relasi sosial pelaku haji dalam masyarakat …digilib.uin-suka.ac.id/2561/1/bab i,v.pdf · ibu dr....
TRANSCRIPT
RELASI SOSIAL PELAKU HAJI DALAM MASYARAKAT SASAK DI KELURAHAN LOYOK
LOMBOK TIMUR
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Oleh :
MUH. SYA’RANI NIM: 04541570
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2009
ii
iii
iv
v
MOTTO
≅è% ¨β Î) ’ÎA Ÿξ|¹ ’Å5Ý¡ èΣuρ y“$ u‹ øt xΧ uρ †ÎA$ yϑ tΒ uρ ¬! Éb> u‘ t⎦⎫ ÏΗs>≈ yèø9$# ∩⊇∉⊄∪
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Kedua orang tuaku yang telah melimpahkan
kasih sayangnya serta kakak-kakaku, adikku
dan keluarga besarku yang aku cintai
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Khususnya kepada Prodi Sosiologi Agama
vii
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن الرخي
Segala puji bagi Allah, Subhanahu wa ta’ala, yang telah mengajari
manusia dengan perantaraan kalam (QS Al-‘Alaq : 2). Shalawat dan salam
semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad, keluarga,
sahabat, dan ummatnya hingga akhir zaman, amin.
Sebagai salah satu syarat guna melengkapi Gelar Sarjana Sosiologi Agama
pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
akhirnya penyusunan skripsi ini telah penulis selesaikan.
Tentunya dengan bantuan dan doa dari banyak pihak, pada kesempatan ini,
penuh syukur kepada Allah SWT, penulis ucapkan terima kasih yang setulusnya
kepada:
1. Ibu Dr. Sekar Ayu Aryani, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2. Bapak Moh.Soehadha, S.Sos.,M.Hum., selaku Ketua Prodi Sosiologi
Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekaligus
dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan sehingga selesainya skripsi ini.
3. Bapak Drs H. Chumaidi Syarif Romas M.Si selaku pembimbing akademik
yang telah memberikan kritik dan saran.
4. Bapak-ibu dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
5. Segenap komunitas Sasak di desa Loyok
viii
6. Sahabat-sahabatku (Nursim, Hamjadid, Dedi Supiandi, Doni Hendriawan,
L. Armin) serta alumni MAK di Jogja yang telah banyak memberikan
motivasi dan menjadi teman berbagi dalam berbagai kondisi.
7. Dendi Sutarto dan teman-teman seperjuangan di Jurusan Sosiologi
Agama, Ushuluddin angkatan 2004 yang selalu memberikan motivasi
untuk menyelesaikan skripsi.
8. Komunitas sanggar TJIBAN (Tohari koboy, Evang, Rizal Mistikus, Habib
Al-Athos, Suprayetno, Sandy, Sopyan)
9. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Komfak- Uhuluddin terima kasih atas
wadah juangnya.
Semoga amal shalih semuanya mendapat ridho dari Allah SWT, amin.
Yogyakarta, 1 Januari 2009 Penulis
Muh. Sya’rani NIM.04541570
ix
ABSTRAK
Fokus penelitian ini adalah relasi sosial pelaku haji dengan masyarakat Sasak di kelurahan Loyok Lombok Timur, yang dalam realitasnya terjadi diprensisi sosial antara orang-orang yang berpredikat sebagi haji dan yang bukan berstatus sebagi haji. Analisis dilakukan dengan mengkaji pola hubungan sosial dan faktor apa saja yang mempengaruhi pola hubungan sosial pelaku haji dalam masyarakat Sasak.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. adapun instrumen pengumpulan data menggunakan tekhnik observasi, wawancara (interview) dan dokumentasi. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis melalui tiga subproses analisis yaitu reduksi data, display data dan verifikasi data. Sehinga dapat menghasilkan paparan data yang selektif dan komprehensif untuk mempertegas, membuat fokus dan membuat hal yang tidak penting dan melakukan verifikasi data, dan pada tahap ini peneliti melakukan intrpretasi terhadap data sehingga memiliki makna.
Setelah data dikumpulkan, maka data tersebut dianalisis dengan mengikuti teori David Berry tentang peranan dalam hubungan sosial dan teori James C. Scott mengenai hubungan patron-klien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang berstatus haji yang diposisikan sebagai patron dan para pekerjanya dan pengikutnya adalah sebagai kliennya, dalam hubungan sosialnya telah merepresentasikan bahwa orang yang berstatus sebagi haji adalah orang yang kaya dan terhormat layaknya seorang raja. Adapun faktor yang mempengaruhi pola hubungan sosial antara pelaku haji dengan masyarakat Sasak yaitu faktor sosial politik, sejarah orang yang berstatus sebagai haji, sistem kepercayaan lokal dan terutama faktor sosial ekonomi, pola hubungan dengan beberapa faktor ini dalam komunitas masyarakat Sasak telah menimbulkan adanya garis-garis demarkasi antara orang-orang yang berstatus sebagi haji dengan masyarakat biasa, selain itu terjadi dikotomi antara orang-orang yang bersetatus sebagai haji dengan orang yang tidak berstatus sebagai haji dalam kehidupan sosial komunitas masyarakat lokal Sasak khususnya di desa Loyok Kabupaten Lombok Timur ini.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................ ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................... iv
MOTTO .......................................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
DAFTAR ISI................................................................................................... x
BAB. I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................... 6
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 8
E. Kerangka Teoritik ...................................................................... 11
F. Metode Penelitian ...................................................................... 16
G. Sistematika Pembahasan ............................................................ 20
BAB. II POTRET KOMUNITAS SASAK DI DESA LOYOK KAB.
LOMBOK TIMUR ........................................................................ 22
A. Letak dan Aksesibilitas .............................................................. 22
B. Sosial Ekonomi .......................................................................... 26
xi
C. Tradisi ........................................................................................ 29
D. Pendidikan.................................................................................. 32
E. Keberagamaan............................................................................ 34
BAB.III POLA HUBUNGAN SOSIAL PELAKU HAJI DENGAN
MASYARAKAT SASAK .............................................................. 40
A. Dimensi Haji Terhadap Tradisi Lokal Masyarakat Sasak.......... 40
1. Fase Persiapan...................................................................... 41
2. Fase Pertengahan.................................................................. 44
3. Fase Paska haji ..................................................................... 46
B. Status Haji Dalam Pandangan Masyarakat Suku Sasak............. 48
C. Pola Hubungan Sosial Patron Klien Pelaku Haji Dalam
Masyarakat Sasak....................................................................... 53
1. Hubungan Sosial Pelaku Haji dalam Masayarakat Sasak .... 53
2. Hubungan Patron Klien Masyarakat Sasak Dengan Pelaku
Haji....................................................................................... 59
BAB.IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN SOSIAL
HAJI DALAM MASYARAKAT SASAK.................................... 66
A. Faktor Ekonomi.......................................................................... 67
B. Faktor Kepercayaan Lokal ......................................................... 70
C. Faktor Sosial Politik................................................................... 74
D. Faktor Sejarah ............................................................................ 77
BAB.V PENUTUP....................................................................................... 82
A. Kesimpulan ................................................................................ 82
xii
B. Saran........................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 89
CURRICULUM VITAE
PEDOMAN WAWANCARA
DAFTAR IMFORMAN
PETA DESA LOYOK
PETA KAB. LOMBOK TIMUR
SURAT IZIN FAKULTAS
SURAT IZIN BAPEDA YOGYAKARTA
SURAT IZIN PROVINSI NTB
SURAT IZIN KABUPATEN LOMBOK TIMUR
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lombok adalah pulau yang didominasi oleh masyarakat suku Sasak yang
merupakan suku asli yang ada di Lombok, ketika Islam pertama kali
diperkenalkan di Lombok pada abad ke- 16 dan 171 dimana saat itu hanya
beberapa dari masyarakat Sasak yang masuk Islam dan masih jauh dari Islam
ideal dalam praktek-praktek keagamaan mereka, akan tetapi setelah melewati
beberapa fase mayoritas masyarakat Sasak memeluk ajaran Islam, walaupun di
dalam masyarakat suku Sasak tersebut mayoritas telah memeluk agama Islam,
akan tetapi disetiap praktek-praktek agamanya masih dipengaruhi oleh budaya dan
agama yang sudah ada jauh sebelum datangnya Islam. Sebelum kedatangan Islam
di pulau Lombok orang-orang sasak telah mempunyai kepercayaan atau agama
yang terdiri dari Animisme, Dinamisme, Budhisme, Bodaisme dan Hiduisme.2
Kemudian agama-agama sebelum Islam inilah yang sangat berpengaruh dalam
pembentukan tradisi-tradisi maupun budaya masyarakat Sasak, oleh karena itu
pengaruh agama-agama ini masih ada dalam masyarakat Sasak walaupun mereka
mayoritas telah memeluk Islam.
1 Jhon Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak. terj. Imron Rosydi
(Yogyakarata: PT. Tiara Wacana, 2001), hlm. 93. 2 Ahmad Abd. Syakur, Islam Dan Kebudayaan Akulturasi Nilai-nilai Islam Dalam
Budaya Sasak, (Yogyakarta: Adab Press 2006), hlm. 21
2
Ketika islamisasi atau proses penyebaran Islam di Lombok ini, Leeman
menunjukkan bahwa ajaran Islam yang pada mulanya dibawa oleh para penyebar
agama Islam dari Jawa, memang telah mengalami akulturasi mistisisme dan
sufisme. Lebih dari itu, para penyebar Islam tersebut cukup toleran terhadap orang
Sasak menyangkut nenek moyang dan animisme mereka.,3 Hal ini sangat
mempengaruhi keberadaaan Islam di Lombok yang dipeluk oleh masyarakat
Sasak secara umum sampai saat ini, di mana dalam masyarakat sasak terjadi
akulturasi antara nilai-nilai Islam dan adat istiadat Sasak. Kemudian ini tampak
dalam upacara yang sering dilaksanakan oleh masyarakat Sasak seperti upacara
perkawinan dan kehamilan, upacara khitanan, upacara kematian,4 selain itu juga
fenomena haji dalam masyarakat Sasak terbilang cukup unik, secara umum
masyarakat Sasak selain melaksanakan ibadah haji seperti yang telah ditentukan
oleh agama Islam, ada suatu tradisi-tradisi yang memang biasa dilakukan oleh
masyarakat Sasak itu sendiri dan hal semacam ini menjadi sebuah sistem sosial
dalam masyarakat Sasak yang merupakan suatu pola interaksi sosial yang terdiri
dari komponen-komponen sosial yang teratur dan melembaga (institutionalized).5
Secara teologis haji adalah salah satu dari lima rukun Islam yang
merupakan perwujudan dan sikap kesolehan seorang dalam memeluk agama
Islam terhadap tuhanya. Haji secara bahasa artinya adalah menuju tempat yang
3 Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima, (Yogyakarta: LKiS. 2000),
hlm. 287-288. 4 Ahmad Abd. Syakur, Op. cit., hlm. 243. 5 J. Dwi Nawoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan, (Jakarta:
Kencana. 2004), hlm. 125.
3
mulia, dan secara terminologinya, syariah adalah menuju al-bait Allah (Ka’bah)
untuk menunaikan perbuatan yang diwajibkan.6 Haji merupakan sebuah perintah
yang harus dipatuhi oleh setiap orang Islam apabila ia telah merasa mampu baik
secara finansial maupun secara fisik; hal ini berdasrkan pada Al-Qur’an, Sunnah
dan ijmak, difirmankan Allah dari salah satu ayat Al-Qur’an yang artinya:
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang
yang sanggup mengadakan perjalanan Baitullah. Barang siapa yang mengingkari
(kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam.7
Di dalam masyarakat Islam Sasak dalam pelaksanaannya haji tidak
hanya dilaksanakan oleh seorang yang menunaikan haji dengan ketentuan-
ketentuan agama saja, akan teatapi di dalam masyarakat tersebut ada suatu
kebiasaan-kebiasaan yang menjadi sebuah tradisi dan yang tersistem dalam
masyarakat. Apabila seorang yang menunaikan ibadah haji pelaksanaanan haji
terdiri menggunakan pakaian ihram di Mekah, tinggal di Arafah, bermalam di
Masy’ar8 dan lain sebagainya, lain halnya dengan pelaksanaan-pelaksanaan yang
dilakukan di tempat asalanya baik sebelum berangkat maupun sepulang dari haji
tersebut oleh orang yang berhaji, keluarga dan masyarakat yang ada dalam
masyarakat setempat.
6 Mutawakil Ramli, Mari Memabrurkan Haji (Kajian Dari Berbagai Kajian Islam), terj.
Azuma Gibran, (Bekasi: Gugus Press. 2002), hlm. 11. 7 Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Al-Qur’n dan
Terjemahanya, (Bandung: CV. Penerbit J-Art. 2004), hlm. 63. 8 Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam. terj. Ibrahim Husain (dkk.), (Jakarta:
Pustaka Zahra. 2003), hlm. 71.
4
Kalau melihat dari sisi pelaksanan haji yang begitu banyak, baik
pelaksanan secara tradisi di daerah tempat tinggal mereka maupun pelaksanan-
pelaksanan di Mekah dan Madinah, selain itu pula untuk pergi haji uang yang
dikeluarkan sesorang yang ingin melakukanya tidak sedikit, akan tetapi walaupun
demikian di Lombok (pulau tempat tinggal mayoritas suku Sasak) orang-orang
yang ingin menunaikan ibadah haji selalu meningkat padahal Lombok masih
tercatat sebagai pulau yang terbelakang dan masyarakatnya yang rata-rata bisa
dikategorikan sebagai orang miskin, ironinya lagi dalam beberapa tahun belakang
ini di Lombok terungkap kasus kemiskinan busung lapar.
Terungkapnya kasus seperti busung lapar dan Lombok masih
dikategorikan sebagai daerah yang terbelakang, bukan berarti hasrat masyarakat
Sasak di sana untuk menunaikan haji menurun bahkan terhitung setiap tahunnya
orang-orang yang berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji semakin
meningkat, bahkan banyak dari mereka terpaksa untuk membatalkan keinginanya
untuk menunaikan ibadah haji karena telah melebihi kuota pemberangkatan haji
yang telah ditentukan oleh pihak penyelenggara haji di daerah setempat.
Haji dalam masyarakat Sasak tidak hanya dijadikan sebagai suatu
aktualisasi kepatuhan seseorang terhadap tuhannya saja, akan tetapi dalam hal ini
di masyarakat Sasak haji mempunyai pengaruh-pengaruh dan makna-makna
tersendiri, apabila kita melihat fenomena Tuan Guru yang termasuk sebagai kelas
tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat Sasak tidak ada satupun dari mereka
yang belum melakukan haji, dan sebagian besar dari mereka lebih memilih
menggunakan status Tuan Guru hajinya dibandingkan dengan status
5
kebangsawanan mereka seperti di Keruak Lombok Timur dikenal almarhum
T.G.H. Moh. Mutawalli dan T.G.H. Moh.Qosim di Sepit Keruak. Meskipun
keduanya tidak menggunakan gelar kebangsawanan namun kenyataan
mengatakan bahwa mereka sebenarnya termasuk kelompok bangsawan juga.9
Dengan demikian terlihat bahwa haji mempunyai makna dan pengaruh
di dalam masyarakat Sasak, di mana haji di sini akan mempengaruhi banyak hal
dalam dimensi sosial dan perubahan dalam masyarakat. Karena secara pribadi
orang yang berhaji dalam masyarkat akan mempengaruhi status seseorang yang
sebelumnya merupakan masyarkat biasa kemudian sepulangnya dari haji ia akan
mempunyai status yang berbeda dan perlakuan yang berbeda pula dalam
masyarakatnya.
Di dalam masyarakat Sasak sendiri labelisasi seseorang sebagai haji
merupakan hal yang sangat istimewa bagi mereka karena perlakuan masyarakat
umum terhadap para penyandang setatus haji berbeda dengan masyarakat biasa,
sehingga tidak heran apabila kita melihat fenomena haji dalam masyarakat Sasak
dimana antusias masyarakatnya sangat tinggi untuk melaksanakan ibadah haji,
walaupun di Lombok masih tercatat sebagai pulau yang terbelakang dan
masyarakatnya yang rata-rata bisa dikategorikan sebagai masyarakat yang miskin
di Indonesia.
Terlepas dari itu semua yang jelas sudah pasti bahwa para pelaku haji
secara finansial status ekonomi orang yang melakukan ibadah haji lebih tinggi
dibandingkan masyarakat biasa pada umumnya, karena apabila dicermati biaya
9 Ahmad Abd. Syakur, Op. cit., hlm. 234.
6
untuk melakukan ibadah haji bisa dikatakan tidak sedikit, oleh karena itu tidak
semua orang bisa melakukan ibadah yang satu ini dibandingkan dengan ibadah-
ibadah lainya.
Dari hal yang telah diuraikan di atas inilah yang menjadi landasan awal
penulis untuk menelusuri lebih dalam bagaimana fenomena kehidupan para
pelaku agama dalam hal ini yaitu haji dalam hubungan sosialnya dengan
masyarakat lokal Sasak yang ada di Desa Loyok serta faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pola hubungan sosial para pelaku haji dengan masyarakat lokal
yang ada dalam masyarakat Sasak di Desa Loyok, Sikur, Lombok Timur, NTB.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, penulis dapat
mengambil beberapa rumusan masalah yang dapat dikaji dan diteliti lebih
mendalam adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana pola hubungan sosial pelaku haji dengan masyarakat
Sasak di Desa Loyok Kab. Lombok Timur?
b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola hubungan sosial
pelaku haji dengan masyarakat Sasak di Desa Loyok Kab. Lombok
Timur?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berangkat dari latar belakang serta rumusan masalah di atas, penelitian
ini mengkaji fenomena haji khususnya hubungan sosial para pelaku haji dengan
7
masyarakat lokal Sasak di Desa Loyok, Lombok Timur dalam penelitian ini
mempunyai tujuan dan kegunaan, adapun kegunaan dan tujuan penelitian ini
diantaranya yaitu:
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana pola hubungan sosial pelaku haji
dalam masyarakat suku Sasak yang ada di Desa Loyok Kec. Sikur
Kab. Lombok Timur.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola
hubungan sosial pelaku haji dengan masyarakat lokal Sasak yang
ada di Desa Loyok Kec. Sikur Kab. Lombok Timur.
2. Kegunaan Penelitian
a. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana S1
dalam bidang Ilmu Sosiolgoi Agama di Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
b. Menambah khazanah keilmuan sosiologi dalam perspektif haji
yang terdapat dalam masyarakat Sasak khususnya di Lombok
Timur
c. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
keilmuan terutama bagi akademisi maupun para praktisi
pendidikan serta tidak menutup kemungkinan sebagai bahan
penelitian lebih lanjut.
8
D. Tinjauan Pustaka
Pembahasan maupun penelitian yang berhubungan dengan haji dan
masyarakat sasak secara umum memang sudah banyak dilakukan dan tersebar
dalam bentuk buku maupun dalam bentuk karya-karya ilmiah lainnya yang ditulis
tidak hanya oleh para intelektualis dalam negeri, bahkan banyak pula para
intelektualis maupun sarjana asing, akan tetapi belum ada secara spesifik
mengkaji dan meneliti sesuai dengan judul yang akan diteliti oleh penulis. Namun
ada beberapa karya yang membahas tentang haji dan masyarakat Sasak secara
umum yang bisa dijadikan sebagai salah satu acuan, perbandingan dan sekaligus
rujukan untuk membahas persoalan yang penulis susun ini diantaranya sebagai
berikut:
Karya-karya yang menyinggung masalah haji dan sudah dibukukan
terbilang cukup banyak, seperti karyanya Hasbi Ash-Shiddieqy, dimana dalam
bukunya tersebut, oleh Hasbi dijelaskan beberapa pokok tentang seputar persoalan
haji yang mestinya para pelaku haji lakukan seperti, hukum-hukum haji dan
umroh serta syarat-syarat syah dan wajib haji. Selain itu juga dalam buku tersebut
dijelaskan bagaimana prosesi atau sistematika dalam berhaji menurut beberapa
pandangan para ulama.
