refleksi kasus andre dermatitis atopik

40
REFLEKSI KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : An. S Usia : 12 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Jl. Pekayon RT 07/03, Ragunan Pendidikan : SD kelas 5 Status : Belum menikah Tanggal periksa : 26 Agustus 2013 II. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dari ayah pasien A. Keluhan utama : Gatal pada lipat kaki kanan sejak 1 minggu yang lalu B. Riwayat Penyakit Sekarang: Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengeluh gatal pada lipat lutut kanan. Gatal ini dirasakan sudah sejak 2 tahun lalu namun hilang timbul tidak menentu. Pada awalnya sejak 2 tahun yang lalu pada lipat lutut kanan pasien terlihat 1

Upload: andrew-then

Post on 29-Dec-2015

159 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

REFLEKSI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. S

Usia : 12 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Pekayon RT 07/03, Ragunan

Pendidikan : SD kelas 5

Status : Belum menikah

Tanggal periksa : 26 Agustus 2013

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dari ayah pasien

A. Keluhan utama :

Gatal pada lipat kaki kanan sejak 1 minggu yang lalu

B. Riwayat Penyakit Sekarang:

Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengeluh gatal pada lipat lutut kanan. Gatal ini

dirasakan sudah sejak 2 tahun lalu namun hilang timbul tidak menentu. Pada awalnya

sejak 2 tahun yang lalu pada lipat lutut kanan pasien terlihat berupa bentol-bentol dan

kemerahan yang terasa sangat gatal. Pasien sering menggaruk lipat lutut kanannya

tersebut sehingga kadang-kadang keluar cairan bening dan terlihat titik-titik merah.

Gatal bisa timbul kapan saja, namun dirasakan terutama malam hari. Apabila

berkeringat, lipat lutut kanan pasien terasa perih. Sekarang, pasien menyadari

kemerahan pada lipat lutut kanannya berubah menjadi lebih gelap dan kulitnya terasa

tebal. Gatal ini dirasakan pasien kadang bisa menghilang sendiri tanpa pengobatan .

1

Page 2: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

Pasien menyangkal gatalnya timbul atau semakin hebat jika sedang emosi atau banyak

tugas sekolah.

Pasien pernah berobat dengan krim Clotrimazole waktu 2 tahun lalu kemudian

gatalnya berkurang namun kemerahannya masih tetap ada. Untuk gatal yang sekarang,

sudah diberikan krim Clotrimazole lagi selama 3 hari namun tidak membaik. Pasien

menyangkal adanya demam, riwayat kontak dengan barang maupun zat yang tidak

biasa/ produk kosmetik/obat oles di daerah yang terkena, ataupun merasa gatal atau

kemerahan di bagian tubuh lainnya misalnya areola, tangan dan kaki. Pasien

menyangkal adanya alergi terhadap makanan tertentu seperti makanan laut, bulu

binatang, bahan baju tertentu seperti wol atau obat tertentu. Pasien menyangkal kulit

yang terasa kering, sering kemerahan pada mata, atau perih pada sudut bibir.

C. Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien alergi terhadap debu. Jika terkena debu, pasien bersin-bersin tidak bisa berhenti,

dan keluar ingus encer dari hidungnya. Pasien menyangkal alergi terhadap bahan-bahan

lainnya.

Pasien menyangkal adanya riwayat asma, mata yang sering gatal bila terkena debu,

ataupun biduran.

Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga:

Ayah pasien mempunyai alergi juga terhadap debu. Jika terkena debu tanpa memakai

masker akan bersin-bersin dan pilek. Kakak perempuan pasien mempunyai riwayat

batuk-batuk, sesak nafas dan terdengar bunyi mengi saat masih anak-anak. Nenek

pasien dari ibu mempunyai riwayat asma.

Riwayat penyakit kulit serupa disangkal

2

Page 3: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

Kesadaran : Compos mentis

Keadaan umum : Baik

Tekanan darah :110/70 mmHg

Frekuensi nadi : 92 x/menit

Frekuensi nafas : 22 x/menit

Suhu : 36,7oC

Kepala : normocephaly

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, bagian bawah mata

lebih gelap.

Sistem kardiovascular : bunyi jantung I-II reguler, gallop (-), murmur (-)

Sistem respiratorik : bunyi napas vesikuler, wheezing (-), ronchi (-).

Sistem gastrointestinal : supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)

Ekstremitas : pucat -, white dermographism +/+, hiperlinear palmaris -/-,

xerosis kutis -/-, tes white dermographism +.

Sistem urogenital : Tidak diperiksa

Gangguan khusus : Tidak ditemukan kelainan

B. Status Dermatologikus :

1. Regio/ Letak lesi: fossa popliteal kanan

Gambaran umum lesi:

a. Efloresensi: Primer ( plak hiperpigmentasi berbatas difus, berukuran ± 4 cm x 6

cm, berbentuk pulau, berwarna coklat tua) dan sekunder (ekskoriasi,

likenifikasi).

b. Bentuk lesi : pulau, tidak teratur

3

Page 4: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

c. Susunan: polisiklik

d. Distribusi: regional, asimetris

e. Palpasi: kering & kasar, tidak teraba massa atau cairan, tidak nyeri, sensasi +.

Gambar 1. Lesi kulit pada lipat lutut kanan.

