refleksi filsafat hukum jumat
TRANSCRIPT
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 1/19
REFLEKSI FILSAFAT HUKUM; MENILIK ORIENTASI NILAI KEADILANSOSIAL
REFLEKSI FILSAFAT HUKUM;MENILIK ORIENTASI NILAI KEADILAN SOSIAL[1]
A. Pendahuluan
Banyak pertanyaan mengapa wajah peradaban saat ini makin kejam, perlahan tapi pasti
sinar keadilan semakin meredup tanpa memberikan pencahayaan yang berarti, dan pada saat itu
kita masih belum terpanggil, walaupun dunia ini semakin sempit dengan tidak memberikan
ruang dan harapan bagi keadilan. Lantas jika untuk mencapai keadilan mengalami jalan buntu;
apakah masih wajar untuk menebar asa? Pertanyaan ini sebenarnya bukan wujud
ketidakpercayaan pada makna keadilan, akan tetapi potret kehidupan saat ini menggambarkan
betapa buruknya komitmen keadilan sosial dalam mewujudkan cita-cita bersama, yaitu cita-cita
dalam mencapai kebahagiaan dan kebaikan bersama yang diwujudkan tanpa harus menerobos
tatanan keadilan sosial masyarakat.
Penelusuran mengenai keadilan tentu tidak akan terlepas dari dialektika hukum dalam
dimensi sosial. Kemandegan hukum secara langsung akan menggeser kaidah normatif dan nilai-
nilai kepatutan masyarakat. Mengambil tema refleksi mengenai filsafat hukum mengesankan
akan adanya suatu uraian kefilsafatan yang sedemikian abstrak, akan tetapi harapan tulisan ini pada akhirnya memberikan manifestasi keseimbangan penceritaan kembali terhadap titik
pertemuan antara penyelidikan filsafat hukum mengenai konsep atau sifat hukum, masalah
tujuan atau cita-cita hukum dan pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.[3]
Artinya positif dan negatif dalam menilik orientasi nilai keadilan sosial ditanggapi secara
seimbang, tidak sekedar dengan ekspresi subyektif dan cenderung berat sebelah. Refleksi ini
dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum.
Misalnya yang disebut patologi hukum, hal ini sesuatu yang tabu sifatnya dalam pembicaraan
hukum yang positivistik. Misalnya, aktualisasi antinomi nilai-nilai dalam hukum; seperti nilai
kepastian dan keadilan, individualisme dan kolektivisme, serta kebebasan dan ketertiban.
Persoalan inilah yang selalu menjadi dialektika perkembangan keadilan sosial. Karena secara
wajar aktualisasi antinomi tersebut seakan memberikan jarak yang tak mungkin dapat bertemu
dalam menggapai hukum yang berkeadilan sosial.
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 2/19
Jika membahas perihal refleksi filsafat hukum, secara fundamental yang sangat perlu
untuk diuraikan terlebih dahulu ialah perihal nilai. Nilai disini dilakukan untuk lebih memahami
dan mendalami hakikat suatu persoalan hukum secara konseptual. Seyogyanya persoalan itu
dipahami secara komprehensif dengan melakukan perenungan, pengujian, serta pengajuan kritik
dan penilaian secara teratur dan sistematis. Idealnya hukum hadir ditengah-tengah masyarakat
tidak untuk dirinya sendiri, melainkan menjamin keutuhan sosial masyarakat. Sehingga tema
besar dari hadirnya hukum secara filsofis adalah bagian dari kebutuhan dan komitmen bersama
akan nilai keadilan sosial.
Ketika berangkat dari asumsi keadilan sosial menjadi nilai objektif yang harus dipenuhi,
tentunya hal ini tidak begitu saja akan berjalan mulus sesuai dengan perspektif cita-cita hukum
suatu bangsa. Karena nilai tersebut akan berhadap hadapan dengan sesuatu yang tidak lunak
dalam mewujudkannya. Terlebih lagi secara objektif, sesuatu dianggap mempunyai arti nilai jikaterpenuhinya faktor atau unsur utility (manfaat) dan importance (kepentingan), dan secara
subjektif apabila terpenuhinya faktor need (kebutuhan) dan estimation (perkiraan).[4]
Dengan demikian, hasil perasan dari refleksi filsafat hukum nantinya akan lebih menilik
orientasi nilai keadilan yang menyangkut pandangan hidup manusia. Karena dalam nilai keadilan
yang menyangkut pandangan hidup manusia itulah akan terpenuhi sekaligus unsur-unsur
subtansial maupun formal dari cita-cita hukum yang berkeadilan sosial. Oleh sebab itu, nilai nilai
yang akan dibahas adalah nilai yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar secara objektif.
