refleksi rendahnya literasi keuangan di kalangan …

21
REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN BURUH PABRIK: PENYEBAB DAN AKIBAT (Studi Kasus Buruh Pabrik di Kota Probolinggo) Oleh: Fadhlillah Rahmawati Dosen Pembimbing: Grace Widijoko, MSA.,Ak. ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi dengan adanya survei yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai tingkat literasi keuangan di Indonesia, dimana survei tersebut menunjukkan bahwa persentase masyarakat dengan literasi keuangan baik hanya sebesar 21,84 persen, lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan memberikan gambaran mengenai penyebab dari rendahnya tingkat literasi keuangan, khususnya di kalangan buruh pabrik serta bagaimana pengaruhnya terhadap penggunaan produk-produk keuangan. Studi kasus digunakan sebagai metode untuk mencari penyebab-penyebab tersebut serta akibatnya tanpa melakukan generalisasi atas temuan yang diperoleh menggunakan analisis data model Miles dan Huberman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat empat penyebab yang mengakibatkan rendahnya literasi keuangan di kalangan buruh pabrik kota Probolinggo, yaitu tidak ada waktu untuk mencari informasi, produk lembaga keuangan sulit untuk dipahami, tidak memiliki kepercayaan diri dalam menggunakan salah satu atau beberapa produk lembaga keuangan, dan pendapatan perbulan dirasa terlalu kecil. Hal tersebut berdampak pada penggunaan produk lembaga keuangan seperti tabungan, pinjaman, investasi dan asuransi. Oleh karena itu perlu adanya kontribusi dari masing-masing pihak yang terkait dengan masalah tingkat literasi keuangan, mulai masyarakat, pemerintah, dan juga lembaga-lembaga keuangan dalam upaya meningkatkan tingkat literasi keuangan, khususnya di kalangan buruh pabrik. Kata kunci: literasi keuangan, buruh pabrik, penyebab rendahnya literasi keuangan, akibat dari rendahnya literasi keuangan 1. Pendahuluan Pada tahun 1960 Theodore, W. Schultz pertama kali memperkenalkan konsep modal manusia atau human capital dalam sebuah pidatonya yang berjudul Investment in Human Capital. Konsep ini menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk modal sebagaimana modal-modal lainnya, seperti uang, bangunan, mesin, teknologi dan sebagainya. Human capital sendiri terdiri atas enam komponen, yaitu modal intelektual, emosional, sosial, ketabahan, moral, dan kesehatan (Ancok, 2002). Semua komponen ini bisa ditingkatkan potensinya melalui suatu investasi sumber daya manusia, seperti pendidikan formal maupun informal, pengalaman kerja, menjaga kesehatan dan gizi yang terkandung dalam makanan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, human capital

Upload: others

Post on 05-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN

BURUH PABRIK: PENYEBAB DAN AKIBAT

(Studi Kasus Buruh Pabrik di Kota Probolinggo)

Oleh:

Fadhlillah Rahmawati

Dosen Pembimbing:

Grace Widijoko, MSA.,Ak.

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi dengan adanya survei yang diselenggarakan oleh

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai tingkat literasi keuangan di Indonesia, dimana

survei tersebut menunjukkan bahwa persentase masyarakat dengan literasi keuangan

baik hanya sebesar 21,84 persen, lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara

ASEAN lainnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan memberikan gambaran

mengenai penyebab dari rendahnya tingkat literasi keuangan, khususnya di kalangan

buruh pabrik serta bagaimana pengaruhnya terhadap penggunaan produk-produk

keuangan. Studi kasus digunakan sebagai metode untuk mencari penyebab-penyebab

tersebut serta akibatnya tanpa melakukan generalisasi atas temuan yang diperoleh

menggunakan analisis data model Miles dan Huberman. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa terdapat empat penyebab yang mengakibatkan rendahnya literasi

keuangan di kalangan buruh pabrik kota Probolinggo, yaitu tidak ada waktu untuk

mencari informasi, produk lembaga keuangan sulit untuk dipahami, tidak memiliki

kepercayaan diri dalam menggunakan salah satu atau beberapa produk lembaga

keuangan, dan pendapatan perbulan dirasa terlalu kecil. Hal tersebut berdampak pada

penggunaan produk lembaga keuangan seperti tabungan, pinjaman, investasi dan

asuransi. Oleh karena itu perlu adanya kontribusi dari masing-masing pihak yang terkait

dengan masalah tingkat literasi keuangan, mulai masyarakat, pemerintah, dan juga

lembaga-lembaga keuangan dalam upaya meningkatkan tingkat literasi keuangan,

khususnya di kalangan buruh pabrik.

Kata kunci: literasi keuangan, buruh pabrik, penyebab rendahnya literasi

keuangan, akibat dari rendahnya literasi keuangan

1. Pendahuluan

Pada tahun 1960 Theodore, W. Schultz pertama kali memperkenalkan konsep

modal manusia atau human capital dalam sebuah pidatonya yang berjudul Investment in

Human Capital. Konsep ini menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk

modal sebagaimana modal-modal lainnya, seperti uang, bangunan, mesin, teknologi dan

sebagainya. Human capital sendiri terdiri atas enam komponen, yaitu modal intelektual,

emosional, sosial, ketabahan, moral, dan kesehatan (Ancok, 2002). Semua komponen

ini bisa ditingkatkan potensinya melalui suatu investasi sumber daya manusia, seperti

pendidikan formal maupun informal, pengalaman kerja, menjaga kesehatan dan gizi

yang terkandung dalam makanan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, human capital

Page 2: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

berbeda dengan bentuk modal lainnya yang hanya diperlakukan sebagai alat tanpa bisa

melakukan investasi atau pengembangan potensi sendiri (Fattah, 2004).

Menurut Huston (2010) Dalam jurnal yang diterbitkan oleh The Journal of

Consumer Affairs, salah satu bentuk dari human capital adalah literasi keuangan.

Menurut Vitt et al (2000) dalam Huston (2010), literasi keuangan diartikan sebagai

kemampuan untuk membaca, menganalisis, mengatur, dan mengkomunikasikan kondisi

keuangan yang akan mempengaruhi kesejahteraan individu secara materi. Literasi

finansial terdiri atas empat komponen yang berbeda yang digunakan sebagai ukuran,

yaitu dasar tentang uang, pinjaman, serta pengamanan aset melalui asuransi.

Berdasarkan komponen-komponen literasi keuangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

literasi keuangan sangat erat kaitannya dengan produk keuangan yang disediakan oleh

lembaga jasa keuangan, baik produk simpan pinjam, investasi, maupun asuransi.

Seseorang dikatakan memiliki tingkat literasi keuangan yang tinggi apabila ia

mempunyai pengetahuan, keterampilan dan keyakinan yang cukup atas produk-produk

tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya, individu yang memiliki pengetahuan dan

pemahaman yang luas atas produk keuangan, khususnya di Indonesia adalah yang

berasal dari kalangan atas.

Menurut Muliaman Hadad selaku Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

sebagaimana yang dilansir oleh tribunnews.com hal tersebut terjadi dikarenakan

lembaga jasa keuangan, khususnya perbankan sampai saat ini hanya memberikan

layanan edukasi finansial kepada nasabah yang memiliki penghasilan tinggi. Perbankan

mengasumsikan bahwa hanya nasabah dengan jumlah kepemilikan dana yang besar

yang mampu membeli atau mengupayakan produk-produk mereka, terutama produk

investasi dan asuransi. Sementara itu, nasabah dari kalangan menengah ke bawah yang

rata-rata berpenghasilan sedang, kurang mendapatkan edukasi finansial atau bahkan

tidak mendapatkan sama sekali. Padahal, sebagian besar penduduk Indonesia masih

berasal dari kalangan menengah ke bawah. Sebuah studi yang dilakukan oleh Bank

Dunia seperti yang dilansir oleh nasional.kompas.com menyebutkan bahwa jumlah

penduduk kalangan menengah di Indonesia pada tahun 2015 sebanyak 237 juta jiwa

atau 56,5 persen dari total penduduk yang ada. Dengan melihat jumlah penduduk

kalangan menengah yang melebihi setengah dari populasi penduduk di Indonesia dan

fakta bahwa mereka kurang atau tidak mendapatkan edukasi finansial yang cukup, maka

bisa dikatakan bahwa rata-rata tingkat literasi keuangan penduduk Indonesia masih

rendah. Hal ini diperkuat dengan adanya survei yang dilakukan oleh OJK pada tahun

2013 dalam situs sinarharapan.com yang menjelaskan mengenai literasi keuangan

penduduk Indonesia. Berdasarkan survei tersebut, persentase penduduk Indonesia yang

memiliki tingkat literasi baik (well literated) hanya sebesar 21,84 persen. Persentase ini

merupakan yang terendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Sementara itu, penduduk kalangan menengah ke bawah memiliki berbagai jenis

pekerjaan. Salah satunya adalah buruh pabrik. Jumlah buruh pabrik di Indonesia sendiri

selalu mengalami peningkatan. Berikut ini adalah data yang diperoleh dari Badan Pusat

Statistik (BPS) mengenai jumlah buruh di Indonesia dari tahun ke tahun sampai survei

terakhir yang dilakukan pada tahun 2015.

