rencana wajib pajak warteg
DESCRIPTION
Rencana Wajib Pajak WartegTRANSCRIPT
RENCANA PEMBERLAKUAN WAJIB PAJAK
BAGI WARUNG TEGAL (WARTEG) DI DKI JAKARTA
Oleh
Ignatius Adisurya Kantus (120620120001)
Aulia Beatrice Brilliant (120620120008)
Fajar Santoso (120620120002)
Abstrak
Rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta menerapkan peraturan wajib pajak bagi warung tegal
(warteg) mendapat respon yang bermacam-macam dari masyarakat, ahli hukum dan tentunya
para pemilik warteg. Peraturan ini dianggap telah menyakiti sisi-sisi keadilan dan hanya
menambah penderitaan bagi rakyat kecil. Oleh karena itu, dalam bahasan ini kami mencoba
meninjau dari sisi filosofis, yuridis dan sosiologis terhadap rencana tersebut.
Kata kunci: Pajak, Warung Tegal
1. Pendahuluan
Era Otonomi daerah yang secara resmi mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari
2001 menghendaki daerah untuk berupaya secara optimal mencari sumber penerimaan yang
dapat membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan
dan pembangunan. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
menetapkan bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pajak daerah
dan retribusi daerah sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari daerah
itu sendiri dan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.
Pemberian kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi
daerah telah mengakibatkan pemungutan berbagai jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang
berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pemungutan ini harus dipahami oleh
masyarakat sebagai sumber penerimaan yang dibutuhkan oleh daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah. Untuk mengatur tentang pemungutan pajak daerah dan
MAKSI Unpad XXIV © 2012 1
retribusi daerah, pemerintah bersama dengan DPR telah mengeluarkan UU No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Sedangkan sebagai aturan pelaksanaan UU
No. 28 Tahun 2009 adalah berdasarkan pada PP No. 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pemanfaata Insentif Pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Pajak yang
diperbolehkan untuk dipungut oleh daerah sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 28 Tahun
2009 mencakup pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan
bakar kendaraan bermotor, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak
penerangan jalan, pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, pajak pengambilan dan
pengolahan bahan galian golongan C.
Dengan melihat kondisi DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus sebagai pusat
industri, perdagangan dan jasa menjadikan peluang bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI
Jakarta untuk menggali pajak daerah yang salah satunya berasal dari sektor restoran (dimana
antara lain termasuk warung tegal atau warteg). Secara legal, pengenaan pajak ini difasilitasi
Bagian Kedelapan mulai pasal 37 sampai dengan pasal 41 dari UU No. 28 Tahun 2009. Namun
rencana Pemprov DKI Jakarta tersebut mendapatkan respon yang sangat keras dari para pemilik
warteg. Mereka beranggapan bahwa pajak bagi warteg akan mengurangi pendapatan mereka dan
tidak berpihak pada rakyat kecil.
Kontroversi mengenai rencana penerapan pajak bagi warteg ini ditanggapi pula oleh
masyarakat luas yang mengakibatkan timbulnya pihak pro dan kontra terhadap kebijakan
Pemprov DKI Jakarta tersebut, sehingga menggugah kami untuk membahasnya lebih jauh
tentang penerapan PDRD khususnya bagi warteg bila ditinjau secara filosofis, yuridis dan
sosiologis. Diharapkan tulisan ini mampu memberikan gambaran dan kontribusi bagi masyarakat
luas dalam memahami permasalahan pajak bagi warung tegal ini.
2. Tinjauan Umum
2.1. Pajak Pertambahan Nilai
Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat
Indonesia. Namun belum banyak yang mengenal filosofi di balik pengenaan PPN. Ditinjau dari
ilmu perpajakan PPN termasuk dalam kategori: (1) pajak objektif, (2) pajak atas konsumsi umum
dalam negeri, dan (3) pajak tidak langsung.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 2
2.1.1. PPN Sebagai Pajak Objektif
Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan
oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan,
peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek
pajak.
PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai kewajiban membayar pajak oleh
konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat
penghasilan tertentu. Siapapun yang mengkonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN,
akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang atau jasa tersebut.
Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul
beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk
menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun
konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap
konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama.
Hal ini berbeda dengan pajak subjektif seperti Pajak Penghasilan (PPh) dimana yang
kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan pajak terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh
bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan
memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah.