B. Pandangan Filsafat Terhadap Hukum
Filsafat hukum merupakan bagian penelusuran kebenaran yang tersaji dalam ruang
lingkup filsafat. Filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang hanya dapat merasa
puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berfikir itu sendiri. Filsafat tidak membatasi
diri hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal, psikhikal atau kerohanian saja. Ia juga tidak hanya
mempertanyakan “mengapa” dan “bagaimana”-nya gejala-gejala ini, melainkan juga landasan
dari gejala-gejala itu yang lebih dalam, ciri-ciri khas dan hakikat mereka. Ia berupaya merefleksi
hubungan teoritikal, yang di dalamnya gejala-gejala tersebut dimengerti atau dipikirkan.[5]
Dalam hal itu, maka filsafat tidak akan pernah terlalu lekas puas dengan suatu jawaban.
Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan atau dibuat dapat dipahami secara rasional. Karena
bagaimanapun filsafat adalah kegiatan berfikir, artinya dalam suatu hubungan dialogikal dengan
yang lain ia berupaya merumuskan argumen-argumen untuk memperoleh pengkajian. Berikutnya
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 3/19
filsafat menurut hakikatnya bersifat terbuka dan toleran. Filsafat bukanlah kepercayaan atau
dogmatika, jika ia tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara kaku berpegangan pada
pemahaman yang sekali telah diperoleh, tidak heran ketika kefilsafatan secara praktikal akan
menyebabkan kekakuan.[6]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena fisafat hukum merupakan bagian khusus
dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara
khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum.
Penarikan kesimpulan seperti ini sepertinya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu
filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual
saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.[7]
Sebagai filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian terhadap sifat-
sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagaiobyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal
balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu
filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat
hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah
hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang
disebut hakikat.[8]
Pertanyaan tentang apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat
hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban
yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn,[9] hal tersebut tidak lain
karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat
gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-
perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di
balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak
termasuk dalam dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma
hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.
Refleksi filsafat hukum melandaskan diri pada kenyataan hukum, oleh karena itu ia
merenungkan semua masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala
hukum. Setidaknya refleksi filsafat hukum berangkat dari bidang penyelidikan secara folosofis
yang pada gilirannya dapat menemukan penelusuran terhadap landasan (dasar-dasar) kebenaran.
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 4/19
Maka dengan itu, ada tiga bidang penyelidikan ilmu hukum dalam kajian “filsafat hukum”,
antara lain;[10]
(1) Masalah mengenai konsep atau sifat hukum.Bidang penyelidikan ini mencakup konsep-konsep pokok lainnya yang dianggap adahubungannya secara esensial dengan konsep tentang hukum, misalnya sumber, subyek hukum,kewajiban hukum, kaedah hukum, dan juga sanksi hukum. Bidang penyelidikan yang terutamaini lebih dikenal sebagai mazhab analitis, oleh karena ia bertujuan untuk menganalisa danmemberi definisi kepada konsep-konsep yang disebut di atas. Mazhab analitis dikemukakan olehJohn Austin, yang memiliki ciri formalisme yang metodis. Hukum sebagai dianggapnya sebagaisuatu sistem kaedah-kaedah positif, yaitu kaedah-kaedah yang efektif dalam kenyataannya. Ilmuhukum hanya bertujuan untuk menentukan adanya kaedah-kaedah ini dalam hukum yang berlakulepas dari nilai-nilai etis dan pertimbangan-pertimbangan politis. Demikian juga mazhab analitistidak mempersoalkan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan sosialke dalam mana hukum itu masuk-yaitu faktor-faktor sosial yang menentukan penciptaan hukumdan pertumbuhannya dan akibat-akibat sosial yang dihasilkan atau dimaksud untuk dihasilkanoleh kaedah-kaedah hukum.
(2) Masalah tujuan atau cita-cita hukum.Bidang penyelidikan ini memusatkan perhatiannya kepada prinsip rasional yang memberikankepada hukum “keabsahan-nya” atau “kekuatan mengikatnya” yang khusus, dan merupakankriterium bagi “benarnya” suatu kaedah hukum. Pada umunya cita-cita hukum itu dianggapadalah keadilan. Disinilah muncul pertanyaan-pertanyaan pokok tentang hubungan antarakeadilan dan hukum positif; peranan yang dimainkan oleh prinsip keadilan dalam perundang-undangan, pengadilan dan sebagainya. Aliran hukum semacam ini sering dikenal sebagai ilmuhukum etis atau filsafat hukum alam, aliran pikiran ini yang erat hubungannya dengan pendekatan secara religius atau metafisis-filosofis, mempunyai sejarah panjang. Filsafat hukumalam dimulai sejak sejak filsuf-filsuf Yunani pertama hingga zaman kita sekarang ini. Filsafat inimencapai puncak klasiknya dalam sistem-sistem rasionalitas yang besar dalam abad ketujuh
belas dan kedelapan belas. Sesudah reaksi dari mazhab sejarah dan positivis dalam abadkesembilan belas, filsafat hukum alam telah mendapat pengaruh lagi dalam abad sekarang ini.Dasar filosofisnya pertama-tama dan secara utama adalah filsafat skolastik katolik yangditeruskan dalam hukum alam kaum Thomis; dan berbagai perkembangan dari sistem-sistemKant dan Hegel. Teori-teori mengenai hukum alam telah juga menemukan dasar dalam mazhab-mazhab filsafat lainnya (utilitarianisme, filsafat solidaritas, intuisionisme Bergson,fenomenologisme Husserl dan lain-lain).
