referat tonsilektomi

28
REFERAT TONSILEKTOMI Disusun oleh : Bellinda Paterasari 030.09.046 Pembimbing : Dr.M.Agus S.Sp.THT.KL,M Kes Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorok RS TNI Angkatan laut Dr.Mintohardjo

Upload: bellinda-paterasari

Post on 30-Nov-2015

279 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

tonsilektomi adalah teknik pengangkatan tonsil yang masih kontroversial mengenai indikasi dan kontraindikasi pelaksanaannya.

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT TONSILEKTOMI

REFERAT

TONSILEKTOMI

Disusun oleh :

Bellinda Paterasari

030.09.046

Pembimbing :

Dr.M.Agus S.Sp.THT.KL,M Kes

Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorok

RS TNI Angkatan laut Dr.Mintohardjo

Periode 10 Juni – 13 Juli 2013

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta

Page 2: REFERAT TONSILEKTOMI

LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul “tonsilektomi“ telah diterima dan disetujui pada tanggal 4 Juli

2013 oleh pembimbing,sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik

ilmu telinga,hidung,tenggorok,kepala,dan leher Rumah Sakit TNI Anggakatan Laut Dr

Mintohardjo.

Jakarta,4 Juli 2013

Dr.M.Agus S.Sp.THT.KL,M Kes

Page 3: REFERAT TONSILEKTOMI

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan rahmatnya

saya dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “TONSILEKTOMI”

penyusunan referat ini dimaksudkan untuk melengkapi tugas di kepaniteraan klinik

ilmu penyakit telinga hidung dan tenggrorok di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr

Mintohardjo Jakarta.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai

pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini, terutama kepada :

1. Dr.M.Agus S.Sp.THT.KL,M Kes

2. Dr. Elliot Gintings.Sp.THT

3. Staf SMF THT RSAL.Dr.Mintohardjo Jakarta

4. Rekan-rekan koassisten Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan THT

RSAL,Dr.Mintohardjo periode 10 Juni – 13 Juli 2013

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada pihak lain yang telah membantu,baik

secara langsung maupun tidak langsung.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih ditemui banyak

kekurangan,baik isi maupun format penyusunan.maka dari itu saya mengharapkan

kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan dimasa mendatang.

Akhir kata,saya selaku penyusun berharap referat mengenai “TONSILEKTOMI”

ini dapat berguna bagi rekan-rekan sekalian.

Jakarta, Juli 2013

Penyusun

Bellinda Paterasari

030.09.046

Page 4: REFERAT TONSILEKTOMI

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................2

KATA PENGANTAR....................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................5

BAB II TONSILEKTOMI…….................................................................................7-16

Definisi...................................................................................................................

Epidemiologi..........................................................................................................

Anatomi dan Fisiologi Tonsil ...............................................................................

Jenis Tonsilektomi……………………………………………………………….

Indikasi dan Kontraindikasi ..................................................................................

Persiapan Preoperasi dan Postoperasi ...................................................................

Komplikasi…….....................................................................................................

BAB III KESIMPULAN...............................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................18

Page 5: REFERAT TONSILEKTOMI

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah

operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila dibandingkan

dengan prosedur operasi manapun. Konsensus umum yang beredar sekarang

menyatakan bahwa tonsilektomi telah dilakukan dalam jumlah yang tidak tepat

(seharusnya) pada anak-anak pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena

keyakinan para dokter dan orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan

berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis. Padahal pembesaran tonsil jarang

merupakan indikasi untuk pengakalan kebanyakan anak anak mempunyai tonsil yang

besar, yang ukurannya akan menurun sejalan dengan perlambatan usia. Pada dekade

terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang, namun juga

untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan, kegagalan

penambahan berat badan, overbite, tounge thrust, halitosis, mendengkur, gangguan

bicara dan enuresis.1 Saat ini walau jumlah operasi tonsilektomi telah mengalami

penurunan bermakna, namun masih menjadi operasi yang paling sering dilakukan.

Pada pertengahan abad 19 yang lalu, mulai terdapat pergeseran dari hampir

tidak adanya kriteria yang jelas untuk melakukan tonsilektomi menjadi adanya kriteria

yang lebih jelas dan tegas. Saat ini indikasi tonsilektomi masih beragam. Di abad ke 20

tonsilektomi dilakukan karena tonsil merupakan fokus infeksi untuk penyakit sistemik

seperti reumatisme. Sampai saat ini telah dikembangkan berbagai studi untuk

menyusun indikasi formal yang ternyata menghasilkan perseteruan dari berbagai pihak

terkait. Dalam penyusunannya ditemukan kesulitan untuk memprediksi kemungkinan

infeksi di kemudian hari sehingga dianjurkan terapi dilakukan dengan pendekatan

personal dan tidak berdasarkan peraturan yang kaku. American Academy of

Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah mengeluarkan rekomendasi resmi

mengenai tindakan tonsilektomi yang merupakan kesepakatan para ahli.