Selain itu buku yang ditulis oleh Dr. H. Muslim Nasution. Dalam
bukunya tersebut Ia menjelaskan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam
beberapa aspek yang berkaitan haji dan umroh seperti halnya simbol kesucian
yang dipesankan oleh ibadah Ihrom dapat ditangkap hikmah yaitu kepatuhan,
9
kerendahan hati, tawadhu dihadapan Allah SWT,10 Selain itu juga ada beberapa
nilai-nilai yang terkandung dalam beberapa aspek ibadah haji seperti makna dan
nilai air zam-zam yang memang bersumber di tanah tempat orang melakukan
ritual haji dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam buku yang ditulis oleh Drs. HMS. Projodikoro, yang
merupakan karyanya setelah ia melakukan ibadah haji dan ditulis dengan latar
belakang pengalaman peribadi yang ditempuhnya dalam menunaikan ibadah haji,
dimana beliau menjelaskan bagaimana perjalanan serta persiapan yang dilakukan
sebelum berangkat ke tanah suci yang diawali dari tanah air sampai kembalinya,
selain itu ia juga dipaparkan olehnya beberapa tanda-tanda dari haji mabrur
diantaranya meningkatnya kelakuan seseorang dalam bidang ibadah, dakwah,
pendidikan dan sosial.11
Selain itu pula ada beberapa hasil penelitian yang mengkaji tentang
masyarakat Sasak seperti hasil penelitian mahasiswa Sosiologi Agama Lalu
Darmawan yang juga menjadi skripsinya dengan judul Sistem Perkawinan
Masyarakat Sasak, di mana dalam penelitianya ini Ia membahas bagaimana
hubungan agama dengan tradisi Merariq dalam pekawinan masyarakat Sasak di
Lombok, dalam skripsinya ini dipaprkan selain hukum-hukum yang memang
sudah ditentukan oleh agama ada enam proses yang dilakukan setiap masyarakat
Sasak dalam tradisi merariq itu sendiri apabila ingin melakukan sebuah
perkawinan di antara yang enam itu yaitu bebait atau memaling, prosesi besejati,
10 Muslim Nasution, Haji dan Umrah Keagungan dan Nilai Amaliahnya , ( Jakarta: Gema
Insani Press, 1999), hlm. 30. 11 HMS. Projodikoro, Pengalaman dan Pengalaman Ibadah Haji, (Yogyakarta:
Sumbangsih, 1978), hlm. 72.
10
prosesi beselabar, nunas beras mesang, sorong serah dan nyonkol, kemudian yang
terakhir nyunsu.
Kemudian buku yang ditulis oleh Dr. Ahmad Abd. Syakur, M.A yang
juga merupakan disertasi beliau dalam rangka meraih gelar Doktor di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, dalam bukunya yang berjudul Islam dan Kebudayaan ini
banyak dijelaskan bagaimana keberadaan Islam di Lombok terutama fokus dari
buku ini memaparkan tentang bagaimana akulturasi nilai-nilai Islam dengan
budaya lokal Sasak, dalam buku ini juga diungkapkan bagaimana peran seorang
haji yang berpengaruh di sana yaitu T.G.H (Tuan Guru Haji) sebagai agen
perubahan dan agen akulturasi antara budaya lokal Sasak dengan Islam sekaligus
sebagai pembaharu dikalangan masyarakat sasak karena beliau merupakan
seorang yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam di Lombok.
Penelitian lainya yang memebahas tetentang haji yaitu skripsi Fitriana
Rahmawati yang merupakan mahasiswa UIN angkatan 2001 Fakultas Ushuluddin
Prodi Sosisologi Agama, dimana dalam penelitianya ini Fitriana hanya terfokus
pada sejauh mana pengaruh predikat Haji terhadap stratifikasi sosial masyarakat
di kelurahan Bungsri kecamatan Jepara, Jawa Temgah.
Selain itu skripsi yang ditulis oleh Rd. Saiful Mujab, mahasiswa
Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Jogjakarata, mahasiswa
angkatan 2001 ini mengamati tentang sejauh mana pemahaman jamaah haji
Yogyakarta tentang hadis-hadis haji mabrur, dari hasil penelitianya
menyimpulkan bahwa jamaah haji Yogyakarta, memahami bahwa haji mabrur itu
11
yaitu orang yang memperoleh haji mabrur keperibadianya akan lebih baik
dibanding sebelum menunaikan ibadah haji.
Apabila melihat dari beberapa tinjauan pustaka di atas belum ada
pembahasan secara sepesifik mengenai bagaimana fenomena kehidupan para
pelaku haji yang terdapat dalam masyarakat Sasak di Lombok, di mana karya-
karya yang telah ditulis di atas masih hanya sebatas menjelaskan haji secara
umum, waluapun karya Abd. Syakur telah membahas peran seorang yang telah
haji dalam perubahan masyarakat di lombok namun masih hanya sebatas proses
sejarah dalam pembaharuan di masyarakat Sasak.
E. Kerangka Teoritik
1. Haji dan Hubungan Sosial
Haji merupakan salah satu diantara lima rukun Islam yang wajib
dikerjakan hanya sekali seumur hidup oleh setiap muslim yang mampu
mengerjakannya dan bertempat atau mengambil lokasi-lokasi yang telah
ditentukan oleh Allah SWT melalui firmanya di dalam Al-qur’an dan hadis-hadis
Rasulullah Saw.
Haji menurut bahasa berasal dari bahasa Arab hajja-yahujju-hajjan yang
berarti menuju ke-suatu tempat berulang kali atau menuju kepada sesuatu yang
dibesarkan, sedangkan menurut syara’ ialah mengunjungi Baitullah dengan sifat
yang tertentu, diwaktu yang tertentu pula12, Baitullah yang dimaksud disini adalah
rumah Allah yaitu Ka’bah yang berada di kota Mekkah Arab Saudi. Dalam
12 Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Haji, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 2.
12
pelaksanaannya ada beberapa hal-hal atau yang harus dikerjakan dan tidak boleh
ditinggalkan agar ibadah hajinya menjadi sah yaitu rukun haji. Menurut pendapat
ulama’ jumhur (kebanyakan ulama) rukun haji ada enam macam yaitu: niat
dengan berihrom, wukuf di Arafah, thawaf ifadhoh dengan mengelilingi Ka’bah
7 kali, sa’i antara bukit Shofa dan Marwah 7 kali, bercukur rambut kepala,
tertib.13
Dalam kehidupan masyarakat agama, terutama umat Islam tentu haji
telah menjadi fenomena yang sangat menarik untuk kita bincangkan. Keunikan
haji sebagai sebuah ibadah telah mengalami berbagai persentuhan dengan
berbagai aspek sosial budaya, sehingga makna haji telah mengalami pergeseran
makna. Kemudian haji secara teologis setidaknya telah memiliki makna ganda, di
sisi lain haji merupakan satu bentuk kesolehan terhadap Tuhan, yang merupakan
bentuk realitas ketuhanan yang bersifat transendensi. Namun di sisi yang lain haji
telah bermakna secara sosial tetapi bukan “kesalehan sosial”, namun ritual haji
telah menjadi satu bentuk modal sosial untuk memperkaya diri dengan
menjadikan haji sebagai penguat status dan peran sosial baik individu ataupun
secara kolektif dalam masyarakat.
Dari fenomena haji ini telah membentuk hubungan sosial melalui proses
konstruksi norma-norma sosial, sistem dan struktur sosial masyarakat. Sehingga
pola hubungan masyarakat antara yang berhaji dengan yang bukan haji membuat
garis demarkasi dan dikotomi sosial, terutama pada peran dan status seseorang
dalam kehidupan masyarakat.
13 Djamaluddin Dimjati, Panduan Ibadah Haji Dan Umrah Lengkap Disertai Rahasia
dan Hikmahnya, (Solo: Era Intermedia, 2006), hlm. 21.
13
Dalam kehidupan sosial masyarakat itu sendiri ketika melihat hubungan
sosialnya di mana manusia dilihat sebagai pelaku dari peranan-peranan sosial
tertentu yang diembannya, misalkan saja peran seorang sebagai kepala sekolah,
dokter, kepala desa, dan lain sebagainya begitu pula dengan peran yangdimainkan
orang yang telah melakukan ritual haji
Berbicara masalah peranan seperti yang dikutif oleh David Berry. Gross,
Marson dan McEachern mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan-
harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan tertentu.
Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma sosial dan oleh
karenanya peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam
masyarakat.14 Artinya di sini bahwa peranan merupakan suatu yang dimainkan
oleh setiap individu di dalam suatu masyarakat tertentu atas dasar norma-norma
dan nilai yang ada dalam masyarakat tertentu.
Dalam hal harapan ini menurut David Berry, ada dua macam harapan
yaitu: pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau
kewajiban-kewajiban dari pemegang perana. Kedua, harapan-harapan yang
dimiliki oleh si pemegang peran terhadap “masyarakat” atau terhadap orang-orang
yang berhubungan dengannya dalam menjalankan perananya atau kewajiban-
kewajibanya.15
Kemudian masyarakat itu sendiri dalam menentukan harapan-harapanya
terhadap para pemegang-pemegang peran tersebut di dalam masyarakat tertentu,
14David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, trj. Paulus Wirutomo, ( Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 106. 15 Ibid., hlm. 107.
14
dapat dikatakan bahwa harapan-harapan di dalam peranan (role expectation)
adalah berasal dari norma-norma sosial, dan individu berorientasi pada norma-
norma sosial dengan melalui “normative reference groupnya”.16 Di mana
normative reference group ini di definisikan sebagi sebuah “kelompok refrensi”
dari mana individu mengambil norma-norma yang mengatur tingkah lakunya dan
dari “kelompok refrensi” ini pula si individu menemukan “harapan” tentang apa
yang seharusnya ia lakukan sehubungan dengan peran-perannya, hak-hak dan
kewajiban-kewajibanya dalam peranan yang ia pegang.17
Selanjutnya Berry menjelaskan tentang “kedirian” (self) di dalam
masyarakat. Menurut Berry kedirian adalah hasil dari interaksi sosial, tetapi
sekaligus bisa digunakan oleh pemiliknya dan juga orang lain untuk mepengaruhi
interaksi sosial, yang pada giliranya akan mengubah konsepsi individu tentang
dirinya.18 Jadi kedirian yang dimaksud disini adalah suatu produk sosial yang
terjadi akibat proses interaksi sosial antar individu-individu di dalam masyarakat,
oleh karenaya citra diri individu secara keseluruhan adalah penggabungan dari
berbagai kedirian seorang individu di dalam bermacam-macam perananya.19
Selanjutnya James C. Scott yang dikutip oleh Heddy Shri Ahimsa Putra,
mengungkapkan bahwa hubungan yang terjadi dalam masyarakat cendrung
menimbulkan hubungan patron-klien yaitu:
16 Ibid., hlm. 108.
17 Ibid., hlm. 109.
18 Ibid., hlm. 121.
19 Ibid., hlm. 122.
15
“ a special case of dyadic (two person) ties, involving a largely in strumental friendship in which an individual of higher socio economic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection or benefits or both, for a person of a lower status (client) who for his part reciprocates by offering general support assistance, including personal services, to the patron” ( suatu kasus khusus antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdaya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukanya (klien), yang pada giliranya membalas pemberian tersebut dengan memberikan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa peribadi, kepada patron)20. Dalam penelitian hubungan sosial haji di masyarakat Sasak ini, dimana
para pemegang peran haji akan di posisikan sebagai seorang patron, sendangkan
klienya adalah masyarakat biasa yang ada di masyarakat Sasak, karena orang yang
berpredikat sebagai haji dalam masyarakat Sasak dipandang sebagai orang yang
strata sosialnya lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat biasa.
Teori tentang peranan dan hubungan patron klien yang dikembangkan
oleh David Berry James Scott inilah sebagai landasan teori pokok dan sekaligus
sebagai analisa nantinya dalam membahas tentang bagaimana pola hubungan
antara para pemegang peranan haji (dalam hal ini para pelaku haji) dengan
masyarakat setempat baik itu antar para pemegang peranan haji maupun antara
pemegang peranan haji dengan masyarakat biasa di desa Loyok yang menjadi
lokasi kajian penelitian ini.
20 Heddy Shri Ahimsa Putra, Minawang, Hubungan Patron-klien di Sulawesi Selatan,
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988), hlm. 2.
16
F. Metode Penelitian
Metode disisni diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakaukan
dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai upaya
dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta
dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis.21 Jadi, metode
penelitian merupakan suatu cara atau jalan yang di gunakan seorang peneliti
dalam penelitianya oleh karenanya motede yang digunakan untuk sebuah
penelitian juga menentukan hasil dari penelitian tersebut.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif dimana peneliti perlu melibatkan diri dalam kehidupan
subyek dan sebagai peneliti harus mengidentifikasi diri dan bersatu rasa dengan
subyeknya. Sehingga ia dapat mengerti mereka dengan menggunakan kerangka
berpikir mereka sendiri.22
Selain itu juga penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang pada
hakekatnya merupakan metode untuk menemukan secara spesifik dan realis
tentang apa yang sedang terjadi pada suatu saat ditengah-tengah masyarakat.23
21 Mardalis, Metode Penelitian Suatau PendekatanProposal, (Jakarta: Bumi Aksara,
2006), hlm. 24. 22 Arief Furchan, Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif, ( Surabaya: Usaha Nasional,
1992), hlm. 26-27. 23 Mardalis, Op. Cit., hlm. 28.
17
2. Subyek dan Lokasi Penelitian
Suharsimi Arikunto mendefinisikan subjek penelitian adalah subjek yang
dituju untuk diteliti oleh peneliti, yaitu subjek yang menjadi pusat perhatian atau
sasaran peneliti.24 Selain itu subjek merupakan orang yang memberikan informasi
atau keterangan yang berkaitan dengan persoalan yang akan diteliti artinya tempat
data diperoleh, yaitu masyarakat sasak khususnya masyarakat yang ada di Loyok.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini mengumpulkan data yang berkaitan dengan judul
peneltian yang akan dilaksanakan, penulis menggunakan tekhnik observasi,
wawancara (interview) dan dokumentasi.
a. Observasi
Peneliti melakukan pengamatan terhadap subyek penelitian dengan
menggunakan teknik observasi langsung, dimana observasi merupakan suatu studi
yang disengaja dan sistematis tentang keadaan atau fenomena sosial dan gejala-
gejala psikis dengan jalan mengamati dan mencatat.25
Dalam metode observasi ini, tentunya peneliti akan mengamati secara
langsung gejala-gejala yang terjadi dalam masyarakat Sasak yang itu berkaitan
dengan judul yang diangkat dalam penelitian ini, oleh karenanya dalam penelitian
ini peneliti untuk beberapa bulan berada di lokasi penelitian dan hidup bersama
masyarakat Sasak yang ada di Loyok dengan tujuan memahami bagimana pola
24 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, ( Jakarta: PT
Rineka Cipta. 2002), hlm. 122. 25 Mardalis, Op. Cit., hlm. 63.
18
hubungan sosial pelaku haji dalam masyarakat Sasak serta faktor apa saja yang
mempengaruhi pola hubungan tersebut.
b. Wawancara (Interview)
Wawancara (Interview) merupakan salah satu teknik pokok dalam
penelitian kualitatif, wawancara pada hakikatnya merupakan produk dari
pemahaman situasi lapangan dalam sebuah interaksi yang khas.26 Oleh karnaya
metode wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan data yang dapat dijadikan
bahan penelitian. Dalam hal ini wawancara yang akan dilakukan adalah
wawancara umum dan wawancara mendalam, dimana wawancara umum
dilakukan terhadap informan pangkal atau orang-orang yang dianggap awam
terhadap persoalaan yang dijadikan materi wawancara, namun ia terlibat secara
langsung dengan materi yang kita tanyakan, sedangkan wawancara mendalam
dilakukan untuk menggali data yang berasal seorang informan kunci menyangkut
data pengalaman individu atau hal-hal khusus dan sangat spesifik.27
Dalam wawancara ini sendiri sasaran utama untuk mendapatkan data
yang layak adalah masyarakat Sasak yang ada di Loyok secara umum dan
tentunya orang-orang yang berpredikat sebagai haji.
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi dianggap penting untuk membantu penulis
mendapatkan data-yang berkaitan dengan tema yang sudah ditentukan. Di dalam
melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis
26 Moh. Soehadha, Pengantar Metode Penelitian Sosial Kualitatif , Buku Daras, Tidak
Diterbitkan, Yogyakarta, 2004, hlm. 48.
27 Ibid., hlm. 50.
19
seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan
harian, dan sebagainya.28
4. Pendekatan
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan
sosiologis dimana peneliti menggunakan logika-logika dan teori sosiologi baik
teori klasik maupun modrn untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan
serta pengaruh sutu fenomena terhadap penomena lain.29 Dalam hal ini fenomena
sosial keagamaan yang dimaksud yaitu fenomena haji dalam masyarakat Sasak
khususnya masyarakat Sasak di Desa Loyok Kec. Sikur Kabupaten Lombok
Timur.
5. Metode Analisis Data
Analisis data adalah peroses yang memerlukan usaha untuk secara
formal mengidentifikasi tema-tema dan menyusun hipotsa-hipotesa (gagasan-
gagasan) yang ditampilkan oleh data, serta upaya untuk menunjukan bahwa tema
dan hipotesa tersebut didukung oleh data.30 Menurut Miles & Huberman (1994:
429) batasan proses analisis data mencakup tiga subproses, yaitu reduksi data,
display data, dan verifikasi data. Dalam penelitian kualitatif, proses analisis data
itu pada hakikatnya sudah dipersiapkan pada saat sebelum dilakukan
28 Suharsimi Arikunto, Op. Cit., hlm. 135. 29 M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Yeori dan Praktek, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. 2002), hlm. 100. 30 Arief Furchan, Op. Cit., hlm. 137.
20
pengumpulan data. Jadi dalam penelitian kualitatif sebenarnya analisis data
dilakukan dalam setiap saat ketika proses penelitian berlangsung dan bersifat
siklus atau melingkar dan interaktif selama peroses pengumpulan data.31
Yang dimaksud dengan ketiga subproses diatas yaitu pertama Reduksi
data, yaitu proses seleksi, pemfokusan, dan abstraksi data dari catatan lapangan
(field note). Kedua Display data, yaitu peneliti melakukan organisasi data,
mengkaitkan hubungan-hubungan tertentu antara data yang satu dengan data
lainnya. Dan yang ketiga Verifikasi data dimana pada tahap ini peneliti telah
mulai melakukan penafsiran (interpretasi) terhadap data sehingga data yang
diorganisasikanya memiliki makna.32
G. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih jelasnya penulisan skripsi ini, maka penulis akan
menguraikan sistematika beberapa bab yang sudah tersusun berdasarkan sub
pembahasannya dalam penulisan sebagai berikut:
Bab I adalah bab pendahuluan. Dalam pendahuluan ini penulis akan
menjelaskan tentang latar belakang masalah yaitu bagaimana latar belakang
tersebut muncul, kemudian dilanjutkan dengan perumusan masalah, setelah itu
dikemukakan tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritik, dan tinjauan
pustaka, dan yang terakhir adalah metode penelitian yang akan digunakan serta
sistematika penulisan.
31 Moh. Soehadha, Op. Cit., hlm. 61. 32 Ibid., hlm. 62.
21
Bab II berisi gambaran umum lokasi penelitian, yang membahas tentang
letak dan aksesibilitas desa Loyok yang merupakn lokasi penelitian serta kondisi
sosial ekonomi, budaya dan pendidikan serta corak keberagamaan penduduknya.
Selain itu pada bab ini juga dibahas etnisitas di desa Loyok
Bab III dalam bab ini membahas bagimana pola hubungan sosial pelaku
haji dengan masyarakat sasak di desa Loyok Kabupaten Lombok Timur, akan
tetapi dalam bab III ini sekilas diawali dengan pemaparan tentang penjelasan
mengenai tradisi lokal masyarakat dalam pelaksanaan ibadah haji, serta
bagaimana pandangan masyarakat suku Sasak yang ada di desa Loyok terhadap
setatus haji.
Bab IV pada bab ini akan dijelaskan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pola hubungan sosial pelaku haji dengan masyarakat lokal Sasak
yang ada di desa Loyok Kec. Sikur Kab. Lombok Timur. Dalam bab ini akan
dijelaskan faktor yang mempengaruhinya dari kacamata sosial politik, ekonomi,
budaya dan agama.
Bab V adalah bab terakhir yang terdiri dari kesimpulan, saran-saran
sekaligus penutup. Dan sebagai pelengkap dari skripsi ini memuat daftar pustaka,
lampiran-lampiran dan curriculum vitae
22
BAB II
POTRET KOMUNITAS SASAK
DI DESA LOYOK KAB. LOMBOK TIMUR
A. Letak dan Aksesibilitas
Secara administrasi Desa Loyok termasuk dalam wilayah Kecamatan
Sikur, Kabupaten Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Desa
Loyok merupakan salah satu bagian dari wilayah pemerintahan Kecamatan Sikur
yang membawahi 6 Desa. Desa Loyok sendiri berada di tengah-tengah dari
beberapa Desa yang ada di Kecamatan Sikur. Jarak Desa Loyok dengan pusat
pemerintahan Kecamatan Sikur adalah 4,5 Km sedangkan jarak Desa Loyok
dengan Ibukota Kabupaten Lombok Timur yaitu 20 Km, dan jarak antara Desa
Loyok dengan Ibukota Propinsi NTB adalah 36 Km.