(3) Masalah pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.Bidang penyelidikan ini mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan asal usul
historis dan pertumbuhan dari hukum: dengan faktor-faktor sosial yang dalam zaman kitamenentukan isi variabel dari hukum; dengan bergantungnya hukum dan pengaruh terhadapekonomi dan kesadaran hukum rakyat; dengan akibat-akibat sosial dari kaedah-kaedah hukum
atau lembaga-lembaga tertentu; dengan kekuasaan pembentuk undang-undang untuk membimbing perkembangan sosial; dengan hubugan antara hukum yang “hidup” dengan hukumteoritis dan kekuatan-kekuatan yang sebenarnya menjadi motif bagi penerapan hukum berlainandengan alasan-alasan rasional dalam setiap putusan.
Pada dasarnya ketiga bidang penyelidikan filsafat hukum ini merupakan suatu metode
untuk mencari kebenaran, yang merupakan prinsip-prinsip fundamental atau mendasar tentang
hakikat hukum tersebut. Kerja filsafat merupakan usaha-usaha untuk menguji prinsip-prinsip
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 5/19
dasar tersebut. Secara epistemologis ada tiga teori tentang kebenaran yakni; the correspondence
theory of truth, the coherence theory of truth, dan pragmatic theory of truth.[11] Ketiga teori ini
mendasarkan pengertian dalam pencarian kebenaran. Jadi tujuan filsafat hukum dan ilmu hukum
berbeda dari tujuan hukum. Hukum itu sendiri bertujuan hendak mencari keadilan, kepastian
hukum, dan ketertiban. Tujuan hukum bersifat etis, yakni bersumber pada kebaikan.
Tiga teori kebenaran yang telah disebut dimuka, dapat diterapkan dalam filsafat hukum,
ilmu hukum, dan teknik hukum. Teori korespondensi memandang bahwa suatu pernyataan
adalah benar bila sesuai atau sebanding dengan kenyataan yang menjadi objeknya, teori ini
sesuai dengan dimensi perilaku hukum dan menjadi bahan kajian sosiologi hukum dan
antropologi hukum. Kemudian teori koherensi berpendapat bahwa suatu pernyataan adalah benar
apabila sesuai dengan pernyataan sebelumnya, dalam pengertian inilah yang menjadi landasan
bahan kajian filsafat hukum. Berbeda dengan teori pragmatik , bahwa suatu pernyataan adalah benar bila berguna bagi kehidupan praktis, yang sesuai dengan bahan kajian teknik hukum secara
praksis.[12]
Teori koherensi mengantarkan kita, sebagaimana berfikir secara kefilsafatan untuk
memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik
tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan
terbuka. Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara
menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara
partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau
menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan refelektifnya, tidak hanya memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya.
Melihat fungsi filsafat hukum lebih jauh; ialah sebagai cara pandang untuk berfikir secara
kreatif dengan menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan
baru. Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga
menunjukkan letak urgensinya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan
berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah
satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar terhadap orientasi keadilan sosial
selama ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan dari agenda refleksi filsafat hukum dalam
bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian
masalah-masalah sosial yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter
yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 6/19
C. Menilik Pertalian Hukum dan Keadilan
Asumsi yang melatarbelakangi pembicaraan topik pada bagian ini ialah bahwa hukum
bisa, atau, sering kali bertentangan dengan nilai keadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan;
bagaimana kaitan antara keduannya, serta dalam kondisi mana hukum sebagai perangkat paling
khas dalam masyarakat modern untuk menciptakan tata kehidupan masyarakat dan
melaksanakan kebijakan dapat dipakai untuk tujuan keadilan sosial.
Meminjam pribahasa latin, berbunyi: fiat justisia et pereat mundus (ruat coelum); yang
artinya; hukum yang berkeadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia harus kiamat (sekalipun
juga langit runtuh karenanya).[13] Pribahasa latin tersebut menyiratkan suatu komitmen yang
sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan di dalam kehidupan bersama. Kehidupan yang
memiliki kehendak kuat untuk menyajikan seperangkat teks keadilan berdasarkan cita-cita
hukum suatu bangsa. Lebih dari itu untuk meletakkan fondasi konseptual keadilan selalu dipaksa
untuk berdaptasi dengan struktur sosial dan karakteristik problem sosialnya. Untuk alasan inilah,
hukum sangat dinamis dalam mewujudkan keadilan sebagai hasil akhir dari nilai yang
diperjuangkan.
