referat pemeriksaan neurologis pada neonatus, bayi, dan anak
DESCRIPTION
Referat Pemeriksaan Neurologis pada Neonatus, Bayi, dan AnakTRANSCRIPT
-
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik NeurologiFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman
Pemeriksaan Fisik Neurologis pada Neonatus, Bayi dan Anak
Disusun oleh:
Firyal Soraya Nurhidayati
Pembimbing:dr. Sheryl A. Yuniarchan, Sp. A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMANSAMARINDA
MEI 2015
-
Tutorial Klinik
Pemeriksaan Fisik Neurologis pada Neonatus, Bayi dan Anak
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak
FIRYAL SORAYA NURHIDAYATI
Menyetujui,
dr. Sherly A. Yuniarchan, Sp. A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMANSAMARINDA
MEI 2015
2
-
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Tutorial Klinik yang berjudul Pemeriksaan Fisik Neurologis pada Neonatus,
Bayi dan Anak.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Sherly A. Yuniarchan, Sp. A., sebagai dosen pembimbing klinik selama
stase Neurologi anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2014 yang telah bersedia
memberikan saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Mei, 2015
Penulis
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bayi yang baru dilahirkan sudah mempunyai susunan saraf yang lengkap
akan tetapi fungsinya belum sempurna. Hal ini disebabkan karena susunan saraf
belum mencapai kedewasaan, masih harus memperlancar dan memperluas
hubungan antar kelompok-kelompok neuron di seluruh susunan. Jumlah neuron
yang menyusun saraf tidak bertambah tetapi juluran neuron masing-masing akan
bertambah dan neurit-neuritnya akan dilengkapi dengan selubung mielin.
Perkembangan motorik tercapai dalam waktu 2 tahun. Dalam masa itu
susunan saraf sudah boleh dikatakan mencapai integritasnya secara anatomik.
Tetapi dalam masa itu berbagai faktor yang tidak mempunyai hubungan dengan
penyakit-penyakit neurologis dapat mengganggu dan menghambat proses
maturasi susunan saraf, seperti misalnya berat badan lahir rendah, prematuritas,
gizi kurang baik dalam masa enam bulan pertama kehidupan, kekurangan
rangsangan sensorik, misalnya karena ibu tidak menyusui dan tidak
menghiraukan.
Hal-hal tersebut dapat menghambat perkembangan motorik, sensorik, dan
mental anak. Selain itu, penyakit-penyakit umum yang bersifat infeksi dan
defisiensi makanan dalam tahun pertama kehidupan dapat menghambat
perkembangan anak tanpa menimbulkan gangguan struktural yang berarti pada
susunan saraf. Hambatan dan gangguan dalam perkembangan itu dapat dicurigai
oleh orangtua si bayi, yang kemudian menjadi alasan untuk membawanya ke
dokter.
1.2 Tujuan Penulisan
Diharapkan dengan penulisan laporan ini penulis ataupun pembaca dapat
lebih memahami mengenai pemeriksaan-pemeriksaan fisik neurologis pada bayi
dan anak.
4
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemeriksaan Fisik Neurologis pada Neonatus
2.1.1 Inspeksi
Jangan memegang/merangsang pasien, tetapi cukup diperhatikan .
Perhatikan adanya malformasi, trauma fisik, dan kejang. Pada bayi dengan
riwayat kejang harus diperhatikan lebih teliti dan lama, karena kejang pada
neonatus berbeda dengan pada bayi dan anak. Pada keadaan normal bayi cukup
bulan lebih sering tidur, rata-rata pada hari pertama tidur selama 17 jam.
Perhatikan pada waktu istirahat, pada neonatus normal dengan masa kehamilan
32-40 minggu akan terlihat seperti gambar. Abduksi pada paha, fleksi pada sendi
anggota gerak (siku, panggul, dan kaki), simetris kanan dan kiri. Pada bayi lahir
sungsang kadang-kadang agak lain dengan tungkai tetap lurus. Pada neonatus
dengan masa kehamilan 25-30 minggu lengan fleksi, tetapi tungkai mungkin
fleksi atau ekstensi.
Pada neonatus dengan masa kehamilan 25 minggu atau lebih, apabila
dalam keadaan istirahat semua anggota geraknya dalam posisi ekstensi berarti
tidak normal. Sikap frog leg (Gambar) berarti pasien tidak nomal. Kedua tungkai
abduksi penuh sedemikian rupa sehingga bagian lateral paha terletak di atas
tempat periksa, demikian pula lengannya, fleksi pada siku dengan bagian dorsal
tangan menmpel di atas tempat periksa, dan telapak tangan menghadap ke atas di
samping kepala.
2.1.2 Pemeriksaan Kepala
Ubun-ubun besar dan sutura diraba secara lembut. Tentukan ukurannya
dan ketegangannya. Pemeriksaan dilakukan pada waktu pasien tenang, tidak boleh
pada waktu bangun dan menangis, dilakukan dengan satu atau dua jari. Bila sutura
lebar, ubun-ubun besar tegang dan membonjol, mungkin ada tekanan intrakranial
-
meninggi, seperti pada hidrosefalus. Ubun-ubun besar yang tegang tidak selalu
abnormal, tetapi mungkin juga normal karena adanya edema, molding yang
berlebihan, perdarahan subgaleal atau bekas infus yang salah. Ubun-ubun besar
sudah menutup. Sutura menutup terdapat pada kraniosinostosis. Pengukuran
lingkaran kepala dan transluminasi dilakukan belakangan agar tidak
membangunkan pasien.
2.1.3 Pemeriksaan Kesadaran
Pasien dibangunkan dengan memegang dadanya dengan ibu jari dan
telunjuk sambil digoyang-goyang secara lembut. Pasien yang sadar akan
membuka mata, mengerutkan muka, menangis, dan menggerakkan anggota
geraknya. Bayi dengan masa kehamilan 34 minggu atau lebih sekali bangun akan
6
-
tetap bangun selama pemeriksaan. Bayi dengan masa kehamilan 28-33 minggu
hanya bangun sebentar kemudian tidur lagi, dan bayi dengan masa kehamilan 25-
27 minggu lebih sukar lagi emmbangunkannya. Bila tidak dapat dibangunkan, dan
tidak ada kerutan muka dan gerakan anggota gerak berarti abnormal dengan
kesadaran menurun.
Tingkat kesadaran dapat dibagi menjadi sadar, apatik/letargi, somnolen,
sopor, dan koma.