2.1.2. PPN Sebagai Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri
Di samping sebagai pajak objektif, PPN di Indonesia termasuk dalam kategori pajak atas
konsumsi. Ditinjau dari hukum perpajakan, pajak atas konsumsi adalah pajak yang timbul akibat
suatu peristiwa hukum yang menjadi beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis.
Maksudnya, yang dikenai pajak adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-
barang dalam proses produksi, dan ditujukan pada konsumen akhir. Selama barang-barang itu
masih dalam siklus produksi atau distribusi, pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara
yang dapat dibebankan kepada pembeli berikutnya, melalui mekanisme pengkreditan pajak
masukan. Dalam penjelasan atas Undang-undang PPN, ditegaskan bahwa PPN adalah pajak atas
konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat pada setiap
jalur produksi dan distribusi.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 3
2.1.3. PPN Sebagai Pajak Tidak Langsung
Selanjutnya, selain sebagai pajak objektif dan pajak atas konsumsi, PPN juga termasuk
Pajak Tidak Langsung. Sebagai Pajak Tidak Langsung, beban pembayaran pajaknya dipikul oleh
konsumen, namun penanggung jawab atas penyetoran PPN ke Kas Negara dibebankan kepada
penjual. Dengan kata lain dalam mekanisme pemungutan PPN, pemikul beban pembayaran PPN
dan penanggungjawab penyetoran PPN ke Kas Negara adalah pihak yang berbeda. Faktur Pajak
yang diterbitkan oleh penjual, digunakan sebagai bukti pungutan atas PPN terutang, ketika
menjual Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli atau penerima
BKP atau JKP. Selanjutnya penjual wajib menyetorkan setiap PPN yang dipungut dalam setiap
Masa Pajak ke Kas Negara. Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar PPN terutang yang
tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Faktur pajak itu bagi pembeli adalah bukti
pembayaran pajak. Hal ini beda dengan mekanisme penarikan Pajak Langsung seperti PPh,
dimana orang pribadi atau badan sebagai pemikul beban pembayaran pajak juga dibebani
tanggung jawab atas penyetorannya ke Kas Negara.
2.2. Belanja Makan Minum Tidak Kena PPN
Selama ini masih banyak perdebatan oleh banyak pihak, termasuk di Inspektorat sendiri
banyak terjadi penafsiran yang berbeda, apakah Belanja Makan Minum merupakan obyek PPN
atau bukan. Disatu sisi ada yang beranggapan jika Belanja Makan Minum yang disajikan di
hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya bukan merupakan jenis barang yang
dikenai PPN, tetapi dilain sisi ada juga yang beranggapan bahwa Belanja Makan Minum
merupakan obyek PPN jika belanja makan minum dikonsumsi di tempat, dan masih banyak lagi
penafsiran lainnya.
Banyak luput dari perhatian banyak orang bahwa sebenarnya hal tersebut sudah di
tegaskan dalam UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM. Tegas dinyatakan bahwa: "...
makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya
bukan merupakan jenis barang yang dikenakan PPN.". Oleh karena itu, untuk menyikapi
banyaknya perbedaan penafsiran, maka dikeluarkanlah UU No. 42 Tahun 2009 yang mulai
diberlakukan sejak 1 April 2010 dimana pada pasal 4A ayat (2) kutipan secara lengkap
menyatakan bahwa:
”Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam
kelompok barang sebagai berikut:
MAKSI Unpad XXIV © 2012 4
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya;
b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat
maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa
boga atau katering; dan
d. uang, emas batangan, dan surat berharga.”
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah
merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.
Dengan demikian khusus pengaturan terkait dengan makanan dan minuman sebagaimana
yang tercantum dalam pasal 4A ayat (2) huruf c di atas bukan merupakan obyek PPN. Hal ini
meliputi makanan dan minuman, baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk
makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.
Berdasarkan uraian di atas maka kutipan atas makanan minuman bukan PPN melainkan
Pajak Daerah yang bernama Pajak Pembangunan I disingkat Pb I. Jenis pajak daerah yang
khusus dibebankan pada makanan dan minuman tersebut lebih dikenal dengan Pajak Restoran
dan besarannya ditetapkan oleh masing-masing pemerintahan daerah (Pemerintah
Kabupaten/Kota), sehingga mungkin akan terdapat perbedaan tarif pajak restoran di daerah satu
dengan yang lainnya.