Dialektika hukum dan keadilan adalah permasalahan lama akan tetapi selalu menarik
pertalian antar keduanya. Meskipun secara aktual, setiap kali kita dihadapkan dengan sikap kritis
terhadap hukum dan keadilan, namun tidak dapat disangkal bahwa kehidupan bersama tetap
memerlukan hukum dan keadilan itu. Pada dasarnya manusia selalu memerlukan keadilan,kebenaran dan hukum, karena hal itu merupakan nilai dan kebutuhan azasi bagi masyarakat
manusia yang beradab. Keadilan adalah milik dan untuk semua orang serta segenap masyarakat
dan tidak adanya keadilan akan menimbulkan kehancuran dan kekacauan keberadaan serta
eksistensi masyarakat itu sendiri. Bahkan perbedaan sikap dan kebencian terhadap orang lain
tidak boleh mengakibatkan sikap yang tidak adil.
Apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu
berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang keadilan yang
tertuang dalam banyak literatur itu, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik,
dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal hampir
sulit untuk dilakukan.[14]
Namun pada garis besarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas dua arus
pemikiran, yang pertama adalah keadilan metafisik, diungkapkan oleh Plato, kemudian dimensi
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 7/19
keadilan rasional yang diwakili oleh Aristoteles. Keadilan yang rasional pada dasarnya mencoba
menjawab prihal keadilan dengan cara menjelaskannya secara ilmiah. Sementara keadilan yang
metafisik, mempercayai eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu fungsi di atas dan
di luar makhluk hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia
berakal.[15]
Pemetaan dua arus pemikiran keadilan tadi, dalam kaitannya dengan transformasi sosial
Karl Marx mengenai pemetaan kelas sosial. Marx memandang masyarakat sebagai suatu
keseluruhan yang antagonistis. Dalam pandangan marx watak dasar yang antagonistis ini
ditentukan oleh hubungan konflik antar kelas-kelas sosial yang kepentingan-kepentingannya
saling bertentangan dan tak dapat diuraikan karena perbedaan kedudukan mereka di dalam
tatanan ekonomi.[16] Pertentangan kelas yang kemudian menimbulkan konflik sosial merupakan
bagian penjelasan marx mengenai dinamika keadilan pada zaman itu. Bagaimana kelas pekerjadalam masyarakat kapitalis modern; tidak pernah diperhitungkan pada taraf kelas sosial yang
sama, sehingga kedudukan mereka terkucilkan dari kelas sosial di atasnya. Oleh karena itulah
ketimpangan keadilan ini dapat dilihat dengan rasionalisasi yang dilakukan oleh marx.
Mengetengahkan tentang sifat relatifitas hukum dan keadilan sebagaimana dikemukakan
oleh Kusumohamidjojo, bahwa oleh karena hukum adalah kenyataan yang melekat pada
manusia yang terus menerus berubah, maka kaidah-kaidah normatif yang menjadi muatan hukum
selalu bersifat relatif, dengan akibat bahwa ketertiban umum serta benang merah keadilan yang
harus dihasilkannya juga selalu bersifat relatif, sehingga terus-menerus menjadi objek
kontemplasi, justru untuk terus menempatkannya dalam konteks yang kontemporer .[17]
Sifat relativitas keadilan yang diungkapkan di atas, merupakan ragam dalam pemberian
makna secara konseptual terhadap nilai keadilan. Jhon Rawls misalnya,[18] teori keadilan sosial
bertujuan memberikan dasar-dasar bagi kerja sama sosial masyarakat bangsa pluralistik modern.
Berbeda dari masyarakat tradisional, mereka berpendapat masyarakat modern tak terelakkan
menjadi masyarakat pluralistik dengan kepentingan dan anutan nilai hidup berbeda-beda, bahkan
mungkin bertentangan. Bagaimanapun pengaturan masyarakat pluralistik modern itu tidak boleh
didasarkan atas suatu anutan nilai hidup tertentu, melainkan harus-lah dikendalikan oleh prinsip
yang menjamin dan mengekspresikan kepentingan bersama. Prinsip itu adalah keadilan sosial.
Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham liberalisme
dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang
mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 8/19
mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang
sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk
memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.[19]
Namun secara umum, unsur-unsur formal dari keadilan yang dikatakan oleh rawls pada
dasarnya harus memenuhi nilai unsur hak dan unsur manfaat. Dengan nilai keadilan yang
demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan manfaat-ditambah bahwa dalam diskursus
hukum, perihal realisasi hukum itu berwujud lahiriah, tanpa mempertanyakan terlebih dahulu
itikad moralnya. Maka nilai keadilan di sini mempunyai aspek empiris juga, di samping aspek
idealnya. Maksudnya adalah diaktualisasikan secara konkret menurut ukuran manfaatnya.[20]
Memang dapat dipahami bahwa cukup sulit untuk dapat mewujudkan kesesuaian antara
idealitas dengan realitas. Bahwa paradoks antara idealitas hukum dengan realitas sosial yang
banyak terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini menilik pertalian hukum dan keadilanmengalami disorientasi. Walaupun keduanya memiliki kausa yang positif bila dapat diwujudkan
dengan benar. Disinilah nilai keadilan berfungsi menentukan secara nyata, dinamika hukum
dalam realitas sosial, dan sebagai konsekuensinya hukum harus dilihat dari ruang sosial yang
lebih luas.
