referensi kajian ketenagalistrikan

18
Jakarta,Kicaunews.com – Persoalan dimulai sejak tahun 2002 lahirnya Undang- undang (UU) No.20/2002. Setelah sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) selama dua tahun UU No. 20/2002 dibatalkan MK tahun 2004. Tiba-tiba muncul lagi UU No. 30/2009 tentang ketenagalistrikan hakekatnya sama dengan UU No.20/2002 yang telah dibatalkan MK yaitu akan memprivatisasi PLN dan meliberalkan tarif listrik kata Mantan Ketua Serikat Pekerja PLN Ahmad Daryoko dalam acara diskusi dengan topik ” Tolak Liberalisasi Usaha Ketenagalistrikan & Batalkan UU No.30 Tahun 2009 di Resto Warung Komando Jl. DR. Saharjo Jakarta, senin (14/3). Acara diskusi dihadiri serikat pekerja PLN H. Adrie, Persatuan Pegawai Indonesia Power P.S. Kuncoro, Tim Hukum Ari Lazuardi dan Puskaekopol UBK Salamuddin Daeng. Ahmad Daryoko yang juga penulis buku “Konspirasi Penjualan PLN ke Asing” menjelaskan akibat penjualan PLN ke Asing kenaikan tarif listrik yang tidak terkontrol. Harus digagalkan ujarnya kalau tidak banyak pabrik tutup, banyak PHK (pemutusan hubungan kerja) dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Daryoko menambahkan tindak lanjut dari Letter of Intent (LOI) point 41 oktober 1997 dan LOI point 77 januari 2000 antara pemerintah Indonesia dan IMF. Yang merupakan tahap privatisasi PLN dan liberalisasi kelistrikan. Kenaikan tarif listrik dengan strategi “price asjustment” adalah dalam rangka “profitisasi” PLN (program PSRP/ Power Sektor Restructuring Program) sebelum privatisasi dilakukan. Proyek pembangkit 35.000 MW hanya akan mempailitkan PLN, yang selanjutnya PLN akan dijual murah kepada Investor, khususnya investor asing tukas Daryoko. (Sunarto). Editor : Rahmat Saleh http://kicaunews.com/blog/news/ahmad-daryoko-uu-no-302009- memprivatisasi-pln-dan-meliberalkan-tarif-listrik.html JAKARTA - Proyek pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW dituding menjadi upaya untuk memantapkan privatisasi penyediaan energi listrik untuk masyarakat. Pasalnya dalam

Upload: dheny-tarigan

Post on 10-Jul-2016

13 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

referensi kajian ketenagalistrikan

TRANSCRIPT

Page 1: referensi kajian ketenagalistrikan

Jakarta,Kicaunews.com – Persoalan dimulai sejak tahun 2002 lahirnya Undang-undang (UU)

No.20/2002. Setelah sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) selama dua tahun UU No. 20/2002

dibatalkan MK tahun 2004. Tiba-tiba muncul lagi UU No. 30/2009 tentang ketenagalistrikan hakekatnya

sama dengan UU No.20/2002 yang telah dibatalkan MK yaitu akan memprivatisasi PLN dan meliberalkan

tarif listrik kata Mantan Ketua Serikat Pekerja PLN Ahmad Daryoko dalam acara diskusi dengan topik ”

Tolak Liberalisasi Usaha Ketenagalistrikan & Batalkan UU No.30 Tahun 2009 di Resto Warung Komando

Jl. DR. Saharjo Jakarta, senin (14/3).

Acara diskusi dihadiri serikat pekerja PLN H. Adrie, Persatuan Pegawai Indonesia Power P.S. Kuncoro,

Tim Hukum Ari Lazuardi dan Puskaekopol UBK Salamuddin Daeng.

Ahmad Daryoko yang juga penulis buku “Konspirasi Penjualan PLN ke Asing” menjelaskan akibat

penjualan PLN ke Asing kenaikan tarif listrik yang tidak terkontrol. Harus digagalkan ujarnya kalau tidak

banyak pabrik tutup, banyak PHK (pemutusan hubungan kerja) dan menyengsarakan rakyat Indonesia.

Daryoko menambahkan tindak lanjut dari Letter of Intent (LOI) point 41 oktober 1997 dan LOI point 77

januari 2000 antara pemerintah Indonesia dan IMF. Yang merupakan tahap privatisasi PLN dan

liberalisasi kelistrikan. Kenaikan tarif listrik dengan strategi “price asjustment” adalah dalam rangka

“profitisasi” PLN (program PSRP/ Power Sektor Restructuring Program) sebelum privatisasi dilakukan.