Perbedaan antara PPN dan Pb I hanya pada masalah kewenangan dan administrasi
pemungutannya. PPN merupakan pajak pusat dimana kewenangan dan administrasinya ada di
pemerintah pusat dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal Pajak. Penerimaan dari PPN akan masuk
dalam APBN. Sedangkan Pb I (misalnya Pajak Restoran) merupakan pajak daerah dimana
kewenangan dan administrasinya ada di pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendapatan
Daerah Kota/Kabupaten. Penerimaan dari Pajak Daerah akan masuk dalam APBD sebagai PAD.
2.3. Warteg
Warteg yang merupakan akronim dari Warung Tegal adalah salah satu jenis usaha
gastronomi yang menyediakan makanan dan minuman dengan harga terjangkau. Nama ini seolah
sudah menjadi istilah generik untuk warung makan kelas menengah ke bawah di pinggir jalan,
baik yang berada di kota Tegal maupun di tempat lain. Baik yang dikelola oleh orang asal Tegal
maupun dari daerah lain.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 5
Warung tegal pada awalnya banyak dikelola oleh masyarakat dari dua desa di Kabupaten
Tegal dan satu desa di Kota Tegal yaitu warga desa Sidapurna, Sidakaton Kecamatan Dukuhturi
Kabupaten Tegal dan Krandon. Mereka mengelola warung tegal secara bergiliran (antar keluarga
dalam satu ikatan famili) setiap 3 sd. 4 bulan. Yang tidak mendapat giliran mengelola warung
biasanya bertani di kampung halamannya. Pengelola warung tegal di Jakarta yang asli orang
Tegal biasanya tergabung dalam Koperasi Warung Tegal, yang populer dengan singkatan
Kowarteg.
Hidangan-hidangan di warteg pada umumnya bersifat sederhana dan tidak memerlukan
peralatan dapur yang sangat lengkap. Nasi goreng dan mie instan hampir selalu dapat ditemui,
demikian pula makanan ringan seperti pisang goreng, minuman seperti kopi, teh dan minuman
ringan. Beberapa warung tegal khusus menghidangkan beberapa jenis makanan, seperti sate
tegal, gulai dan minuman khas Tegal teh poci.
Meski banyak yang sukses dan bisa memperbaiki taraf hidupnya dengan membuka
Warteg di Jakarta tapi tidak sedikit pengusaha Warteg yang gagal dan akhirnya bangkrut dan
terpaksa pulang ke kampung halaman. Bahkan karena biasanya modal para pengusaha Warteg
adalah pinjaman dari bank dengan jaminan rumah, tanah, atau sawah milik mereka maka bila
Warteg milik mereka bangkrut banyak dari mereka yang akhirnya rumahnya disita.
3. Kajian Material
3.1. Kajian Secara Filosofis
Ada dua faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak daerah. Faktor yang
pertama adalah pertumbuhan ekonomi. Penerimaan pajak daerah dikatakan tinggi apabila suatu
daerah memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi atau sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi
adalah suatu keadaan dimana terjadi kenaikan PDB tanpa memandang kenaikan dari presentase
pertumbuhan penduduknya baik dalam skala kecil maupun besar. Dengan demikian, tinggi
rendahnya pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari pendapatan per kapita tiap penduduk di
daerah tersebut. Faktor kedua yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak daerah adalah tingkat
inflasi. Semakin tinggi tingkat inflasi maka penerimaan pajak daerah semakin rendah atau
sebaliknya. Inflasi merupakan kecenderungan naiknya harga barang secara umum dan terjadi
secara terus menerus. Semakin tingginya tingkat inflasi bukan tidak mungkin pendapatan wajib
pajak akan berkurang yang dapat berakibat pada kemampuan wajib pajak menjalankan
kewajiban membayar pajak. Dengan berkurangnya kemampuan dari wajib pajak tersebut pada
gilirannya akan mengurangi pula penerimaan pajak daerah.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 6
Agar pertumbuhan ekonomi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, maka salah satu
caranya adalah dengan memutar roda perekonomian. Dengan berputarnya roda perekonomian
akan menghasilkan gaji dan upah bagi para pekerja serta pajak bagi kas penerimaan asli daerah.