D. Hukum dan Perubahan Sosial
Kita sekarang sudah sampai ke tingkat peradaban manusia sedemikian rupa, dimana
masyarakat sudah ditata secara sangat maju. Maka sekalian pekerjaan hukum juga ditempatkandalam konteks dan bingkai penataan masyarakat yang sudah dilakukan sangat maju dan rasional.
Masyarakat di dunia sudah berubah dari masyarakat yang tradisional menjadi sesuatu yang serba
ditata dan tertata secara lebih rasional. Dengan demikian ia sudah menjadi masyarakat yang sarat
dengan berbagai konstruksi, atau suatu masyarakat yang dikonstruksikan secara rasional. Hukum
menjadi bagian dari konstruksi tersebut, dan dengan demikian bersifat artifisial.
Kenyataan ini menunjukkan, bahwa dalam pembuatan hukum serta penegakan hukum
semua itu tidak terlepas dari perilaku hukum masyarakat. Maka sudah semestinya apa yang
dikatakan oleh Prof Tjip, sebutan akrab dari tokoh sosologi hukum Indonesia yang mencetuskan
teori hukum progresif dengan gagasan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.
[21] Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka
manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam
skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 9/19
Suatu masyarakat senantiasa mempunyai aspek struktural dan prosedural, oleh karena
masyarakat sekaligus merupakan wadah dan proses kehidupan bersama manusia. Oleh karena itu
lazim dikatakan, bahwa masyarakat terdiri dari aspek yang relatif statis dan dinamis. Aspek yang
relatif statis terwujud dalam struktur sosial, sedangkan aspek dinamisnya terwujud dalam proses
sosial. Kesemuanya itu merupakan unsur-unsur pokok dari suatu sistem kemasyarakatan
(societal-system).[22] Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa hukum dan perubahan sosial
merupakan salah satu bagian dari dinamika sosial atau dinamika masyarakat.
Membaca dinamika hukum dan perubahan sosial hendaknya menempatkan hukum pada
ruang sosial yang lebih luas. Seperti halnya, dalam suasana keterpurukan seperti ini kita
terdorong untuk mengajukan berbagai pertanyaan mendasar; seperti: “kita bernegara hukum
untuk apa?” Hukum itu mengatur masyarakat semata-mata untuk mengatur atau untuk suatu
tujuan yang lebih besar?[23] Dibalik pertanyaan ini terkesan memberikan pendapat bahwahukum hendaknya bisa mendatangkan kebahagiaan bagi yang membutuhkannya.
Sudah tentu pembicaraan mengenai perubahan sosial lebih baik diawali dengan suatu
pembahasan ringkas mengenai konsepnya. Suatu konsep merupakan hasil proses abstraksi yang
dilakukan terhadap gagasan-gagasan atau pengalaman-pengalaman secara empiris. Setiap
masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan di
dalam masyarakat mungkin berkaitan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah pola sikap dan
seterusnya.[24]
Bagaimana hukum menjadi sebuah diskursus dari arus perubahan sosial yang begitu
cepat mengikuti perkembangan jaman. Kita ingat sebagaimana kelompok-kelompok wanita,
warga Bali dan Yogyakarta menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Bagi
mereka RUU APP akan mengakhiri keragaman budaya dan pembunuhan karakter terhadap
individu seniman, khususnya wanita untuk mengatur tubuhnya sendiri. Berbagai penolakan itu
membuktikan telah terjadi pergeseran nilai dalam struktur sosial masyarakat, yang mana hukum
berusaha mereduksi persoalan pornografi dan pornoaksi masuk ke dalam upaya kriminalisasi.
Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa perubahan sosial seketika dapat mendorong
terjadinya perubahan pada lembaga-lembaga sosial yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk
nilai-nilai, sikap-sikap dan pola prilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Seperti
apa yang dikatakan oleh Van Doorn;[25] hukum adalah skema yang dibuat untuk menata
(prilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 10/19
diperuntukkan baginya, ini disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang
mempengaruhi dan membentuk prilakunya.
Interaksi antara hukum dan masyarakat dipertajam oleh kehadiran hukum modern yang
segala sudut pandangnya dialogis terhadap prinsip rasionalitas. Artinya hukum hanya berdaya-
guna bila memiliki kebenaran rasional, sebuah kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan
berdasarkan prinsip-prinsip logis-kritis. Rasionalitas itu memaksa hukum menjamin kepastian
demi terwujudnya keadilan. Persoalannya keadilan yang dimaksud ialah keadilan hukum,
sebagai ranah dari penjelmaan doktrin positivisme hukum. Keadilan hukum semata-mata hanya
akan menjalankan hukum secara praktikal sesuai dengan prosedur hukum demi terwujudnya nilai
kepastian hukum.
