rehabilitasi lahan pasca tsunami di nanggroe aceh darussalam

2
Tsunami? Tsunami adalah gelombang yang sangat besar. Tsunami umumnya terjadi sebagai akibat gempa bumi di dasar laut, walaupun tidak setiap gempa bumi disertai tsunami. Sebagaimana yang telah melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias pada 26 Desember 2004, tsunami terjadi setelah ada gempa berkekuatan 8.9 skala richter di dasar lautan Indonesia. Gelombang yang sangat besar ini tidak saja menyebabkan lebih dari 100 ribu orang meninggal dan hilang, tetapi juga merusak berbagai fasilitas termasuk lahan pertanian. Kerusakan lahan akibat tsunami Kerusakan lahan pertanian oleh tsunami sebagian besar terjadi oleh beberapa faktor yaitu: 1. Kegaraman (salinitas) dan sodisitas (kadar Na tinggi) 2. Endapan lumpur laut 3. Sampah dan puing-puing bangunan 4. Rusaknya infrastruktur irigasi/drainase dan jalan Salinitas dan sodisitas yang diakibatkan oleh tsunami terjadi, karena air dan lumpur laut yang bergaram dengan kadar Na tertukar yang tinggi telah mencapai lahan pertanian yang mengakibatkan rusaknya pertanaman (Gambar 1). Endapan lumpur laut yang bergaram (Gambar 2) juga sangat membahayakan pertumbuhan tanaman. Akibat gempa dan tsunami, bangunan hancur dan puing-puing bangunan serta sampah tersebar ke lahan pertanian (Gambar 3), rusaknya jaringan irigasi, jaringan drainase, jalan desa dan pematang-pematang sawah (Gambar 4). Hasil analisis Balai Penelitian Tanah menggunakan citra satelit menunjukkan bahwa luas lahan sawah yang mengalami kerusakan mencapai 28.931 ha (Tabel 1). Kerusakan lahan juga terjadi pada lahan kering yang mencapai 24.345 ha (FAO, 2005). Gambar 1. Tanaman rusak akibat garam (Foto: K. Subagyono) Gambar 2. Lumpur laut yang bergaram masuk ke lahan pertanian (Foto: K. Subagyono) Gambar 3. Sampah dan puing bangunan di lahan sawah (Foto: A. Rachman) Gambar 4. Jaringan irigasi yang rusak di lahan sawah (Foto: K. Subagyono) Tabel 1. Kerusakan lahan akibat tsunami di beberapa kabupaten/Kota di NAD Gambar 5. Persentase Na tertukar di daerah Lhok Nga Sumber: Rachman et al.(2005) ESP:exchangeable sodium percentage (persentase Na tertukar) Berdasarkan tingkat kerusakan lahannya, lahan-lahan pasca bencana tsunami dapat diklasifikasikan menjadi 4 (FAO, 2005): Kelas A “kerusakan ringan” Lahan dengan jumlah puing dan sampah bangunan yang sedikit atau tidak ada, erosi rendah, dan sedimentasi pasir bergaram tebalnya hanya beberapa cm, lahan tergenang beberapa jam, laju infiltrasi yang relatif lambat (endapan lumpur liat), dan indeks daya hantar listrik (DHL) < 4. Kelas B “kerusakan sedang” Lahan dengan jumlah puing dan sampah bangunan yang tersebar agak merata, erosi sedang, dan sedimentasi pasir bergaram tebalnya > 10 cm, lahan tergenang > 1 hari, laju infiltrasi sedang (tanah/endapan lempung), dan lahan tidak mempunyai fasilitas irigasi/drainase. Kelas C “kerusakan berat” Lahan dengan jumlah puing dan sampah bangunan yang tersebar sangat merata, erosi berat, dan endapan pasir bergaram tebalnya > 20 cm, lahan tergenang > 1 minggu, laju infiltrasi cepat, dan lahan tidak mempunyai fasilitas irigasi/drainase serta curah hujan yang relatif rendah. Kelas D “lahan tergenang (lost area)” Beberapa lahan di pantai barat NAD tetap tergenang air laut, sehingga tidak dapat dimanfaatkan kembali untuk pertanian. Lahan-lahan yang demikian dianggap sebagai lahan yang hilang, yang berarti hilangnya mata pencaharian bagi pemilik atau penggarap lahan tersebut. Rehabilitasi lahan a. Prinsip dasar rehabilitasi lahan Rehabilitasi lahan pertanian didasarkan pada tingkat kerusakan lahan yang diakibatkan oleh salinitas, macam dan ketebalan endapan lumpur, banyaknya puing dan sampah, dan tingkat kerusakan infrastruktur serta kapasitas usaha tani yang dimiliki petani baik menyangkut tenaga kerja, sarana produksi, peralatan usaha tani, modal dan lain-lain. Makin berat kerusakannya, makin intensif pula rehabilitasi lahan yang harus dilakukan. Selain itu rehabilitasi lahan juga harus mempertimbangkan jenis masalah yang menyebabkan kerusakan lahan dan lumpuhnya kapasitas sistem usaha tani. Rehabilitasi lahan akibat salinitas berbeda dengan lahan-lahan yang juga memiliki masalah sodisitas, masalah endapan lumpur dan kerusakan infrastruktur. Jarak dari garis pantai (km) Kab./Kota Luas Sawah rusak % luas sawah yang rusak ha ha Aceh Singkil 4.971 N/A N/A Aceh Selatan 17.916 3.627 20,2 Aceh Barat Daya 18.249 4.52 24,7 Nagan Raya 23.668 N/A N/A Aceh Barat 41.538 6.107 14,7 Aceh Jaya 15.529 4.159 26,7 Aceh Besar 30.915 3.574 11,2 Kota Bd.Aceh 476 213 44,7 Aceh Pidie 38.302 4.023 10,5 Bireun 20.507 1.666 8,1 Kota L.Seumaw e 4.155 392 9,4 Aceh Utara 39.337 650 1,6 Aceh Timur 53.571 N/A N/A Aceh Tamiang 21.682 N/A N/A Kota Langsa 2.005 N/A N/A Simelue 3.186 N/A N/A Kota Sabang 10 N/A N/A JUMLAH 336.017 28.931

