rencana wajib pajak warteg

23
RENCANA PEMBERLAKUAN WAJIB PAJAK BAGI WARUNG TEGAL (WARTEG) DI DKI JAKARTA Oleh Ignatius Adisurya Kantus (120620120001) Aulia Beatrice Brilliant (120620120008) Fajar Santoso (120620120002) Abstrak Rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta menerapkan peraturan wajib pajak bagi warung tegal (warteg) mendapat respon yang bermacam-macam dari masyarakat, ahli hukum dan tentunya para pemilik warteg. Peraturan ini dianggap telah menyakiti sisi-sisi keadilan dan hanya menambah penderitaan bagi rakyat kecil. Oleh karena itu, dalam bahasan ini kami mencoba meninjau dari sisi filosofis, yuridis dan sosiologis terhadap rencana tersebut. Kata kunci: Pajak, Warung Tegal 1. Pendahuluan Era Otonomi daerah yang secara resmi mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 2001 menghendaki daerah untuk berupaya secara optimal mencari sumber penerimaan yang dapat membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan MAKSI Unpad XXIV © 2012 1

Upload: igakantus

Post on 09-Aug-2015

47 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Rencana Wajib Pajak Warteg

TRANSCRIPT

Page 1: Rencana Wajib Pajak Warteg

RENCANA PEMBERLAKUAN WAJIB PAJAK

BAGI WARUNG TEGAL (WARTEG) DI DKI JAKARTA

Oleh

Ignatius Adisurya Kantus (120620120001)

Aulia Beatrice Brilliant (120620120008)

Fajar Santoso (120620120002)

Abstrak

Rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta menerapkan peraturan wajib pajak bagi warung tegal

(warteg) mendapat respon yang bermacam-macam dari masyarakat, ahli hukum dan tentunya

para pemilik warteg. Peraturan ini dianggap telah menyakiti sisi-sisi keadilan dan hanya

menambah penderitaan bagi rakyat kecil. Oleh karena itu, dalam bahasan ini kami mencoba

meninjau dari sisi filosofis, yuridis dan sosiologis terhadap rencana tersebut.

Kata kunci: Pajak, Warung Tegal

1. Pendahuluan

Era Otonomi daerah yang secara resmi mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari

2001 menghendaki daerah untuk berupaya secara optimal mencari sumber penerimaan yang

dapat membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan

dan pembangunan. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

menetapkan bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pajak daerah

dan retribusi daerah sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari daerah

itu sendiri dan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.

Pemberian kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi

daerah telah mengakibatkan pemungutan berbagai jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang

berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pemungutan ini harus dipahami oleh

masyarakat sebagai sumber penerimaan yang dibutuhkan oleh daerah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di daerah. Untuk mengatur tentang pemungutan pajak daerah dan

MAKSI Unpad XXIV © 2012 1

Page 2: Rencana Wajib Pajak Warteg

retribusi daerah, pemerintah bersama dengan DPR telah mengeluarkan UU No. 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Sedangkan sebagai aturan pelaksanaan UU

No. 28 Tahun 2009 adalah berdasarkan pada PP No. 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara

Pemberian dan Pemanfaata Insentif Pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Pajak yang

diperbolehkan untuk dipungut oleh daerah sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 28 Tahun

2009 mencakup pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan

bakar kendaraan bermotor, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak

penerangan jalan, pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, pajak pengambilan dan

pengolahan bahan galian golongan C.

Dengan melihat kondisi DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus sebagai pusat

industri, perdagangan dan jasa menjadikan peluang bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI

Jakarta untuk menggali pajak daerah yang salah satunya berasal dari sektor restoran (dimana

antara lain termasuk warung tegal atau warteg). Secara legal, pengenaan pajak ini difasilitasi

Bagian Kedelapan mulai pasal 37 sampai dengan pasal 41 dari UU No. 28 Tahun 2009. Namun

rencana Pemprov DKI Jakarta tersebut mendapatkan respon yang sangat keras dari para pemilik

warteg. Mereka beranggapan bahwa pajak bagi warteg akan mengurangi pendapatan mereka dan

tidak berpihak pada rakyat kecil.

Kontroversi mengenai rencana penerapan pajak bagi warteg ini ditanggapi pula oleh 

masyarakat luas yang mengakibatkan timbulnya pihak pro dan kontra terhadap kebijakan

Pemprov DKI Jakarta  tersebut, sehingga menggugah kami untuk membahasnya lebih jauh

tentang  penerapan PDRD khususnya bagi warteg bila ditinjau secara filosofis, yuridis dan

sosiologis. Diharapkan tulisan ini mampu memberikan gambaran dan kontribusi bagi masyarakat

luas dalam memahami permasalahan pajak bagi warung tegal ini.

