releksi kasus - pemberian antibiotik (fix)

8
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2013 REFLEKSI KASUS REFLEKSI KASUS I. KASUS Seorang bayi perempuan lahir pada tanggal 13 November 2013 pukul 05.15 dari seorang ibu berusia 39 tahun dengan riwayat G5P4A0. Bayi lahir secara spontan dengan presentasi muka dan air ketuban berwarna hijau. APGAR score: 5/6/7. Berat badan lahir 2.100 gram, panjang badan 44 cm, LK/LD/LLA: 28/27/8. Anus (+), meco (+), BAK (-). Bayi diberi injeksi 1mg vitamin K IM dan salep mata setelah lahir. Bayi kemudian diperiksa, hasil pemeriksaan didapatkan: KU: gerak aktif (-), menangis kuat (-), tampak lemah, reflek hisap (+) lemah TU: T: 35.6°C, RR: 64 x/menit, HR: 114 x/menit dan SaO 2 : 100%. GDS: 100 mg/dl Bayi didiagnosis BBLR CB KMK SPT PRESMUK dengan riwayat asfiksia sedang, gangguan pernapasan ringan. Bayi ditempatkan di inkubator dengan suhu inkubator 34°C, diberikan antibiotik injeksi cefotaxime 2 x 100 mg, diberikan oksigenasi melalui head box 5 liter/menit dan minum susu formula melalui OGT sebanyak 3-5 cc/3jam. Bayi dimonitor keadaan umum, vital sign dan intake cairannya setiap 3 jam. Ibu bayi juga diberitahu tentang kondisi bayinya dan diminta datang setiap hari ke ruang bayi untuk menemani RM.01.

Upload: jessicacook

Post on 10-Dec-2015

12 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

RELEKSI KASUS - Pemberian Antibiotik (FIX)

TRANSCRIPT

Page 1: RELEKSI KASUS - Pemberian Antibiotik (FIX)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2013

REFLEKSI KASUS

REFLEKSI KASUS

I. KASUS

Seorang bayi perempuan lahir pada tanggal 13 November 2013 pukul 05.15 dari seorang ibu

berusia 39 tahun dengan riwayat G5P4A0. Bayi lahir secara spontan dengan presentasi muka

dan air ketuban berwarna hijau. APGAR score: 5/6/7. Berat badan lahir 2.100 gram, panjang

badan 44 cm, LK/LD/LLA: 28/27/8. Anus (+), meco (+), BAK (-). Bayi diberi injeksi 1mg

vitamin K IM dan salep mata setelah lahir.

Bayi kemudian diperiksa, hasil pemeriksaan didapatkan:

KU: gerak aktif (-), menangis kuat (-), tampak lemah, reflek hisap (+) lemah

TU: T: 35.6°C, RR: 64 x/menit, HR: 114 x/menit dan SaO2: 100%.

GDS: 100 mg/dl

Bayi didiagnosis BBLR CB KMK SPT PRESMUK dengan riwayat asfiksia sedang, gangguan

pernapasan ringan.

Bayi ditempatkan di inkubator dengan suhu inkubator 34°C, diberikan antibiotik injeksi

cefotaxime 2 x 100 mg, diberikan oksigenasi melalui head box 5 liter/menit dan minum susu

formula melalui OGT sebanyak 3-5 cc/3jam.

Bayi dimonitor keadaan umum, vital sign dan intake cairannya setiap 3 jam. Ibu bayi juga

diberitahu tentang kondisi bayinya dan diminta datang setiap hari ke ruang bayi untuk

menemani bayi sekaligus memberikan ASI perah bila memungkinkan (ASI sudah keluar).

II. MASALAH YANG DIKAJI

Apakah pemberian antibiotik pada bayi tersebut sudah tepat?