Jumlah Buruh/Karyawa/Pegawai Tahun 2011-2014

Tahun Jumlah Buruh/Karyawan/Pegawai

2011 36.912.535

2012 40.868.630

Page 3: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

2013 41.123.849

2014 42.382.148

2015 46.617.534

Sumber: Badan Pusat Statistik

Data di atas menunjukkan jumlah penduduk Indonesia yang bekerja sebagai

buruh dan jumlah tersebut mengalami peningkatan setiap tahun. Terlepas dari

peningkatan jumlah penduduk, pekerjaan buruh sampai saat ini masih diminati

masyarakat terutama oleh mereka dengan tingkat pendidikan yang tidak sampai jenjang

perguruan tinggi. Masyarakat secara umum memandang pekerjaan sebagai buruh pabrik

tidak memiliki risiko dan tanggung jawab yang besar. Di samping itu, masyarakat

menganggap bahwa upah buruh sudah terjamin dengan baik, mengingat upah yang

mereka dapatkan telah ditetapkan batas minimalnya oleh pemerintah melalui UMK

(Upah Minimum Kota) yang jumlahnya ditentukan berdasarkan KHL (Komponen

Hidup Layak). KHL sendiri diajukan oleh para buruh melalui perantara serikat buruh,

meskipun tidak semuanya bisa dipenuhi oleh pemerintah selaku regulator. Intinya,

menurut masyarakat umum, apa yang telah didapatkan oleh buruh sudah lebih dari

cukup.

Meskipun upah buruh sudah terjamin melalui UMK, akan tetapi jumlahnya

masih dianggap terlalu kecil oleh para buruh. Untuk di Provinsi Jawa Timur misalnya,

seperti yang dilansir oleh regional.kompas.com, Gubernur Sukarwo menetapkan UMK

Surabaya pada tahun 2016 sebesar Rp 3.045.000, diikuti Kabupaten Gresik sebesar Rp

3.042.500, Kabupaten Sidoarjo Rp 3.040.000, Kabupaten Pasuruan Rp 3.037.500, serta

Kabupaten Mojokerto Rp 3.030.000. Wilayah-wilayah ini memang memiliki UMK

yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah lain di Provinsi Jawa Timur.

Perbedaan yang terjadi dikarenakan wilayah-wilayah tersebut berada di area Ring I atau

wilayah padat industri, tapi biaya hidup di kota-kota tersebut juga terhitung besar.

Berbeda halnya dengan Kota Pacitan, Ponorogo, Probolinggo, dan wilayah lain yang

bukan merupakan wilayah padat industri. Meskipun UMK yang ditetapkan untuk daerah

di luar Ring I tersebut kecil (misalnya untuk kota Probolinggo sebesar Rp 1.603.000),

akan tetapi biaya hidupnya juga tidak besar. Oleh karena itu, nominal yang ditetapkan di

setiap wilayah tidak bisa menjadi tolok ukur besar kecilnya upah buruh, namun juga

harus dibandigkan dengan tingkat biaya hidupnya.

Upah yang rendah tentu akan berdampak pada kemampuan finansial para buruh,

baik dalam kemampuan keuangan (khususnya dalam pemenuhan kebutuhan hidup)

maupun literasi keuangan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Vyvyan et al (2014)

dalam jurnal yang berjudul Factors that Influence Financial Capability and

Effectiveness: Exploring Financial Counsellors’ Perspectives. Dalam jurnal itu

disebutkan bahwa pendapatan bisa mempengaruhi literasi dan kemampuan keuangan

seseorang. Semakin tinggi pendapatan yang dimiliki, maka akan semakin baik pula

literasi dan kemampuan keuangan yang dimiliki, begitupun sebaliknya. Selain itu,

menurut Vyvyan et al, literasi keuangan juga bisa dipengaruhi oleh kepercayaan diri

individu terhadap kemampuannya dalam mengatur keuangan dan penggunaan produk-

produk keuangan. Sementara itu, Kehiaian (2012) dalam disertasinya yang berjudul

Factor and Behaviours that Influence Financial Literacy in U.S. Household

mengungkapkan bahwa faktor pendidikan dan motivasi diri juga bisa mempengaruhi

literasi keuangan.

Page 4: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

Apabila melihat tingkat pendidikan, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan

bahwa sebagian besar buruh pabrik di Indonesia merupakan lulusan SMA. Hal ini dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tingkat Pendidikan Buruh/Karyawan/Pegawai di Indonesia pada Tahun 2015

Tingkat Pendidikan Terakhir Jumlah

Tidak/belum pernah sekolah 308.756

Tidak/belum tamat SD 2.262.748

SD 6.567.372

SLTP 7.073.953

SMA 10.575.103

SMK 7.043.961

Akademi/Diploma 2.417.363

Universitas 8.185.134

Total 44.434.390

Sumber: Badan Pusat Statistik

Karena faktor pendidikan ini, maka buruh cenderung menggunakan upah yang

dimiliki untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek Selain itu, mereka kurang memiliki

pengetahuan dan pemahaman mengenai risiko ketidakpastian dan pentingnya

mempersiapkan dana/sumber daya untuk kebutuhan di masa tua dan yang bersifat tidak

terduga. Hal ini, di samping karena tingkat pendidikan formal yang telah ditempuh, juga

disebabkan rendahnya edukasi finansial yang mereka terima. Seperti yang telah

dipaparkan sebelumnya bahwa edukasi finasial hanya gencar diberikan kepada kalangan

atas, sehingga kaum buruh sebagai human capital tidak memiliki kesempatan untuk

meningkatkan intelektualitasnya, khususnya dalam hal kemampuan mengatur keuangan

mereka.

Melihat kondisi yang demikian, muncul ketertarikan pada diri peneliti untuk

melihat apa saja penyebab yang mempengaruhi literasi keuangan di kalangan buruh

pabrik, khususnya di Kota Probolinggo. Peneliti ingin mengetahui faktor apa saja yang

menjadi penyebab rendahnya literasi keuangan mereka, di samping faktor eksternal

seperti minimnya layanan edukasi finansial yang diberikan oleh lembaga keuangan.

Selain ingin mengetahui penyebab rendahnya literasi keuangan, penulis juga ingin

melihat sejauh mana penggunaan produk-produk lembaga keuangan, karena hal ini erat

kaitannya dengan literasi keuangan yang dimiliki oleh para buruh.

Dalam penelitian ini Kota Probolinggo dipilih sebagai tempat penelitian karena

berkaitan dengan UMK yang ditetapkan oleh pemerintah. Seperti yang telah

diungkapkan sebelumnya, UMK Kota Probolinggo hanya sebesar Rp 1.603.000.

Peneliti ingin mengetahui apakah upah dengan nominal upah tersebut, pabrik masih bisa

menyisihkan dana untuk disalurkan ke produk lembaga keuangan atau hanya bisa

digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan begitu peneliti bisa mendapat

informasi yang lebih konkret mengenai hubungan antara pendapatan rendah terhadap

literasi keuangan.

