengekpresikan dirinya

dalam pembangunan telah menjadi pendorong aspirasi kelompok yang selama ini merasa

tertekan dan terpinggirkan untuk memiliki unit wilayah administratif yang mewakili ingatan

kolektif tentang batas-batas territorial sebelumnya.

Seperti diketahui, pemekaran daerah di Indonesia sampai saat ini masih mengacu pada

Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 199927

sebagai penjabaran dari UU No. 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam

perspektif nasional, sebagaimana termuat dalam PP No. 129/1999, tujuan pembentukan,

pemekaran, dan penggabungan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

melalui peningkatan pelayanan, percepatan demokrasi, percepatan pertumbuhan

perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan

ketertiban, serta peningkatan hubungan serasi antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan

demikian, setiap kebijakan pemekaran dan pembentukan daerah baru harus menjamin

tercapainya akselerasi pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat. Proses pemekaran

seringkali hanya merupakan agenda elite yang menjadi inisiator-inisiator pemekaran. Inisiator

ini bisa berupa elite daerah di daerah atau elite daerah yang ada di Jakarta. Elite daerah yang

ada di daerah ini meliputi para politisi lokal, ekskutif lokal (camat yang daerahnya akan

menjadi wilayah dari daerah yang akan dimekarkan), pemimpin tradisional, aktivis LSM

maupun para pengusaha lokal yang berharap jika suatu daerah berhasil dimekarkan para aktor

tersebut akan memperoleh sharing baik kekuasaan maupun proyek-proyek. Proses pemekaran

26

Bandingkan dengan Riwanto Tirtosudarmo, 2007. Pemekaran sebagai Arena Perebutan dan Pembagian

Kekuasaan – Kritik terhadap Dominasi “Public Administration School” dalam kebijakan Desentralisasi di

Indonesia. Percik-DRSP, Seminar Internasional ke-8. Public administration school yang dmaksudkan Riwanto

adalah: dalam territorial reform ini aspek legal-formal dan administrasi publik ini kemudian melupakan aspek

keruangan (spasial-geografis) dan dimensi sosial-kultural. Konsep yang seharusnya dipertimbangkan, misalnya,

adalah pertimbangan bioregion yang memiliki “ecological boundaries” yang perlu dipertimbangkan sebelum

batas administratif diputuskan. Konsep bioregion inipun sangat erat hubungannya dengan aspek sosio-kultural,

hal.3-6;10-11; Bdk. Gabe Ferazzi, 2007, hal.5; hal 22-23.

27 Keberadaan PP No. 129 tahun 1999 ini oleh beberapa kalangan sudah dianggap tidak relevan lagi untuk

mengatur tentang penataan daerah sehingga muncul dorongan yang kuat untuk mengubah PP No. 129 Tahun

1999 tersebut. Salah satu pihak yang mendorong supaya PP No. 129 Tahun 1999 diuabah adalah Dewan

Perwakilan Daerah. Dalam Pengantar Pandangan dan Pendapat DPD RI terhadap 11 RUU Inisiatif DPR RI

tentang Pembentukan Daerah tanggal 6 Meret 2007, DPD mendesak supaya penyempurnaan PP No. 129 Tahun

1999 segera dilakukan mengingat semakin kompleknya persoalan pemekaran daerah. Penyempurnaan yang

didesakkan oleh DPD ini termasuk juga dipikirkan tentang model pembentukan daerah baru melalui masa

persiapan dalam kurun waktu 1-2 tahun dan juga mengoptimalkan dan mensinergiskan peran lembaga negara

yang ada.

Page 43: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 42

tidak dilakukan melelui proses horizontal learning atau kesediaan saling belajar dari para

elite daerah sehingga hanya akan mengulang kesalahan dan menumpuk persoalan.28

Persoalan yang menyangkut relasi sosial-politik antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah Otonomi Baru akan selalu terkait dengan gencarnya usaha daerah untuk

menyerap dan memanfaatkan DAU dan DAK dan Inefisiensi pelayanan publik,

(1) Pemanfaatan DAU dan DAK

Turunnya DAU dan DAK secara langsung ataupun tidak langsung menjadi sumber

dana bagi geliat ekonomi dan pembangunan. Sejumlah program pembangunan dan

pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan), perkantoran pemerintahan, dan sarana

pelayanan publik lain (rumah sakit atau puskesmas), dapat dilaksanakan karena adanya dana

tersebut. Pelaksanaan proyek pembangunan tersebut selain secara langsung memberikan

kesempatan kerja dan pendapatan bagi para pekerja di dalam proses pembangunannya juga

menyebabkan pelayanan publik menjadi lebih baik. Selain itu DAU juga memungkinkan

pemerintah daerah mengangkat pegawai baru yang jumlahnya bisa mencapai 500 orang

pertahun.