Apatik : Pasien mudah dibangunkan tetapi sukar mempertahankan keadaan
bangunnya
Somnolen : Pasien dapat dibangunkan dengan rangsang tidak sakit
(dengan menggoyang-goyang dada), tetapi reaksinya lambat, dan hanya
sebentar kemudian tertidur kembali
Sopor : Pasien dapat dibangunkan dengan rangsang sakit, kemudian tidak
sadar kembali. Gerakan tarikan tungkai (withdrawal reflex) tidak
dianggap, tapi yang dimaksud dengan bangun disini berupa kerenyutan
muka, gerakan umumu, atau keduanya
Koma : Pasien tidak dapat dibangunkan sama sekali walaupun dalam
rangsang sakit
Ada keadaan yang disebut jitteriness/tremulousness, yakni gerakan
gemetaran pada anggota gerak dan rahang: keadaan ini dapat dibedakan dengan
kejang dengan monitoring EEG atau dengan kriteria klinis berupa; tidak adanya
gerakan bola mata, tidak ada perubahan pernapasan, timbulnya dapat diprovokasi,
dan gerakan berhenti bila anggota gerak difleksikan secara pasif
2.1.4 Pemeriksaan Fisik Neurulogis untuk Menentukan Usia Kehamilan
Pemeriksaan neurologis ini harus dilakukan pada saat bayi tenang dan
beristirahat. Bayi normal dan sebagian bayi SMK BKB tanpa gangguan lain dapat
diperiksa secara akurat pada jam-jam pertama kehidupan. Namun pada bayi-bayi
lain hal ini baru dapat dilakukan di akhir hari pertama kehidupan, dan bagi
sebagian lain baru pada hari kedua atau ketiga. Selain itu bayi yang depresi,
-
asfiksia, mengalami kerusakan neurologis, atau berada dalam keadaan sakit, sulit
diperiksa secara akurat kapan saja penilaian dilakukan. Pemeriksaan neurologis ini
sebagai alat untuk menentukan umur kehamilan seringkali tidak praktis saat kita
membutuhkannya.
1. Postur
Bayi pada posisi supine dan dalam keadaan tenang, nilai adalah sebagai
berikut :
0 = Lengan dan kaki ekstensi
1 = Fleksi ringan atau sedang panggul dan lutut
3 = Fleksi penuh pinggul dan lutut
4 = Fleksi penuh lengan dan kaki
2. Jendela Siku-siku
Tangan fleksi pada pergelangan. Beri cukup tekanan untuk mendapatkan
posisi sefleksi mungkin. Sudut antara eminensia hipotenar dan bagian anterior
lengan dibawah diukur dan dinilai menurut gambar. Jangan memutar pergelangan
tangan.
3. Dorsofleksi Pergelangan Tangan
Kaki fleksi pada pergelangan tangan dengan tekanan yang cukup untuk
mendapatkan perubahan yang maksimum. Sudut antara dorsum kaki dan bagian
anterior kaki diukur dan dinilai. Jangan memutar pergelangan tangan
4. Rekoil Lengan
Posisi bayi terlentang, fleksikan lengan bawah secara penuh selama 5
detik, kemudian ekstensikan secara penuh dengan cara menarik tangan dan
melepaskannya. Nilai reaksinya sebagai berikut :
0 = Tetap dalam keadaan ekstensi atau gerakan random
1 = Fleksi tidak penuh atau sebagian
2 = Segera kembali ekstensi penuh
5. Rekoil Kaki
Posisi bayi terlentang, pinggul dan telapak kaki fleksi penuh selama 5
detik, kemudian ekstensikan dengan menarik kaki dan lepaskan. Nilai reaksinya
8
-
sebagai berikut :
0 = Tidak ada respon atau fleksi ringan
1 = Fleksi sebagian
2 = Fleksi penuh kurang (pada pergelangan kaki dan pinggul kurang dari
90 derajat)
6. Sudut Poplitea
Posisi bayi terlentang dan pelvis terletak mendatar pada permukaan tempat
pemeriksaan, kaki fleksi pada paha dan paha difleksikan penuh menggunakan satu
tangan. Dengan tangan yang lain kaki diekstensikan dan sudut yang didapat
dinilai.
7. Perasat Tumit Telinga
Posisi bayi terlentang, pegang kaki bayi dengan satu tangan dan gerakkan
ke arah kepala sedekat mungkin tanpa melakukan paksaan. Pertahankan pelvis
mendatar pada permukaan tempat pemeriksaan.
8. Tanda syal
Posisi bayi terlentang, pegang tangan bayi dan tarik melintasi leher sejauh
mungkin melewati bahu yang berlawanan. Diperbolehkan menahan bahu dengan
jalan mengangkatnya melintas tubuh. Nilai sesuai dengan lokasi siku :
0 = Siku mencapai linea axillaris anterior yang berlawanan
1 = Siku diantara linea axillaris anterior yang berlawanan dan garis tengah
toraks
2 = Siku berada pada garis tengah toraks
3 = Siku tidak mencapai garis tengah toraks
9. Keterlambatan Kepala
Posisi bayi terlentang, raih lengan bawah proksimal dari pergelangan
tangan dan tarik dengan lambat untuk menempatkan bayi pada posisi duduk. Nilai
sesuai hubungan kepala dengan badan selama perasat :
0 = Tidak ada tanda dukungan kepala
1 = ada tanda-tanda dukungan kepala
2 = Mempertahankan kepala pada posisi anteroposterior yang sama dengan
-
tubuh
3 = Cenderung untuk mempertahankan kepala ke depan
10. Suspensi Ventral
Posisi bayi pronasi dan dada bersandar pada telapak tangan pemeriksa,
angkat bayi dari permukaan tempat pemeriksaan dan nilai sesuai dengan postur.
2.1.5 Pemeriksaan Nervus Kranialis
Pemeriksaan saraf otak pada neonatus agak berbeda dengan pada anak dan
orang dewasa. Tidak usah urut mulai saraf otak I dan seterusnya, tetapi mana yang
lebih dahulu dapat dilakukan lebih dahulu. Pada waktu pasien bangun,
mengernyutkan muka dan menangis perhatikan mata dan sudut mulutnya untuk
memeriksa saraf otak VII. Pada paresis saraf fasialis akan terlihat mulut moncong
ke sisi sehat, mata tidak dapat menutup dan lipatan nasolabialis hilang pada sisi
yang paresis. Pada waktu menangis dan membuka mulut perhatikan lidah dan
langit-langit untuk emmeriksa saraf otak XII dan IX. Pada lidah perhatikan
ukurannya dan gerakkan simetris atau asimetris, apakah ada fasikulasi (saraf otak
XII). Pada langit-langit perhatikan gerakan arkus farings dan uvula. Pada paresis
saraf IX akan terlihat arkus sisi paresis tertinggal.