Pemahaman tentang hukum seperti demikian itu berimbas pula pada pemahaman antara
keterkaitan hukum dan kepastian hukum menjadi relatif. Hukum tidak serta merta menciptakankepastian hukum. Yang benar adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti
adanya peraturan seperti undang-undang.[26] Lebih jauh Charles Sampford melakukan kritik
terhadap ajaran dari postivisme hukum yang melihat sisi hukum hanya pada ranah kepastian
hukum saja, ia mengatakan; hukum itu penuh dengan ketidakteraturan (the disorder of law).[27]
Kalau para ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu harus dijalankan dengan penuh kepastian
dan keteraturan, maka itu sebetulnya bertolak dari kepentingan profesi yang mereka lakoni pada
waktu itu saja, dan bukan hal yang sebenarnya.
Sebab bagaimana ahli hukum bisa bekerja dengan tenang, kalau hukum yang mereka
gunakan itu banyak mengandung ketidakpastian. Dengan demikian, menurut Sampford,
kepastian hukum itu lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang
sebenarnya.[28] Ternyata peraturan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya
kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dan prilaku.
Akhir dari itu semua, bahwa hukum merupakan ekspresi dari kehendak sosial
masyarakat, ia akan selalu fluktuatif berdasarkan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan prilaku
sosial masyarakat. Keadilan sosial akan menjadi pintu terakhir dari cita-cita hukum setiap
bangsa, atau rumusan yang lebih konkret adalah yang dikatakan oleh Gustav Radbruch; yaitu
hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.[29] Sisanya hanya adil untuk siapa? dan untuk
apa?. Hal inilah yang menjadi pokok bahasan pada bagian selanjutnya, yaitu; refleksi filsafat
hukum dalam menuai catatan akhir mencari reposisi keadilan sesungguhnya.
E. Refleksi Filsafat Hukum; Sebuah Catatan Akhir Menuju Keadilan Progresif
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 11/19
Seperti apa yang telah di bahas pada bagian sebelumnya, bahwa refleksi filsafat hukum
pada akhirnya memberikan manifestasi keseimbangan penceritaan kembali terhadap titik
pertemuan antara penyelidikan filsafat hukum mengenai konsep atau sifat hukum, masalah
tujuan atau cita-cita hukum dan pola antarpengaruh hukum dan masyarakat. Artinya positif dan
negatif dalam menilik orientasi nilai keadilan sosial ditanggapi secara seimbang, tidak sekedar
dengan ekspresi subyektif dan cenderung berat sebelah.
Refleksi filsafat hukum dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang
ada dalam penerapan hukum. Fokus kerjanya ialah refleksi secara sistematikal tentang
“kenyataan” dari hukum. Kenyataan hukum harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dari
ide-hukum (cita-hukum).[30] Dalil yang dikatakan oleh Gustav Radbruch; bahwa ia
menjabarkan ide-hukum dikemas melalui tiga aspek, yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan. pertautan antara ketiganya itu sangat dinamis. Menurutnya; tidak dapat ditentukan asasmana yang harus diutamakan, karena yang paling bisa menentukan ialah kekusaan kehendak dari
pembuat undang-undang: positivitas dari hukum pada akhirnya tergantung pada keputusannya.
Akan tetapi dibalik kenyataan itu, nilai kebenaran ialah suatu keniscayaan menuju jalan
terang keadilan. Hanya kemudian prevensi nilai kebenaran akan sangat tergantung sekali
terhadap faktor kepentingan dan kebutuhan. Fakta tersebut memperlihatkan betapa sulitnya
dalam menentukan sikap adil. Keadilan merupakan sasaran utama dari hukum, maka penegakan
hukum haruslah diarahkan, antara lain agar tercapai keadilan, baik bagi individu maupun
keadilan bagi masyarakat, yang dikenal dengan istilah keadilan sosial. Keadilan mestilah
merupakan faktor penting bagi adanya justifikasi terhadap suatu penegakan hukum, karena
penegakan hukum merupakan perwujudan “kenyataan hukum” yaitu; cita-cita hukum bangsa.
Dalam praktek hukum di Indonesia, seringkali para penegak hukum telah menjalankan
tugasnya sesuai dengan aturan main yang ada, dalam artian aturan main yang formal. Terhadap
kasus tindak pidana korupsi misalnya, sesuai hukum yang berlaku, jaksa sudah melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke pengadilan. Pengacara sudah menjalankan
fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak tersangka. Dan hakim sudah mendengar
kedua belah pihak, sehingga dikeluarkanlah putusan pengadilan. Semua aturan hukum yang
relevan sudah dipertimbangkan dan diterapkan. Serta semua formalitas dan tata cara yuridis
sudah diikuti.
Persoalannya, mengapa terhadap penegakan hukum yang demikian masih saja banyak
masyarakat yang tidak puas, dan masih saja dikatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 12/19
ditenggarai sangat rendah dan sudah mencapai titik nadir. Inilah masalahnya, yakni tidak
terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat. Mimbar pengadilan telah terisolasi
dengan pemahaman makna kepastian hukum saja, tanpa mau membuka diri dan menggali nilai-
nilai keadilan yang ada di masyarakat.