Gambar 2. Bawah mata terlihat gelap (allergic shiners)

4

Page 5: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

Gambar 3. Tes White dermographism pada pasien

C. Pemeriksaan Penunjang :

Tidak dilakukan

D. Pemeriksaan Anjuran:

Tidak diperlukan

IV. RESUME

Seorang pasien perempuan, usia 12 tahun datang dengan keluhan gatal pada

lipat lutut kanannya sejak 1 minggu yang lalu. Gatal ini dirasakan sudah dari 2 tahun

lalu namun hilang timbul. Lesi awalnya berupa bentol-bentol kemerahan yang sangat

gatal. Pasien sering menggaruk hingga keluar cairan bening dan terlihat titik merah

pada lipat lututnya. Gatal terutama pada malam hari, dan terasa perih ketika berkeringat.

Sekarang, pasien menyadari kemerahan pada lipat lutut kanannya berubah menjadi

lebih gelap dan kulitnya terasa tebal. Untuk gatal yang sekarang, sudah diberikan

canesten selama 3 hari namun tidak membaik. Pasien menyangkal adanya riwayat

kontak dengan barang maupun zat yang tidak biasa/ produk kosmetik/obat oles di

5

Page 6: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

daerah yang terkena, ataupun merasa gatal atau kemerahan di bagian tubuh lainnya.

Pasien menyangkal adanya alergi terhadap makanan tertentu seperti makanan laut, bulu

binatang, bahan baju tertentu seperti wol atau obat tertentu.

Pasien mempunyai riwayat bersin-bersin hebat jika terkena debu. Pasien

mempunyai riwayat keluarga atopi dimana ayah, kakak perempuan, dan nenek pasien

mempunyai riwayat alergi.

Pada pemeriksaan didapatkan lesi kulit pada lipat lutut kanan berupa plak

hiperpigmentasi berbatas difus, berukuran ± 4 cm x 6 cm, berbentuk pulau, berwarna

coklat tua disertai lesi kulit sekunder berupa ekskoriasi dan likenifikasi. Bentuk lesi

berupa pulau, tidak teratur dengan perabaan kering dan kasar.

V. DIAGNOSIS

Diagnosis kerja :

Dermatitis atopik kronik remaja

Diagnosis banding :

Liken simpleks kronikus

VI. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana umum:

o Edukasi pasien mengenai penyakitnya

o Edukasi untuk menghindari bahan-bahan yang dicurigai menimbulkan

iritasi/gatal

o Edukasi untuk mengganti sabun untuk kulit sensitif dan mencuci bersih

pakaian dari sisa deterjen

o Edukasi cara pemakaian obat, dan menjaga kulit tetap lembab dengan

emolien.

o Kontrol kembali jika tidak ada perbaikan

Tatalaksana khusus:

6

Page 7: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

o Topikal:

Emolien: Krim urea 10%. Emolien dipakai setelah mandi dengan

air hangat selama 20 menit untuk kelembaban optimal.

Kortikosteroid topikal potensi sedang: krim 0,1% mometasone

furoate. Dioleskan 2 kali sehari selama 1 minggu kemudian

kontrol kembali untuk melihat respon obat.

o Sistemik:

Cetirizine: 1 x 5 mg PO.

VII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanactionam : dubia

7

Page 8: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

Pembahasan Kasus

Epidemiologi

Pasien perempuan berusia 12 tahun.

Menurut teori, herpes zoster paling sering muncul pada masa awal kehidupan dengan

predisposisi pada wanita. (1.3 kali lipat dibanding pria).

Gambaran klinis dan Diagnosis

Keluhan pasien yang utama pada pasien ini adalah sangat gatal terutama pada malam hari.

Ruam terasa perih ketika terkena keringat. Pada pasien tidak terdapat riwayat kontak dengan

barang iritan, obat-obatan oles, atau kosmetik tertentu. Riwayat atopi pada pasien menonjol

dengan pasien mengalami rhinitis alergi terhadap debu dan kakak perempuan pasien

mempunyai asma, ayah pasien mempunyai rhinitis alergi, dan nenek pasien mempunyai asma

berdasarkan anamnesis. Gambaran klinis yang tampak pada pasien adalah lesi kulit pada fosa

popliteal kanan berupa plak hiperpigmentasi berbatas difus berukuran ± 4 cm x 6 cm, berbentuk

pulau, berwarna coklat tua dengan ekskoriasi dan likenifikasi. Distribusi lesi kulit regional

hanya pada fosa popliteal kanan dan asimetris.

Gejala utama pada DA ialah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari tetapi umumnya lebih

hebat pada malam hari. Lesi kulit pada dermatitis atopik pada usia 12 tahun termasuk tipe DA

remaja dan dewasa. Lesi kulit yang timbul dapat berupa plak papular-eritematosa dan

berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA remaja lokalisasi lesi berada di lipat siku,

lipat lutut, samping leher, dahi dan sekitar mata. Lesi gatal dan digaruk sehingga dapat timbul

likenifikasi dan luka bervariasi dari erosi-ekskoriasi. Lesi menjadi agak menimbul, papul datar,

dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama. Lambat laun terjadi

hiperpigmentasi.

Pembahasan : Gejala yang timbul pada pasien ini sesuai dengan gejala DA dimana keluhan

utama yang timbul berupa gatal yang dirasakan lebih hebat terutama pada malam hari. Pada

8

Page 9: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

pasien juga didapatkan riwayat atopi berupa rhinitis alergi dan riwayat keluarga atopi sesuai

dengan kriteria mayor Hannifin dan Rajka. Gambaran lesi yang ditemukan pada pasien ini

sesuai dengan gambaran lesi kulit dermatitis atopik kronis pada remaja di mana ditemukan

adanya plak likenifikasi dengan tanda garukan berupa ekskoriasi. Distribusi lesi juga sesuai

yaitu pada lipatan fleksural terutama pada ekstremitas. Diagnosis pada pasien ini didasarkan

pada kriteria Hanifin dan Rajka untuk dermatitis atopik. Pada pasien memenuhi 3 kriteria

mayor dan 3 kriteria minor.