Upload: agamrejang

Post on 04-Jan-2016

30 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

REHABILITASI LAHAN PASCA TSUNAMIDI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

TRANSCRIPT

Page 1: REHABILITASI LAHAN PASCA TSUNAMI  DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Tsunami? Tsunami adalah gelombang yang sangat besar.

Tsunami umumnya terjadi sebagai akibat gempa bumi di dasar laut, walaupun tidak setiap gempa bumi disertai tsunami. Sebagaimana yang telah melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias pada 26 Desember 2004, tsunami terjadi setelah ada gempa berkekuatan 8.9 skala richter di dasar lautan Indonesia. Gelombang yang sangat besar ini tidak saja menyebabkan lebih dari 100 ribu orang meninggal dan hilang, tetapi juga merusak berbagai fasilitas termasuk lahan pertanian.

Kerusakan lahan akibat tsunami Kerusakan lahan pertanian oleh tsunami sebagian

besar terjadi oleh beberapa faktor yaitu: 1. Kegaraman (salinitas) dan sodisitas (kadar Na

tinggi) 2. Endapan lumpur laut 3. Sampah dan puing-puing bangunan 4. Rusaknya infrastruktur irigasi/drainase dan jalan

Salinitas dan sodisitas yang diakibatkan oleh tsunami terjadi, karena air dan lumpur laut yang bergaram dengan kadar Na tertukar yang tinggi telah mencapai lahan pertanian yang mengakibatkan rusaknya pertanaman (Gambar 1). Endapan lumpur laut yang bergaram (Gambar 2) juga sangat membahayakan pertumbuhan tanaman. Akibat gempa dan tsunami, bangunan hancur dan puing-puing bangunan serta sampah tersebar ke lahan pertanian (Gambar 3), rusaknya jaringan irigasi, jaringan drainase, jalan desa dan pematang-pematang sawah (Gambar 4).

Hasil analisis Balai Penelitian Tanah menggunakan citra satelit menunjukkan bahwa luas lahan sawah yang mengalami kerusakan mencapai 28.931 ha (Tabel 1). Kerusakan lahan juga terjadi pada lahan kering yang mencapai 24.345 ha (FAO, 2005). Gambar 1. Tanaman rusak akibat garam (Foto: K.

Subagyono)

Gambar 2. Lumpur laut yang bergaram masuk ke lahan

pertanian (Foto: K. Subagyono) Gambar 3. Sampah dan puing bangunan di lahan

sawah (Foto: A. Rachman) Gambar 4. Jaringan irigasi yang rusak di lahan sawah

(Foto: K. Subagyono)

Tabel 1. Kerusakan lahan akibat tsunami di beberapa kabupaten/Kota di NAD

Sumber: Wahyunto et al. (2005); NA: analisis belum selesai

Masalah sodisitas (alkalinitas) ditandai dengan kadar Na tertukar yang relatif tinggi (Gambar 5).

