referat.docx

28
BAB I PENDAHULUAN Polip hidung adalah salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di bagian THT. Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu juga memberikan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya seperti di sekolah, di tempat kerja, ataupun aktivitas harian. Umumnya pasien dengan polip hidung mengeluhkan adanya sumbatan pada hidung yang semakin lama semakin berat. Kemudian pasien juga mengeluhkan adanya gangguan penciuman dan sakit kepala. Untuk mengetahui massa di rongga hidung merupakan polip atau bukan selain perlu dikuasai anatomi hidung juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain. Di dalam referat ini akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi hidung serta patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan pada polip nasi. 1,2 BAB II ISI 1

Upload: priskillia-alberta-k

Post on 15-Nov-2015

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Polip hidung adalah salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di bagian THT. Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu juga memberikan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya seperti di sekolah, di tempat kerja, ataupun aktivitas harian. Umumnya pasien dengan polip hidung mengeluhkan adanya sumbatan pada hidung yang semakin lama semakin berat. Kemudian pasien juga mengeluhkan adanya gangguan penciuman dan sakit kepala. Untuk mengetahui massa di rongga hidung merupakan polip atau bukan selain perlu dikuasai anatomi hidung juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain. Di dalam referat ini akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi hidung serta patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan pada polip nasi.1,2

BAB IIISI

2.1 DEFINISIPolip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung. Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu-abuan, mengkilat, lunak karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi kekuning-kuningan atau kemerah-merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa). Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.Polip antrokoanal adalah suatu lesi polipoid jinak yang berasal dari mukosa antrum sinus maksila yang inflamasi dan udematus, dapat meluas ke koana. Terbanyak berasal dari mukosa dinding antrum bagian posterior. Polip ini juga dikenal sebagai Killians polyps karena ia pertama kali ditemukan oleh Killian pada tahun 1753. Polip antrochoanal (ACP) terdiri dari 2 komponen yaitu komponen kistik dan padat. Etiopatogenesis polip antrokoanal sampai saat ini masih kontroversi. Polip antrokoanal banyak ditemukan pada anak dan dewasa muda dengan gejala utama hidung tersumbat unilateral dan rinore. Nasoendoskopi dan tomografi komputer merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosis polip antrokoanal.1

2.2 EPIDEMIOLOGIPolip nasi dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip nasi biasanya terjdi pada rentang usia 30 tahun sampai 60 tahun dimana dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada pria.Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak. Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anak-anak untuk menderita polip. Bila ada polip pada anak-anak dibawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel.2Dahulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi mungkin banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti.12.3 ANATOMIUntuk lebih memahami mengenai polip hidung perlu diketahui anatomi dan fisiologi hidung. Adapun ulasannya sebagai berikut: Hidung LuarHidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dapat dilihat pada gambar 1. Gambar 1. Hidung Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. nasalis pars transversa & M. nasalis pars allaris yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.

KavumNasiRongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dan nasofaring.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yang dapat dilihat pada gambar 2. Bagian terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung letaknya, ada 3 meatus. Meatus inferior terdapat muara ostium duktus nasolakrimalis, meatus medius terdapat muara sinus fromtal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sius-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal.Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama-sama arteri.

Persarafan anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N. Etmoidalis anterior. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.

Gambar 2. Anatomi Hidung Mukosa HidungRongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologi dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan dan mukosa penghidu yang dapat dilihat pada gambar 3. Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah dan selalu basah karena diliputi oleh palut lender (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lender ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.

Gambar 3. Mukosa HidungSilia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teatur, palut lender di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

2.4 FISIOLOGI HIDUNG Sebagai jalan nafas Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

Pengatur kondisi udara (air conditioning) Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.

Sebagai penyaring dan pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh : Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi Silia Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

Indra penghidu Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

Resonansi suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.

Proses bicara Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.

Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.5 ETIOLOGIPolip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu-raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah.Faktor predisposisi terjadinya polip antara lain: Alergi terutama rinitis alergi. Sinusitis kronik. Iritasi. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka.1,3,4

2.6 PATOGENESISPada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip. Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.