Dengan pajak tersebut, pemerintah pusat atau daerah berkesempatan membentuk kondisi agar
perekonomian tetap tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik. Dengan demikian pajak
merupakan sebuah kepedulian sekaligus kewajiban bagi setiap warga negara dalam peran
sertanya ikut mewujudkan pembangunan negara yang berkelanjutan.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di provinsi DKI Jakarta sesuai dengan
kewenangan yang diberikan dalam konteks sebagai daerah otonom, salah satu unsur pendukung
untuk terlaksananya kewenangan tersebut adalah adanya kemampuan Pemprov DKI Jakarta
untuk dapat menggerakkan roda perekonomian. Disisi lain roda perekonomian dapat bergerak
hanya jika tersedia sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Salah satu yang dapat menjadi
sumber pembiayaan tersebut adalah melalui penerimaan pajak daerah yang antara lain melalui
pemungutan Pajak Restoran.
Payung hukum yang digunakan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk melaksanakan
pemungutan Pajak Restoran sesungguhnya sudah diatur dalam Perda No. 8 Tahun 2003 beserta
peraturan pelaksanaannya. Oleh karena adanya perluasan dalam hal pemungutan obyek Pajak
Restoran sebagaimana yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009, menyebabkan Pemprov
bersama DPRD DKI Jakarta melakukan penyempurnaan terhadap Perda No. 8 Tahun 2003.
Diharapkan dengan adanya penyempurnaan pelaksanaan pemungutan pajak daerah khususnya
Pajak Restoran dapat lebih optimal.
Perubahan yang dilakukan antara lain dalam ketentuan lama sebagaimana termuat dalam
Perda No. 8 Tahun 2003 diatur bahwa pengusaha restoran yang kena pajak adalah yang memiliki
minimal penghasilan Rp. 30 juta per tahun. Sehingga jika menggunakan Perda lama maka semua
restoran dapat dijadikan wajib pajak. Oleh karena yang diatur dalam Perda lama tidak termasuk
warteg sedangkan dalam UU No. 28 Tahun 2009 yang termasuk dalam kelompok restoran salah
satunya adalah warteg, sehingga dalam Perda perubahan memasukkan warteg sebagai salah satu
kelompok restoran yang dapat dijadikan obyek pajak.
Dengan diberlakukannya peraturan pajak daerah, diharapkan dapat memberikan
kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha didalam pelaksanaan kewajiban perpajakan
daerah. Dengan adanya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak khususnya Pajak Restoran
semakin meningkat dan bagi aparat pemungut pajak dapat bekerja secara profesional yang
didasari pada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 7
3.2. Kajian Secara Yuridis
Payung hukum atau konsiderans yang digunakan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk
mengenakan pajak pada warteg adalah salah satunya berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 10, 22
dan 23 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang
bunyinya:
“10. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada
Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
22. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
23. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut
bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan
sejenisnya termasuk jasa boga/katering.”
Dengan mengacu pada kutipan pasal 1 angka 23 UU No. 28 Tahun 2009 di atas, melalui
peraturan daerah terbaru yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta yaitu Perda No. 11 Tahun 2011
tentang Pajak Restoran yang sudah diberlakukan mulai tahun 2012 (sejak diundangkan pada
tanggal 29 Desember 2011), pada pasal 3 ayat (2) mengatur bahwa penjualan makanan dan/atau
minuman yang dikomsumsi oleh pembeli baik dikomsumsi di tempat pelayanan maupun tempat
lain diperlakukan sebagai obyek pajak.
Pada bagian lain Perda No. 11 Tahun 2011 tersebut, ketentuan lainnya sebagaimana yang
diatur dalam pasal 3 ayat (3) bahwa (a) pelayanan yang disediakan restoran atau rumah makan
yang pengelolaannya satu manajemen dengan hotel; atau (b) pelayanan yang disediakan oleh
restoran yang nilai penjualannya (peredaran usaha) tidak melebihi Rp. 200 juta per tahun tidak
termasuk dalam obyek Pajak Restoran yang diperlakukan sebagai wajib pajak. Sedangkan cara
perhitungan besaran pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak sebagaimana yang diatur dalam
pasal 7 adalah dengan mengalikan tarif Pajak Restoran sebesar 10% dengan dasar pengenaan
Pajak Restoran (jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima restoran).
Dengan merujuk pada kajian yuridis di atas dimana warung (termasuk wateg) merupakan
bagian dari kelompok restoran maka secara legal Pemprov DKI Jakarta dapat saja menjadikan
warteg sebagai salah satu obyek pajak daerah. Sebelumnya Pajak Restoran ini bernama Pajak
Pembangunan I yang diatur melalui Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta Nomor 137 Tahun
MAKSI Unpad XXIV © 2012 8
1979, kemudian dicabut dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 66 Tahun
2006.
