refrat praktikum patologi anatomi
TRANSCRIPT
2
I. ISI
A. Definisi
Diabetes Insipidus adalah Diabetes insipidus adalah gangguan yang
terjadi pada kelenjar hipofisis di dasar otak sehingga menyebabkan
kekurangan hormon antidiuretik yang mengakibatkan menurunnya kontrol
cairan tubuh, yang pada gilirannya menyebabkan rasa haus yang
berlebihan (polidipsi) dan pengeluaran sejumlah besar air kemih yang
sangat encer (poliuri) (Mahmud, 2009).
Yang disebabkan oleh 2 hal, antara lain :
1. Diabetes insipidus terjadi akibat penurunan pembentukan hormon
antidiuretik (vasopresin), yaitu hormon yang secara alami mencegah
pembentukan air kemih yang terlalu banyak (diabetes insipidus sentral)
(Mahmud, 2009).
2. Diabetes insipidus juga bisa terjadi jika kadar hormon antidiuretik
normal tetapi ginjal tidak memberikan respon yang normal terhadap
hormon ini (diabetes insipidus nefrogenik). Hormon ini unik, karena
dibuat di hipotalamus lalu disimpan dan dilepaskan ke dalam aliran
darah oleh hipofisa posterior (Mahmud, 2009).
B. Etiologi
Penyebab diabetes insipidus dapat diklasifikasikan menjadi tiga
golongan, yaitu: (Mahmud, 2009)
1. Kelainan organis
Setiap lesi yang merusak unit neurohipofisis dan hipotalamus
dapatmengakibatkan diabetes insipidus (Mahmud, 2009).
Kerusakan ini dapat terjadi sebagaiakibat dari (Mahmud, 2009) :
a. Operasi (bersifat sementara)
b. Penyakit infeksi (meningitis, ensefalitis, tuberkulosis, lues,
sarkoidosis,aktinomikosis, dan lain-lain),
c. Tumor atau kista di daerah kiasma optika, infundibulum, ventrikel
III,atau korpus pinealis (terutama kraniofaringioma, glioma optik,
dangerminoma). Terutama tumor supraselar (30% kasus).
3
d. Xantomatosis (hand-schuller-christian)
e. Leukimia
f. Hodgkin
g. Pelagra
h. Trauma pada kepala terutama fraktur basis cranii, atau setelah suatu
prosedur operatif dekat kelenjar pituitaria atau hipotalamus
i. Sindrom laurence-moon riedel
j. Idiopatik DI (30% kasus)
k. Ensefalopati iskemik atau hipoksia2
l. Familial DI
m. Radiasi
n. Edema serebri
o. Perdarahan intrakranial
Keadaan tersebut akan berakibat gangguan dalam :
1) Pengangkutan ADH/AVP yang tidak bekerja dengan baik akibat
rusaknyaakson pada traktus supraoptikohipofisealis
2) Sintesis ADH terganggu
3) Kerusakan pada nukleus supraoptik paraventricular
4) Gagalnya pengeluaran vasopressin (Mahmud, 2009).
2. Kelainan ginjal (diabetes insipidus nefrogenik)
Kelainan terletak pada ginjal yaitu tubulus yang tidak
pekaterhadap hormon antidiuretik (ADH). Faktor keturunan yaitu gen
sexlinked dominant merupakan penyebab kelainan ini. Diabetes
insipidus nefritogenik sering disertai retardasi mental. Dalam keadaan
normal, ginjal mengatur konsentrasi air kemih sesuai dengan kebutuhan
tubuh. Pengaturan ini merupakan respon terhadap kadar hormon
antidiuretik didalam darah. Hormon antidiuretik (yang dihasilkan dari
kelenjar hipofisa),memberikan sinyal kepada ginjal untuk menahan air
dan memekatkan air kemih. Diabetes insipidus nefrogenik adalah suatu
kelainan dimana ginjalmenghasilkan sejumlah besar air kemih yang
encer karena ginjal gagalmemberikan respon terhadap hormon
antidiuretik dan tidak mampumemekatkan air kemih (Mahmud, 2009).
4
Penyebab lain dari diabetes insipidus nefrogenik adalah obat-
obat tertentu yang bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal,
diantaranya:
a. Penyebab primer : primary familial: x-linked recessive dimana
bentuk berat terdapat pada anak laik-laki, dan bentuk yang lebih
ringanterdapat pada anak perempuan (Mahmud, 2009).
b. Penyebab sekunder :
1) Penyakit ginjal kronik : Penyakit ginjal polikistik, Medullary
cystic disease, Pielonefretis Obstruksi ureteral, Gagal ginjal
lanjut.