Proyek pembangkit 35.000 MW hanya akan mempailitkan PLN, yang selanjutnya PLN akan dijual murah

kepada Investor, khususnya investor asing tukas Daryoko. (Sunarto).

Editor : Rahmat Saleh

http://kicaunews.com/blog/news/ahmad-daryoko-uu-no-302009-memprivatisasi-pln-dan-meliberalkan-tarif-listrik.html

JAKARTA - Proyek pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW dituding menjadi upaya untuk memantapkan privatisasi penyediaan energi listrik untuk masyarakat. Pasalnya dalam proyek ini disinyalir peran PT PLN sebagai BUMN yang bertanggung jawab menyediakan listrik akan bergeser.

Ketua Pembina Serikat Pekerja (SP) PLN, Ahmad Daryoko mengatakan, dengan banyaknya perusahaan pembangkit listrik swasta atau independent power producer (IPP) yang ikut berkecimpung, maka sinyal pemisahan penguasaan usaha kelistrikan dari PLN semakin kuat.

Page 2: referensi kajian ketenagalistrikan

"Alih-alih sebagai upaya meningkatkan rasio elektrifikasi, proyek ini justru membuka ruang adanya bancakan politik guna membagi-bagi jatah. Karena BUMN Ketenagalistrikan bukanlah yang dipercaya kan secara penuh sebagai perusahaan penyedia listrik," katanya di Warung Komando, Jakarta, Senin (14/3/2016).

Daryoko juga mengatakan, peningkatan ketergantungan dengan kepada perusahaan swasta juga terlihat dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2015-2024. Di mana di dalamnya menyebut peran perusahaan listrik swasta akan meningkat dari 15 persen menjadi 32 persen pada 2019 dan 41 persen pada 2024.

Menurutnya, hal itu juga semakin diperkuat dengan lahirnya UU No 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan). Di mana tertulis pengoperasian dan pemeliharaan dalam kegiatan penyediaan listrik sudah tidak sepenuhnya dilakukan oleh PLN.

"Jika hal itu terus terjadi, maka konsep penguasaan energi oleh negara untuk kepentingan masyarakat akan diambil oleh swasta. Jelas mereka misinya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya," pungkasnya.

http://economy.okezone.com/read/2016/03/14/320/1335609/proyek-listrik-35-ribu-mw-bisa-dimonopoli-swasta

menyambut UU 30/2009

Posted by: algooth putranto on: December 2, 2009

In: bedah isu 3 Comments

Ada segudang perdebatan ketika UU No.30/ 2009 tentang kelistrikan telah disahkan oleh DPR pada September 2009. Ada pihak yang menyambut optimis terbitnya aturan main mengenai bisnis kelistrikan itu di tanah air. Namun juga tidak sedikit yang lantas menyangkal dengan berbagai argumen mengenai kelemahan UU tersebut.

Ekspektasi besar mengenai UU No.30/ 2009 muncul dari kalangan pemilik modal yang menyatakan kepastian investasi mereka di sektor listrik akan semakin besar. Selain itu, masuknya partisipasi swasta

Page 3: referensi kajian ketenagalistrikan

dan pemerintah daerah dalam penyediaan tenaga listrik memungkinkan daerah-daerah yang rasio elektrifikasinya rendah bisa dinaikkan.

Sementara itu, kalangan yang pesimis mengenai UU kelistrikan itu juga tidak mau kalah mengkritisi peraturan yang menggantikan UU No.20/2002 yang juga tentang kelistrikan, yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut kalangan yang pesimistis terhadap UU No.30/ 2009, berargumen bahwa pada dasarnya inti dari peraturan itu sama saja, yaitu membuka lebar-lebar pintu liberalisasi penyediaan tenaga listrik.

Alih-alih menyediakan listrik dengan tarif murah, pelaku bisnis kelistrikan swasta justru akan mematok tarif listrik yang mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat.

UU tersebut juga dituding sebagai bentuk cuci tangan pemerintah pusat yang tidak mampu menyediakan asokan listrik kepada rakyat. Hal ini terlihat dari munculnya pasal yang memungkinkan bisnis kelistrikan ini dijalankan oleh pemerintah daerah (Pemda) melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta koperasi.

Apabila ketentuan mengenai bisnis kelistrikan dijalankan oleh BUMD dan koperasi, Pemda mempunyai 2 pilihan, yaitu mensubsidi harga jual atau menaikkan tarif dasar listrik (TDL).

