referat retinopati pada prematuritas

23
Pendahuluan Istilah retinopati pada prematuritas (RPP) pertama kali diutarakan oleh Terry pada tahun 1942 1 dan didefinisikan sebagai suatu perkembangan abnormal pembuluh darah retinal pada bayi yang lahir prematur, menetap sebagai salah satu penyebab utama kebutaan yang, kejadiannya dapat dicegah 2 . Sebagian besar bayi dengan RPP tidak berkembang melebihi tahap sedang sehingga, gangguan hilang secara spontan tanpa pengobatan. Pada kasus minoritas, ROP berkembang menjadi gangguan penglihatan berat sehingga semua bayi dengan resiko tinggi memerlukan pemeriksaan dini retina untuk mencegah kebutaan. Dikutip oleh Flynn dari Silvermann, selama 1 dekade period 1943-1953, RPP telah mengakibatkan kebutaan pada 7000 anak di Amerika dan 10 000 anak di seluruh belahan dunia 3 . Palmer et al, melaporkan 65.8% bayi dengan BB lahir 1250 gram dan 81.6% bayi dengan BB lahir 1000 gram, mengalami RPP pada berbagai tingkat pada sebuah penelitian meliputi 4099 bayi BBLR 4 . Phelps melaporkan insidensi kebutaan akibat RPP di Amerika Serikat selama tahun 1979 telah menyentuh 546 kasus dan diestimasikan 2 100 bayi akan mengidap RPP pada tingkat sikatrik setiap tahun di negara tersebut 5 . Sistem vaskularisasi retina yang normal berawal dari diskus optikus menuju ke perifer dan terbentuk sempurna pada sisi nasal pada usia kehamilan 36 minggu dan pada sis temporal pada kehamilan 40 minggu 1 . Pemahaman mengenai terjadinya RPP belum sepenuhnya dimengerti namun, kecenderungan kuat mengacu pada jaringan mesenkim bakal pembuluh darah yang berkembang dari sentral ke perifer retina adalah jaringan yang sensistif terhadap sitotoksisitas sampai terbentuk menjadi pembuluh 1 . Paparan terhadap oksigen yang berlebihan saat periode ini dapat berujung pada gangguan dan hambatan vaskularisasi lebih lanjut, sehingga bagian depan retina akan terisolasi dari aliran darah 6,7 . Diagnosis RPP ditegakan berdasarkan pemeriksaan optalmoskopi 1 . Terdapat beberapa kriteria pemeriksaan yang dianjurkan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya RPP 8,9 . American Academic of Pediatric (AAP) merekomendasikan pemeriksaan untuk mendeteksi kemungkinan adanya RPP pada bayi dengan berat badan <1 300 gram atau usia kehamilan <35 minggu yang terpapar oksigen, atau BB <1 000 gram / usia kehamilan <30 minggu tanpa terpapar oksigen 1 . Pemeriksaan tersebut dianjurkan pada usia bayi 5-7 minggu sesudah kelahiran 8 .

Upload: william-adiputra

Post on 15-Sep-2015

224 views

Category:

Documents


57 download

DESCRIPTION

ROP

TRANSCRIPT

  • Pendahuluan

    Istilah retinopati pada prematuritas (RPP) pertama kali diutarakan oleh Terry pada tahun

    19421 dan didefinisikan sebagai suatu perkembangan abnormal pembuluh darah retinal pada

    bayi yang lahir prematur, menetap sebagai salah satu penyebab utama kebutaan yang,

    kejadiannya dapat dicegah2. Sebagian besar bayi dengan RPP tidak berkembang melebihi tahap

    sedang sehingga, gangguan hilang secara spontan tanpa pengobatan. Pada kasus minoritas,

    ROP berkembang menjadi gangguan penglihatan berat sehingga semua bayi dengan resiko

    tinggi memerlukan pemeriksaan dini retina untuk mencegah kebutaan.

    Dikutip oleh Flynn dari Silvermann, selama 1 dekade period 1943-1953, RPP telah

    mengakibatkan kebutaan pada 7000 anak di Amerika dan 10 000 anak di seluruh belahan

    dunia3. Palmer et al, melaporkan 65.8% bayi dengan BB lahir 1250 gram dan 81.6% bayi

    dengan BB lahir 1000 gram, mengalami RPP pada berbagai tingkat pada sebuah penelitian

    meliputi 4099 bayi BBLR4. Phelps melaporkan insidensi kebutaan akibat RPP di Amerika

    Serikat selama tahun 1979 telah menyentuh 546 kasus dan diestimasikan 2 100 bayi akan

    mengidap RPP pada tingkat sikatrik setiap tahun di negara tersebut5.

    Sistem vaskularisasi retina yang normal berawal dari diskus optikus menuju ke perifer dan

    terbentuk sempurna pada sisi nasal pada usia kehamilan 36 minggu dan pada sis temporal pada

    kehamilan 40 minggu1. Pemahaman mengenai terjadinya RPP belum sepenuhnya dimengerti

    namun, kecenderungan kuat mengacu pada jaringan mesenkim bakal pembuluh darah yang

    berkembang dari sentral ke perifer retina adalah jaringan yang sensistif terhadap sitotoksisitas

    sampai terbentuk menjadi pembuluh1. Paparan terhadap oksigen yang berlebihan saat periode

    ini dapat berujung pada gangguan dan hambatan vaskularisasi lebih lanjut, sehingga bagian

    depan retina akan terisolasi dari aliran darah6,7.

    Diagnosis RPP ditegakan berdasarkan pemeriksaan optalmoskopi1. Terdapat beberapa

    kriteria pemeriksaan yang dianjurkan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya RPP8,9.

    American Academic of Pediatric (AAP) merekomendasikan pemeriksaan untuk mendeteksi

    kemungkinan adanya RPP pada bayi dengan berat badan

  • Sembilan puluh persen retinopati tingkat I dan II menghilang secara spontan, laporan

    terbaru menunjukan 50% tingkat III+ juga hilang secara spontan1. Akibat dari RPP yang lambat

    mendapat penatalaksanaan setelah mengalami regresi berupa miopia, strabismus, ambliopia,

    glaukoma, dan ablatio retina yang muncul lambat8,9.