2) Gangguan elektrolit : Hipokalemia, Hiperkalsemia
3) Obat-obatan : Antibiotik aminoglikosid, demeklosiklin
danantibiotik, litium, asetoheksamit, tolazamid, glikurid,
propoksifen,colchicine, fluoride, cidofovir, demeclocycline,
methoyflurane.
4) Penyakit sickle cell
5) Gangguan diet : deprivasi protein
6) Amiloidosis
7) Sjogren syndrome (Sands, et al., 2006)
3. Idiopatik
Selain karena penyebab sentral dan nefrogen, beberapa kasus
diabetes insipidus tidak diketahui penyebabnya. Pada sejumlah
kecilkasus, diabetes insipidus merupakan kelainan herediter. Bentuk
autosom dominan ditandai dengan onsetnya yang bervariasi mulai sejak
lahir sampai umur beberapa tahun, dan semakin lama ada variasi
keparahan dalam keluarga dan individu. Gejala menurun pada dekade
ke 3 dan ke 5.Kadar AVP mungkin tidak ada (< 0,5 pg/mL) atau
menurun secara bervariasi. Gena berada pada kromosom nomor 20, dan
praprotein yang mengkode berisi AVP dan neurofisin (NPII), protein
pembawa hormon. Rantai tunggal pembawa polipeptide ini terbelah
dalam granula sekretoridan kemudian disambung lagi ke dalam
kompleks AVP-NP sebelum sekresi. Mutasi yang meyebabkan diabetes
5
insipidus autosom dominan telah dilokalisasi di bagian NP II. Meskipun
mutasi hanya melibatkan satu allele, mutan kompleks AVP NP II
mengganggu fungsi allele normal, mengakibatkan pewarisan atosom
dominan (Sands, et al., 2006).
C. Epidemiologi
Diabetes insipidus merupakan penyakit yang jarang terjadi, kurang
lebih 3 per 100.000 orang. Kebanyakan kasus-kasus yang pernah ditemui
merupakan kasus idiopatik yang dapat bermanifestasi pada berbagai
tingkatan umur dan jenis kelamin. Pasien tampil dengan poliuri yang nyata
dan polidipsi dengan osmolalitas serum yang tinggi ( lebih dari 295 ) dan
tidak sesuai dengan osmolalitas yang rendah (Sudoyo, 2009).
Diabetes insipidus ini dapat terjadi akibat defek congenital
(kehamilan) atau bisa terjadi pada saat awal kelahiran. Diabetes insipidus
sentral sering terjadi akibat mutasi gen autosomal dominan pada awal 5
tahun kehidupan anak-anak sedangkan diabetes insipidus nefrogenik
sering terjadi pada neonatus atau awal beberapa minggu kehidupan, dan
lebih dari 50 persen kasus adalah idiopatik. Gambaran klinis dan gejala
jangka panjang dari kekacauan ini sebagian besar tak tergambarkan.
Metode yang dipelajari dari 79 pasien dengan diabetes insipidus sentral
yang diteliti pada empat pusat endokrinologi anak antara tahun 1970 dan
1996. Terdiri 37 laki-laki dan 42 pasien wanita dengan rata rata umur 7
tahun (Elamin, 2009).
D. Faktor Resiko
1. Riwayat keluarga Diabetes Insipidus, Faktor risiko mewarisi untuk
diabetes disebut faktor risiko cenderung untuk mengembangkan kondisi
diabetes. Sebuah penelitian telah membuktikan bahwa sebuah
kelompok diabetes resesif yang memiliki keturunan genetik langka
genetik dapat bermutasi gen fungsional. Pengujian dalam penelitian
diabetes genetik telah menyimpulkan bahwa mutasi pada gen kekal
sporadis, atau fungsional, kadang-kadang terjadi. Hasilnya mungkin
muncul dalam sindrom diabetes langka yang menyimpan representasi
keturunan resesif (Sudoyo, 2009).
6
2. Penyakit atau kerusakan otak, hipotalamus mengalami fungsi dan
menghasilkan terlalu sedikit hormon anti diuretik ( ADH) ke dalam
aliran darah, sehingga retensi urin menurun yang menyebabkan urin
banyak yang keluar. Dapat juga dihubungkan dengan seseorang yang
sering Stres, yaitu sama seperti banjir, harus dialirkan agar tidak terjadi
banjir besar. Saat stres datang, tubuh akan meningkatkan produksi
hormon epinephrine dan kortisol supaya gula darah naik dan ada
cadangan energi untuk beraktivitas. Tubuh kita memang dirancang
sedemikian rupa untuk maksud yang baik. Namun, kalau gula darah
terus dipicu tinggi karena stres berkepanjangan tanpa jalan keluar, sama
saja dengan bunuh diri pelan-pelan (Sudoyo, 2009).