III. ANALISA MASALAH

Antibiotik dan oksigen merupakan obat-obatan yang sering disalahgunakan di berbagai

unit pelayanan intensif neonatologi. Dalam sebuah penelitian didapatkan antara 11 dan 23 bayi

baru lahir yang tidak terinfeksi diberikan antibiotik dengan tiap 1 bayi terbukti menderita

sepsis.1 Penggunaan antibiotik yang tepat memang dapat mengurangi risiko kematian akibat

RM.01.

Page 2: RELEKSI KASUS - Pemberian Antibiotik (FIX)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2013

REFLEKSI KASUS

sepsis, namun penyalahgunaannya dapat memberi dampak yang tidak baik seperti bakteri yang

resisten berbagai obat-obatan, peningkatan insidensi sepsis akibat jamur, dan lain-lain.2

Keputusan dalam memberikan antibiotik biasanya didasarkan atas 2 faktor yaitu apakah

bayi tersebut memiliki gejala dan/atau berisiko sepsis serta jika ditemukan etiologi infeksi

pada pemeriksaan diagnostik.

Bayi dengan kondisi asimptomatik disertai faktor resiko terjadinya sepsis umumnya

terjadi pada sepsis awitan dini dimana infeksi terjadi akibat transmisi vertikal dari alat

genitalia ibu. Risiko sepsis lebih tinggi 10-25 kali lipat pada bayi-bayi ini dibandingkan bayi

tanpa faktor risiko. Namun demikian, mayoritas bayi yang mengalami sepsis tidak bergejala

(asimptomatik) saat lahir, gejala baru muncul biasanya dalam 24 (90%) hingga 48 jam

(100%).3,4 Ada 2 pilihan dalam penatalaksanaan bayi dengan kondisi ini yaitu (1) pemantauan

saja hingga ditemukan 1 atau lebih gejala ke arah sepsis dan (2) melakukan skrining sepsis

dengan atau tanpa pemberian antibiotik berdasarkan risiko yang ditemukan pada bayi.

Beberapa penelitian telah mencoba mengevaluasi beberapa faktor risiko dan

direkomendasikan sebuah pendekatan empiris untuk mengidentifikasi sepsis awitan dini yaitu

seperti terlihat pada tabel di bawah ini : 5

RM.02.

Page 3: RELEKSI KASUS - Pemberian Antibiotik (FIX)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2013

REFLEKSI KASUS

Skrining sepsis terdiri dari kombinasi 4-5 buah pemeriksaan, biasanya kombinasi dari

pemeriksaan lekosit dan CRP. Skrining sepsis sebaiknya dilakukan pada waktu yang tepat

pula, dianjurkan bahwa pemeriksaan awal dilakukan paling tidak 2-12 jam setelah kelahiran.

Jika pemeriksaan dilakukan pada 2 jam setelah kelahiran dan didapatkan hasil negatif, maka

pemeriksaan harus diulangi pada usia 12 jam. Jika hasil keduanya negatif, sepsis dapat

disingkirkan. Pemeriksaan terkini yaitu cytokine assay dan beberapa lainnya dimana sampel

diambil dari darah tali pusat sehingga sepsis dapat didiagnosis secara dini. Skrining sepsis

berdasarkan lekosit dan CRP dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Bayi dengan kondisi asimptomatik dengan faktor risiko terjadinya sepsis dan telah

mendapatkan antibiotik intrapartum (kemoprofilaksis intrapartum), penatalaksanaannya tidak

berbeda dengan bayi-bayi dari ibu yang tidak mendapatkan antibiotik profilaksis. Pemberian

RM.03.

Page 4: RELEKSI KASUS - Pemberian Antibiotik (FIX)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2013

REFLEKSI KASUS

kemoprofilaksis intrapartum ini biasanya berlaku pada negara-negara industri dimana pada ibu

ditemukan adanya kolonisasi Streptococcus Grup B. Pemberian antibiotik profilaksis dapat

mempengaruhi hasil kultur darah, maka keputusan untuk menghentikan pemberian antibiotik

pada bayi-bayi ini harus lebih berdasarkan gejala klinis dibandingkan hasil kultur yang

negatif.