Selain alasan di atas, kota Probolinggo dipilih karena akses yang lebih mudah

untuk mendapat informan, mengingat Probolinggo adalah kota domisili peneliti. Hal ini

juga mendukung validasi data yang dilakukan oleh peneliti karena faktor kemudahan

peneliti dalam menghubungi informan. Di samping itu, penelitian yang berkaitan

dengan literasi keuangan dengan objek penelitian buruh khususnya di Kota Probolinggo

Page 5: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai literasi keuangan di Indonesia, khususnya

untuk kepentingan skripsi kebanyakan menggunakan mahasiswa sebagia objeknya

seperti yang telah dicontohkan di atas, sehingga penelitian ini layak untuk dilakukan.

Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian mengenai literasi

keuangan dengan judul Refleksi Rendahnya Literasi Keuangan di Kalangan Buruh

Pabrik: Penyebab dan Akibat (Studi Kasus Buruh Pabrik di Kota Probolinggo).

2. Tinjauan Pustaka

Literasi Keuangan

Literasi keuangan erat kaitannya dengan keuangan pribadi. Seseorang dikatakan

memiliki literasi keuangan yang baik apabila ia memiliki kemampuan dan kepercayaan

diri dalam mengelola keuangannya secara efektif serta mampu membuat keputusan-

keputusan finansial yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Literasi

keuangan memiliki pengaruh positif terhadap kesejahteraan individu karena

pengaruhnya yang sangat kuat terhadap kondisi finansial. Seseorang yang memiliki

literasi keuangan yang baik, maka kesejahteraan ekonominya cenderung baik pula. Hal

ini telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Japelli dan Padulla (2013).

Penelitian ini membuktikan bahwa literasi keuangan dan kekayaan individu memiliki

korelasi yang kuat dalam siklus kehidupan, dimana kedua hal tersebut akan meningkat

sampai seseorang berhenti bekerja atau pensiun.

Menurut Remund (2000) definisi dari literasi keuangan adalah ukuran sejauh

mana seseorang memiliki pemahaman konsep keuangan dan kemampuan serta

kepercayaan diri dalam mengatur keuangan pribadi melalui pembuatan keputusan

jangka pendek dan perencanaan jangka panjang yang tepat dengan menyadari adanya

peristiwa sehari-hari yang dapat mengubah kondisi ekonomi. Sementara itu, Lusardi dan

Mitchel (2014) menyebutkan bahwa literasi keuangan merupakan kemampuan

seseorang untuk memproses informasi finansial dan membuat keputusan mengenai

rencana finansial, akumulasi kekayaan, utang, serta pensiun.

Literasi keuangan terdiri dari lima dimensi utama (Zait dan Bertea, 2014).

Kelima dimensi tersebut antara lain:

1. Pengetahuan

2. Komunikasi

3. Penggunaan pengetahuan pada instrumen-instrumen keuangan yang berbeda

4. Kemampuan dalam memanfaatkan pengetahuan

5. Kepercayaan diri

Akan tetapi, dimensi literasi finansial yang dipaparkan oleh Zait dan Bertea

berbeda dengan Huston. Menurut Huston (2000), literasi keuangan terdiri atas dua

dimensi, yaitu pemahaman dan penerapan (Huston, 2009). Pemahaman di sini diartikan

sebagai pengetahuan individu atas keuangan, sementara penerapan merujuk pada

aplikasi keuangan pribadi.

Dari kedua dimensi yang terdapat pada literasi keuangan, dapat dijelaskan

bahwa literasi keuangan dan pengetahuan finansial, meskipun keduanya adalah bentuk

dari human capital, namun memiliki konstruk yang berbeda. Pengetahuan merupakan

bagian yang tak terpisahkan dari literasi keuangan, namun kedua hal ini tidak bisa

disamakan. Hal ini dikarenakan, literasi keuangan memiliki dimensi tambahan, dimana

seseorang diharuskan memiliki kemampuan dan kepercayaan diri untuk membuat

keputusan finansial dengan memanfaatkan pengetahuan yang mereka miliki.

Page 6: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

Dalam teorinya, terdapat dasar pada literasi keuangan yang menunjukkan

kemampuan dan pengetahuan apa saja yang harus dimiliki oleh seseorang sehingga

dapat menunjukkan sampai sejauh mana tingkat literasi keuangannya. Menurut Chen

dan Volpe (2002), terdapat empat dasar literasi keuangan, yaitu: penganggaran

(budgeting), menabung (saving), meminjam (borrowing), dan investasi (investing).

Sementara itu, menurut Huston (2010), dasar literasi keuangan terdiri atas empat

pengetahuan dan kemampuan, antara lain: dasar keuangan, meminjam (borrowing),

investasi, dan perlindungan terhadap aset

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi literasi keuangan. Menurut

Vyvyan et al. (2014) faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Faktor latar belakang

2. Sikap

3. Pengaruh-pengaruh normatif

4. Kontrol perilaku yang dirasakan

5. Pengetahuan

Literasi keuangan memberikan manfaat kepada individu maupun pada

perekonomian suatu negara. Menurut PISA (2012), manfaat literasi keuangan antara

lain:

1. Literasi keuangan membuat individu dewasa lebih mampu dalam menabung

ataupun membuat perencanaan untuk masa pensiun mereka. Hal ini

mengindikasikan bahwa peningkatan literasi keuangan pada individu akan

membawa perubahan positif pada perilakunya.

2. Dengan memiliki tingkat literasi keuangan yang lebih tinggi, maka individu akan

lebih mampu memanage keuangannya, berpartisipasi dalam pasar modal dan

memilih portofolio kredit dengan lebih baik, serta lebih mampu dalam memilih

reksadana dengan biaya yang lebih rendah.

3. Tingkat literasi keuangan yang tinggi berhubungan tidak hanya dengan peningkatan

jumlah aset namun juga pada hutang dan manajemen hutang. Dengan tingkat

literasi keuangan yang lebih tinggi, individu akan memilih hutang hipotik dengan

biaya yang lebih murah dan menghindari pembayaran bunga yang tinggi serta biaya

tambahan.

4. Literasi keuangan juga mempunya peran penting dalam perekonomian dan

stabilitas keuangan. Masyarakat yang terliterasi secara finansial dapat membuat

keputusan yang tepat dan menuntut kualitas layanan keuangan yang lebih baik. Hal

ini akan mendorong kompetisi dan inovasi di pasar. Hal ini akan mengarah pada

sektor jasa keuangan yang lebih efisien dan berpotensi menghasilkan peraturan dan

penawasan dengan biaya rendah. Mereka juga dapat membantu mengurangi

bantuan pemerintah yang ditujukan untuk membantu mereka yang membuat

keputusan keuangan yang tidak tepat atau bahkan tidak membuat keputusan sama

sekali.

Literasi Keuangan di Indonesia

Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2013 menyelenggarakan survei literasi

keuangan masyarakat Indonesia yang melibatkan 8.000 responden yang tersebar di 20

provinsi. Hasil dari survei tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang

terliterasi dengan cukup (sufficient literate) hanya sebanyak 75,69%. Secara rinci hasil

dari survei tersebut adalah sebagai berikut:

Page 7: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

Indeks Literasi Keuangan Masyarakat Indonesia Tahun 2013

Indeks Literasi Keuangan %

Well literate

Sufficient literate

Less literate

Not literate

21,84

75,69

2,06

0,41

100

Sumber: Otoritas Jaka Keuangan (2013)

Kemudian, apabila dilihat dari sisi pengetahuan atas produk dan jasa keuangan,

maka indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:

Indeks Literasi Keuangan Masyarakat Indonesia Menurut produk dan Jasa Keuangan

Tahun 2013

Indeks Literasi

Keuangan

%

Perbankan Asuransi Perusahaan

Pembiayaan

Dana

Pensiun

Pasar

Modal Pegadaian

Well literate

Sufficient literate

Less literate

Not literate

21,8

75,44

2,04

0,73

17,84

41,69

0,68

39,8

9,8

17,89

0,21

72,1

7,13

11,74

0,11

81,03

3,79

2,40

0,03

93,79

14,85

38,89

0,83

45,44

100 100 100 100 100 100

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (2013)

Dari data di atas dapat dilihat bahwa pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki

masyarakat indonesia sebagian besar mengenai produk dan jasa keuangan yang berasal

dari perbankan, sementara yang paling rendah adalah yang berasal dari pasar modal.