Jika opsi menyediakan subsidi yang dipilih, pertanyaan yang muncul adalah memiliki dana untuk itu? Jika tidak memiliki dana, tentu saja opsi yang dipilih adalah dengan menaikkan TDL. Namun, jika opsi tersebut yang dipilih, apakah masyarakat di satu daerah memiliki kemampuan untuk membayar listrik dengan harga keekonomian?

Terlepas dari perdebatan mengenai kemungkinan munculnya liberalisasi bisnis kelistrikan serta keuntungan yang bisa diperoleh, yang jelas UU No.30/ 2009 mengenai kelistrikan sudah disahkan.

Secara garis besar, UU Kelistrikan telah mendobrak kebijakan kelistrikan yang sebelumnya berjalan. Jika sebelumnya transmisi listrik dilakukan oleh satu kesatuan birokrasi dan dijalankan seluruhnya oleh PLN, maka dalam UU Kelistrikan yang baru, kesatuan itu dipecah hingga menjadi 4 bagian dan birokrasi.

Sebelum UU tersebut dijalankan, listrik yang didistribusikan kepada masyarakat dilakukan melalui “tangan-tangan” PLN sendiri, karena transmisi, distribusi, ritel, dan sebagainya masih satu kesatuan pembangkit PLN sehingga biaya transmisi atau transfer pricing hanya terjadi satu kali, yaitu pada saat PLN menjual listrik kepada konsumen.

Namun, ketika sudah dipecah-pecah secara fungsi (unbundling) maka bagian-bagian yang sebelumnya bersatu menjadi terpecah 4 bagian. Bisnis kelistrikan ini akan menjadi sektor bisnis yang bisa dijalankan oleh swasta, BUMN, BUMD, serta koperasi, dan menghadapi birokrasinya sendiri.

Demikian pula untuk transmisi memiliki birokrasi dan aturan sendiri, sektor bisnis distribusi birokrasi sendiri, penjualan akan memiliki aturan sendiri. Dan yang jelas, empat sektor bisnis kelistrikan itu

Page 4: referensi kajian ketenagalistrikan

akhirnya memiliki hitung-hitungan tersendiri mengenai profit, depresiasi, offerhead, dan pajak yang pasti.

Hal lain yang juga tak kalah penting adalah peran swasta dalam bisnis kelistrikan. Terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara UU No.30 tahun 2009 dengan UU No. 15 tahun 1985

Berdasarkan UU No. 15 tahun 1985 peran swasta untuk terlibat dalam bidang ketenagalistrikan dilakukan dengan sejumlah cara.

Cara-cara itu adalah terkoneksi dalam jaringan PLN sebagai pembangkit IPP (Independence Power Producer/ pembangkit swasta), sehingga PLN menjadi satu-satunya pembeli yang bisa menyalurkan kepada konsumen atau single buy system.

Swasta juga bisa berperan apabila berdiri di luar jaringan PLN secara isolated exclusive right dimana perusahaan tersebut memiliki pembangkit, transmisi, distribusi, jaringan ritel dalam satu paket yang terpisah sama sekali dari jaringan PLN, misalnya PT Cikarang Listrisindo

Terakhir adalah membuat pembangkit untuk kepentingan sendiri, misalnya untuk keperluan pabrik, hotel, dll.

Sedangkan berdasarkan UUK 2009, lewat proses unbundling vertical, maka kepemilikan pembangkit, transmisi, distribusi, hingga ritel/penjualan ke konsumen bisa dimiliki oleh swasta sehingga swasta tidak lagi hanya terkoneksi pada grid PLN, tetapi juga menguasai jaringan PLN.

Itulah beberapa poin yang ada dalam UU kelistrikan 2009 yang sangat berbeda dengan UU sebelumnya. di mana dalam UU yang baru, eksistensi swasta sangat diakui dan diberi ruang yang cukup besar untuk berperan dalam usaha penyediaan listrik, baik melalui bisnis pembangkitan, transmisi, distribusi, serta penjualan ke pelanggan.

Poin lainnya adalah pemecahan sector bisnis kelistrikan menjadi beberapa bagian, sehingga memungkinkan swasta yang “kalah start” dengan PLN bisa masuk ke salah satu bagian bisnis tersebut.

Memang jika dilihat dengan paradigma tertentu, peraturan tersebut sangat propasar dan bisa mengerdilkan PLN yang selama ini menjadi tulang punggung penyedia listrik nasional.

Jika berpikir dengan landasan paradigma nasionalisme yang sempit, masuknya swasta dalam bisnis kelistrikan memang dianggap menjadi ancaman bagi eksistensi PLN yang notabene merupakan perusahaan yang 100% sahamnya dikuasai oleh pemerintah.

