rehabilitasi hutan dan mitigasi perubahan · pdf filepada perubahan cuaca dan bencana alam....

Download REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN · PDF filepada perubahan cuaca dan bencana alam. ... luas masing- masing fungsi hutan pada kabupaten/kota di Sulawesi Utara disajikan dalam

If you can't read please download the document

Upload: doanminh

Post on 06-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 49

    REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA

    Forest Rehabilitation and Forestry Climate Change Mitigation in North Sulawesi

    Oleh/by:

    Nurlita Indah Wahyuni

    BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec.Mapanget Kota Manado

    Telp : (0431) 3666683 Email : [email protected]

    ABSTRAK

    Indonesia sebagai negara kepulauan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim yang berakibat

    pada perubahan cuaca dan bencana alam. Namun hal ini tidak menyurutkan komitmen Indonesia

    untuk menurunkan tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada berbagai sektor termasuk kehutanan.

    Walaupun terbukti memiliki peran sebagai penyerap GRK, kehutanan berhadapan dengan isu emisi

    akibat deforestasi dan degradasi hutan. Peran hutan dalam mitigasi perubahan iklim adalah

    mengurangi emisi dan meningkatkan serapan GRK terutama CO2 melalui proses fotosintesis.

    Penyerapan CO2 lebih banyak terjadi pada hutan yang sedang berada dalam fase pertumbuhan.

    Mitigasi perubahan iklim yang dapat dilaksanakan pada tingkat sub nasional adalah rehabilitasi

    hutan. Luas lahan yang tergolong dalam tingkat kritis dan sangat kritis di Provinsi Sulawesi Utara

    mencapai 16,14% dan jika ditanam kayu pertukangan dengan riap 6-10 ton biomasa/tahun maka

    total biomasa yang terserap sebesar 16.515,13-27.525,22 Ton CO2e/tahun. Pelaksanaan mitigasi ini

    memerlukan sinergi antar pihak dalam suatu kebijakan multisektoral sehingga upaya penurunan

    emisi ini tidak mengganggu pelaksanaan pembangunan.

    Kata kunci: rehabilitasi, mitigasi, perubahan iklim, kehutanan, Sulawesi Utara

    I. PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN

    Perubahan iklim yang sedang berlangsung saat ini telah banyak dikaji oleh berbagai pihak

    karena dampak yang ditimbulkan nyata dirasakan. Iklim dapat menembus batas geografis dan tidak

    membedakan negara maju dan negara berkembang. Isu yang pertama kali dibahas dalam Konferensi

    Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992, disebabkan oleh peningkatan

    konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Pada KTT tersebut, terdapat 154 negara yang

    sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Perubahan Iklim

    (United Nations Frameworks Convention on Climate Change, UNFCCC). Indonesia sendiri telah

    meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang No.6 Tahun 1994 tentang Perubahan Iklim. Tujuan

    utama UNFCCC adalah menstabilkan emisi GRK di atmosfer sehingga tidak berdampak buruk

    terhadap iklim di bumi. Jumlah GRK yang terlalu banyak di atmosfer bumi telah memicu

    ketidakstabilan suhu bumi dan hal ini berdampak pada seluruh aspek kehidupan.

    mailto:[email protected]

  • 50

    Sebagai tindak lanjut dari UNFCCC tersebut, sejak tahun 1995 negara- negara para pihak yang

    terdiri dari Annex I (negara industri yang berkomitmen untuk mengembalikan emisi GRK ke tingkatan

    tahun 1990 pada tahun 2000), Annex II (negara yang mempunyai kewajiban untuk menyediakan

    sumberdaya finansial dan memfasilitasi transfer teknologi untuk negara berkembang) dan non Annex

    I (negara berkembang yang telah menyetujui UUNFCCC dan tidak termasuk dalam Annex I) bertemu

    setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties, COP) untuk menerapkan UNFCCC.

    Pada CoP ke 3 tahun 1997 di Kyoto, dihasilkan suatu aturan hukum mengikat (legally binding) yaitu

    Protokol Kyoto yang bertujuan untuk mengurangi emisi GRK bagi negara Annex I sedikitnya 5%

    dibandingkan tingkat GRK pada tahun 1990 dan hal ini harus dicapai pada tahun 2008-1012 (Ginoga

    et al,. 2008)

    Terdapat tiga mekanisme untuk mencapai target penurunan emisi GRK, yaitu Joint

    Implementation (JI), Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) dan

    Perdagangan Emisi (Emission Trading, ET). Sebagai negara berkembang, Indonesia hanya bisa

    berpartisipasi dalam CDM melalui pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction,

    CER) yang dapat dilaksanakan melalui kegiatan pembangunan kehutanan (Aforestation/

    Reforestation). Mekanisme Pembangunan Bersih ini dipayungi oleh Peraturan Menteri Kehutanan

    No.P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Pembangunan

    Bersih (A/R CDM).