Kriteria Mayor

Pruritus √

Morfologi dan distribusi lesi tipikal √

Dermatitis kronis, residif √

Riwayat atopi keluarga √

Kriteria Minor

Xerosis kutis Tidak ada

Keratosis pilaris / iktiosis vulgaris/ hiperlinear

palmaris

Tidak ada

Peningkatan reaktivitas IgE Tidak diperiksa

Peningkatan kadar IgE serum Tidak diperiksa

Onset masa awal kehidupan √

Tendensi untuk infeksi kulit Tidak ada

Tendensi untuk dermatitis non spesifik pada

tangan/kaki

Tidak ada

Dermatitis pada areola mamae Tidak ada

Cheilitis Tidak ada

Konjungtivitis berulang Tidak ada

Lipatan infraorbital Dennie Morgan Tidak ada

Keratokonus Tidak diperiksa

Katarak subkapsular anterior Tidak ada

Allergic shiners √

Wajah terlihat pucat/kemerahan Tidak ada

9

Page 10: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

Pityriasis alba Tidak ada

Gatal bila berkeringat √

Intoleransi pada wol atau pelarut lemak Tidak ada

Aksentuasi perifolikullar Tidak ada

Hipersensitivitas terhadap makanan Tidak ada

Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor

lingkungan atau emosional

Tidak ada

White dermographism atau delayed blanch

response

Diagnosis banding

1. Liken simpleks kronikus

Pada pasien ini diagnosis diferensial yang paling memungkinkan adalah liken

simpleks kronikus karena memiliki gejala utama dan gambaran klinis yang hampir

sama. Pada pasien dengan LSK, keluhan utama yang timbul adalah gatal sekali yang

memainkan peran sentral dalam timbulnya pola reaksi kulit berupa likenifikasi atau

prurigo nodularis. Rasa gatal yang timbul tidak terus menerus biasanya timbul pada

waktu tidak sibuk dan sulit ditahan untuk tidak digaruk. Penderita biasanya merasa

enak jika digaruk, setelah luka timbul baru rasa gatal menghilang karena diganti

oleh rasa nyeri. Lesi biasanya tunggal, pada awalnya berupa plak eritematosa,

sedikit edematosa, lambar laut eritema dan edema menghilang menjadi likenifikasi

dan ekskoriasi dengan hiperpigmentasi. Batas dengan kulit normal tidak jelas.

Gambaran klinis dipengaruhi oleh lokasi dan lamanya lesi.

Namun LSK biasanya tidak terjadi pada anak tetapi pada usia dewasa ke atas

dengan puncak insiden antara usia 30-50 tahun. Wanita lebih banyak daripada pria.

Letak lesi dapat dimana saja tetapi biasa ditemukan pada kulit kepala, tengkuk,

samping leher, lengan bagian ekstensor, pubis, vulva, skrotum, perianal, paha

media, lutut, tungkai bawah, pergelangan kaki bagian depan dan punggung kaki.

Pemeriksaan Penunjang

10

Page 11: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

Pada pasien ini tidak diperlukan karena sudah memenuhi kriteria diagnosis

Tatalaksana

Pada pasien ini diberikan tatalaksana secara umum untuk DA berupa edukasi,

pemberian terapi topikal berupa kortikosteroid dan terapi emolien pada pasien ini, dan

pengobatan sistemik dengan antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Pada pasien ini dipilih

pengobatan awal dengan kortikosteroid potensi sedang yaitu mometason furoate 0,1% karena

pasien merupakan pasien anak dengan kulit yang relatif tipis namun lesi kulit yang timbul

adalah lesi kulit kronis dengan likenifikasi dimana terjadi penebalan epidermis. Area tempat

yang terkena bukan merupakan area yang sensitif seperti wajah ataupun intertrigo. Penyakit

yang diderita berupa lesi kulit yang responsif terhadap kortikosteroid sehingga tidak diperlukan

kortikosteroid dengan potensi tinggi yang harus dipertimbangkan efek samping yang mungkin

timbul.

Pada pasien ini diberikan antihistamin karena pasien merasa sangat gatal untuk

membantu pemutusan rantai gatal-garuk. Salah satu mediator yang berperan dalam patogenesis

DA adalah histamin sehingga terapi antihistamin akan memblok reseptor H1 pada kulit dan

meringankan rasa gatal.

11

Page 12: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

DERMATITIS ATOPIK

I. PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) merupakan kelainan kulit kronis residif yang timbul

umumnya pada masa balita dan anak-anak. DA sering berhubungan dengan

berkurangnya fungsi perlindungan dari kulit dan sensitisasi allergen. Diagnosis DA

didasarkan pada gabungan dari penemuan klinis seperti pada kriteria diagnosis

Hanifin dan Rajka karena tidak ada satupun manifestasi klinis pathognomonik atau

tes laboratorium yang diagnostik untuk DA.

II. Epidemiologi

DA merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang mendunia dengan

prevalensi pada anak sekitar 10-20% di Amerika Serikat, Eropa, Afrika, Jepang,

Australia, dan negara industri lainnya. Prevalensi pada orang dewasa lebih sedikit

kira-kira 1-3%. Prevalensi DA jauh lebih sedikit pada negara agrikultural seperti

China, Eropa Timur, pedesaan Afrika, dan Asia Tengah. DA juga lebih banyak

diderita oleh wanita dibanding pria dengan rasio 1,3:1.

Faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menderita DA cukup menarik dan

kompleks. Beberapa faktor risiko seperti jumlah keluarga yang kecil, meningkatnya

pendapatan dan edukasi individu, migrasi dari pedesaan ke kota, dan meningkatnya

penggunaan antibiotik. Hal ini menimbulkan “hygiene gypothesis” dimana ada

kemungkinan penyakit allergi dapat dicegah dengan infeksi pada masa kanak-kanak

yang ditularkan melalui kontak yang kurang higienis dari saudara yang lebih tua.

III. Etiopathogenesis

DA merupakan penyakit inflamasi pada kulit yang bermanifestasi gatal yang

cukup hebat diakibatkan oleh interaksi kompleks antara predileksi genetik

12

Page 13: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

menyebabkan fungsi perlindungan kulit yang terganggu, defek pada sistem imun

bawaan, meningkatnya respon imunologis terhadap allergen dan antigen mikrobial.

Berkurangnya Fungsi Perlindungan Kulit

Penurunan ini disebabkan oleh downregulasi dari gen-gen tertentu seperti

filaggris dan lorikrin, berkurangnya tingkat ceramide kulit, meningkatnya

kadar enzim proteolitik endogen, dan meningkatnya kehilangan cairan dari

kulit. Penambahan sabun atau detergen pada kulit meningkatkan pH kulit

sehingga aktivitas enzim protease meningkat sehingga memperparah

kerusakan kulit. Protease dari agen infeksius seperti kutu rumah atau S.

Aureus juga ikut berperan. Kadar protease inhibitor pada kulit juga

berkurang. Semua ini menyebabkan kadar penyerapan alergen pada kulit dan

kolonisasi bakterial meningkat. Penyerapan allergen lewat kulit lebih tinggi

dibanding penyerapan antigen daripada sistemik ataupun melalui mukosa

saluran nafas.

Imunopatologi dari Dermatitis Atopik

Kulit pasien DA yang tidak terpengaruh mengalami hiperplasia epidermal

ringan dengan infiltrasi sel T perivaskuler yang ringan. Lesi akut dermatitis

ditandai dengan edema interseluler yang berat pada lapisan epidermis

(spongiosis). Sel penyaji atigen seperti sel Langerhans dan makrofag pada

kulit yang sakit dan lebih sedikit pada kulit yang sehat mengalami

pengikatan dengan molekul IgE pada permukaannya.

Pada lapisan dermis, terdapat influks dari sel T dengan beberapa sel

monosit atau makrofag. Infiltrat limfosit kebanyakan terdiri dari sel T

memori terakvitasi. Eosinofil jarang timbul pada DA yang akut. Keadaan sel

mast ditemukan normal.

Lesi likenifikasiditandai dengan epidermis yang hiperplastik dengan

elongasio rete ridges hiperkeratosis yang menonjol, dan spongiosis minimal.

Terdapat peningkatan kadar sel Langerhans yang terikat dengan IgE pada

epidermis dan makrofag mendominasi pada lapisan dermis. Sel mast pada

umumnya mengalami peningkatan jumlah. Neutrofil tidak ditemukan pada

lesi kulit DA bahkan pada keadaan infeksi bakterial sekalipun. Peningkatan

13

Page 14: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

eosinofil terlihat pada lesi kulit kronis. Eosinofil ini mengalami degranulasi

mengeluarkan proteinnya ke lapisan dermis atas pada lesi. Eosinofil

berkontribusi terhadap inflamasi alergi dengan mensekresikan sitokin dan

mediator untuk meningkatkan inflamasi dan menyebabkan kerusakan

jaringan melalui produk reactive oxygen species.

Sitokin dan Kemokin Yang Berperan

Inflamasi kulit atopik dimulai dengan ekspresi lokal dari sitokin dan

kemokin proinflamasi.Sitokin seperti Tumor necrosis factor (TNF-alfa) dan

interleukin 1 (IL-1) dari sel residen (keratinosit, sel mast, sel dendritik)

berikatan dengan reseptor pada endotelium vaskuler, mengaktifkan jalur

sinyal seluler menginduksi keluarnya molekul adhesif sel endotelium.

Setelah berikatan dengan sel endotelium akan terjadi inflamasi ditandai

dengan keluarnya sel inflamasi kepada kulit. Setelah terjadi inflamasi,

keluarnya kemokin-kemokin akan menyebabkan daya tarik kemotaktik ke

tempat yang mengalami kerusakan.

DA akut ditandai dengan produksi sitokin sel Th-2 yaitu IL-4 dan IL-13

yang nantinya akan mensintesis IgE dan meningkatkan ekspresi molekul

adhesif pada sel endotelium. IL-5 juga berpengaruh pada pembentukan

eosinofil dan menyebabkan eosinofil bertahan lebih lama dan berjumlah

lebih banyak pada DA kronis. Pada kulit yang mengalami DA kronis juga

terjadi produksi sitokin Th-1 seperti IL-12 dan IL-18 disertai beberapa

sitokin yang menginduksi remodelling kulit seperti IL-11 dan TGF-beta.

Molekul kemokin yang spesifik pada kulit diekspresikan lebih banyak

pada DA. Keparahan DA berhubungan dengan tingkat sitokin dari timus dan

jumlah sitokin yang ada. Kemokin yang dipicu oleh IFN-gamma

diregulasikan dengan lebih banyak pada keratinosit menyebabkan migrasi

sel Th-1 ke epidermis khususnya pada DA kronis.

