refleksi filsafat hukum jumat

19
 REFLEKSI FILSAFAT HUKUM; MENILIK ORIENTASI NILAI KEADILAN SOSIAL REFLEKSI FILSAFAT HUKUM; MENILIK ORIENTASI NILAI KEADILAN SOSIAL [1] A. Pendahuluan Banyak pertanyaan mengapa wajah peradaban saat ini makin kejam, perlahan tapi pasti sinar keadilan semakin meredup tanpa memberikan pencahayaan yang berarti, dan pada saat itu kita masih belum terpanggil, walaupun dunia ini semakin sempit dengan tidak memberikan ruang dan harapan bagi keadilan. Lantas jika untuk mencapai keadilan mengalami jalan buntu; apakah ma sih wa ja r untu k me ne bar as a? Pe rt anya an ini sebenarnya bukan wujud ketid akperca yaan pada makna keadilan, akan tetap i potret kehidupa n saat ini mengga mbark an  betapa buruknya komitmen keadilan sosial dalam mewujudkan cita-cita bersama, yaitu cita-cita dalam mencapai kebahagiaan dan kebaikan bersama yang diwujudkan tanpa harus menerobos tatanan keadilan sosial masyarakat. Penel usuran mengenai keadila n tentu tidak akan terl epas dari diale ktika hukum dalam dimensi sosial. Kemandegan hukum secara langsung akan menggeser kaidah normatif dan nilai- nilai kepatutan masyarakat. Mengambil tema refleksi mengenai filsafat hukum mengesankan akan adanya suatu uraian kefilsafatan yang sedemikian abstrak, akan tetapi harapan tulisan ini  pa da akhirn ya member ika n man ife sta si kes eimbang an penc eri taa n kembal i ter hadap tit ik  pe rtemuan ant ara penyelidikan fil safat huku m mengenai kons ep ata u sif at hukum, mas alah tujuan atau cita-cita hukum dan pola antarpengaruh hukum dan masyarakat. [3] Artinya positif dan negatif dalam menilik orientasi nilai keadilan sosial ditanggapi secara seimbang, tidak sekedar dengan ekspresi subyektif dan cenderung berat sebelah. Refleksi ini dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum. Misalnya yang disebut patologi hukum, hal ini sesuatu yang tabu sifatnya dalam pembicaraan hukum yang positivistik. Misalnya, aktualisasi antinomi nilai-nilai dalam hukum; seperti nilai kepastian dan kea dilan, ind ivi dual isme dan kolektivisme, serta kebebas an dan ket ertiban. Persoalan inilah yang selalu menjadi dialektika perkembangan keadilan sosial. Karena secara wajar aktualisasi antinomi tersebut seakan memberikan jarak yang tak mungkin dapat bertemu dalam menggapai hukum yang berkeadilan sosial.

Upload: akatsuki-beta

Post on 15-Jul-2015

93 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 1/19

REFLEKSI FILSAFAT HUKUM; MENILIK ORIENTASI NILAI KEADILANSOSIAL

REFLEKSI FILSAFAT HUKUM;MENILIK ORIENTASI NILAI KEADILAN SOSIAL[1]

A.  Pendahuluan

Banyak pertanyaan mengapa wajah peradaban saat ini makin kejam, perlahan tapi pasti

sinar keadilan semakin meredup tanpa memberikan pencahayaan yang berarti, dan pada saat itu

kita masih belum terpanggil, walaupun dunia ini semakin sempit dengan tidak memberikan

ruang dan harapan bagi keadilan. Lantas jika untuk mencapai keadilan mengalami jalan buntu;

apakah masih wajar untuk menebar asa? Pertanyaan ini sebenarnya bukan wujud

ketidakpercayaan pada makna keadilan, akan tetapi potret kehidupan saat ini menggambarkan

 betapa buruknya komitmen keadilan sosial dalam mewujudkan cita-cita bersama, yaitu cita-cita

dalam mencapai kebahagiaan dan kebaikan bersama yang diwujudkan tanpa harus menerobos

tatanan keadilan sosial masyarakat.

Penelusuran mengenai keadilan tentu tidak akan terlepas dari dialektika hukum dalam

dimensi sosial. Kemandegan hukum secara langsung akan menggeser kaidah normatif dan nilai-

nilai kepatutan masyarakat. Mengambil tema refleksi mengenai filsafat hukum mengesankan

akan adanya suatu uraian kefilsafatan yang sedemikian abstrak, akan tetapi harapan tulisan ini  pada akhirnya memberikan manifestasi keseimbangan penceritaan kembali terhadap titik 

 pertemuan antara penyelidikan filsafat hukum mengenai konsep atau sifat hukum, masalah

tujuan atau cita-cita hukum dan pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.[3] 

Artinya positif dan negatif dalam menilik orientasi nilai keadilan sosial ditanggapi secara

seimbang, tidak sekedar dengan ekspresi subyektif dan cenderung berat sebelah. Refleksi ini

dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum.

Misalnya yang disebut patologi hukum, hal ini sesuatu yang tabu sifatnya dalam pembicaraan

hukum yang positivistik. Misalnya, aktualisasi antinomi nilai-nilai dalam hukum; seperti nilai

kepastian dan keadilan, individualisme dan kolektivisme, serta kebebasan dan ketertiban.

Persoalan inilah yang selalu menjadi dialektika perkembangan keadilan sosial. Karena secara

wajar aktualisasi antinomi tersebut seakan memberikan jarak yang tak mungkin dapat bertemu

dalam menggapai hukum yang berkeadilan sosial.