Berdasarkan survei OJK tahun 2013, indeks literasi keuangan masyarakat

Indonesia berdasarkan tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh adalah sebagai

berikut:

Indeks Literasi Keuangan Masyarakat Indonesia Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tahun 2013

Tingkat Pendidikan %

Perguruan tinggi 56,4

Sekolah lanjutan 35,7

Sekolah dasar 24,6

Tidak sekolah 16,3

100

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (2013)

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang

ditempuh, maka semakin banyak pengetahuan yang dimiliki oleh individu, khususnya

pengetahuan mengenai keuangan dan produk-produknya.

Sementara itu, seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa buruh di

Indonesia didominasi oleh masyarakat lulusan SMA/sederajat ke bawah. Hal tersebut

dapat dilihat pada survei BPS berikut ini:

Page 8: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

Tingkat Pendidikan Buruh/Karyawan/Pegawai di Indonesia

Tingkat

Pendidikan

Terakhir

Tahun

2011 2012 2013 2014 2015

Tidak/belum

pernah sekolah 361.955 343.999

349.914 342.908 308.756

Tidak/belum

tamat SD 2.262.420 2.412.991 2.281.778 2.262.733

2.262.748

SD 5.955.009 6.815.264 6.556.392 6.669.114 6.567.372

SLTP 7.027.809 7.141.189 6.983.089 7.023.654 7.073.953

SMA 8.688.260 9.493.230 9.573.281 9.947.931 10.575.103

SMK 5.375.966 6.265.160 6.512.147 6.734.883 7.043.961

Akademi/Dip-

loma 2.491.362 2.407.599 2.349.178 2.316.739 2.417.363

Universitas 4.749.754 5.989.198 6.518.070 7.084.186 8.185.134

Total 36.912.535 40.868.630 41.123.849 42.382.148 44.434.390

Sumber: Badan Pusat Statistik

Buruh

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 1 ayat (2) tentang Ketenagakerjaan

mendefinisikan tenaga kerja sebagai berikut:

Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi

kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

Selanjutnya, pada ayat (2) disebutkan bahwa buruh merupakan setiap orang

yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari dua definisi

ini, dapat diketahui bahwa buruh merupakan bagian dari tenaga kerja. Selain itu, hasil

dari buruh berupa barang dan/atau jasa dan atas pekerjaan mereka, maka buruh akan

mendapatkan upah.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengkategorikan buruh bersama

dengan karyawan dan pegawai, sehingga buruh/karyawan diartikan sebagai seseorang

yang bekerja pada orang lain atau perusahaan/kantor/instansi secara tetap (dalam jangka

waktu satu bulan atau lebih) dengan menerima upah/gaji dalam bentuk uang dan/atau

barang. Dari definisi ini terdapat satu poin penting, yaitu seseorang bisa dianggap

sebagai pegawai tetap apabila ia bekerja pada orang/perusahaan/kantor/instansi tidak

kurang dari satu bulan. Apabila kurang dari satu bulan, maka orang tersebut

dikategorikan sebagai pegawai tidak tetap.

Badan Pusat Statistik (BPS) membagi buruh berdasarkan jam kerjanya. Jenis-

jenis buruh tersebut antara lain:

1. Buruh harian lepas

Buruh harian lepas adalah buruh yang dibayar berdasarkan jumlah hari kerjanya.

Umumnya upah mereka tidak dapat dipisahkan antara gaji/upah pokok dan

tunjangan lainnya.

2. Buruh borongan

Buruh borongan adalah buruh yang dibayar langsung oleh perusahaan berdasarkan

hasil kerja yang dihitung per satuan hasil. Akan tetapi, buruh dalam kategori ini

tidak termasuk buruh borongan yang bekerja di rumah sendiri secara makloon.

Page 9: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

3. Buruh harian tetap

Buruh harian tetap adalah buruh yang dibayar berdasarkan jumlah hari kerjanya.

Biasanya upah buruh harian tetap terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap yang

mungkin dapat dipisahkan sehingga jika buruh absen, maka perusahaan bisa

menghitung potongan upahnya sesuai aturan yang berlaku.

4. Buruh bulanan

Buruh bulanan adalah buruh yang menerima upah/gaji pokok secara tetap setiap

periode pembayaran (umumnya bulanan kecuali tunjangan-tunjangan dan

perangsang lainnya yang tergantung jumlah hari atau jam kerja karyawan yang

bersangkutan). Buruh bulanan yang dibayar 2 kali atau lebih dalam sebulan tetap

dikategorikan sebagai buruh bulanan.

3. Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus.

Penelitian kualitatif merupakan kerangka berpikir dari satu kesatuan realita sosial yang

kompleks dan dinamis melalui pemahaman suatu fenomena dalam setting dan konteks

naturalnya. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode studi kasus yang

menekankan pada bagaimana suatu fenomena kontemporer (masa kini) terjadi (Yin,

2012).

Studi kasus merupakan penelitian dengan karakteristik masalah yang berkaitan

dengan latar belakang dan kondisi saat ini dari obyek yang diteliti (dapat berupa

individu, kelompok, lembaga, atau komunitas tertentu), serta interaksinya dengan

lingkungan (Indriantoro dan Supomo, 2002:26). Sementara itu, Arikunto (2002:30)

menjelaskan bahwa studi kasus merupakan suatu penelitian yang mencoba

menggambarkan subyek penelitian di dalam keseluruhan tingkah laku. Lebih lanjut lagi,

dalam penelitian studi kasus peneliti mencoba mencermati individu atau sebuah unit

secara mendalam dan berusaha menemukan hubungan antara faktor-faktor tersebut satu

dengan yang lainnya.

Peneliti menggunakan studi kasus karena ingin berfokus pada suatu kondisi di

masyarakat, yaitu literasi keuangan, khususnya pada masyarakat yang tidak mengenyam

bangku perguruan tinggi maupun diploma. Terdapat banyak penyebab (faktor) yang

bisa mempengaruhi tinggi-rendahnya literasi keuangan seseorang dan bagaimana

akibatnya terhadap penggunaan produk lembaga keuangan. Oleh karena itu, peneliti

ingin mencari tahu secara mendalam faktor-faktor tersebut dan sejauh mana mereka

menggunakan produk-produk keuangan yang ada. Akan tetapi, peneliti tidak berupaya

untuk melakukan generalisasi atas hasil penelitian. Peneliti hanya ingin melihat apa saja

faktor yang mempengaruhi literasi keuangan per individu.

Berdasarkan pendapat Herdiansyah (2011), keunggulan yang diperoleh peneliti

dengan

Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang menjadi

rumusan masalah penelitian, yakni mengetahui penyebab rendahnya literasi keuangan di

kalangan buruh pabrik serta sejauh mana penggunaan produk-produk keuangan sebagai

efek dari rendahnya literasi keuangan tersebut.

Page 10: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

Penentuan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh

informasi yang mendalam mengenai literasi keuangan pada buruh pabrik dengan

informan beberapa buruh pabrik yang berada di Kota Probolinggo. Penggunaan

informan dalam penelitian ini bukan untuk membuat kesimpulan bahwa persepsi dan

pengetahuan dari informan berlaku untuk seluruh populasi buruh pabrik atau bahkan

berlaku sampai ke masyarakat pada umumnya. Karena hal tersebut, maka teknik yang

peneliti pakai dalam menentukan informan adalah teknik purposive sampling. Menurut

Sugiyono (2013:53), teknik ini digunakan pada sumber data dengan pertimbangan

tertentu. Pada penelitian ini, pertimbangan yang dimiliki oleh peneliti yaitu sampel

harus memenuhi beberapa kriteria yang telah ditentukan sebelumnya agar informasi

yang diperoleh sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi literasi keuangan buruh pabrik.

Adapun kriteria informan yang diwawancarai adalah sebagai berikut:

1. Berprofesi sebagai buruh pabrik

2. Memiliki tingkat pendidikan SD/sederajat sampai dengan SMA/sederajat

3. Telah berkeluarga atau memiliki tanggungan keluarga

Kriteria terakhir peneliti gunakan karena peneliti berasumsi bahwa semakin banyak

tanggungan yang dimiliki, maka akan semakin kompleks perencanaan keuangan yang

harus dibuat, sehingga dengan keadaan ini peneliti berharap bisa benar-benar

mengetahui sejauh mana pengetahuan dan kemampuan informan dalam mengatur

keuangan dan menggunakan produk-produk keuangan sebagai bagian dari perencanaan

keuangan.