3. Kerja overtime, sebuah study yang dilakukan di Harvad University
Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa bekerja dalam waktu yang
lama bisa meningkatkan risiko diabetes sebesar 50 persen (Sudoyo,
2009).
E. Tanda dan Gejala
Diabetes insipidus dapat timbul secara perlahan maupun secara
tiba-tiba pada segala usia. Seringkali satu-satunya gejala adalah rasa haus
dan pengeluaran air kemih yang berlebihan. Sebagai kompensasi
hilangnya cairan melalui air kemih, penderita bisa minum sejumlah besar
cairan (3,8-38 L/hari) (Sands, et al., 2006).
Jika kompensasi ini tidak terpenuhi, maka dengan segera akan
terjadi dehidrasi yang menyebabkan tekanan darah rendah dan syok.
Penderita terus berkemih dalam jumlah yang sangat banyak, terutama di
malam hari (Sands, et al., 2006).
Gejala klinis dari diabetes insipidus yaitu :
1. Poliuria dan polidipsia
Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan
polidipsia.Jumlah cairan yang diminum maupun produksi urin per 24
jam sangat banyak, dapat mencapai 5–10 liter sehari. Berat jenis urin
biasanya sangat rendah, berkisar antara 1,001 – 1,005 atau 50 – 200
mOsmol/kg berat badan (Sands, et al., 2006).
7
Poliuria yang terjadi ialah primer dan untuk mengimbanginya
penderita akan minum banyak (polidipsia). Pada bayi kecil yang
diberikan minum biasa akan tampak gelisah yang terus-menerus,
kemudian timbul dehidrasi, panas tinggi dan kadang-kadang dapat
timbul syok. Untuk menghindari syok, harus diberikan cairan dalam
jumlah besar, sebaiknya air putih. Gejala lain yaitu lekas marah, letih,
dan keadaan gizi kurang. Enuresis bisa merupakan gejala dini penyakit
ini. Kulit biasanya kering, karena anak tidak berkeringat. Sering
terdapat anoreksia. Kadang-kadang terdapat gejala tambahan seperti
obesitas, kakeksia, gangguan pertumbuhan, pubertas prekoks, gangguan
emosionil, dan sebagainya, bergantung pada letak lesi di otak. Jika
merupakan penyakit keturunan, maka gejala poliuria dan polidipsia
biasanya mulai timbul segera setelah lahir. Bayi sangat sering menangis
dan tidak puas dengan susu tambahan tetapi senang bila mendapat air.
Pada anak haus yang berlebih akan mengganggu aktivitas tidur,
bermain, dan belajar (Sands, et al., 2006).
2. Dehidrasi
Bila tidak mendapat cairan yang adekuat akan terjadi dehidrasi.
Komplikasidari dehidrasi, bayi bisa mengalami demam tinggi yang
disertai denganmuntah dan kejang-kejang. Jika tidak segera terdiagnosis
dan diobati, bisaterjadi kerusakan otak, sehingga bayi mengalami
keterbelakangan mental.Dehidrasi yang sering berulang juga akan
menghambat perkembangan fisik (Sands, et al., 2006).
3. Hipertermia.
4. Nyeri kepala, lemah dan lesu, nyeri otot, hipotermia dan takikardia.
5. Berat badan turun dengan cepat.
6. Enuresis, pada anak yang telah dapat mengendalikan kandung kencing.
7. Tidak berkeringat atau keringat sedikit, sehingga kulit kering dan pucat.
8. Anoreksia, lebih menyukai karbohidrat.
9. Gejala dan tanda lain
Tergantung pada lesi primer, misalnya penderita dengan tumor
daerahhipotalamus akan mengalami gangguan pertumbuhan, obesitas,
8
ataukakheksia prgresif, hiperpireksia, gangguan tidur, seksual prekoks,
ataugangguan emosional. Lesi yang pada awalnya menyebabkan
diabetes insipidus akhirnya dapat merusak hipofisis anterior, pada
keadaan demikiandiabetes insipidus cenderung lebih ringan atau hilang
sama sekali (Sands, et al., 2006).
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Manifestasi klinis dari penyakit Diabetes Insipidus (DI)
bergantung pada penyebabnya, keparahannya, dan keterkaitan kondisi
medis pasien tersebut. Umumnya diabetes insipidus terjadi setelah
trauma atau bedah pada regio di hipotalamus dan hipofisis. Mungkin
salah satu dari tiga pola, yaitu transien, permanen, dan trifasik
(Cooperman, 2011).