Pada pasien yang sudah bangun diusahakan agar tetap bangun selama
pemeriksaan saraf otak dengan jalan memberi kesempatan kepada pasien untuk
mengisap. Refleks rooting diperiksa dengan menyentuhkan ujung jari di sudut
mulut pasien, maka pasien akan menengok ke arah rangsangan dan berusaha
memasukkan ujung jari tersebut ke mulutnya, kalau ujung jarinya dimasukkan ke
dalam mulutnya 3 cm akan diisap, dan disebut refleks isa[. Pemeriksaan refleks
rooting dan refleks isap digunakan untuk menentukan kelainan saraf otak V, VII,
XII. Reaksi refleks rooting sempurna terjadi pada bayi dengan umur kehamilan 28
minggu reaksinya lambat dan tidak sempurna. Pemeriksaan refleks rooting
reaksinya tidak selalu konstan, kalau diperiksa satu kali pada hari pertama pasca
lahir hasilnya negatif belum tentu abnormal.
Pemeriksaan refleks menelan dilakukan untuk memeriksa saraf IX dan X.
Pada waktu mengisap mata pasien biasanya terbuka secara spontan, dan pada saat
10
-
itu kesempatan untuk memeriksa pergerakan bola mata untuk menilai saraf III, IV,
dan VI. Doll's eye maneuver dilakukan dengan memutar kepala pasien ke kiri dan
kanan untuk menilai gerakan bola mata ke lateral. Pada waktu kepala diputar ke
satu sisi, maka akan terjadi deviasi mata ke kontralateral. Doll's eye maneuver
juga dapat digunakan untuk memeriksa saraf VIII bagian vestibular. Pemeriksaan
saraf VIII bagian pendengaran sukar dilakukan secara obyektif, tetapi pada bayi-
bayi yang kalau ada suara keras menjadi kaget atua berkedip atau menghentikan
kegiatan motornya agaknya pendengarannya baik. Untuk pemeriksaan
pendengaran yang lebih teliti dipergunakan pemeriksaan elektrofisiologi (brain
stem auditory evoked response).
Refleks pupil sebenarnya ada tetapi sukar dinilai, karena kalau ada cahaya
neonatus segera akan menutup mata dan sukar dibuka lagi. Pada waktu mata
terbuka segera perhatikan apakah pupilnya isokor/ anisokor. Penciuman (saraf I)
pada neonatus sukar diperiksa secara objektif, tetapi menurut beberapa ahli
sebenarnya penciuman sudah ada, hal ini terbukti apabila tercium bau yang
menyenangkan akan menghentikan aktivitasnya. Penglihatan (saraf II) sukar
diperiksa secara obyektif, tetapi penglihatan sebenarnya sudah ada. Dapat
diperiksa dengan cahaya atua benda-benda berwarna merah yang digerak-
gerakkan di depannya. Pada waktu ada cahaya pasien berkedip atau menutup
mata. Tes penciuman dan pengecap kurang berguna, sedangkan pemeriksaan saraf
XI sukar dilakukan pada neonatus.
2.1.6 Pemeriksaan Refleks Primitif
Perkembangan sistem saraf pusat pada bayi dapat dinilai dengan
pemeriksaan otomatisme infantil, biasa disebut refleks primitif. Refleks-refleks ini
berkembang selama dalam kandungan, umumnya muncul setelah lahir, dan
menghilang pada umur tertentu. Kelainan pada refleks-refleks ini menandakan
penyakit neurologis dan mengindikasikan investigasi lebih intensif. Kelainannya
dapat berupa:
Tidak ada pada umur yang sesuai.
Tetap ada lebih lama dari normalnya.
-
Asimetris
Berhubungan dengan postur atau gerakan tertentu (posturing / twitching)
Uji refleks primitif yang rutin dilakukan pada pemeriksaan neourolgis:
Refleks Primitif Manuver UmurRefleks genggampalmar (Palmar Grasp)
Tempatkan jari di tangan bayi, tekan di permukaan telapak.
Semua jari bayi akan fleksimenggenggam jari yang menekan.
Sejak lahir s.d. 3-4 bulan
Bila menetap melewati4 bulan menandakan disfungsi serebral.
Refleks genggamplantar (Plantar Grasp)
Sentuh telapak kaki pada pangkal ibu jari.Ibu jari akan menekuk
Sejak lahir s.d. 6-8 bulan
Bila menetap melewati8 bulan menandakan disfungsi serebral.
Refleks Moro Pegang bayi di bagian kepala, punggung, dan kakidalam posisi supine. Rendahkan seluruh tubuh bayi secara tiba-tiba.
Lengan akan abduksi dan ekstensi, tangan terbuka, dan kaki fleksi. Mungkin diikuti dengan menangis.
Sejak lahir s.d. 4 bulan
Bila menetap melewati4 bulan curiga adanya penyakit neurologis. Dugaan semakin kuat bila menetap melewati 6 bulan.
Respon yang asimetris menandakan fraktur klavikula atau humerus atau trauma pleksus brakhialis.
Refleks Leher Tonik Asimetris
Bayi pada posisi supine, palingkan kepala ke satu sisi, rahang di atas bahu.Ulangi ke sisi lainnya.
Lengan/kaki pada sisi dimana kepala dipalingkan akan ekstensi, sementara lengan/kaki pada sisi lainnya akan fleksi.
Sejak lahir s.d. 2 bulan
Bila menetap melewati2 bulan menandakan suatu penyakit neurologis
Positive Support Reflex
Pegang bayi di sekeliling badannya, rendahkan hingga kaki menyentuh permukaan yang datar.
Panggul, lutut, dan engkel ekstensi, bayi berdiri, jatuhsetelah 20-30 detik.
Sejak lahir / 2 bulan s.d. 6bulan
Kurangnya refleks menandakan hipotoniaatau flasiditas.Ekstensi dan aduksi kaki (scissoring) mnandakan spastisitas akibat penyakit neurologis.