Pajak Restoran yang dikenakan pada warteg sesungguhnya tidak seperti pajak
penghasilan atau pajak usaha yang harus dibayar oleh pemilik warteg atas keuntungan usahanya.
Pajak Restoran atau retribusi daerah untuk restoran dipungut langsung dari konsumen (bukan
pada wartegnya), sedangkan pajak penghasilan dikenakan pada pemilik warteg yang harus
dibayar secara berangsur-angsur setiap bulan (PPh Pasal 25) dan pengaturannya merupakan
kewenangan dari pusat.
Terkait Pajak Penghasilan (PPh), sebelumnya Direktorat Jenderal Pajak telah PPh pada
warung atau tempat usaha yang dimiliki wajib pajak orang pribadi, mulai dari usaha rumahan
hingga ke mal. Setiap tempat usaha wajib membayar PPh sebesar 0,75 persen dari omzet atau
jumlah peredaran setiap bulan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 Undang-undang PPh Nomor 36
Tahun 2008. Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (WP OPPT) ini mencakup orang
yang membuka warung (usaha jasa) di garasi rumahnya hingga pedagang yang memiliki satu
kios atau lebih di berbagai tempat, baik di mal maupun rumah toko (ruko). Oleh karena itu juga
termasuk warteg.
3.3. Kajian Secara Sosiologis
Berlandaskan pada Perda No. 11 Tahun 2011 Pemprov DKI Jakarta berencana
mengenakan tarif pajak pada semua jenis warung (misalnya warung tegal, warung padang, dll).
Dengan diberlakukan ketentuan tersebut maka para pelaku usaha seperti warteg akan dikutip
pajak 10% adalah yang omzetnya Rp 200 juta per tahun, atau sekitar Rp. 547.000 per hari.
Ada beberapa alasan mengapa warteg untuk saat ini tidak bisa diterapkan sebagai obyek
pajak:
1. Harga sepiring nasi beserta lauk pauk sederhana di warteg menurut RCTI tanggal 3
Desember 2010 rata-rata Rp. 7.000. Jika para pedagang warteg dikenakan pajak 10% maka
mereka akan menaikan harga jual makanannya menjadi minimal Rp. 7.500 per piring.
Dengan asumsi konsumen sehari dua kali makan maka kenaikan ini akan mendorong
kenaikan biaya hidup konsumen sebesar Rp. 1.000 per orang per hari atau Rp. 30.000 per
bulan. Dengan memperhatikan bahwa konsumen adalah kalangan sektor informal, seperti
pedagang asongan, tukang ojek, supir, dan buruh yang rata-rata penghasilannya Rp. 900.000
per bulan maka kenaikan ini cukup memberatkan yaitu sebesar Rp. 30.000 per bulan atau
sebesar 3,33%.
MAKSI Unpad XXIV © 2012 9
2. Tarif Pajak Restoran setara dengan PPN yaitu sebesar 10% dan sama-sama memiliki karakter
sebagai pajak tidak langsung. Artinya, kalau pemerintah memungut pajak ini maka
pengusaha tidak akan menanggungnya melainkan akan langsung membebankan kepada
konsumen akhir. Ujung-ujungnya menjadi lebih mahal dari harga sekarang adalah
konsekuensi logis dari pengenaan pajak. Padahal, penikmat warteg kebanyakan adalah warga
kelas menengah ke bawah. Jika sepotong daging ayam di warteg, sama dengan harga
sepotong ayam di restoran cepat saji modern, maka tentu saja akan menjadi pukulan terhadap
pengelola warung tegal. Di restoran penikmat kuliner yang datang adalah orang-orang yang
secara keekonomian mampu untuk membayar berapapun besaran makanan dan/atau
minuman yang dibeli termasuk jika ada komponen pajak yang harus ditanggung atas
makanan dan/atau minuman tersebut. Sedangkan warteg hanyalah “tempat makan seadanya”
yang kebanyakan diisi oleh orang-orang memang ingin makan seadanya di tempat yang
seadanya dengan budget yang seadanya pula.
3. Kewajiban pajak memang harus dilakukan, tetapi haruslah dipilah-pilah dan diprioritaskan.
Kebijakan pengenaan Pajak Restoran pada warung makan kecil (termasuk warteg) sangat
memprihatinkan karena muncul di tengah usaha pemerintah pusat untuk mendorong
munculnya banyak wirausaha baru. Semua warga negara Indonesia didorong untuk membuka
usaha mandiri dalam semua bidang, termasuk dalam perdagangan makanan seperti warteg.