Pola trifasik memiliki fase-fase berikut :
a. Fase pertama adalah polyuric selama 4-5 hari, yang disebabkan oleh
inhibisi hormon ADH. Terjadi peningkatan volume urin dan
penurunan osmolalitas urin.
b. Fase kedua adalah antidiuretik selama 5-6 hari, sebagai akibat dari
pelepasan hormon yang tersimpan. Terjadi kenaikan osmolalitas
urin.
c. Fase ketiga adalah diabetes insipidus permanen, ketika hormon ADH
yang tersimpan telah habis dan sel-sel penghasil hormon ADH sudah
tidak ada atau tidak mampu lagi menghasilkan hormon ADH
(Cooperman, 2011).
Poliuria, polydipsia, dan nokturia merupakan gejala yang
predominan. Pada infant, menangis, iritabilitas, retardasi pertumbuhan,
hipertermia, dan penurunan berat badan merupakan tanda yang dapat
diamati. Pada anak, enuresis, anoreksia, defek pertumbuhan linier, dan
kelelahan merupakan gejala yang predominan. Kehamilan merupakan
salah satu faktor risiko dari diabetes insipidus. Banyak diantara pasien
memiliki kecenderungan untuk minum cairan yang dingin, biasanya air.
9
Gejala-gejala neurologis bervariasi tergantung pada akses untuk
memperoleh air (Cooperman, 2011).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik bervariasi berdasarkan keparahan dan
kronisitas dari penyakit diabetes insipidus. Umumnya terdapat
hidronefrosis, pembesaran vesika urinaria, dan tanda-tanda dehidrasi.
Volume urin harian bervariasi, antara 3-20 liter dan toleransi pasien
terhadap dehidrasi juga bervariasi pada tiap pasien (Cooperman, 2011).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis diabetes
insipidus terdiri atas :
a. Uji deprivasi / Uji haus
Dilakukan untuk membedakan antara polidipsi psikogenik
dengan diabetes insipidus. Pemeriksaan ini digunakan untuk
mengevaluasi kemampuan pasien memekatkan urin sebagai respons
terhadap hipernatremia dan penurunan volume cairan ekstraselular.
Umumnya pemeriksaan ini dilakukan pagi hari, selama 6-8 jam.
Berikut ini adalah salah satu tata cara uji deprivasi air. Setelah
mendapat hidrasi yang adekuat yaitu minum air sesuai dengan
kebutuhan selama 24 jam, dilakukan pemeriksaan kadar natrium dan
osmolalitas plasma, berat jenis dan osmolalitas urin, pengukuran
jumlah urin, dan berat badan. Selama pemeriksaan, anak tidak boleh
makan dan minum; berat badan, tanda vital, dan berat jenis urin
diperiksa setiap jam. Pemeriksaan jumlah urin, osmolalitas urin,
osmolalitas plasma, dan natrium plasma dilakukan setiap 2 jam. Uji
deprivasi air dilanjutkan sampai osmolalitas plasma mencapai 300
mOsm/l atau lebih tinggi dan berat badan turun 3-4% dari berat
badan awal pemeriksaan. Uji deprivasi air harus diawasi karena anak
dengan compulsive water drinking akan mencari air untuk diminum,
sedangkan pada diabetes insipidus akan terjadi penurunan volume
cairan intraselular. Pada pasien dengan kelainan yang berat,
penurunan berat badan ini biasanya terjadi dalam 5-7 jam. 1 Pada
10
akhir uji deprivasi air, perlu diambil sampel urin dan plasma untuk
pengukuran osmolalitas. Uji deprivasi air tidak dapat dilakukan pada
keadaan hipernatremia atau pada isostenuria dengan peningkatan
osmolalitas plasma. Uji deprivasi air dihentikan jika terdapat
penurunan berat badan > 5%, atau berat jenis urin > 1.020, atau
osmolalitas urin > 600 mOsm/l, atau Na serum > 145 mEq/L. Jika
pada uji deprivasi air didapatkan jumlah urin berkurang, berat jenis
dan osmolalitas urin meningkat, maka didiagnosis sebagai polidipsi
psikogenik, tetapi jika jumlah urin tidak meningkat, berat jenis dan
osmolalitas urin tetap atau tidak meningkat, maka didiagnosis
sebagai diabetes insipidus (Pardede, 2003).
b. Osmolalitas dan Berat Jenis urin
Jika berat jenis <1010 atau osmolalitas urin <100 mOsml/l
mengindikasikan terjadi diuresis air (Pardede, 2003).
c. Urinalisis
Jika poliuria disertai kadar glukosa dan ureum plasma yang
normal menggambarkan kemungkinan defisiensi atau insensitivitas
terhadap vasopressin (Pardede, 2003).
d. Uji pitresin
Dilakukan untuk membedakan antara diabetes insipidus
nefrogenik dan diabetes insipidus sentral, yaitu dengan pemberian
vasopresin atau analognya (aqueous vasopresin tau DDAVP).