    Perkembangan ICU neonatus pada akhir dekade 60-an dan kemajuan pesat dalam

    teknologi penunjang kelangsungan hidup bayi-bayi prematur, buka hanya meningkatkan

    jumlah bayi dengan berat badan lahir sangat rendah yang bertahan hidup, tapi juga

    meningkatkan jumlah bayi yang beresiko terhadap RPP1. Insidensi meningkatnya BBLR yang

    bertahan hidup telah meningkatkan minat untuk menelaah dasar-dasar dan perjalanan penyakit

    ini1.

    Penelitian kolaboratif seperti ini ditunjukan secara spesifik terhadap faktor resiko RPP

    diantaranya, berat badan lahir bayi yang sangat rendah, lamanya pemberian oksigen dan

    konsentrasi oksigen sebagai faktor resiko yang berperan dalam kejadian RPP5. Dalam

    penelitian lain, ditemukan faktor usia kehamilan, apne yang memerlukan faktor usia

    kehamilan, apne yang memerlukan resusitasi dengan sungkup, sepsis, beratnya penyakit,

    transfusi darah, perdarahan intraventrikular, dan ventilasi mekanis, sebagai faktor yang juga

    berperan meningkatkan resiko terjadinya RPP10.

  • Retinopati Pada Prematuritas (RPP)

    I. Batasan

    Retinopati pada prematuritas (RPP) adalah suatu retinopati poliferatif pada bayi prematur

    akibat terpapar pada oksigen konsentrasi tinggi11. RPP didefinisikan secara beragam oleh

    penulis lain namun, prinsipnya mengacu pada penyakit dengan poliferasi retina akibat

    gangguan pembuluh darah retina yang belum sempurna12.

    II. Epidemiologi

    Flynn mengutip dari Silvermann, selama 1 dekade period 1943-1953, RPP telah

    mengakibatkan kebutaan pada 7000 anak di Amerika dan 10 000 anak di seluruh belahan

    dunia3. Palmer et al, melaporkan 65.8% bayi dengan BB lahir 1250 gram dan 81.6% bayi

    dengan BB lahir 1000 gram, mengalami RPP pada berbagai tingkat pada sebuah penelitian

    meliputi 4099 bayi BBLR4. Phelps melaporkan insidensi kebutaan akibat RPP di Amerika

    Serikat selama tahun 1979 telah menyentuh 546 kasus dan diestimasikan 2 100 bayi akan

    mengidap RPP pada tingkat sikatrik setiap tahun di negara tersebut5.

    III. Fisiologi Retina

    Perkembangan Vaskularisasi Retina Normal18

    Pembuluh darah yang memperdarahi mata bagian dalam selalu mengalami perkembangan.

    Pada awalnya, mata bagian dalam mendapat bantuan metabolik melalui vaskularisasi choroid

    hyaloid, jaringan pembuluh darah di dalam vitreus dan chroid. Chroid mulai berkembang pada

    umur gestasi 6 minggu dan secara sempurna terbentuk pada umur gestasi 8 minggu. Retina

    bertahan tanpa vaskularisasi sebagai choroid hyaloid vasculature dan choroid di bawahnya

    membawa nutrisi kepada retina yang sedang berkembang pada usia 4 bulan gestasi. Pada

    stadium perkembangan yang lebih lanjut, hyaloid vasculature akan berubah menjadi retinal

    vasculature ketika sirkulasi choroid tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan retina19.

  • Embryogenesis Vaskularisasi Retina

    Dikutip dari http://www.clgei.org/eye-treatments.php?act=vitreoretinal pada 12/5/15

    Pada saat sistem vaskular hyaloid regresi, jaringan vaskular retina mulai berkembang

    menjadi superficial dan depper capillary plexus pada umur gestasi 16 minggu19. Sel spidel

    mesenkimal mengalami poliferasi endotel sedangkan pembuluh retina berkembang menjadi

    diskus optik diikuti oleh pembentukan kapiler. Superficial capillary plexus terbentuk pada

    permukaan retina di dalam lapisan sel ganglion. Pembuluh retina juga berkembang dari diskus

    optik, mencapai ora serrata nasal pada umur gestasi 32 minggu. Saat perkembangan

    vaskularisasi retina, astrosit akan membentuk cetakan untuk migrasi sel endotel di dalam retina

    untuk mencapai vitreus yang berfungsi sebagai sumber penting bagi vascular endothelial

    growth factor (VEGF)20. VEGF yang diregulasi dalam kondisi hipoksia, telah dibuktikan

    memiliki peran yang penting dalam proses neovaskularisasi patologis21. Pada pembelajaran

    terbaru, juga dilaporkan bahwa astosit di dalam retina memiliki peran yang beragam termasuk

    perkembangan fisiologis angiogenesis dan neovaskularisasi patologis dalam keadaan

    hipoksia22. Pada bayi prematur, retina tidak matan dan tidak mendapatkan vaskularisasi secara

    sempurna, tergantung dari umur gestasi15.

    Beberapa faktor angiogenik seperti: insulin-growth factor-1 (IGF-1)23, VEGF20, basic

    fibroblast growth factor (FGF), transforming growth factor beta (TGF-), platelet derived

    growth factor (PDGF), dan hepatocyte growth factor, telah dibuktikan memiliki peran dalam

    perkembangan vaskularisasi retina18. VEGF adalah vasoactive cytokine, potent mitogen untuk

    sel endotel vascular yang sangat penting untuk pembentukan angiogenesis fisiologis25. VEGF

    dibentuk secara umum pada retina avascular yang sedang mengalami pematangan dan

    diregulasi oleh keadaan hipoksia jaringan18. Oleh sebab itu gen VEGF sangat bergantung pada

    kadar oksigen: transkripsi gen VEGF distimulasi pada keadaan hipoksia namun pada keadaan

    hypoeroxia, transkripsi mengalami penurunan20. Pembentukan retina menghasilkan kebutuhan

    metabolik dan keadaan hipoksia secara lokal relatif sebelum terbentuknya pembuluh darah

    retina18.

  • IV. Faktor Resiko

    Beberapa faktor resiko yang telah diidentifikasi:

    1. Penggunaan Oksigen

    Peran oksigen sebagai faktor resiko RPP telah dipelajari sejak 1950-an oleh penelitian

    kolaboratif 18 rumah sakit yang dikoordinasi dokter V.E Kinsey yang kemudian hasilnya

    didukung oleh penelitian lain10.