Page 2: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 2/19

Jika membahas perihal refleksi filsafat hukum, secara fundamental yang sangat perlu

untuk diuraikan terlebih dahulu ialah perihal nilai. Nilai disini dilakukan untuk lebih memahami

dan mendalami hakikat suatu persoalan hukum secara konseptual. Seyogyanya persoalan itu

dipahami secara komprehensif dengan melakukan perenungan, pengujian, serta pengajuan kritik 

dan penilaian secara teratur dan sistematis. Idealnya hukum hadir ditengah-tengah masyarakat

tidak untuk dirinya sendiri, melainkan menjamin keutuhan sosial masyarakat. Sehingga tema

 besar dari hadirnya hukum secara filsofis adalah bagian dari kebutuhan dan komitmen bersama

akan nilai keadilan sosial.

Ketika berangkat dari asumsi keadilan sosial menjadi nilai objektif yang harus dipenuhi,

tentunya hal ini tidak begitu saja akan berjalan mulus sesuai dengan perspektif cita-cita hukum

suatu bangsa. Karena nilai tersebut akan berhadap hadapan dengan sesuatu yang tidak lunak 

dalam mewujudkannya. Terlebih lagi secara objektif, sesuatu dianggap mempunyai arti nilai jikaterpenuhinya faktor atau unsur  utility (manfaat) dan importance (kepentingan), dan secara

subjektif apabila terpenuhinya faktor need (kebutuhan) dan estimation (perkiraan).[4] 

Dengan demikian, hasil perasan dari refleksi filsafat hukum nantinya akan lebih menilik 

orientasi nilai keadilan yang menyangkut pandangan hidup manusia. Karena dalam nilai keadilan

yang menyangkut pandangan hidup manusia itulah akan terpenuhi sekaligus unsur-unsur 

subtansial maupun formal dari cita-cita hukum yang berkeadilan sosial. Oleh sebab itu, nilai nilai

yang akan dibahas adalah nilai yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar secara objektif.

B.  Pandangan Filsafat Terhadap Hukum

Filsafat hukum merupakan bagian penelusuran kebenaran yang tersaji dalam ruang

lingkup filsafat. Filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang hanya dapat merasa

 puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berfikir itu sendiri. Filsafat tidak membatasi

diri hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal, psikhikal atau kerohanian saja. Ia juga tidak hanya

mempertanyakan “mengapa” dan “bagaimana”-nya gejala-gejala ini, melainkan juga landasan

dari gejala-gejala itu yang lebih dalam, ciri-ciri khas dan hakikat mereka. Ia berupaya merefleksi

hubungan teoritikal, yang di dalamnya gejala-gejala tersebut dimengerti atau dipikirkan.[5] 

Dalam hal itu, maka filsafat tidak akan pernah terlalu lekas puas dengan suatu jawaban.

Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan atau dibuat dapat dipahami secara rasional. Karena

 bagaimanapun filsafat adalah kegiatan berfikir, artinya dalam suatu hubungan dialogikal dengan

yang lain ia berupaya merumuskan argumen-argumen untuk memperoleh pengkajian. Berikutnya

Page 3: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 3/19

filsafat menurut hakikatnya bersifat terbuka dan toleran. Filsafat bukanlah kepercayaan atau

dogmatika, jika ia tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara kaku berpegangan pada

 pemahaman yang sekali telah diperoleh, tidak heran ketika kefilsafatan secara praktikal akan

menyebabkan kekakuan.[6]

Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena fisafat hukum merupakan bagian khusus

dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara

khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum.

Penarikan kesimpulan seperti ini sepertinya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu

filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual

saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.[7] 

Sebagai filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian terhadap sifat-

sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagaiobyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal

 balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu

filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat

hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah

hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang

disebut hakikat.[8]

Pertanyaan tentang apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat

hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban

yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn,[9] hal tersebut tidak lain

karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat

gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-

 perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di

 balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak 

termasuk dalam dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma

hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.

Refleksi filsafat hukum melandaskan diri pada kenyataan hukum, oleh karena itu ia

merenungkan semua masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala

hukum. Setidaknya refleksi filsafat hukum berangkat dari bidang penyelidikan secara folosofis

yang pada gilirannya dapat menemukan penelusuran terhadap landasan (dasar-dasar) kebenaran.

Page 4: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 4/19

Maka dengan itu, ada tiga bidang penyelidikan ilmu hukum dalam kajian “filsafat hukum”,

antara lain;[10]

(1) Masalah mengenai konsep atau sifat hukum.Bidang penyelidikan ini mencakup konsep-konsep pokok lainnya yang dianggap adahubungannya secara esensial dengan konsep tentang hukum, misalnya sumber, subyek hukum,kewajiban hukum, kaedah hukum, dan juga sanksi hukum. Bidang penyelidikan yang terutamaini lebih dikenal sebagai mazhab analitis, oleh karena ia bertujuan untuk menganalisa danmemberi definisi kepada konsep-konsep yang disebut di atas. Mazhab analitis dikemukakan olehJohn Austin, yang memiliki ciri formalisme yang metodis. Hukum sebagai dianggapnya sebagaisuatu sistem kaedah-kaedah positif, yaitu kaedah-kaedah yang efektif dalam kenyataannya. Ilmuhukum hanya bertujuan untuk menentukan adanya kaedah-kaedah ini dalam hukum yang berlakulepas dari nilai-nilai etis dan pertimbangan-pertimbangan politis. Demikian juga mazhab analitistidak mempersoalkan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan sosialke dalam mana hukum itu masuk-yaitu faktor-faktor sosial yang menentukan penciptaan hukumdan pertumbuhannya dan akibat-akibat sosial yang dihasilkan atau dimaksud untuk dihasilkanoleh kaedah-kaedah hukum.