Vasopresin lisin diberikan subkutan dengan dosis 5 IU/m2 luas
permukaan tubuh. Desmopressin (1 desamino 8-D- arginin
vasopresin atau DDAVP) diberikan secara intranasal dengan dosis 5
ug untuk neonatus, 10 ug untuk bayi, dan 20 ug untuk anak dan
dewasa. DDAVP dapat juga diberikan secara intravena dengan dosis
1/10 dosis intranasal atau secara intramuskular dengan dosis 0,25 ml
(1 ug) jika berat badan < 30 kg atau 0,50 ml (2 ug) jika berat badan
>30 kg . Selama pemeriksaan anak diperkenankan makan dan
minum; kemudian dilakukan pengukuran jumlah urin total 12 jam,
berat jenis urin setiap jam sampai 6 jam, serta pemeriksaan
11
osmolalitas urin, osmolalitas plasma, dan Na plasma setiap 2 jam
selama 6 jam. Pada diabetes insipidus sentral, akan terjadi penurunan
jumlah urin dan peningkatan berat jenis dan osmolalitas urin,
sedangkan pada diabetes insipidus nefrogenik tidak ada respons atau
diuresis tetap banyak dengan berat jenis dan osmolalitas urin yang
tidak meningkat (Pardede, 2003).
Pada diabetes insipidus sentral, diperlukan beberapa
pemeriksaan lanjutan seperti foto kepala, CT–scan atau MRI kepala,
dan pemeriksaan fungsi kelenjar hipofisis. Pada diabetes insipidus
nefrogenik, perlu dilakukan ultrasonografi ginjal dan
miksiosistoureterografi untuk melihat adanya kelainan obstruktif
(Pardede, 2003).
G. Patogenesis
Secara patogenesis diabetes insipidus dibagi menjadi 2 (dua) jenis,
yaitu diabetes insipidus sentral dan diabetes insipidus nefrogenetik
(Sudoyo, 2009).
1. Diabetes insipidus sentral
Diabetes insipidus sentral disebabkan oleh kegagalan
penglepasan hormon anti diuretik ADH yang secara fisiologis dapat
menyebabkan kegagalan sintesis atau penyimpanan. Jika di tinjau
berdasarkan anatominya kelainan ini terjadi karena kerusakan pada
nukleus supraoptik, paraventrikular dan filiformis pada glandula
hipotalamus yang menyintesis ADH. Selain itu Diabetes Insipidus
Sentral juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat
kerusakan pada akson traktus supraoptikohipofisealis dan akson
hipofisis posterior dimana ADH untuk disimpan sewaktu waktu
dilepaskan dalam sirkulasi jika dibutuhkan (Sudoyo, 2009).
Secara biokimiawi, DIS terjadi karena tidak adanya sintesis
ADH, atau sintesis ADH yang kuantitatif tidak mencukupi kebutuhan,
atau kuantitatif cukup tetapi merupakan ADH yang tidak dapat
berfungsi secara normal. Sintesis neurofisin atau binding protein yang
abnormal, juga dapat mengganggu pelepasan ADH. Selain itu diduga
12
terdapat pula DIS akibat adanya antibodi terhadap ADH. Karena pada
pengukuran kadar ADH dalam serum secara radioimmunoassay, yang
menjadi marker bagi ADH adalah neurofisin yang secara fisiologik
tidak berfungsi, maka kadar ADH yang normal atau meningkat belum
dapat memastikan bahwa fungsi ADH itu adalah normal atau
meningkat.Diabetes Insipidus juga dapat diakibatkan oleh kerusakan
osmoreseptor yang terdapat pada hipotalamus anterior yang disebut
Verney.s osmoreceptor cells yang berada diluar sawar darah otak
(Sudoyo, 2009).
2. Diabetes Insipidus Nefrogenik, secara fisiologis Diabetes insipidus
nefrogenik dapat disebabkan oleh :
a. Kegagalan pembentukan dan pemeliharaan gradient osmotik dalam
medula renalis (Sudoyo, 2009).
b. Kegagalan utilisasi gradient pada keadaan dimana ADH berada
dalam jumlah yang cukup dan berfungsi normal (Sudoyo, 2009).
H. Patofisiologi
ADH merupakan determinan primer dari ekskresi air dari tubuh.
Target utama hormon ADH adalah ginjal, dimana aksinya dengan
mengubah permeabilitas tubulus kolektivus medulla dan korteks terhadap
air. Air direabsorpsi melalui kesetimbangan osmotik dengan cairan
interstisial yang hipertonis lalu dikembalikan ke sirkulasi sistemik. Aksi
ADH dimediasi setidaknya oleh 2 reseptor, yaitu V1 yang memediasi
vasokonstriksi, meningkatkan pelepasan kortikotropin, dan sintesis
prostaglandin renal, serta V2 yang memediasi respon antidiuretik
(Cooperman, 2011).