Sebagai perusahaan yang mayoritas kepemilikannya dikuasai oleh pemerintah, bisa menjadi instrumen kebijakan yang sangat efektif. Hal ini terbukti dari kebijakan pentarifan yang

Nasionalisme yang sempit juga melihat bahwa PLN akan semakin dikerdilkan juga oleh pembagian bisnis kelistrikan yang terbagi menjadi 4 bagian. Jika selama ini perusahaan listrik tersebut menguasai jarring bisnis kelistrikan di Indonesia, maka dengan pembagian tersebut PLN mau tak mau harus menghadapi

Page 5: referensi kajian ketenagalistrikan

regulasi yang beragam menyangkut sector kelistrikan, yaitu pembangkit, transmisi, distribusi, serta penjualan.

Namun, jika pola pikir diperluas dengan memperhatikan aspek kepastian pasokan kepada konsumen, maka ada hal berbeda yang bisa diperoleh melalui UU kelistrikan tersebut. Ada semangat yang ingin dibawa oleh UU tersebut mengenai kepastian pasokan listrik kepada konsumen dengan melibatkan berbagai pihak.

Taruh saja mengenai keterlibatan swasta dalam salah satu bagian bisnis kelistrikan, bisa menjadi solusi bagi masalah keterbatasan pasokan maupun distribusi listrik kepada pelanggan. Hal lainnya juga bisa dilihat dari harga yang ditawarkan akan bisa lebih kompetitif ketika persaingan pelaku usaha dibuka di sektor bisnis ini.

Bisa dilihat belakangan ini ketika sector kelistrikan masih dikuasai oleh PLN, masalah suplai listrik tidak juga terselesaikan, meskipun berbagai program telah dicanangkan. PLN kewalahan ketika permintaan listrik melonjak sedemikian tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya.

PLN yang seharusnya memberikan kepastian suplai listrik, justru malah meminta para pelanggannya untuk berhemat. Ya, PLN yang menjadi operator akhirnya bertindak bagaikan regulator ketika tidak berhasil menyediakan pasokan yang memadai.

Dengan masuknya institusi swasta ke dalam bisnis kelistrikan, tentu saja masalah-masalah kelistrikan yang selama ini muncul diharapkan bisa teratasi. Pun dengan munculnya teori bahwa semakin banyak pelaku usaha, maka tarif yang dikenakan ke konsumen akan lebih kompetitif.

Ada banyak bagian yang diatur dalam UU kelistrikan tersebut, baik secara normatif maupun yang bersifat teknis. Setidaknya ada 16 masalah yang diatur dalam undang-undang tersebut. Namun sebagai UU, aturan yang ada di dalamnya sangat umum dan tidak mengatur secara detail masing-masing bagiannya.

Karenanya, dibutuhkan peraturan pemerintah (PP) yang bersifat operasional sehingga peraturan tersebut bisa diimplementasikan dengan ketentuan dan parameter tertentu.

Seperti yang terlihat dalam Bab VII mengenai Ketenagalistrikan, ada banyak hal teknis yang diatur pada bagian ini. Seperti diberikannya prioritas kepada BUMN sebagai penyedia kelistrikan, dibutuhkan aturan yang jelas mengenai kondisi apa hal itu bisaa dilaksanakan.

Masalah lainnya yang juga butuh PP adalah mengenai harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik.

Dalam UU kelistrikan disebutkan bahwa harga jual listrik dan sewa jaringan ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat dan pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik.

Page 6: referensi kajian ketenagalistrikan

Ada banyak definisi yang muncul dalam bagian tersebut. Apakah prinsip usaha yang sehat seperti yang dimaksud di atas dilakukan dengan membuka seluas-luasnya kesempatan bagi pelaku usaha untuk masuk ke dalam bisnis kelistrikan?

Jika kran bisnis kelistrikan dibuka lebar-lebar bagi seluruh pelaku usaha yang ada, potensi terjadinya kelebihan pasokan akan muncul. Hal itu menjadikan tenaga listrik yang diproduksi menjadi sia-sia.

Namun bisa juga definisi prinsip usaha yang sehat diintepretasikan dengan menjaga rasio jumlah pelaku usaha yang merepresentaskan besaran pasokan dengan jumlah pelanggan yang mencerminkan besaran demand pasokan.

Dalam UU tidak dijelaskan secara detail mengenai batasan mana yang dimaksud dengan prinsip usaha yang sehat itu.

Masalah regionalisasi pentarifan yang ada dalam UU tersebut juga menjadi bahan diskusi yang menarik. Sebagaimana yang terlihat dalam pasal 34 ayat 1 yang menyatakan tarif tenaga listrik ditentukan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR.