Dengan demikian adanya DAU dan DAK memang benar-benar mampu memberikan

dampak positif bagi daerah. Dalam perkembangannya adanya DAU dan DAK ini seringkali

memang menjadi tujuan utama dimekarkannya suatu daerah, dengan tanpa memperdulikan

beban negara yang dapat semakin besar.

Walaupun adanya DAU dan DAK memberi dampak yang benar-benar positif bagi

perkembangan DOB namun dilihat dari semakin beratnya beban anggaran yang haruys

ditanggung oleh negara maka aspek efisiensi pemanfaatan DAU dan DAK selalu menjadi

pokok relasi sosial-politik antara DOB dan Pemerintah Pusat yang kurang harmonis.

(2) Inefisiensi Pelayanan Publik

Begitu gencarnya pembangunan prasarana perkantoran untuk memberi pelayanan

publik, kadang-kadang untuk wilayah tertentu menjadi tidak efisien karena jumlah yang

dilayani terasa terlalu sedikit. Kondisi ini terjadi di dua wilayah penelitian (Kalimantan Barat

dan Sulawesi Tenggara). Sebagai gambaran dapat dikemukakan di Kabupaten Bengkayang

terdapat kecamatan baru (baru dibentuk) yang hampir satu hari penuh tidak dikunjungi oleh

rakyat. Tersedianya aparat birokrasi di kecamatan yang bersangkutan kurang dimanfaatkan

karena sedikitnya jumlah warga yang haris dilayani dan tidak adanya program pembangunan

yang jelas yang seharusnya mereka jalankan.

Terlepas dari dampak positif yang memungkinkan munculnya efektifitas pelayanan

publik, namun untuk wilayah tertentu pelayanan publik menjadi tidak efektif dan lebih

menjauhkan rakyat dari pusat pemerintahan. Kasus masyarakat Kecamatan Sungai Raya yang

semula memperoleh pelayanan publik yang lebih baik dan lebih dekat dengan pusat

pemerintahan, sesudah ada pemekaran wilayah justru menjadi lebih jauh dari pusat

pemerintahan.

Adanya resistensi warga terhadap inefisiensi pelayanan publik, seperti kasus di

Kecamatan Sungai Raya, sebenarnya tidak hanya dilandasi ketidakpuasan atas tidak

efisiennya pelayanan publik oleh pihak kabupaten namun juga didorong oleh adanya

ketidakpuasan dan kekawatiran oleh adanya perubahan status kemapanan (kekuasaan). Warga

Sungai Raya yang semula merupakan etnis mayoritas, dengan adanya pemekaran

menyebabkan mereka menjadi kelompok minoritas di Kabupaten Bengkayang.

28

Hasil Roundtabel Discussion Percik-DRSP, “Mengembangkan Kebijakan Penataan Daerah yang Peka

Terhadap Perspektif Lokal”, diselenggarakan di Kampoeng Percik pada tanggal 20 Juli 2007.

Page 44: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 43

Inefisiensi pelayan publik seperti kasusu diatas memungkinkan adanya relasi sosial-

politik antara Pemerintah Pusat dengan DOB menjadi kurang harmonis. Walaupun demikian

tindak lanjut (usaha) untuk mengatasi masalah ini nampaknya belum jelas.

6.5. Relasi Sosial-Politik Antar Pemda Dengan Negara Lain

Relasi sosial-politik antara DOB dengan pihak luar negeri lebih banyak terjadi kalau

DOB tersebut berbatasan langsung dengan wilayah negara lain. Kabupaten Bengkayang dan

Kabupaten Sambas mempunyai wilayah perbatasan dengan Nagera Malaysia yang cukup

panjang.