Jika usaha kecil yang sedang tumbuh langsung dikenai pajak dan menjadi sulit berkembang,
warga akan enggan untuk membangun usaha mandiri. Selain itu, jika warteg (termasuk
sejumlah warung makan kecil seperti warung padang, warung sunda, warung mie instan,
warung bubur kacang hijau, dan beraneka warung makan lainnya) sampai bangkrut karena
ditinggalkan pembeli, dampak ekonomi dan sosial bagi Jakarta terlalu besar. Dampak
lainnya, perdagangan bahan makanan juga akan terganggu karena penyerapan oleh puluhan
ribu warung makan tersebut tiba-tiba berkurang drastis.
4. Ada ketidak-adilan yang dirasakan oleh pelaku usaha seperti warteg, dimana dalam Perda
tersebut khususnya pada pasal 3 ayat (3) huruf a dimana memberi pengecualian pada
restoran-restoran yang pengelolaannya satu manajemen dengan hotel sebagai obyek yang
tidak dikenai pajak. Pada kenyataannya kebanyakan restoran-retoran yang beroperasi di
Jakarta berada dalam satu manajemen dengan hotel dan memiliki omzet penjualan yang tidak
sebanding dengan apa yang dihasilkan oleh satu tempat usaha warteg, bahkan pendapatan
satu restoran bisa saja setara dengan omzet penjualan dari dua atau lebih warteg. Menurut
Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, pemberlakuan pajak 10% dari omzet warteg bisa
MAKSI Unpad XXIV © 2012 10
setara dengan 50% bahkan lebih dari keuntungan bersih. Dengan demikian terjadi ketidak-
adilan dimana terhadap perusahaan-perusahaan besar (termasuk restoran-restoran yang
pengelolaannya satu manajemen dengan hotel) hanya dibebankan pajak sebesar 30%
sedangkan warteg dikenai lebih dari 50%.
5. Menurut kajian yang dilakukan oleh Deputi Pengkajian Sumberdaya UKM dan Koperasi di
tahun 2010, seandainya diberlakukan pajak bagi warteg sebesar 10% dari omzet maka
penghasilan mereka akan menurun dari Rp. 19,54 menjadi Rp. 12,31 juta per tahun atau Rp.
5.699 per orang per hari atau 0,63 Dolar AS per orang per hari. Jumlah ini sudah termasuk
kategori orang miskin model BPS. Laba yang diperoleh warteg berkisar antara 21,72% sd.
32,34 % dari omzet. Tetapi omzet yang diperoleh umumnya tidak besar yaitu rata-rata Rp.
400.000 per hari. Dengan asumsi satu tahun 360 hari kerja maka omzet per tahun Rp. 126
juta. Sedangkan laba yang diperoleh rata rata-rata adalah sebesar 27,03 % atau sebesar Rp.
38,92 juta per tahun. Sebagian besar warteg menggunakan tenaga kerja keluarga, sehingga
jika diasumsikan warteg dikelola oleh 6 orang maka pendapatan per orang per tahun baru
sebesar (Rp. 38,92 juta : 6 orang) yaitu sebesar 6,48 juta. Dengan kurs dolar AS Rp. 9.000
maka penghasilan mereka baru sebesar 720 Dolar AS per orang per tahun atau 2 Dolar AS
per orang per hari. Dengan penghasilan sebesar itu berarti mereka baru mencapai ambang
batas kemiskinan menurut MDGs (2 Dolar AS per orang per hari).
6. Struktur dalam Perda tersebut tidak memungkinkan dilakukan pengenaan pajak atas obyek
pajak seperti warteg karena akan terbentur dengan masalah teknis.
Bon/Bill
Dalam melakukan transaksi dengan pelanggan, saat ini kebanyakan warteg tidak
menggunakan bon/bill sebagai alat bukti yang sah bahwa telah terjadi transaksi di warteg
tersebut. Pengadaan bon/bill mungkin saja dapat memberatkan bagi pengusaha warteg
karena ada pengeluaran tambahan yang harus dikeluarkan untuk biaya pencetakan dan
terbuka kemungkinan jika biaya pengadaan bon/bill dimasukan sebagai salah satu
komponen biaya produksi. Disisi lain, konsekuensi dengan ketiadaan bon/bill dapat
berakibat pada tidak adanya bukti legal saat menyampaikan Surat Setoran Pajak Daerah
(SSPD) dan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) setiap bulan.