(2) Masalah tujuan atau cita-cita hukum.Bidang penyelidikan ini memusatkan perhatiannya kepada prinsip rasional yang memberikankepada hukum “keabsahan-nya” atau “kekuatan mengikatnya” yang khusus, dan merupakankriterium bagi “benarnya” suatu kaedah hukum. Pada umunya cita-cita hukum itu dianggapadalah keadilan. Disinilah muncul pertanyaan-pertanyaan pokok tentang hubungan antarakeadilan dan hukum positif; peranan yang dimainkan oleh prinsip keadilan dalam perundang-undangan, pengadilan dan sebagainya. Aliran hukum semacam ini sering dikenal sebagai ilmuhukum etis atau filsafat hukum alam, aliran pikiran ini yang erat hubungannya dengan pendekatan secara religius atau metafisis-filosofis, mempunyai sejarah panjang. Filsafat hukumalam dimulai sejak sejak filsuf-filsuf Yunani pertama hingga zaman kita sekarang ini. Filsafat inimencapai puncak klasiknya dalam sistem-sistem rasionalitas yang besar dalam abad ketujuh

  belas dan kedelapan belas. Sesudah reaksi dari mazhab sejarah dan positivis dalam abadkesembilan belas, filsafat hukum alam telah mendapat pengaruh lagi dalam abad sekarang ini.Dasar filosofisnya pertama-tama dan secara utama adalah filsafat skolastik katolik yangditeruskan dalam hukum alam kaum Thomis; dan berbagai perkembangan dari sistem-sistemKant dan Hegel. Teori-teori mengenai hukum alam telah juga menemukan dasar dalam mazhab-mazhab filsafat lainnya (utilitarianisme, filsafat solidaritas, intuisionisme Bergson,fenomenologisme Husserl dan lain-lain).

(3) Masalah pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.Bidang penyelidikan ini mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan asal usul

historis dan pertumbuhan dari hukum: dengan faktor-faktor sosial yang dalam zaman kitamenentukan isi variabel dari hukum; dengan bergantungnya hukum dan pengaruh terhadapekonomi dan kesadaran hukum rakyat; dengan akibat-akibat sosial dari kaedah-kaedah hukum

atau lembaga-lembaga tertentu; dengan kekuasaan pembentuk undang-undang untuk membimbing perkembangan sosial; dengan hubugan antara hukum yang “hidup” dengan hukumteoritis dan kekuatan-kekuatan yang sebenarnya menjadi motif bagi penerapan hukum berlainandengan alasan-alasan rasional dalam setiap putusan.

Pada dasarnya ketiga bidang penyelidikan filsafat hukum ini merupakan suatu metode

untuk mencari kebenaran, yang merupakan prinsip-prinsip fundamental atau mendasar tentang

hakikat hukum tersebut. Kerja filsafat merupakan usaha-usaha untuk menguji prinsip-prinsip

Page 5: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 5/19

dasar tersebut. Secara epistemologis ada tiga teori tentang kebenaran yakni; the correspondence

theory of truth, the coherence theory of truth, dan pragmatic theory of truth.[11] Ketiga teori ini

mendasarkan pengertian dalam pencarian kebenaran. Jadi tujuan filsafat hukum dan ilmu hukum

 berbeda dari tujuan hukum. Hukum itu sendiri bertujuan hendak mencari keadilan, kepastian

hukum, dan ketertiban. Tujuan hukum bersifat etis, yakni bersumber pada kebaikan.

Tiga teori kebenaran yang telah disebut dimuka, dapat diterapkan dalam filsafat hukum,

ilmu hukum, dan teknik hukum. Teori korespondensi memandang bahwa suatu pernyataan

adalah benar bila sesuai atau sebanding dengan kenyataan yang menjadi objeknya, teori ini

sesuai dengan dimensi perilaku hukum dan menjadi bahan kajian sosiologi hukum dan

antropologi hukum. Kemudian teori koherensi berpendapat bahwa suatu pernyataan adalah benar 

apabila sesuai dengan pernyataan sebelumnya, dalam pengertian inilah yang menjadi landasan

 bahan kajian filsafat hukum. Berbeda dengan teori pragmatik , bahwa suatu pernyataan adalah benar bila berguna bagi kehidupan praktis, yang sesuai dengan bahan kajian teknik hukum secara

 praksis.[12] 

Teori koherensi mengantarkan kita, sebagaimana berfikir secara kefilsafatan untuk 

memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik 

tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan

terbuka. Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara

menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara

 partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau

menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan refelektifnya, tidak hanya memecahkan

masalah-masalah yang dihadapinya.

Melihat fungsi filsafat hukum lebih jauh; ialah sebagai cara pandang untuk berfikir secara

kreatif dengan menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan

  baru. Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga

menunjukkan letak urgensinya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan

 berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah

satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar terhadap orientasi keadilan sosial

selama ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan dari agenda refleksi filsafat hukum dalam

 bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian

masalah-masalah sosial yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter 

yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.