    Efek primer oksigen terhadap pembuluh darah retina yang belum matang pada

    binatang percobaan, menunjukan terjadinya vasokonstriksi retina1. Ketika fenomena ini

    bertahan, akan disertai penutupan pembuluh darah pada berbagai tahapan, kemudia akan

    menimbulkan destruksi endotel yang berujung pada penutupaan sempurna pembuluh

    darah yang bersifat imatur1. Pembuluh darah baru akan terbentuk pada area yang

    mengalami kerusakan kapiler sehingga menyebar di permukaan retina dan berkembang

    sampai ke badan vitreus10. Penelitian dengan bintang percobaan yang dikondisikan

    hyperoxia, menunjukan hanya pembuluh darah imatur yang sensitif terhadap oksigen,

    semakin tidak matang pembuluh darahnya makin besar resikonya terhadap suplementasi

    oksigen. Oleh karena itu, bayi dengan pembuluh darah retina yang sudah matang tidak

    memiliki resiko terhadap RPP. Atas dasar teori inilah predileksi RPP bagian temporal

    retina dapat dijelaskan10.

    Vasokonstriksi awal pada vaskularisasi retina imatur terjadi dalam beberapa menit

    pertama setelah paparan oksigen, ukuran pembuluh darah berkurang sampai 50%, namun

    kemudia kembali ke ukuran normal1. Oksigen yang dilakukan terus menerus selama 4-6

    jam akan mengakibatkan vasospasme bertahap sampai pembuluh darah tersebut mengecil

    sampai 80%1. Sampai pada tahap ini vasokonstriksi pembuluh darah retina bersifat

    reversible, namun ketika keadaan ini bertahan (10-15 jam) maka pembuluh darah perifer

    retina yang imatur akan menutup secara permanen10.

    2. Anemia dan Tranfusi Darah

    Beberapa penelitian dapat menunjukan bahwa transfusi darah atau anemia adalah

    salah satu faktor resiko RPP namun, laporan ini masih diperdebatkan1. Beberapa penelitian

    menyimpulkan bahwa anemia adalah faktor resiko untuk terjadinya RPP sedangkan

    laporan lain menyatakan bahwa hematokrit yang tinggi dan transfusi berulang pada

    kejadian anemia yang merupakan faktor independen terjadinya kasus RPP26. Sacks et al,

    pada penelitian 90 bayi dengan berat badan lahir 1250 gram (Pennsylvania, 1980)

  • menunjukan asosiasi bermakna antara insiden RPP dengan transfusi tukar27. Clark et al

    menemukan hubungan yang berarti antara insiden RPP dengan transfusi darah pada

    penelitian 59 bayi dengan baerat badan lahir 1000 gram dan 70 bayi dengan berat lahir

    renfah yang menerima suplementasi oksigen dengan berbagai variasi berat badan28.

    Anemia pada BBLR akan kemudian mendapatkan transfusi darah berulang sehingga

    baji akan mendapat sejumlah darah dari orang dewasa (donor dewasa)1. Tindakan tersebut

    akan meningkatkan resiko RPP yang diasosiasikan dengan peningkatan penumpukan zat

    besi1. Akibatnya, aktivitas anti oksidan yang terkait dengan peningnkatan level zat besi,

    akan mengalami peningkatan3. Brooks et al, pada penelitian 50 bayi dengan BB 1250

    gram tidak menemukan perbedaan insiden RPP antara kelompok bayi yang diberikan

    transfusi untuk mengatasi anemia (24 bayi) dengan kelompok bayi yang diberikan

    transfusi untuk mempertahankan kadar hematokrit >40% (26 bayi)26.

    3. Defisiensi Vitamin E

    Flynn melaporkan peran vitamin E dalam mencegah kejadian RPP pada kelompok

    bayi prematur10. Pemberian 50 mg vitamin E secara secara oral tiga kali sehari bersamaan

    dengan dimulainya pemberian makanan peroral diketahui dapat menekan insiden RPP10.

    Penelitian ini dilakukan pada bayi dengan berat badan 1360 gram3. Payne

    memperlihatkan adanya perubahan dasar pada struktur sel spindel retina bayi-bayi

    prematur beresiko tinggi. Sel spindel retina bayi prematur yang mendapat oksigen secara

    terus menerus akibat distress pernafasan menunjukan peningkatan gap junction, yang

    diyakini dapat dapat mengganggu proses pembentukan pembuluh darah yang normal29.

    Vitamin E secara in vitro merupakan anti oksidan lipofilik yang poten, sedangkan

    kadar vitamin ini pada bayi prematur lebih rendah sehingga asisiasi ini menjadi dasar

    asumsi faktor resiko RPP10. Namun sulit untuk dibuktikan bahwa peningkatan kadar

    vitamin E di dalam serum bayi akan dapat mencegah kejadian RPP30. Pemberian vitamin

    E pada bayi prematur diketahui memiliki beberapa kemungkinan efek samping

    enterokolitis nekrotikans, sepsis, perdarahan intra ventrikular, perdarahan retina,

    perubahan respons imun, dan penekanan aktivitas bakteriostatik sel leukosit3.

    4. Paparan Cahaya

    Cahaya terang yang mengenai mata bayi prematur diduga menimbulkan pengaruh

    untuk terjadinya RPP, namun masih diperdebatkan terdapat mekanisme terjadinya ROP

    dalam hubungan dengan paparan cahaya terang pada tempat perawatan bayi intesif31.

  • Glass melaporkan bahwa bayi prematur yang dirawat di ruangan dengan cahaya terang

    benderan 32% lebih besar peluangnya terkena RPP diabandingkan mata bayi yang

    mendapat perlindungan dari paparan cahaya. Meskipun hal ini tidak secara kuat

    menunjukan kepada pengaruh cahaya pada retinopati pada prematuritas, tapi Glass

    menyatakan bahwa tidak ada satupun penelitian yang menyatakan cahaya fluoresen aman

    bagi mata bayi32. Cahaya terang yang mengenai mata bayi prematur diduga menimbulkan

    pengaruh untuk terjadinya RPP, namun masih diperdebatkan terdapat mekanisme

    terjadinya ROP dalam hubungan dengan paparan cahaya terang pada tempat perawatan

    bayi intesif31. Hasil yang didapat pada penelitian ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan

    intensitas paparan yang tidak terlalu besar1.