Sementara itu, penentuan jumlah informan untuk penelitian ini tidak bisa

dilakukan sebelum penelitian berjalan. Dalam purposive sampling, banyaknya informan

ditentukan oleh pertimbangan informasi. Penentuan informan dianggap telah memadai

jika telah sampai pada taraf “redundancy” atau data telah jenuh, yang artinya bahwa

dengan menggunakan informan selanjutnya boleh dikatakan tidak lagi diperoleh

tambahan informasi baru yang berarti atau dengan kata lain sampai dirasa jawaban yang

didapat dari informan hampir sama. Oleh karena itu, setelah peneliti melaksanakan

penelitian, maka dapat ditentukan bahwa informan yang digunakan sebanyak 3 orang,

sebab berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara informan-informan tersebut,

peneliti telah mampu untuk menarik kesimpulan mengenai faktor yang mempengaruhi

rendahnya literasi keuangan buruh pabrik. Adapun rincian informan yang berhasil

peneliti wawancarai adalah sebagai berikut:

Tabel Informan

No. Nama Usia Lama Bekerja Tingkat Pendidikan

Terakhir

1. Aini 36 tahun 16 tahun SMA

2. Dita 30 tahun 7 tahun SD

3. Ika 36 tahun 16 tahun SMA

Jenis dan Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer berasal dari

sumber asli yang diperoleh secara langsung tanpa melalui perantara apapun (Indriantoro

dan Supomo, 2013:146,147). Data primer yang berhasil didapatkan oleh peneliti adalah

Page 11: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

informasi yang didapatkan dari wawancara dengan para informan. Menurut Yin

(2012:108), salah satu sumber bukti/data dalam penelitian studi kasus berasal dari

wawancara. Lebih lanjut, wawancara merupakan sumber bukti yang esensial bagi studi

kasus, sebab studi kasus umumnya berkenaan dengan urusan kemanusiaan/sosial.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan prosedur untuk memperoleh segala informasi

berkaitan dengan obyek penelitian yang diperlukan selama penelitian. Metode

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi lapangan. Metode ini digunakan

untuk mengetahui secara langsung obyek yang akan diteliti. Metode pengumpulan data

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara. Menurut Kahn dan Cannel

(1957) dalam Sarosa (2012:45) wawwancara didefinisikan sebagai diskusi antara dua

orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Dalam penelitian ini, wawancara yang

digunakan adalah wawancara semi terstruktur, dimana peneliti sudah menyiapkan topik

dan daftar pertanyaan pemandu wawancara sebelum aktivitas wawancara dilakukan.

Akan tetapi, peneliti akan menelusuri lebih jauh berdasarkan jawaban yang diberikan

oleh informan. Wawancara untuk penelitian ini dilakukan kepada beberapa informan

yang terdiri atas buruh pabrik yang bekerja di perusahaan di Kota Probolinggo.

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Peneliti Sendiri

Dalam penelitian kualitatif, peneliti berperan sebagai perencana, pelaksana,

pengumpul data, penafsir data, dan sekaligus sebagai pelapor hasil penelitiannya.

Peneliti sebagai instrumen penelitian dimaksudkan sebagai alat pengumpul data

seperti tes pada penelitian kualitatif (Moleong, 2005:168). Karena peran-peran

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa peneliti terlibat secara langsung pada

penelitian ini.

2. Alat Perekam Suara

Penelitian kualitatif ini sangat mengandalkan wawancara saat pengumpulan data di

lapangan. Oleh karena itu, peneliti perlu untuk melakukan perekaman proses

wawancara. Data tersebut selanjutnya akan digunakan untuk mencari pola, kata

kunci, dan pokok-pokok isi pembicaraan yang menjadi dasar analisis penelitian.

3. Pedoman wawancara

Peneliti menggunakan pedoman wawancara sebagai arahan untuk memberikan

pertanyaan. Oleh karena itu, pedoman wawancara yang digunakan berupa daftar

pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Akan tetapi, pertanyaan tidak hanya

terbatas yang ada di daftar, melainkan peneliti membuat pertanyaan-pertanyaan

baru berdasarkan jawaban yang diberikan oleh informan.

4. Alat Tulis

Selama proses penelitian, peneliti menggunakan alat tulis menulis untuk mencatat

poin-poin penting saat proses wawancara untuk menunjang kesimpulan.

Analisis Data

Analisis data merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh peneliti dengan cara

bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilihnya menjadi satuan yang dapat

dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang

penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang akan diceritakan kepada

Page 12: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

orang lain (Bodgan & Biklen, 1982 dalam Moleong, 2011:248). Tujuan analisis data

adalah untuk mengelola data agar mudah dipahami dan dapat diinterpretasikan serta

mencerminkan hubungan antara masalah yang diteliti.

Proses analisis data dalam metode kualitatif ini menggunakan model Miles dan

Huberman dan dilakukan sejak dan sepanjang proses penelitian berlangsung secara terus

menerus sampai tuntas, sampai menghasilkan data yang jenuh. Secara umum, analisis

data menurut Miles dan Huberman terdiri atas tiga komponen dalam satu alur kegiatan

yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan/verifikasi. Alur tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Komponen Analisis Data Interaktif

Sumber: Sugiyono, 2007

Adapun penjelasan atas ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut:

1. Reduksi data

Tahap ini meliputi penyempurnaan data baik pengurangan data yang kurang perlu

dan tidak relevan, ataupun penambahan data yang dirasa masih kurang dan

berlangsung terus-menerus selama penelitiam berlangsung. Sebagaimana

pengumpulan data berproses, terdapat beberapa episode selanjutnya dari reduksi

data, yaitu membuat rangkuman, pengkodean, membuat tema-tema, membuat

pemisah-pemisah, serta menulis memo-memo. Reduksi data dapat dilakukan

meskipun data yang terkumpul masih sedikit, sehingga selain meringankan kerja

peneliti, juga dapat memudahkan peneliti dalam melakukan kategorisasi yang telah

ada.

2. Penyajian data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberikan

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Miles dan

Huberman, 2009: 17). Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan

dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya.

Bentuk penyajian data yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif

adalah teks yang bersifat naratif. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan

untuk memahami apa yang terjadi serta merencanakan kerja selanjutnya

berdasarkan apa yang telah dipahami.

3. Penarikan kesimpulan/verifikasi

Penarikan kesimpulan adalah kegiatan konfigurasi yang utuh dari penelitian yang

telah dilakukan (Miles dan Huberman, 2009: 19). Kesimpulan ini diungkapkan

dengan kalimat yang singkat-padat dan mudah dipahami, serta dilakukan dengan

cara berulang kali untuk meninjau ulang mengenai kebenaran dari penyimpulan itu,

Page 13: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

khususnya berkaitan dengan relevansi dan konsistensinya terhadap judul,

perumusan masalah, dan tujuan yang ada.

4. Hasil dan Pembahasan

Penyebab Rendahnya Literasi Keuangan di Kalangan Buruh Pabrik

1. Tidak Ada Waktu untuk Mencari Informasi

UMK (Upah Minimum Kota) yang ditetapkan oleh pemerintah dari tahun ke

tahun pasti mengalami peningkatan, mengingat harga berbagai barang kebutuhan selalu

mengalami peningkatan. UMK Kota Probolinggo yang ditetapkan oleh pemerintah

untuk tahun 2016 sebesar Rp 1.603.000. Ini berarti perusahaan diwajibkan untuk

menggaji baik karyawan maupun buruh pabrik minimal sebesar UMK tersebut. Akan

tetapi, meskipun selalu mengalami peningkatan, informan merasa bahwa upah

berdasarkan UMK yang diberikan oleh perusahaan belum bisa memenuhi kebutuhan

sehari-hari keluarga mereka, bahkan ketika upah tersebut telah digabung dengan upah

suami. Harga kebutuhan sehari-hari yang cenderung mengalami kenaikan beberapa kali

dalam setahun membuat mereka harus memikirkan berbagai cara untuk mendapatkan

tambahan uang, atau paling tidak melakukan penghematan.