Page 6: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 6/19

C.  Menilik Pertalian Hukum dan Keadilan

Asumsi yang melatarbelakangi pembicaraan topik pada bagian ini ialah bahwa hukum

  bisa, atau, sering kali bertentangan dengan nilai keadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan;

 bagaimana kaitan antara keduannya, serta dalam kondisi mana hukum sebagai perangkat paling

khas dalam masyarakat modern untuk menciptakan tata kehidupan masyarakat dan

melaksanakan kebijakan dapat dipakai untuk tujuan keadilan sosial.

Meminjam pribahasa latin, berbunyi:  fiat justisia et pereat mundus (ruat coelum); yang

artinya; hukum yang berkeadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia harus kiamat (sekalipun

 juga langit runtuh karenanya).[13] Pribahasa latin tersebut menyiratkan suatu komitmen yang

sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan di dalam kehidupan bersama. Kehidupan yang

memiliki kehendak kuat untuk menyajikan seperangkat teks keadilan berdasarkan cita-cita

hukum suatu bangsa. Lebih dari itu untuk meletakkan fondasi konseptual keadilan selalu dipaksa

untuk berdaptasi dengan struktur sosial dan karakteristik problem sosialnya. Untuk alasan inilah,

hukum sangat dinamis dalam mewujudkan keadilan sebagai hasil akhir dari nilai yang

diperjuangkan.

Dialektika hukum dan keadilan adalah permasalahan lama akan tetapi selalu menarik 

 pertalian antar keduanya. Meskipun secara aktual, setiap kali kita dihadapkan dengan sikap kritis

terhadap hukum dan keadilan, namun tidak dapat disangkal bahwa kehidupan bersama tetap

memerlukan hukum dan keadilan itu. Pada dasarnya manusia selalu memerlukan keadilan,kebenaran dan hukum, karena hal itu merupakan nilai dan kebutuhan azasi bagi masyarakat

manusia yang beradab. Keadilan adalah milik dan untuk semua orang serta segenap masyarakat

dan tidak adanya keadilan akan menimbulkan kehancuran dan kekacauan keberadaan serta

eksistensi masyarakat itu sendiri. Bahkan perbedaan sikap dan kebencian terhadap orang lain

tidak boleh mengakibatkan sikap yang tidak adil.

Apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu

 berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang keadilan yang

tertuang dalam banyak literatur itu, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik,

dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal hampir 

sulit untuk dilakukan.[14] 

  Namun pada garis besarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas dua arus

 pemikiran, yang pertama adalah keadilan metafisik, diungkapkan oleh Plato, kemudian dimensi

Page 7: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 7/19

keadilan rasional yang diwakili oleh Aristoteles. Keadilan yang rasional pada dasarnya mencoba

menjawab prihal keadilan dengan cara menjelaskannya secara ilmiah. Sementara keadilan yang

metafisik, mempercayai eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu fungsi di atas dan

di luar makhluk hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia

 berakal.[15]

Pemetaan dua arus pemikiran keadilan tadi, dalam kaitannya dengan transformasi sosial

Karl Marx mengenai pemetaan kelas sosial. Marx memandang masyarakat sebagai suatu

keseluruhan yang antagonistis. Dalam pandangan marx watak dasar yang antagonistis ini

ditentukan oleh hubungan konflik antar kelas-kelas sosial yang kepentingan-kepentingannya

saling bertentangan dan tak dapat diuraikan karena perbedaan kedudukan mereka di dalam

tatanan ekonomi.[16] Pertentangan kelas yang kemudian menimbulkan konflik sosial merupakan

 bagian penjelasan marx mengenai dinamika keadilan pada zaman itu. Bagaimana kelas pekerjadalam masyarakat kapitalis modern; tidak pernah diperhitungkan pada taraf kelas sosial yang

sama, sehingga kedudukan mereka terkucilkan dari kelas sosial di atasnya. Oleh karena itulah

ketimpangan keadilan ini dapat dilihat dengan rasionalisasi yang dilakukan oleh marx.

Mengetengahkan tentang sifat relatifitas hukum dan keadilan sebagaimana dikemukakan

oleh Kusumohamidjojo, bahwa oleh karena hukum adalah kenyataan yang melekat pada

manusia yang terus menerus berubah, maka kaidah-kaidah normatif yang menjadi muatan hukum

selalu bersifat relatif, dengan akibat bahwa ketertiban umum serta benang merah keadilan yang

harus dihasilkannya juga selalu bersifat relatif, sehingga terus-menerus menjadi objek 

kontemplasi, justru untuk terus menempatkannya dalam konteks yang kontemporer .[17]

Sifat relativitas keadilan yang diungkapkan di atas, merupakan ragam dalam pemberian

makna secara konseptual terhadap nilai keadilan. Jhon Rawls misalnya,[18] teori keadilan sosial

 bertujuan memberikan dasar-dasar bagi kerja sama sosial masyarakat bangsa pluralistik modern.

Berbeda dari masyarakat tradisional, mereka berpendapat masyarakat modern tak terelakkan

menjadi masyarakat pluralistik dengan kepentingan dan anutan nilai hidup berbeda-beda, bahkan

mungkin bertentangan. Bagaimanapun pengaturan masyarakat pluralistik modern itu tidak boleh

didasarkan atas suatu anutan nilai hidup tertentu, melainkan harus-lah dikendalikan oleh prinsip

yang menjamin dan mengekspresikan kepentingan bersama. Prinsip itu adalah keadilan sosial.

Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham liberalisme

dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan keadilan sebagai  fairness, yang

mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk 

Page 8: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 8/19

mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang

sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk 

memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.[19]

 Namun secara umum, unsur-unsur formal dari keadilan yang dikatakan oleh rawls pada

dasarnya harus memenuhi nilai unsur hak dan unsur manfaat. Dengan nilai keadilan yang

demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan manfaat-ditambah bahwa dalam diskursus

hukum, perihal realisasi hukum itu berwujud lahiriah, tanpa mempertanyakan terlebih dahulu

itikad moralnya. Maka nilai keadilan di sini mempunyai aspek empiris juga, di samping aspek 

idealnya. Maksudnya adalah diaktualisasikan secara konkret menurut ukuran manfaatnya.[20]

Memang dapat dipahami bahwa cukup sulit untuk dapat mewujudkan kesesuaian antara

idealitas dengan realitas. Bahwa paradoks antara idealitas hukum dengan realitas sosial yang

  banyak terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini menilik pertalian hukum dan keadilanmengalami disorientasi. Walaupun keduanya memiliki kausa yang positif bila dapat diwujudkan

dengan benar. Disinilah nilai keadilan berfungsi menentukan secara nyata, dinamika hukum

dalam realitas sosial, dan sebagai konsekuensinya hukum harus dilihat dari ruang sosial yang

lebih luas.

D.  Hukum dan Perubahan Sosial

Kita sekarang sudah sampai ke tingkat peradaban manusia sedemikian rupa, dimana

masyarakat sudah ditata secara sangat maju. Maka sekalian pekerjaan hukum juga ditempatkandalam konteks dan bingkai penataan masyarakat yang sudah dilakukan sangat maju dan rasional.

Masyarakat di dunia sudah berubah dari masyarakat yang tradisional menjadi sesuatu yang serba

ditata dan tertata secara lebih rasional. Dengan demikian ia sudah menjadi masyarakat yang sarat

dengan berbagai konstruksi, atau suatu masyarakat yang dikonstruksikan secara rasional. Hukum

menjadi bagian dari konstruksi tersebut, dan dengan demikian bersifat artifisial.

Kenyataan ini menunjukkan, bahwa dalam pembuatan hukum serta penegakan hukum

semua itu tidak terlepas dari perilaku hukum masyarakat. Maka sudah semestinya apa yang

dikatakan oleh Prof Tjip, sebutan akrab dari tokoh sosologi hukum Indonesia yang mencetuskan

teori hukum progresif dengan gagasan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.

[21] Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka

manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam

skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.

Page 9: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 9/19

Suatu masyarakat senantiasa mempunyai aspek struktural dan prosedural, oleh karena

masyarakat sekaligus merupakan wadah dan proses kehidupan bersama manusia. Oleh karena itu

lazim dikatakan, bahwa masyarakat terdiri dari aspek yang relatif statis dan dinamis. Aspek yang

relatif statis terwujud dalam struktur sosial, sedangkan aspek dinamisnya terwujud dalam proses

sosial. Kesemuanya itu merupakan unsur-unsur pokok dari suatu sistem kemasyarakatan

(societal-system).[22]  Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa hukum dan perubahan sosial

merupakan salah satu bagian dari dinamika sosial atau dinamika masyarakat.

Membaca dinamika hukum dan perubahan sosial hendaknya menempatkan hukum pada

ruang sosial yang lebih luas. Seperti halnya, dalam suasana keterpurukan seperti ini kita

terdorong untuk mengajukan berbagai pertanyaan mendasar; seperti: “kita bernegara hukum

untuk apa?” Hukum itu mengatur masyarakat semata-mata untuk mengatur atau untuk suatu

tujuan yang lebih besar?[23]  Dibalik pertanyaan ini terkesan memberikan pendapat bahwahukum hendaknya bisa mendatangkan kebahagiaan bagi yang membutuhkannya.

Sudah tentu pembicaraan mengenai perubahan sosial lebih baik diawali dengan suatu

 pembahasan ringkas mengenai konsepnya. Suatu konsep merupakan hasil proses abstraksi yang

dilakukan terhadap gagasan-gagasan atau pengalaman-pengalaman secara empiris. Setiap

masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan di

dalam masyarakat mungkin berkaitan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah pola sikap dan

seterusnya.[24] 

Bagaimana hukum menjadi sebuah diskursus dari arus perubahan sosial yang begitu

cepat mengikuti perkembangan jaman. Kita ingat sebagaimana kelompok-kelompok wanita,

warga Bali dan Yogyakarta menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Bagi

mereka RUU APP akan mengakhiri keragaman budaya dan pembunuhan karakter terhadap

individu seniman, khususnya wanita untuk mengatur tubuhnya sendiri. Berbagai penolakan itu

membuktikan telah terjadi pergeseran nilai dalam struktur sosial masyarakat, yang mana hukum

 berusaha mereduksi persoalan pornografi dan pornoaksi masuk ke dalam upaya kriminalisasi.

Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa perubahan sosial seketika dapat mendorong

terjadinya perubahan pada lembaga-lembaga sosial yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk 

nilai-nilai, sikap-sikap dan pola prilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Seperti

apa yang dikatakan oleh Van Doorn;[25] hukum adalah skema yang dibuat untuk menata

(prilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang

Page 10: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 10/19

diperuntukkan baginya, ini disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang

mempengaruhi dan membentuk prilakunya.