    5. Karbondioksida

    Retensi karbondioksida dapat mengakibatkan destruksi pembuluh darah retina bayi

    prematur oleh terapi oksigen3. Patz melaporkan bahwa retensi karbondioksida adalah

    faktor tunggal terpenting yang membedakan kejadi RPP pada penelitiannya pada bayi

    dengan berat badan lahir < 1000 gram, namun Biglan dan Brown tidak melihat pengaruh

    retensi karbondioksida terhadap insiden RPP dan malah mendapatkan bahwa bayi dengan

    RPP tingkat lanjut memiliki PCO2 serum yang lebih rendah dibandingkan kelompok

    kontrol10.

    6. Septikemia

    Beberapa penulis menunjukan septikemia sebagai salah satu faktor resiko RPP10.

    Gunn et al, pada penelitian 150 bayi prematur dengan berat badan 1500 gr yang

    mendapatkan suplementasi oksigen: sepsis adalah salah satu faktor yang kuat akan

    terjadinya insiden RPP. Mittal et al mejelaskan bahwa sepsis oleh kandida adalah faktor

    resiko yang berdiri sendiri dalam memperberat kejadian RPP dan mengakibatkan bayi

    prematur membutuhkan terapi bedah laser.

    7. Faktor Resiko Lain

    Beberapa keadaan yang juga dilaporakan sebagai faktor resiko untuk timbulnya RPP,

    namun karena belum banyak peneliti lain yang juga menilai faktor yang sama, perannya

    masih membutuhkan lebih banyak data untuk mendapatkan validitasnya. Faktor tersebut

    adalah sianosis, apnea, ventilasi mekanis, perdarahan intraventrikular, kejang, PDA,

  • preparat xanthine, preparat indometasin, asidosis, hipoksia intrauterin, distres

    pernafasan3,10,31.

    Kecenderungan untuk menilai bahwa RPP diakibatkan oleh terpaparnya bayi

    prematur terhadap berbagai faktor resiko setelah lahir namun, pada kenyataannya ada bayi

    yang sudah mengalami threshold RPP pada hari pertama atau kedua kehidupan yang

    memberi kesan bahwa retinopati sudah terjadi intrauterin sebelum bayi terpapar degan

    berbagai faktor resiko setelah lahir1. Ogden memperkirakan sepertiga kasus RPP memiliki

    kecenderungan untuk dipengaruhi oleh faktor-faktor prenatal dibandingkan faktor-faktor

    setelah lahir31.

    V. Patofisiologi

    RPP adalah penyakit 2 fase. Fase pertama mengacu pada obliterasi pembuluh darah

    hyperoxia dan fase kedua adalah kondisi neovaskularisasi pada keadaan hipoksia35. Keadaan

    neonatal hyperoxia, terjadi pada bayi prematur usai kelahiran dan saat hari pertama kehidupan,

    mengakibatkan penutupan bagian dari pembuluh darah retina via proses apoptosis dan regresi

    kapiler secara luas. Akibatnya, vaskularisasi normal akan terganggu sehingga menciptakan

    keadaan iskemik dari retina.

    Fase 1: Hyperoxia-Vasocessation40

    Fase pertama RPP terjadi setelah kelahiran dengan umur gestasi berkisar 30-31 minggu.

    Administrasi oksigen pada fase ini juga akan memperburuk hyperoxia, meningkatkan level

    obliterasi pembuluh darah. Pada saat kebutuhan metabolik perkembangan mata meningkat,

    bagian mata yang imatur tidak mendapatkan perfusi yang cukup sehingga daerah tersebut

    menjadi lebih hipoksia sehingga menstimulasi produksi VEGF berlebihan yang bersifat

    patologis. Oleh sebab itu, akan terjadi neovaskularisasi abnormal pada retina yang disebut

    sebagai RPP.

    Fase 2: Hypoxia-Vasoproliferation40

    Fase ini terjadi pada umur gestasi 31-32 tahun. Tingkat VEGF meningkat ketika retina

    berada pada keadaan hipoksia dan VEGF mRNA akan dieksperikan pada zona avaskular pada

    mata bayi dengan threshold RPP36. IGF-1 adalah faktor pertumbuhan lain yang penting dan

    levelnya bergantung pada berat badan bayi dan umur gestasi37. IGF-1 penting dalam

    perkembangan pembuluh darah normal di retina dan seluruh tubuh dengan meregulasi tingkat

  • VEGF tanpa pengaruh tingkat oksigen37. Ketika level IGF-1, pembuluh darah tidak akan

    berkembang. IGF-1 bergantung pada ketersediaan nutrisi dan diatur dengan mekanisme yang

    belum dapat dijelaskan dengan pasti. Oleh sebab itu, IGF-1 yang tidak bergantung pada oksigen

    dan VEGF yang bergantung pada oksigen, memiliki relasi sinergik. Tingkat IGF-1 yang rendah

    dapat digunakan untuk memprediksi RPP namun, IGF-1 juga dihasilkan pada jaringan lain

    sehingga tingkat IGF-1 yang rendah dapat menjadi marker umum pada bayi yang sakit dengan

    resiko RPP.

    Peningkatan level IGF-1 secara bertahap akan mencapai level threshold, sehingga

    menstimulasi VEGF untuk memulai neovaskularisasi39. Pada proses ini, hormon lain seperti

    growth hormone (GH) juga berperan dalam neovaskularisasi tanpa bergantung pada level

    oksigen39.

    VI. Karakteristik

    Pada tahun 1984, 23 oftamologi dari 11 negara membentuk International Classification of

    Retinopathy of Prematurity (ICROP). Sistem klasifikasi ini membagi lokasi penyakit ini dalam

    zona-zona pada retina (1,2, dan 3), penyebaran penyakit berdasarkan arah jarum jam (1-12),

    dan tingkat keparahan penyakit dalam stadium (0-5)41. RPP dapat dinilai berdasarkan:

    Lokasi / Zona1

    Zona I RPP

    Dikutip dari: http://emedicine.medscape.com/article/976220-overview#showall

  • I: Terletak pada retina posterior dalam area dekat dengan titik pusat N. Optikus. Pada zona

    pertama, sifatnya paling labil. Pusat dari zona 1 adalah nervus optikus. RPP yang terletak pada

    zona 1 (bahkan pada stadium 1, imatur) dianggap sebagai kondisi yang kritikal dan harus

    dimonitor dengan ketat. Zona I tidak mengikuti aturan ICROP41. Area ini sangat kecil dan

    perubahan pada area dapat terjadi dengan sangat cepat, kadangkala dalam hitungan hari. Tanda

    utama dari perburukan penyakit ini bukanlah didapatinya neovaskularisasi (seperti pada zona

    lain, menurut ICROP) tetapi dengan ditemukannya pembuluh darah yang mengalami

    peningkatan dilatasi41.