Di wilayah perbatasan, di samping terdapat jalan utama dan jalan formal untuk

pelintas batas, juga terdapat sejumlah jalan tidak formal yang bisa dilalui pelintas batas secara

ilegal. Masuknya sejumlah TKI dari Indonesia ke Malaysia sudah bukan rahasia lagi

sehingga sering menimbulkan ketegangan. Namun demikian jalan-jalan yang lintas batas

yang tidak formal tersebut juga menjadi jalan utama perdagangan gelap yang memang sangat

menguntungkan bagi para spekulan. Biasanya dari Malaysia akan masuk ke Indonesia

barang-barang makanan dalam kaleng atau kemasan plastik yang canggih dan dengan harga

yang lebih murah dari harga di Indonesia, sedangkan dari Indonesia akan keluar hasil bumi

yang harganya sangat murah. Penanganan pelintas batas informal (selain TKI gelap) tersebut

sampai sekarang nampaknya tidak dapat ditangani secara intens karena proses lintas batas

tersebut merupakan proses lintas batas yang sudah membudaya yang melibatkan dua rumpun

melayu yang “sesaudara”.

Kerjasama dengan luar negeri yang lebih formal sudah semakin nyata dan cepat,

terutama dengan mulai dibangunnya jalan menuju perbatasan. Di Kabupaten Bengkayang

nampak adanya persiapan untuk membuka lintas batas formal (di Kecamatan Jagoibabang).

Kerjasama yang lebih formal tersebut terjadi dengan munculnya (dengan mudah) sejumlah

pengusaha Malaysia untuk membangun proyek-proyek pembangunan di Kabupaten

Bengkayang dan Sambas). Yang menarik adalah bahwa adanya gejala bahwa begitu

mudahnya warganegara Malaysia dengan kendaraannya masuk ke Indonesia (sampai ke

Pontianak) namun begitu sulitnya warganegara Indonesia untuk masuk ke Malaysia.

Persoalan yang sudah berbau politik ini nampaknya hanya dapat diselesaikan dengan pihak

Pemerintah Pusat. Selama belum ada penyelesaian politis maka proses-lintas batas yang

bersifat informal, ilegal, dan diskriminatif tersebut akan terus berjalan.

7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

Desentralisasi atau proses pemberian (pengembalian) kewenangan untuk mengelola

pemerintahan diaras non pusat (provinsi atau Kabupaten/kota) secara otonom akan selalu

terkait dengan suatu proses terik menarik antara kepentingan nasional (pusat) dan

kepentingan lokal (daerah). Oleh sebab itu, kesimpulan hasil dan rekomendasi dari penelitian

pemekaran daerah sebenarnya tidak akan bersifat hitam putih yang terpisah secara tegas,

namun merupakan gambaran yang tidak tegas (“abu-abu”) bahkan seringkali bisa bersifat

dilematis atau tarik-menarik antara isu dan kepentingan nasional (pusat) dengan isu dan

kepentingan lokal (daerah). Isu atau kepentingan nasional (pusat) yang biasanya bersifat:

memelihara pluralisme, kesatuan nasional, dan lebih menekankan efisiensi pelayanan publik,

akan berhadapan dengan isu atau kepentingan lokal yang biasanya bersifat ingin

menunjukkan identitas atau dignity, bervariasi dan spesifik, serta lebih menekankan

efektifitas pelayanan publik.

Demikian pula proses-proses otonomi daerah, bukanlah merupakan sesuatu yang

bersifat sebagai final product (sesuatu yang bersifat final atau selesai) tetapi bersifat on going

(atau sesuatu yang terus berjalan). Perkembangan hasil dari proses-proses pemekaran daerah

Page 45: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 44

sangat tergantung dari kemampuan dan kapasitas crafting masing-masing daerah di dalam

menyelesaikan permasalahan pemekaran daerah. Dengan demikian hasil yang diperoleh dapat

berbeda dari ssatu daerah ke daerah lain. Selain itu hasil dan perkembangan pemekaran

daerah juga bisa berubah dari waktu ke waktu. Hasil pemekaran bisa terlihat negatif karena

adanya peran aktor tertentu dan pada kondisi tertentu tetapi pada akhirnya bisa saja pada

perkembangannya menjadi bersifat positif oleh adanya aktor lain atau kondisi lain.

Beberapa hasil penelitian yang diperoleh dan rekomendasi yang dapat dikemukakan

di antaranya dapat dilihat pada uraian skematis di bawah ini.

KESIMPULAN REKOMENDASI

Adanya keterbatasan kapasitas

Pemerintah Pusat untuk memahami

dinamika pemekaran di aras daerah.

Adanya kecenderungan Pemerintah Pusat

untuk menyeragamkan keputusan dan

prosedure pelaksanaan pemekaran

daerah.

Pemerintah sebaiknya segera membuat

kebijakan yang bersifat umum menyangkut

institutional design (perencanaan

kelembagaan) pemekaran daerah.