Untuk mencapai Desa Loyok sangat mudah selain jarak Desa Loyok
dengan pusat kota tidak terlalu jauh akses jalan yang mendukung dengan jalan
yang sudah di aspal sehingga memudahkan pengguna alat teransportasi menuju
kesana, selain itu juga transportasi umum untuk menuju Desa Loyok terbilang
mudah ditemukan seperti angkutan umum tradisional (becak) maupun angkutan
umum moderen seperti ojek atau angkot, berdasarkan data yang ada bahwa jalan
yang terdapat di Desa Loyok sepanjang 37 Km dengan perincian 6 Km jalan
Negara, 5 Km jalan propinsi, 7 Km jalan kabupaten, dan 19 Km jalan Desa.
Desa Loyok yang memiliki luas wilayah 695 Km2 terletak diketinggian
antara 600-800 M di atas permukaan laut, sehingga daerah ini beriklim teropis
23
dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, dengan curah hujan
1000-3300 MM/tahun. Sedangkan keadaan tanah di Desa Loyok sebagian besar
dataran dengan suhu udara rata-rata 15°C – 25°C, sehingga dengan mudah
tumbuh bermacam tanaman pertanian dan perkebunan. Lahan yang ada di desa
Loyok terdiri dari lahan untuk pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan,
petokoan, dan lain sebaginya. Loyok sendiri memiliki 9 Dusun yaitu: Dusun
Loyok, Dusun Dasan Tinggi, Dusun Rungkang, Dusun Gerami, Dusun
Mangkling, Dusun Ajan, Dusun Wengkang, Dusun Lelupi, dan Dusun Serengat.
Adapun batas-batas wilayah Desa Loyok adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Kotaraja, Kecamatan Sikur.
Sebelah Barat : Desa Peringga Jurang dan Desa Montong Betok,
Kecamatan Terara.
Sebelah Timur : Desa Danger, Kecamatan Masbagik.
Sebelah Selatan : Desa Sikur dan Desa Montong Betok, Kecamatan
Sikur.
Apabila kita melintas di Desa Loyok kita pasti akan menemukan toko-
toko kerajinan anyaman bambu halus dan gerabah, karena masyarakat Loyok
sendiri khususnya masyarakat Loyok yang ada di Dusun Loyok dan Rungkang
memiliki keahliaan seni dibidang anyaman bambu halus dan tanah liat (gerabah),
hal inilah yang menjadikan Desa Loyok sebagai salah satu dari beberapa obyek
wisata yang ada di kabupaten Lombok Timur, dimana toko-toko kerajinan tangan
ini berada di dua dusun berbeda yaitu toko-toko kerajinan anyaman bambu berada
di Dusun Loyok, sedangkan toko-toko gerabah berada di Dusun Rungkang, dan
24
hal inilah yang membuat desa Loyok lebih dikenal oleh kalangan masyarakat baik
masyarakat lokal maupun mancanegara.
Sarana dan prasarana umum yang telah ada di desa Loyok diantaranya 1
Puskesmas pembantu dengan 2 tenaga pelayanan kesehat yaitu 1 orang dokter dan
1 orang bidan desa, dimana adanya Puskesmas desa ini sebagai puskesmas
pembantu sangat diraskan manfaat pelayananya oleh masyarakat Desa Loyok
untuk berobat konsultasi kesehatan dan sebagainya, selain itu pula sarana
pendidikan di desa Loyok sendiri, terdapat 16 buah sarana pendidikan formal dari
Sekolah Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Lanjutan Atas baik yang bersetatus
Negeri maupun Swasta, selain itu beberapa pendidikan non formal seperti taman
pendidikan Al-Qur’an (TPA).
Loyok sebagai sebuah desa yang pendduduknya 100% memeluk ajaran
Islam tantu memiliki sarana dan prasarana peribadatan yaitu masjid dan musolla
yang dijadikan sebagai temapat peribadatan umum oleh masyarakat setempat,
selain itu keberadaan Masjid dan Musolla sebagi tempat ibadah telah menjadi
sebuah simbol dalam agama Islam, kendati sama-sama menjadi tempat
peribadatan umat Islam tetapi keduanya antara masjid dan musolla memiliki
perbedaan, dalam masyarakat Loyok khususnya memberi nama Masjid apabila
tempat peribadatan tersebut dipakai sehari-hari dan tempat jum’atan sedangkan
musolla hanya digunakan untuk peribadatan sehari-hari tapi bukan dipergunakan
untuk solat Juma’tan.
Di desa Loyok ini sendiri terdapat 66 sarana peribadatan yaitu Masjid
sebanyak 11 buah dan Musolla 55 buah terletak di sembilan dusun yang berbeda
seperti tabel di bawah ini:
25
Tabel 2.1
Jumlah Sarana Peribadatan di Desa Loyok
Bentuk Sarana peribadatan No Lokasi (Dusun)
Masjid Musolla Jumlah
1 Loyok 1 9 10
2 Dasan Tinggi 1 8 9
3 Rungkang 1 3 4
4 Gerami 1 10 11
5 Mangkling 2 3 5
6 Ajan 3 6 9
7 Wengkang 1 4 5
8 Lelupi - 4 4
9 Serengat 1 6 7
Jumlah 11 55 66
Sumber: Data monografi Desa Loyok, 2006
Sarana-sarana peribadatan seperti yang disebutkan pada tabel di atas
selain digunakan sebagai tempat beribadah Masjid dan Musolla ini juga dijadikan
sebagai tempat pendidikan Al-Qur’an yaitu TPA.
Secara historisnya sebagai suatu desa pada awalnya Loyok merupakan
bagian dari desa Kotaraja, yang dulunya Loyok masih bersetatus sebagai Kotaraja
Selatan, di mana desa Kotaraja memiliki tiga bagian desa yaitu Kotaraja Pusat,
Kotaraja Selatan yang sekarang menjadi desa Loyok dan Kotaraja Utara yang
sekarang menjadi desa Tetebatu. Kemudian pada tanggal 15 Nopember 1961
Loyok memisahkan diri dari Kotararaja dan menjadi sebuah desa yaitu Desa
Loyok dengan 9 dusun, pada saat itu Lurah Desa yang pertama dikepalai oleh
26
H.Khairuddin melalui pemilihan lurah desa33, samapi saat ini kepala pemerintahan
Desa Loyok telah mengalami empat periode kepemimpinan, pada priode pertama
di kepalai oleh H. Khairuddin; kemudian pada periode kedua Loyok di pimpin
oleh H. Lalu Udin, kemudian dilanjutkan oleh H. Lalu Darmawan, dan saat ini
Kepala Desa di pegang oleh Lalu Hadirin.
Dalam sistem pemerintahan suatu desa, untuk menjalankan roda
pemerintahanya, seorang Kepala Desa dibantu oleh beberapa kepala-kepala
urusan dan masing-masing kepala dusun. Begitupula halnya di desa Loyok sendiri
secara struktural pemerintahan desa, seorang kepala desa dibantu oleh sembilan
kepala dusun yang ada di sembilan dusun yang bebrbeda, selain itu seorang
kepala desa Loyok dibantu oleh sekertaris desa dan beberapa kepala urrusun
masing-masing yaitu urusan umum, urusan keuangan, urusan kesra, urusan
pemerintahan dan pembangunan.
B. Sosial Ekonomi
Berdasarkan data monografi Desa Loyok, jumlah penduduk yang
bertempat tinggal di Loyok adalah 12.087 orang, di antaranya 5.650 orang laki-
laki dan peremuan berjumlah 6.437 orang, dengan 3.780 kepala keluarga yang
tersebar di sembilan dusun berbeda yang ada di Desa Loyok, berikut ini tabel data
penduduk yangada di Desa Loyok:
33 Wawancara dengan Bapak Humaidi, seorang Sekertaris Desa dalam struktur pemeritahan
Desa Loyok, 4 Juni 2008.
27
Tabel 2.3
Jumlah Penduduk di Desa Loyok
Jenis Kelami No Tempat (Dusun)
Laki Wanita
Kepala
Keluarga (KK)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Loyok
Dasan Tinggi
Rungkang
Gerami
Mangkling
Ajan
Wengkang
Lelupi
Serengat
979
776
785
339
797
994
316
334
330
1.084
886
872
421
851
1.195
405
359
364
631
566
503
239
521
648
231
207
234
Jumlah 5.650 6.437 3.780
Sumber: Data monografi Desa Loyok, 2006
Masyarakat yang berada di Desa Loyok ini merupakan masyarak yang
sebagian besar adalah petani dan pengerajin anyaman babu halus dan gerabah,
karena Loyok sendiri merupakan salah satu tujuan wisata yang ada di Propinsi
Nusa Tenggara Barat, dijadikannya Loyok sebagai salah satu tempat wisata di
NTB merupakan salah satu aset yang penting bagi masyarakat desa Loyok sendiri
untuk mencari keuntungan dari kegiatan seni keterampilan anyaman bambu halus
dan gerabah, dimana keterampilan anyaman bambu dan gerabah yang mereka bisa
merupakan keterampilan secara turun temurun yang memang telah ada sejak
zaman nenek moyang mereka.
Pada awalnya kegiatan kerajinan gerabah dan anyaman bambu halus ini
masih bersifat sambilan saja, maksudnya adalah hanya untuk memenuhi
28
kebutuhan sendiri, bukan sebagai barang dagangan, lalu kemudian usaha
kerajinan khususnya anyaman bambu halus dijadikan sebagai usha oleh penduduk
yang di pelopori oleh H. Ahmad pada tahun 1975, menurut pengakuanya modal
pertama kali pada waktu itu diperkirakan sebesar Rp. 15.000,00 saja34, dan smapai
saat ini keterampilan masyarakat Loyok ini di jadikan sebagai suatu usha dan
salah satu mata pencaharian mereka.
Selain petani dan industri kerajinan yang menjadi mata pencaharian
masyarakat setempat ada beberapa pekerjaan-pekerjaan yang dijadikan
masyarakat setempat sebagai mata pencaharianya seperti sebagai Pegawai Negeri
Sipil (PNS), tenaga pengajar, pembuatan batu bata, pedagang, selain itu adanya
sungai yang membentang di desa Loyok dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat
sebagi mata pencahariannya yaitu sebagai penggali pasir, ada pula warga Desa
Loyok tidak lama ini mulai mengembangkan budidaya air tawar dengan sistem
keramba. Jenis ikan karper yang dibudidayakan penduduk setempat menyesaki
kokok (sungai) Maronggek. Di sungai Maronggek sendiri saat ini terdapat sekitar
60 buah keramba milik warga. Para pemilik keramba berada dalam satu wadah
yang diberi nama Mele Sugeh, Pendak Derek (Ingin Kaya, bosan miskin,).
‘’Ketua kelompok yakni Lalu Hadirin, Kepala Desa Loyok sendiri,”
Beragamnya jenis pekerjaan yang ada di Desa Loyok justru tidak serta
merta menghilangkan masyarakat yang mencari kerja di luar daerah bahkan ke
luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi yang dijadikan sebagai
pilihan tempat mengadu nasibnya. Selain itu bahkan tidak sedikit di antara
34 Wawancara dengan Bapak H. Ahmad, Pengusaha Kerajinan Anyaman Bambu halus, 12
Juni 2008.
29
penduduknya pindah dan menetap di pulau Sumbawa yang masih berada dalam
tutorial propensi NTB, dimana mereka ada yang berstatus sebagai imigrasi
melalui program pemerintah dan ada juga yang menjadi imigrasi karena inisiatif
mereka sendiri.
C. Tradisi
Kebudayaan merupakan sebagai perangkat gagasan, aturan-aturan,
keyakinan-keyakinan yang dimiliki bersama,35 oleh karenanya di setiap daerah
yang mempunyai penduduk sudah pasti mempunyai keyakinan dan tatacara
sehingga tata cara tersebut bisa menjadi suatu kebudayaan masyarakat yang secara
tidak langsung dijadikan sebagai hukum yang tidak tertulis. Begitu pula halnya
dengan masyarakat yang ada di desa Loyok mempunyai kebudayaan atau adat
istiadat tersendiri, dimana budaya yang berlaku di Desa Loyok adalah budaya
“Lombok/Sasak” yang samapai saat ini masih menjadi pegangan masyarakat Desa
Loyok36, adapun budaya atau adat Sasak yang sering dilakukan oleh masyarakat
Desa Loyok diantaranya yaitu upacara Perkawinan Sorong Serah Aji Kerama,
dimana adat perkawinan pada masyarakat Lombok ini dikaitkan apabila seorang
pemuda (terune) dapat memperoleh seorang istri berdasarkan adat dengan dua
cara yaitu: pertama dengan soloh (meminang kepada keluarga si gadis); kedua
dengan cara merariq (melarikan si gadis), setelah salah satu cara sudah dilakukan,
maka keluarga pria akan melakukan tata cara perkawinan sesuai adat Sasak pada
35 Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer, (Jakarta: Kencana. 2006), hlm. 23 36 Wawancara Dengan Amaq. Rohaini. (Tokoh Adat Desa Loyok).
30
umumnya37. Adapun prosesi dalam perkawinan (merariq) ini, menurut hasil
penelitian L. Darmawan ada enam tahap yang dilakukan dalam tradisi perkawinan
masyarakat Sasak diantaranya yaitu bebait atau memaling, prosesi besejati,
prosesi beselabar, nunas beras mesang, sorong serah dan nyonkol, kemudian
yang terakhir nyunsu38.
Selain upacara perkawinan (Merarik) adapula upacara-upacara lainnya
seperti Mbesok Tian, Ngurisang, khitanan, rangkaian upacara kematian dan lain
sebaginya, upacara-upacara ini dilakukan masyarakat Desa Loyok dengan budaya
atau adat istiadat Sasak.
Adapun kesenian-kesenian yang berkembang dalam masyarakat di Desa
Loyok ini diantaranya yaitu kesenian “Gendang Beleq” disebut Gendang Beleq
karena salah satu alatnya adalah gendang beleq (gendang besar).Menurut cerita,
gendang beleq ini dulu dimainkan kalau ada pesta-pesta kerajaan, sedang kalau
ada perang berfungsi sebagai komandan perang,39 sedangkan saat ini gendang
beleq ini kerap kali digunakan masyarakat pada saat upacara sunatan, pernikahan
dan upacara-upacara lainya.
Selain itu ada kesenian musik tradisional yang ada di Desa Loyok seperti
Kecimol atau biasa disebut Esot-esot, Gamelan dan kesenian tari Jangger sebagai
tontonan yang biasanya dipentaskan pada acara perkawinan, sunatan, ulang tahun
dan Iain-lain. Adapun kesenian-kesenian musik tradisional ini yang keberadaanya
37 http://lomboktimur.go.id/?pilih=hal&id=27, Diakses 28 Juli 2008
38 Lalu Darmawan, “Sistem Perkawinan Masyarakat Sasak”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006, hlm. 64. 39 http://lomboktimur.go.id/index.php?pilih=hal&id=22. Diakses 28 Juli 2008
31
sampai saat ini dan masih digeluti oleh masyarakat Loyok sebanyak 4 kelompok
yang berada di beberapa Dusun berbeda di Desa Loyok, tabel berikut ini adalah
data kesenian musik tradisional yang ada di Desa Loyok.
Tabel 2.4
Jumlah Kesenian Musik Tradisional di Desa Loyok
NO Lokasi (Dusun) Jumlah (Kelompok
1 Rungkang 1
2 Mangkling 1
3 Wengkang 1
4 Lelupi 1
Jumlah 4
Sumber: Data monografi Desa Loyok, 2006
Sampai saat ini keempat kesenian yang ada di Desa Loyok ini masih
sering diundang untuk pentas pada upacara-upacara masyarakat baik dari
masyarakat dari dalam desa sendiri maupun desa-desa yang ada di Lombok.
Ada pula permainan tradisional yang sampai saat ini sering di lakukan
dan dipertontonkan dalam masyarakat Desa Loyok antara lain Peresian dan
Begasingan dimana peresian ini merupakan suatu permainan yang menggunakan
senjata yang dipakai berupa sebilah rotan dengan lapisan aspal dan pecahan kaca
yang dihaluskan, sedangkan periai terbuat dari kulit lembu atau kerbau, setiap
pemain atau pepadu dilengkapi dengan ikat kepala dan kain panjang. Sedangkan
Begasingan merupakan suatu permainan yang biasanya dilaksanakan pada tempat
atau lokasi yang kosong dimana saja bisa dilaksanakan atau diadakan tidak seperti
permainan yang lain. Begasingan sendiri merupakan suatu permainan yang umum
32
di Indonesia yaitu permainan gangsing, akan tetapi permainan ini mempunyai ciri
khas tersendiri dalam masyarakat suku Sasak dimana Begasingan ini berasal dari
dua suku kata yatu Gang dan Sing yang artinya Gang adalah lokasi lahan atau
lorong, Sing adalah Suara40.
D. Pendidikan
Untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan, masyarakat yang berada
di desa Loyok ini belajar di tempat sarana pendidikan baik sarana pendidikan
formal maupun nonformal, dimana sarana pendidikan nonformal ini yaitu Taman
pendidikan Al-qur’an (TPA) kemudian adanya kelompok pengrajin anyaman
bambu halus dan gerabah yang bertempat di rumah-rumah penduduk ataupun di
toko-toko kerajinan, adanya pendidikan kerajinan ini merupakan upaya untuk
regenerasi para pengrajin yang ada di Desa Loyok mengingat keterampilan yang
terdapat disana merupakan keterampilan turun temurun dari nenek moyang yang
telah ada sebelum mereka.
Sedangkan pendidikan formal di Desa Loyok terdapat 16 buah sarana
pendidikan formal dari Sekolah Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Lanjutan
Atas baik yang berstatus Negeri maupun Swasta, untuk lebih jelasnya berikut ini
adalah tabel data sarana pendidikan yang ada di Desa Loyok:
40 http://www.lomboktimur.go.id/index.php?pilih=hal&id=33, Diakses 28 Juli 2008
33
Tabel 2.5
Jumlah Sarana Pendidikan di Desa Loyok
No TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH
1 TK 3 buah
2 Sekolah Dasar/ MI 8 buah
3 SMP/ MTs 3 buah
4 SMA/ MA 1 buah
Jumlah 15 buah
Sumber: Data monografi Desa Loyok, 2006
Dari tabel di atas dapat dikatakan bahwa sarana pendidikan formal baik
yang berstatus Negeri ataupun Swasta yang ada di Desa Loyok sudah cukup
memenuhi, sehingga sebagian besar masyarakat yang ada di Desa Loyok pernah
menempuh pendidikan formal, selain itu pula di Desa Loyok saat ini sudah ada
SMK keterampilan yang tahun 2008 ini mulai menerima Siwa dan Siswi baru.
Adapula sarana pendidikan yang belum disebutkan jumlahnya, padahal
sarana pendidikan tersebut sudah ada dan terselenggara sejak lama, sarana
pendiikan tersebut yaitu Taman Bacaan Al-Qur’an (TPA) yang digunakan sebagai
tempat memperdalam ilmu agama selain di sekolah-sekolah formal bagi anak-
anak yang berusia 15 tahun ke bawah, dimana TPA-TPA ini berada di Masjid,
Musolla dan rumah tempat tinggal guru ngaji.
Adanya sarana-sarana pendidikan formal maupun nonformal yang
terbilang cukup memadai di Desa Loyok ini, bukan berarti menghilangkan
keinginan masyarakatnya untuk sekolah atau menuntut ilmu ke luar desa maupun
34
ke luar daerah mereka seperti pondok pesantren, SMP maupun SMA umum dan
sekolah kejuruan.
E. Keberagamaan.
Agama dalam pandangan Durkheim yaitu sebagai seperangkat
keyakinan dan praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sakral, yang
menciptakan ikatan sosial antar individu41. Sedangkan di dalam suatu wilayah
atau kelompok masyarakat dimana jalan yang ditempuh secara keagamaan itu
sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi dan politik yang beroperasi
dalam ikatan-ikatan geografis, politis, sosial dan nasional42.
Secara keseluruhan masyarakat yang ada di Desa Loyok adalah
masyarakat yang notabene pemeluk agama Islam 100 % dari 12.087 penduduk
yang ada, oleh karenanya di Desa Loyok sarana peribadatan untuk para pemeluk
ajaran Islam sudah cukup memadai yaitu terdapat 66 sarana peribadatan di
antaranya Masjid sebanyak 11 buah dan Musolla sebanyak 55 buah, sedangkan
tempat peribadatan agama selain Islam tidak ada seperti sarana peribadatan seperti
Gereja Vihara dan sebagainya, seperti yang terdapat dalam table data sarana
peribadatan dibawah ini.