Mekanisme pembukuan/pencatatan
Setiap terjadinya proses transaksi jual-beli di warteg antara penjual dengan pelanggan,
tidak ada mekanisme pembukuan/pencatatan yang jelas. Dilain pihak pengusaha warteg
diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan
MAKSI Unpad XXIV © 2012 11
sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD. Oleh karena ketiadaan
mekanisme pembukuan/pencatatan dalam proses transaksi tersebut, akan sangat rentan
terhadap manupulatif data dan tindakan koruptif. Disamping itu, penetapan tarif pajak
kemungkinan hanya berdasarkan estimasi petugas yang mungkin tidak akurat sedangkan
acuan dasar pengenaan pajak adalah pada angka penjualan yang teregister.
7. Metodologi yang digunakan untuk penetapan terhadap suatu obyek pajak apakah memiliki
nilai penjualan di bawah atau di atas Rp. 200 juta per tahun belum begitu jelas. Dengan
merujuk pada poin 6 di atas, artinya tidak ada parameter yang dapat mengjustifikasi bahwa
suatu obyek pajak yang diinventarisir oleh Pemprov DKI Jakarta memiliki omzet di atas Rp.
200 juta per tahun sehingga masuk sebagai warteg wajib pajak, atau sebaliknya.
Menurut Pemprov DKI Jakarta, dengan asumsi warteg yang dapat menjadi potensi
sumber penerimaan Pajak Restoran adalah 2.000 warteg maka diperkirakan dari jumlah warteg
tersebut dapat memberikan sumbangan pajaknya sebesar Rp. 50 miliar per tahun. Apabila
diambil batas minimum pendapatan yang wajib dikenakan pajak yaitu Rp. 200 juta per tahun
maka:
Pendapatan setahun = Rp. 200.000.000,00
Pajak Daerah 10% = Rp. 20.000.000,00
Jumlah warteg = 2.000 warteg
Income dari pajak setahun = Rp. 40.000.000,00
Dengan hasil tersebut Rasanya angka tersebut masih jauh dari target Pemda yang mematok Rp.
50 milyar per tahun. Jika perhitungannya dibalik:
Pengunjung warteg per hari = 50 orang
Harga jual rata-rata = Rp. 5.000,00
Penjualan sehari = Rp. 250.000,00
Penjualan sebulan = Rp. 7.500.000,00
Penghasilan setahun = Rp. 90.000.000,00
Jumlah warteg = 2.000 warteg
Income dari pajak setahun = Rp. 18.000.000,00
Dari hasil itungan tersebut masih belum mencapai target yang diharapkan oleh Pemda.
Jika hanya Rp. 50 miliar per tahun mungkin akan lebih baik untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), objek pajak lain yang bisa dioptimalkan adalah pada sektor
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN KB), Pajak
Parkir dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB KB). Dengan tingkat pertumbuhan
MAKSI Unpad XXIV © 2012 12
kendaraan bermotor yang menurut Pemprov DKI Jakarta bisa mencapai 1.000 unit sehari bukan
tidak mungkin menjadi obyek pajak primadona. Menurut data penerimaan PAD yang ada, dalam
setahun PKB bisa menyumbang Rp. 3 triliun sedangkan BBN KB bisa menyumbang Rp. 1 trilun.
Begitu pula pajak lainnya seperti Pajak Restoran baik yang berada atau tidak dalam satu
manajemen hotel, pajak hiburan dan pajak reklame dapat memberikan sumbangannya yang lebih
besar bagi PAD daripada pajak warteg yang akan diterapkan Pemprov DKI Jakarta.
4. Penutup
4.1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa niat Pemprov DKI Jakarta untuk
membebankan pajak pada usaha warung seperti warteg akan semakin membebankan rakyat
kecil. Usulan itu semakin menunjukkan ketidak-mampuan Pemprov DKI Jakarta untuk
memaksimalkan pendapatan daerah melalui pajak usaha besar, sehingga warteg sebagai
parameter bagi para kaum terpinggirkan dan para orang-orang yang memiliki strata paling
rendah akan semakin sengsara dan kehilangan tempat mencari makanan yang harganya
merakyat.
The Four Canons Adam Smith yang diadaptasi oleh Devas (1984) menjadi dasar
penentuan kriteria apakah satu objek pajak layak dapat dikembangkan.