Kebijakan pemekaran daerah yang lebih

rinci ditetapkan oleh otoritas pemerintahan di

atasnya, seperti:

a. Pemerintah provinsi oleh pusat

b. Pemerintaha Kabupaten/Kota oleh

Provinsi

c. Pemerintahan Kecamatan/Desa/ Kelurahan

oleh Kab/Kota

Dipandang dari sudut kepentingan politik

daerah dan socio-cultural daerah (seperti

dignity rakyat dan identitas daerah),

pemekaran adalah penting, namun

demikian pemekaran daerah memang

membutuhkan biaya tinggi dan dukungan

dari pusat yang sekaligus juga

membebani bagi pusat

Pemekaran daerah, untuk sementara ini, tidak

perlu dihentikan tetapi harus dilanjutkan

dengan lebih meningkatkan efisiensi

organisasi pemerintahan daerah dan

pengorganisasian proses-proses pemekaran

itu sendiri. Prosedure dan sistem pemekaran

daerah perlu terus dikembangkan kearah

efisiensi.

Fenomena pemekaran nampaknya akan

terus berlanjut sampai ke taraf yang tidak

rasional. Penambahan jumlah Daerah

Otonomi Baru, pada akhirnya akan

membebani Anggaran Negara dan

sekaligus menyebabkan tidak efisiennya

pelayanan publik.

Hal ini bisa terjadi karena daerah

memandang bahwa pemekaran daerah

merupakan satu-satunya jalan untuk

mengembangkan diri, memberi

pelayanan publik yang lebih efektif, dan

sekaligus dapat digunakan sebagai jalan

untuk menyerap dana dari pusat secara

legal.

Kalau selama ini pemerintah pusat hanya

mempunyai kebijakan menyangkut

pemekaran daerah maka perlu segera dibuat

kebijakan yang menyangkut pembatasan

jumlah daerah yang dapat mekar atau mekar

kembali (jumlah maksimal yang dapat

mekar).

Di dalam hal ini kaidah struktur disinfektif

atau cost and responsibility dapat digunakan.

Perlu pengaturan kembali persyaratan dan

perhitungan pemberian DAU dan DAK yang

lebih condong ke usaha untuk memperbesar

pelayanan publik dan bukan pada

pengembangan administrasi pemerintahan

atau mengembangkan kekuasaan administrasi

daerah).

Diperlukan kebijakan yang memungkinkan

adanya pengembangan pelayanan publik

Page 46: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 45

lewat pemekaran kecamatan yang tidak

disertai dengan pemekaran daerah

(Kabupaten /Kota)

Di beberapa wilayah ditemukan adanya

keengganan untuk kerjasama antar-

daerah yang tidak berjalan dengan baik

(bahkan konflik).

Makna UU No. 32 Tahun 2004 yang

menyangkut kerjasama lintas daerah ,

terlalu banyak diambil-alih oleh

pemerintah di atasnya dan usaha ini tidak

berjalan dengan baik.

Dalam rangka mengembangkan kerjasama

antar (lintas) daerah yang baik, diperlukan

adanya pembebasan (perlu ruang) bagi

daerah untuk mengembangkan dan

melaksanakan prakarsa lokal. Di dalam hal

ini pengembangan kerjasama antar daerah,

tidak hanya harus menanti pengambilalihan

oleh pemerintahan di atasnya namun harus

dilakukan oleh mereka sendiri sesuai dengan

kondisi dan permasalahan spesifik di daerah

masing-masing.

Di beberapa daerah, sengketa antara

Daerah Otonomi Baru dengan Daerah

Induk selalu terjadi. Hal ini nampaknya

terkait dengan tidak adanya penjabaran

institusi kelembagaan yang memberi

makna bahwa Daerah Otonomi Baru

perlu didukung dan bukan dianggap

sebagai kompetitor. Daerah Induk harus

mempunyai kewenangan dan kapasitas

untuk mengembangkan kerjasama dan

pengembangan bersama.

Perlu dirumuskan suatu kebijakan

menyangkut manajemen transisi, yang

mengatur secara kelembagaan semua proses

pemekaran kedepan terutama terkait dengan

kerjasama antar daerah dan pengembangan

bersama.