Salah satu cara untuk mendapat tambahan uang adalah dengan melakukan

lembur. Apabila dalam sebulan informan rajin melakukan lembur, maka dalam satu

bulan itu mereka bisa mendapatkan upah sebesar Rp 3.000.000, hampir dua kali lipat

dari UMK yang ia dapat per bulannya. Karena sering melakukan lembur, para informan

tidak memiliki banyak waktu luang untuk dirinya sendiri karena ia harus bekerja dan

lembur. Selain itu, para informan juga memiliki kewajiban untuk mengurus keperluan

rumah tangga sebagai seorang istri sekaligus sebagai seorang ibu. Oleh karena itu,

mereka lebih memilih untuk beristirahat atau mengurus anak-anaknya, jika ada sedikit

waktu luang di antara semua kesibukannya. Keterbatasan waktu dan tidak adanya minat

untuk mempelajari produk-produk keuangan inilah yang membuat pengetahuan para

informan mengenai produk-produk keuangan sangat minim.

2. Produk Lembaga Keuangan adalah Sesuatu yang Sulit untuk dipahami

Produk-produk keuangan sangat penting bagi setiap individu, terutama untuk

motif berjaga-jaga sebagai antisipasi atas kejadian tidak terduga yang mungkin terjadi di

masa mendatang. Selain itu, melalui produk-produk tersebut, seseorang tidak perlu

terlalu khawatir dengan keamanan atas dana yang mereka salurkan. Oleh karena itu,

penting bagi setiap individu untuk memiliki informasi yang memadai mengenai produk-

produk tersebut, sebab hal tersebut akan mempermudah mereka dalam memilih produk

keuangan mana yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki, baik

kemampuan secara finansial maupun intelektual.

Hanya saja, pentingnya produk-produk keuangan tidak diimbangi dengan

pengetahuan yang cukup. Saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya

kalangan menengah ke bahwa belum mempunyai pengetahuan yang memadai tentang

produk-produk lembaga keuangan. Informan-informan yang telah diwawancarai

mengaku bahwa mereka kurang memiliki minat dan motivasi untuk mencari informasi-

informasi tersebut secara mandiri, padahal sebenarnya mereka sudah memiliki fasilitas

untuk melakukannya, seperti televisi dan juga smartphone. Minat yang kurang

dikarenakan mereka menganggap hal-hal yang berkaitan dengan produk lembaga

Page 14: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

keuangan merupakan sesuatu yang asing dan sulit untuk mereka pahami. Hal ini dapat

dimengerti sebab terdapat istilah-istilah khusus yang memerlukan pengetahuan lebih

dalam memahami hal-hal tersebut, sementara para informan hanya mengenyam

pendidikan sampai bangku SMA, bahkan salah satu informan hanya seorang tamatan

SMP sehingga wawasan mereka terbatas. Oleh sebab itu, informasi mengenai produk

lembaga keuangan menurut mereka adalah sesuatu yang rumit dan kemungkinan tidak

akan dapat dipahami tanpa bantuan orang lain yang lebih mengerti.

3. Tidak Memiliki Kepercayaan Diri untuk Menggunakan Salah Satu atau

Beberapa Produk Lembaga Keuangan

Kepercayaan diri (confidence) merupakan salah satu komponen penting dalam

membentuk literasi keuangan setiap individu. Kepercayaan diri di sini diartikan sebagai

keyakinan setiap individu pada kemampuan diri sendiri dalam membuat keputusan

finansial, termasuk dalam keputusan untuk menggunakan suatu produk lembaga

keuangan. Kepercayaan diri timbul karena adanya pengetahuan yang memadai seputar

keuangan. Meskipun pengetahuan sangat mempengaruhi kepercayaan diri, akan tetapi

kepercayaan diri juga dapat dibentuk melalui learning by doing atau melalui

pengalaman pengambilan keputusan sehari-hari. Melalui wawancara yang telah

dilakukan, hampir semua informan merasa tidak memiliki kepercayaan diri untuk

mengunakan produk lembaga keuangan, terutama produk tabungan. Hal ini membuat

mereka tidak tertarik untuk menyimpan uangnya di lembaga keuangan perbankan dan

lebih memilih cara tradisional, meskipun mereka memahami bahwa menabung di

lembaga keuangan perbankan akan lebih terjamin keamanannya daripada menggunakan

cara tradisional. Akan tetapi, mereka memilih menyimpan uangnya ke orang lain

dengan mengikuti arisan, dimana mereka diharuskan menyetor sejumlah uang tertentu

setiap bulannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan melalui sistem undi. Hal ini

terjadi karena para informan merasa tidak cukup mampu, baik dari segi finansial

maupun manajemen keuangan.

Ketidakpercayaan diri para informan terhadap kemampuan mereka dalam

mengelola keuangan dan serta kemampuan dalam mengontrol penggunaan uang

(khususnya uang yang tersimpan di rekening bank) menjadi salah satu alasan mengapa

mereka enggan untuk memanfaatkan produk lembaga keuangan, khususnya produk

tabungan. Keengganan ini membuat mereka tidak terlalu peduli terhadap informasi-

informasi mengenai produk tersebut, terutama jika mereka harus mencari dan

mempelajarinya secara mandiri. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa

literasi keuangan mereka rendah.

4. Merasa Pendapatan Terlalu Kecil

Pendapatan merupakan salah satu faktor penting bagi individu dalam

memutuskan apakah akan menggunakan sebuah produk lembaga keuangan atau tidak,

sebab pendapatan merupakan sumber utama dari dana yang nantinya akan dimanfaatkan

untuk mengusahakan produk tersebut. Semakin besar pendapatan yang dimiliki, maka

akan semakin memungkinkan bagi individu untuk memanfaatkan berbagai macam

produk, tentunya dengan mempertimbangkan kemampuan mengelola serta pemahaman

atas produk keuangan itu sendiri. Sebaliknya, semakin kecil pendapatan yang diterima,

maka semakin terbatas produk keuangan yang bisa digunakan, bahkan apabila

pendapatan yang dimiliki terlampau kecil, maka individu tersebut tidak akan memiliki

kemampuan sama sekali untuk menggunakannya, apalagi jika penerimaan pendapatan

Page 15: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

tidak bersifat tetap. Hal ini dikarenakan pendapatan tersebut hanya mampu untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga sulit untuk menyisihkan sebagian untuk

dialokasikan pada produk lembaga keuangan, termasuk produk pinjaman sekalipun,

sebab dikhawatirkan pendapatan yang selama ini diterima tidak mampu digunakan

untuk melunasi pinjaman tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa pendapatan juga

mempengaruhi literasi keuangan individu. Semakin rendah pendapatan, maka semakin

kecil keinginan individu tersebut untuk mencari informasi dan memahami hal-hal

penting terkait produk lembaga keuangan. Para informan mengungkapkan bahwa

mereka belum tertarik untuk mendapatkan informasi atau mencari informasi sendiri

mengenai suatu produk karena mereka merasa masih belum memiliki kemampuan

finansial untuk menggunakannya, khususnya produk tabungan yang disediakan oleh

lembaga perbankan. Mereka merasa bahwa jumlah upah yang diterima setiap bulannya

terlalu kecil sehingga mereka merasa tidak mampu menyisihkan sejumlah uangnya

untuk disimpan di lembaga keuangan formal. Oleh karena itu, mereka tidak ingin

bersusah payah untuk mencari informasi dan memahaminya karena hal tersebut tidak

akan memberikan manfaat yang signifikan pada keuangan rumah tangga mereka.

Faktor-faktor di atas merupakan faktor yang disebabkan oleh perilaku dan

pemikiran informan dalam menyikapi informasi-informasi mengenai produk lembaga

keuangan. Selain itu, tingkat pendidikan mereka yang sebagian besar SMA membuat

mereka sulit untuk memahami informasi keuangan karena terbatasnya pengetahuan dan

wawasan, meskipun informasi-informasi tersebut mudah untuk didapatkan. Akan tetapi,

jika para informan memiliki motivasi dan kemauan untuk mempelajari, maka

setidaknya hal tersebut akan mempermudah pemahaman mereka. Di samping faktor-

faktor internal, terdapat faktor eksternal yang menyebabkan mengapa literasi keuangan

mereka rendah. Kurangnya sosialisasi yang diberikan oleh lembaga-lembaga terkait

turut berperan terhadap rendahnya literasi keuangan di Indonesia. Untuk itu, diperlukan

sinergi yang kuat baik dari pemerintah, lembaga keuangan, maupun masyarakat. Jika

salah satu dari pihak-pihak tersebut tidak melakukan perannya dengan maksimal, maka

tujuan untuk meningkatkan literasi keuangan di Indonesia akan sulit untuk dicapai.