Interaksi antara hukum dan masyarakat dipertajam oleh kehadiran hukum modern yang

segala sudut pandangnya dialogis terhadap prinsip rasionalitas. Artinya hukum hanya berdaya-

guna bila memiliki kebenaran rasional, sebuah kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan

 berdasarkan prinsip-prinsip logis-kritis. Rasionalitas itu memaksa hukum menjamin kepastian

demi terwujudnya keadilan. Persoalannya keadilan yang dimaksud ialah keadilan hukum,

sebagai ranah dari penjelmaan doktrin positivisme hukum. Keadilan hukum semata-mata hanya

akan menjalankan hukum secara praktikal sesuai dengan prosedur hukum demi terwujudnya nilai

kepastian hukum.

Pemahaman tentang hukum seperti demikian itu berimbas pula pada pemahaman antara

keterkaitan hukum dan kepastian hukum menjadi relatif. Hukum tidak serta merta menciptakankepastian hukum. Yang benar adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti

adanya peraturan seperti undang-undang.[26] Lebih jauh Charles Sampford melakukan kritik 

terhadap ajaran dari postivisme hukum yang melihat sisi hukum hanya pada ranah kepastian

hukum saja, ia mengatakan; hukum itu penuh dengan ketidakteraturan (the disorder of law).[27] 

Kalau para ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu harus dijalankan dengan penuh kepastian

dan keteraturan, maka itu sebetulnya bertolak dari kepentingan profesi yang mereka lakoni pada

waktu itu saja, dan bukan hal yang sebenarnya.

Sebab bagaimana ahli hukum bisa bekerja dengan tenang, kalau hukum yang mereka

gunakan itu banyak mengandung ketidakpastian. Dengan demikian, menurut Sampford,

kepastian hukum itu lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang

sebenarnya.[28] Ternyata peraturan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya

kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dan prilaku.

Akhir dari itu semua, bahwa hukum merupakan ekspresi dari kehendak sosial

masyarakat, ia akan selalu fluktuatif berdasarkan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan prilaku

sosial masyarakat. Keadilan sosial akan menjadi pintu terakhir dari cita-cita hukum setiap

 bangsa, atau rumusan yang lebih konkret adalah yang dikatakan oleh Gustav Radbruch; yaitu

hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.[29] Sisanya hanya adil untuk siapa? dan untuk 

apa?. Hal inilah yang menjadi pokok bahasan pada bagian selanjutnya, yaitu; refleksi filsafat

hukum dalam menuai catatan akhir mencari reposisi keadilan sesungguhnya.

E.  Refleksi Filsafat Hukum; Sebuah Catatan Akhir Menuju Keadilan Progresif 

Page 11: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 11/19

Seperti apa yang telah di bahas pada bagian sebelumnya, bahwa refleksi filsafat hukum

  pada akhirnya memberikan manifestasi keseimbangan penceritaan kembali terhadap titik 

 pertemuan antara penyelidikan filsafat hukum mengenai konsep atau sifat hukum, masalah

tujuan atau cita-cita hukum dan pola antarpengaruh hukum dan masyarakat. Artinya positif dan

negatif dalam menilik orientasi nilai keadilan sosial ditanggapi secara seimbang, tidak sekedar 

dengan ekspresi subyektif dan cenderung berat sebelah.

Refleksi filsafat hukum dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang

ada dalam penerapan hukum. Fokus kerjanya ialah refleksi secara sistematikal tentang

“kenyataan” dari hukum. Kenyataan hukum harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dari

ide-hukum (cita-hukum).[30] Dalil yang dikatakan oleh Gustav Radbruch; bahwa ia

menjabarkan ide-hukum dikemas melalui tiga aspek, yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan

keadilan. pertautan antara ketiganya itu sangat dinamis. Menurutnya; tidak dapat ditentukan asasmana yang harus diutamakan, karena yang paling bisa menentukan ialah kekusaan kehendak dari

 pembuat undang-undang: positivitas dari hukum pada akhirnya tergantung pada keputusannya.

Akan tetapi dibalik kenyataan itu, nilai kebenaran ialah suatu keniscayaan menuju jalan

terang keadilan. Hanya kemudian prevensi nilai kebenaran akan sangat tergantung sekali

terhadap faktor kepentingan dan kebutuhan. Fakta tersebut memperlihatkan betapa sulitnya

dalam menentukan sikap adil. Keadilan merupakan sasaran utama dari hukum, maka penegakan

hukum haruslah diarahkan, antara lain agar tercapai keadilan, baik bagi individu maupun

keadilan bagi masyarakat, yang dikenal dengan istilah keadilan sosial. Keadilan mestilah

merupakan faktor penting bagi adanya justifikasi terhadap suatu penegakan hukum, karena

 penegakan hukum merupakan perwujudan “kenyataan hukum” yaitu; cita-cita hukum bangsa.

Dalam praktek hukum di Indonesia, seringkali para penegak hukum telah menjalankan

tugasnya sesuai dengan aturan main yang ada, dalam artian aturan main yang formal. Terhadap

kasus tindak pidana korupsi misalnya, sesuai hukum yang berlaku, jaksa sudah melakukan

  penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke pengadilan. Pengacara sudah menjalankan

fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak tersangka. Dan hakim sudah mendengar 

kedua belah pihak, sehingga dikeluarkanlah putusan pengadilan. Semua aturan hukum yang

relevan sudah dipertimbangkan dan diterapkan. Serta semua formalitas dan tata cara yuridis

sudah diikuti.