Beberapa teori tentang pembentukan polip yaitu:

1. Ketidakseimbangan vasomotorTeori ini tersirat karena mayoritas polip hidung pasien tidak atopik dan tidak ada alergen yang jelas yang dapat ditemukan. Pasien sering memiliki periode prodomal rhinitis sebelum terjadinya polip.Polip hidung sering memiliki vaskularisasi yang buruk tidak memiliki persarafan vasokonstriktor. Vaskular terganggu peraturan dan permeabilitas pembuluh darah meningkat dapat menyebabkan edema dan pembentukan polip. 2. Alergi Alergi dicurigai karena 3 faktor yaitu mayoritas nasal polip mempunyai eosinofil, berhubungan dengan asma, dan mempunyai gejala dan tanda mirip dengan alergi3. Fenomena BernoulliHasil Fenomena Bernoulli dalam Penurunan tekanan yang menyebabkan vasokonstriksi.Tampaknya bahwa tekanan negatif menginduksi mukosa yang meradang pada rongga hidung mengakibatkan pembentukan polip.Jika ini satu-satunya faktor, mukosa terdekat katup hidung akan membentuk polypoidal.4. Teori Ruptur Epitel Rupturnya epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat menyebabkan prolaps mukosa lamina propria sehingga polip terbentuk.Mungkin cacat diperbesar oleh efek gravitasi atau obstruksi drainase vena.5. Intoleransi Aspirin Banyak konsep yang canggih untuk menjelaskan patogenesis intoleransi aspirin dan asosiasi dengan polip hidung.Sebuah entitas klinis terkenal yang merupakan produk dari tiga kondisi: asma, aspirin sensitivitas dan polip hidung.Ini adalah sindrom klinis yang berbeda, ditandai dengan presipitasi serangan rhinitis dan asma oleh aspirin dankebanyakan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID).Rinitis persisten muncul di usia rata-rata 30 tahun, maka asma, intoleransi aspirin, dan hidung polip.COX1 atau COX2 mungkin lebih rentan terhadap ASA atau bisa menghasilkan metabolit yang tidak diketahui yang merangsang cysteinyl leukotrien (Cys-LT).Metabolisme asam arakidonat merangsang jalur inflamasi leukotrien. Hal ini menyebabkan penurunan di tingkat PGE2, PG antiinflamasi.LTC4 sintase berlebih selanjutnya akan meningkatkan jumlah dari LTS cysteinyl, memiringkan keseimbangan ke arah peradangan.Hal ini dapat berkontribusi untuk respon peradangan tidak terkendali dan peradangan kronis.6. Cystic fibrosisCystic fibrosis adalah merupakan gangguan autosomal resesif populasi kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan oleh mutasi pada gen tunggal pada kromosom 7, nama transmembran cystic fibrosis regulator (CFTR).Hal ini menyebabkan adanya siklik AMP-regulated saluran klorida dan abnormal regulasi natrium, klorida menghasilkan impermeabilitas dan penyerapan natrium meningkat. Poeningkatan penyerapan natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan pergerakan cairan ke dalam sel dan ruang interstitial yang menyebabkan retensi cairan, pembentukan polip, dan dehidrasi.7. Nitrat oksidaOksida nitrat adalah gas radikal bebas, yang dihasilkan dari L-arginin oleh keluarga enzim oksida nitrat synthases (Noss).Nitrat oksida memainkan peran utama dalam reaksi imun spesifik, regulasi vaskular, pertahanan tubuh, dan peradangan jaringan.Radikal bebas dipertahankan dalam keseimbangan oleh sistem pertahanan antioksidan superoksida dismutase (SOD) peroksidase, katalase dan glutation.Meskipun transien, radikal bebas bisa membanjiri antioksidan yang mengakibatkan kerusakan sel, cedera jaringan dan penyakit kronis.Karlidag et al melaporkan peningkatan dalam kadar oksida nitrat dan penurunan enzim (SOD) pada pasien polip hidung dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan adanya radikal bebasyang menyebabkan kerusakan pada polip hidung. 