12
-
14
-
Uji refleks primitif tambahan yang diperiksa bila diduga ada suatu abnormalitas
neurologis:
Refleks Primitif Manuver UmurRefleks Rooting Ketuk kulit perioral di
sudut mulut.
Mulut akan terbuka dan bayi akan memalingkan kepala ke sisi yang dirangsang lalu mengisap
Sejak lahir s.d. 3-4 bulan
Tidak adanya refleks ini menandakan penyakit SSP atau sistemik berat.
Refleks Galant (Trunk Incurvation)
Pegang bayi dengan satu tangan pada posisi prone, usap satu sisi punggung 1cm dari garis tengah, mulai dari bahu sampai pantat.
Tulang belakang akan melengkung ke sisi yang dirangsang
Sejak lahir s.d. 2 bulan
Tidak adanya refleks ini menandakan lesi atau trauma transversalmedula spinalis.
Bila menetap dapat menandakan perkembangan yang terhambat.
Placing & Stepping Reflexes
Pegang bayi dari belakang seperti posisi refleks Positive Support. Sentuhkan satu telapak kaki ke permukaan lantai.
Panggul dan lutut kaki tersebut akan fleksi dan kaki yang lain akan melangkah ke depan.
Sejak lahir (lebih jelas setelah 4 hari). Menghilang pada umur yang bervariasi.
Bila tidak ada menandakan paralisis.
Bayi yang lahir sungsang mungkin tidak memiliki refleks ini.
Refleks Landau Pegang bayi dengan satu tangan dalam posisi prone.
Kepala akan mengangkat,tulang belakang akan melurus.
Sejak lahir s.d. 6 bulan
Bila menetap dapat menandakan perkembangan yang terhambat.
Refleks Parasut Pegang bayi dalam posisi prone, perlahan rendahkan kepala ke arah permukaan.
Lengan dan kaki akan ekstensi.
Sejak 4-6 bulan dan tidak akan menghilangseterusnya.
Keterlambatan munculnya refleks ini dapat memprediksi terlambatnya perkembangan motorikvolunter di masa depan.
-
2.1.7 Pemeriksaan Sensibilitas
Pemeriksaan sensibilitas jarang merupakan bagian pemeriksaan neurologis
pada neonatus. Pemeriksaan refleks withdrawal, refleks rooting, sentuhan dan
rangsang sakit yang menyebabkan bayi menangis dapat dipakai sebagai uji
sensibilitas.
2.2 Pemeriksaan Fisik Neurologis pada Bayi dan Anak
2.2.1 Pemeriksaan Status Mental
Pemeriksan dilakukan dengan mengobservasi aktivitas bayi, melihat apa
yang bayi tersebut telah bisa lakukan. Pastikan bayi dalam keadaan sadar dan
tidak rewel atau gelisah. Sewaktu observasi, selain menilai perkembangan juga
mulai memperhatikan aktivitas motorik seperti gerakan lengan dan tungkai, otot
wajah, gerakan okular, penilaian suara, serta reaksi dan kewaspadaan bayi.
Bayi normal memperlihatkan tahap-tahap perkembangan sbb:
1. Pada usia 2 bulan:
Kedua tangan dalam sikap mengepal.
Bila ditengkurapkan kepala dapat diangkat selama beberapa detik.
Mata dan kepala dpat mengikuti rangsang visual dalam sudut toleh sebesar
90.
Terkejut bila ada bunyi yang keras dan tiba-tiba.
Dapat mengeluarkan suara sepatah-sepatah.
2. Pada usia 3 bulan:
Kedua tangan sesekali terbuka (tidak selalu mengepal)
Dapat sejenak mengepal benda yang disodorkan ke tangannya.
Dapat memperhatikan sesuatu yang diperlihatkan kepadanya dan
mengikuti dengan mata dan kepala ke segala arah.
Dapat tersenyum dan bereaksi bila diajak bicara.
Dapat mengamati tangan sendiri dan memandang wajah orang yang
menjenguknya.
16
-
3. Pada usia 4 bulan:
Bila didudukkan dapat menegakkan kepalanya.
Menunjukkan kecenderungan mengambil segala sesuatu di sekitarnya dan
memasukkannya ke mulut.
Kepala tergerak untuk mencari sumber bunyi/suara.
Dapat tertawa secara spontan.
4. Pada usia 5-6 bulan:
Dapat mengangkat kepala sewaktu berbaring telentang.
Dapat membalikkan badan.
Bila tengkurap, dapat mengangkat kepala dan badan.
Dapat memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya.
Dapat duduk dengan sedikit bantuan.
5. Pada usia 7-8 bulan:
Dapat membanting benda di atas meja atau lantai.
Menunjukkan kecenderungan untuk mendekati orang-orang.
Sudah bisa bilang: da-dada-da
6. Pada usia 9-10 bulan:
Bisa duduk tanpa bantuan
Dapat mengangkat badannya untuk duduk
Bisa berdiri, tapi belum bisa berjalan.
Bisa melambai-lambai tangannya sambil bilang: da-da...da-da
Bisa minum dari gelas/cangkir dengan bantuan.
7. Pada usia 11-12 bulan:
Berjalan dengan dituntun
Dapat memegang dengan jari-jarinya.
Dapat mengeluarkan 2-4 kata yag berarti.
Mengerti perintah-perintah sederhana
Bila didandani anak sudah menunjukkan kooperasi yang sesuai.
8. Pada usia 13-15 bulan:
-
Sudah bisa berjalan sendiri tapi mudah jatuh.
Bisa mencoret-coret dengan kapur atau pensil.
Bisa menunjuk sesuatu yang diminta.
9. Pada usia 18 bulan:
Bisa naik kursi atau bangku.
Bisa melempar-lemparkan bola.
Sudah mengenal bagian-bagian tubuhnya.
Bicara dengan 1-2 kata dan mulai menunjukkan kecerdasan.
10. Pada usia 24 bulan:
Sudah pandai berjalan, lari, jongkok, dsb.
Bisa naik tangga dengan lincah.
Mengutarakan pikirannya dengan kalimat yang terdiri dari 3-4 kata.
Bisa membalikkan halaman buku satu demi satu.
Bisa menyusun 4-6 balok kubus.
2.2.2 Pemeriksaan Motorik
A. Pemeriksaan Tonus Otot
Observasi motorik ditujukan pada posisi saat istirahat dan gerakan
keempat anggota gerak. Sikap bayi dapat mencerminkan adanya nyeri, fraktur,
paresis, dan gangguan tonus otot.