Persoalannya, mengapa terhadap penegakan hukum yang demikian masih saja banyak 

masyarakat yang tidak puas, dan masih saja dikatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia

Page 12: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 12/19

ditenggarai sangat rendah dan sudah mencapai titik nadir. Inilah masalahnya, yakni tidak 

terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat. Mimbar pengadilan telah terisolasi

dengan pemahaman makna kepastian hukum saja, tanpa mau membuka diri dan menggali nilai-

nilai keadilan yang ada di masyarakat.

Sampailah kita pada pembicaraan bahwa refleksi filsafat hukum yang memfokuskan diri

 pada cita-cita hukum yaitu bagaimana mencapai keadilan subtantif, pada kenyataanya makna

keadilan saat ini telah terkikis oleh paradigma yang sangat kaku, hanya melihat sisi keadilan

 pada ejaan pasal-perpasal dalam mewujudkan keadilan prosedural. Apa yang akan penulis

ketengahkan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru, berangkat dari pemahaman gagasan

 brillian Satjipto Rahardjo[31] yaitu; paradigma hukum progresif yang mana lahir sebagai

oposisi keilmuan terhadap paham postivisme hukum.

Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan

cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia”. Progresif berasal dari kata  progress

yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu

menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani

kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia

 penegak hukum itu sendiri.[32]

Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan

sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif 

adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif 

yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik 

tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap

kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam  setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses

 pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya

kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan

sifat formalitasnya yang melekat.[33] 

Dalam kaitannya dengan mencari alternatif nilai keadilan di tengah-tengah rapuhnya

 penegakan hukum Indonesia saat ini, sebagai catatan akhir penulis menuju keadilan progresif 

yang pada aktualisasinya selalu percaya diri dengan prinsip-prinsip kebenaran. Keadilan

  progresif akan selalu mencerminkan diri pada kenyataan hukum di masyarakat. Setidaknya

keadilan progresif ini secara konseptual harus berdiri atas tiga varian pokok, yaitu;  pertama,

Page 13: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 13/19

menempatkan diri sebagai kekuatan “ pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara

 berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-dogmatis, analitis-positivistik. Sekalian dengan

ciri pembebasan itu, keadilan progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”.

Kemudian yang kedua, didasarkan pada “logika kepatutan sosial ” dan tidak semata-mata

 berdasarkan pada logika peraturan. Sehingga dalam hal ini keadilan progresif dapat menjunjung

tinggi moralitas. Hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali

aktivitas perjuangan itu. Dan yang ketiga, paling utama keadilan progresif banyak bertumpu pada

kualitas dan kemampuan sumberdaya manusia penegak hukumnya. Faktor modalitas menjadi

amat penting, seperti: empati, “kejujuran dan keberanian”. Faktor-faktor itulah yang harus

dikedepankan daripada sekedar menjalankan peraturan secara mekanistis-linier. Dalam kualitas

yang demikian itu, maka keadilan progresif akan selalu gelisah melakukan pencarian dan

 pembebasan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena memang hakikat dari keadilan progresif;yaitu mencari kebenaran hakiki.

 

F.  Simpulan

Refleksi filsafat hukum dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang

ada dalam penerapan hukum. Fokus kerjanya ialah refleksi secara sistematikal tentang

“kenyataan” dari hukum. Kenyataan yang berbasis cita-cita hukum adalah berangkat dari sisi

keadilan pada realitas sosial yang lebih luas.  Setidaknya kenyataan hukum, dapat di

konstruksikan melalui ranah hukum progresif  dengan gagasan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah

untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa

masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sehingga tak heran ketika manusia

itu untuk hukum, keluarannya mesti keadilan prosedural. Berbeda ketika hukum adalah untuk 

manusia, ia membentuk skema hukum berdasarkan kebutuhan dan hanya untuk melayani

kepentingan manusia, disitulah terdapat keadilan progresif. Keadilan yang mana dapat menjawab

stagnasi supremasi hukum kita saat ini.

Page 14: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 14/19

DAFTAR PUSTAKA

A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial “Buku Teks

Sosiologi Hukum Ke I”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.

Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, Kreasi Total Media,Yogyakarta, 2008.

Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000.

Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat 

 Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil , Grassindo, Jakarta, 1999.

Bur Susanto, Keadilan Sosial “Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas” , Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 2005.

Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta,  Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat 

 Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, 2007.

Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.

 ______________, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006.

 ______________, Membedah Hukum Progresif , Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007.

 ______________, Biarkan Hukum Mengalir , Buku Kompas, Jakarta, 2007.

S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986.

Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1988.

Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat , Mandar Maju, Bandung, 1998.

Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.

Page 15: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 15/19

[1] Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Hukum, yang diampu oleh

Bpk Salman Luthon, S.H. M.Hum, pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII,Yogyakarta.

[2] Penulis adalh mahasisiwa progam pasca sarjana ilmu hokum UII

[3] S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986, hal 13-15.[4] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 20.[5] Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat 

 Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal 1. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir,  Pokok-pokok Persoalan Filsafat  Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hal 1. Kata filsafat atau falsafat berasal dari kata Arab “ falsafah” yangditurunkan dari kata Yunani “ philosophia” yang merupakan kata gabungan dari kata  philein yang berarti mencintaiatau  philia yang berarti cinta dan kata  shopia yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, kata  philosophia,

 filsafah, falsafat, berarti mencintai atau cinta kepada kebijaksanaa. Orang yang mencintai kebijaksanaan disebut philosophos yang dalam bahasa Arab disebut “ failasuf’ (jamaknya:  filasifah) dan dalam bahasa Indonesia disebut“ filosuf”.