Tonsilektomi telah dilakukan oleh dokter THT, dokter bedah umum, dokter

umum dan dokter keluarga selama lebih dari 50 tahun terakhir. Namun, dalam 30 tahun

terakhir, kebutuhan akan adanya standarisasi teknik operasi menyebabkan pergeseran

pola praktek operasi tonsilektomi. Saat ini di Amerika Serikat tonsilektomi secara

ekslusif dilakukan oleh dokter THT.

Page 6: REFERAT TONSILEKTOMI

Tingkat komplikasi, seperti perdarahan pascaoperasi berkisar antara 0,1-8,1%

dari jumlah kasus. Kematian pada operasi sangat jarang. Kematian dapat terjadi akibat

komplikasi bedah maupun anestesi. Tantangan terbesar selain operasinya sendiri

adalah pengambilan keputusan dan teknik yang dilakukan dalam pelaksanaannya.

Permasalahan

Dalam praktek sehari-hari, terdapat beberapa masalah utama seputar

tonsilektomi, yaitu penentuan indikasi tonsilektomi baik bagi anak maupun dewasa dan

belum adanya koordinasi antara masing-masing cabang ilmu kedokteran spesialis

dalam hal ini. Selain itu, ditinjau dari segi keamanan, hingga kini belum ada acuan

mengenai teknik terpilih dalam melakukan tindakan tonsilektomi.

Tujuan

Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar kebijakan penerapan teknologi

tonsilektomi pada pasien-pasien THT di Indonesia.

Page 7: REFERAT TONSILEKTOMI

BAB II

TONSILEKTOMI

Definisi

Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral

maupun bilateral. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan

jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.2

Adapun pengertian lain yang menyebutkan bahwa tonsilektomi adalah pembedahan

eksisi tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis yang berulang. Tonsilektomi

merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti

tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan

ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di AS karena kekhawatiran

komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi

digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.

Epidemiologi

Tonsilektomi pertama kali diperkenalkan 2000 tahun yang lalu oleh Celcus

dengan cara diseksi digital radikal. Menjerat dan menggunting tonsil (tonsilektomi)

diperkenalkan sekitar abad 19, begitu juga alat pengungkit tonsil (tonsil elevator). Pada

awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi,

adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat.3 Pada saat

itu tonsilektomi dilakukan dengan anestesi lokal dan pasien dalam keadaan duduk.

Namun dari waktu ke waktu angka ini mengalami penurunan, diperkirakan 278.000

anak-anak dibawah 15 tahun dilakukan tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi.

Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau

tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM

selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah

operasi tonsilektomi.4 Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun

terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi

tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.5

Anatomi dan Fisiologi Tonsil

Page 8: REFERAT TONSILEKTOMI

Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Tonsil

berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30

kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Cincin Waldeyer merupakan jaringan

limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil

faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal. Walaupun tonsil terletak di

orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil dapat meluas kearah nasofaring

sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau obstruksi hidung walau

jarang ditemukan. Arah perkembangan tonsil tersering adalah kearah hipofaring,

sehingga sering menyebabkan sering terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada

jalan nafas.

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu

1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan

arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina

desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri

faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis

dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut

diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal

asenden dan arteri palatina desenden. Aliran balik melalui vena-vena tonsil membentuk

pleksus yang bergabung dengan pleksus faring disekitar kapsul tonsil dan vena lidah.

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening

servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus

sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus

torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan

pembuluh getah bening aferen tidak ada.

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus

glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

A. Tonsil Palatina

Tonsil palatina merupakan suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam

fossa tonsilaris diantara sudut orofaring antara arcus faring anterior dan arcus

faring posterior. Tonsil palatina tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris,

daerah kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil palatina

terletak di lateral orofaring dibatasi oleh :

Lateral : muskulus konstriktor faring superior

Anterior : muskulus palatoglossus

Page 9: REFERAT TONSILEKTOMI

Posterior : muskulus palatofaringeus

Superior : palatum molle

Inferior : tonsil lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi

invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat

dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan

ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting

mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur

pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan

pusat germinal.

B. Tonsil Faringeal (adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid

yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun

teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong

diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian

tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.

Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring

terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke

fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada

masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal

antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi dan menghilang pada

umur 14 tahun.

C. Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum

glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen

sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.

