rekomendasi pertanyaan dpr ri

5

Click here to load reader

Upload: ppibelanda

Post on 25-Jun-2015

818 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rekomendasi pertanyaan dpr ri

PPI GRONINGEN Muhammad Baskoro, S.H., M.H. Postgraduate Student of International Business and Economic Master of Law Program in Rijksuniversiteit Groningen Associate Lawyer of HPRP Lawyers and Meritas International Law Firm Worldwide

1. Kami menganggap bahwa pelaksanaan Studi Banding Tim Anggota DPR RI merupakan hal yang baik selama, memenuhi asas efektifitas, efisiensi dan tepat sasaran. Pelaksanaan Studi Banding harus didasari oleh hasil penelaahan pendahuluan yang rinci dan seksama sehingga bisa menghasilkan input-input perumusan dan pembuatan peraturan yang tepat sasaran.

2. Pelaksanaan perumusan pembuatan peraturan juga harus menangkap aspirasi masyarakat di Indonesia sebagai subject dari penerapan dan pemberlakuan peraturan tersebut. Adapun unsur-unsur external seperti pembandingan dengan sistim hukum negara lain tidak boleh dijadikan ujung tombak pembuatan peraturan perundang-undangan, karena adanya perbedaan nilai-nilai sosial, yuridis dan politis dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat Indonesia.

3. Sedianya dalam melakukan kunjungan kerja baik berupa studi banding ataupun lainnya, harus memperhatikan asas kesederhanaan dan menghindari penggunaan fasilitas dan/atau konsesi negara secara berlebihan.

4. Hasil dari pelaksanaan studi banding juga harus dapat dipublikasikan dan diakses oleh siapapun secara transparan, untuk menghindari asumsi dan opini negatif yang dapat berkembang di masyarakat luas juga untuk meningkatkan akuntabilitas dari DPR RI selaku salah satu lembaga negara.

PPI DEVENTER Fennisya Veronicka

1. Setiap pegawai negeri diberikan kewenangan penyidikan. Polisi tunggal menjadi penyidik dan menjadi PPNS. Maka dari itu harusnya ada pemberian wewenang yang jelas dan tegas dalam usul baru dalam KUHAP. In conclusion, tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) diperkuat pasal -pasalnya bukan hanya polisi tunggal.

2. Mengenai Hukum Adat karena masalah Indonesia khususnya Kalimantan. Masalah hukum adat sangat rawan konflik, oleh sebab itu, diperlukan keharusan memperjelas pasal- pasal hukum secara detail.

PPI GRONINGEN Ronny Prabowo PhD student at accounting. University of Groningen

1. RUU ini terlalu bersemangat mengancam warga negara dengan ancaman kriminal (overcriminalization). Ancaman pidana (penjara) memang di satu sisi bisa menjadi penggentar (detterent) tindakan kriminal. Tapi di sisi lain, memenjarakan orang juga menimbulkan biaya sosial. Yang paling gampang dilihat adalah penjara kita sudah penuh sesak, dengan semakin banyak perilaku yang diancam hukuman pidana, maka kebutuhan akan penjara (dan segala tetek bengek infrastrukturnya) akan

Page 2: Rekomendasi pertanyaan dpr ri

membengkak. Uang para pembayar pajak akan banyak tersedot untuk membiayai itu semua.

2. Biaya sosial lain (yang mungkin sulit dihitung) adalah bahwa pemidanaan akan berimplikasi pada proses pemiskinan keluarga terpidana. Di Indonesia, begitu seseorang tersangkut masalah pidana, maka potensi pemiskinan akan sangat besar untuk membiayai proses hukum (formal atau informal - termasuk menyuap aparat hukum). Jika seseorang akhirnya dipenjara, proses pemiskinan semakin intensif, apalagi jika sang breadwinner yang dipenjara. Keluar penjara pun orang itu akan sulit mencari pekerjaan formal (karena semua menuntut SKKB atau SKCK). Mau wiraswasta? Easier said than done. Apalagi tidak ada social security untuk keluarga miskin di Indonesia.

3. Belum lagi penjara terkenal sebagai "sekolah kejahatan" di Indonesia. Saya membayangkan seseorang baik2 yang 'terpeleset' berzinah kemudian dipenjara. Di penjara dia berkenalan dengan pelaku kejahatan yang lebih serius. Keluar penjara dia tidak bisa mencari pekerjaan, mungkin satu satunya sarananya untuk bisa survive adalah bergabung dengan 'teman sekolahnya' di penjara. Banyaknya residivis kambuhan mungkin disebabkan karena begitu keluar penjara mereka tidak memperoleh pekerjaan layak karena semua pintu telah 'tertutup'.