Sampailah kita pada pembicaraan bahwa refleksi filsafat hukum yang memfokuskan diri
pada cita-cita hukum yaitu bagaimana mencapai keadilan subtantif, pada kenyataanya makna
keadilan saat ini telah terkikis oleh paradigma yang sangat kaku, hanya melihat sisi keadilan
pada ejaan pasal-perpasal dalam mewujudkan keadilan prosedural. Apa yang akan penulis
ketengahkan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru, berangkat dari pemahaman gagasan
brillian Satjipto Rahardjo[31] yaitu; paradigma hukum progresif yang mana lahir sebagai
oposisi keilmuan terhadap paham postivisme hukum.
Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan
cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia”. Progresif berasal dari kata progress
yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu
menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani
kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia
penegak hukum itu sendiri.[32]
Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan
sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif
adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif
yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik
tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap
kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses
pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya
kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan
sifat formalitasnya yang melekat.[33]
Dalam kaitannya dengan mencari alternatif nilai keadilan di tengah-tengah rapuhnya
penegakan hukum Indonesia saat ini, sebagai catatan akhir penulis menuju keadilan progresif
yang pada aktualisasinya selalu percaya diri dengan prinsip-prinsip kebenaran. Keadilan
progresif akan selalu mencerminkan diri pada kenyataan hukum di masyarakat. Setidaknya
keadilan progresif ini secara konseptual harus berdiri atas tiga varian pokok, yaitu; pertama,
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 13/19
menempatkan diri sebagai kekuatan “ pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara
berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-dogmatis, analitis-positivistik. Sekalian dengan
ciri pembebasan itu, keadilan progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”.
Kemudian yang kedua, didasarkan pada “logika kepatutan sosial ” dan tidak semata-mata
berdasarkan pada logika peraturan. Sehingga dalam hal ini keadilan progresif dapat menjunjung
tinggi moralitas. Hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali
aktivitas perjuangan itu. Dan yang ketiga, paling utama keadilan progresif banyak bertumpu pada
kualitas dan kemampuan sumberdaya manusia penegak hukumnya. Faktor modalitas menjadi
amat penting, seperti: empati, “kejujuran dan keberanian”. Faktor-faktor itulah yang harus
dikedepankan daripada sekedar menjalankan peraturan secara mekanistis-linier. Dalam kualitas
yang demikian itu, maka keadilan progresif akan selalu gelisah melakukan pencarian dan
pembebasan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena memang hakikat dari keadilan progresif;yaitu mencari kebenaran hakiki.
F. Simpulan
Refleksi filsafat hukum dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang
ada dalam penerapan hukum. Fokus kerjanya ialah refleksi secara sistematikal tentang
“kenyataan” dari hukum. Kenyataan yang berbasis cita-cita hukum adalah berangkat dari sisi
keadilan pada realitas sosial yang lebih luas. Setidaknya kenyataan hukum, dapat di
konstruksikan melalui ranah hukum progresif dengan gagasan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah
untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa
masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sehingga tak heran ketika manusia
itu untuk hukum, keluarannya mesti keadilan prosedural. Berbeda ketika hukum adalah untuk
manusia, ia membentuk skema hukum berdasarkan kebutuhan dan hanya untuk melayani
kepentingan manusia, disitulah terdapat keadilan progresif. Keadilan yang mana dapat menjawab
stagnasi supremasi hukum kita saat ini.
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 14/19
DAFTAR PUSTAKA
A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial “Buku Teks
Sosiologi Hukum Ke I”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, Kreasi Total Media,Yogyakarta, 2008.
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000.
Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat
Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil , Grassindo, Jakarta, 1999.
Bur Susanto, Keadilan Sosial “Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas” , Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2005.
Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, 2007.
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.
______________, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006.
______________, Membedah Hukum Progresif , Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007.
______________, Biarkan Hukum Mengalir , Buku Kompas, Jakarta, 2007.
S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986.
Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1988.
Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat , Mandar Maju, Bandung, 1998.
Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 15/19
[1] Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Hukum, yang diampu oleh
Bpk Salman Luthon, S.H. M.Hum, pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII,Yogyakarta.
[2] Penulis adalh mahasisiwa progam pasca sarjana ilmu hokum UII
[3] S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986, hal 13-15.[4] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 20.[5] Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat
Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal 1. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hal 1. Kata filsafat atau falsafat berasal dari kata Arab “ falsafah” yangditurunkan dari kata Yunani “ philosophia” yang merupakan kata gabungan dari kata philein yang berarti mencintaiatau philia yang berarti cinta dan kata shopia yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, kata philosophia,
filsafah, falsafat, berarti mencintai atau cinta kepada kebijaksanaa. Orang yang mencintai kebijaksanaan disebut philosophos yang dalam bahasa Arab disebut “ failasuf’ (jamaknya: filasifah) dan dalam bahasa Indonesia disebut“ filosuf”.
[6] Ibid.
[7] Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat , Mandar Maju, Bandung, 1998,hal 18.