41 Bryan S Turner. Agama dan Teori Sosial. ter. Inyak Ridwan Muzir, (Yogyakarata:
IRCiSoD. 2003), hlm. 20 42 Max Weber. Studi Komperhensif Sosiologi Kebudayaan. ter.Abdul Qodir Shaleh,
(Yogyakarata: IRCiSoD), 2002. hlm. 9
35
Tabel 2.6
Data Sarana Peribadatan di Desa Loyok
No Nama Tempat Ibadah Jumlah
1 Masjid 11
2 Musholla 55
3 Gereja -
4 Vihara -
Jumlah 66
Sumber: Data monografi Desa Loyok, 2006
Apabila melihat sejarah Islam yang pernah ada di Desa Loyok dan
menjadi keyakinan masyarakat di sana, memiliki dua Varian Islam Sasak, sama
halnya dengan masyarakat-masyarakat suku Sasak terdahulu yang ada di Lombok,
kedua varian Islam Sasak itu adalah varian Islam wetu telu dan varian Islam waktu
lima, di mana varian Islam wetu telu ini secara nama baru muncul pada tanggal 19
Juli 1956, yang merupakan singkretisme antara Hindu, Buddha dan Islam,
walaupun ajaran ini sudah masuk ke Lombok yaitu sekitar abad keenam belas
masehi,43 sedangkan varian Islam waktu lima merupakan istialh yang muncul
sebagai perbandingan dari lahirnya istilah Islam wetu telu, di mana Islam waktu
lima adalah varian yang menjalankan agama sesuai Al-Qur’an dan Hadis Nabi
43 Ahmad Abd. Syakur, Islam Dan Kebudayaan Akulturasi Nilai-nilai Islam Dalam Budaya
Sasak, (Yogyakarta: Adab Press 2006), hlm. 120. Selain itu Syakur juga menambahkan bahwa varian islam wetu telu hanya menerapkan tiga dari rukun islam yang lima dimana kewajiban zakat dan ibadah haji tidak ada, oleh karenaya dikatakn juga lahirnya islam wetu telu karena identik dengan hal-hal yang tiga, selain iyu ada beberapa pendapat tentang lahirnya islam wetu telu yang dipaprkan dalam bukunya.
36
terutama dalam masalah aqidah, syariah, mu’amalah dan akhlak.44 Karena secara
Akidah dan syariah kedua varian Islam sasak ini berbeda.
Perbedaan varian Islam wetu telu dan varian Islam waktu lima ini, secara
akidah kalangan islam wetu telu selain percaya kepada Allah SWT, mereka juga
mempercayai peranan roh para leluhur dan mahluk-mahlik halus sementara
kalangan Islam waktu lima hanya percaya pada Allah SWT. Sedangkan secara
syariah varian Islam waktu lima mengerjakan rukun Islam yang lima, syahadat,
sholat, puasa, zakat dan haji. Sementara varian Islam wetu telu hanya menerapkan
tiga dari rukun Islam yang lima, bagi mereka tidak ada kewajiban zakat dan
ibadah haji.45
Walaupun dalam sejarahnya kedua varian Islam Sasak ini pernah ada
dan menjadi keyakinan masyarakat Desa Loyok, saat ini seperti yang dikatakan
beberapa responden bahwa varian Islam Sasak saat ini hanya varian Islam Sasak
waktu lima, dimana varian Islam Sasak wetu telu sudah lama mati dan tidak
berkembang lagi di Desa Loyok.
Secara varian Islam Sasak masyarakat di Desa Loyok saat ini bervarian
Islam waktu lima, akan tetapi persamaan varian Islam Sasak ini di kalangan
masyarakat bukan berarti mereka memiliki persamaan organisasi keagamaan
tempat mereka bernaung, dimana dalam masyarakat Desa Loyok terdapat 2
organisasi Islam yaitu Pertama: organisasi Islam Nahdatul Wathan (NW) adalah
organisasi keagamaan Islam yang memiliki kegiatan utama dalam bidang
44 Ibid. hlm. 135 45 Ibid. hlm. 117-118
37
pendidikan, sosial dan dakwah islamiyah. Organisasi ini didirikan oleh
TGKH.Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada tanggal 1 Maret 1953
bertepatan dengan 15 Jumadil Akhir 1372 Hijriyah46. Kedua: organisasi YATOPA
(Yayasan Tohir Padil), organisasi Yatopa ini didirikan oleh TGH. Tohir Padil di
Bodak Lombok Tengah, pada awalnya organisasi Yatopa ini merupakan sebuah
yayasan penyelenggara ibadah haji yang sebelumnya adalah bagian dari organisasi
Nahdatul Wathan (NW).47
Sebenarnya organisasi-organisasi yang terdapat di Desa Loyok dan
keberadaanya masih ada dan memeiliki kegiatan tersendiri oleh masing-masing
kelompok, sepengetahwan penulis berdasrkan informan diantara beberapa
organisasi yang keberadaanya sampai saat ini dintaranya organisasi Hizbullah,
organisasi Satgas Hamzanwadi, organisasi Jama’ah solat janazah dan organisasi
Amphibi.
Akan tetapi organisasi-organisasi yang ada di Desa Loyok ini apabila
dilihat dari sejarahnya terbentuknya organisasi tersebut sebagian besar merupakan
organisasi yang tumbuh dari organisasi Nahdatul Wathan (NW) atau organisasi-
organisasi tersebut merupakan embrio dari organisasi Nahdatul Wathan (NW)
yang merupakan organisasi paling berpengaruh dikalangan masyarakat Loyok dan
diprovensi NTB pada umumnya.
Kegiatan-kegiatan keagamaan yang rutin dilakukan oleh masyarakat
desa Loyok yaitu pengajian atau ceramah oleh kiai yang mereka sebut dengan
46 http://www.nw.or.id/tgbc/pages/nahdlatul-wathan-nw.php. Diakses 27 Juli 2008. 47 Wawancara dengan H.L. Ikramullah, Pengurus YATOPA wilayah Desa Loyok, 15 Juni
2008.
38
sebutan Tuan Guru yang biasa dilakukan pada hari-hari besar Islam dan rutin satu
kali dalam dua minggu di setiap hari jum’at. Kegiatan lainya adalah membaca
Hiziban48 secara bersamaan oleh orang-orang NW di musolla-musolla yang oleh
mereka dianggap sebagi musolla organisasi NW.
Corak keberagamaan masyarakat Desa Loyok masih bersipat tradisional
dimana dalam praktek keagamaan mereka adanya percampuran antara agama dan
budaya setempat, dimana dalam interaksi Islam dan berbagai budaya lokal tentu
terdapat kemungkinan Islam mewarnai, mengubah, mengolah, dan
memperbaharui budaya lokal, namun ada kemungkinan, Islam yang justru
diwarnai oleh budaya lokal.49 hal semavcam ini kerap kali terjadi dalam peraktek
yang dilakukan apabila ada upacara-upacara keagamaan seperti kematian,
perkawinan dan sebagainya.
Masyarakat Desa Loyok yang notabenenya adalah pemeluk ajaran islam
yang di dukung dengan sarana peribadatan yang cukup memadai bukan berarti
penduduk masyarakat di Desa Loyok menutup diri dari orang-orang asing, bahkan
mereka sangat menghormati para pelancong atau wisatawan lokal maupun asing
yang datang ke tempat mereka walaupun mereka berbeda secara agama ataupun
budaya, akan tetapi dalam urusan-urusan agama mereka sanagat tertutup untuk
menerima ajaran-ajaran agama yang baru di luar agama Islam bahkan hanya untuk
menerima ajaran-ajaraan Islam yang dikarenakan perbedaan paham atau mazhab
48 Hiziban merupakan sebuah bacaan yang berisikan ayat-ayat Al-Qur’an dan Doa-doa,
yang mana Hizib ini merupakan karya yang di tulis oleh pendiri Nahdatul Wathan (NW) TGKH.Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
49 Simuh. Islam Dan Pergumulan Budaya Jawa. (Yogyakarta: Teraju. 2003). hlm. 8
39
saja mereka sulit untuk menerimanaya, hal ini bisa dilihat dari organisasi-
organisasi keagamaan yang ada terdapat di Desa Loyok, walaupun organisasi-
organisasi yang ada beragam akan tetapi bersumber pada satu organisasi dan
paham atau ajaran-ajaran keagamaan yang sama.
Sulitnya masyarakat Loyok untuk menerima paham atau ajaran-ajaran
baru dan dikembankan dalam masyarakat Loyok, ini dikarenakan oleh
kefanatikan mereka terhadap suatu ajaran atau paham sangat tinggi, selain itu
indikasi kuat yang mempengaruhinya yaitu karisma TGKH. Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid, yang merupakan tokoh pembeharu Islam dan juga
pendiri NW.
40
BAB III
POLA HUBUNGAN SOSIAL
PELAKU HAJI DENGAN MASYARAKAT SASAK
A. Dimensi Haji Terhadap Tradisi Lokal Sasak
Dalam pandangan Emile Durkheim agama adalah suatu sistem kesatuan
dari keyakinan dan praktek-praktek yang bersifat relatif terhadap hal-hal yang
sacred, yakni segala sesuatu yang dihindari atau dilarang dan keyakinan-
keyakinan dan praktek-praktek yang mengajarkan moral yang tinggi ke dalam
suatu komunitas.50 Dalam hal ini haji merupakan sebuah praktek agama yang
diyakini oleh pemeluk agama Islam, dalam masyarakat suku Sasak sendiri dalam
menjalankan ibadah agama memiliki dua aspek ritual yaitu yang bersifat ritual
yang bersifat teologis yaitu ketentuan ritual-ritual yang telah ditentukan oleh
syariat Islam dan aspek ritual yang bersifat tradisi atau adat istiadat yang biasanya
dilakukan oleh komunitas masyarakat suku Sasak khususnya yang ada di Desa
Loyok.
Masyarakat desa Loyok sendiri bisa dikatakan masyarakat yang masih
memegang adat dan tradisis-tradisi Sasak secara umum tak terkecuali tradisi-
tradisi ketika ada penduduk yang melaksanakan ibadah haji.
Tradisi-tradisi atau kebiasaan yang sering dilakukan masyarakat yang
ada di desa Loyok dalam pelaksanaan ibadah haji dilaksanakan sejak sebelum
50 Roland Robertson (ed). Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi. ter. Ahmad
Fedyani Saifuddin. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1988). hlm. 41
41
keberangkatan hingga paska keberangkatan pelaku haji. Dalam tradisi-tradisi ini
peneliti membaginya menjadi tiga fase tradisi yang sering dilakukan oleh
masyarakat suku sasak di desa Loyok khususnya fase tradisi yang pertama yaitu
fase persiapan yaitu sebelum pelaku haji berangkat ke tanah suci, kemudian yang
kedu fase pertengahan diman ketika pelaku haji sedang berada di tanah suci
Mekah, dan yang ketiga yaitu fase paska haji yaitu dimana ketika pelaku haji
pulang dari ibadah hajinya, untuk lebih jelasnya dibawah ini akan dijelaskan
ketiga fase dari tradisi-tradisi yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Sasak
pada umumnya dalam pelaksanaan ibadah haji.
1. Fase persiapan
Tradisi pada fase persiapan ini diman sebelum pelaku haji berangkat
ketanah suci untuk melakukan ibadah hajinya. Tradisi yang biasanya dilakukan di
masyarakat Loyok apabila ada yang melaksanakan haji dimulai sejak tiga bulan
sebelum keberangkatan pelaku haji yang bersangkutan
Biasanya tiga bulan sebelum berangkat haji mulai rutin mengadakan zikir, baca yasi, berzanji. Yang dua bulan dilakukan hanya setiap malam jum’at saja dan satu bulan sebelum keberangkatan baru dilakukan secara rutin setiap malamnya, dan biasanya satu bulan sebelum berangkat sudah secara serius mempelajari bagaimana tatacara dalam pelaksanaan haji serta do’a-do’anya51. Tradisi zikir dan doa bersama yang dilakukan masyarakat desa Loyok
merupakan suatu bentuk atau pola dari manifestasi doa dan zikir yang memiliki
fadilah dan keutamaan-keutamaan melalui aktifitas doa dan zikir, dimana dalam
ajaran agama Islam zikir merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
51 Wawancara dengan H. Zainal seorang pengusaha gerabah di dusun Rungkang desa
Loyok, 20 Juni 2008.
42
SWT, sarana berdoa merupakan sarana membebaskan diri dari segala macam
bentuk dosa, secara normative zikir dapat pula dipakai sebagai salah satu indikator
utama dalam dimensi keimanan seorang muslim52.
Zikir dan doa bersama inilah yang menjadi tradisi yang selalu dilakukan
penduduk masyarakat didesa Loyok apabila ada diantara mereka yang
menunaikan ibadah haji, dimana zikir dan doa bersama ini dilakukan tiga bulan
sebelum pelaku haji berangkat ke tanah suci Mekah yang dilakukan di rumah
pelaku haji yang bersangkutan, dari tiga bulan sebelum keberangkatan pelaku haji
dua bulanya terlebih dahulu dilakukan hanya setiap malam jum’at dan kemudian
satu bulan sebelum keberangkatan baru dilakukan zikir dan do’a bersama secara
rutin setiap malamnya sampai saat pelaku haji yang bersangkutan selesai
melakukan ibadah haji dan tiba di rumah sendiri dan tampil dalam masyarakat
dengan predikat sebagai seorang haji.
Kemudian menjelang keberangkatan pelaku haji ke tanah suci Mekah,
sekitar satu minggu sebelum keberangkatanya, pelaku haji mengadakan suatu
kegiatan yang disebutnya begawe (acara makan bersama) yang di hadiri oleh
keluarga kerabat dan masyarakat sekitar tempat tinggal yang bersangkutan,
dengan tujuan untuk meminta maaf dan doa secara formalitas.
Kira-kira satu minggu sebelum berangkat calon jamaah haji megadakan kegiatan begawe untuk meminta maaf kepada semua yang hadir dan mohon doa restu serta saling mendoakan yang akan berangkat dan yang belum serta menyantuni anak yatim. Selain itu membuat pelang pemberitaan bahwasanya ada yang haji serta mencantumkan nama calon haji dan menghiasi rumahnya. Kemudian melakukan ziarah ke makam-makam para wali, dan juga leluhur. Calon
52 Akhmad Yusuf khoiruddin, Konflik Antar Pemuka Agama Tentang Tradisi Tahlilan
(Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2005), hlm. 28.
43
jamaah haji juga mulai memisahkan diri tidur dari istri supaya konsen terhadap ibadah hajinya.53 Selain mengadakan begawe pelaku haji sebelum keberangkatanya ke
tanah suci, di depan rumahnya harus ada semacam pelangisasi, yang mana pelang
ini merupakan suatu simbol sosial sebagai sebuah isyarat atau pemberitahuan
bahwa ada yang melakukan ibadah haji ke tanah suci mekah dengan
mencantumkan nama pelaku haji yang bersangkutan, jadi secara otomatis pelang
disini berpungsi untuk memberitahukan bahwa si A lagi sedang melakukan ibadah
haji.
Sebelum keberangkatanya pelaku haji juga pergi berziarah yang
ditemani keluarga dan kerabat ke beberapa makam para wali dan juga leluhur
seperti makam raja selaparang yang terletak didesa Selaparang Kecamatan Swela
Kabupaten Lombok Timur, dimana oleh masyarakat Lombok Makam Raja
Selaparang ini dikramatkan dan selalu dikunjungi oleh para penziarah pada hari –
hari tertentu54.
Selanjutnya pada hari pemberangkatan yaitu hari terakhir pelku haji
berada di rumah sebelum memiliki predikat sebagai seorang haji, dimana saat
53 Wawancara dengan H. Zainal seorang pengusaha gerabah di dusun Rungkang desa
Loyok, 20 Juni 2008. 54 http://ntb.go.id/pusparagam/pariwisatamakamselaparang.php, Diakses 15 Agustus
2008. Selaparang adalah kerajaan Islam tertua di Lombok sekitar permulaan abad ke –15. Beberapa ahli sejarah menyuebutkan bahwa sebelumnya kerajaan Hindu yang didirikan oleh Ratu Mas Pahit para masa kerajaan Majapahit di Jawa, salah seorang keturunan Prabu Brawijaya yang kemudian ditaklukan oleh pasukan Majapahit, dibawah pimpinan Senopati Nala. Tentang siapa nama raja selaparang ini ada beberapa yang disebut masyarakat dulan, cerita tradisi yaitu Raden Mas Pakenak Dewa kerajaan Mas Pakel, Raden Prakasa dan Batara Selaparang . Jadi sejak jaman Hindu yang kemudian beralih ke jaman Islam, Kerajaan Selaparang tersebut menurut hasil penelitian ahli sejarah ada hubunganya dengan Bali, Jawa Sumbawa, Makasar (Goa) dan Banjarmasin, hal ini nampak di bentuk bangunan fisik yang berwujud berbagi asal daerah dan agama inilah yang merupakan ciri khas makam selaparang yang tidak akan dijumpai ditempat lain.
44
pemberangkatan ada rangkaian acara terlebih dahulu yang dilakukan calaon
jamaah haji eserta keluarga dan masyarakat di desa Loyok ini. Pada saat
pemberangkatan
Di dalam rumah oleh pemuka agama dan pemuka masyarakat beserta keluarga dilepas secara resmi, kemudian berangkat ke masjid setempat bersama jamaah yang lainya, di masjid terlebih dahulu calon jamaah haji melakukan solat sunat musafir, dan di masjid berkumpul masyarakat untuk pelepasan terakhir secara umum55. Pelepasan atau perpisahan calon haji dengan masyarakat desa Loyok
pada umumnya dilaksanakan di Masjid terdekat dari kediaman calon jamaah haji,
hal ini dilakukan karena masyarakat yang ada di desa Loyok ini beranggapan
bahwa untuk pergi haji harus berangkat dari tempat yang suci untuk menuju
tempat yang suci, dalam Islam sendiri Mekah dan Masjid merupakan dua tempat
yang dianggap suci oleh umat Islam. Oleh karenanya ibadah haji dalam
masyarakat desa Loyok dan masyarakat suku Sasak pada umumnya sangat
disakralkan dengan rangkaian ritus-ritus yang sudah tersistem dalam masyarakat
setempat.
2. Fase pertengahan
Tradisi pada fase pertengahan ini yaitu tradisi-tradisi sewaktu pelaku haji
berada di mekah untuk menjalankan ibadah hajinya, pihak kelurga yang berada
dirumah tetap secara rutin untuk melaksanakan doa dan zikir bersama dengan
55 Wawancara dengan H. Zainal seoramng pengusaha gerabah di dusun Rungkang desa
Loyok, 20 Juni 2008.
45
tujuan untuk mendoakan pelaku haji yang sedang melaksanakan ibadahnya oleh
masyarakat di rumah pelaku haji yang bersangkutan tersebut setiap malamnya.
Pada tanggal sembilan Zulhijjah tepatnya pada hari raya Idul adha atau
hari raya qurban ada suatu kebiasaan yang selalu dilakukan di masyarakat Loyok
ini
Pada hari wukup tanggal 9 Zulhijjah, habis solat hari raya Qurban masyarakat berkumpul di rumah yang sedang melakukan haji untuk berzikir mendoakan jamaah haji tersebut. Kemudian satu minggu sebelum orang yang haji pulang dari tanah suci, kelurga menggantikan pelang yang semula selamat jalan menjadi selamat datang, serta mencantumkan nama si pelaku haji dengan menambahkan gelar haji56. Pada hari wukup tanggal sembilan zulhijjah ini, dimana waktu wukup
adalah sejak tergelincirnya matahari pada tanggal 9 Zulhijjah sampai terbit pajar
tanggal 10 Zulhijjah. Ketika wukup terus menerus membaca tahmid, tasbih dan
tahlil, serta berdoa dan bertaubat57. Kalau pada hari tanggal 9 Zulhijjah ini pelaku
haji menjalankan rukun haji tepatnya Wukup di Aropah dengan serangkaian
ritual, maka masyarakat yang berada di kampung halamnya turut serta dalam
ritual ini yaitu dengan mengadakan doa dan zikir bersama untuk mendoakan
pelaku haji yang sedang melaksanakan rukun haji Wukup, hal ini dilakukan
karena mereka menganggap rukun haji yang satu ini agak berat untuk
dilaksanakan pelaku haji tanah suci dibanding rukun haji yang lainya. Dan secara
normatif mereka menganggap bahwa doa dan zikir bersama yang dilakukan untuk
mendoakan pelaku haji yang sedang beribadah bisa membantu dan mempermudah
56 Wawancara dengan Bapak H. Ahmad, Pengusaha Kerajinan Anyaman Bambu halus, 12 Juni 2008.
57 Istimawan Dipohusodo, Pergi Haji Sesuai Sunah Rasul, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
1997), hlm. 174.