Vasopresin arginin merupakan suatu hormon antidiuretik yang
dibuat dinucleus supraoptik, paraventrikular , dan filiformis hipotalamus
bersama dengan pengikatnya yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian
diangkut dari badan-badansel neuron tempat pembuatannya, melalui akson
menuju ke ujung-ujung saraf yang berada di kelenjar hipofisis posterior,
yang merupakan tempat penyimpanannya (Jamest, et al., 2007).
13
Secara fisiologis, vasopressin dan neurofisin yang tidak aktif akan
disekresikan bila ada rangsang tertentu. Sekresi vasopresin diatur oleh
rangsang yang meningkat pada reseptor volume dan osmotik. Suatu
peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler atau penurunan volume
intravaskuler akan merangsang sekresi vasopresin. Vasopressin kemudian
meningkatkan permeabilitas epitel duktus pengumpul ginjal terhadap air
melalui suatu mekanisme yang melibatkan pengaktifan adenolisin dan
peningkatan AMP siklik.Akibatnya, konsentrasi kemih meningkat dan
osmolalitas serum menurun. Osmolalitas serum biasanya dipertahankan
konstan dengan batas yang sempi tantara 290 dan 296 mOsm/kg H2O
(Jamest, et al., 2007).
Sekresi ADH dalam mereabsorbsi air diatur oleh dua mekanisme
yaitu :
1. Osmoreseptor
Terletak di anterolateral hipotalamus. Sel ini berperan dalam
menjagakeseimbangan air dan Na. Perubahan dalam tekanan osmolar
plasma akanmerangsang signal untuk rilis atau inhibisi ADH. Tekanan
osmolaritas di bawah 280 mOsm/kg tidak akan merangsang sekresi
ADH. Rangsang rilisADH mulai ketika terjadi perubahan terjadi
perubahan tekanan osmolaritas diatas 280 msml/kg. Tekanan
osmolaritas 290 mOsm/kg akan merangsangsekresi ADH sebesar
5pg/ml (Jamest, et al., 2007).
14
Gambar : Peningkatan Osmolalitas Cairan Ekstraseluler Atau PenurunanVolume Intravaskuler Akan Merangsang Sekresi Vasopressin
(Jamest, et al., 2007).2. Baroreseptor
Terletak di sinus carotis dan arkus aorta yang mengatur tekanan
darah.Stimulasi rilis ADH terjadi jika tekanan darah turun sehingga
mensupresi baroreseptor. Serabut saraf sensoris dari nervus IX dan X
membawa signal inidari sinus dan arcus untuk merangsang rilis ADH di
hipotalamus (Jamest, et al., 2007).
Gambar : Baroseptor Stimulan Rilis ADH (Jamest, et al., 2007).
15
Ginjal menyaring 70-100 liter cairan dalam 24 jam, dan dari
jumlah ini85% direabsorbsi di tubulus bagian proksimal tanpa
pertolongan ADH. Sisanya di reabsorbsi di tubulus bagian distal di
bawah pengaruh ADH. Vasopresin bekerja dengan memperbesar
permeabilitas jaringan terhadap air (Jamest, et al., 2007).
Gambar : Mekanisme Kerja Vasopresin Dengan Memperbesar Permeabilitas Jaringan Terhadap Air Di Tubulus Ginjal (Jamest, et al., 2007).
Gangguan dari fisiologi vasopressin ini dapat menyebabkan
pengumpulan air pada duktus pengumpul ginjal karena berkurang
permeabilitasnya, yang akan menyebabkan poliuria atau banyak kencing.
Selainitu, peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus,
dan sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus.
Ambang rangsangosmotik pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang
rangsang sekresivasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma
meningkat, maka tubuh terlebihdahulu akan mengatasinya dengan
mensekresi vasopresin yang apabila masihmeningkat akan merangsang
pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebutminum banyak
(polidipsia) (Jamest, et al., 2007).
Jika hormone ADH berkurang atau tidak ada dapat berakibat pada
defek pada satu atau lebih tempat yang melibatkan osmoresptor di
hipotalamus, nucleus supraoptik atau paraventrikularis atau traktus
supraoptikohipofisialis. Namun, lesi di neurohipofisis jarang menimbulkan
diabetes insipidus yang permanen, karena ADH diproduksi di hiipotalamus
dan masih bisa disekresikan ke sirkulasi dalam tubuh (Cooperman, 2011).