Genetik

DA mempunyai pengaruh herediter yang cukup kuat. Skrining genom pada

penderita DA menunjukkan beberapa gen yang berperan seperti pada

penyakit kulit inflamasi lain seperti psoriasis. Beberapa gen yang berperan

14

Page 15: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

pada patogenesis DA khususnya untuk gen yang berperan pada fungsi

barrier kulit. Mutasi pada protein pelindung pada kulit yaitu filaggrin

berhubungan dengan faktor predisposisi mayor untuk DA seperti juga pada

iktiosis vulgaris, sebuah kelainan kulit keratinisasi yang berhubungan

dengan DA. Kandidat gen lainnya seperti SPINK5 yang diekspresikan pada

permukaan epidermis dimana produksinya akan menginhibisi protease pada

kulit ditemukan mutasi sehingga efeknya akan terjadi proteolisis yang

bermanifestasi dalam deskuamasi dan inflamasi. Ekspresi gen protease pada

epidermis juga meningkat pada penderita DA.

Peran Pruritus Pada Dermatitis Atopik

Pruritus merupakan gejala utama dari DA disebabkan oleh hipereaktivitas

dari kulit diikuti dengan garukan menyebabkan paparan terhadap alergen

semakin banyak, perubahan kelembaban, keringat berlebihan, dan iritasi

lokal. Kontrol dari pruritus merupakan hal yang penting karena kerusakan

mekanik dapat menginduksi produksi sitokin dan kemokin menyebabkan

siklus garuk-gatal yang memperparah lesi kulit DA. Mekanisme pruritus

pada DA belum diketahui secara jelas namun melibatkan keluarga histamin

dari sel mast yang diinduksi allergen. Peran dari kortikosteroid topikal

ataupun inhibitor kalsineurin sebagai imunomodulator memperlihatkan

peran penting dari sel inflamasi pada gatal di DA.

IV. Penemuan Klinis

AD biasanya menyerang anak-anak pada masa bayi. Sekitar 50% pasien dengan

DA berusia di bawah 1 tahun, dan 30% lainnya berusia 1-5 tahun. Sekitar 50-80%

pasien dengan DA akan menderita rhinitis alergika atau asma pada masa kanak-

kanak seiring bertambah baiknya keadaan DA pasien-pasien ini.

Lesi Kutaneus:

Gejala kardinal dari dermatitis atopik adalah rasa gatal yang intens dan

hipersensitivitas kulit. Pruritus dapat hilang timbul sepanjang hari namun paling

berat dirasakan pada waktu malam hari saat pasien beristirahat. Lesi akut pada DA

ditandai dengan rasa gatal yang intens, papul eritem dengan ekskoriasi, bisa timbul

vesikel di atas kulit yang kemerahan dan eksudat serosa. DA subakut ditandai

15

Page 16: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

dengan papul-papul yang kemerahan, terjadi ekskoriasi, dan skuama. DA kronis

ditandai dengan plak yang menebal dengan garis kulit yang menebal (likenifikasi)

dan papul fibrotik. Pada DA kronis, ketiga reaksi kulit seringkali timbul bersamaan.

Pada semua tingkatan, pasien DA biasanya mempunyai kulit yang kering.

Distribusi dan reaksi kulit pada pasien Da ditentukan dari umur pasien dan

aktivitas penyakit. Pada masa infantil, DA biasanya lebih akut dan distribusi lesinya

lebih banyak pada wajah, kulit kepala, dan permukaan ekstensor ekstremitas. Area

popok biasanya tidak terkena. Pada anak yang lebih tua dan pasien yang menderita

penyakit lebih lama, pasien biasanya timbul DA jenis kronis dengan likenifikasi dan

lokalisasi ruam pada lipatan fleksura pada ekstremitas. DA anak biasanya

bertambah baik seiring pasien bertumbuh, namun meninggalkan kulit yang lebih

gampang gatal dan terjadi peradangan ketika terkena bahan-bahan iritan. Dermatitis

kronis pada tangan sering merupakan manifestasi utama dari banyak orang dewasa

dengan DA.

a. b.

16

Page 17: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

c. d.

e. f.

Gambar a-e. Lesi kulit akut – kronis pada DA. Lesi kulit akut dapat berupa papul

prurigo (a), vesikel yang timbul pada kulit kemerahan yang menjadi krusta jika

pecah (b). Lesi subakut berupa papul kemerahan (c) dan ekskoriasi (d). Lesi kronis

berupa likenifikasi (e). Secara umum kulit penderita terlihat kering. Salah satu

kriteria minor Hanifin dan Rajka yaitu lipatan intraocular Dennie Morgan (f).

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan untuk evaluasi rutin dan

penatalaksanaan dari DA tanpa komplikasi. Kadar IgE serum meningkat pada 70-

80% pasien DA. Hal ini berkaitan dengan sensitisasi terhadap bahan inhalan dan

17

Page 18: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

makanan dan atau rhinitis alergi dan asma. Kontrasnya pada 20-30% pasien dengan

DA mempunyai kadar IgE serum yang normal. Pada pasien ini biasanya tidak

mempunyai sensitisasi IgE terhadap alergen inhalasi atau makanan. Namun

beberapa pasien tersebut mempunyai sensitisasi terhadap antigen mikroba seperti

toksin S. Aureus, dan C.albicans.

Kebanyakan pasien dengan DA juga mempunyai kadar eosinofil darah tepi yang

meningkat. Pasien dengan DA mengalami kenaikan pelepasan histamin dari basofil.

Hal ini menunjukkan respon imun Th-2 pada pasien dengan DA khususnya yang

memiliki peningkatan kadar IgE serum.