    Aforestasi didefinisikan sebagai penanaman pohon pada areal yang 50 tahun sudah tidak

    berhutan. Sedangkan Reforestasi adalah penanaman pohon pada areal yang sejak 31 Desember 1989

    bukan merupakan hutan. Salah satu syarat diterimanya hasil A/R CDM adalah kegiatannya terukur

    dan termasuk dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Ukuran mitigasi yang digunakan adalah ton

    setara CO2 untuk dibuat ke dalam sertifikat penurunan emisi (CER). Dalam pelaksanaannya, A/R CDM

    ini dilaksanakan pada lahan-lahan kritis yang membutuhkan upaya rehabilitasi.

    II. KEBIJAKAN INDONESIA DALAM PERUBAHAN IKLIM DUNIA

    Indonesia sebagai negara kepulauan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan

    berdasarkan peristiwa beberapa tahun ini, nampaknya Indonesia tidak cukup siap menghadapi

    bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim. Namun pada pertemuan G-20 di Pittsburgh tahun

    2009, Indonesia menyatakan komitmennya untuk menurunkan tingkat emisi GRK sebanyak 26% pada

    tahun 2020 dengan skenario Business As Usual (tanpa ada rencana aksi) dan sebanyak 41% dengan

    dukungan internasional pada sektor energi dan penggunaan lahan termasuk kehutanan.

    Walaupun terbukti memiliki peran sebagai penyerap GRK, kehutanan berhadapan dengan isu

    emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan. Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim

    (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC) dalam salah satu laporannya menyebutkan

    bahwa deforestasi berkontribusi sebanyak 17% terhadap total emisi GRK global dibandingkan dengan

    sumber emisi lainnya. Namun di lain pihak vegetasi dan tanah menyimpan CO2 dua kali lebih besar

    dibandingkan CO2 di atmosfer (Masripatin, 2008). Tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai negara

    berkembang adalah bagaimana cara menekan deforestasi dan degradasi hutan namun tetap dapat

    memenuhi kebutuhan pembangunan. Second National Communication (2009) menyebutkan bahwa

    sektor Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (Land Use Change and Forestry, LUCF)

  • 51

    berkontribusi sebganyak 47% atau 649.254 Giga CO2e terhadap total emisi GRK Indonesia (Gambar

    1). Total emisi seluruh sektor serta besar emisi pada masing- masing sektor tersaji dalam Tabel 1.

    Tabel 1. Emisi CO2 pada seluruh sektor (Giga CO2e)

    Sektor Emisi CO2

    Energi 280.938

    Industri 42.814

    Pertanian 75.420

    Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (LUCF) 649.254

    Kebakaran Gambut 172.000

    Limbah 157.328

    TOTAL 1.377.754

    Sumber: Second National Communication (2009)

    Gambar 1. Persentase emisi GRK pada seluruh sektor (SNC, 2009)

    III. PERAN PENTING KEHUTANAN DAN PILIHAN MITIGASI

    Mitigasi perubahan iklim adalah usaha pengendalian untuk mencegah terjadinya perubahan

    iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan gas rumah kaca

    dari berbagai sumber emisi (Perpres RI No 46/2008). Secara sederhana, peran hutan dalam mitigasi

    perubahan iklim adalah mengurangi emisi dan meningkatkan serapan GRK melalui proses fotosintesis

    (penyerapan CO2) vegetasi hutan. Atau dengan kata lain, mitigasi perubahan iklim oleh hutan adalah

    melalui fungsi ekologis hutan untuk menstabilkan iklim. Hasil fotosintesis tersimpan dalam bentuk

    biomasa saat pertumbuhan vegetasi berlangsung. Penyerapan CO2 lebih banyak terjadi pada hutan

    yang sedang berada dalam fase pertumbuhan. Sehingga kegiatan penanaman vegetasi pada lahan

    yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di

    atmosfer. Selain sebagai penyerap, hutan dapat dikategorikan sebagai penghasil emisi akibat

    konversi hutan atau deforestasi. Deforestasi dapat didefiniskan sebagai perubahan penutupan lahan

    Energi 20%

    Industri 3%

    Pertanian 6%

    LUCF 47%

    Kebakaran Gambut

    13%

    Limbah 11%

  • 52

    dari hutan menjadi bukan hutan. Asumsi yang digunakan adalah berkurangnya luasan hutan akan

    mengurangi potensi penyerapan CO2 dari atmosfer.

    Begitu pentingnya kegiatan mitigasi ini hingga Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:

    P.70/Menhut-II/2009 memasukkan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan ke

    dalam salah satu dari delapan kebijakan prioritas pembangunan kehutanan tahun 2009-2014.

    Kebijakan dalam rangka mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan adalah kebijakan yang

    mengarah pada pengelolaan hutan lestari. Kegiatan dalam sektor kehutanan terkait mitigasi

    perubahan iklim dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu peningkatan serapan karbon (penanaman),

    konservasi karbon hutan (mempertahankan cadangan karbon yang ada pada hutan dari kehilangan

    akibat deforestasi, degradasi dan akibat lain dari praktek pengelolaan hutan), dan memanfaatkan

    biomasa sebagai pengganti bahan bakar fosil secara langsung melalui produksi energi biomasa atau

    secara tidak langsung melalui substitusi bahan yang industrinya menggunakan bahan bakar fosil. Cara

    yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara

    pohon. Sehingga untuk dapat mencapai target mitigasi perubahan iklim, pelaksanaan penyerapan

    karbon tidak ha