Sementara itu pada pasal 34 ayat 2 disebutkan bahwa Pemda juga bisa menetapkan tarif daerahnya dengan mendapat persetujuan DPRD setempat. Apabila Pemda tidak bisa menetapkan mekanisme tarif, maka bisa mengacu pada peraturan tarif yang telah ditentukan oleh pemerintah yang telah disetujui oleh DPR.

Selama ini regionalisasi tarif telah dilaksanakan di dua tempat yaitu di Batam dan Tarakan Kalimantan Timur. Dengan adanya UU ini, semua daerah bisa menetapkan tarif listriknya sendiri dengan mempertimbangkan berbagai variabel.

Sebagaimana yang kerap terjadi pada Perda tentang perpajakan yang sering tidak sesuai dengan PP, hal yang sama kemungkinan besar juga terjadi dalam penetapan tarif listrik yang ditetapkan oleh Pemda dengan persetujuan DPRD.

Hadirnya PP tentang kelistrikan sangat diperlukan untuk memberikan landasan operasional bagi UU Kelistrikan. Setidaknya ada beberapa hal yang harus diatur dalam PP kelistrikan ini. Pertama adalah masalah pembagian kewenangan antara pusat dan daerah terkait dengan masalah perizinan dan penetapan tarif, kedua mengatur peranan BUMN sebagai prioritas, dan ketiga soal pengaturan tarif listrik, jual-beli listrik antar negara, serta tindakan hukum mengenai masalah klasik yang sering terjadi di Indonesia: pencurian listrik.

Konsumen Industri dan Benefit Kompetisi Bisnis Kelistrikan

Salah satu pihak yang menderita akibat kurangnya pasokan listrik adalah industri. Seperti yang terjadi saat kawasan Jabotabek mengalami kekurangan listrik pada kuartal IV/ 2009, banyak industri yang mengeluh akibat masalah itu.

Page 7: referensi kajian ketenagalistrikan

Omzet mengalami penurunan yang signifikan, sehingga kinerja perusahaan menjadi terganggu akibat kurangnya masalah listrik.

Saat ini ada beragam jenis industri yang membutuhkan pasokan listrik. Saking butuhnya, industri tersebut berani membayar dengan harga yang lebih tinggi dari tarif regular. Namun saat ini peraturan yang ada belum memungkinkan lantaran tarif dasar listrik ditentukan oleh besar daya listrik yang dibeli.

Melalui UU kelistrikan yang baru itu sangat diharapkan adanya ketentuan yang mengatur mengenai klasifikasi industri yang membutuhkan pasokan listrik. Dalam PP yang dibuat, hendaknya pemerintah bisa membuat klasifikasi industri yang lebih membutuhkan listrik.

Dengan dibuatnya klasifikasi industri yang lebih baik, subsidi bisa lebih tepat, terkait rasionalisasi TDL Bagaimanapun, industri merupakan bagian terpenting penyokong perekonomian nasional. Jika konsumen ini terganggu, akan muncul potensi dampak sistemik dalam rantai perekonomian nasional.

Melalui UU kelistrikan ini, berbagai kemungkinan itu sangat terbuka untuk dijajaki, terutama mengenai klasifikasi industri yang butuh prioritas pasokan dan bersedia membayar lebih listrik yang dikonsumsi. Dan, yang tak bisa dimungkiri dari itu semua adalah adanya kepastian pasokan listrik kepada konsumen.

Dengan adanya pemain bisnis yang lebih dari satu dalam bisnis kelistrikan, masalah pasokan listrik tentunya bisa lebih diandalkan, berikut dengan harga yang bisa bersaing.

Bagi PLN, terbukanya pasar kelistrikan itu akan membuat perusahaan tersebut berpikir terdorong untuk lebih efisien agar mampu merebut konsumen.

Dengan terbukanya kompetisi dalam sektor kelistrikan ini, maka masing-masing pelaku usaha akan berupaya menawarkan tarif yang paling kompetitif agar bisa diterima oleh konsumen.

Pun dengan PLN yang selama ini menguasai jaringan kelistrikan nasional, mau tak mau juga harus berusaha untuk lebih efisien sehingga tarif listrik yang dikenakan ke konsumen lebih murah.

Tak dimungkiri, PLN selama ini secara alamiah memonopoli bisnis kelistrikan nasional. Dengan terbaginya 4 bisnis kelistrikan ini, swasta yang masuk ke bisnis ini bisa melakukan sewa menyewa transmisi sehingga penentuan tarif bisa dilakukan secara transparan.