2. Tinjauan Umum

2.1. Pajak Pertambahan Nilai

Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat

Indonesia. Namun belum banyak yang mengenal filosofi di balik pengenaan PPN. Ditinjau dari

ilmu perpajakan PPN termasuk dalam kategori: (1) pajak objektif, (2) pajak atas konsumsi umum

dalam negeri, dan (3) pajak tidak langsung.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 2

Page 3: Rencana Wajib Pajak Warteg

2.1.1. PPN Sebagai Pajak Objektif

Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan

oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan,

peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek

pajak.

PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai kewajiban membayar pajak oleh

konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat

penghasilan tertentu. Siapapun yang mengkonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN,

akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang atau jasa tersebut.

Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul

beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk

menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun

konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap

konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama.

Hal ini berbeda dengan pajak subjektif seperti Pajak Penghasilan (PPh) dimana yang

kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam

menentukan pajak terutang.  Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh

bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan

memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah.

2.1.2. PPN Sebagai Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri

Di samping sebagai pajak objektif, PPN di Indonesia termasuk dalam kategori pajak atas

konsumsi. Ditinjau dari hukum perpajakan, pajak atas konsumsi adalah pajak yang timbul akibat

suatu peristiwa hukum yang menjadi beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis.

Maksudnya, yang dikenai pajak adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-

barang dalam proses produksi, dan ditujukan pada konsumen akhir. Selama barang-barang itu

masih dalam siklus produksi atau distribusi, pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara

yang dapat dibebankan kepada pembeli berikutnya, melalui mekanisme pengkreditan pajak

masukan. Dalam penjelasan atas Undang-undang PPN, ditegaskan bahwa PPN adalah pajak atas

konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat pada setiap

jalur produksi dan distribusi.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 3

Page 4: Rencana Wajib Pajak Warteg

2.1.3. PPN Sebagai Pajak Tidak Langsung

Selanjutnya, selain sebagai pajak objektif dan pajak atas konsumsi, PPN juga termasuk

Pajak Tidak Langsung. Sebagai Pajak Tidak Langsung, beban pembayaran pajaknya dipikul oleh

konsumen, namun penanggung jawab atas penyetoran PPN ke Kas Negara dibebankan kepada

penjual. Dengan kata lain dalam mekanisme pemungutan PPN, pemikul beban pembayaran PPN

dan penanggungjawab penyetoran PPN ke Kas Negara adalah pihak yang berbeda. Faktur Pajak

yang diterbitkan oleh penjual, digunakan sebagai bukti pungutan atas PPN terutang, ketika

menjual Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli atau penerima

BKP atau JKP. Selanjutnya penjual wajib menyetorkan setiap PPN yang dipungut dalam setiap

Masa Pajak ke Kas Negara. Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar PPN  terutang yang

tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Faktur pajak itu bagi pembeli adalah bukti

pembayaran pajak. Hal ini beda dengan mekanisme penarikan Pajak Langsung seperti PPh,

dimana orang pribadi atau badan sebagai pemikul beban pembayaran pajak juga dibebani

tanggung jawab atas penyetorannya ke Kas Negara.

2.2. Belanja Makan Minum Tidak Kena PPN

Selama ini masih banyak perdebatan oleh banyak pihak, termasuk di Inspektorat sendiri

banyak terjadi penafsiran yang berbeda, apakah Belanja Makan Minum merupakan obyek PPN

atau bukan.  Disatu sisi ada  yang beranggapan jika Belanja Makan Minum yang disajikan di

hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya bukan merupakan jenis barang yang

dikenai PPN, tetapi dilain sisi ada juga yang beranggapan bahwa Belanja Makan Minum

merupakan obyek PPN jika belanja makan minum dikonsumsi di tempat, dan masih banyak lagi

penafsiran lainnya.

Banyak luput dari perhatian banyak orang bahwa sebenarnya hal tersebut sudah di

tegaskan dalam UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM. Tegas dinyatakan bahwa: "...

makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya

bukan merupakan jenis barang yang dikenakan PPN.". Oleh karena itu, untuk menyikapi

banyaknya perbedaan penafsiran, maka dikeluarkanlah UU No. 42 Tahun 2009 yang mulai

diberlakukan sejak 1 April 2010 dimana pada pasal 4A ayat (2) kutipan secara lengkap

menyatakan bahwa:

”Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam

kelompok barang sebagai berikut:

MAKSI Unpad XXIV © 2012 4

Page 5: Rencana Wajib Pajak Warteg

a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari

sumbernya;

b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan

sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat

maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa

boga atau katering; dan

d. uang, emas batangan, dan surat berharga.”

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah

merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.