4. Mengancam kejahatan 'kecil' dengan hukuman besar hanya akan menimbulkan kejahatan yang lebih besar. Saya pernah baca ilustrasi seorang ahli. Kalau salah parkir diancam hukuman mati, maka sangat mungkin 'kejahatan' salah parkir akan berkurang drastis. Tapi mungkin orang yang salah parkir akan berpikir untuk membunuh polisi atau petugas parkir supaya tidak ada orang yang tahu kalau dia salah parkir. Kalaupun akhirnya dia ditangkap karena membunuh, toh hukumannya sama-sama hukuman mati. Tentu ini contoh ekstrim. Tapi saya sangat yakin RUU KUHP ini akan potensial membuat tindakan koruptif aparat hukum (atau oknum massa) semakin besar. Kalau saya punya kuasa, saya bisa ancam orang yang kepergok selingkuh, misalnya, dengan ancaman pidana kalau dia tidak membayar uang tutup mulut kepada saya.

5. Saya pakai ilustrasi perzinahan karena itu salah satu isu panas di RUU KUHP, bukan berarti saya setuju perzinahan, Uda. Hehe. Saya anti perzinahan. Tapi saya prefer delik perzinahan seperti KUHP sekarang (delik aduan suami/ istri). Di RUU KUHP ini perzinahan memang delik aduan tapi yang mengadukan bisa siapa pun yang merasa terganggu. Delik aduan suami/ istri menmbuat kejahatan perzinahan bisa diselesaikan secara 'out of court settlement' jika suami/ istri pelaku menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Usul singkat saya: jangan membuat '' ledakan ancaman pidana" di RUU KUHP ini.

Page 3: Rekomendasi pertanyaan dpr ri

PPI TILBURG Arindra Yudha Oktoberry Mahasiswa Master of Law and Technology Tilburg University

Kepada

Yth. Anggota Komisi III DPR RI

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan gagasan saya selaku salah satu mahasiswa hukum di Universitas Tilburg. Kebetulan sekali, saat ini saya sedang melakukan riset terhadap legislasi Indonesia di bidang Cybercrime (Kejahatan Siber). Dan karena riset saya telah mencapai final, ada beberapa rekomendasi yang bisa saya sampaikan melalui media ini sebagai berikut:

1. Cybercrime Material Law (rekomendasi untuk KUHP):

Indonesia telah memiliki hukum siber yang telah diberlakukan sejak tahun 2008 yaitu UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Secara umum, ketentuan-ketentuan material yang mengatur mengenai cybercrime telah terakomodir dalam Bab VII: Perbuatan Yang Dilarang, yang terdiri dari Pasal 27 s.d. Pasal 37. Secara umum ketentuan-ketentuan dalam bab ini telah mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Cybercrime Convention yang merupakan standar global dalam bidang Hukum Siber/Cybercrime. Namun ada ketentuan kejahatan siber yang belum jelas diatur yaitu mengenai Computer-related Fraud. Terkait hal ini, sebenarnya ketentuan ini sudah diatur dalam Pasal 36 yang berbunyi:

‘Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.’

Namun di sini kurang jelas mengenai batasan istilah ‘kerugian’ di sini, sehingga dibutuhkan penjelasan lebih lanjut untuk menyamakan persepsi.

Sehubungan dengan hal di atas, saya mengusulkan agar ketentuan-ketentuan mengenai Cybercrime ini dapat dikodifikasikan dalam RUU KUHP, sehingga tidak tercerai –berai sebagaimana kondisi regulative

framework di bidang pidana saat ini. Banyak negara-negara maju yang telah mencantumkan kejahatan siber ke dalam Criminal Code(KUHP) mereka, seperti Belanda, US, dan banyak lagi.

2. Cybercrime Procedural Law (rekomendasi untuk KUHAP)

Terkait hal di atas, hukum acara mengenai tindak pidana di bidang Cybercrime juga mendesak untuk di-amandemen, terutama mengenai kewenangan luar biasa yang di dalam Cybercrime Convention meliputi; kewenangan untuk melakukan ‘Digital Search and Seizure’, Network Search and Remote Search, Interception/Wiretapping, dan Telecommunication Investigation.