Ditemukan adanya ketidak jelasan

tentang wilayah yang dianggap Daerah

Induk dan wilayah yang dianggap Daerah

Otonomi Baru (anak). Demikian pula

menyangkut penetapan daerah dijadikan

ibukota. Hiruk-pikuk dan keruwetan

pemekaran daerah tersebut bisa

disebabkan oleh tidak adanya

Institutional design pemekaran (terutama

pada masa transisi), dan ketidaktepatan

manajemen yang tidak tuntas (walaupun

ada juga konflik di daerah menyebabkan

keruwetan diatas).

Perlu dirumuskan kebijakan institutional

design yang menyangkut kejelasan dan

konsekwensi Penetapan Darah Induk dan

Penetapan Ibukota

Berbagai karakteristik lokal memiliki

pengaruh yang besar terhadap proses

sosial politik pembentukan daerah

otonom baru. Era reformasi dan semangat

desentralisasi merupakan momentum

perwujudan dari keinginan memekarkan

diri yang dalam berbagai daerah telah ada

di dalam masyarakat. Peraturan

perundang-undangan tentang pemekaran

sekedar dipakai sebagai alat legitimasi

legal-formal oleh para elit politik, baik

lokal maupun nasional, untuk mencapai

Format pemekaran wilayah (territorial

reform) di masa depan harus

mempertimbangkan secara sungguh-sungguh

adanya keragaman ekologi maupun sosio-

kultural yang merupakan karakteristik lokal.

Tanpa adanya pertimbangan akan pentingnya

karakteristik lokal, setiap perundangan dan

peraturan tentang desentralisasi dan

pemekaran wilayah (territorial reform)

hanya akan menjadi kerangka legal-formal

yang dipakai sebagai alat legitimasi untuk

membentuk daerah otonom baru demi

Page 47: Report on Socio-Political Implications of Pemekaran · PDF fileBertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan ... bangsa Indonesia menaruh harapan besar

Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton 46

tujuan pemekaran. kepentingan-kepentingan elite politik belaka

(elite captures).

Desain desentralisasi dan pemekaran

wilayah (territorial reform) tidak

memberi kesempatan bagi

teraktualisasinya potensi daerah dan

masyarakat lokal (rakyat) sebagai

representasi dari masyarakat sipil (civil

society).

Selain itu dengan kerangka legal-formal

yang ada justru mendorong berkembang

dan menguatnya sentimen etno-kultural

yang sempit yang mendorong

terfragmentasinya wilayah geografis

berdasarkan batas-batas etno-kultural

sempit tanpa mempertimbangkan

viabilitas dan interkoneksitas ekonomi

antar daerah.

Kebijakan desentralisasi dan pemekaran

perlu didesain ulang (redesign) dengan lebih

membuka diri untuk berkembangnya ruang

publik, yang memungkinkan lahirnya check

and balances.

Selain itu, pada skala makro, diperlukan

“rethinking” tentang konsep desentralisasi

yang memungkinkan dikembangkannya

desain-desain pemekaran wilayah (territorial

reform) yang berbasis “region” dan

“regionalism” mengingat kompleksnya

konfigurasi geografis, demografis maupun

kultural di Indonesia.

Dilihat dari kacamata daerah (rakyat),

pembentukan kabupaten baru yang

disertai dengan pengembangan

kecamatan baru, pada umumnya

menyebabkan pelayanan publik menjadi

lebih dekat kepada masyarakat dan

manfaatnya dapat lebih langsung

dirasakan oleh masyarakat. Namun

demikian efisiensi pelayanan publik perlu

diperhatikan (rasio jumlah penduduk

yang dilayani dengan jumlah pelayan

publik).

Selain itu, resentralisasi pelayanan publik

ke aras kabupaten (seperti pengurusan

KTP, KK, dll) menyebabkan

pembentukan kecamatan baru dan

pelayanan publik menjadi tidak efektif

lagi.

Perlu adanya (penetapan) kebijakan (bisa

sampai kebijakan di aras nasional) beserta

konsekwensinya yang memberikan

kewenangan yang lebih besar bagi kecamatan

baik di Daerah Otonomi Baru maupun di

Daerah Induk (daerah lain) untuk

memberikan pelayanan publik.

Selian itu dipandang perlu adanya perumusan

collective designing secara partisipatoris

yang tidak hanya ada pada tataran grand

design di tingkat pusat, tetapi juga grand

design di tingkat provinsi dan

kabupaten/kota. Dalam perumusan kebijakan,

tujuan, dan proses pemekaran daerah,

seharusnya juga diperhatikan dan

diakomodasi kepentingan kelompok yang

selama ini terpinggirkan

*****

.