Dengan demikian khusus pengaturan terkait dengan makanan dan minuman sebagaimana

yang tercantum dalam pasal 4A ayat (2) huruf c di atas bukan merupakan obyek PPN. Hal ini

meliputi makanan dan minuman, baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk

makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.

Berdasarkan uraian di atas maka kutipan atas makanan minuman bukan PPN melainkan

Pajak Daerah yang bernama Pajak Pembangunan I disingkat Pb I. Jenis pajak daerah yang

khusus dibebankan pada makanan dan minuman tersebut lebih dikenal dengan Pajak Restoran

dan besarannya ditetapkan oleh masing-masing pemerintahan daerah (Pemerintah

Kabupaten/Kota), sehingga mungkin akan terdapat perbedaan tarif pajak restoran di daerah satu

dengan yang lainnya.

Perbedaan antara PPN dan Pb I hanya pada masalah kewenangan dan administrasi

pemungutannya. PPN merupakan pajak pusat dimana kewenangan dan administrasinya ada di

pemerintah pusat dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal Pajak. Penerimaan dari PPN akan masuk

dalam APBN. Sedangkan Pb I (misalnya Pajak Restoran) merupakan pajak daerah dimana

kewenangan dan administrasinya ada di pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendapatan

Daerah Kota/Kabupaten. Penerimaan dari Pajak Daerah akan masuk dalam APBD sebagai PAD.

2.3. Warteg

Warteg yang merupakan akronim dari Warung Tegal adalah salah satu jenis usaha

gastronomi yang menyediakan makanan dan minuman dengan harga terjangkau. Nama ini seolah

sudah menjadi istilah generik untuk warung makan kelas menengah ke bawah di pinggir jalan,

baik yang berada di kota Tegal maupun di tempat lain. Baik yang dikelola oleh orang asal Tegal

maupun dari daerah lain.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 5

Page 6: Rencana Wajib Pajak Warteg

Warung tegal pada awalnya banyak dikelola oleh masyarakat dari dua desa di Kabupaten

Tegal dan satu desa di Kota Tegal yaitu warga desa Sidapurna, Sidakaton Kecamatan Dukuhturi

Kabupaten Tegal dan Krandon. Mereka mengelola warung tegal secara bergiliran (antar keluarga

dalam satu ikatan famili) setiap 3 sd. 4 bulan. Yang tidak mendapat giliran mengelola warung

biasanya bertani di kampung halamannya. Pengelola warung tegal di Jakarta yang asli orang

Tegal biasanya tergabung dalam Koperasi Warung Tegal, yang populer dengan singkatan

Kowarteg.

Hidangan-hidangan di warteg pada umumnya bersifat sederhana dan tidak memerlukan

peralatan dapur yang sangat lengkap. Nasi goreng dan mie instan hampir selalu dapat ditemui,

demikian pula makanan ringan seperti pisang goreng, minuman seperti kopi, teh dan minuman

ringan. Beberapa warung tegal khusus menghidangkan beberapa jenis makanan, seperti sate

tegal, gulai dan minuman khas Tegal teh poci.

Meski banyak yang sukses dan bisa memperbaiki taraf hidupnya dengan membuka

Warteg di Jakarta tapi tidak sedikit pengusaha Warteg yang gagal dan akhirnya bangkrut dan

terpaksa pulang ke kampung halaman. Bahkan karena biasanya modal para pengusaha Warteg

adalah pinjaman dari bank dengan jaminan rumah, tanah, atau sawah milik mereka maka bila

Warteg milik mereka bangkrut banyak dari mereka yang akhirnya rumahnya disita.

3. Kajian Material

3.1. Kajian Secara Filosofis

Ada dua faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak daerah. Faktor yang

pertama adalah pertumbuhan ekonomi. Penerimaan pajak daerah dikatakan tinggi apabila suatu

daerah memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi atau sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi

adalah suatu keadaan dimana terjadi kenaikan PDB tanpa memandang kenaikan dari presentase

pertumbuhan penduduknya baik dalam skala kecil maupun besar. Dengan demikian, tinggi

rendahnya pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari pendapatan per kapita tiap penduduk di

daerah tersebut. Faktor kedua yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak daerah adalah tingkat

inflasi. Semakin tinggi tingkat inflasi maka penerimaan pajak daerah semakin rendah atau

sebaliknya. Inflasi merupakan kecenderungan naiknya harga barang secara umum dan terjadi

secara terus menerus. Semakin tingginya tingkat inflasi bukan tidak mungkin pendapatan wajib

pajak akan berkurang yang dapat berakibat pada kemampuan wajib pajak menjalankan

kewajiban membayar pajak. Dengan berkurangnya kemampuan dari wajib pajak tersebut pada

gilirannya akan mengurangi pula penerimaan pajak daerah.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 6

Page 7: Rencana Wajib Pajak Warteg

Agar pertumbuhan ekonomi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, maka salah satu

caranya adalah dengan memutar roda perekonomian. Dengan berputarnya roda perekonomian

akan menghasilkan gaji dan upah bagi para pekerja serta pajak bagi kas penerimaan asli daerah.