Page 4: Rekomendasi pertanyaan dpr ri

Digital Search and Seizure:

Perlu diketahui, kejahatan cyber in memiliki sifat dan karakter yang unik dibandingkan kejahatan biasa. Keunikan ini meliputi; bahwa kejahatan cyber adalah kejahatan teknologi tinggi, bahwa banyak fakta menunjukkan kejahatan ini bisa terjadi secara spontan/otomatis, dan kejahatan jenis ini mempunyai tingkat kesulitan tinggi untuk mengidentifikasi pelakunya, dan diperburuk oleh anonimitas pelaku yang ditunjang oleh teknologi internet, dan kendala jarak geografis dan fisik yang memisahkan korban, pelaku, dan tempat kejadian. Keunikan sifat dan karakteristik kejahatan siber membutuhkan upaya-upaya luar biasa dalam proses penyidikan. Upaya atau kewenangan-kewenangan luar biasa adalah sebagaimana tersebut dalam butir 2 di atas. Khusus mengenai kewenangan ‘digital search and seizure’ hendaknya diberikan pembatasan yang jelas mengenai tata-cara pengajuan ijin kepada Ketua Pengadilan setempat, batasan waktu penerbitan ijin, kemungkinan perpanjangan ijin, dan hal-hal lain. Semakin detil pengaturan akan semakin meningkatkan efektivitas proses penyidikan, dan mencegah pelanggaran terhadap hak privasi yang dilindungi oleh UUD, sekaligus mencegah kemungkinan penyalahgunaan wewenang. Sekalipun hal ini telah disinggung dalam Pasal 43 ayat 3 UU ITE, namun keterangan lebih

lanjut tetap dibutuhkan. Oleh karena itu, saya mengusulkan bahwa ketentuan ini bisa dicantumkan juga di dalam RUU KUHAP.

Network Search and Remote Search:

Penggeledahan jaringan (network search) maksudnya adalah proses penggeledahan terhadap perangkat telekomunikasi seperti computer yang digunakan sebagai alat bantu kejahatan dan dilanjutkan menuju jaringan yang terkait dengan computer tersebut, sedangkan penggeledahan jarak jauh (remote search) adalah penggeledahan mandiri yang dilakukan oleh penegak hukum di kantornya. Kedua jenis kewenangan ini perlu diatur juga secara detil sebagaimana kewenangan ‘digital search and seizure’ karena memiliki peran kunci dalam mengungkap kasus. Di samping itu, kejelasan peraturan juga dapat menghindari potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak privasi. Sama halnya dengan kewenangan ‘Digital Search and Seizure’, saya mengusulkan agar ketentuan ini dapat dicantumkan di dalam RUU KUHAP.

Interception/Wiretapping:

Penyadapan (intersepsi) juga merupakan kewenangan yang luar biasa yang apabila tidak diatur secara rinci menimbulkan invasi terhadap hak privasi dan penyalahgunaan wewenang. Sebagaimana kita ketahui bersama, wewenang penyadapan telah sering diaplikasikan oleh penyidik KPK, penyidik Narkoba untuk mengungkap beragam kasus korupsi dan narkoba di tanah air. Tingkat efektivitasnya sangat mengagumkan dalam menangkap pelaku. Di sisi lain, kewenangan ini diatur tercerai-berai dalam banyak UU seperti UU ITE, UU Telekomunikasi, UU KPK, dan lain-lain. Akibatnya, terjadi tumpang-tindih antara banyak perundang-undangan.

Saya mengusulkan agar dalam penyusunan KUHAP kewenangan ini dikodifikasikan, dan diatur secara detil dan sinkron sehingga tidak ada lagi UU yang saling berbenturan satu sama lain.

Page 5: Rekomendasi pertanyaan dpr ri

Telecommunication Investigation:

Penyidikan terhadap telekomunikasi berarti kewenangan penegak hukum untuk mencari informasi atau bukti-bukti awal suatu tindak pidana siber melalui keterlibatan penyelenggara jasa telekomunikasi. Kewenangan ini dalam Cybercrime Convention meliputi: kewenangan untuk meminta penyelenggara jasa telekomunikasi untuk menyerahkan data/informasi pelanggannya, kewenangan untuk meminta data trafik komunikasi secara real-time, dan kewenangan untuk meminta data isi dari komunikasi. Mengingat cukup pentingnya kewenangan ini dalam membantu proses penyidikan, sementara dalam rumusan UU ITE maupun KUHAP tidak ada diatur mengenai kewenangan dimaksud.

Oleh karena itu, bersama ini saya juga merekomendasikan agar kewenangan ini dapat dirumuskan juga dalam RUU KUHAP.

Demikian yang dapat saya sampaikan sebagai hasil dari penelitian yang saya lakukan selama studi di negeri kincir angin. Mudah-mudahan sumbangsih pemikiran ini dapat membawa manfaat bagi proses penyusunan KUHP dan KUHAP yang sedang Bapak/Ibu Anggota Dewan lakukan pada khususnya, dan manfaat yang luas bagi bangsa dan Negara tercinta pada umumnya.