1. Keadilan ( equity ) . Kriteria ini lemah jika warteg sebagai sektor informal dipersandingkan
dengan sektor-sektor lain, baik yang lebih besar maupun kecil. Jika serius, Pemda DKI
seharusnya mendata sektor informal lainnya (tidak hanya warteg) secara keseluruhan di
Jakarta apa saja dan jumlahnya berapa. Tentunya, harus dilandasi oleh semangat
pengaturan (regelend), bukan pada budgetair semata.
2. Menghasilkan ( yield ) . Memang cukup elastis warteg terhadap jumlah penduduk dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dengan demikian, jika diterapkan tentu
menjadi sumber yang baik dengan catatan memiliki administrasi yang rapi.
3. Ketepatan sebagai objek pajak daerah . Dari sisi kejelasan objek sangat tinggi hanya
karakter informalnya yang menjadi pertimbangan (seperti dijelaskan di atas) yang
menyentuh soal-soal keadilan. Objek pajak yang tingkat legitimasinya tinggi adalah pajak
untuk sektor formal karena diakui secara hukum dan diperlakukan dengan adil yang
membawa kemudahan untuk memetakan pola hubungan antara wajib pajak dan negara.
Sektor informal amatlah lemah sehingga ketidak-adilan terganggu. Jika mereka
menikmati keberkahan pembangunan sebetulnya secara makro, sektor ini turut
MAKSI Unpad XXIV © 2012 13
menyelamatkan ekonomi yang masih rapuh juga. Jadi, sumbangannya jangan dilihat dari
sisi kontribusi kepada negara berupa uang, tetapi maintenance soal sosial politik yang
lebih luas.
4. Penerimaan secara politik sebagai objek pajak . Masyarakat harus didengar aspirasinya
jika warteg dipajaki, dan tentu wakil rakyat di DPRD DKI harus memiliki arah
pemahaman yang jelas terhadap persoalan ini. Pemahaman mereka akan didasarkan
pertimbangan-pertimbangan rasional dan subjektifnya. Apa pun hasilnya, menjadi
keputusan yang harus dijalankan oleh Pemprov DKI Jakarta.
4.2. Saran
Sebelum rencana Pemprov DKI Jakarta untuk membebankan pajak pada usaha warung
seperti warteg benar-benar diterapkan, tentukan terlebih dahulu sistem transaksi termasuk
mekanisme pembukuan/pencatatan yang harus ada di setiap warteg. Dengan adanya
keseragaman akan memudahkan penggunaan metodologi penetapan terhadap suatu obyek pajak
apakah memiliki nilai penjualan di bawah atau di atas Rp. 200 juta per tahun. Misalnya
metodologi yang yang digunakan adalah dinilai bukan dari brutonya, tetapi dihitung dari keun-
tungan omzet dikurangi modal dari hasil keuntungannya. Yang terpenting apapun metodologinya
sepanjang paramaternya memiliki alat ukur yang jelas akan menjadi sesuatu yang adil bagi
lainnya.
Perlu dikaji pula besaran batas minimal bersarnya nilai penjualan warteg yang dapat
dikenakan sebagai obyek pajak. Disamping itu, batasan yang diberlakukan tidak disamakan
dengan obyek pajak kelompok lainnya seperti restoran, kafetaria, bar, dll. Karena penikmat
kuliner yang datang ke restoran, kafetaria ataupun bar adalah orang-orang yang secara
keekonomian mampu untuk membayar berapapun besaran makanan dan/atau minuman yang
dibeli termasuk jika ada komponen pajak yang harus ditanggung atas makanan dan/atau
minuman tersebut.
Kebijakan ini perlu mendapat perhatian serius dari kalangan stakeholder dan wakil
rakyat, karena akan banyak akan mempengaruhi percepatan proses pemberdayaan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM). Selain itu, perlu dikaji apakah peraturan ini tidak tumpang tindih
dengan ketentuan PPN dan PPh yang selama ini sudah diberlakukan sehingga tidak terjadi kasus
Double Tax yang akan sangat merugikan kalangan UMKM. Diharapkan pajak yang dikumpulkan
dapat bermanfaat bagi pengembangan UMKM yaitu untuk mendukung pengembangan usaha
MAKSI Unpad XXIV © 2012 14
UMKM seperti untuk program penyuluhan pendikan dan pelatihan bagi UMKM, misalnya
menyangkut pembinaan kualitas produk, manajemen usaha, dsb.
Bandung, 2 November 2012
MAKSI Unpad XXIV © 2012 15