Gambar 5. Persentase Na tertukar di daerah Lhok Nga Sumber: Rachman et al.(2005) ESP:exchangeable sodium percentage (persentase Na tertukar)

Berdasarkan tingkat kerusakan lahannya, lahan-lahan pasca bencana tsunami dapat diklasifikasikan menjadi 4 (FAO, 2005):

Kelas A “kerusakan ringan”

Lahan dengan jumlah puing dan sampah bangunan yang sedikit atau tidak ada, erosi rendah, dan sedimentasi pasir bergaram tebalnya hanya beberapa cm, lahan tergenang beberapa jam, laju infiltrasi yang relatif lambat (endapan lumpur liat), dan indeks daya hantar listrik (DHL) < 4.

Kelas B “kerusakan sedang”

Lahan dengan jumlah puing dan sampah bangunan yang tersebar agak merata, erosi sedang, dan sedimentasi pasir bergaram tebalnya > 10 cm, lahan tergenang > 1 hari, laju infiltrasi sedang (tanah/endapan lempung), dan lahan tidak mempunyai fasilitas irigasi/drainase.

Kelas C “kerusakan berat”

Lahan dengan jumlah puing dan sampah bangunan yang tersebar sangat merata, erosi berat, dan endapan pasir bergaram tebalnya > 20 cm, lahan tergenang > 1 minggu, laju infiltrasi cepat, dan lahan tidak mempunyai fasilitas irigasi/drainase serta curah hujan yang relatif rendah.

Kelas D “lahan tergenang (lost area)”

Beberapa lahan di pantai barat NAD tetap tergenang air laut, sehingga tidak dapat dimanfaatkan kembali untuk pertanian. Lahan-lahan yang demikian dianggap sebagai lahan yang hilang, yang berarti hilangnya mata pencaharian bagi pemilik atau penggarap lahan tersebut.

Rehabilitasi lahan a. Prinsip dasar rehabilitasi lahan

Rehabilitasi lahan pertanian didasarkan pada tingkat kerusakan lahan yang diakibatkan oleh salinitas, macam dan ketebalan endapan lumpur, banyaknya puing dan sampah, dan tingkat kerusakan infrastruktur serta kapasitas usaha tani yang dimiliki petani baik menyangkut tenaga kerja, sarana produksi, peralatan usaha tani, modal dan lain-lain.

Makin berat kerusakannya, makin intensif pula rehabilitasi lahan yang harus dilakukan. Selain itu rehabilitasi lahan juga harus mempertimbangkan jenis masalah yang menyebabkan kerusakan lahan dan lumpuhnya kapasitas sistem usaha tani. Rehabilitasi lahan akibat salinitas berbeda dengan lahan-lahan yang juga memiliki masalah sodisitas, masalah endapan lumpur dan kerusakan infrastruktur.

Jarak dari garis pantai (km)

Kab./Kota Luas Sawah rusak % luassawah yang rusak

ha haAceh Singkil 4.971 N/A N/AAceh Selatan 17.916 3.627 20,2Aceh Barat Daya 18.249 4.52 24,7Nagan Raya 23.668 N/A N/AAceh Barat 41.538 6.107 14,7Aceh Jaya 15.529 4.159 26,7Aceh Besar 30.915 3.574 11,2Kota Bd.Aceh 476 213 44,7Aceh Pidie 38.302 4.023 10,5Bireun 20.507 1.666 8,1Kota L.Seumaw e 4.155 392 9,4Aceh Utara 39.337 650 1,6Aceh Timur 53.571 N/A N/AAceh Tamiang 21.682 N/A N/AKota Langsa 2.005 N/A N/ASimelue 3.186 N/A N/AKota Sabang 10 N/A N/A

JUMLAH 336.017 28.931

Page 2: REHABILITASI LAHAN PASCA TSUNAMI  DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

b. Strategi rehabilitasi lahan

Strategi rehabilitasi lahan dirancang dengan memperhatikan tingkat kerusakan lahan. Strategi rehabilitasi pada setiap kelas kerusakan lahan adalah sebagai berikut:

Kelas A:

Perbaikan lahan dilakukan tanpa banyak upaya rehabilitasi. Pencucian garam dapat dilakukan menggunakan curah hujan atau sumber air lainnya yang tersedia. Total neraca air selama 4 bulan (contoh Januari - April 2005) cukup untuk mencuci garam.