V. Diagnosis

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, diagnosis dari DA didasarkan pada

kriteria Hanifin dan Rajka yang telah diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris

yang dikoordinasi oleh Williams (1994). Kriterianya terdiri dari kriteria mayor dan

minor seperti berikut:

Kriteria Mayor (harus memenuhi 3 dari kriteria mayor)

1. Pruritus

2. Ruam dengan morfologi dan distribusi tipikal

Ruam pada wajah dan/atau permukaan ekstensor pada bayi

dan kanak-kanak awal.

Likenifikasi fleksural pada anak yang lebih dewasa dan

dewasa

3. Tendensi ke arah kronis atau dermatitis yang kronis residif

4. Riwayat atopi pada keluarga: asma, rhinitis alergi, dermatitis atopik.

Kriteria Minor (harus memenuhi 3 dari kriteria minor)

1. Xerosis kutis

2. Keratosis pilaris/Ichthyosis vulgaris / Hiperliniar palmaris

3. Peningkatan reaktivitas IgE (reaksi segera dari skin test +, tes RAST

+)

4. Peningkatan kadar IgE serum

5. Onset pada masa awal kehidupan

18

Page 19: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

6. Tendensi untuk infeksi kulit (S.aureus, Herpes simpleks)

7. Tendensi terjadi dermatitis tidak spesifik pada tangan dan kaki

8. Dermatitis pada areola mamae

9. Cheillitis

10. Konjungtivitis berulang

11. Lipatan infra-orbital Dennie-Morgan (garis atau lipatan di bawah

batas dari kelopak mata bawah lebih tegas)

12. Keratokonus

13. Katarak subkapsular anterior

14. Allergic shiners (bagian di bawah mata terlihat gelap)

15. Wajah terlihat pucat/kemerahan

16. Pityriasis alba

17. Gatal kita berkeringat

18. Intoleransi pada bahan wol dan pelarut lemak

19. Aksentuasi perifolikular

20. Hipersensitivitas terhadap makanan

21. Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan atau

emosional

22. White dermographism (garis putih timbul pada kulit dalam 1 menit

ketika digores dengan benda tumpul) atau respon lambat terhadap

agen kolinergik

Untuk anak dikembangkan kriteria yang telah dimodifikasi sebagai

berikut:

19

Page 20: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

Gambar. Kriteria DA pada anak-anak yang telah dimodifikasi

VI. Differential Diagnosis

Sebagai diagnosis banding DA ialah dermatitis seboroik (terutama pada bayi),

dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis vulgaris, psoriasis

(terutama di daerah palmoplantar), keratosis pilaris, dan dermatofitosis. Pada DA

yang kronis dengan likenifikasi yang jelas juga perlu didiagnosis banding dengan

liken simpleks kronikus. Pada bayi, beberapa sindrom imunodefisiensi seperti

sindrom Wiskott-Aldrich, dan sindrom hiperIg-E juga merupakan diagnosis banding

DA.

VII. Komplikasi

a. Okuler: dermatitis dapat timbul pada kelopak mata dan menimbulkan blefaritis

kronis dapat berakibat pada gangguan penglihatan karena jaringan parut pada

kornea. Keratokonjungtivitis atopik biasanya bilateral dan menyebabkan

beberapa gejala seperti terbakar, gatal, perih, mata berair dan keluarnya cairan

serous. Mata dapat terasa sangat gatal dieksaserbasi jika terpapar dengan iritan.

Keratokonus dapat timbul akibat kebiasaan menggosok mata pada pasien

dengan DA dan rhinitis alergi. Katarak dilaporkan terjadi pada 21% dari pasien

20

Page 21: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

dengan DA derajat parah. Namun tidak jelas apakah katarak timbul akibat DA

atau merupakan efek saping dari timbulnya dermatitis.

b. Infeksi: DA dapat diperberat dengan infeksi virus yang menunjukkan defek pada

fungsi sel T. Infeksi yang paling parah adalah herpes simpleks. Manifestasinya

dalam menyerang berbagai umur berupa erupsi kaposi varicelliform atau

ekzema herpeticum.

Gambar. Ekzema Herpeticum berupa vesikel dan krusta.

c. Dermatitis tangan: DA dapat timbul dalam bentuk dermatitis iritan yang tidak

spesifik pada tangan. Biasanya dipicu oleh penggunaan sabun yang kasar secara

berulang, deterjen, dan desinfektan.

d. Dermatitis eksfoliativa: keterlibatan kulit secara luas pada pasien. Terdapat lesi

kulit generalisata berupa kemerahan, mengelupas, berkrusta, toksisitas sistemik,

limfadenopati, dan demam. Komplikasi infeksi sekunder cukup tinggi terutama

dari S. Aureus dan herper simpleks. Pada pasien DA, rebound dari pemberian

kortikosteroid sistemik dapat menjadi penyebab eritroderma eksfoliatif.

VIII. Prognosis

Sampai sekarang belum ada studi yang cukup baik untuk mengetahui perjalanan

alamiah pada DA. Walaupun demikian, DA biasanya lebih parah dan persisten

apabila terjadi pada usia kanak-kanak muda. Periode remisi akan lebih sering

seiring bertumbuh dewasa. Resolusi spontan dari DA sudah pernah dilaporkan

21

Page 22: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

setelah usia 5 tahun pada 40-60% dari penderita DA infantil khususnya jika

penyakit ringan. Walaupun demikian, lebih dari setengah biasanya mengalami

relaps pada masa dewasa.