Jalan Tengah Pemerintah

Meski terkesan liberal dan membuka kesempatan bagi swasta yang lebih besar menjalankan bisnis kelistrikan, namun UU No.30 tahun 2009 sebenarnya sebagian besar masalah kelistrikan ini tetap di tangan pemerintah.

Terlihat dalam pasal 34 yang menyatakan bahwa mekanisme tarif ditentukan oleh pemerintah dengan persetujuan dari DPR. Pihak operator dilarang mematok harga jual sendiri.

Page 8: referensi kajian ketenagalistrikan

Di sisi lain, BUMN yang dalam hal ini PLN tetap diberi prioritas untuk menyediakan tenaga listrik kepada masyarakat, dan swasta bisa masuk ke satu wilayah ketika PLN tidak memiliki jaringan di wilayah yang bersangkutan.

Hal inilah yang sebenarnya ingin diusung oleh UU tersebut yang mencoba membuka kesempatan bagi swasta untuk berpartisipasi lebih banyak dalam bisnis kelistrikan, serta tetap memberi prioritas kepada PLN untuk menyelenggarakan jasa layanan tenaga listrik kepada masyarakat.

Pemerintah selaku “wasit” dalam kompetisi tetap memegang peran sentral dalam hal penetapan harga, sehingga mekanisme pasar tetap berjalan dengan koridor yang digariskan pemerintah.

Namun demikian, ketika pasar sudah mulai berjalan dalam industri kelistrikan, negosiasi business to business menjadi satu hal yang tak bisa dimungkiri. Konsumen industri akan melakukan negosiasi dengan pihak penjual listrik mengenai harga wajarnya. Demikian pula dengan pembangkit swasta yang ingin menyewa jaringan listrik PLN.

Dalam perjalanannya, proses negosiasi itu kerap mengalami deadlock. Seperti yang terjadi antara PLN dengan konsorsium pemilik pembangkit Banko Tengah yang berkapasitas 4X600 MegaWatt. Kebuntuan pembicaraan mengenai harga jual menyebabkan pembangkit listrik tidak bisa mengalir, dan pasokan daya listrik tidak mengalami penambahan.

Karena itu, pemerintah sekiranya perlu untuk membentuk sebuah komite yang bisa menjadi mediator bagi penerapan TDL, maupun hal-hal lainnya sehingga berbagai kebuntuan negosiasi harga bisa diselesaikan melalui komite tersebut.

Terkait dengan masalah pembangkit, pemerintah hendaknya juga memberikan kemudahan izin bagi berdirinya pembangkit skala kecil untuk mendukung rasio elektrifikasi nasional. Saat ini baru 65%, dan ditargetkan pada 2020 sudah mencapai 95% dari total penduduk Indonesia.

Pemberian insentif juga harus dipikirkan bagi perusahaan penyedia jasa penghematan listrik sebagai bagian dari demand site management. Bagaimanapun, penghematan merupakan bagian penting dalam strategi kelistrikan Indonesia.

https://aergot.wordpress.com/2009/12/02/menyambut-uu-302009/

UU Ketenagalistrikan nomor 30 tahun 2009, dengan ini akankah rasio elektrifikasi akan meningkat ?JULY 5, 2010

Page 9: referensi kajian ketenagalistrikan

Kawasan Gadu IndukUndang-undang ketenagalistrikan merupakan undang-undang yang mengatur tentang segala hal mengenai pengadaan tenaga listrik. Undang-undang nomor 30 tahun 2009 ini merupakan pengganti dari undang-undang ketenagalistrikan sebelumnya yaitu nomor 15 tahun 1985. UU nomor 30 tahun 2009 terdiri dari 17 bab dengan 58 pasal sedangkan UU sebelumnya (nomor 15 tahun 1985) hanya memiliki 12 bab dengan 27 pasal. Pada UU terbaru ini dijelaskan mengenai asas dan tujuan, penguasaan dan pengusahaan tenaga listrik, kewenangan pengelolaan, ppenentuan tarif tenaga listrik, hingga sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran penyediaan tenaga listrik dan pemakaiannya.UU ketenagalistrikan nomor 30 tahun 2009 memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk ikut serta dalam menentukan kebijakan ketenagalistrikan di setiap daerahnya. Pengusahaan ini bisa dilakukan oleh badan usaha milik daerah atau badan usaha lain, misalkan koperasi, swasta atau swadaya masyarakat. Meskipun demikian, pemerintah pusat juga memiliki tanggung jawab dalam pengaturan ketenagalistrikan, misalkan penentuan