16
I. Gambaran Histopatologi
Penyakit diabetes insipidus diakibatkan oleh berbagai penyebab
yang dapat mengganggu mekanisme neurohypofiseal renal reflek sehingga
mengakibatkan kegagalan tubuh dalam mengkonvensasi air.pada penyakit
diabetes yang dapat dilihat kerusakan secara histopatologi adalah glandula
hipopisis yang pada normalnya menghasilkan hormon ADH sebagai
retensi urin dan meningkatkan permeabilitas terhadap H2O,jika terjadi
kerusan pada glandula hipofosis maka akan terjadi defisiensi secresi ADH,
yang menyebabkan berkurangnya permeabilitas terhadap H2O di tubulus
distal dan pengumpul,oleh kerananya terjadilah poliuria karena tidak ada
yang mengontrol lagi. Gejala khas diabetes insipidus adalah poliuria dan
polidipsia. Hal ini dapat tejadi kerana kerusakan pada hipofisis yang
menyebabkan defisiensi ADH sehingga terjadi diabetes insipidus sentral
dan tidak sensitifnya vasopresin pada ginjal atau disebut juga diabetes
insipidus nefrotik .
Gambar 1. Adenoma Hipofisis
J. Penatalaksanaan
Pengobatan ataupun panatalaksanaan diabetes insipidus harus
disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkan. Pada pasien DIS parsial
dengan mekanisme rasa haus yang utuh tidak diperlukan terapi apa apa
salama gejala nokturia dan poliuria tidak menganggu tidur dan aktivitas
17
sehari-hari. Akan tetapi pasien dengan gangguan pada pusat rasa halus,
diterapi dengan pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya
dehidrasi. Hal ini juga berlaku bagi orang orang yang dalam keadaan
normal hanya menderita DIS parsial tetapi pada suatu saat kehilangan
kesadaran atau tidak dapat berkomunikasi (Elamin, 2009).
Terapi pada penyakit diabetes militus dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu (Elamin, 2009):
1. Medikamentosa
Faktor penyebab patut mendapatkan pertimbangan pertama pada
pengobatan. Pengobatan pada diabetes insipidus harus sesuai dengan
gejala yang ditimbulkannya. Pada pasien diabetes insipidus sentral
(DIS) parsial tanpa gejalanokturia dan poliuria yang mengganggu tidur
dan aktivitas sehari-hari tidak diperlukan terapi khusus.
Pada DIS yang komplit, biasanya diperlukan terapi hormone
pengganti (hormonal replacement) yaitu desmopressin atau DDAVP (1-
desamino-8-d-arginine vasopressin) yang merupakan pilihan utama.
Analog ini ebih tahan terhadap degradasi oleh peptidase
daripada AVP alami. Aktivitas antidiuretik DDAVP adalah 2000-3000
kali lebih besar daripada aktivitas pressornya, dan 1 mikrogram
menghasilkan diuresis yang berakhir dalam waktu8-10 jam,
dibandingkan dengan hanya 2-3 jam untuk AVP alami. DDAVP
diberikan melalui sistem pemasukan pipa hidung yang mengalirkan
sejumlah tepat pada mukosa hidung. Dosis berkisar antara 5-15
mikrogram yang diberikan sebagai dosis tunggal atau terbagi menjadi 2
dosis. Anak umur kurang dari 2 tahun memerlukan dosis yang lebih
kecil (0,15-0,5 mikrogram/kg/24 jam).Dosisnya harus secara individu
dan penting disesuaikan jadwal dosisnya sehingga memungkinkan
penderita dalam keadaan poliuria ringan sebelum dosis berikutnya
diberikan. Untuk penderita yang memerlukan lebih dari 10 mikrogram
dosis preparat semprot hidung juga tersedia. Preparat parenteral
DDAVP (0,03-0,15mikrogram/kg) tersedia dan bermanfaat paska bedah
18
transfenoidalis, bila penyumbatan hidung menghalangi peniupan
hidung.
1-desamino-8-d-arginine vasopressin juga berpengaruh pada
reseptor eksternal seperti V2 yang mengakibatkan keluarnya faktor VIII
dan faktor Von Willebrand. Penderita dengan hemofilia A ringan atau
sedang atau penyakit von Wilebrand terpilih dapat disembuhkan secara
berhasil dengan dosis DDAVP 15 kali lebih tinggi daripada dosis yang
dipergunakan untuk antidiuresis. Desmopresin semakin banyak
dipergunakan pada penatalaksanaan anak dengan enuresis. Dosis
yangdiperlukan adalah 20-40 µgr, diberikan sebagai semprot hidung
sebelum tidur.
Selain terapi hormon pengganti dapat juga dipakai terapi
adjuvant yang secara fisiologis mengatur keseimbangan air dengan
cara:
a. Mengurangi jumlah air ke tubulus distal dan collecting duct
b. Memacu penglepasan ADH endogen
c. Meningkatkan efek ADH endogen yang masih ada pada tubulus
ginjal.