Penggunaan Produk-Produk Keuangan di Kalangan Buruh Pabrik

1. Produk Tabungan

Tabungan merupakan salah satu dari berbagai produk lembaga keuangan yang

paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Survei yang dilakukan oleh OJK

pada tahun 2014 menyebutkan bahwa produk lembaga keuangan yang dikeluarkan oleh

perbankan adalah yang paling banyak dipakai dibandingkan dengan yang dikeluarkan

oleh lembaga keuangan lain dengan persentase sebesar 75,98%. Angka ini menunjukkan

bahwa masyarakat lebih mengenal dan memahami produk lembaga perbankan

dibandingkan lembaga keuangannya lainnya, khususnya tabungan.

Fakta di atas tidak sesuai dengan apa yang tengah terjadi, khususnya pada

informan. Saat proses wawancara berlangsung, semua informan yang peneliti

wawancarai tidak sedang menggunakan produk tabungan dengan berbagai alasan, mulai

dari proses yang dirasa rumit, kemungkin bahwa uang tersebut akan terpakai untuk

kebutuhan sehari-hari, dan alasan-alasan lainnya Meskipun tidak sedang menggunakan,

dua di antara informan setidaknya pernah mencoba untuk menabung di lembaga

perbankan.

Page 16: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

2. Produk Pinjaman

Produk lembaga keuangan berupa pinjaman memudahkan masyarakat ketika

mereka membutuhkan dana untuk berbagai kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi apabila

hanya menggunakan dana pribadi yang tersedia pada saat itu. Untuk itu, banyak

masyarakat yang menggunakan produk pinjaman, baik pinjaman dengan atau tanpa

agunan. Di samping melakukan pinjaman ke lembaga keuangan formal, masyarakat

juga biasanya meminjam ke lembaga keuangan non formal (renteneir) maupun ke

kenalan dan kerabat. Biasanya alternatif ini dipilih karena prosedur untuk mendapatkan

pinjaman lebih mudah dan sederhana, meskipun ketika meminjam ke renteneir, debitur

akan dibebani dengan bunga yang cenderung tinggi.

Ketiga informan yang telah diwawancarai menyebutkan bahwa mereka sering

meminjam kepada saudara dan kenalan apabila mereka membutuhkan uang. Sebagian

besar alasan peminjaman dikarenakan adanya pengeluaran mendadak yang

menyebabkan uang bulanan mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga

hingga akhir bulan. Selain meminjam ke saudara dan kenalan dua dari informan pernah

melakukan pinjaman ke bank, sementara satu informan yang bernama Aini tidak pernah

melakukannya. Akan tetapi, mereka melakukan pinjaman melalui perantara pihak

ketiga. Oleh karena itu, meskipun mereka telah memiliki pengalaman, namun kedua

informan tersebut tidak bisa dikatakan memiliki pengetahuan mengenai produk

pinjaman.

3. Produk Investasi

Berdasarkan survei OJK pada tahun 2014 yang melibatkan 8000 responden,

persentase penggunaan produk lembaga pasar modal oleh masyarakat hanya sebesar

0,11%. Ini artinya, dari 1000 responden hanya satu orang yang menggunakan produk

tersebut. Sementara itu persentase pengguna produk lembaga dana pensiun hanya

sebesar 1,53%. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia masih sangat

asing dengan dunia investasi, terutama investasi di lembaga keuangan.

Minimnya pengetahuan dan penggunaan produk lembaga investasi juga dapat

dilihat dari informan yang peneliti wawancarai. Dari ketiga informan tersebut, tidak ada

yang bisa mendefinisikan apa itu investasi dan menyebutkan produk-produk seperti apa

yang terdapat di dalamnya. Ketiga informan juga tidak pernah menggunakan produk

lembaga investasi. Meskipun tidak memiliki pengetahuan, mereka sebenarnya tanpa

sadar juga telah melakukan investasi. Ketiga responden sering mengumpulkan uang dan

nantinya digunakan untuk membeli perhiasan emas. Apabila mereka membutuhkan

uang, perhiasan-perhiasan tersebut akan dijual. Peneliti mengkategorikan jual-beli ini

sebagai salah satu bentuk investasi, sebab informan tidak mengetahui bagaimana tingkat

pengembalian dari penjualan di masa mendatang atau dengan kata lain, informan tidak

mengetahui apakah akan mengalami keuntungan, kerugian, atau titik impas ketika

menjual perhiasan tersebut di masa mendatang. Tujuan mereka menggunakan emas

sebagai investasi karena perhiassan emas bersifat liquid, sehingga bisa sewaktu-waktu

diuangkan dengan mudah. Salah satu informan bernama

4. Produk Asuransi

Produk asuransi digunakan untuk mengalihkan risiko dari pihak tertanggung

kepada kepada penanggung. Saat ini masyarakat Indonesia diberikan kemudahan untuk

asuransi kesehatan dalam bentuk BPJS (Badan Penerimaan Jaminan Sosial). Khusus

untuk buruh pabrik, BPJS yang digunakan adalah BPJS ketenagakerjaan. Pembayaran

Page 17: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

premi dilakukan dengan sistem potong upah. Semua informan yang telah peneliti

wawancarai menggunakan BPJS sebagai salah satu bentuk asuransi, namun mereka

tidak begitu memahami apa yang dimaksud dengan asuransi secara umum.

Keterbatasan penggunaan produk lembaga keuangan di samping disebabkan

oleh rendahnya pengetahuan, juga disebabkan oleh minimnya dana yang bisa dipakai

untuk menggunakan produk-produk tersebut. Terlebih lagi, para informan tidak ingin

mempersulit diri untuk mempelajari sesuatu yang mereka anggap sulit untuk dipahami.

Meskipun literasi keuangan masih rendah dan penggunaan produk lembaga keuangan

masih relatif minim, peneliti mengapresiasi sikap para informan yang masih berusaha

untuk menyisihkan pendapatannya untuk ditabung meskipun tidak melalui lembaga

keuangan formal. Ini berarti mereka memiliki kesadaran mengenai pentingnya

mempersiapkan dana untuk kejadian yang tidak terduga, seperti Ika yang menyimpan

perhiasan untuk dijual apabila sewaktu-waktu suaminya tidak mendapatkan proyek

pembangunan.

5. Penutup

Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab rendahnya literasi

keuangan di kalangan buruh pabrik serta akibat rendahnya literasi keuangan tersebut

terhadap penggunaan produk-produk keuangan. Literasi keuangan sendiri didefinisikan

sebagai kemampuan individu untuk membaca, menganalisis, mengatur, dan

mengkomunikasikan kondisi keuangan. Peneliti menggunakan metode studi kasus

dengan teknik wawancara untuk mengumpulkan informasi guna memenuhi tujuan

penelitian tersebut.

Dari penelitian yang sudah dilaksanakan, peneliti mendapatkan beberapa poin

mengenai penyebab rendahnya literasi keuangan di kalangan buruh pabrik. Penyebab-

penyebab ini ini lebih merujuk pada perilaku dan pemikiran masing-masing informan

yang menyebabkan mereka tidak memiliki ketertarikan dan motivasi untuk mencari

secara mandiri informasi-informasi yang berkaitan dengan produk-produk lembaga

keuangan. Penyebab tersebut antara lain: tidak ada waktu untuk mencari informasi,

produk lembaga keuangan adalah sesuatu yang sulit untuk dipahami, tidak memiliki

kepercayaan diri untuk menggunakan salah satu atau beberapa produk lembaga

keuangan, merasa pendapatan yang diterima tidak cukup untuk disalurkan pada produk

lembaga keuangan

Karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan, maka penggunaan produk

lembaga keuangan di kalangan buruh masih terbilang minim. Untuk produk tabungan,

tidak ada satu pun informan yang menggunakan ketika proses wawancara berlangsung,

meskipun seorang informan pernah menggunakan deposito satu kali dan seorang lagi

menggunakan produk tabungan. Sementara itu, untuk produk pinjaman, dua informan

pernah menggunakannya. Akan tetapi, mereka meminjam atas nama orang lain,

sehingga bisa dikatakan jika mereka tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan

mengenai produk pinjaman karena semua prosedur dilakukan oleh pihak lain.