Jenis Teknik Tonsilektomi

Ada beberapa teknik untuk melakukan tonsilektomi. Pada dasarnya, teknik-

teknik ini memiliki prinsip yang sama, hanya alat yang digunakan dan cara mengatasi

komplikasi yang berbeda. Teknik-teknik yang biasa digunakan untuk melakukan

tonsilektomi, antara lain:

1. Cara Guillotine  Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828) dari

Philadelphia, sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang adalah

Page 10: REFERAT TONSILEKTOMI

modifikasi Sluder. Di negara-negara maju cara ini sudah jarang digunakan dan

di Indonesia cara ini hanya digunakan pada anak-anak dalam anestesi umum.

Posisi pasien telentang dalam anestesi umum. Operator di sisi kanan

berhadapan dengan pasien.

Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan

pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula.

Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui sudut

kiri.

Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub

bawah tonsil dimasukkan ke dalam Iubang guillotine. Dengan jari telunjuk

tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga seluruh jaringan tonsil masuk ke

dalam Iubang guillotine.

Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.

Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine,

dengan bantuan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan diangkat

keluar. Perdarahan ditangani.

2. Cara diseksi Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909).  Cara ini

digunakan pada pembedahan tonsil orang dewasa, baik dalam anestesi umum

maupun lokal. Teknik :

Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan kepala

sedikit ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien.

Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag.

Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial

Dengan menggunakan respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari

fosanya secara tumpul sampai kutub bawah dan selanjutnya dengan

menggunakan jerat tonsil, tonsil diangkat. Perdarahan ditangani.

3. Cryogenic tonsillectomy   Tindakan pembedahan tonsil dapat menggunakan

cara cryosurgery yaitu proses pendinginan jaringan tubuh sehingga terjadi

nekrosis. Bahan pendingin yang dipakai adalah freon dan cairan nitrogen.

4. Electrosterilization of tonsil Merupakan suatu pembedahan dengan cara

koagulasi listrik pada jaringan tonsil (bedah listrik). Alat yang biasanya digunakan

adalah monopolar blade, monopolar suction, dan monopolar/bipolar diathermy.

Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi

radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang

Page 11: REFERAT TONSILEKTOMI

digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz.

Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan

konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas

dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini.

Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur

listrik (electrical pathway). Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W

untuk memotong, menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-

satunya teknik yang dapat melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam

satu prosedur. Dapat pula digunakan sebagai tambahan pada prosedur operasi lain.

Indikasi Tonsilektomi

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat

perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu

tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi

yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.3 Indikasi

tonsilektomi dibagi atas 2 kategori berdasarkan America Academy of Otolaryngology-

Head and Neck Surgery (AAO-HNS), indikasi absolut dan indikasi relatif.

Indikasi absolut

a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,

gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.

b) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase.

c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

d) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi.

Indikasi relatif

a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik

adekuat.

b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi

medis.

c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik

dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten.

d) Perbesaran tonsil unilateral yang diduga keganasan

Pada keadaan tertentu seperti pada keadaan abses peritonsil (quincy), tonsilektomi

dapat dilakukan bersamaan dengan insisi abses.

Page 12: REFERAT TONSILEKTOMI

Kontraindikasi

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi atau

keadaan dimana operasi tonsilektomi sulit untuk dilakukan pada pasien tersebut,

namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap

memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:

Gangguan perdarahan

Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat

Anemia

Infeksi akut yang berat

Persiapan Praoperasi

Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi pada seorang pasien terletak

di tangan dokter ahli di bidang ini, yaitu dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorok

(THT). Mengingat tonsilektomi umumnya dilakukan di bawah anestesi umum, maka

kondisi kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk menyatakan

kelayakannya menjalani operasi tersebut. Karena sebagian besar pasien yang menjalani

tonsilektomi adalah anak-anak dan sisanya orang dewasa, diperlukan keterlibatan dan

kerjasama dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam untuk memberikan

penilaian preoperasi terhadap pasien.6 Konsultasi ini dapat dilakukan baik oleh dokter

spesialis THT maupun spesialis anestesi. Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari

penilaian klinis yang diperoleh dari anamsesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik.

Penilaian laboratoris dan radiologik kadang dibutuhkan. Sampai saat ini masih terdapat

perbedaan baik di kalangan klinisi maupun institusi pelayanan kesehatan dalam

memilih pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi

tertentu. Hal ini memiliki dampak pada keselamatan pasien selain meningkatnya biaya

kesehatan yang harus dikeluarkan pasien, pemerintah atau pihak ketiga.

Page 13: REFERAT TONSILEKTOMI
Page 14: REFERAT TONSILEKTOMI

Informed consent perlu diberikan pada pasien sehubung dengan tindakan,

komplikasi, dan risiko yang potensial dialami oleh pasien. Selain itu puasa harus

dilakukan sebelum operasi. Lamanya puasa tergantung pada umur pasien.

Perawatan Postoperasi

Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi

randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya

nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika postoperasi. Antibiotika

yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut, biasanya

penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang menjalani tonsilektomi untuk infeksi

akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat faringitis berulang akibat streptokokus

harus diterapi dengan antibiotika. Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus

dilakukan secara rutin pada pasien dengan kelainan jantung.

Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia

yang berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi. Selain itu

juga bisa menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum operasi,

pasien harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi selesai untuk

mengurangi keluhan pembengkakan faring dan pada akhinya rasa nyeri.

Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah yang

secara jelas menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan menyebabkan

perdarahan postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan secara rutin saat pasien

bangun dan secara bertahap pindah ke makanan lunak merupakan standar perawatan.

Komplikasi

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi

umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan

komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani

Page 15: REFERAT TONSILEKTOMI

tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7

hari setelah operasi.7

1) Komplikasi anestesi

Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani

tonsilektomi dan adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini

terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat

ditemukan berupa:8,9

o Laringospasme

o Gelisah pasca operasi

o Mual muntah

o Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi

o Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan henti

jantung

o Hipersensitif terhadap obat anestesi

2) Komplikasi bedah10

Perdarahan Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah

kasus).11 Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau

di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien. Sebanyak

1 dari 100 pasien kembali karena masalah perdarahan dan dalam jumlah yang

sama membutuhkan transfusi darah. Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam

pertama dikenal sebagai early bleeding, perdarahan primer atau “reactionary

haemorrage” dengan kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak

adekuat selama operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan

primer ini sangat berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam

pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat

jalan napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat menyebabkan keadaan

hipovolemik bahkan syok. Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut

dengan late/delayed bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi

pada hari ke 5-10 pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya

sekitar 1%. Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena

infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang menyebabkan kerusakan pembuluh

darah dan perdarahan dan trauma makanan yang keras.

Page 16: REFERAT TONSILEKTOMI

Nyeri Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut

saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang

menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali

oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi. Nyeri tenggorok muncul

pada hampir semua pasien pascatonsilektomi. Penggunaan elektrokauter

menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik “cold” diseksi dan teknik

jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika

pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam

asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak

dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan

intravena dibutuhkan.

3) Komplikasi lain

Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000),

aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring,

lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.

Page 17: REFERAT TONSILEKTOMI

BAB III

KESIMPULAN

Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral

maupun bilateral. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan

jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.2

Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah operasi.

Dari pembahasan yang telah dilakukan mengenai tonsilektomi, telah dikatakan

banyak sekali kontroversi yang dilaporkan mengenai tonsilektomi. Hal ini dikarenakan

pelaksanaan tonsilektomi dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada anak-anak

pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena keyakinan para dokter dan

orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti ilmiah atau

studi klinis. Sering kali pembesaran tonsil jarang merupakan indikasi untuk

pengangkatan tonsil. Kebanyakan anak-anak mempunyai tonsil yang besar, yang

ukurannya akan menurun sejalan dengan pertumbuhan usia. Saat ini walau jumlah

operasi tonsilektomi telah mengalami penurunan bermakna, namun masih menjadi

operasi yang paling sering dilakukan. Sehingga American Academy of

Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah mengeluarkan rekomendasi resmi

mengenai tindakan tonsilektomi yang merupakan kesepakatan para ahli. Berdasarkan

indikasi dan kontraindikasi serta mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi,

diharapkan dokter spesialis THT yang melakukan tonsilektomi dapat lebih selektif

dalam memilih pasien.

Page 18: REFERAT TONSILEKTOMI

DAFTAR PUSTAKA

1. Eibling DE. Tonsillectomy. In: Myers EN, editor. Operative Otolaryngology Head

and Neck Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company 1997.p.186-97

2. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR, Newlands

SD, Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck Surgery- Otolaryngology.

Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2001.2nd edition.p.327-2- 327-6

3. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy.

Laryngoscope 2002;112:3-5

4. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 1999-2003 Bagian THT FKUI-

RSUPNCM.

5. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 2002-2004 RS Fatmawati.

6. Rahardjo E, Sunatrio H, Mustafa I, Umbas R, Thayeb U, Windiastuti E, dkk.

Persiapan rutin prabedah elektif. HTA Indonesia 2003

7. Frey RJ. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the Gale

Group

8. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote CJ,

Todres ID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia for infants

and children. Philadelphia: WB Saunders Company 2001. 3rd ed.p.461-67.

9. Joseph MM. Anesthesia for ear, nose, and throat surgery. In: Longnecker DE,

Tinker JH, Morgan GE,editors. Principles and practice of anesthesiology. London:

Mosby 1998.2nd ed.p.2208-10.

10. Adams GL,Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL,Boies

buku ajar penyakit THT,Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC edisi 6, 2008 :

337-40

11. Randal DA, Hoffer ME. Complication of tonsillectomy and adenoidectomy.

Otolaryngol Head Neck Surg 1998;118:61-8