46
si pelaku haji yang bersangkutan dalam melaksanakan ibadah hajinya khususnya
pada hari Wukup tanggal 9 Zulhijjah ini.
Kemudian pada saat pelaku haji hendak pulang dari ibadah hajinya,
mereka disambuat seolah seperti seorang raja diantaranya sambutan ini dilakukan
dengan simbol, yaitu sebuah pelang yang terpampang besar di depan rumahnya
dengan tulisan selamat datang dan mencantumkan nama pelaku haji yang
bersangkutan dengan menambahkan gelar haji di belakang nama pelaku haji yang
bersangkutan, adapun apabila pelaku haji ini melakukan pergantian nama di tanah
suci maka soialisasi pergantian namanya ini dimulai pada waktu ini.
3. Fase paska haji
Tradisi-tradisi dalam fase ini, yaitu sepulang pelaku haji dari Mekah dan
telah berpredikat sebagai haji. Dimana pada saat ini pihak keluarga menjemput
dan meyediakan tempat untuk pelaku haji tersebut di rumahnya untuk
mengadakan kumpul bersama beberapa masyarakat setempat pada hari itu
Sesampai di rumah jamaah haji berkumpul bersama masyarakat untuk menceritakan perjalanan dan sewaktu melaksanakan ibadah haji di tanah suci yang diahiri dengan doa bersama yang harus dipimpin oleh jamaah haji. Lalu satu minggu kemudian jamaah haji ini mengumpulkan masyarakat untuk mengadakan tasyukuran-dan 40 hari setelah kedatanga dari tanah suci ia harus pisah tidur dengan istri karena berkeyakinan kembalinya dari makah ada 40 malaikat yang mendampinginya yang setiap harinya berkurang satu persatu58. Dari fase tradisi ini diman pelaku haji yang sudah berpredikat sebagi haji
menceritakan selintas perjalananya dalam pelaksanaan ibadah hajinya di tanah
58 Wawancara dengan Bapak H. Ahmad, Pengusaha Kerajinan Anyaman Bambu halus, 12
Juni 2008.
47
suci, hal ini sebenarnya tidak hanya bercerita pengalaman pelaku haji saja akan
tetapi bisa menjadikan sebagai slah satu motifasi masyarakat biasa untuk
melakukan haji selanjutnya.
Yang unik dalam tradisi pada fase ini yaitu tradisi pisah tidur selama 40
hari setelah pulang dari ibadah hajinya, karena masyarakat di desa Loyok ini
berkeyakinan bahwa sepulang dari ibadah hajinya pelaku haji yang bersangkutan
di temani atau didampingi oleh 40 orang malaikat yang mana setiap harinya satu
persatu dari ke 40 malaikat tersebut berkurang hingga 40 hari setelah si pelaku
haji balik dari ibadah hajinya di tanah suci.
Apabila dilihat tradisi-tradisi dalam masyarakat suku Sasak di Desa
Loyok ini bisa dikatakan merupakan suatu tradisi yang cukup panjang dan secara
ekonomis juga memakan biaya yang tidak sedikit karena setiap kali mengadakan
doa dan zikir bersama harus menyauguhkan makanan dan minuman yang mana
hal ini harus dilakukan sejak tiga bulan sebelum pelaku haji berangkat untuk
ibadah hajinya dan tidak sedikit masyarakat yang hadir dalam tradisi ini. Selain
itu pada saat tradisi pesta atau yang disebut mereka yaitu begawe paling tidak
harus mengorbankan seekor sapi.
Oleh karenaya seorang yang ingi melakukan ibadah haji di dalam
masyarakat suku Sasak khususnya di desa Loyok ini harus memiliki uang yang
cukup banyak karena uang yang dikelurakanya tidak hanya untuk ongkos dan
bekal dalam menunaikan ibadah haji akan tetapi harus juga menyiapkan dana
untuk berbagi tradisi-tradisi lokal yang sudah biasa dilakukanya dan tradisi-tradisi
48
ini sampai saat ini masih berlaku dan dilakukan apabila ada yang ingin melakukan
ibadah haji ke tanah suci.
B. Status Haji Dalam Pandangan Masyarakat Suku Sasak
Haji merupakan salah satu diantara lima rukun Islam yang wajib
dikerjakan hanya sekali seumur hidup oleh setiap muslim yang mampu
mengerjakanya. Haji menurut bahasa berasal dari bahasa Arab hajja-yahujju-
hajjan yangberarti menuju kesuatu tempat berulang kali atau menuju kepada
sesuatu yang dibesarkan, sedangkan. menurut syara’ ialah mengunjungi Baitullah
dengan sifat yang tertentu, diwaktu yang tertentu pula59, Baitullah yang dimaksud
disini adalah rumah Allah yaitu Ka’bah yang berada di kota Mekkah Arab Saudi.
Dalam Islam ibadah haji merupakan bentuk dari manifestasi ketakwaan
seorang muslim terhadap tuhanya dengan melaksanakan enam rukun yang telah
ditentukan oleh ulama’ jumhur60 yang memiliki keutamaan-keutamaan dan
fadilah-fadilah serta hikmah-hikmah tertentu. Sedangkan dalam masyarakat haji
justru memiliki keistimewaan dalam masyarakat tertentu dengan berpredikat haji
bagi pelaku ibadah yang satu ini, karena hanya orang-orang yang mampu secara
ekonomi dan fisik yang bisa melaksanakan ibadah haji, oleh karenaya dalam
pandangan Weber bahwa kelas-kelas yang secara ekonomis tidak mampu, seperti
59 Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Haji, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm.
2. 60 Djamaluddin Dimjati, Panduan Ibadah Haji Dan Umrah Lengkap. Disertai Rahasia
Dan Hikmahnya, (Solo: Era Intermedia, 2006), hlm. 21. Keenam rukun islam tersebut yaitu: Niat dengan berihrom, Wukuf di Arafah, Thawaf Ifadhoh dengan mengelilingi ka’bah 7 kali, Sa’i antara bukit Shofa dan Marwah 7 kali, Bercukur rambut kepala, Tertib
49
para budak dan buruh harian, tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa panji-
panji agama tertentu.61
Di dalam masyarakat haji tidak hanya sekedar ibadah antara individu
dengan tuhanya saja, akan tetapi haji telah memiliki makna sosial yang tinggi,
salah satunya dengan fenomena setatus haji bagi para pelakunya, yang mana
setatus sebagai haji selalu di pegang oleh si pelaku haji baik secara formal
maupun non formal, oleh karenanya di dalam masyarakat setatus haji mempunyai
pandangan yang berbeda dengan masyarakat biasanya.
Dalam masyarkat suku Sasak khususnya desa Loyok kabupaten Lombok
Timur ini, masyarakatnya memandang para pelaku haji atau yang sudah memiliki
predikat sebagi haji yaitu sebagai orang yang kaya bila diukur dari kelompok
masyarakat lokal Sasak.
Orang yang pernah melakukan haji adalah orang yang banyak uangnya, karena kalau mau haji harus mempunyai uang selain untuk ongkos pergi haji orangnya juga perlu mempersiapkan uang untuk mengadakan begawe (pesta), dan sikir (zikir, membaca yasinan dan berzanji) dari sebelum berangkat hingga pulang.62
Ini artinya bahwa bagi orang yang ingin melakukan ibadah haji harus
mempersiapkan uang yang tidak sedikit karena orang yang melakukan haji tidak
hanya mempersiapkan uang untuk ongkos pergi menunaikan ibadah haji saja akan
tetapi harus mempersiapkan uang untuk prosesi serangkaian tradisi-tradisi lokal
yang biasanya dilakukan oleh masyarakat suku Sasak apabila ada yang melakukan
61 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.
157.
62 Wawancara dengan Ibu Nurhasanah, Seorang tenaga pengajar swasta di MTS Loyok, 25 Juni 2008
50
ibadah haji, persepsi masyarakat bahwa orang yang memiliki setatus haji adalah
orang yang kaya sangat beralasan karena dalam sosial masyarakat desa Loyok
orang berpredikat sebagai haji didominasi oleh para pengusaha dan pemilik lahan
dan ternak, seperti yang dikatakan oleh H. Ahmad bahwa orang yang haji di desa
Loyok selain menabung pada bank-bank formal mereka juga menabung melalui
aset tanah dan ternak.
Selain persepsi masyarakat bahwa orang yang berpredikat haji adalah
orang-orang yang secara finansial memiliki harta yang banyak, masyarakat desa
Loyok juga menganggap orang yang bersetatus haji adalah orang yang taat
beragama
Orang yang haji di masyarakat merupakan orang yang taat beribadah dan orang yang haji di sini adalah orang yang dihormati, misalkan apabila kita mau berbicara denganya orang yang sudah haji biasa menggunakan omongan yang lebih sopan dan halus.63
Dalam masyarakat desa Loyok ini bahwa orang yang bersetatus sebagai
haji secara agama merupakan orang yang taat beribadah, yang dimaksud taat
dalam ibadah bukan hanya sekedar karena orang yang berpredikat haji ini
melaksanakan ibadah haji saja, tetapi juga inflikasi dari ibadah hajinya tersebut
terhadap ibadah-ibadah lainya seperti solat dan sebagainya, oleh karenaya dalam
hal ini orang yang berpredikat sebagi haji di dalam masyarakat harus terlihat
sebagai orang yang selalu membawa panji-panji agama Islam dan oleh masyarakat
diharapkan sebagai panutan bagi penduduk lainya yang ada dalam masyarkat desa
Loyok.
63 Wawancara dengan Ibu Rusnah, Seorang guru kerajinan di SMP 2 Sikur dan SMA 1
Sikur, 25 Juni 2008
51
Selain dipandang secara ekonomi sebagai seorang yang kaya dan
dipandang juga sebagai orang yang secara agama adalah orang yang takwa dalam
masyarakat desa Loyok, para pelaku haji atau yang bersetatus sebagai haji juga
dipandang sebagai seorang yang terhormat dalam masyarakat, oleh karenaya
apabila masyarakat suku Sasak secara umum berintraksi dengan orang yang
bersetatus haji menggunakan bahasa yang lebih sopan atau bahasa Sasak yang
halus, walaupun sebelum orang yang bersetatus haji melakukan ibadah hajinya
dalam masyarakat dipandang kurang terhormat, maka setelah hajinya otomatis
akan lebih dihormati oleh masyarakat sekitar.
Apbila dianalisis secara sosiologis pandangan-pandangan masyarakat
bahwa orang yang haji adalah orang yang secara ekonomi memiliki harta yang
banyak, dan dalam masyarakat pelaku haji dipandang sebagi orang yang
terhormat dan seorang yang taat dalam agamanya atau bertakwa, maka orang yang
berpredikat atau bersetatus sebagi haji layak digolongkan sebagai orang yang
menempati kelas sosial atas dalam stratifikasi sosial masyarakat desa Loyok. hal
ini bisa diukur dari ukuran kekayaanya dan kehormatanya seorang yang
berpredikat sebagi haji, karena seperti yang disebutkan oleh Soerjono Soekanto
bahwa ukuran atau kriteria yang bisa dipakai untuk menggolong-golongkan
anggota-anggota masyarakat kedalam suatu lapisan adalah: Ukuran kekayaan,
ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan dan ukuran ilmu pengetahuan.64
64 Soerjono Soekanto, Sosiaologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005), hlm. 237-238. dalam hal ini Soekanto juga menambahkan bahwa orang bisa berada pada kelas tertatas apabila dia termasuk dalam beberapa kreteria tersebut, akan tetapi ukuran yang disebutkan diatas tidak bersifat limitative, karena masih ada ukuran-ukuran lain yang dapat digunakan.
52
Apabila dianalisis dengan ukuran-ukuran yang telah disebutkan oleh
Soerjono soekanto di atas bahwasanya para pelaku haji di Desa Loyok berada
dalam lapisan atas dalam stratifikasi sosial masyarakat, karena para pelaku haji di
Loyok dipandang sebagai orang yang kaya dan terhormat oleh masyarakat
setempat di Desa Loyok.
Dari pemafaran diatas juga bisa disimpulkan bahwa ibadah haji dengan
serangkaian (tahapan) ritus yang diatur sedemikian rupa, dalam realitas sosialnya
menjadi sebuah simbol-simbol sosial yang memiliki makna dalam masyarakat,
dimana dalam masyarakat Sasak yang ada di desa Loyok khususnya bahwa haji
merupakan simbol kekayaan dan sekaligus bisa menjadi ukuran kekayaan
seseorang, selain itu haji juga menjadi simbol ketakwaan seseorang terhadap
tuhanya dan haji merupakan sebagi simbol bahwa orangnya adalah orang yang
terhormat.
Haji sebagi suatu simbol dalam masyarakat Sasak, diman simbol adalah
objek sosial yang dipakai untuk merepresentasikan (atau menggantikan) apapun
yang disetujui orang yang akan mereka representasikan65. Oleh karenanya secara
tidak langsung oleh masyarakat akan menafsirkan bahwa orang yang berpredikat
sebagai haji adalah orang yang kaya, bertakwa dan terhormat dalam masyarakat
Sasak, dan untuk mengetahui apakah orang itu haji atau bukan, dalam masyarakat
Sasak orang yang berpredikat haji selalu mengenakan peci putih di kepalanya dan
sebaliknya orang yang bukan bersetatus haji dalam msayarakat Sasak Loyok ini
65 George Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Moderen, terj. Alimandan
(Jakarta: Kencan, 2003), hlm. 292.
53
mersa malu untuk mengenakan peci putih karena peci putih dalam masyarakat
Sasak merupakn simbol bagi yang berpredikat sebagi haji.
C. Pola Hubungan Sosial Patron Klien Pelaku Haji Dalam Masyarakat
Sasak.
1. Hubungan Sosial Pelaku Haji Dalam Masyarakat Sasak
Pengertian hubungan sosial dipergunakan untuk menggambarkan suatu
keadaan dalam mana dua orang atau lebih terlibat dalam suatu proses perilaku.
proses perilaku tersebut terjadi berdasarkan tingkah laku para pihak yang masing-
masing memperhitungkan perilaku pihak lain dengan cara yang mengandung arti
bagi masing-masing66. Dalam hal ini hubungan sosial yang akan dibahas oleh
peneliti yaitu baigaimana pola hubungan sosial haji antara orang yang berpredikat
sebagai haji dengan masyarakat lokal Sasak di desa Loyok,
Akan tetapi untuk melihat hubungan-hungan antara orang yang
berpredikat haji dengan masyarakat Sasak, baiknya dijelaskan terlebih dahulu
siapa orang yang berpredikat sebagai haji tersebut, maksudnya yaitu bagimana
keadaan hidup para pelaku haji baik secara sosio ekonominya di dalam
masyarakat Sasak ini.
Dalam komunitas masyarakat suku Sasak para pelaku haji atau orang
yang bersetatus sebagai haji secara ekonomi tentu dipandang sebagai orang yang
memiliki harta yang banyak secara umum, orang yang berpredikat sebagai haji
66 Soerjono Soekanto, Max Weber, Konsep-konsep Dasar Dalam Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985), hlm. 53.
54
dalam masyarakat Sasak di desa Loyok ini sebagian besar adalah orang yang
memiliki usaha seperti memiliki kios kerajinan atau kios gerabah mengingat di
desa Loyok merupakan salah satau industri kerajinan bambu halus dan gerabah
yang juga menjadi salah satu obyek wisata yang ada di Lombok Timur, seperti
orang yang berpredikat sebagai haji yang pernah diwawancarai oleh penulis
adalah pelaku bisnis yang memiliki kios kerajinan bambu halus dan gerabah
diantaranya yaitu H. Zainal, H. Ahmat (pemilik kios gerabah) dan H.
Abdurahman, H. Ahmad Maliki (pemilik kios kerajinan anyaman bambu). Selain
itu orang yang bersetatus sebagi haji dalam masyarakat adalah pemilik lahan yang
luas atau biasa disebut dengan tuan tanah dan orang-orang yang memiliki usaha
tempat pengolahan tembakau, seperti H. Ikramullah, H. Hasan, H. Masud, H.
Karim dan sebagainya yang merupakan pengusaha tembakau yang ada di desa
Loyok ini.
Selain itu seperti yang dikatakn oleh H. Ahmad bahwa orang-orang yang
berpredikat sebagai haji juga ada yang berpropesi sebagai pengusaha sumil
(tempat pengolahan kayu), ada juga yang berpropesi sebagai pemilik toko
bangunan, dan lain sebagainya. apabila dicermati pemaparan diatas bahwa oarang-
orang yang berpredikat sebagi haji dalam masyarakat di desa Loyok ini
didominasi oleh para pelaku bisnis atau pengusaha seperti pengusaha kerajianan
anyaman bambu halus, gerabah, alat-alat bagunan dan juga pengusaha tembakau,
pemilik sumil dan tetntunya sebagai tuan tanah atau pemilik lahan yang luas
mengingat desa loyok tanahnya sebagaian besar adalah lahan sawah.
55
Dalam pembahasan pola hubungan sosial haji, orang-orang yang
berpropesi sebagai haji inilah yang diposisikan sebagai patron dan para
pekerjanya dan pengikutnya adalah sebagai kliennya, yang mana dalam hubungan
sosialnya antara patron dan klien ini memiliki harapan-harapan dalam peranannya
sebagai seorang haji (patron) dan Sebagai seorang buruh kerja (klien).
Pola hubungan sosial dalam pembahasan ini lebih kepada hubungan
yang bersifat ekonomi yang antara si patron (pelaku haji) dan klienya (masyarakat
biasa) memiliki harapan-harapan antara keduanya secara ekonomi, seperti harapan
yang dikatakan oleh Nurul Watoni:
Tahun kemarin saya bekerja pada H. Karaim akan tetapi kalo musim tembakau pada tahun ini saya bekerja sama H. Hasan, karena selain rumah saya dekat dengan openya (tempat pengolahan tembakau), secara keluarga saya juga masih memiliki ikatan keluarga denganya, selain itu ditempat H. Hasan saya lebih mendapatkan penghasilan yang lebih banyak67.
Ini menujukkan bahwa dalam hubunganya antara pemegang peranan
masing-masing memiliki harapan-harapan. Harapan ini bukan saja dimiliki oleh
seorang klien akan tetapi oleh pemilik usaha yang juga sebagai patronya, dimana
patron-patron ini berharap supaya banyak orang yang mau bekerja ditempatnya
pada saat musim tembakau tiba, karena Ia membutuhkan para pekerja yang cukup
banyak supaya pekerjaan pengolahan tembakau ini tidak terhambat alias lancar,
dari pernyataan pemuda yang kerap dipanggil Rul, bisa dikatakan bahwa dalam
dua priode musim termbakau ada dua patron yang berbeda, artinya disini bahwa
bilamana salah satu pihak merasa pihak lain tidak memberi seperti yang
67 Wawancara dengan Nurul Wathoni, seorang pekerja buruh di pengolahan tembakau, 3
Juli 2008.
56
diharapkanya, dia dapat menarik diri dari hubungan tersebut tanpa terkena sanksi
sama sekali68.
Salain itu dalam bidang indiustri kerajinan bambu halus dan gerabah
para pemilik kios kerajinan ini berharap supaya para pengerajin bekerja dan
memasukkan barang kerajinan bambu maupun gerabah di kiosnya karena para
pemilik kios seringkali mendapatkan pesanan yang banyak, untuk itu salah satu
caranya dengan memberikan sedikit bantuan modal untuk membeli bahan baku
kerajinan. Begitu sebaliknya para pengerajin ini dalam pekerjaanya selalu
berusaha bekerja dengan sebaiknya supaya pesanan-pesanan kerajinan diberikan
kepadanya.
Selain itu dalam masyarakat Sasak hubungan sosial haji tidak hanya
sebatas hubungan yang bersifat ekonomi saja, akan tetapi hubungan sosial haji
dalam masyarakat Sasak ini juga bersifat agama atau relijusitas masyarakat
setempat, hal ini menandakan bahwa para pelaku atau orang yang bersetatus
sebagai haji dipandang oleh masyrakat Sasak sebagai orang yang bertakwa, selain
pemaknaan atau presepsi masyarakan terhadap orang yang berpredikat haji
sebagai orang yang bertakwa, bebrapa kali saya selaku peneliti mengikuti acara-
acara keagamaan seperti tahlilan, dimana dalam acara tahlilan sering sekali
pemimpin tahlilan adalah orang yang berpredikat haji.
Bila dilihat dari kesaharianya para pelaku haji atau orang yang
berpredikat sebagi haji dalam interaksinya dengan masyarakat Sasak mereka
selalu memakai peci putih dikepala yang mana hal ini merupakan suatu simbol
68 Heddy Shri Ahimsa Putra, Minawang, Hubungan Patron-klien di Sulawesi Selatan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988), hlm. 3.