8. InfeksiPeran infeksi dianggap penting dalam pembentukan polip.Ini didasarkan pada model eksperimental di mana terdapat gangguan epitel dengan proliferasi jaringan diinisiasi oleh infeksi bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Bacteroides fragilis (semua umum patogen dalam rinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa, yang sering ditemukan dalam cystic fibrosis. 9. Hipotesis superantigen Staphylococcus aureus terdapat pada musin polip hidung pada sekitar 60 sampai 70%.Organisme ini selalu menghasilkan toxin, Staphylococcus enterotoxin A (SEA), Staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1), yang mungkin bertindak sebagai superantigens, menyebabkan aktivasi dan klon perluasan dari limfosit dengan dalam dinding lateral hidung.Ini diaktifkan limfosit menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 baik (IFN-, IL-2, IL-4, IL-5), menyebabkan penyakit kronis lymphocyticeosinophilic.Antibodi IgE spesifik untuk SEA dan SEB terdeteksi pada 50% dari hidung jaringan polip dan antibodi IgE spesifik dalam serum untuk stafilokokus (SEB, TSST) ditemukan pada 78% dari polip hidung.10. Infeksi jamurElemen jamur dihirup menjadi terperangkap dalam lendir sinonasal, menyebabkan eosinofil bergeser dari mukosa pernafasan ke lumen oleh mekanisme yang belum diketahui.Selama proses ini, mereka memproduksi mediator yang mengakibatkan peradangan pada mukosa.Elemen jamur ditemukan pada histologi pada 82% pasien rinosinusitis kronis menjalani operasi sinus.11. Predisposisi genetikEtiologi genetik dicurigai dalam pengembangan dari poliposis hidung berdasarkan agregasi keluarga. Cystic fibrosis merupakan resesif autosomal yang berhubungan dengan mutasi gen CFTR dalam wilayah Q31 pada lengan panjang kromosom 7. HLA-DR dinyatakan pada permukaan sel-sel inflamasi paranasal pada mukosa dan polip hidung.Orang dengan HLA-DR7-DQA1 dan HLA-DQB1 haplotipe memiliki dua atau tiga kali lebih tinggi untuk mengembangkan polip hidung.12. Komposisi Selular Pada sebagian besar polip hidung, eosinofil terdiri lebih dari 60% dari populasi sel, kecuali di cystic fibrosis.Ada adalah peningkatan sel T CD8+ diaktifkan oleh sel T mendominasi lebih dibandingkan CD4+.Mast sel dan plasma sel juga meningkat dibandingkan dengan mukosa hidung yang normal. 13. Kimia mediatorSelain infiltrasi sel inflamasi meningkat, peningkatan ekspresi dan produksi varietas sitokin proinflamasi dan kemokin telah telah dilaporkan dalam polip hidung.Histamine nyata meningkat pada polip hidung, melebihi tingkat 4000 ng/ml. Peningkatan produksi granulosit/macrophage colony-stimulating factor, IL-5, RANTES dan eotaxin dapat berkontribusi untuk migrasi eosinofil.Peningkatan kadar IL-8 dapat menginduksi infiltrasi neutrofil.Meningkatkan ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular dan upregulationnya dengan mengubah faktor pertumbuhan-[beta] yang dapat berkontribusi edema dan angiogenesis dalam polip hidung.IgA dan IgE juga meningkat pada hidung polip. Selain itu, produksi lokal IgE dalam polip hidung dapat berkontribusi pada kekambuhan polip hidung melalui IgE-sel mast-Fc RI [epsilon] kaskade.