    Zona II RPP

    Dikutip dari: http://emedicine.medscape.com/article/976220-overview#showall

    II: Terletak dari cincin posterior (zona 1) ke arah oraserata nasal. Zona 2 dapat berkembang

    dengan cepat namun biasanya didahului dengan tanda bahaya (warning sign) yang

    memperkirakan terjadinya perburukan dalam 1-2 minggu. Tanda bahaya tersebut antara lain:

    (1) tampak vaskularisasi yang meningkat pada ridge (percabangan vaskular meningkat);

    biasanya merupakan tanda bahwa penyakit ini mulai agresif. (2) dilatasi vaskular yang

    meningkat. (3) tampak tanda hot dog pada ridge; merupakan penebalan vaskular pada ridge;

    hal ini biasanya terlihat di zona posterior 2 (batas zona 1) dan merupakan indikator prognosis

    yang buruk.

  • Zona II RPP

    Dikutip dari: http://emedicine.medscape.com/article/976220-overview#showall

    III: Berbentuk bulan sabit yaitu daerah yang tidak dicakup zona 2 pada daerah temporal.

    Biasanya zona ini mengalami vaskularisasi lambat dan membutuhkan evaluasi dalam setiap

    beberapa minggu. Banyak bayi yang tampak memiliki penyakit pada zona 3 dengan garis

    demarkasi dan retina yang nonvaskular. Kondisi ini ditemukan pada balita dan dapat

    dipertimbangkan sebagai penyakit sikatrisial. Pada zona ini, jarang ditemukan penyakit yang

    agresif sehingga squale penyakit juga tidak didapati.

    Luas1

    Penyebaran penyakit dapat dibagi berdasarkan arah jarum jam (1-12).

    Stadium / Tingkat Berat1

    Stadium 0 adalah bentuk yang paling ringan dari RPP. Bentuk ini merupakan vaskularisasi

    retina yang imatur. Stadium ini tidak memiliki demarkasi retina yang jelas antara retina yang

    tervaskularisasi dengan nonvaskularisasi. Hanya dapat ditentukan perkiraan perbatasan pada

    pemeriksaan.

  • Zona I: Akan ditemukan vitreus yang berkabut dengan saraf optik sebagai satu-

    satunya landmark. Oleh sebab itu, lebih baik dilakukan pemeriksaan ulang setiap

    minggu.

    Zona II: Sebaiknya dilakukan pemeriksaaan setiap 2 minggu.

    Zona III: Pemeriksaan setiap 3-4 minggu cukup memadai.

    Garis Demarkasi pada Stadium I RPP

    Dikutip dari www.rostimes.com/2011RJO/RJO20110113.htm

    Stadium I ditemukan garis demarkasi tipis diantara area vaskular dan avaskular pada

    retina. Garis ini tidak mempunyai ketebalan.

    Zona I: Tampak sebagai garis tipis dan mendatar (biasanya pertama kali pada

    daerah nasal). Tidak ada elevasi pada retina avaskular. Pebuluh retina rampak

    halus, tipis, dan supel. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap minggu.

    Zona II: Sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu

    Zona III: Sebaiknya dilaukan setiap 3-4 minggu

  • Ridge Menebal pada Stadium II RPP

    Dikutip dari www.rostimes.com/2011RJO/RJO20110113.htm

    Stadium II: Tampak ridge luas dan tebal yang memisahkan area vaskular dan avaskular

    retina.

    Zona I: Apabila ada sedikit saja tanda kemerahan pada ridge, ini merupakan tanda

    bahaya. Apabila terlihat adanya pembesaran pembuluh, penyakit ini dapat

    dipertimbangkan telah memburuk dan harus segera dilakukan tatalaksana dalam 72

    jam.

    Zona II: Apabila tidak ditemukan perubahan vaskular dan tidak terjadi pembesaran

    ridge, pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan tiap 2 minggu.

    Zona III: Pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali ditemukan

    adanya pembentukan arkade vaskular.

  • Extraretinal Fibrovascular Poliferation pada Stadium III RPP

    Dikutip dari www.rostimes.com/2011RJO/RJO20110113.htm

    Stadium III: Ditemukan poliferasi fibrovaskular extraretinal (neovaskularisasi) pada ridge,

    pada permukaan posterior ridge atau anterior dari rongga vitreus.

    Zona I: Apabila ditemukan adanya neovaskularisasi, maka kondisi ini merupakan

    kondisi yang serius dan membutuhkan terapi.

    Zona II: Prethreshold adalah bila terdapat stadium III dengan penyakit plus

    (keberadaan tortous dilated vessels pada posterior pole dengan stadium apapun

    pada RPP).

    Zona III: Pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali bila ditemukan

    adanya pembentukan arkade vaskular

  • Subtotal Retinal Detachment pada Stadium IV RPP

    Dikutip dari www.rostimes.com/2011RJO/RJO20110113.htm

    Stadium IV: Ablasio retina terjadi secara subtotal yang berawal dari ridge. Retina tertarik

    ke anterior ke dalam vitreus oleh ridge fibrovaskuler.

    Stadium 4A: Tidak mengenai fovea

    Stadium 4B: Mengenai fovea

    Stadium V: Ablasio retina terjadi secara total berbentik seperti corong (funnel)

    Stadium 5A: Corong terbuka

    Stadium 5B: Corong tertutup

    V. Pemeriksaan Penunjang41

    Standar baku untuk menegakan diagnosis RPP adalah pemeriksaan retina dengan

    menggunakan oftalmoskop binokular indirek. Dibutuhkan pemeriksaan dengan dilatasi fundus

    dan depresi skleral. Alat-alat yang digunakan adalah spekulum Sauer (untuk menjaga mata

    tetap dalam keadaan terbuka), depresor skleral Flynn (untuk merotasi dan mendepresi mata),

  • dan lensa 28 dioptri (untuk mengidentifikasi zona dengan lebih akurat). Bagian pertama pada

    pemeriksaan adalah pemeriksaan eksternal, identifikasi rubeosis retina bila ditemukan. Tahap

    berikutnya adalah pemeriksaan pada kutub posterios, untuk mengidentifikasi adanya penyakit

    plus. Mata dirotasikan untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya penyakit zona I. Apabila

    pembuluh nasal tidak terletak pada nasal ora serrata, temuan ini dinyatakan masih berada pada

    zona II. Apabila pembuluh darah nasal telah mencapai nasal ora serrata, makan mata berada

    pada zona III.