57
untuk mereka dikenal sebagai seorang haji. Hal ini apabila dilihat dari kacamata
politis, merupakan suatu hal atau cara orang-orang yang bersetatus sebagai haji
untuk dikenali oleh masyarakat tentunya sebagai seorang haji dengan
menggunakan simbol peci putih di kepala, karena di dalam masyarakat Sasak
ketika orang lain mengenalnya sebagai haji maka orang yang berhubungan dan
berintraksi denganya akan berhubungan denganya menggunakan tatakrama yang
lebih sopan seperti orang yang berbicara denganya menggunakan pola bahasa
yang halus. Jadi bias dikatakan dalam masyarakat Sasak khususnya di Loyok ini
peci putih dikepala merupakan suatu hal yang sangat urgen dari setatusnya
sebagai seorang haji dalam interaksinya dengan masyarakat.
Jadi hubungan sosial anatara orang-orang yang bersetatus sebagai haji
dengan masyarakat lokal Sasak di Loyok ini tidak hanya sebatas hubungan secara
ekonomi dimana orang-orang yang bersetatus sebagai haji diposisikan sebagai
pemilik modal dan usaha, sedangkan secara umum masyarakat biasa hanya
sebagai buruh kerja pada pemilik modal dan usaha tersebut, tetapi juga hubungan
antara kedua belah pihak dalam konteks sosial keagamaan yang orang bersetatus
sebagai haji dipandang oleh masyarakat Sasak sebagai orang yang bertakwa dan
tentu Ia juga sebagi orang yang dihormati dalam masyarakat, yang pada giliranya
orang-orang yang bersetatus harus membawa panji-panji agama dan menjaga
moralitas sebagai suatu harapan-harapan dari masyarakat berdasarkan norma
sosial yang merupakan dasar dari keteraturan sosial69 dalam sistem sosial
masyarakat Sasak di desa Loyok. Oleh karenanya dalam masyarakat Sasak orang
69 David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, trj. Paulus Wirutomo, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 71
58
yang besetatus sebagai haji secara umum selalu dianggap sebagai orang yang
bermoral, akan tetapi menurut hemat saya bahwa perbuatan-perbuatan moral
tersebut sangat dipengaruhi oleh sisitem masyarakat Sasak dimana perbutan moral
bukanlah sekedar kewajiban yang tumbuh dari dalam diri melainkan juga
kebaikan ketika diri telah dihadapkan dengan dunia sosial70.
Dari fenomena-fenomena hubungan sosial haji ini antara orang-orang
yang bersetatus sebagai haji dengan masyarakat biasa, bisa disimpulkan bahwa
dalam masyarak Sasak dalam hubungan sosial di komunitas mereka, selalu terjadi
garis-garis demarkasi antara orang-orang yang bersetatus sebagi haji dengan
masyarakat biasa, selain itu dikotomi-dikotomi antara orang-orang yang
bersetatus sebagai haji dengan masyarakat lokal Sasak kerap kali terjadi dalam
kehidupan sosial dalam komunitas mereka.
2. Hubungan patron klien Masyarakat Sasak Dengan Pelaku Haji
James C. Scott yang dikutip oleh Heddy Shri Ahimsa Putra,
mengungkapkan bahwa hubungan yang terjadi dalam masyarakat cendrung
menimbulkan hubungan patron-klien yaitu:
( suatu kasus khusus antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdaya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukanya (klien), yang pada giliranya membalas pemberian tersebut dengan memberikan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa peribadi, kepada patron).71
70 Taufik Abdullah dan A.C. Van der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 17.
71 Heddy Shri Ahimsa Putra, Op. Cit., hlm. 2.
59
Dalam hubungan patron-klien ini terdapat beberapa unsur-unsur tertentu
di dalamnya yaitu: Sesuatu yang diberikan oleh satu pihak dianggap berharga oleh
pihak lain, adanya unsur timbal balik, tidak ada unsur pemaksaan, pihak lebih
rendah (klien) dapat melakukan penawaran, terdapat ketidaksamaan dalam
pertukaran, adanya sifat tatap muka, dan bersifat luwes dan meluas72. Apabila
dianalisis hubungan patron-klien yang terjadi dalam masyarakat Sasak di desa
Loyok dari ketujuh unsur hubungan patron-klien diatas adalah:
1. Sesuatu Yang Diberikan Oleh Satu Pihak Dianggap Berharga Oleh Pihak
Lain
Dalam hubungan sosial haji di masyarakat Sasak ini, seperti diatas jelas
bahwa antara peranan sebagai seorang patron dan klienya saling memberikan jasa,
dimana dalam hal ini si patron memberikan pekerjaan terhadap klienya, begitu
juga sebaliknya klien memberikan jasanya dengan bekerja sebaik mungkin, akan
tetapi tidak hanya sebatas karena si patron memberikan pekerjaan terhadap
klienya saja, tetapi klien juga menganggap bahwa orang yang dijadikan patron
olehnya pernah berjasa terhadapnya seprti yang dikatakan oleh Fadli:
“kalau pak haji Abdurahman menyuruh saya untuk mengerjakan sesuatu, saya malu untuk menolaknya karena saya pernah bekerja di kios kerajinanya dan selain itu apabila saya dan kelurga memerlukan bantuan seringkali Ia memberikan bantuan kepada kami kalau kami membutukan bantuan.”73
72 Ibid., hlm. 2-3. 73 Wawancara dengan M. Fadli, seorang pengerajin anyaman bambu halus di desa Loyok,
26 Juni, 2008.
60
2. Adanya Unsur Timbal Balik
Unsur timbal balik yang dimaksud disini yaitu dengan adanya pemberian
seperti pemberian jasa seperti diatas, pihak penerima merasa mempunyai
kewajiban untuk membalasnya, dalam masyarakat Sasak di Loyok ini
menujukkan bahwa ketika klien diberikan suatu pekerjaan dan tidak jarang
mereka diberikan hadiah-hadih berupa uang maupun barang, maka secara
otomatis si klien ini berusaha untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dengan
harapan supaya patron yang telah memberinya pekerjaan puas atas pekerjaanya.
3. Tidak Ada Unsur Pemaksaan
Tidak adanya unsur pemaksaan ini menujukan bahwa atara kedua
peranan bebas menentukan individu yang mana dijadikan sebagai patron bagi
kelien, sebaliknya si patron juga secara bebas menujug orang untuk dijadikan
sebagai klienya.
Di sinilah pentingnya harapan-harapan terhadap peranan yang di emban
oleh seseorang, karenaya kadang-kadang para ahli sosiologi menggambarkan
peranan-peranan dalam arti apa yang diharapkan dan dituntun oleh masyarakat74,
oleh sebab itu para buruh kerja atau petani tembakau dan pengerajin sebagi klien
yang ada dalam masyarakat Sasak Loyok, bebas untuk memilih patronya, apabila
harapan-harapannya tidak sesuai maka para klien akan mencari patron lainya,
begitu pula sebaliknya patron juga bebas untuk menentukan orang yang dijadikan
sebagai klienya.
74 David Berry, Op. Cit., hlm. 106.
61
4. Pihak Lebih Rendah (Klien) Dapat Melakukan Penawaran
Unsur yang kempat ini merupakan unsur hubungan patron klien, dimana
hanya klien yang dianggap oleh scott yang dapat melakukan tawaran, akan tetapi
dalam hubungan sosial haji dalam masyarakat Sasak dimana antara kedua pihak
yang memegang peranan masing-masing melakukan tawaran, misalkan dalam
hubungan pekerjaan antara kedua belah pihak melakukan tawaran, atau kontrak
kerja anatara si patron dan klien, hal ini menujukkan adanya kepentingan bersama
antara peranan seorang patron dan klien, dimana patron bertahan hidup dengan
cara mempekerjakan klienya agar usahanya lancar, begitu pula dengan klien
bekerja kepada patronya untuk mendapatkan upah kerja sebagi modal bertahan
hidup.
5. Terdapat Ketidaksamaan Dalam Pertukaran
Sependapat dengan Heddy Shri Ahimsa Putra, konsep ketidaksamaan
dengan ketidak seimbangan, dalam hubungan ini bagi masyarakat yang termasuk
kedalam hubungan sosial haji secara ekonomi ini lebih kepada keseimbangan
dalam pertukaran antara patron dan klienya, karena dalam hubunganya mereka
sebelumnya membuat kesepakat dalam pertukaran, yaitu dengan cara hasil kerja
atau karya pekerja maupun pengerajin dihargai sesuai dengan harga pasar dan
tingkat pekerjaan yang diterima oleh si klien.
62
6. Adanya Sifat Tatap Muka
Adanya sifat tatap muka antara orang yang berpredikat haji sebagai
patron dan pekerjanya sebagai klienya ini menjadikan hubungan timbal-balik
yang berjalan terus dengan lancar akan menimbulkan rasa simpati (affection)
antara kedua belah pihak, yang selanjutnya membangkitkan rasa saling percaya
dan rasa dekat75.
Dengan adanya rasa saling percaya dan rasa dekat ini seorang buruh
kerja yang menjadi kelien dapat mengharapkan bahwa si patron dapat
membantunya jika mengalami kesulitan seperti bantuan dana untuk biaya berobat,
batuan apabila si klien mengadakan acara yang membutuhkan dana yang tidak
sedikit bagi si kelien, sebaliknya juga si patron juga dapat mengharapkan
dukungan dari klien apabila suatu saat dia memerlukanya, seperti kerap kali si
patron dalam masyarakat Sasak mencalaonkan diri sebagai calon kepala desa,
calon legislative seperti halnya di daerah-daerah lainya di Indonesia yang
menganut sistem demokrasi, harapan si patron yaitu agar klienya mendukunya
untuk memenagkan pemilihan.
7. Bersifat Luwes Dan Meluas
Unsur terakhir hubungan patron-clien yang bersifat luwes dan meluas
menujukkan hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan oleh
kedua belah pihak, dan sekaligus juga merupakan semacam jaminan sosial bagi
75 Heddy Shri Ahimsa Putra, Op. Cit., hlm 4.
63
mereka. Oleh karena itu relasi inipun dapat memberikan rasa tentram pada para
pelakunya76.
Unsur patron klien yang bersifat luwes dan meluas ini menganggap
baghwa dalam hubungan antara patron dan klienya tidak hanya berhubungan di
dalam satu relasi saja, seperti yang terjadi antara hubungan para pemilik usaha
yang di dominasi oleh orang yang berpredikat sebagai haji dengan para
pekerjanya tidak hanya sebatas hubungan pekerjaan saja, akan tetapi hubungan
terhadap keperluan-keperluan lainya seperti ketika pekerjanya mendapatkan
musibah, mengadakan acara-acara yang membutuhkan bantuan dari patronya
bahkan hubungan yang bersifat politik.
Bila melihat dari fenomena pemeilihan kepala lurah desa Loyok, dimana
orang-orang yang mendukung para calon khususnya calaon-calon yang bersetatus
sebagi haji selain kerabat dan sahabat mereka adalah orang-orang yang menjadi
klien bagi mereka. Seperti yang dikatakan oleh H. Ahmad bahwa orang-orang
yang mendukungnya selain keluarga dan sahabatnya adalah para pengerajin
anyaman bambu yang terdapat dalam masyarakat di desa Loyok kabupaten
Lombok Timur ini.
Jadi dalam hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa unsur terakhir dari
beberapa unsur hubungan patron-klien yang bersifat luwes dan meluas ini yaitu
menurut hemat saya bisa sekaligus dijadikan sebagai imflikasi dari suatu
hubungan ke bebrapa hubungan lainya misalkan hubungan yang bersifat ekonomi
76 Ibid., hlm. 5.
64
bisa berdampak terhadap hubungan yang bersifat politik dan hubungan-hubungan
sosial lainya.
Dari analisis ketujuh unsur patron klien yang disebutkan oleh Scott
diatas ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan pola hubungan patron klien yang
bersifat ekonomi dalam hubungan sosial haji di masarakat Sasak Loyok, seperti
pihak lebih rendah (klien) dapat melakukan penawaran padahal apa yang terjadi
bahwa antara peranan sebagai patron dan peranna sebagi klien ini, dimana kedua
belah pihak dalam hubunganya melakukan penawaran.
Adanya ketidaksamaan antara unsur-unsur yang telah disebutkan oleh
Scott dengan fakta yang terjadi dalam hubungan sosial antara pelaku haji dengan
masyarakat Sasak yang ada di desa Loyok ini, karena Scott melihat hubungan
patron-klien lebih bersifat ekonomis dan dalam hal ini Ia hanya memandang
ketimpangan-ketimpangan hanya dari sudut patron saja, bahwa seolah-olah
seorang patron selalu memberi lebih banyak daripada si klien, padahal si klien
juga juga bisa merasa bahwa apa yang telah diberikan oleh patronya belum
cukup77,
Selain itu juga, menurut hemat saya apa yang dikemukaan oleh Scott
tentang hubungan patron klien serta unsur-unsurnya ini, lebih tepat digunakan
untuk menganalisis hubungan-hubungan sosial pada masa lampau atau hubungan-
hubungan yang terjadi dalam masyarakat tradisional dan masa kerajaan atau lebih
tepatnya analisis yang bersifat antropologis, akan tetapi hubungan-hubungan
patron klien terus akan terjadi dalam masyarakat dengan unsur-unsur yang
77 Ibid., hlm. 7.
65
berbeda, dalam artian bahwa hubungan seprti antara tuan atu majikan dengan para
budak atau pekerjanya akan selalu terjadi dalam masyarakat, oleh karenanya
hubungan yang terjadi antara pelaku haji dengan masyarakat Sasak didesa Loyok
ini seperti hubungan yang terjadi antara tuan dengan budaknya atau antara tuan
dengan para pekerjanya.
66
BAB IV
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
HUBUNGAN SOSIAL HAJI DALAM MASYARAKAT SASAK
Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pola hubungan antara
pelaku haji dengan masyarakat lokal Sasak di desa Loyok dalam penelitian ini
secara garis besar akan dilihat dari dua kategori pendekatan yakni pendekatan
sistem budaya dan pendekatan kondisi sosial, pendekatan yang pertama lebih
melihat dari segi fakta-fakta yang mendahuluinya dalam konteks sistem budaya
masyarakat setempat karena secara sosiologis menuru Emile Durkhim yang paling
menentukan dari fakta sosial haruslah dicari diantara fakta-fakta sosial yang
mendahuluinya78.
Kemudian dalam pendekatan yang kedua dalam melihan faktor-faktor
pembentuk pola hubungan sosial haji ini lebih melihat bagaimana keadaan sosial
saat ini, dan pandangaan-pandangan orang yang terlibat dalam hubungan sosial
haji ini.
Dalam penelitian ini ada empat faktor pembentuk pola hubungan sosial
haji yaitu: pertama faktor ekonomi, kedua faktor kepercayaan lokal , ketiga faktor
sosial politik, yang terakhir adalah faktor sejarah dari orang yang bersetatus haji
itu sendiri
78 Taufik Abdullah dan A.C. Van der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi
Moralitas, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 2.
67
A. Faktor Ekonomi
Salah satu faktor diantara beberapa faktor-faktor yang paling dominan
untuk melihat penyebab dari terbentuknya pola hubungan sosial haji dalam
masyarakat komunitas Sasak adalah faktor ekonomi, dalam suatu komunitas-
komunitas masyarakat baik masyarakat industri dan masyarakat paling tradisional
sekalipun, ekonomi sangat berpengaruh besar untuk melihat dominasi atau
pengaruh orang yang satu dengan orang lainya dalam hubungan timbal balik di
dalam masyarakat, karnanya para penganut paham determinisme ekonomi seperti
Karl Marx menganggap sistem ekonomilah yang terpenting dan sistem ekonomi
menentukan sektor masyarakat lainya79. Itu sebebnya dalam penelitian ini juga
masalah ekonomi tidak bisa lepas dalam melihat hubungan sosial antara pelaku
haji dengan masyarakat lokal Sasak di Loyok yang diantaranya dipengaruhi oleh
faktor sosial ekonomi, dan faktor ekonomi inilah yang menimbulkan gejala-gejala
patronase yang terdapat dalam hubungan sosial tersebut.
Untuk melihat faktor ekonomi sebagai suatu pembentuk pola hubungan
sosial anatara orang-orang yang berpredikat sebagai haji dengan masyarakat yang
terdapat dalam komunitas Sasak ini, tentu terlebih dahulu harus dilihat kondisi-
kondisi perekonomian orang-orang yang terlibat dalam hubungan sosial haji ini
baik orang-orang yang bersetatus sebagai haji maupun masyarakat biasa yang
terdapat dalam komunitas Sasak di Loyok ini. Artinya disisni terlebih dahulu
setiap individu dikotak-kotakkan ke dalam dua buah peranan yang berbeda yaitu
sebagai orang yang berstatus sebagai haji (patron) dan peranan masyarakat biasa
79 George Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Moderen, terj. Alimandan
(Jakarta: Kencan, 2003), hlm. 170.
68
(klien), dan pengkotakan secara ekonomi ini akan dilihat dari presepsi-presepsi
masyarakat dan kondisi sosial yang ada di lapangan.
Apbila kita merujuk kepada presepsi-presepsi masyarakat desa Loyok
terhadap orang-orang yang berstatus haji atau memegang peranan sebagai haji
seperti yang telah dikemukakan dan dijelaskan pada bab sebelumnya, dimana
Orang yang pernah melakukan haji adalah orang yang banyak uangnya, karena kalau mau haji harus mempunyai uang selain untuk ongkos pergi haji orangnya juga perlu mempersiapkan uang untuk mengadakan begawe (pesta), dan sikir (zikir, membaca yasinan dan berzanji) dari sebelum berangkat hingga pulang.80 Dan persepsi-persepsi masyarakt ini terhadap orang yang berpredikat
sebagai haji ini juga sekaligus bisa dijadikan sebagai salah satu ukuran-ukuran
untuk melihat peranata seseorang dalam konteks ekonomi suatu masyarakat
tertentu.
Selain persepsi-persepsi masyarakat sekitar yang menganggap bahwa
orang yang telah bersetatus sebagai haji adalah orang kaya, seperti yang dikatakan
oleh Nurul Watoni bahwa pemilik usaha kerajinan bambu, gerabah dan usaha
tembakau didominasi oleh orang yang berpredikat sebagai haji81
Karenaya apabila diperhatikan dari segi bangunan-bangunan yang
terdapat di daerah Loyok ini, akan banyak ditemukan took-toko kerajinan tangan
seperti toko kerajinan tangan bambu dan toko gerabah yang menandakan bahwa
masyarakat Loyok memiliki kesenian yang bisa dikomersialisasikan, selain itu
80 Wawancara dengan Ibu Nurhasanah, Seorang tenaga pengajar swasta di MTS Loyok,
25 Juni 2008 81 Wawancara dengan Nurul Wathoni, seorang pekerja buruh di pengolahan tembakau, 3
Juli 2008.
69
tidak jarang untuk dilihat suatu bangunan-bangunan tempat pengolahan tembakau,
yang mana kedua sektor usaha kerajinan dan tembakau ini secara tidak langsung
telah menjadi sebuah lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat, diaman
masyarakat setempat memanfaatkanya dengan bekerja sebagai buruh tani dan
sebagai pengerajin anyaman bambu dan tanah liat (gerabah) yang memang
mereka sudah memiliki talenta tersebut secara turun-temurun82.
Dalam konteks sosial ekonomi ini, apabila melihat dari kedua sektor
industri tembakau dan kerajianan tangan masyarakat ini, dimana pemilik modal
dan usaha ini didominasi oleh orang-orang yang bersetatus sebagai haji. Jadi
dalam konteks sosial ekonomi ini orang-orang yang bersetatus sebagai haji
diposisikan sebagai pemilik modal dan usaha, sedangkan secara umum
masyarakat biasa hanya sebagai buruh kerja pada pemilik modal dan usaha yang
pada giliranya secara tidak sadar akan mengikuti langkah atau kemauan dari
majikanya.
Bila dilihat dari hubungan sosial antara orang yang berpredikat sebagai
haji memiliki peranan sebagai pemilik modal (patron) sedangkan masyarakat
biasa sebagai buruh kerjanya (klien) yang memiliki harapan-harapan tidak hanya
sebatas dalam bidang sosial ekonomi saja, inilah yang dimaksud oleh David Berry
setiap individu memiliki peranan masing-masing dan ketika terjadi hubungan
sosisal disana terdapat harapan-harapan dan harapan-harapan tersebut menurut
82 Wawancara dengan Bapak Humaidi, seorang Sekertaris Desa dalam struktur
pemeritahan Desa Loyok, 4 Juni 2008.