Tindakan yang pertama dilakukan ialah pemeriksaan tonus otot. Dalam
menggerak-gerakan lengan dan tungkai bayi secara pasif hendaknya tidak
menggunakan tenaga kasar dan menjaga jangan sampai bayi menangis.
Melakukan pemeriksaan sambil bermain-main dengan si bayi akan memberikan
hasil yang sesuai. Tonus otot diperiksa dengan manipulasi sendi besar dan
ditentukan derajat tahanannya. Gerakkan setiap sendi-sendi besar untuk menilai
ada tidaknya spastisitas atau flasiditas. Peningkatan maupun penurunan tonus
dapat menandakan penyakit intrakranial. Pada balita dan bayi uji tonus otot
dengan cara pronasi dan supinasi pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku, dan
dorsofleksi dan plantar fleksi pergelangan kaki, dapat pula dengan memegang otot
yang diperiksa.
18
-
Pada lengan, pemeriksaan dilakukan dengan memegang pergelangan
tangan bayi dan menggoyang-goyangkan lengan bawahnya. Bila tonus otot tinggi
maka tangan tidak akan ikut bergoyang secara luwes, melainkan kaku dan
bersikap mengepal. Uji hipoteonia yang sensitif pada anggota gerak atas ialah
dengan tanda pronator, yaitu pasien diminta angkat tangan, maka akan terjadi
hiperpronasi ke arah luar telapak tangan yang hipotonia disertai fleksi pada siku
(Gambar).
Pemeriksaan tonus otot tungkai dilakukan dengan menggoyang-goyangkan
tungkai bayi yang dipegang pada paha. Tungkai bawah bayi akan bergoyang-
goyang secara luwes jika otot bertonus normal. Tungkai bawah akan jatuh lunglai
dan tetap menjuntai bila tonus rendah, sebaliknya akan bersikap kaku dan lurus
dalam mengikuti gerakan pasif tungkai atasnya bila tonus meningkat.
Hipotonia dapat diteliti pula dengan menempatkan bayi dalam sikap
telungkup di atas tangan pemeriksa. Bila terdapat hipotonia maka lengan dan
tungkai bayi jatuh lunglai, sedangkan pada bayi normal lengan dan tungkainya
akan fleksi ringan di sendi siku dan lutut.
Sikap kepala bayi sewaktu badannya diangkat dapat memberikan
informasi perkembangan motorik. Sebelum usia 5 bulan kepala jatuh lunglai bila
badan diangkat dari posisi berbaring dengan cara menarik kedua tangan ke atas.
Setelah usia 5 bulan bayi dapat menegakkan kepalanya baik sewaktu badannya
hendak didudukkan dengan mengangkat kedua lengannya, maupun pada waktu
didudukkan sambil dipegang. Bayi dengan hipotonia memperlihatkan leher yanag
lemas (head lag) yang mencirikan perkembangan motorik yang terbelakang atau
-
keadaan patologis oleh berbagai abnormalitas SSP dan kelainan motor neuron.
B. Pemeriksaan Kekuatan Otot
Sebelum melakukan pemeriksaan formal perhatikan posturnya pada waktu
berdiri, perhatikan jalannya, larinya, pada waktu bermain pasien disuruh
mengambil bola. Dari pengamatan ini sudah didapat diambil kesimpulan keadaan
motornya.
Evaluasi sistem motor pada anak usia sekolah dapat dilakukan secara
formal, dan biasanya cukup pada otot proksimal dan distal anggota gerak atas dan
bawah. Uji kekuatan otot hanya dapat dilakukan pada anak yang sudah dapat
mengerjakan instruksi pemeriksa dan kooperatif. Pada bayi dan anak yang tidak
kooperatif hanya dapat dinilai kesan keseluruhan saja. Anak yang diperiksa dalam
posisi duduk dengan tungkai bawah tergantung. Ia diminta untuk menggerakkan
anggota badan yang diuji dan pemeriksa menahan gerakan-gerakannya (kekuatan
kinetik), dan setelah itu disuruh menahan anggota badan yang diuji tetap di
tempatnya dengan kekuatan terhadap gerakan-gerakan yang yang dilakukan
pemeriksa (kekuatan statik).
Penilaian derajat kekuatan otot ini bermacam-macam. Ada yang
menggunakan nilai 100% sampai 0%, ada yang menggunakan huruf (N = normal;
G = Good; F = Fair, P = Poor; T = Trace dan O = Zero), ada yang menilai dengan
angka 5-0
5 = Normal
4 = Dapat menggerakkan sendi dengan aktif untuk menahan berat dan
melawan tahanan secara simultan
3 = Dapat menggerakkan anggota gerak untuk menahan berat, tetapi tidak
dapat menggerakkan anggota badan untuk melawanan tahanan pemeriksa.
2 = Dapat menggerakkan anggota gerak, tetapi tidak kuat menahan berat
dan tidak dapat melawan tahanan pemeriksa
1 = Terlihat atau teraba ada getaran kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan
anggota gerak sama sekali
20
-
0 = Paralisis, tidak ada kontraksi otot sama sekali
Pemeriksaan kekuatan otot biasanya dilakukan pada anggota gerak,
misalnya disuruh mengangkat bahu sambil ditekan pada bahu yang sama,
kemudian ditekan bahunya dan anak disuruh menahan. Cara lain dapat pula anak
diajak berjabat tangan dan disuruh pronasi dan supinasi sambil ditahan. Demikian
pula dengan anggota gerak yang lain. Pada uji ini kekuatan otot yang diperiksa
harus selalu dibandingkan dengan kekuatan otot analognya yang kontralateral.
C. Uji Kordinasi
Terdapatnya gangguan kordinasi sebenarnya sudah dapat terlihat pada waktu
anak meraih mainan, waktu merobek kertas, mengikat tali sepatu atau
mengancingkan baju. Untuk anak yang sudah mengerti, uji kordinasi dapat
dilakukan dengan uji jari ke hidung atau tumit ke tulang kering.