    VI. Tatalaksana

    Terapi Bedah Ablatif (Ablative Therapy)

    Tatalaksana RPP telah berubah dari penggunaan kiroterapi menjadi terapi diode laser

    photocoagulation setelah pembelajaran klinis menunjukan kelebihan dari terapi laser42. Terapi

    laser dapar diaplikasikan melalui 2 media: transpupillary atau trans-scerally dan waktu

    pengobatannya telah diubah menjadi pada awal terjadinya RPP43. Walaupun ablasi dari retina

    perifer dengan laser memang dapat menurunkan perjalanan dan insiden penyakit seperti pada

    pembelajaran ETROP, pasien masih memiliki penglihatan yang buruk setelah terapi tersebut,

    terutama RPP pada zona I18. Oleh sebab itu, hasil dari terapi mungkin juga bergantung pada

    kemampuan bedah operator atau tingkat VEGF dalam vitreus yang tidak dapat diturunkan

    dengan retinal laser photocoagulation18. Selain itu, terapi laser juga memiliki beberapa

    kekurangan seperti edema kornea, reaksi anterior chamber, perdarahan intraocular,

    pembentukan katarak, perubahan tekanan intraokular18. Terapi laser juga memiliki efek

    samping yang berkelanjutkan seperti penurunan penglihatan yang cukup dalam, strabismus,

    pelepasa retina18. Namun satu-satunya tatalaksana RPP yang telah terbukti secara evidence-

    based hanyalah laser photocoagulation, tegantung dengan tingkat keparahannya, dapat

    dikombinasikan dengan pembedahan vitreoretinal18.

    Antivascular Endothelial Growth Factor Therapy

    VEGF adalah potent mitogen untuk sel endotel vaskuler dan dibutuhkan untuk

    angiogenesis fisiologis yang diregulasi dengan hipoksia jaringan37. Namun VEGF juga dapat

    menstimulasi angiogenesis patologis. Oleh sebab itu, menghentikan fungsi VEGF

    berkemungkinan untuk menurunkan aktivitas pembuluh darah yang diasosiasikan dengan

    RPP23. Penggobatan saat ini adalah terapi ablasi retina dengan menggunakan krio atau laser

    photocoagulation yang secra tidak langsung menurunkan VEGF dengan meng-ablasi retina

  • perifer yang tidak memiliki pembuluh darah18. Pada sisi lain, obat anti-VEGF bekerja dengan

    unggul karena dapat mengurangi kehancuran jaringan namun menurunkan VEGF pada retina

    dan vitreus44. Beberapa obat yang tersedia: pegaptanib sodium untuk partial blockage dari

    VEGF-A atau ranibizumab, bevacizumab, dan aflibercept untuk pan-VEGF blokage.

    Pegaptanib sodium adalah anti-VEGF yang dianggap opsi yang lebih aman untuk

    perkembangan fisiologis bayi prematur karena bekerja sebagai selective VEGF-165 tanpa

    membloke seluruh isoform VEGF. Autrata et al berhasil menunjukan hasil yang baik dengan

    penggunaan intravitreal pegaptanib untuk tatalaksana RPP stadium 3+ tanpa adanya

    komplikasi sistemik dan okular45. Ranibizumab memiliki yang lebih pendek dibandingkan

    bevacizumab sehingga secara teori, dapat menurunkan resiko komplikasi sistemik pada bayi

    prematur46. Afibercep ada protein gabungan yang memblokade seluruh isoform VEGF-A dan

    memiliki ikatan afinitas yang tinggi sekaligus half-life intraocular yang lebih panjang sehingga

    efek klinis menjadi lebih panjang di bandingkan ranibizumab atan bevacizumab46.

    Bevacizumab adalah antibodi recombinant yang mengikat seluruh isoform VEGF-A47. Hal

    ini berpotensi merugikan karena pembentukan vaskular fisiologis dapat terganggu pada waktu

    yang bersamaan. Namun berat molekular yang tinggi dan sifatnya sebagai antibodi

    recombinant dengan paruh hidup, membuat obat tersebut memiliki periode efektivitas yang

    lebih lama. Ketika terapi ablasi membutuhkan pelatihan dan alat khusus, bevacizumab adalah

    obat yang tidak mahal dan dapat diadministrasikan dengan mudah. Oleh sebab itu

    penggunaanya sangat populer pada bayi dengan RPP47. Namun, bavacizumab adalah obat

    untuk kanker dengan penggunaan intravena, yang belum mendapatkan persetujuan untuk

    penggunaan di mata ataupun pada bayi18.

    Propanolol

    Propanolol telah digunakan untuk pengobatan infantile hemangiomas, dan propanolol

    dihipotesis memiliki efek untuk menurunkan VEGF yang bergantung pada apikasi

    sistemiknya48. VEGF dilaporkan memiliki efek blokade terhadap -adrenergic receptor pada

    regulasi angiogenesis retina sehingga menurunkan ekspresi VEGF dan IGF-1, neovaskularisasi

    retina, dan vascular leakage pada model tikus yang memiliki RRP49. Di sisi lain propanolol

    memiliki efek samping yang buruk seperti bradikardi, blokade jantung, hipotension,

    bronkospasme, hipoglikemi, dan dislipidemi50. Efek dari obat ini mungkin akan

    mengecewakan pada bayi prematur yang sangan rentan sehingga keuntungan dan keamanan

    propanolol untuk pengobatan RPP masih membutuhkan lebih banyak data agar validitas

    penggunaannya bisa tercapai.

  • Terapi Gen

    Chowers et al, dapat menunjukan bahwa gen transfer intravitreal dapat dilakukan pada

    model tikut dengan RPP51. Lokal gen tranfer yaitu transfer intraocular dengan menggunakan

    virus recombinant yang membawa gen angiostatic protein, berpotensi memberikan regulasi

    vaskularisasi retina yang spesifik dan dapat dipertahankan51. Walaupun terapi gen menunjukan

    hasil yang baik pada penelitian hewan, namun keamanannya masih belum dapat dipertanggung

    jawabkan pada bayi prematur.