Dengan pajak tersebut, pemerintah pusat atau daerah berkesempatan membentuk kondisi agar

perekonomian tetap tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik. Dengan demikian pajak

merupakan sebuah kepedulian sekaligus kewajiban bagi setiap warga negara dalam peran

sertanya ikut mewujudkan pembangunan negara yang berkelanjutan.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di provinsi DKI Jakarta sesuai dengan

kewenangan yang diberikan dalam konteks sebagai daerah otonom, salah satu unsur pendukung

untuk terlaksananya kewenangan tersebut adalah adanya kemampuan Pemprov DKI Jakarta

untuk dapat menggerakkan roda perekonomian. Disisi lain roda perekonomian dapat bergerak

hanya jika tersedia sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Salah satu yang dapat menjadi

sumber pembiayaan tersebut adalah melalui penerimaan pajak daerah yang antara lain melalui

pemungutan Pajak Restoran.

Payung hukum yang digunakan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk melaksanakan

pemungutan Pajak Restoran sesungguhnya sudah diatur dalam Perda No. 8 Tahun 2003 beserta

peraturan pelaksanaannya. Oleh karena adanya perluasan dalam hal pemungutan obyek Pajak

Restoran sebagaimana yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009, menyebabkan Pemprov

bersama DPRD DKI Jakarta melakukan penyempurnaan terhadap Perda No. 8 Tahun 2003.

Diharapkan dengan adanya penyempurnaan pelaksanaan pemungutan pajak daerah khususnya

Pajak Restoran dapat lebih optimal.

Perubahan yang dilakukan antara lain dalam ketentuan lama sebagaimana termuat dalam

Perda No. 8 Tahun 2003 diatur bahwa pengusaha restoran yang kena pajak adalah yang memiliki

minimal penghasilan Rp. 30 juta per tahun. Sehingga jika menggunakan Perda lama maka semua

restoran dapat dijadikan wajib pajak. Oleh karena yang diatur dalam Perda lama tidak termasuk

warteg sedangkan dalam UU No. 28 Tahun 2009 yang termasuk dalam kelompok restoran salah

satunya adalah warteg, sehingga dalam Perda perubahan memasukkan warteg sebagai salah satu

kelompok restoran yang dapat dijadikan obyek pajak.

Dengan diberlakukannya peraturan pajak daerah, diharapkan dapat memberikan

kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha didalam pelaksanaan kewajiban perpajakan

daerah. Dengan adanya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak khususnya Pajak Restoran

semakin meningkat dan bagi aparat pemungut pajak dapat bekerja secara profesional yang

didasari pada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 7

Page 8: Rencana Wajib Pajak Warteg

3.2. Kajian Secara Yuridis

Payung hukum atau konsiderans yang digunakan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk

mengenakan pajak pada warteg adalah salah satunya berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 10, 22

dan 23 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang

bunyinya:

“10. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada

Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung

dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

22. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.

23. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut

bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan

sejenisnya termasuk jasa boga/katering.”

Dengan mengacu pada kutipan pasal 1 angka 23 UU No. 28 Tahun 2009 di atas, melalui

peraturan daerah terbaru yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta yaitu Perda No. 11 Tahun 2011

tentang Pajak Restoran yang sudah diberlakukan mulai tahun 2012 (sejak diundangkan pada

tanggal 29 Desember 2011), pada pasal 3 ayat (2) mengatur bahwa penjualan makanan dan/atau

minuman yang dikomsumsi oleh pembeli baik dikomsumsi di tempat pelayanan maupun tempat

lain diperlakukan sebagai obyek pajak.

Pada bagian lain Perda No. 11 Tahun 2011 tersebut, ketentuan lainnya sebagaimana yang

diatur dalam pasal 3 ayat (3) bahwa (a) pelayanan yang disediakan restoran atau rumah makan

yang pengelolaannya satu manajemen dengan hotel; atau (b) pelayanan yang disediakan oleh

restoran yang nilai penjualannya (peredaran usaha) tidak melebihi Rp. 200 juta per tahun tidak

termasuk dalam obyek Pajak Restoran yang diperlakukan sebagai wajib pajak. Sedangkan cara

perhitungan besaran pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak sebagaimana yang diatur dalam

pasal 7 adalah dengan mengalikan tarif Pajak Restoran sebesar 10% dengan dasar pengenaan

Pajak Restoran (jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima restoran).