[6]  Ibid.

[7] Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat , Mandar Maju, Bandung, 1998,hal 18.

[8] Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta,   Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat  Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal 10-11.

[9] Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal 439.

[10] S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum…Op.,Cit, hal 13-15.[11] Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal 16.[12]  Ibid.[13] Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, Kreasi Total Media,

Yogyakarta, 2008, hal 87.[14] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal 96.

[15]  Ibid.

[16]A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto,  Hukum dan Perkembangan Sosial “Buku Teks Sosiologi Hukum Ke I”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hal 146.

[17] Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil , Grassindo, Jakarta, 1999, hal 222.

[18] Bur Susanto,  Keadilan Sosial “Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas”, Gramedia PustakaUtama, Jakarta, 2005, hal 19-20.

[19] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal 99.

[20]  Ibid.

[21] Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006, hal 151. Sejak hukumitu diadakan tidak untuk diri dan kepentingan sendiri, melainkan untuk bekerja dalam masyarakat, maka hukumsebagai konstruksi dihadapkan kepada lingkungan yang alami. Sebuah konstruksi harus bekerja dalam lingkunganyang alami. Keadaan ini menimbulkan banyak persoalan dan komplikasi. Hukum tidak selalu berhasil dengan baik untuk memproyeksikan “keinginannya” ke dalam masyarakat. Secara padat bisa daikatakan, bahwa “hukum bekerjadan tertanam dalam sebuah matriks sosio-kultural. Ibid hal 142. 

[22] Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum , Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal 49.

[23] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif , Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 9.

Page 16: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 16/19

[24] Soerjono Soekanto, Pendekatan..Op.,Cit, hal 52.

[25] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal 4.[26] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir , Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 78.

[27]  Ibid.

[28]  Ibid.

[29] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal xviii

[30] Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan..Op.,Cit, hal 19.[31] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di

Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.[32] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal ix.

[33]  Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta,2003, hlm 22-25.

Diposkan oleh suara jiwa di 23:12 

Label: Hukum 

0 komentar:

Poskan Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x(

:-t b-( :-L x( :-p =))

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langgan: Poskan Komentar (Atom) 

Facebook Share

komen facebook 

pengunjung blog

Website Hit Counter  

Label• Hukum (10)

• kumpulan cerpen (4)

•  Novel loe gue pret (3)

Page 17: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 17/19

• Seputar politik dunia (3)

•  belajar sastra (3)

• lomba cerpen dan novel terbaru (2)

komentarnya dibawah sini !!!

Get the Realtime Comments widget and many other  great free widgets at Widgetbox! Not seeinga widget? (More info)

WAKTUGet the welcome-clock  widget and many other  great free widgets at Widgetbox! Not seeing a

widget? (More info)

Recent Posts

Blog Archive• ▼ 2011 (36)

○ ▼  November (34)

 NOvel "loe ,gue , prett!! (bagian 3)

 Novel "Loe ,gue , prett!!" (bagian 2)

 Novel "Loe ,gue , prett!! (Bagian 1)

LOMBA MENULIS CERPEN “Spirit Persaudaraan dan Mult... 

IKUTILAH LOMBA MENULIS CERITA PENDEK ISLAMI (LMCPI... 

Doktrin Dunia Tak Berdaya

HUKUM ISLAM DAN TRANSFORMASI SOSIAL MASYARAKATJAH...

WANITA DAN PEREMPUAN INDONESIA Kedudukan dan Peran...  HUKUM KEMENANGAN

PALESTINA DALAM CENGKERAMAN ISRAEL

Kahlil Gibran: gaya bahasa, petualangan cinta & ” S... 

KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM NEGARA DAN HUKUMISLA...

Page 18: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 18/19

KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM NEGARA DAN HUKUMISLA...

`KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM NEGARA DAN HUKUMISL...

KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM NEGARA DAN HUKUM

ISLA...

REFLEKSI FILSAFAT HUKUM; MENILIK ORIENTASI NILAI ... 

Hukum Perdata Indonesia

Renungan Indah - W.S. Rendra

DOA SEORANG PEMUDA RANGKAS BITUNG Dl ROTTERDAM

Hantu-hantu yang Malang

oleh-oleh umrah (cerpen)

Menu Makan Malam

Unsur-unsur Intrinsik Cerpen KONSPIRASI MUSUH ISLAM

Sejarah Hukum di Indonesia

SEJARAH POLITIK UMAT ISLAM INDONESIA

 bailout century

dia

semuaitu

untunglah ada tuhan

teman terbaikku hampir mati

mau padaku

tahap tak bergeming

tuduh menuduh

○ ► Oktober (2)

Seusai hati

TETAPLAH SAMPAH BERMUARA DISENAYAN

Daftar Blog Saya•

tarian pena

 NOvel "loe ,gue , prett!! ( bagian 3) - *aBAB III* *Jangan Asal Nuduh Setan* *Openrecruitment anggotabaru Pret-I Girl* *Loe ngerasa cewek seksi?Punya bakat kentut yanggak biasa? Ayo gabung di ...

Page 19: Refleksi Filsafat Hukum Jumat

5/13/2018 Refleksi Filsafat Hukum Jumat - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-filsafat-hukum-jumat 19/19

2 bulan yang lalu

 badrunche 

  berharap dirimu- dulu citaku ingin dirimu agar menyentuh kedalam nuansa kalbuku yang jenuh akan kesendirian dulu diriku menyapamu tanpa kata dan disimpan lalu dirasahingga...

3 bulan yang lalu

memberblog