IX. Terapi

Penatalaksanaan DA meliputi pendekatan sistematis meliputi hidrasi kulit, terapi

farmakologis, dan identifikasi serta eliminasi faktor pencetus seperti iritan, alergen,

agen infeksius, dan faktor emosional. Banyak faktor berkontribusi untuk timbulnya

gejala. Penatalaksanaan disesuaikan per individu tergantung faktor pencetus yang

unik dari masing-masing pasien. Pada pasien yang refrakter terhadap terapi

konvensional, agen anti inflamasi dan imunomodulator bisa dipertimbangkan.

Berikut secara umum algoritma pendekatan dengan pasien DA.

22

Page 23: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

Gambar. Algoritma penanganan pasien dengan DA

A. Terapi Topikal

i. Hidrasi Kulit: Pasien dengan DA mempunyai fungsi pelindung kulit

yang berkurang dan kulit yang cenderung kering (xerosis) berkontribusi

morbiditas penyakit dengan menimbulkan mikrofisur dan keretakan pada

kulit yang menjadi tempat masuknya alergen, agen patogen, ataupun

iritan pada kulit. Masalah ini diperparah apabila terjadi bersamaan

dengan musim dingin atau pada kondisi lingkungan tertentu yang

memperparah kekeringan kulit. Mandi air hangat paling tidak selama 20

menit diikuti dengan aplikasi emolien untuk menjaga kelembaban kulit

dapat mengurangi gejala dengan sangat baik. Hal ini menjaga hidrasi

kulit sehingga meningkatkan fungsi perlindungan dari stratum korneum

pada epidermis dan mengurangi kebutuhan kortikosteroid topikal.

Pemilihan emolien dapat berupa lotion, krim, atau salep. Dipilih

emolien yang tidak mengandung pengawet, pelarut, dan parfum karena

bisa menimbulkan iritasi. Terapi topikal untuk menggantikan lapisan

lemak abnormal pada epidermis, meningkatkan hidrasi kulit, dan

23

Page 24: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

memperbaiki fungsi perlindungan pada kulit dapat berguna. Beberapa

studi membuktikan manfaat terapi topikal dengan bahan aktif lipid dan

ceramides, begitu juga dengan krim nonsteroid mengantung palmitamid

MEA, sebuah asam lemak esensial, dan krim hidrolipid dengan

glycyrrhetinic acid . Pemberian emolien juga meningkatkan penetrasi

transepidermal dari kortikosteroid topikal.

ii. Kortikosteroid topikal: merupakan ujung tombak untuk pengobatan

dermatitis atopik. Namun efek samping yang dapat timbul menyebabkan

terapi ini diberikan untuk meredakan keadaan eksaserbasi akut dari DA.

Namun penelitian terbaru menemukan bahwa penggunaan fluticasone

topikal pada daerah DA atau rentan DA 2 kali seminggu dapat mencegah

kekambuhan DA setelah sebelumnya eksaserbasi akut diredakan dengan

kortikosteroid topikal harian.

Pasien diberikan pengarahan yang jelas mengenai cara pemakaian

kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal digunakan pada daerah

sakit sedangkan emolien digunakan pada daerah yang tidak

terkena.Kemudian kortikosteroid sangat poten jangan digunakan untuk

area wajah, genital ataupun sela jari. Pada daerah ini digunakan

kortikosteroid potensi rendah. Apabila diberikan kortikosteroid dengan

potensi sangat tinggi, penggunaan hanya untuk jangka sangat pendek

pada area yang mengalami likenifikasi di luar area wajah dan intertrigo.

Sasaran terapi adalah menggunakan emolien untuk meningkatkan hidrasi

kulit dan kortikosteroid potensi rendah untuk terapi rumatan.

Kortikosteroid potensi sedang dapat digunakan untuk waktu yang lebih

panjang untuk DA kronik meliputi batang tubuh dan ekstremitas.

Faktor yang mempengaruhi potensi dan efek samping dari

kortikosteroid adalah struktur molekuler dan keaktifan kortikosteroid,

vehikulum, banyak obat diberikan, durasi aplikasi, terapi oklusif, juga

faktor pengguna (umur, body surface area, berat badan, inflamasi kulit,

lokasi anatomis, dan perbedaan individual dari metabolisme obat). Efek

24

Page 25: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

samping topikal dapat berupa atrofi, striae, dermatitis perioral,

telangiektasis dan erupsi akneiformis. Efek samping sistemik dapat

berupa supresi adrenal berisiko timbul pada bayi dan anak-anak.

iii. Inhibitor kalsineurin topikal: takrolimus dan pimekrolimus dapat

digunakan sebagai imunomodulator nonsteroid. Salep takrolimus 0,03%

sudah disetujui untuk pengobatan DA sedang-berat secara intermiten

pada anak berusia > 2 tahun. Pada orang dewasa digunakan takrolimus

0,1%. Pimekrolimus 1% disetujui sebagai pengobatan DA ringan-sedang

pada pasien anak usia > 2 tahun. Kedua obat aman digunakan sampai 4

tahun untuk takrolimus dan 2 tahun untuk pimekrolimus. Keamanaan

jangka panjang belum dibuktikan. Efek samping yang dapat timbul

berupa sensasi terbakar. Keunggulan inhibitor kalsineurin topikal adalah

tidak menimbulkan atrofi kulit sehingga berguna untuk digunakan pada

area wajah dan intertrigo. Kasus malignansi kulit dan limfoma

dilaporkan dengan penggunaan takrolimus walaupun belum terbukti

secara jelas.

iv. Preparat tar: digunakan sebagai pengganti kortikosteroid untuk terapi

rumatan. Produk tar terbaru lebih dapat diterima dari segi estetika dan

bau. Tar dalam bentuk shampoo baik digunakan untuk dermatitis kulit

kepala dan mengurangi kebutuhan kortikosteroid topikal. Preparast tar

jangan digunakan pada kulit dengan inflamasi akut karena dapat

menimbulkan iritasi. Efek samping berupa folikulitis dan

fotosensitivitas. Terdapat risiko kanker secara teoritis berdasarkan

penelitian observasional dari pekerja yang menggunakan komponen tar

dalam pekerjaannya.