Dengan merujuk pada kajian yuridis di atas dimana warung (termasuk wateg) merupakan

bagian dari kelompok restoran maka secara legal Pemprov DKI Jakarta dapat saja menjadikan

warteg sebagai salah satu obyek pajak daerah. Sebelumnya Pajak Restoran ini bernama Pajak

Pembangunan I yang diatur melalui Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta Nomor 137 Tahun

MAKSI Unpad XXIV © 2012 8

Page 9: Rencana Wajib Pajak Warteg

1979, kemudian dicabut dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 66 Tahun

2006.

Pajak Restoran yang dikenakan pada warteg sesungguhnya tidak seperti pajak

penghasilan atau pajak usaha yang harus dibayar oleh pemilik warteg atas keuntungan usahanya.

Pajak Restoran atau retribusi daerah untuk restoran dipungut langsung dari konsumen (bukan

pada wartegnya), sedangkan pajak penghasilan dikenakan pada pemilik warteg yang harus

dibayar secara berangsur-angsur setiap bulan (PPh Pasal 25) dan pengaturannya merupakan

kewenangan dari pusat.

Terkait Pajak Penghasilan (PPh), sebelumnya Direktorat Jenderal Pajak telah PPh pada

warung atau tempat usaha yang dimiliki wajib pajak orang pribadi, mulai dari usaha rumahan

hingga ke mal. Setiap tempat usaha wajib membayar PPh sebesar 0,75 persen dari omzet atau

jumlah peredaran setiap bulan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 Undang-undang PPh Nomor 36

Tahun 2008. Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (WP OPPT) ini mencakup orang

yang membuka warung (usaha jasa) di garasi rumahnya hingga pedagang yang memiliki satu

kios atau lebih di berbagai tempat, baik di mal maupun rumah toko (ruko). Oleh karena itu juga

termasuk warteg. 

3.3. Kajian Secara Sosiologis

Berlandaskan pada Perda No. 11 Tahun 2011 Pemprov DKI Jakarta berencana

mengenakan tarif pajak pada semua jenis warung (misalnya warung tegal, warung padang, dll).

Dengan diberlakukan ketentuan tersebut maka para pelaku usaha seperti warteg akan dikutip

pajak 10% adalah yang omzetnya Rp 200 juta per tahun, atau sekitar Rp. 547.000 per hari.

Ada beberapa alasan mengapa warteg untuk saat ini tidak bisa diterapkan sebagai obyek

pajak:

1. Harga sepiring nasi beserta lauk pauk sederhana di warteg menurut RCTI tanggal 3

Desember 2010 rata-rata Rp. 7.000. Jika para pedagang warteg dikenakan pajak 10% maka

mereka akan menaikan harga jual makanannya menjadi minimal Rp. 7.500 per piring.

Dengan asumsi konsumen sehari dua kali makan maka kenaikan ini akan mendorong

kenaikan biaya hidup konsumen sebesar Rp. 1.000 per orang per hari atau Rp. 30.000 per

bulan. Dengan memperhatikan bahwa konsumen adalah kalangan sektor informal, seperti

pedagang asongan, tukang ojek, supir, dan buruh yang rata-rata penghasilannya Rp. 900.000

per bulan maka kenaikan ini cukup memberatkan yaitu sebesar Rp. 30.000 per bulan atau

sebesar 3,33%.

MAKSI Unpad XXIV © 2012 9

Page 10: Rencana Wajib Pajak Warteg

2. Tarif Pajak Restoran setara dengan PPN yaitu sebesar 10% dan sama-sama memiliki karakter

sebagai pajak tidak langsung. Artinya, kalau pemerintah memungut pajak ini maka

pengusaha tidak akan menanggungnya melainkan akan langsung membebankan kepada

konsumen akhir. Ujung-ujungnya menjadi lebih mahal dari harga sekarang adalah

konsekuensi logis dari pengenaan pajak. Padahal, penikmat warteg kebanyakan adalah warga

kelas menengah ke bawah. Jika sepotong daging ayam di warteg, sama dengan harga

sepotong ayam di restoran cepat saji modern, maka tentu saja akan menjadi pukulan terhadap

pengelola warung tegal. Di restoran penikmat kuliner yang datang adalah orang-orang yang

secara keekonomian mampu untuk membayar berapapun besaran makanan dan/atau

minuman yang dibeli termasuk jika ada komponen pajak yang harus ditanggung atas

makanan dan/atau minuman tersebut. Sedangkan warteg hanyalah “tempat makan seadanya”

yang kebanyakan diisi oleh orang-orang memang ingin makan seadanya di tempat yang

seadanya dengan budget yang seadanya pula.