Page 10: referensi kajian ketenagalistrikan

ketenagalistrikan oleh PLN dalam skala nasional, kebijakan pemberian subsidi, atau bisa juga kebijakan dalam melakukan transaksi ketenagalistrikan dengan negara lain. Sehingga UU ini telah membagi wewenang pengaturan ketenagalistrikan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau disebut juga dengan desentralisasi ketenagalistrikan. Kebijakan mengenai ketenagalistrikan ini pun tetap akan dibuat dengan pengawalan DPR pusat dan DPRD. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan.Adanya desentraslisasi ketenagalistrikan ini tentunya memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah dimungkinkan rasio elektrifikasi akan meningkat, hal ini karena setiap pemerintah daerah tidak harus selalu menunggu kebijakan pusat untuk melakukan penyediaan listrik. Kemudian dengan adanya pusat-pusat pembangkit yang bisa dibangun di setiap daerah juga akan mengurangi rugi-rugi penyaluran dan biaya rugi-rugi yang nantinya akan ditanggung oleh konsumen karena semakin dekat pusat pembangkit dengan beban, semakin kecil pula rugi-rugi penyaluran yang dihasilkan. Di sisi lain, Desentralisasi ini juga memiliki kelemahan yaitu adanya kemungkinan permainan tarif listrik oleh pihak swasta. Hal ini dikarenakan bisnis kelistrikan bukan seperti bisnis makanan yang sekali dilarang bisa ditutup, namun bisnis ini sekali dibuka, dibangun infrastrukturnya dan dijalankan oleh swasta, maka akan sulit sekali oleh pemerintah untuk menutup bisnis yang dijalankan oleh swasta ini jika saja terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak swasta. Oleh karena itu, di sini diperlukan pengawalan yang cukup ketat baik dari Pemerintah pusat, Pemerintah daerah, DPR maupun DPRD untuk

Page 11: referensi kajian ketenagalistrikan

menghindari adanya celah-celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

https://soetechno.wordpress.com/2010/07/05/uu-ketenagalistrikan-nomor-30-tahun-2009-secercah-cahaya-untuk-pemadaman/

Sebagai contoh lain dapat kita lihat pula dalam Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003. Alasan para pemohon antara lain adalah banyaknya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (“UU Ketenagalistrikan”) yang tidak hanya bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga peraturan perundang-undangan lainnya. Para pemohon juga mengungkapkan bahwa UU Ketenagalistrikan telah dan akan merugikan kepentingan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia (merugikan kepentingan publik) dan adanya ketidakpastian hukum. Di samping itu, salah satu hal pokok dalam UU Ketenagalistrikan itu adalah ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik, yang menjadikan negara tidak lagi bertanggung jawab terhadap penyelenggaran usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum padahal seharusnya negara melakukan usaha penyediaan tenaga listrik. Akhirnya MK dalam amar putusannya menyatakan bahwa UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun, kini telah lahir UU Ketenagalistrikan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt543cbbdc3ac10/mungkinkah-uu-yang-di-judicial-review-dibatalkan-seluruhnya-oleh-mk

Gabungan Serikat Pekerja Kelistrikan Tolak Liberalisasi Usaha Kelistrikan Dan Meminta Batalkan UU No 30 Tahun 2009hukrim

 14.10

 

A+A-

Page 12: referensi kajian ketenagalistrikan

PRINTEMAIL

f

 

t

 

g+

Jakarta Buana-News.com - Gabungan Serikat Pekerja Kelistrikan menolak liberalisasi usaha ketenagalistikan dan meminta pemerintah membatalkan Undang-undang 30 tahun 2009.

Hal tersebut dicantumkan dalam pernyataan bersama antara SP PLN, SP PJB, PP IP, FS UI yang mengajukan uji materi UU No 30/2009 tentang ketegalistrikan. Dalam pernyataan tersebut mereka menilai UU No 30/2009 tentang ketenagalistrikan hakekatnya sama dengan UU NO 20/2002 yang telah dibatalkan MK pada 2004.

Mereka juga menilai pemisahan PLN Indonesia Timur dari NTB, NTT, Maluku Selatan, Papua Barat adalah wujud Unbundling Horisontal merepakan rencana dari Power Sector Restructuring Program merupakan buatan WB, ADM dan IMF yang merupakan tahap Proivatisasi PLN dan Liberalisasi Kelistrikan.

Selain itu, mereka juga mengatakan kenaikan tarif listrik dengan strategi "price adjustment" adalah dalam rangka "Profitisasi" PLN yang sebelumnya privatisasi tengah dilaksanakan. Lebih lanjut mereka menilai Proyek Pembangkit 35.000 MW hanya akan

Page 13: referensi kajian ketenagalistrikan

mempailitkan PLN, yang selanjutkan PLN akan dijual secara murah kepada Investor khususnya Investor Asing.