B. Identifikasi dan Eliminasi Faktor Pencetus

a. Pasien dengan DA lebih rentan terhadap iritan dan alergen karena itu

penting untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor pemicu siklus

gatal-garuk. Faktor tersebut termasuk sabun atau detergen, kontak

dengan bahan kimia, asap, baju yang abrasif, dan paparan terhadap suhu

yang terlalu ekstrim dan kelembaban tertentu. Sabun yang dipakai lebih

25

Page 26: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

baik efek menghilangkan lemak yang minimal, dan dengan pH netral.

Pakaian baru lebih baik dicuci terlebih dahulu untuk mengurangi bahan

kimia seperti formaldehid yang berlebih. Detergen sisa pada baju yang

baru dicuci juga lebih baik diminimalisir dengan menggunakan deterjen

cair atau membilas sebanyak 2 kali.

Anak dengan DA harus diusahakan untuk beraktivitas senormal

mungkin. Olahraga seperti berenang lebih dapat ditolerir daripada

olahraga dengan tingkat perspirasi yang lebih tinggi, kontak fisik erat,

dan pakaian yang berat dan tebal. Klorin sisa berenang secepatnya

dibilas. Penggunaan tabir surya lebih baik digunakan untuk mencegah

terbakar matahari namun dipilih yang tidak iritan.

Alergen spesifik seperti kutu, debu, bulu binatang, jamur, dan

serbuk sari bisa memicu eksaserbasi DA. Alergen spesifik bisa

ditentukan dari riwayat dan tes skin-prick atau tes IgE serum yang

spesifik. Menjaga kebersihan kamar, tempat tidur dengan membersihka

seminggu sekali, dan mengurangi kelembaban kamar dengan AC dapat

membantu. Pada bayi dan anak-anak lebih sering ditemukan alergi

makanan sedangkan anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih sensitif

terhadap aeroallergen.

Pengaruh keadaan emosional juga dapat mengeksaserbasi DA.

Pasien dengan DA dapat merespon frustasi, rasa malu, dan kejadian

penuh stres lain dengan menggaruk karena terasa lebih gatal. Evaluasi

psikologis dan psikoterapi penting untuk pasien dapat menyalurkan

kebiasaan menggaruk ke hal yang lebih positif.

Faktor pencetus dapat juga berupa agen infeksi seperti infeksi S.

Aureus, virus herpes simpleks, ataupun jamur dermatofita. Terapi agen-

agen infeksius ini diperlukan jika terlihat adanya kolonisasi pada pasien

atau dibuktikan dengan pemeriksaan lanjutan seperti IgE spesifik.

C. Terapi Sistemik

a. Kortikosteroid sistemik: penggunaannya seperti prednisone oral jarang

diindikasikan untuk DA kronis. Beberapa pasien dan dokter

26

Page 27: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

menggunakannya untuk menghindari terapi topikal hidrasi dan

kortikosteroid topikal yang memakan waktu. Namun respon terhadap

terapi ini, DA akan berkurang secara dramatis, namun seringkali akan

timbul flare DA yang parah saat berhenti mengkonsumsi kortikosteroid.

Penggunaannya mungkin diperlukan untuk eksaserbasi akut DA beserta

terapi konvensional lainnya. Dalam penggunaannya, dosis kortikosteroid

lebih baik dititrasi secara perlahan disertai kortikosteroid topikal dan

emolien untuk mencegah rebound flaring dari DA.

b. Siklosporin: merupakan imunosupresan poten yang bekerja pada sel T

untuk mengurangi produksi sitokin. Penelitian menunjukkan pada anak

dan orang dewasa dengan DA yang parah dan refrakter terhadap

pengobatan lain akan mendapat keuntungan dari siklosporin jangka

pendek.

c. Antihistamin: antihistamin berperan untuk mengurangi gatal yang dipicu

histamin dengan menghambat reseptor H1 pada dermis. Histamin hanya

salah satu mediator yang bisa menimbulkan gatal pada kulit sehingga

kadang bisa tidak efektif untuk terapi gatal yang tidak dimediasi

histamin. Beberapa antihistamin mempunyai efek anxiolitik yang dapat

meringankan gejala melalui efek sedatif dan penenang. Studi

antihistamin non sedatif mempunyai hasil bervariasi pada gatal di DA,

namun keuntungan jelas sudah dibuktikan pada DA yang bersamaan

dengan urtikaria dan rhinitis alergika.

DAFTAR PUSTAKA

1.Habif TP. Clinical Dermatology: A Color Guide To Diagnosis And Therapy Ed-5. Elsevier.

China: 2010.

2. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ Disease of The Skin: Clinical Dermatology

Ed-10. Elsevier. Canada : 2006.

3. Sohn A, Frankel A, Patel RV, Goldenberg G. Eczema. Mount Sinai Journal of Medicine. Pp.

730-739. Wiley Online Library : 2011.

27

Page 28: Refleksi Kasus Andre Dermatitis Atopik

4. Sularsito SA, Djuanda S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed-6. Badan Penerbit FKUI.

Jakarta : 2010.

5. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine Ed-7. Mc-Graw Hill. United States : 2008.

28