3. Kewajiban pajak memang harus dilakukan, tetapi haruslah dipilah-pilah dan diprioritaskan.

Kebijakan pengenaan Pajak Restoran pada warung makan kecil (termasuk warteg) sangat

memprihatinkan karena muncul di tengah usaha pemerintah pusat untuk mendorong

munculnya banyak wirausaha baru. Semua warga negara Indonesia didorong untuk membuka

usaha mandiri dalam semua bidang, termasuk dalam perdagangan makanan seperti warteg.

Jika usaha kecil yang sedang tumbuh langsung dikenai pajak dan menjadi sulit berkembang,

warga akan enggan untuk membangun usaha mandiri. Selain itu, jika warteg (termasuk

sejumlah warung makan kecil seperti warung padang, warung sunda, warung mie instan,

warung bubur kacang hijau, dan beraneka warung makan lainnya) sampai bangkrut karena

ditinggalkan pembeli, dampak ekonomi dan sosial bagi Jakarta terlalu besar. Dampak

lainnya, perdagangan bahan makanan juga akan terganggu karena penyerapan oleh puluhan

ribu warung makan tersebut tiba-tiba berkurang drastis.

4. Ada ketidak-adilan yang dirasakan oleh pelaku usaha seperti warteg, dimana dalam Perda

tersebut khususnya pada pasal 3 ayat (3) huruf a dimana memberi pengecualian pada

restoran-restoran yang pengelolaannya satu manajemen dengan hotel sebagai obyek yang

tidak dikenai pajak. Pada kenyataannya kebanyakan restoran-retoran yang beroperasi di

Jakarta berada dalam satu manajemen dengan hotel dan memiliki omzet penjualan yang tidak

sebanding dengan apa yang dihasilkan oleh satu tempat usaha warteg, bahkan pendapatan

satu restoran bisa saja setara dengan omzet penjualan dari dua atau lebih warteg. Menurut

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, pemberlakuan pajak 10% dari omzet warteg bisa

MAKSI Unpad XXIV © 2012 10

Page 11: Rencana Wajib Pajak Warteg

setara dengan 50% bahkan lebih dari keuntungan bersih. Dengan demikian terjadi ketidak-

adilan dimana terhadap perusahaan-perusahaan besar (termasuk restoran-restoran yang

pengelolaannya satu manajemen dengan hotel) hanya dibebankan pajak sebesar 30%

sedangkan warteg dikenai lebih dari 50%.

5. Menurut kajian yang dilakukan oleh Deputi Pengkajian Sumberdaya UKM dan Koperasi di

tahun 2010, seandainya diberlakukan pajak bagi warteg sebesar 10% dari omzet maka

penghasilan mereka akan menurun dari Rp. 19,54 menjadi Rp. 12,31 juta per tahun atau Rp.

5.699 per orang per hari atau 0,63 Dolar AS per orang per hari. Jumlah ini sudah termasuk

kategori orang miskin model BPS. Laba yang diperoleh warteg berkisar antara 21,72% sd.

32,34 % dari omzet. Tetapi omzet yang diperoleh umumnya tidak besar yaitu rata-rata Rp.

400.000 per hari. Dengan asumsi satu tahun 360 hari kerja maka omzet per tahun Rp. 126

juta. Sedangkan laba yang diperoleh rata rata-rata adalah sebesar 27,03 % atau sebesar Rp.

38,92 juta per tahun. Sebagian besar warteg menggunakan tenaga kerja keluarga, sehingga

jika diasumsikan warteg dikelola oleh 6 orang maka pendapatan per orang per tahun baru

sebesar (Rp. 38,92 juta : 6 orang) yaitu sebesar 6,48 juta. Dengan kurs dolar AS Rp. 9.000

maka penghasilan mereka baru sebesar 720 Dolar AS per orang per tahun atau 2 Dolar AS

per orang per hari. Dengan penghasilan sebesar itu berarti mereka baru mencapai ambang

batas kemiskinan menurut MDGs (2 Dolar AS per orang per hari).

6. Struktur dalam Perda tersebut tidak memungkinkan dilakukan pengenaan pajak atas obyek

pajak seperti warteg karena akan terbentur dengan masalah teknis.

Bon/Bill

Dalam melakukan transaksi dengan pelanggan, saat ini kebanyakan warteg tidak

menggunakan bon/bill sebagai alat bukti yang sah bahwa telah terjadi transaksi di warteg

tersebut. Pengadaan bon/bill mungkin saja dapat memberatkan bagi pengusaha warteg

karena ada pengeluaran tambahan yang harus dikeluarkan untuk biaya pencetakan dan

terbuka kemungkinan jika biaya pengadaan bon/bill dimasukan sebagai salah satu

komponen biaya produksi. Disisi lain, konsekuensi dengan ketiadaan bon/bill dapat

berakibat pada tidak adanya bukti legal saat menyampaikan Surat Setoran Pajak Daerah

(SSPD) dan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) setiap bulan.