Pada uji jari ke hidung, anak disuruh melihat contoh lebih dahulu, kemudian
disuruh melakukannya sendiri, yaitu disuruh meluruskan satu tangan (abduksi),
kemudian disuruh menyentuh ujung hidungnya dengan jari tangan yang baru
diluruskan tadi, kemudian ganti dengan tangan yang lain. Uji mula-mula
dilakukan dengan mata terbuka, kemudian dengan mata tertutup. Pada gangguan
kordinasi kasar pada kelainan serebelum sudah terlihat pada uji dengan mata
terbuka, yaitu tidak dapat menyentuh ujung hidung dengan tepat. Pada gangguan
ringan seperti pada kelainan kolumna posterior medula spinalis, kesalahan baru
terlihat pada uji dengan mata tertutup. Tetapi perlu diingat bahwa kordinasi halus
baru berkembang baik pada anak yang telah berumur 4-6 tahun, sehingga pada
anak yang kecil dapat menyentuh 1-2 inchi dari ujung hidung masih dianggap
normal. Pada uji tumit ke tulang kering, setelah diberi contoh, anak disuruh
meletakkan tumit kaki ke atas tulang kering tungkai lainnya, dan sebaliknya. Uji
ini juga dikerjakan dengan mata terbuka dan tertutup.
Pada uji Romberg pasien disuruh berdiri pada kedua kakinya yang
dirapatkan sambil menutup mata. Uji positif apabila pasien kemudian bersandar
atau jatuh ke satu sisi. Pada kelainan/lesi satu sisi serebelum pasien akan jatuh ke
sisi lesi. Pada lesi serebelum di daerah tengah akan menyebabkan pasien jatuh ke
-
belakang atau depan. Pada kelainan di serebelum uji Romberg akan positif baik
dengan mata terbuka maupun tertutup, sedangkan pada kelainan kolumna
posterior medula spinalis hanya positif pada tutup mata. Pada pasien dengan
gangguan kordinasi baik karena kelainan sereblum maupun karena kelainan
sensori (kolumna posterior medula spinalis) akan mengalami ataksia.
2.2.3 Pemeriksaan Refleks
A. Refleks Superfisial
Refleks dinding abdomen diperiksa dengan menggores kulit abdomen
dengan 4 goresan yang membentuk segi empat (belah ketupat) dengan titik-titik
sudut di bawah xifoid, di atas simpisis dan kanan kiri umbilikus. Umbilikus akan
bergerak pada tiap goresan. Pada bayi kurang dari 1 tahun refleks ini belum ada;
pada anak dengan poliomielitis atau anak dengan lesi sentral atau piramidal
refleks ini negatif.
Refleks kremaster diperiksa dengan menggores kulit paha bagian dalam.
Dalam keadaan normal testis akan naik di dalam kanalis inguinalis. Refleks
kremaster yang negatif terdapat pada lesi medula spinalis misalnya pada lesi
medula spinalis misalnya polimielitis. Pada bayi normal di bawah 6 bulan dan
anak di atas 12 tahun refleks ini dapat negatif.
B. Refleks Tendon Dalam
Pemeriksaan refleks tendon pada bayi hasilnya bervariasi karena jalur
kortikospinal belum berkembang sempurna. Oleh karena itu, makna diagnostiknya
sangat kecil kecuali didapatkan respon yang berbeda dibandingkan pemeriksaan
sebelumnya atau didapatkan respon yang ekstrim. Sama halnya dengan orang
dewasa, refleks yang asimetris menandakan adanya lesi di saraf perifer atau
segmen spinalis.
Teknik yang digunakan untuk membangkitkan refleks tendon sama dengan
teknik yang digunakan pada orang dewasa. Penggunaan palu refleks digantikan
dengan jari telunjuk atau jari tengah.
Refleks trisep, brakhioradialis, dan abdominal sulit dibangkitkan pada
umur
-
tidak adanya inervasi otot sfingter eksterna akibat abnormalitas medula spinalis
misalnya karena anomali kongenital (misal spina bifida), tumor, atau trauma.
Refleks Babinski positif terhadap stimulasi plantar (ibu jari kakidorsofleksi dan
jari lain mengembang) dapat ditemukan pada bayi normal hingga umur 2 tahun.
Refleks engkel dengan cara mengetuk tendon Achilles seringkali tidak
menimbulkan respon. Untuk itu dapat digunakan metode lain, dengan cara
menggenggam maleolus oleh satu tangan lalu mendorsofleksikan engkel secara
tiba-tiba. Respon terhadap manuver ini bisa berupa fleksi plantar ritmis berulang
(ankle clonus), normalnya hingga 10 kali (unsustainedankle clonus). Bila
kontraksi yang timbul terus berlanjut (sustained ankle clonus) harus dicurigai
adanya suatu penyakit SSP.
Refleks tendon dalam pada anak biasanya diperiksa pada tendon biseps,
triseps, patela dan achilles. Pada refleks biseps akan terjadi fleksi sendi siku bila
tendon biseps diketuk; pada refleks triseps terjadi ekstensi sendi siku bila tendon
triseps diketuk.
Refleks patella (knee jerk) diperiksa dengan mengetuk tendon patela, normal
akan terjadi ekstensi sendi lutut. Pada refleks Achilles terjadi fleksi plantar kaki
tendon Achilles diketuk. Pemeriksaan harus dilakukan dengan pasien dalam
keadaan santai, lebih baik bila dokter mengajak bicara pasien agar ia tidak
menyadari pemeriksaan. Pada bayi dan anak kecil ketukan cukup dilakukan
dengan jari tangan, pemukul refleks hanya dipakai pada anak besar. Dibandingkan
refleks kanan dan kiri. Refleks tndon dalam akan meninggi pada lesi upper motor
neuron, hipertiroidisme, hipokalsemia atau tumor batang otak. Hiporefleksi terjadi
pada lesi lower motor neuron, sindrom Down, malnutrisi dan beberapa kelainan
metabolik.
C. Refleks Patologis
Terdapat berbagai perasat untuk memeriksa terdapatnya refleks patologis,
tetapi hanya dikemukakan yang sering dilakukan pada bayi dan anak. Refleks
Babinski dilakukan dengan menggores permukaan plantar kaki, mulai dekat tumit
ditarik ke atas sepanjang sisi lateral telapak kaki dan menyilang ke medial seperti
pada gambar. Bila positif akan terjadi reaksi berupa ekstensi ibu jari kaki disertai
-
dengan menyebarnya jari-jari kaki yang lain. Refleks ini normal pada bayi sampai
umur 18 bulan, bila masih terdapat pada umur 2-2 1/2 tahun, mungkin terdapat
lesi piramidal.
Refleks Oppenheim dilakukan dengan menekan tulang kering dengan jari-
jari digeser ke arah bawah, dan apabila positif akan terajadi reaksi seperti refleks
Babinski. Refleks Chaddock dilakukan dengan menggores bagian lateral kaki, dan
reaksi positif seperti refleks Babinski. Refleks Gordon dilakukan dengan
memencet betis, dan reaksi positif seperti refleks Babinski.