    Terapi Suplementasi51

    Omega-3 polyunsaturated fatty acids dilaporkan memiliki efek protektif terhadap

    neovaskularisasi patologis karena peningkatan pemulihan pembuluh darah usai hilangnya

    pembuluh tersebut. Efek ini dihipotesis memiliki korelasi dengan supresi tumor necrosis

    factor-alpha (TNF-). Suplementasi omega-3 mungkin dapat menguntungkan untuk mencegah

    RPP namun lebih banyak data lagi untuk mengegakkan keuntungan dan keamanan

    penggunaannya.

    Erythropoietin (EPO) dilaporkan sebagai oxygen-regulated retinal angiogenic growth

    factor. Namun sebenarnya fungsi dari erythropoietin dalam angiogenesis fiosogis masih belum

    diketahui. Ditemukan beberapa studi yang menunjukan adanya asosiasi administrasi EPO

    dengan RPP pada bayi prematur. Suk et al berhasil menunjukan bahwa bayi prematur dengan

    RRP yang mendapatkan terapi EOP, ternyata memiliki threshold RPP yang lebih tinggi

    dibandingkan yang tidak mendapatkan terapi EPO. Namun tinjauan lebih lanjut diperlukan

    untuk memvalidasi efikasi dan keamanan pengunaan EPO.

    Granulocyte colony-stimulating factor (GCSF) adalah sitokin biologis yang bekerja

    meningkatkan jumlah leukosit. GCSF dapat meningkatkan IGF-1 yang mempromosikan

    vaskularisasi normal. Oleh sebab itu GCSF dapat mendukung proses angiogenesis pada retina

    iskemik tanpa memberikan efek negatif terhadap VEGF.

    Vitamin E adalah antioksidan yang berfungsi mencegah stress oksidative pada bayi

    prematur yang rentan terhadapnya, sehingga mengakibatkan penyakit oxygen-radical disease,

    salah satunya RRP. Namun penggunaanya masih menghasilkan data yang konflik sehingga

    penggunaanya tidak diannjurkan. Vitamin E memiliki efek samping peningkatan kejadian

    sepsis dan necrotizing enterocolitis pada bayi prematur apabila diberikan cepar melalui

    intravena.

  • VII. Tindak Lanjut41

    Dasar pemeriksaan untuk menindaklanjuti pasien dengan RPP adalah hasil dari

    pemeriksaan awal. Semakin imatur vaskularisasi retina aatau semakin serius kondisi

    penyakitnya, semakin pendek masa interval follow-up lanjutan yang harus dolakukan oleh

    pasien sehingga perkembangan sekecil apapun mengenai perjalanan penyakit akan segera

    dideteksi.

    Setelah intervensi bedah dilaksanakan, oftamologis harus melakukan pemeriksaan setiap

    1-2 minggu untuk menentukan apakah diperlukan terapi tambahan. Pasien yang dimonitor ini

    harus menjalani pemeriksaan sampai vaskularisasi retina matur. Banyak pasien yang

    kehilangan penglihatannya akibat monitor yang tidak teratur. Pada pasien yang tidak

    mendapatkan tatalaksana, ablasio retina biasanya akan terjadi pada usia kelahiran 38 -42

    minggu.

    Juga 20% dari bayi prematur akan mengalami strabismus dan kelainan refraksi. Oleh sebab

    itu, penting untuk melakukan pemeriksaan oftamologis setiap 6 bulan hingga bayi berusi 3

    tahun. Dan juga 10% bayi-bayi prematur juga dapat menderita glaukoma dikemudian hari,

    maka pemeriksaan harus dilakukan setiap tahun.

    VIII. Prevensi41

    Satu-satunya pencegahan yang bermakna adalah pencegahan kelahiran bayi prematur. Hal

    ini dapat dicapai dengan perawatan antenatal yang baik. Semakin matur bayi yang lahir,

    semakin kecil kemungkinan bayi menderita RPP. Penelitian menunjukan bahwa pemberian

    kortikosteroid dalam masa antenatal memiliki efek protektif terhadap tingkat keparahan RPP.

    Selain itu, penelitian lain juga melaporkan bahwa terapi suplementasi oksigen dengan target

    saturasi 83-93% dapat menurunkan insiden RPP.

    IX. Komplikasi

    Komplikasi jagka panjang dari RPP antara lain: miopia, ambliopia, strabismus, nistagmus,

    katarak, ruptur retina, dan ablasio retina. Vanderveen et al meneliti bahwa strabismus pada

    penyakit ini dapat membaik pada usia 9 bulan.

    X. Prognosis

    Prognosis RPP ditentukan berdasarkan zona penyakit dan stadiumnya. Pada pasien yang

    tidak mengalami perburukan dari stadium I atau II memiliki prognosis yang baik dibandingkan

    pasien dengan penyakit pada zona I posterior atau stadium III, IV, dan V.

  • Daftar Pustaka

    1. Alfian N. Faktor-faktor untuk terjadinya retinopati pada prematuritas. Sari Pediatri vol. 3.

    No. 3. December 2001.

    2. Royal college of paediatrics and child health. Guideline screening and treatment of

    retinopathy of prematurity. UK Retinopathy of Prematurity Guideline. May, 2008.

    3. Flynn JT. Retinopathy of prematurity. Pediatric opthalmology. Edisi ke-3. Philadelphia.

    Sounders, 1991, h. 59-77.

    4. Palmer EA et al. Incident and early course of retinopathy of prematurity. Opthalmology

    1991.

    5. Phelps DL. Retinopathy of prematurity. An estimate of vision loss in the United States-

    1979. Pediatric, 1981.

    6. Quinn GE. Retinopathy of prematurity. Intensive care of the featus and neonate. St. Luois.

    Mosby, 1996.

    7. American academic of opthalmology. Retina and vitreous. Basic and clinical science

    course section. USA, 1997.

    8. Grasber JF. Retinopathy of prematurity. Neonatology: Management, procedures, on call

    problems, diseases, and drugs. Edisi ke-4. Standford. Appleton & Lange, 1999.

    9. Flynn JT et al. Retinopathy of prematurity diagnosis, severity, and natural history.

    Opthalmology, 1987.