2.7 GAMBARAN MAKROSKOPISSecara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple, dan tidak sensitive (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan epitel.Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskopi, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang tunbuh ke arah belakang dan membesar di arah nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip anterokoana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid.1

2.8 GAMBARAN MIKROSKOPISSecara mikroskopis tampak epitel pada mukosa polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi dua yaitu polip tipe eosinofilik dan neutrofilik.1

2.9 GEJALA KLINISGejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung. Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rinorea.Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama adalah bersin dan iritasi pada hidung. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapatkan post nasal drip dan rinorea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat juga menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.12.10 DIAGNOSIS AnamnesisPada anamnesa kasus polip, keluhan utama biasanya adalah hidung tersumbat. Sumbatan ini menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa didalam hidung dan sulit membuang ingus. Gejala lain adalah gangguan penciuman. Gejala sekunder dapat terjadi bila sudah disertai kelainan organ didekatnya berupa adanya post nasal drip, sakit kepala, nyei pada wajah, suara nasal (bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Selain itu juga harus ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspririn dan alergi obat serta makanan.

Pemeriksaan FisikPolip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anrerior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaannya adalah massa berwarna pucat berasal dari meatus medius, bertangkai, mudah digerakkan, konsistensi lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian vasokonstrikor (kapas adrenalin) tidak mengecil.Pembagian polip hidung menurut Mackay dam Lund (1997), yaitu : Stadium 1: polip masih terbatas di meatus medius. Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung. Stadium 3: polip yang massif.

Gambar 4. Skema Polip Hidung

Pemeriksaan Penunjang Naso-endoskopiAdanya fasilitas endoskopi (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. Pemeriksaan RadiologiFoto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairandidalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer (CT-Scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses peradangan, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal.1 2.11 DIAGNOSIS BANDINGPolip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri-cirinya sebagai berikut : Tidak bertangkai Sukar digerakkan Nyeri bila ditekan dengan pinset Mudah berdarah Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati-hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bias menyebabkan vasokonstriksi sistemik, meningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.

POLIPPOLIPOID MUKOSA

Bertangkai, dapat digerakkanTidak bertangkai, sukar digerakkan

Konsistensi lunakKonsistensi keras

Tidak nyeri bila ditekanNyeri pada penekanan

Tidak mudah berdarahMudah berdarah

Berwarna putih kebiruanBerwarna merah muda

Tidak mengecil pada pemberian vasokonstriktorMengecil pada pemberian vasokonstriktor

2.12 PENATALAKSANAANTujuan utama pengobatan pada polip nasi adalah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mecegah rekurensi polip.Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid :1. oral, misalnya prednisone 50 mg/hari atau dexamethasone selama 10 hari, kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off).2. Suntikan intrapolip, misalnya Triamsinolon asetonid atau prednisone 0.5 cc, tiap 5-7 hari sekali, sampai polipnya hidung.3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat untuk rhinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai larutan pengobatan kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih aman.

Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan drainase sinus. Oleh karena itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus paranasal untuk melihat adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu, pada pasien polip dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya perdarahan pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh dilupakan.

Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar polip setelah pemberian dekongestan dan anestesi local. Pada kasus polip yang berulang-ulang, perlu dilakukan operasi etmoidektomi oleh karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi ada dua cara, yakni :1. intranasal2. ekstranasalYang terbaik adalah bila tersedia fasilitas endoskopi maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).1

2.13 PROGNOSISPolip hidung dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut. Rekurensi dari polip umummya terjadi bila adanya polip yang multiple. Polip tunggal yang besar seperti polip antral-koanal jarang terjadi relaps.Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rhinitis alergi adalah menghindari kontak dengan allergen penyebab dan eliniasi.Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bias mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.1

BAB IIIPENUTUP

KESIMPULAN Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan. Etiologi polip terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata dan adanya sekret hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan masaa yang lunak, bertangkai, mudah digerakkan, tidak ada nyeri tekan dan tidak mengecil pada pemberian vasokonstriktor lokal. Penatalaksanaan untuk polip nasi bisa secara konservatif maupun operatif, yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari pasien sendiri. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani polipektomi beberapa kali dalam hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Wardani RS. Polip hidung. Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.h.101-3.2. Van Der Baan. Epidemiology and natural history dalam Nasal Polyposis. Copenhagen: Munksgaard, 1997. 13-15.3. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea & Febiger 14th edition. Philadelphia. 19914. Newton, JR. Ah-See, KW. A Review of nasal polyposis. Therapeutics and Clinical Risk Management 2008:4(2) 507512

12