Refleks Hoffman dilakukan dengan menyentil kuku (falang terakhir) jari
kedua atau ketiga pasien ke bawah. Bila positif akan terjadi fleksi ibu jari dan jari
ketiga atau kedua. Tanda Hoffman juga menunjukkan terjadinya lesi piramidal
(upper motor neuron), tetapi tanda ini juga terdapat pada pasien tetani.
Klonus pergelangan kaki diperiksa dengan melakukan dorsofleksi kaki
pasien dengan cepat dan kuat, ditahan sebentar sementara sendi lutut diluruskan
dengan tangan lain pemeriksa yang diletakkan pada fosa poplitea.
24
-
Klonus patela adalah gerakan patela naik turun dengan cepat, timbul bila
patela ditekan kuat-kuat dan cepat, sementara tungkai dalam keadaan ekstensi dan
lemas. Klonus patela juga dapat ditimbulkan dengan cara fleksi pada lutut, satu
tangan pemeriksa memegang tungkai di atas lutut, tangan lain di bawah lutut
(distal lutut), kemudian tangan yang distal digerakkan secara cepat ke arah
proksimal, maka akan teraba atau terlihat kontraksi dan relaksasinya tungkai.
Klonus sering menyertai setiap keadaan dengan hiperrefleksi dan refleks
patologis.
2.2.4 Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan sensori yang tepat sangat sukar dilakukan pada anak, dan pada
bayi atau toddler hampir tidak mungkin dapat dilakukan. Pada anak yang berumur
6 tahun ke atas baru dapat dilakukan uji sensibilitas yang sebenarnya. Sebelum
dilakukan pemeriksaan yang sebenarnya, ditunjukkan lebih dahulu cara yang akan
dikerjakan pada pasien.
Pemeriksaan fungsi sensorik pada bayi hanya dapat dilakukan secara
terbatas. Yang harus diperhatikan ialah reaksi bayi atas stimulasi. Pemeriksaan
dimulai dengan persepsi rangsang raba. Anggota gerak, wajah, dan badan digores
dengan seutas kapas. Anggota gerak yang terangsang akan ditarik (menjauhi
sumber rangsang), tetapi wajah yang diraba akan berbalik ke arah perangsangan.
Pemeriksaan sensasi nyeri dilakukan dengan cara menyentil telapak tangan
-
atau kaki. Hendaknya jangan menggunakan benda tajam untuk pemeriksaan ini.
Perhatikan adanya penarikan atau perubahan ekspresi wajah. Bila rangsang nyeri
diikuti perubahan ekspresi wajah atau bayi menjadi menangis tetapi tanpa
penarikan bagian yang dirangsang, maka kemungkinan terdapat paralisis.
Pada pemeriksaan sensoris anak terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat
dilakukan yakni :
a. Uji Sentuhan
Sepotong kain atau kapas disentuhkan pada kulit yang diperiksa dan anak
disuruh menjawab apakah terasa sentuhan.
b. Uji Rasa Nyeri
Pemeriksaan dilakukan dengan mempergunakan jarum yang tajam dan
tumpul. Ditunjukkan lebih dahulu dengan mata pasien terbuka dan anak diminta
membedakan ujung jarum tajam dan tumpul. Setelah itu anak disuruh menutup
mata, kemudian uji dilakukan di kulit tangan, kaki, pipi, rahang, dan anak kembali
disuruh membedakan ujung jarum yang tajam dan tumpul.
c. Uji Rasa Vibrasi
Uji dilakukan dengan garpu tala yang bergetar yang ditempelkan pada
sendi jari, ibu jari kaki, serta maleolus lateral dan medial. Pasien boleh membuka
mata, tetapi tidak boleh melihat, kemudian ditanyakan apakah terasa ada getaran.
d. Uji Posisi
Sambil menutup mata, anak disruh mengatakan apakah jari tangan/
kakinya digerakkan ke atas atau ke bawah.
e. Uji Stereognosis
Dengan mata tertutup pasien diminta menebak benda yang sudah dikenal
yang diletakkan di tangannya, misalnya kain, kancing baju, kunci atau peniti.
Pasien mengenal benda tersebut dari ukurannya, kelenturannya dan bentuknya.
Kalau atereognosis negatif disebut astreognosis yang biasanya berhubungan
dengan adanya lesi di daerah lobus parietalis.
f. Uji Grafestesia
Setelah pasien diberi contoh dengan mata terbuka, kemudian pasien
disuruh menutup mata, setelah itu digoreskan angka, huruf atau simbol yang
26
-
dikenal pasien di telapak tangan atau lengan bawah pasien, dan pasien diminta
menebaknya. Apabila tidak dapat menebak disebut disgrafestesia.
2.2.5 Pemeriksaan Saraf Kranialis
Pemeriksaan saraf kranial pada anak dapat dilakukan walaupun diperlukan
trik-trik khusus dalam cara pemeriksaannya yang berbeda dengan orang dewasa.
Abnormalitas saraf kranial menandakan adanya lesi intrakranial seperti
pendarahan atau malformasi kongenital.
A. Pemeriksaan Saraf Kranialis pada Bayi
Saraf Kranial Cara PemeriksaanI Penciuman Tidak bisa dilakukanII Ketajaman
pengelihatanBuat bayi mengamati wajah pemeriksa, perhatikan adanya respon fasial dan mengikuti gerakan (tracking)
II, III Respon terhadap cahaya
Gelapkan ruangan, posisikan bayi dalam posisi duduk sehingga matanya membuka.Gunakan penlight untuk memeriksa refleks kedip optik (mengedip sebagai respon terhadap cahaya).Gunakan otoskop (tanpa spekulum) untuk menilai respon papillary.
III, IV, VI Gerakan ekstraokular
Observasi pergerakan mata bayi mengikuti wajah pemeriksa dari sisi ke sisi.Gunakan sinar bila perlu.
V Motorik Periksa refleks rootingPeriksa refleks isap (perhatikan saat bayi menyusui ASI/susu botol)
VII Fasial Observasi kesimetrisan wajah dan dahi saat bayi tersenyum atau menangis.
VIII Akustik Lakukan tes refleks kedip akustik (kedua mata mengedip sebagai respon terhadap suarakeras).Observasi pergerakan bayi mengikuti sumbersuara.