Semua neonatus dengan gejala klinis mengarah pada sepsis harus dievaluasi lebih lanjut.

Penilaian terhadap gejala klinis yang ada harus dapat membantu untuk menentukan

dimulainya pemberian antibiotik segera ataupun dilakukan observasi dan pemantauan ketat

diikuti penatalaksanaan jika dibutuhkan. Jika kecurigaan secara klinis rendah, seperti bayi

prematur dengan berat lahir sangat rendah dengan gejala letargis, takikardi, atau bahkan apneu

pada minggu kedua kehidupan, maka sebaiknya penatalaksanaan ditunggu hingga hasil

skrining sepsis dan/atau kultur darah didapat. Hal yang sama juga berlaku pada bayi dengan

gejala sesak nafas pada 24-48 jam kehidupan. Pemeriksaan foto toraks dengan hasil skrining

dan ada atau tidaknya faktor risiko perinatal dapat membantu untuk menegakkan diagnosis

sepsis. Sebaliknya pada kecurigaan klinis tinggi, seperti pada bayi-bayi dengan community

acquired sepsis (pneumonia/meningitis), pemberian antibiotik harus segera tanpa menunda.

Bagan 1. Manajemen neonatus simptomatik dengan klinis suspek sepsis

IV. KESIMPULAN

Pemberian antibiotik didasarkan atas 2 faktor faktor yaitu apakah bayi tersebut memiliki

gejala dan/atau berisiko sepsis serta jika ditemukan etiologi infeksi pada pemeriksaan

RM.04.

Page 5: RELEKSI KASUS - Pemberian Antibiotik (FIX)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2013

REFLEKSI KASUS

diagnostik. Pada kasus ini pada bayi ditemukan tanda klinis sepsis yaitu takipneu, bayi tidak

bergerak aktif dan tampak lemah serta terdapat 2 faktor resiko sepsis yaitu (1) BBLR dan (2)

air ketuban berwarna hijau sehingga bayi pada kasus ini dapat dikategorikan bayi simptomatis

dengan tanda klinis rendah. Menurut Effendi, S.H. dalam penggunaan antibiotik yang rasional

di bidang neonatologi, manajemen tatalaksana bayi simptomatis dengan tanda klinis rendah

tersebut sebaiknya dilakukan skrining sepsis untuk menentukan apakah bayi perlu diberi

antibiotik atau tidak. Pada kasus ini tidak dilakukan skrining sepsis dan langsung diberikan

antibiotik, keputusan pemberian antibiotik tersebut belum sesuai menurut Effendi, S.H.,

karena bayi langsung diberikan antibiotik tanpa skrining sepsis terlebih dahulu.

V. DAFTAR PUSTAKA

1. Philip AG, Hewitt JR. Early diagnosis of neonatal sepsis. Pediatrics 1980;65: 1036-1041.

2. Sankar MJ, Sankar J, Chawia D, Nangia S. Antibiotic Usage In Neonates-Guidelines and

Current Practices. Journal of Neonatology. 2009; 23: 68-7

3. Ottolini MC, Lundgren K, Mirkinson LJ, Cason S, Ottolini MG. Utility of complete blood

count and blood culture screening to diagnose neonatal sepsis in the asymptomatic at risk

newborn. Pediatr Infect Dis J 2003;22: 430-434.

4. Escobar GJ, Li DK, Armstrong MA, et al. Neonatal sepsis workups in infants ≥2000 grams

at birth: A population-based study. Pediatrics 2000; 106: 256-263.

5. Singh M, Narang A, Bhakoo ON. Predictive perinatal score in the diagnosis of neonatal

sepsis. J Trop Pediatr 1994;40:365-368.

6. Effendi, SH. Penggunaan Antibiotik yang Rasional di Bidang Neonatologi. Universitas

Padjajaran: Bandung.

Yogyakarta, 05 November 2013

Dokter Pembimbing

dr. Fita Wirastuti , M.Sc., Sp.A

RM.05.