70
Dahrendorf seperti yang dikutif Berry bahwa harapan bagi suatu peranan (role
expectation) berasal dari norma-norma sosial.83
B. Faktor Kepercayaan Lokal
Sebelum datangnya pengaruh-pengaruh atau ajaran asing ke Lombok
Boda merupakan kepercayaan asli orang sasak, orang sasak pada waktu itu yang
menganut kepercayaan ini disebut sebagai Sasak-Boda dimana pemujaan dan
penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai dewa lokal lainya merupakan fokus
utama dari praktek keagamaan Sasak-Boda.84 Kemudian baru agama-agama
seperti Hindu, Budha dan termasuk juga Islam menyebarkan ajaranya dan
mempengaruhi masyarakat sasak yang ada di Lombok.
Masuknya Islam ke Lombok sekitar pada abad ke 16-17, secara
signifikan telah mempengaruhi sosial budaya masarakat Sasak dan menjadi agama
yang dipeluk oleh sebgian besar masyarakat Sasak. Di dalam masyarakat Sasak
yang merupakan mayoritas masyarakatnya pemeluk agama Islam, di Sasak sendiri
terdapat dua varian agama Islam yaitu varian Islam wetu telu dan varian Islam
waktu lima yang mempunyai kesamaan-kesamaan dan perbedaan dalam hal-hal
tertentu. Persamaannya bahwa mereka sama-sama percayai adanya Tuhan Allah
SWT, dan bahwa Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul Allah SWT. adapun
83 David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, trj. Paulus Wirutomo, ( Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 111. 84 Erni Budiwanti. Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima, (Yogyakarta: LKiS, 2000),
hlm. 8
71
perbedaanya terlihat pada implementasi dari masalah akidah dan syari’ah yang
merupakan dasar fundamental dalam kehidupan beragama.85
Melihat dari sejarahnya kedua varian Islam sasak ini berlomba dalam
memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat Sasak yang ada di Lombok akan
tetapi akibat dari pengaruh dan pembahuruan yang dilakukan oleh varian Islam
waktu lima banyak dari masyarakat yang tadinya memeluk varian Islam wetu telu
berpindah ke varian Islam waktu lima, akibatnya Islam wetu telu menjadi varian
Islam yang minorits di dalam masyarakat Sasak. Walaupun demikian hingga saat
ini penganut Islam wetu telu masih bisa kita lihat dibeberapa daerah tertentu di
Lombok seperi di Bayan, Tanjung dan sekitarnya walaupun komunitas mereka
sangat kecil. Penganutnya dapat dikenali dari cara mereka mengaktualisasikan
ajaran-ajaranya.86
Masyarakat Sasak di Loyok ini merupakan masyarakat yang secara
kesuluruhan pemeluk agama Islam, akan tetapi dalam praktek keagamaan mereka
masih dipengaruhi oleh agama-agama yang mendahuluinya, bentuk singkretisem
agama ini bisa dilihat dari tradisi-tradisi keagamaan mereka, seperti ibadah haji
yang dalam prakteknya adanya kombinasi atau percampuran dari ritual-ritual
ibadah yang berdasarkan ajaran agama Islam dan sistem budaya Sasak, seperti
mereka orang-orang yang ingin melakukan ibadah haji sebelumnya berziarah ke
85 Ahmad Abd. Syakur, Islam Dan Kebudayaan Akulturasi Nilai-nilai Islam Dalam
Budaya Sasak, (Yogyakarta: Adab Press 2006), hlm. 177 86 Ibid. hlm. 131
72
makam-makam yang dianggap mereka sebagi makam leluhur mereka87, hal ini
memiliki kesamaam apabila dilihat dari praktek agama kepercayaan asli orang
Sasak yaitu Sasak-Boda dimana pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dan
berbagai dewa lokal lainya merupakan fokus utama dari praktek keagamaan
Sasak-Boda. Artinya disini bahwa dalam praktek-praktek keagamaan masyarakat
Sasak saat ini, agama-agama yang telah mendahuluinya telah ikut andil dalam
konstruksi beberapa praktek-praktek keagamaan masyarakat Sasak yaitu agama
Islam.
Adalah varian Islam wetu telu yang menjadi kepercayaan pertama kali
masyarakat Sasak secara varian Islam, lalu kemudian baru muncul varian Islam
waktu lima sebagai varian Islam yang mayoritas sampai saat ini, kedua varian
Islam Sasak ini dalam masyarakat Loyok juga pernah tumbuh dan berkembang
sebagi suatu kepercayaan yang diyakini oleh penduduk yang ada di desa Loyok
walaupun saat ini varian Islam waktu limalah yang masih menjadi keyakinan
masyarakat setempat88. Apabila dilihat dari sejarah kedua varian Islam ini,
feneomena haji apabila ditinjau dari segi varian Isalam Wetu Telu, dimana varian
Islam wetu telu hanya menerapkan tiga dari rukun Islam yang liama, bagi mereka
tidak ada kewajiban zakat dan ibadah haji.89 Rukun haji hanya wajib dilakukan
oleh pemimpin sepiritual mereka saja sedangkan masyarakat biasa tidak wajib
87 Wawancara dengan H.L. Ikramullah, Pengurus YATOPA wilayah Desa Loyok, 15 Juni
2008.
88 Wawancara dengan Bapak Rohaini, seorang tokoh budaya masyarakat desa Loyok, 23 Juni 2008.
89 Ahmad Abd. Syakur. Op. cit. 117-118
73
untuk melakukan ibadah haji tersebut, yang mana orang yang melakukan ibadah
haji dalam masyarakat varian Islam wetu telu ini adalah orang yang secara agama
terpandang dalam masyarakat Sasak. Hal semacam ini juga ada kesamaan dalam
varian Islam Waktu Lima (yang merupakan varian Islam Sasak yang dianut
masyarakat Sasak Loyok)90, dimana sorang kiyai atau ulama yang mereka kenal
dengan sebutan Tuan Guru adalah orang-orang yang berpredikat sebagi sorang
haji, artinya bahwa tidak mungkin sorang bisa bergelar sebagi seorang Tuan Guru
apabila belum melakukan ibadah haji atau tidak bersetatus sebagi sorang haji, dan
sosok Tuan Guru adalah oranag yang terpandang, disegani dan dihormati oleh
masyarakat Sasak itu sendiri91.
Apabila melihat histori dari kepercayaan yang pernah dianut dan
dipercayai oleh masyarakat Sasaka ini tentu mempengaruhi pola keberagamaan
yang dianut saat ini, dimana Islam sebagai agama yang dianutnya telah
mengalami perselingkuhan dengan budaya masyarakat Sasaka itu sendiri, ini
terlihat dari tradisi masyarakat Sasak khususnya di Loyok dalam praktek-praktek
keagamaan seperti ibadah haji, dimana selain ritual yang memang ditentukan oleh
agama Islam sendiri, terdapat trdisi-tradisi lokal yang rutin dilakukan oleh
masyarakat Sasak yang ada di kelurahan Loyok ini.
Apabila kita melihat tradisi-tradisi dalam pelaksanaan haji masyarakat
Sasak di desa Loyok seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, dimana
apabila ada orang yang ingin melakukan haji mereka harus melakukan berbagai
90 Wawancara dengan Bapak Rohaini, seorang tokoh budaya masyarakat desa Loyok, 23 Juni 2008.
91 Wawancara dengan H. Zainal, sorang pengusaha gerabah di dusun rungkang, 21 Juni
2008.
74
macam ritul-ritual dalam konteks tradisi masyarakat Sasak, dimana dalam hal ini
calon atau orang yang ingin melakukan haji diperlakukan solah-olah seperti
seorang raja oleh masyarakat setempat mulai dari sebelum keberangkatanya ke
tanah suci sampai saat mereka kembali dari ibadah hajinya dan bersetatus sebagai
seorang yang berpredikat sebagai haji.
Ritual-ritual tradisi dalam masyarakat ini merupakan suatu bentuk
pemaknaan mereka terhadap ibadah haji, bahwa ibadah haji merupakan suatu
perintah agama yang menurut pandangan mereka sangat agung dan mulia,
karenanya secara budaya mereka membentuk ritual-ritual tradisi lokal sebagi
wujud dari pemaknaan mereka terhadap ibadah haji, dan inilah salah satu yang
membedakan ibadah haji dengan ibadah-ibadah lainya seperti solat dalam
masyarakat Sasak.
C. Faktor Sosial Politik
Seorang ilmuan Indonesia Deliar Noer mengemukakan bahwa ilmu
politik memusatkan pada masalah-masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama
atau masyarakat,92 dimana kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu
kelompok lain untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai
dengan keinginan dari pelaku.93 Oleh sebab itu masalah kekuasaan juga ikut andil
sebagai sutu faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola hubungan sosial anatar
pelaku haji dengan masyarakat Sasak Loyok ini.
92 Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial, Sebuah Kajian Pendekatan Struktural,
(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 493. 93 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia, 1977), hlm. 10
75
Secara Politik, dalam masyarakat Sasak para pelaku haji atau orang yang
bersetatus sebagai haji adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan atau
kekuatan (Power) untuk mempengaruhi masyarakat setempat yang ada disana,
baik secara struktural maupun secara kultural, berdasarkan data monografi yang
ada, dimana apabila dilihat dari orang-orang yang pernah menjadi pemimpin atau
kepala desa Loyok sampai saat ini, didominasi oleh orang yang bersetatus sebagai
haji, yaitu tiga dari empat kepala desa yang pernah memimpin desa Loyok sejak
memisahkan diri dari desa Kotaraja adalah orang yang bersetatus sebagai haji94,
selain itu apabila melihat orang-orang yang mencalonkan diri sebagai kepala desa
dua priode seperti yang dikatakn oleh bapak humaidi dimana
calon-calon yang maju dalam pemilihan kepala desa dua priode pemilihan kepala desa priode 2001 dan 2006 yang didominasi oleh orang-orang yang berpredikat sebagai haji yaitu delapan dari dua belas yang pernah mencalonkan diri sebagai kepala desa adalah orang yang berpredikat sebagai haji diantaranya: H. Jaliluddin, H.L. Denun, H.L. Darmawan, H. Ahmad M, H. Ma’sum, H. Bahran, H. Mahsun, dan H. Masud.95 Berdasarkan data diatas bisa disimpulkan bahwa orang-orang yang
berpredikat sebagai haji memiliki suatu kekuatan (power) untuk mempengaruhi
masyarakat Sasak dibandingkan dengan orang-orang lainya dalam sosial
masyarakat setempat. Selain itu secara struktural dalam organisasi-organisasi
keagamaan seperti YATOPA (Yayasan Tohir Padil) dan NW (Nahdatul Wathon)
94 Dokumentasi data monografi Desa Loyok Tahun 2006, diantara kepela desa yaitu
pada priode pertama di kepalai oleh H. Khairuddin; kemudian pada periode kedua Loyok di pimpin oleh H. Lalu Udin, kemudian dilanjutkan oleh H. Lalu Darmawan, dan saat ini Kepala Desa di pegang oleh Lalu Hadirin.
95 Wawancara dengan Bapak Humaidi, seorang Sekertaris Desa dalam struktur pemeritahan Desa Loyok, 4 Juni 2008.
76
diketuai atau dipimpin oleh seorang yang berpredikat sebagai haji yaitu Yatopa
dipimpin oleh H.L. Ikramullah sedangkan NW sendiri dipimpin oleh H.L.
Darmawan96, dimana kedua organisasi agama Yatopa dan NW ini merupakan
organisasi-organisasi keagamaan yang paling berpengaruh dalam masyarakat
Sasak di desa Loyok, ini menunjukkan bahwa mereka yaitu orang yang bersetatus
sebagai haji ini memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk mempengaruhi
masyarakat baik di dataran struktur pemerintahan yang resmi atau ormas-ormas
Islam disana.
Dalam hal kekuasaan (power) menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi yang dikutip oleh Soerjono bahwa adanya kekuasaan cendrung
tergantung hubungan antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan
pengaruh dengan pihak lain yang menerima pengaruh itu rela atau terpaksa.97
Dalam masyarakat Sasak kekuasaan inilah salah satu pembentuk pola hubungan
anatara pelaku haji dengan masyarakat setempat yang dalam hubunganya terdapat
gejala-gejala patronase, dimana para pemilik setatus haji yang memiliki
kekuasaan untuk mempengaruhi dan pengikutnya sebagai orang yang menerima
pengaruh tersebut.
Kekuasaan (power) itu sendiri memiliki beberapa unsur pakok yaitu
pertama, rasa takut yang menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan
dan tindakan orang yang ditakuti. Kedua, rasa cinta yang orang-orang lain
96 Wawancara dengan Bapak Humaidi, seorang Sekertaris Desa dalam struktur
pemeritahan Desa Loyok, 4 Juni 2008. 97 Soerjono Soekanto, Sosiaologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005), hlm. 265.
77
bertindak sesuai dengan kehendak pihak yang berkuas. Ketiga, kepercayaan yang
timbul sebagai hasil hubungan langsung yang bersifat asosiatif. dan keempat,
pemujaan dimana seorang atau sekelompok orang-orang yang memegang
kekuasaan, mempunyai dasar pemujaan dari orang-oranglain. akibatnya.98
Oleh karenanya apabila dicermati dengan keempat unsur kekuasaan yang
menempatkan orang yang berpredikat haji tadi sebagai pemilik kekuasaan, diman
para pemilik setatus haji dalam masyarakat Sasak yang memiliki kekuasaan untuk
mempengaruhi dan pengikutnya sebagai orang yang menerima pengaruh tersebut
secara tidak langsung oleh para pengikutnya memiliki rasa takut dan rasa cinta
terhadap orang yang berpredikat sebagi haji yang merupakan orang yang berperan
sebagai patron, selain itu adanya rasa percaya masyarakat Sasak di Loyok ini
terhadap orang yang berpredikat sebagai haji ini, dan adanya pemujaan dalam
artian segala tindakan penguasa setidak-tidaknya dianggap benar.
Kepemilikan kekuasaan atau kekuatan untuk mempengaruhi orang lain
oleh orang-orang yang bersetatus sebagi haji yang bisa menimbulkan gejala-gejala
patronase dalam masyarakat Sasak, oleh karenanya hal ini merupakan salah satu
pembentuk pola hubungan sosial orang-orang yang berpredikat sebagi haji dengan
masyarakat lokal Sasak yang ada di desa Loyok.
D. Faktor Sejarah
Untuk melihat faktor yang membentuk hubungan sosial antara pelaku
haji dengan masyarakat dan dalam hubunganya tersebut terdapat gejala patronase
98 Ibid., hlm. 271-272.
78
seperti yang telah di jelaskan dalam bab sebelumnya, tentu tidak bisa lepas dari
faktor sejarah atau sistem budaya yang telah mendahuluinya dari kondisi sosial
saat ini.
Pendekatan sistem budaya untuk melihat faktor hubungan sosial dan
gejala patron-klien dalam masyarakat Sasak di Loyok ini, yaitu lebih
memperhatikan segi keadaan atau kondisi masyarakat tempat tumbuhnya gejala
patronase, beberapa kondisi misalnya, sperti pemilikan setatus, pelapisan
kekuasaan, serta kekayaan, baru kita akan mengerti jika kita menempatkanya
dalam konteks budaya masyarakat yang bersangkutan99. Artinya disini bahwa
sistem budaya juga turut andil dan berpengaruh bagi tumbuhnya pola hubungan
sosial haji dan gejala patronase antara orang yang berpredikat sebagai haji dengan
masyarakat Sasak di Loyok ini.
Yang dimaksud dengan sejarah dalam konteks hubungan sosial haji
disini, yaitu sejarah dari orang-orang yang bersetatus sebagi haji dalam
masyarakat Sasak, artinya siapa saja pada zaman dahulu orang-orang yang
bersetatus sebagai haji seprti yang diceritakan oleh bapak Rohaini
“waktu saya kecil dulu Raden tuan paling berkuasa disini – orang yang haji disini dulu cuman Raden tuan, dulu kalau kita mau panen padi, harus sebagian ada yang kita berikan pada raden tuan, soalnya dulu orang-orang tidak berani sama Raden tuan apalagi melawan atau menentangnya, bahkan sampai saat ini ada yang secara keturunan terus mengabdi pada Raden tuan dan keturunanya.”100
99 Heddy Shri Ahimsa Putra, Minawang, Hubungan Patron-klien di Sulawesi Selatan,
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988), hlm. 166-167. 100 Wawancara dengan Bapak Rohaini, seorang tokoh budaya masyarakat desa Loyok, 23
Juni 2008.
79
Apa yang dituturkan bapak yang berusia 75 Tahun ini merupakan bagian
dari cerita yang cukup panjang pada zaman dahulu yang mana dalam ceritanya
banyak menuturkan bagaimana dominasi seorang Raden pada saat itu, dari apa
yang dituturkan oleh bapak Rohaini ini menunjukkan bahwa orang yang haji
dalam komunitas masyarakat Sasak di Loyok yang dikenalnya adalah seorang
Raden, dimana sosok seorang Raden yang yang diceritakanya ini merupakan
pemilik tahta dan keturunan raja dari kerajaan yang ada di Kotaraja.
Selain dari apa yang dituturkan oleh bapak Rohaini di atas tadi, apabila
kita melihat dari sejarah agama Islam yang dianut masyarakat Sasak itu sendiri,
dimana dalam masyarakat suku Sasak terdapat varian Isalam Wetu Telu yang juga
pernah menjadi agama atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Sasak di
Loyok101, dimana varian Isalam Wetu Telu, hanya melaksanakan tiga dari lima
rukun Islam, salah satunya rukun haji hanya dilakukan oleh pemimpin spiritual
mereka saja sedangkan masyarakat biasa tidak wajib untuk melakukan ibadah haji
tersebut, yang mana orang yang melakukan ibadah haji dalam masyarakat varian
Islam wetu telu ini adalah orang yang secara agama terpandang dalam masyarakat
Sasak. Hal semacam ini juga ada kesamaan dalam varian Islam Waktu Lima (yang
merupakan varian Islam Sasak yang dianut masyarakat Sasak Loyok), dimana
sorang kiyai atau ulama yang mereka kenal dengan sebtan Tuan Guru adalah
orang-orang yang berpredikat sebagi sorang haji, artinya bahwa tidak mungkin
sorang bisa bergelar sebagiseorang Tuan Guru apabila belum melakukan ibadah
101 Wawancara dengan Bapak H. Ahmad, Pengusaha Kerajinan Anyaman Bambu halus,
12 Juni 2008.
80
haji atau tidak bersetatus sebagi sorang haji, dan sosok Tuan Guru adalah oranag
yang terpandang, disegani dan dihormati oleh masyarakat Sasak.
Dari orang-orang yang bersetaus sebagi haji dalam konteks sistem
budaya yang telah disebutkan diatas, di dalam masyarakat Sasak mereka
merupakan orang-orang yang secara stataus sosial berada dalam stratifikasi sosial
di tingkatan atas atau meminjam istilahnya Marx mereka merupakan yang
termasuk dari kelas borjuis yang secara otomatis memiliki kekuasaan-kekuasaan
tetrtentu dibanding dengan masyarakat lainya.dan apabila menegok sejarah
budaya mayarakat Sasak orang-orang yang telah disebutkan diatas merupakan
orang-orang ini sangat berpengaruh, terpandang dan dihormati oleh masyarakat
Sasak, apabila melihat fenomena sejarah dan budaya haji pada zaman dahulu
memiliki hubungan erat dengan kondisi sistem masyarakat Loyok saat ini, dimana
menurut hemat saya bahwa penghormatan masyarakat terdahulu terhadap orang-
orang yang bersetatus haji ini berdampak samapai saat sekarang dalam konteks
pola hubungan sosial antara pelaku haji dengan masyarakat lokal Sasak yang ada
di Loyok, dimana pola hubunganya seperti antara tuan dan abdinya dan terdapat
gejala-gejala patronase.
Inilah beberapa faktor dalam konteks budaya yang mempengaruhi pola
hubungan sosial haji dalam masyarakat Sasak, dimana ibadah haji yang juga
rukun Islam yang kelima ini pada awalnya dilakukan oleh orang-orang yang
terpandang seperti sosok seorang Raden yang dulunya memiliki kekuasaan atas
masyarakat Sasak Loyok, dan juga para kiai-kiai atau ulama yang ada dalam
masyarakat Sasak yang merka kenal dengan sebutan Tuan Guru.
81
Pengaruh-pengaruh yang telah disebutkan dan dipaparkan diatas yaitu
dari sudut pandang sosial politik, ekonomi, sejarah dan sistim kepercayaan lokal
sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola hubungan sosial
pelaku haji dengan masyarakat sasak didesa Loyok, dimana dalam konteks sosial
politik orang yang berpredikat sebagai haji diposisikan sebagai orang-orang yang
memiliki kekuasaan atau kekuatan (Power) untuk mempengaruhi masyarakat
setempat yang ada disana, baik secara struktural maupun secara kultural. dan
dalam masyarakat Sasak kekuasaan inilah salah satu pembentuk pola hubungan
anatara pelaku haji dengan masyarakat setempat yang dalam hubunganya terdapat
gejala-gejala patronase, dimana para pemilik status haji yang memiliki kekuasaan
untuk mempengaruhi dan pengikutnya sebagai orang yang menerima pengaruh
tersebut.