Selanjutnya, untuk investasi, para informan tidak memiliki pengetahuan sama sekali

mengenai produk tersebut. Akan tetapi, tanpa sepengetahuan, mereka telah melakukan

aktivitas investasi melalui jual beli perhiasan emas. Untuk produk asuransi, ketika

diwawancarai, mereka tidak bisa menjelaskan pengertian umum mengenai asuransi.

Page 18: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

Para informan hanya mengetahui bahwa mereka mengikuti BPJS dan itu merupakan

salah satu bentuk asuransi dengan pemerintah sebagai pihak penanggung.

Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti merasa kesulitan untuk mendapatkan informasi

yang diperlukan, sebab informan yang diwawancarai sulit untuk mengungkapkan apa

yang ada dipikiran mereka, sehingga informan tidak bisa menjelaskan dengan detail atas

pertanyaan yang peneliti sampaikan. Selain itu, hasil analisis data bersifat subjektif

sebab berasal dari sudut pandang peneliti yang didasarkan atas penjelasan yang

diberikan informan.

Saran

1. Untuk buruh pabrik dan masyarakat

Para buruh sebaiknya lebih memiliki kesadaran mengenai pentingnya produk

lembaga keuangan sebagai bagian dari perencanaan keuangan mereka. Selain itu,

kepercayaan diri terutama dalam kemampuan menggunakan produk keuangan juga

harus ditingkatkan agar kekhawatiran buruh pabrik ketika menggunakan produk

keuangan khususnya tabungan bisa berkurang. Jika rasa khawatir berkurang, maka

keengganan untuk mencari dan memahami informasi mengenai produk tersebut juga

akan berkurang. Kemudian, itu buruh pabrik sebaiknya mulai membiasakan diri untuk

mencari informasi secara mandiri, sebab para informan sudah memiliki fasilitas untuk

melakukannya. Apabila hanya menunggu sosialisasi dari pemerintah dan lembaga

keuangan, maka akan sulit bagi mereka untuk meningkatkan pengetahuan. Apabila

dalam proses belajar tersebut terdapat bebeapa hal yang tidak mudah untuk dipahami,

maka mereka bisa saling bertukar informasi satu sama lain.

2. Untuk lembaga keuangan dan pemerintah

Lembaga keuangan sebaiknya mulai memperluas target pengenalan produk yang

mereka miliki, baik produk baru maupun yang sudah ada untuk meningkatkan

pemahaman dan keyakinan masyarakat, khususnya para buruh pabrik. Sementara itu,

pemerintah melalui OJK harus memperketat izin pengeluaran produk investasi. Hal ini

dikarenakan selama ini banyak masyarakat yang tertipu oleh produk investasi bodong

yang dikeluarkan oleh bank-bank skala kecil maupun lembaga keuangan informal.

Dengan memperketat izin pengeluaran produk, maka masyarakat akan merasa lebih

yakin dan aman untuk menggunakannya. Hal ini nantinya dapat meningkatkan motivasi

masyarakat untuk mulai mencari informasi. Selain itu, OJK bisa membuat sebuah

aplikasi smartphone yang bisa memuat informasi mengenai produk-produk lembaga

keuangan secara beserta risiko-risikonya dengan konten yang mudah dipahami oleh

masyarakat dari berbagai kalangan.

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, D. 2002. Outbound Management Training: Aplikasi Ilmu Perilaku dalam

Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jogjakarta: UII Press.

Page 19: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineka Cipta.

Bps.go.id. 2014. “Penduduk 15 Tahun ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama 2004 –

2014”. (http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/971), diakses pada 23

Februari 2016.

Bps.go.id. 2016. “Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama

Seminggu yang Lalu Menurut Status Pekerjaan Utama dan Pendidikan Tertinggi

yang ditamatkan, 2008-2015”.

(https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1936), diakses pada 17 Mei 2016.

Bps.go.id. “Penjelasan Teknis Survei Upah Buruh 2011”.

(https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/19#subjekViewTab1), diakses pada 30

April 2016.

Bps.go.id. “Penjelasan Teknis Tenaga Kerja”. (https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/6),

diakses pada 21 Februari 2016.

Deng, Hsu-Tong, et al. 2013. “Influence of Financial Literacy of Teachers on Financial

Education Teaching in Elementary School”. International Journal of e-Education,

e-Business, e-Management and e-Learning. Vol. 3 no. 1 hlm. 68-73.

Fattah, Nanang. 2004. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Huston, Sandra J. 2010. “Measuring financial Literacy”. The Journal of Consumer

Affairs. Vol. 44 no. 2. Hlm. 296-316.

Indriantoro, N. & Supomo, B. 2013. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi &

Manajemen. Yogyakarta: BPFE.

Jappelli, Tullio dan Mario Padula. 2013. “Investment in Financial Litaracy and Saving

Decisions”. Journal of Banking and Finance. Vol. 37 no. 8. Hlm. 79-92.

Kehiaian, Scott E. 2012. “Factors and Behaviours that Influence Financial Literacy in

U.S”. Households. Dissertation. Fort Lauderdale: Nova Southeastern University.

Lusardi, Annamaria dan Olivia S. Mitchell. 2014. “The Economic Importance of

Financial Literacy: Theory and Evidence”. Journal of Economic Literature. Vol

52. no. 1. Hlm. 5-43.

Lusardi, Annamaria dan Peter Tufano. 2009. “Debt Literacy, Financial Experiences, and

Overindebtness”. NBER Working Paper Series. no 14808.

Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. 2009. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:

UI-Press.

Page 20: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

Moleong, L. J. 2005. Metode Peneltian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Moleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Moore, D. (2003). Survey of Financial Literacy in Washington State: Knowledge,

Behaviour, Attitudes, and Experiences. Social and Economic Sciences Research

Center. Washington State University.

PISA. 2012. Financial Literacy Assessment Framework.

Regional.kompas.com. 2015. “Gubernur Jatim Tetapkan UMK 2016”.

(http://regional.kompas.com/read/2015/11/21/05000061/Gubernur.Jatim.Tetapka

n.UMK.2016), diakses pada 21 Februari 2016.

Remund, David L. 2010. “Financial Literacy Explicated: The Case for a Clearer

Definition in an Increasingly Complex Economy”. The Journal of Consumer

Affairs. Vol. 44 no. 2. Hlm. 276-295.

Sarosa, Samiaji. 2012. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: Indeks.

Schultz, Theodore, W (1961), Investment in Human Capital, The American

Economics Review. No. 51.

Sinarharapan. 2015. “Tingkat Literasi dan Inklusi Keuangan RI Rendah”.

(http://www.sinarharapan.co/news/read/151026038/tingkat-literasi-dan-iklusi-

keuangan-ri-rendah), diakses pada 18 Februari 2016.

Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Tribunnews. 2014. “OJK Ingin Ibu Rumah Tangga Pintar Masalah Keuangan”.

(http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/12/14/ojk-ingin-ibu-rumah-tangga-

pintar-mengelola-keuangan), diakses pada 18 Februari 2016.

Vyvyan, Victoria. 2014. “Factors that Influence Financial Capability and Effectiveness:

Exploring Financial Counsellors’ Perspectives”. Australasian Accounting,

Business and Finance Journal. Vol. 8 no. 2.

Yin, Robert K. 2012. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Zait, Adriana. dan Patricea Elena Bertea. 2014. “Financial Literacy - Conceptual

Definition and Proposed Approach for a Measurement Instrumen”t. Journal of

Accounting and Management. Vol. 4 no. 3. Hlm. 37-42.

Page 21: REFLEKSI RENDAHNYA LITERASI KEUANGAN DI KALANGAN …

. Commonwealth of Australia Consolidated Acts.

. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.