[8] Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal 10-11.
[9] Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal 439.
[10] S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum…Op.,Cit, hal 13-15.[11] Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal 16.[12] Ibid.[13] Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, Kreasi Total Media,
Yogyakarta, 2008, hal 87.[14] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal 96.
[15] Ibid.
[16]A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial “Buku Teks Sosiologi Hukum Ke I”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hal 146.
[17] Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil , Grassindo, Jakarta, 1999, hal 222.
[18] Bur Susanto, Keadilan Sosial “Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas”, Gramedia PustakaUtama, Jakarta, 2005, hal 19-20.
[19] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal 99.
[20] Ibid.
[21] Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006, hal 151. Sejak hukumitu diadakan tidak untuk diri dan kepentingan sendiri, melainkan untuk bekerja dalam masyarakat, maka hukumsebagai konstruksi dihadapkan kepada lingkungan yang alami. Sebuah konstruksi harus bekerja dalam lingkunganyang alami. Keadaan ini menimbulkan banyak persoalan dan komplikasi. Hukum tidak selalu berhasil dengan baik untuk memproyeksikan “keinginannya” ke dalam masyarakat. Secara padat bisa daikatakan, bahwa “hukum bekerjadan tertanam dalam sebuah matriks sosio-kultural. Ibid hal 142.
[22] Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum , Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal 49.
[23] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif , Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 9.
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 16/19
[24] Soerjono Soekanto, Pendekatan..Op.,Cit, hal 52.
[25] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal 4.[26] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir , Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 78.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal xviii
[30] Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan..Op.,Cit, hal 19.[31] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di
Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.[32] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal ix.
[33] Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta,2003, hlm 22-25.
Diposkan oleh suara jiwa di 23:12
Label: Hukum
0 komentar:
Poskan Komentar
:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x(
:-t b-( :-L x( :-p =))
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Facebook Share
komen facebook
pengunjung blog
Website Hit Counter
Label• Hukum (10)
• kumpulan cerpen (4)
• Novel loe gue pret (3)
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 17/19
• Seputar politik dunia (3)
• belajar sastra (3)
• lomba cerpen dan novel terbaru (2)
komentarnya dibawah sini !!!
Get the Realtime Comments widget and many other great free widgets at Widgetbox! Not seeinga widget? (More info)
WAKTUGet the welcome-clock widget and many other great free widgets at Widgetbox! Not seeing a
widget? (More info)
Recent Posts
Blog Archive• ▼ 2011 (36)
○ ▼ November (34)
NOvel "loe ,gue , prett!! (bagian 3)
Novel "Loe ,gue , prett!!" (bagian 2)
Novel "Loe ,gue , prett!! (Bagian 1)
LOMBA MENULIS CERPEN “Spirit Persaudaraan dan Mult...
IKUTILAH LOMBA MENULIS CERITA PENDEK ISLAMI (LMCPI...
Doktrin Dunia Tak Berdaya
HUKUM ISLAM DAN TRANSFORMASI SOSIAL MASYARAKATJAH...
WANITA DAN PEREMPUAN INDONESIA Kedudukan dan Peran... HUKUM KEMENANGAN
PALESTINA DALAM CENGKERAMAN ISRAEL
Kahlil Gibran: gaya bahasa, petualangan cinta & ” S...
KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM NEGARA DAN HUKUMISLA...
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 18/19
KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM NEGARA DAN HUKUMISLA...
`KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM NEGARA DAN HUKUMISL...
KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM NEGARA DAN HUKUM
ISLA...
REFLEKSI FILSAFAT HUKUM; MENILIK ORIENTASI NILAI ...
Hukum Perdata Indonesia
Renungan Indah - W.S. Rendra
DOA SEORANG PEMUDA RANGKAS BITUNG Dl ROTTERDAM
Hantu-hantu yang Malang
oleh-oleh umrah (cerpen)
Menu Makan Malam
Unsur-unsur Intrinsik Cerpen KONSPIRASI MUSUH ISLAM
Sejarah Hukum di Indonesia
SEJARAH POLITIK UMAT ISLAM INDONESIA
bailout century
dia
semuaitu
untunglah ada tuhan
teman terbaikku hampir mati
mau padaku
tahap tak bergeming
tuduh menuduh
○ ► Oktober (2)
Seusai hati
TETAPLAH SAMPAH BERMUARA DISENAYAN
Daftar Blog Saya•
tarian pena
NOvel "loe ,gue , prett!! ( bagian 3) - *aBAB III* *Jangan Asal Nuduh Setan* *Openrecruitment anggotabaru Pret-I Girl* *Loe ngerasa cewek seksi?Punya bakat kentut yanggak biasa? Ayo gabung di ...
5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 19/19
2 bulan yang lalu
•
badrunche
berharap dirimu- dulu citaku ingin dirimu agar menyentuh kedalam nuansa kalbuku yang jenuh akan kesendirian dulu diriku menyapamu tanpa kata dan disimpan lalu dirasahingga...
3 bulan yang lalu
memberblog