Mekanisme pembukuan/pencatatan

Setiap terjadinya proses transaksi jual-beli di warteg antara penjual dengan pelanggan,

tidak ada mekanisme pembukuan/pencatatan yang jelas. Dilain pihak pengusaha warteg

diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan

MAKSI Unpad XXIV © 2012 11

Page 12: Rencana Wajib Pajak Warteg

sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD. Oleh karena ketiadaan

mekanisme pembukuan/pencatatan dalam proses transaksi tersebut, akan sangat rentan

terhadap manupulatif data dan tindakan koruptif. Disamping itu, penetapan tarif pajak

kemungkinan hanya berdasarkan estimasi petugas yang mungkin tidak akurat sedangkan

acuan dasar pengenaan pajak adalah pada angka penjualan yang teregister.

7. Metodologi yang digunakan untuk penetapan terhadap suatu obyek pajak apakah memiliki

nilai penjualan di bawah atau di atas Rp. 200 juta per tahun belum begitu jelas. Dengan

merujuk pada poin 6 di atas, artinya tidak ada parameter yang dapat mengjustifikasi bahwa

suatu obyek pajak yang diinventarisir oleh Pemprov DKI Jakarta memiliki omzet di atas Rp.

200 juta per tahun sehingga masuk sebagai warteg wajib pajak, atau sebaliknya.

Menurut Pemprov DKI Jakarta, dengan asumsi warteg yang dapat menjadi potensi

sumber penerimaan Pajak Restoran adalah 2.000 warteg maka diperkirakan dari jumlah warteg

tersebut dapat memberikan sumbangan pajaknya sebesar Rp. 50 miliar per tahun. Apabila

diambil batas minimum pendapatan yang wajib dikenakan pajak yaitu Rp. 200 juta per tahun

maka:

Pendapatan setahun = Rp. 200.000.000,00

Pajak Daerah 10% = Rp. 20.000.000,00

Jumlah warteg = 2.000 warteg

Income dari pajak setahun = Rp. 40.000.000,00

Dengan hasil tersebut Rasanya angka tersebut masih jauh dari target Pemda yang mematok Rp.

50 milyar per tahun. Jika perhitungannya dibalik:

Pengunjung warteg per hari = 50 orang

Harga jual rata-rata = Rp. 5.000,00

Penjualan sehari = Rp. 250.000,00

Penjualan sebulan = Rp. 7.500.000,00

Penghasilan setahun = Rp. 90.000.000,00

Jumlah warteg = 2.000 warteg

Income dari pajak setahun = Rp. 18.000.000,00

Dari hasil itungan tersebut masih belum mencapai target yang diharapkan oleh Pemda.

Jika hanya Rp. 50 miliar per tahun mungkin akan lebih baik untuk meningkatkan

Pendapatan Asli Daerah (PAD), objek pajak lain yang bisa dioptimalkan adalah pada sektor

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN KB), Pajak

Parkir dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB KB). Dengan tingkat pertumbuhan

MAKSI Unpad XXIV © 2012 12

Page 13: Rencana Wajib Pajak Warteg

kendaraan bermotor yang menurut Pemprov DKI Jakarta bisa mencapai 1.000 unit sehari bukan

tidak mungkin menjadi obyek pajak primadona. Menurut data penerimaan PAD yang ada, dalam

setahun PKB bisa menyumbang Rp. 3 triliun sedangkan BBN KB bisa menyumbang Rp. 1 trilun.

Begitu pula pajak lainnya seperti Pajak Restoran baik yang berada atau tidak dalam satu

manajemen hotel, pajak hiburan dan pajak reklame dapat memberikan sumbangannya yang lebih

besar bagi PAD daripada pajak warteg yang akan diterapkan Pemprov DKI Jakarta.

4. Penutup

4.1. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa niat Pemprov DKI Jakarta untuk

membebankan pajak pada usaha warung seperti warteg akan semakin membebankan rakyat

kecil. Usulan itu semakin menunjukkan ketidak-mampuan Pemprov DKI Jakarta untuk

memaksimalkan pendapatan daerah melalui pajak usaha besar, sehingga warteg sebagai

parameter bagi para kaum terpinggirkan dan para orang-orang yang memiliki strata paling

rendah akan semakin sengsara dan kehilangan tempat mencari makanan yang harganya

merakyat.

The Four Canons Adam Smith yang diadaptasi oleh Devas (1984) menjadi dasar

penentuan kriteria apakah satu objek pajak layak dapat dikembangkan.