Secara sejarah dalam konteks sosial budaya, dimana ibadah haji yang
juga rukun Islam yang kelima ini pada awalnya dilakukan oleh orang-orang yang
terpandang seperti sosok seorang Raden yang dulunya memiliki kekuasaan atas
masyarakat Sasak Loyok, dan juga para kiai-kiai atau ulama yang ada dalam
masyarakat Sasak yang merka kenal dengan sebutan Tuan Guru, dan tradisi-
tradisi dalam pelaksaanaan ibadah haji yang selalu dilakukan oleh masyarakat
Sasak apabila ada salah satu dari mereka melakukan ibadah haji.
Sedangkan dalam konteks sosial ekonomi dimana orang-orang yang
bersetatus sebagai haji diposisikan sebagai pemilik modal dan usaha, sedangkan
secara umum masyarakat biasa hanya sebagai buruh kerja pada pemilik modal
82
dan usaha yang pada giliranya secara tidak sadar akan mengikuti langkah atau
kemauan dari majikanya.
Pola hubungan sosial dengan beberapa faktor seperti faktor sosial
politik, sejarah dan tradisi, sistem relijusitas dan terutama faktor sosial ekonomi
dalam komunitas masyarakat Sasak telah menimbulkan adanya garis-garis
demarkasi antara orang-orang yang bersetatus sebagi haji dengan masyarakat
biasa, selain itu terjadi dikotomi antara orang-orang yang bersetatus sebagai haji
dengan orang yang tidak bersetatus sebagai haji dalam kehidupan sosial
komunitas masyarakat lokal Sasak khususnya di desa Loyok kabupaten Lombok
Timur ini.
Adanya garis-garis demarkasi dan diprensiasi sosial dalam konteks
hubungan sosial antara pelaku haji dengan masyarakat Sasak yang antara kedua
belah pihak memiliki harapan-hrapan tertentu, menurut hemat saya karena
disebabkan adanya difrensiasi sosial, dalam beberapa aspek seperti aspek sosial
politik, ekonomi, dan agama.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam masyarakat Sasak khusuya di Loyok yang berpenduduk 12.087
jiwa ini, haji ternyata tidak hanya sekedar ibadah yang diatur oleh agama saja,
akan tetapi ibadah haji sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Sasak
karena terdapat tradisi-tradisi lokal dan telah menjadi bagian dari sistim budaya
yang mereka anut dan selalu dilakukan apabila diantara mereka ada yang
melakukan ibadah yang satu ini. Adapun tradisi lokal dalam ibadah haji dilakukan
dalam tiga tahap atau fase yaitu pertama: fase persiapan yaitu sebelum pelaku haji
berangkat ketanah suci, kemudian yang kedu fase pertengahan diman ketika
pelaku haji sedang berada di tanah suci Mekah, dan yang ketiga yaitu fase paska
haji yaitu dimana ketika pelaku haji pulang dari ibadah hajinya.
Adanya tradisi-tardisi lokal telah menjadikan ibadah haji lebih istimewa
dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainya di dalam masyarakat Sasak, selain itu
presepsi masyarakat terhadap orang yang bersetatus haji sebagi orang yang kaya
dan sebagi seorang yang abid yaitu orang yang banyak ibadahnya atau sebagi ahli
ibadah. Presepsi-presepsi masyarakat ini secara tidak langsung telah
mengkonstruk individu orang yang berstatus sebagi haji untuk membawa panji-
panji Islam dengan simbol-simbol tertentu.
Selain itu dalam masyarakat Sasak orang yang bersetatus sebagai haji
harus mengenakan simbol kehajianya seperti mengenakan peci putih dikepalanya,
84
akan tetapi peci putih dikepala selain dilihat sebagai suatu simbol untuk
merepresentasikan seorang yang bersetatus haji dalam masyarakat, simbol ini juga
bisa dilihat sebagai suatu cara agar mereka dihormati dalam masyarakat karena
ketika mereka diketahui sebagai seorang haji maka masyarakat akan
menghormatinya dimana dalam masyarakat Sasak nilai seorang haji sangat
dihormati.
Secara ekonomi hubungan sosial antara orang yang berstatus haji dengan
masyarakat setempat dimana orang-orang yang berpropesi sebagai haji inilah
yang diposisikan sebagai patron dan para pekerjanya dan pengikutnya adalah
sebagai kliennya mengingat orang-orang yang berpredikat sebagi haji dalam
masyarakat di desa Loyok ini didominasi oleh para pelaku bisnis atau pengusaha
seperti pengusaha kerajianan anyaman bambu halus, gerabah, alat-alat bagunan
dan juga pengusaha tembakau, pemilik sumil dan tetntunya sebagai tuan tanah
atau pemilik lahan yang luas, yang mana dalam hubungan sosialnya antara patron
dan klien ini memiliki harapan-harapan dalam peranannya sebagai seorang haji
(patron) dan sebagai seorang buruh kerja (klien).
Adapun harapan-harapan dalam hubungan sosial ini tidak datang secara
langsung dari satu hubungan saja seperti rasionalisasi upah yang diberikan
pemilik usaha dengan usaha yang telah dilakukan oleh para pekerjanya, akan
tetapi harapan tersebut bisa berdampak kepada hubungan yang lainya seperti
ketika pemilihan lurah desa Loyok dimana calonya didominasi oleh seorang
pengusaha yang juga berpropesi sebagi haji, pada saat ini seorang pelaku haji
berharap agar orang-orang yang dijadikan sebagi klienya memilihnya, akan tetapi
85
harapan tersebut tidak hanya datang dari seorang haji melainkan seorang klien
yang mendukungnya supaya dipekerjakan oleh seorang haji tersebut. Hubungan
yang seperti inilah yang dimaksud oleh Scott dalam hubungan patron klien yang
bersipat lues dan meluas.
Akan tetapi apabila hubungan sosial antara pelaku haji dengan
masyarkat Sasak dianalisis dengan teori hubungan patron klien yang
dikembangkan oleh Scott dengan tujuh unsur yang disebutkanya. Dimana ketujuh
dari unsur patron klien yang disebutkan oleh Scott ini ada beberapa unsur yang
tidak sesuai dengan pola hubungan patron klien dalam hubungan sosial haji di
masarakat Sasak Loyok, seperti pihak lebih rendah (klien) dapat melakukan
penawaran, padahal yang terjadi adalah dimana kedua belah pihak dalam
hubunganya melakukan penawaran, selain itu Scott menganggap bahwa adanya
ketidaksamaan dalam pertukaran.
Adanya ketidaksamaan antara unsur-unsur yang telah disebutkan oleh
Scott dengan fakta yang terjadi dalam hubungan sosial antara pelaku haji dengan
masyarakat Sasak yang ada di desa Loyok ini, karena Scott melihat hubungan
patron-klien yang bersifat ekonomis ini Ia hanya memandang ketimpangan-
ketimpangan hanya dari sudut patron saja, bahwa seolah-olah seorang patron
selalu memberi lebih banyak daripada si klien, padahal si klien juga juga bisa
merasa bahwa apa yang ada diberikan oleh patronya belum cukup, selain itu juga
menurut hemat saya apa yang dikemukakan oleh Scott tentang hubungan patron
klien serta unsur-unsurnya ini, lebih tepat digunakan untuk menganalisis
hubungan-hubungan sosial pada masa lampau atau hubungan-hubungan yang
86
terjadi dalam masyarakat tradisional dan masa kerajaan atau lebih tepatnya
analisis yang bersifat antropologis, akan tetapi hubungan-hubungan patron klien
terus akan terjadi dalam masyarakat dengan unsur-unsur yang berbeda, dalam
artian bahwa hubungan seprti antara tuan atau majikan dengan para budak atau
pekerjanya akan selalu terjadi dalam masyarakat.
Haji yang dipandang mulia oleh masyarakat Sasak bila dilihat dari
hubungan sosial antara orang yang bersetatus sebagai haji dengan masyarakat
telah merepresentasikan bahwa orang yang bersetatus haji adalah orang yang
dihormati layaknya seorang raja.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan-hubungan sosial
antara pelaku pelaku haji dengan masyarakat Sasak yaitu pertama faktor ekonomi,
dimana orang-orang yang bersetatus sebagai haji adalah sebagai pemilik modal
dan usaha, sedangkan secara umum masyarakat biasa hanya sebagai buruh kerja
pada pemilik modal dan usaha yang pada giliranya secara tidak sadar akan
mengikuti langkah atau kemauan dari majikanya.
Kedua faktor kepercayaan lokal, apabila melihat dari varian Islam Wetu
Telu yang merupakan sistem kepercayaan pertama kali dianut khususnya dalam
Islam, dimana Rukun haji hanya wajib dilakukan oleh pemimpin spiritual mereka
saja sedangkan masyarakat biasa tidak wajib untuk melakukan ibadah haji
tersebut, yang mana orang yang melakukan ibadah haji dalam masyarakat varian
Islam wetu telu ini adalah orang yang secara agama terpandang dalam masyarakat
Sasak. Hal semacam ini juga ada kesamaan dalam varian Islam Waktu Lima (yang
merupakan varian Islam Sasak yang dianut masyarakat Sasak Loyok), dimana
87
sorang kiyai atau ulama yang mereka kenal dengan sebutan Tuan Guru adalah
orang-orang yang berpredikat sebagi sorang haji, artinya bahwa tidak mungkin
sorang bisa bergelar sebagi seorang Tuan Guru apabila belum melakukan ibadah
haji atau tidak bersetatus sebagai sorang haji, dan sosok Tuan Guru adalah oranag
yang terpandang, disegani dan dihormati oleh masyarakat Sasak.
Ketiga faktor sosial politik, dimana dalam konteks sosial politik ini
orang yang berpredikat sebagai haji diposisikan sebagai orang-orang yang
memiliki kekuasaan atau kekuatan (Power) untuk mempengaruhi masyarakat
setempat yang ada disana, baik secara struktural maupun secara kultural.
Dan terakhir yaitu faktor sejarah, secara sejarah ibadah haji yang juga
rukun Islam yang kelima ini pada awalnya dilakukan oleh orang-orang yang
terpandang seperti sosok seorang Raden yang dulunya memiliki kekuasaan atas
masyarakat Sasak Loyok, dan juga para kyai-kyai atau ulama yang ada dalam
masyarakat Sasak yang merka kenal dengan sebutan Tuan Guru, dan tradisi-
tradisi dalam pelaksaanaan ibadah haji yang selalu dilakukan oleh masyarakat
Sasak apabila ada salah satu dari mereka melakukan ibadah haji.
Pola hubungan sosial dengan beberapa faktor seperti faktor sosial
politik, sejarah, sistem kepercayaan lokal dan terutama faktor sosial ekonomi
dalam komunitas masyarakat Sasak telah menimbulkan adanya garis-garis
demarkasi antara orang-orang yang bersetatus sebagi haji dengan masyarakat
biasa, selain itu terjadi dikotomi antara orang-orang yang bersetatus sebagai haji
dengan orang yang tidak bersetatus sebagai haji dalam kehidupan sosial
88
komunitas masyarakat lokal Sasak khususnya di desa Loyok kabupaten Lombok
Timur ini.
Adanya garis-garis demarkasi dan dikotomi sosial dalam konteks
hubungan sosial antara pelaku haji dengan masyarakat Sasak yang antara kedua
belah pihak memiliki harapan-hrapan tertentu, menurut hemat saya karena
disebabkan adanya difrensiasi sosial, dalam beberapa aspek seperti aspek sosial
politik, ekonomi, dan agama.
B. Saran
Penelitian dengan pendekatan sosiologis fenomenologis ini tentunya
belum bisa memberikan kesimpulan yang menyeluruh dan lebih, akan tetapi
saran-saran yang akan diberikan peneliti sebagai berikut:
1. Bagi orang ingin maupun yang sudah melakukan haji sebaiknya
ibadah haji tidak hanya dipandang dari sesi syariat saja, atau
kewajiban semata, namun sebaiknya ibadah haji yang dilakukan
hendaknya dengan memahami makna dan tujuan dari ibadah haji
sebagi rukun Islam yang ke-Lima.
2. Ibadah haji tidak hanya dilihat sebagi kesalehan individu saja,
namun melainkan juga ibadah yang memiliki dimensi terhadap
kesalehan sosial.
3. Diharapkan bagi orang-orang yang berstatus sebagai haji supaya
bisa lebih berperan terhadap pemberdayaan masyarakat, dalam
89
artian mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi
perubahan dan pembentukan masyarakat yang Islami.
4. Diharapkan kepada masyarakat Sasak supaya terus menjaga dan
melestarikan tradisi-tradisi suku Sasak yang telah dibangun oleh
pendahulu-pedahulu mereka khususnya tradisi haji, agar tujuan
perubahan menuju moderenitas tampa melupakan dari mana
mereka lahir.
5. Hasil penelitian ini belumlah sempurna dan menyeluruh serta
belum mengungkap segala permasalahan yang ada dalam berbagai
aspek, sehingga tugas peneliti-peneliti berikutnya untuk
mengembangkanya lebih lanjut, terutama kajian mngenai haji
dalam masyarakat Sasak.
90
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan A.C. Van der Leeden. Durkheim dan Pengantar Sosiologi
Moralitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986. Abd. Syakur, Ahmad. Islam dan Kebudayaan: Akulturasi Nilai-Nilai Islam Dalam
Budaya Sasak, Yogyakarta: Adab Press, 2006. Ali, M. Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Yeori dan Praktek.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002 Arikunto, Suharsimi. Prosudur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT
Rineka Cipta. 2002. Berry, David. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. trj. Paulus Wirutomo.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003. Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1977. Budiwanti, Erni. Islam Sasak (Wetu Telu Versus Waktu Lima). Yogyakarta: LKiS.
2000. Darmawan, Lalu. “Sistem Perkawinan Masyarakat Sasak”, Skripsi, Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. Al-Qur’n
dan Terjemahanya. Bandung: CV. Penerbit J-Art. 2004.
Dimjati, Djamaluddin. Panduan Ibadah Haji Dan Umrah Lengkap. Disertai Rahasia Dan Hikmahnya, Solo: Era Intermedia, 2006.
Dipohusodo, Istimawan. Pergi Haji Sesuai Sunah Rasul, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar 1997. Durkheim, Emile. Sejarah Agama. trj. Inyak Ridwan Muzir, Yogyakarta;
IRCiSoD. 2003. Furchan, Arief. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha
Nasional, 1992. http://www.lomboktimur.go.id. Diakses 28 Juli 2008 http://www.nw.or.id. Diakses 27 Juli 2008
91
http://ntb.go.id/pusparagam/pariwisatamakamselaparang.php. Diakses 15 Agustus 2008.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000. Khoiruddin, Akhmad Yusuf . Konflik Antar Pemuka Agama Tentang Tradisi
Tahlilan. Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2005. Maimunah, Siti. “Masuknya Islam Ke Nusantara”. Dalam Munzirin Yusup (ed),
Sejarah Perdaban Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka. 2006. Mardalis, Metode Penelitian Suatau PendekatanProposal. Jakarta: Bumi Aksara,
2006. Muthahhari, Murtadha. Pengantar Ilmu-ilmu Islam. terj. Ibrahim Husain dkk.
Jakarta: Pustaka Zahra. 2003. Nasution, Muslim. Haji dan Umrah (Keagungan dan Nilai Amaliahnya ). Jakarta:
Gema Insani Press. 1999. Nawoko, J. Dwi, Suyanto Bagong. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan.
Jakarta: Kencana. 2004. Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. ter. Abdul Muis Nahrong.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Putra, Heddy Shri Ahimsa. Minawang, Hubungan Patron-klien di Sulawesi
Selatan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988. Projodikoro, HMS. Pengalaman dan Pengalaman Ibadah Haji. Yogyakarta:
Sumbangsih. 1978. Ramli, Mutawakil. Mari Memabrurkan Haji Kajian Dari Berbagai Kajian Islam.
terj. Azuma Gibran. Bekasi: Gugus Press. 2002. Ritzer, George dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Moderen, terj.
Alimandan, Jakarta: Kencan, 2003. Robertson, Roland (ed). Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi. ter.
Ahmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1988. Bartholomew, John Ryan. Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, Terj.
Imron Rosyidi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001. Saifuddin, Achmad Fedyani. Antropologi Kontemporer, Jakarta: Kencana. 2006
92
Ash Shidddieqy, Hasbi. Pedoman Haji. Jakarta: Bulan Bintang. 1994. Simuh. Islam Dan Pergumulan Budaya Jawa. Yogyakarta: Teraju. 2003. Soehadha, Moh. Pengantar Metode Penelitian Sosial Kualitatif , Buku Daras,
Tidak Diterbitkan,Yogyakarta, 2004. Soekanto, Soerjono. Sosiaologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005. ---------------, Max Weber, Konsep-konsep Dasar Dalam Sosiologi, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1985. Supardan, Dadang. Pengantar Ilmu Sosial, Sebuah Kajian Pendekatan Struktural,
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008. Turner, Bryan S. Agama dan Teori Sosial. ter. Inyak Ridwan Muzir, Yogyakarata:
IRCiSoD. 2003. Weber, Max. Studi Komperhensif Sosiologi Kebudayaan. ter.Abdul Qodir Shaleh,
Yogyakarata: IRCiSoD. 2002.
93
CURRICULUM VITAE
Nama lengkap : Muh. Sya’rani NIM : 04541570 Jenis kelamin : Laki-laki Tempat tgl. Lahir : Lombok Timur, 22 Februari 1986 Agama : Islam Kebangsaan : Indonesia Alamat asal : Loyok, Lombok Timur NTB Alamat Jogja : Jln. Timoho Gg. Genjah 19 A, Sapen Yogyakarta Telp./Hp. : 081392332563 Nama orang tua Ayah : H. Ahmad M Ibu : Hj. Hanifahnur Pekerjaan : Wiraswasta Alamat orang tua : Loyok, Lombok Timur NTB Pendidikan :
1. SD Negeri 1 Loyok, Sikur, Lombok Timur, NTB, lulus 1998
2. MTS Nurul Haromain, Narmada, Lombok Barat, NTB, lulus 2001
3. MAKN/ MAN 2 Mataram, Kodya Mataram NTB, lulus 2004
4. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Sosiologi Agama, masuk 2004
Organisasi : 1. Pengurus HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Kom-
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2005, 2006, 2007. 2. BEM-J Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga, 2007,
2008. Demikian riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Yogyakarta, Desember 2009 Yang membuat,
Muh. Sya’rani NIM.04541570
94
PEDOMAN WAWANCARA
I. Untuk Masyarakat Yang Belum Bersetatus Haji
1. Apa yang anda ketahui tentang haji?
2. Bagaimana cara anda membedakan orang yang sudah melakukan haji dengan
orang yang belum haji ?
3. Bagaimana pandangan anda terhadap orang yang sudah melakukan haji?
4. Bagaimana perlakuan anda terhadap orang yang sudah melakukan ibadah haji?
5. Tradisi seperti apa saja yang dilakukan ketika ada orang yang melakukan haji?
6. Pernahkah anda berpartisipasi dalam tradisi tersebut?
7. Bagaimana hubungan anda dengan orang yang bersetatus sebagai haji?
II. Untuk Masyarakat Yang Belum Bersetatus Haji
1. Apa pekerjaan anda sebelum dan sesudah haji?
2. Apa yang anda rasakan setelah melakukan ibadah haji?
3. Bagaimana hubungan anda dengan masyarakat biasa sebelum anda melakukan
ibadah haji dan sesudah melakukanya
4. Persiapan apa saja yang anda lakukan sebelum melakukan ibadah haji?
5. Bagaimana pembiayaan anda ketika melakukan haji, apakah menabung, jual
tanah dan lain sebagainya?
6. Tradisi seperti apa saja yang dilakukan ketia ada orang yang melakukan haji?
95
DAFTAR IMFORMAN
No Nama Jenis Kelamin Umur Pekerjaan
1 H. Zainal Laki-laki 42 Pengusaha Gerabah
2 H.L. Ikramullah Laki-laki 58 Pengusaha Tembakau
3 H. Idris Laki-laki 54 Pengusaha Kerajinan bambu
4 Humaidi Laki-laki 41 Sekertaris Desa
5 H. Ahmad M Laki-laki 59 Pengusaha Kerajinan bambu
6 Amq. Rohaeni Laki-laki 76 Petani
7 Nurhasanah Perempuan 34 Guru
8 Rusnah Perempuan 39 Guru
9 Nurul Watoni Laki-laki 20 Wiraswasta
10 M. Fadli Laki-laki 35 Pengerajin