Ketua Dewan Pembina SP PLN Ahmad Daryoko meminta, pemerintah tidak tunduk kepada Lembaga Keuangan Dunia. "Kami akan melakukan konsolidasi diantara kekuatan serikat pekerja, buruh dan seluruh rakyat Indonesia guna melawan kebijakan kebijakan Neolib tersebut, bila pemerintah tidak menghentikannya,"ujarnya di Jakarta, Senin (14/3).

Ditempat yang sama, Eko Sumantri selaku Sekjen SP PLN  mengatakan, walaupuin saat ini pengelolaan listrik masih dilakukan oleh PLN, tapi kalau di liberalisasi maka yang menjadi korban adalah seluruh masyarakat Indonesia.

"Ini bukan hal yang sederhana ini menyangkut masalah kita semuanya, dan satu hal lagi mengenai proyek listrik 35.000MW akan membuat Indonesia terang benderang, akan tetapi ini merupkan kebohonagan karena proyek ini dibangunan di Pulau Jawa yang saat ini kelebihan listrik. Saya mengharapkan kita semua mencermati hal ini karena ini terjadi kebohongan publik,"tegasnya.

Sementara itu, Peneliti Puskaekopol UBK Salamuddin Daeng menegaskan, liberalisasi kelistrikan akan berdampak sangat buruk bagi masyarakat serta sektor-sektor ketenagalistikan.

"Ini kita lakukan untuk menolak liberalisasi sektor kelistrikan di Indonesia yang kita tahu akan berdampak semakin mahalnya harga listrik yang harus dibayar oleh masyarakat dan sektor lainnya dan ujungnya akan mengurangi daya beli dan terkahir akan meningkatkan kemiskinan masyarakat Indonesia,"ujarnya.

http://www.buana-news.com/2016/03/gabungan-serikat-pekerja-kelistrikan.html

LISTRIK BUKAN UNTUK BISNIS, TAPI UNTUK RAKYATKAMIS, 21 JANUARI 2016 , 11:58:00 WIB

PEMERINTAH berencana mencabut Subsidi Listrik untuk 450 VA dan 900 VA pertengahan tahun 2016 ini. Dengan alasan subsidi untuk listrik sudah sangat besar dan membebani anggaran negara. 

  

Page 14: referensi kajian ketenagalistrikan

Menurut data resmi jumlah  pelanggan 450 VA dan 900 VA mencapai 48 juta rumah tangga. Yang dianggap miskin oleh TNP2K hanya 24,7 juta rumah tangga. Artinya ada sekitar 23 juta rumah tangga yang akan di cabut subsidi listriknya. Dan di perkirakan ada 3-5 juta orang akan jatuh miskin, bahkan kemungkinan jumlahnya lebih besar karena 23 juta rumah tangga yang dicabut subsidinya tergolong hampir miskin. 

Diperkirakan harga listrik akan naik 250 persen setelah subsidi dicabut. Dan sudah pasti akan terjadi penurunan daya beli rakyat, karena harus menambah anggaran pembayaran listrik. Kenaikan TDL juga akan memukul Usaha Kecil dan Usaha Rumah Tangga yang selama ini menjadi pelanggan 900 VA karena biaya produksi mereka akan meningkat. 

Pencabutan subsidi untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA hanyalah akal-akalan pemerintah untuk menggiring rakyat menjadi pelanggan 1300 VA. Karena harga yang berlaku untuk 1300 VA sudah mengikuti mekanisme pasar. Tarif listrik 1300 VA akan di sesuaikan dengan nilai tukar dollar US terhadap Rupiah, harga minyak dunia dan inflasi bulanan. Pencabutan subsidi hanya skenario menuju mekanisme pasar, harga listrik akan kompetitif. Dan melemahkan PLN dari hulu hingga hilir. 

Karena UU No 30 tahun 2009 memungkinkan swasta dalam bisnis pembangkit, transmisi dan distribusi. Tolak Pencabutan Subsidi Listrik..!!! Hentikan Liberalisasi di sektor kelistrikan. Cabut UU No 30 Tahun 2009 tentang kelistrikan. Maksimalkan investasi negara membangun pembangkit listrik. Maksimalkan pengembangan energi listrik tenaga surya, tenaga angin, panas bumi dll. Pancasila Dasarnya, Trisakti Jalannya, Republik Indonesia Keempat: Masyarakat Adil Makmur Tujuannya.http://www.rmol.co/read/2016/01/21/232838/Listrik-Bukan-Untuk-Bisnis,-Tapi-Untuk-Rakyat-