Obat oabatan adjuvant yang biasa dipakai adalah:
a. Diuretic tiazid, yang dapat meningkatkan reabsorbsi Na+ dan air pada
nefron yang lebih proksimal sehingga menyebabkan berkurangnya
air yang masuk ke tubulus distal dan collecting duct. Obat ini dapat
dipakai pada DIS maupun DIN.
b. Klorpropamit, obat ini dapat meningkatkan efek ADH yang masih
ada terhadap tubulus ginjal dan dapat meningkatkan panglepasan
ADH dari hipopisis. Dan obat ini tidak dapat dipakai pada DIS
komplit atau DIN. Efek samping yang harus diperhatikan adalah
timbulnya hipoglikemia. Obat ini dapat dikombinasi dengan Tiazid
untuk mencapai efek maksimal.
c. Klofibrat, sma seperti klorpropamid juga meningkatkan penglepasan
ADH endogen. Harus diberikan 4 kali sehari, tetapi tidak
menimbulkan hipoglikemia. Efek samping lain adalah gangguan
19
saluran cerna, miositis, gangguan fungsi. Dapat dikombinasi dengan
tiazid dan klorpropamid untuk memperoleh efek maksimal dan
mengurangi efek samping pada DIS parsial.
d. Karbamazepin, efek seperti klofibrat tetapi hanya mempunyai sedikit
kegunaan dan tidak dianjurkan dipakai secara rutin (Elamin, 2009).
2. Nonmedikamentosa
Untuk mencegah dehidrasi, penderita harus selalu minum cairan
dalam jumlah yang cukup ketika mereka merasa haus. Penderita bayi
dan anak-anak harus sering diberi minum. Terutama pada bayi yang
masih sukar mengekspresikan rasa hausnya . Jika asupan cairan
mencukupi, jarang terjadi dehidrasi (Elamin, 2009).
K. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul sebagai akibat dari diabetes
insipidus adalah :
1. Dehidrasi (Kulit dan membran mukosa kering, demam, takikardia,
penurunan berat badan) jika jumlah air yang diminum tidak adekuat
2. Ketidakseimbangan elektrolit (Fatigue, lethargy, sakit kepala,
iritabilitas), dapat berupa hypernatremia dan hypokalemia yang
menyebabkan denyut jantung menjadi ireguler sehingga dapat terjadi
gagal jantung kongestif.
3. Intoksikasi air (Bleicher, 2012).
Pada diabetes insipidus nefrogenik primer komplikasi yang timbul
bisa disertai dengan retardasi mental. Retardasi tersebut lebih mungkin
merupakan akibat dari episode dehidrasi hipertonik berulang daripada
akibat penyakitnya sendiri. Retardasi pertumbuhan secara seragam
terdapat pada laki-laki dengan gangguan primer dan biasanya tidak ada
wanita. Biasanya, kegagalan pertumbuhan diduga diakibatkan oleh
masukkan kalori yang tidak cukup karena masukan cairan yang berlebihan,
tetapi sekarang tampaknya kegagalan pertumbuhan tersebut bersifat
intrinsic karena keadaan homozigot. Dilatasi sistem pengumpul urin dapat
diakibatkan dari produksi yang berlebihan. Karenanya, anatomi saluran
urin harus diperiksa untuk membuktikan adanya hidronefrosis setiap
20
beberapa tahun dengan scan ginjal (pielografi intravena mungkin tidak
memvisulisasikan sistem pengumpulnya bila ada aliran cepat urin encer
dalam volume yang besar) (Sands, et al,. 2006).
L. Prognosis
Diabetes insipidus jarang mengancam jiwa, tetapi mungkin
menunjukkan keadaan serius yang mendasari. Penderita dengan diabetes
insipidus tanpa komplikasi dapat hidup selama bertahun-tahun dengan
kesulitan poliuria dan polidipsia sepanjang mereka memiliki mekansme
haus yang utuh dan mendapatkan air dengan bebas (Cooperman, 2011).
Diabetes insipidus ini mungkin hanya sementara setelah trauma
atau intervensi bedah pada daerah hipotalamus atau kelenjar pituitaria.
Pada beberapa penderita dengan retikuloendoteliosis sel Langerhans,
remisi spontan terjadi tetapi pada penderita lain, diabetes insipidus
mungkin hanya sisa lama setelah remisi keadaan primer. Perbaikan
diabetes insipidus klinis dapat menunjukkan perkembangan insufisensi
kelenjar pituitari anterior. Prognosis penderita dengantumor otak
tergantung pada lokasi lesi dan tipe sel neoplastik (Cooperman, 2011).
Jadi prognosis penyakit diabetes insipidus umumnya baik,
tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Kematian jarang terjadi jika
persediaan air cukup. (Cooperman, 2011)