    10. Patz A, Palmer EA. Retinopathy of prematurity. Retina vol II. St. Louis. Mosby, 1989.

    11. Kansky JJ. Retinal vascular disorder. Clinical opthalmology. Edisi ke-3. London.

    Butterworth Heinemann, 1994.

    12. Miller SJH. Disease of retina. Persons disease of the eye. Edisi ke-18. Edinburg. Churchill

    livingstone, 1990.

    13. Campbell K (1951). Intensive oxygen therapy as a possible cause of retrolental fibroplasia.

    A clinical approach. Med J Aust, 1951.

    14. Ashton N et al. Role of oxygen in the genesis of retrolental fibroplasia. A preliminary

    report. Br J Opthhalmol, 1953.

    15. Jing C, Lois E et al. Retinopathy of prematurity. Original paper. Angiogenesis, 2007.

    16. Kinsey VE et al. PaO2 levels and retrolental fibroplasia. A report of the cooperative study.

    Pediatrics, 1977.

  • 17. Flynn JT. Acute proliferative retrolental fibroplasia. Multivariate risk analysis. Trans Am

    Opthamol Soc, 1983.

    18. Fatih MM, Serdar UC. Treatment of retinopathy: A review of conventional and promising

    new therapeutic options. Int J Opthalmol, 2013.

    19. Fruttiger M. Development of the retinal vasculature. Angiogenesis, 2007.

    20. Mecolm JR et al. VEGF isoforms and their ecpression after a single episode of hypoxia or

    repeated fluctuations between hyperoxia and hypoxia. Relevance to clinical ROP, 2004.

    21. Dorell MI et al: retinal vascular development is mediated by endothelial filopodia, a

    preexsisting astrocytic template and specific R-cadherin adhesion. Invest Opthalmol,

    2002.

    22. Weidemann A et al. Astrocyte hypoxic response is essential for pathological but not

    developmental angiogenesis of the retina. Glia, 2010.

    23. Smith LE et al. Essential role of growth hormone in ischemia-induced retinal

    neovascularization. Science, 1997.

    24. Seghezzi G et al. Fibroblast growth factor-2 (FGF-2) induces vascular endothelial growth

    factor (VEGF) expression in the endothelial cells forming capillaires: an autocrine

    mechanism contributing to angiogenesis. J Cell Biol, 1998.

    25. Senger DR et al. Tumor cells secrete a vascular permeability factor that promotes

    accumulation of ascites fluid. Science, 1983.

    26. Brooks SE et al. The effect of blood transfusion protocol on retinopathy of prematurity

    prospective. Randomized study. Pediatrics, 1999.

    27. Sacks et al. Retrolental fibroplasea and blood transfusion in a very low birth weight infants.

    Pediatric, 1981.

    28. Clark et al. Blood transfusion: a possible risk factor in retrolental fibroplasia. Acta Pediatr

    Scond, 1981.

    29. Payne JW. Retinoapthy of prematurity. Disease of the newborn. Edisi ke-5. Philadelphia.

    Sounders, 1984.

    30. Sullivan L. Iron, plasma antioxidants and the oxygen radical of prematurity. AJDC, 1988.

    31. Risk factor for retinopathy of prematurity. Country hills eye centre. Dikutip dari:

    www.connection.com/eyedoc/roprisk.html.

    32. What causes retinopathy of prematurity. Dikutip dari: www.rdcbraille.com/pbpb-c.html.

    33. Reynolds JD et al. Effect of light reduction on retinopathy of prematurity (Linght-ROP).

    N Engl J Med, 1998.

    34. Gunn TR et al. Risk factors in retrolental fibroplasia. Pediatrics, 1980.

  • 35. Smith LE et al. Essential role of growth hormone in ischemia-induced retinal

    neovascularization. Science, 1997.

    36. Young TL et al. Histopathology and vascular endothelial growth factor in untreated and

    diode laser-treated retinopathy of prematurity. JAAPOS, 1997.

    37. Mutlu FM et al. Screening for retinopathy of prematurity in a tertiary care newborn unit in

    Turkey: frequency, outcome, and risk factor analysis. J Pediatric Opthalmol Strabismus,

    2008.

    38. Chen et al. Current update on retinopathy of prematurity: screening and treatment. Curr

    Opin Pediatr, 2011.

    39. Ola DS. Retinopathy of prematurity: What is new? Original article. University of Olso,

    2015.

    40. Faith M, Serdar US. Review: Treatment of retinopathy of prematurity: a review of

    conventional and promosing new therapeutic options.

    41. Bashour M. Retinopathy of prematurity. Emedicine. November, 2008. Diakses:

    www.emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis.

    42. Connoly BP et al. A comparison of laser photocoagulation with cryotherapy for threshold

    retinopathy of prematuriy at 10 years part 2. Refrective outcome. Opthalmology, 2002.

    43. Cooke WI et al. Genetic polymorphisms and retinopathy of prematurity. Invest Opthalmol.

    Vis Sci, 2004.

    44. Naug H et al. Vitreal macrophages express VEGF165 in oxygen-induced retinopathy. Clin

    Experiment Opthalmol, 2000.

    45. Autrata R et al. Intravitreal pegaptanib combined with diode laser therapy for stage 3+

    retinopathy of prematurity in zone 1 and zone II. Eur J Opthalmol, 2012.

    46. Stewart MW. The expanding role of vascular endothelial growth factor inhibitors in

    opthalmology. Myo Clinic Proc, 2012.

    47. Krohne T et al. Intraocular pharmacokinetics of bevacizumab after a single intravitreal

    injection in humans. Am J Opthalmol, 2008.

    48. Filippi L et al. Study protocol: Safety and efficact of propanolol in newborns with

    retinopathy of prematurity (PRO-ROP). BMC Pediatr, 2011.

    49. Ristori C et al. Role of the adrenergic system in a mouse model of oxygen-induced

    retinopathy: Antiangiogenic effects of beta-adrenoreceptor blokade. Invest Opthalmol,

    2011.

    50. Chen J et al. Propanolol inhibition of -adrenergic receptor does not supress pathologic

    neovascularization in oxygen-induced retinopathy. Invest Opthalmol, 2012.

  • 51. Chowers et al. Gene transfer by viral vectors into blood vessels in a rat model of

    retinopathy of prematurity br J Opthalmol, 2001.