1. Keadilan ( equity ) . Kriteria ini lemah jika warteg sebagai sektor informal dipersandingkan

dengan sektor-sektor lain, baik yang lebih besar maupun kecil. Jika serius, Pemda DKI

seharusnya mendata sektor informal lainnya (tidak hanya warteg) secara keseluruhan di

Jakarta apa saja dan jumlahnya berapa. Tentunya, harus dilandasi oleh semangat

pengaturan (regelend), bukan pada budgetair semata.

2. Menghasilkan ( yield ) . Memang cukup elastis warteg terhadap jumlah penduduk dan

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dengan demikian, jika diterapkan tentu

menjadi sumber yang baik dengan catatan memiliki administrasi yang rapi.

3. Ketepatan sebagai objek pajak daerah . Dari sisi kejelasan objek sangat tinggi hanya

karakter informalnya yang menjadi pertimbangan (seperti dijelaskan di atas) yang

menyentuh soal-soal keadilan. Objek pajak yang tingkat legitimasinya tinggi adalah pajak

untuk sektor formal karena diakui secara hukum dan diperlakukan dengan adil yang

membawa kemudahan untuk memetakan pola hubungan antara wajib pajak dan negara.

Sektor informal amatlah lemah sehingga ketidak-adilan terganggu. Jika mereka

menikmati keberkahan pembangunan sebetulnya secara makro, sektor ini turut

MAKSI Unpad XXIV © 2012 13

Page 14: Rencana Wajib Pajak Warteg

menyelamatkan ekonomi yang masih rapuh juga. Jadi, sumbangannya jangan dilihat dari

sisi kontribusi kepada negara berupa uang, tetapi maintenance soal sosial politik yang

lebih luas.

4. Penerimaan secara politik sebagai objek pajak . Masyarakat harus didengar aspirasinya

jika warteg dipajaki, dan tentu wakil rakyat di DPRD DKI harus memiliki arah

pemahaman yang jelas terhadap persoalan ini. Pemahaman mereka akan didasarkan

pertimbangan-pertimbangan rasional dan subjektifnya. Apa pun hasilnya, menjadi

keputusan yang harus dijalankan oleh Pemprov DKI Jakarta.

4.2. Saran

Sebelum rencana Pemprov DKI Jakarta untuk membebankan pajak pada usaha warung

seperti warteg benar-benar diterapkan, tentukan terlebih dahulu sistem transaksi termasuk

mekanisme pembukuan/pencatatan yang harus ada di setiap warteg. Dengan adanya

keseragaman akan memudahkan penggunaan metodologi penetapan terhadap suatu obyek pajak

apakah memiliki nilai penjualan di bawah atau di atas Rp. 200 juta per tahun. Misalnya

metodologi yang yang digunakan adalah dinilai bukan dari brutonya, tetapi dihitung dari keun-

tungan omzet dikurangi modal dari hasil keuntungannya. Yang terpenting apapun metodologinya

sepanjang paramaternya memiliki alat ukur yang jelas akan menjadi sesuatu yang adil bagi

lainnya.

Perlu dikaji pula besaran batas minimal bersarnya nilai penjualan warteg yang dapat

dikenakan sebagai obyek pajak. Disamping itu, batasan yang diberlakukan tidak disamakan

dengan obyek pajak kelompok lainnya seperti restoran, kafetaria, bar, dll. Karena penikmat

kuliner yang datang ke restoran, kafetaria ataupun bar adalah orang-orang yang secara

keekonomian mampu untuk membayar berapapun besaran makanan dan/atau minuman yang

dibeli termasuk jika ada komponen pajak yang harus ditanggung atas makanan dan/atau

minuman tersebut.

Kebijakan ini perlu mendapat perhatian serius dari kalangan stakeholder dan wakil

rakyat, karena akan banyak akan mempengaruhi percepatan proses pemberdayaan Usaha Mikro

Kecil dan Menengah (UMKM). Selain itu, perlu dikaji apakah peraturan ini tidak tumpang tindih

dengan ketentuan PPN dan PPh yang selama ini sudah diberlakukan sehingga tidak terjadi kasus

Double Tax yang akan sangat merugikan kalangan UMKM. Diharapkan pajak yang dikumpulkan

dapat bermanfaat bagi pengembangan UMKM yaitu untuk mendukung pengembangan usaha

MAKSI Unpad XXIV © 2012 14

Page 15: Rencana Wajib Pajak Warteg

UMKM seperti untuk program penyuluhan pendikan dan pelatihan bagi UMKM, misalnya

menyangkut pembinaan kualitas produk, manajemen usaha, dsb.

Bandung, 2 November 2012

MAKSI Unpad XXIV © 2012 15