Kelas B:

Perbaikan lahan memerlukan waktu dan upaya rehabilitasi yang lebih spesifik. Pencucian garam membutuhkan air dalam jumlah banyak. Total neraca air selama 6 bulan (contoh Januari-Juni) diperlukan untuk mencuci garam.

Kelas C:

Lebih banyak pekerjaan rehabilitasi diperlukan baik lahan maupun infrastruktur. Kemungkinan kehilangan kesempatan untuk menanam satu atau beberapa musim tanam setelah tsunami.

Kelas D:

Tidak ada upaya rehabilitasi karena lahannya telah tergenang air laut dan tidak dapat dikelola untuk pertanian. Kompensasi kepemilikan lahan dapat dialihkan ke lahan lain atau dengan aktivitas yang berbeda.

c. Teknologi rehabilitasi lahan

• Pekerjaan sipil teknis

Tahap awal dari pekerjaan rehabilitasi lahan adalah pembersihan lahan dari puing bangunan dan sampah yang dapat dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat/petani.

Kerusakan infrastruktur jaringan irigasi, drainase dan jalan dapat diperbaiki dengan pekerjaan sipil teknis seperti membangun kembali jaringan irigasi dan drainase serta jalan yang rusak. Agar pencucian garam dapat dilakukan dengan efektif, pembuatan saluran drainase perlu dilakukan pada lahan yang belum ada saluran tersebut

• Pencucian garam

Pencucian garam dapat dilakukan pada kondisi jenuh air dengan menggunakan curah hujan atau dengan air segar dari sungai. Pengalaman menunjukkan bahwa pencucian secara berselang pada interval 1 atau 2 minggu dapat diaplikasikan dengan efektif. Cara ini lebih menguntungkan dibanding cara penggenangan disertai pencucian, karena periode kering pada saat tidak dicuci dapat mengakibatkan retakan pada lapisan tanah (terutama tanah liat). Pada saat terjadi retakan tersebut akan terjadi pula pemindahan garam dari lapisan bawah ke bagian retakan sehingga dengan mudah dapat dicuci pada tahap pencucian berikutnya.

Untuk mempercepat pencucian garam, salah satu cara adalah membangun sistem drainase. Saluran drainase ini akan mempercepat aliran air dari lahan untuk dibuang keluar melalui saluran kuarter dan tersier.

• Aplikasi gypsum

Untuk mengatasi masalah sodisitas diperlukan bahan amelioran seperti gypsum. Bahan amelioran lain yang dapat digunakan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Bahan amelioran untuk reklamasi tanah alkalin (mengandung Na)

Jenis amelioran Bahan kimia Garam kalsium mudah larut

Calcium chloride Gypsum

Garam asam Sulfur Sulfuric acid Besi sulfat Aluminium sulfat Lime-sulfur

Garam kalsium sulit larut

Batuan kapur (ground limestone) Produk kapur dari pabrik gula

Sumber: US Salinity Laboratory Staff (1954) dengan modifikasi

Kebutuhan gypsum sangat tergantung pada kadar Na tertukar di dalam tanah. Penetapan sodium tertukar dan kapasitas tukar kation (KTK) sangat membantu dalam estimasi jumlah amelioran. Tanah dengan kedalaman 0-30 cm mengandung Na tertukar 4 cmol (+) kg-1, KTK 10 cmol (+) kg-1, dengan demikian ESP sama dengan 40. Jika ESP ingin diturunkan menjadi 10, diperlukan untuk mengganti Na sebanyak 3 cmol (+) kg-1, sehingga diperlukan bahan amelioran pada level 3 cmol (+) kg-1 tanah. Dengan melihat Tabel 3, jika gypsum diaplikasikan perlu 12,85 t ha-1.

Tabel 3. Jumlah gypsum yang diperlukan untuk menggantikan Na tertukar

Na tertukar Gypsum (CaSO4.2H2SO4)

meq/100 g tanah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

t ha-1 4,2 8,4

12,85 17,05 21,25 25,45 29,65 33,85 38,30 42,50

Sumber: US Salinity Laboratory Staff (1954) dengan modifikasi

Kasdi Subagyono

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Balai Penelitian Tanah

Jl. Ir. H. Juanda 98 Bogor 16123 Tel. 0251-323012 Fax. 0251-311256

E-mail: [email protected]

REHABILITASI LAHAN PASCA TSUNAMI

DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Foto: K. Subagyono

BALAI PENELITIAN TANAH Badan Litbang Pertanian

2005