IX, X Menelan Observasi koordinasi sewaktu menelan.XI Aksesorius Perhatikan kesimetrisan bahu.XII Hipoglossal Observasi koordinasi proses menelan,
mengisap, dan penjuluran lidah.Pencet hidung, perhatikan refleks membukanya mulut dengan ujung lidah di garis tengah.
B. Pemeriksaan Saraf Kranialis pada Anak
-
1. N. Olfaktorius
Uji penciuman (sensasi bau) dilakukan pada anak yang sudah berumur
lebih dari 5-6 tahun, dengan melakukan uji pada setiap lubang hidung secara
terpisah (salah satu lubang hidung ditutup), dengan mata tertutup. Bahan uji yang
paling baik ialah bahan uji yang menimbulkan bau yang tidak merangsang dan
sudah dikenal oleh pasien. Fungsi nervus ini hilang pada trauma cribriform atau
tumor di daerah bulbus olfaktorius.
2. N. Optikus
Uji saraf otak II terdiri atas uji ketajaman penglihatan, perimetri, dan
pemeriksaan fundus (funduskopi). Uji ketajaman penglihatan secara kasar
dilakukan dengan memperhatikan kemampuan pasien mengikuti muka seseorang,
responnya terhadap mimik seseorang, serta kemampuannya mengambil mainan
dan mengikuti benda yang bergerak.
Refleks kedip dan memejamkan mata bila ada benda yang mendadak
bergerak ke arah mata menunjukkan visus baik, tetapi ini hanya terjadi pada anak
yang sudah berumur 1 tahun ke atas. Reaksi ini tidak timbul pada bayi yang
berumur 4 bulan ke bawah, dan timbul kira-kira pada 50% bayi normal berumur 5
bulan. Uji penglihatan yang canggih dilakukan dengan alat evoked potential, yaitu
visual evoked response (VER). Pemeriksaan perimetri dilakukan oleh ahli mata.
Pemeriksaan funduskopi memerlukan oftalmoskop yang baik, ruang yang
dapat dibuat gelap serta kesabaran pemeriksa. Untuk mengalihkan perhatian
pasien terhadap sinar, pasien diminta melihat gambar di dinding yang berlawanan
dengan pasien. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan tanpa midriatikum untuk
melihat reaksi pupil. Kalau terpaksa (pupil pasien dalam keadaan miosis) dapat
dipergunakan midriatikum setelah reaksi pupil diperiksa lebih dahulu. Mula-mula
dipergunakan sinar redup pada oftalmoskop sambil dijelaskan kepada pasien
mengenai cara pemeriksaan. Setelah itu mulai dipergunakan lensa + 20 untuk
memeriksa kornea dan lensa apakah terdapat ulserasi, opasitas, dan katarak.
Kemudian pergunakan lensa 0 pada oftalmoskop untuk memeriksa retina dan
papil N. Optikus, perhatikan fokus pada makula dan kelainan-kelainan makula dan
sekitarnya. Perhatikan ukuran, pulsai dan distribusi pembuluh darah retina,
28
-
terdapatnya deposit abnormal, pigmentasi abnormal dan adanya pendarahan.
3. N. Okulomotor, N. Troklearis, dan N. Abdusen
Uji yang sederhana dan mudah dilakukan ialah uji gerakan kedua mata, uji
akomodasi dan refleks cahaya. Pemeriksaan dilakukan dengan menggerakkan
mainan, baterai atau alat pengukur lingkaran kepala yang digoyang-goyangkan ke
samping, ke atas dan ke bawah di garis tengah, kemudian juga diagonal. Hal ini
dilakukan juga pada masing-masing mata dengan menutup mata yang lain.
Uji akomodasi dilakukan dengan menyuruh pasien melihat benda yang
digerakkan mendekat dan menjauh, diperhatikan pupil pasien apakah mengecil
bila melihat dekat serta membesar bila melihat jauh. Uji diplopia dilakukan
dengan cara menanyakan kepada pasien apakah melihat satu atau lebih mainan
yang digerakkan di depan pasien ke atas kiri, atas kanan, bawah kiri dan bawah
kanan.
Paralisis saraf otak III akan menyebabkan mata yang terkena akan
berdeviasi ke lateral bawah, ptosis, strabismus, diplopia, dilatasi pupil, serta
hilangnya refleks cahaya dan akomodasi. Paralisis saraf otak IV jarang terjadi;
pada keadaan ini waktu pasien melihat ke bawah terjadi sedikit strabismus
konvergens dan diplopia. Pasien tidak mampu melihat ke bawah, sehingga
mengalami kesukaran waktu menuruni tangga, sering disertai kepala miring.
Paralisis saraf otak VI paling sering terjadi, ditandai oleh strabismus konvergens
dan diplopia. Ptosis kongenital sering ditemukan, dan diturunkan secara dominan.
-
4. N. Trigeminus
N. Trigeminus mempunyai fungsi motor dan sensori. Bagian motor
mempersarafi pengunyah, yaitu maseter, pterigoid, dan temporalis. Bagian
sensoris mempersarafi daerah wajah dan setengah kulit kepala bagian depan.
Cabang oftalmikus mempersarafi kuadran atas, cabang maksilaris mempersarafi
kuadran tengah, dan cabang mandibularis mempersarafi kuadran bawah.
Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini ialah uji perasaan (sensori) dengan
mengusapkan kapas, menggoreskan jarum dan benda-benda hangat atau dingin di
daerah wajah kuadran atas, tengah dan bawah. Uji lain ialah terhadap refleks
kornea dan rahang. Uji refleks kornea dilakukan dengan kain kasa atau kapas yang
bersih yang disentuhkan pada kornea pasien, bila saraf otak V intak, maka mata
akan berkedip. Refleks rahang (jaw jerk) dilakukan dengan menyuruh pasien
membuka mulut sedikit, kemudian letakkan jari di tengah-tengah dagu pasien.
Ketuklah jari tersebut dengan jari tangan lainnya atau dengan pengetuk refleks,
normal dagu akan terangkat. Lesi saraf otak V unilateral akan menyebabkan
rahang miring ke sisi yang paretik, hal ini disebabkan oleh karena kelemahan
ipsilateral otot pterigoid. Uji perasaan (sensori) sukar dilakukan pada anak, yang
30
-
mudah dilakukan ialah uji refleks kornea.
5. N. Fasialis
Parasis N. VII perifer menyebabkan pasien tidak dapat mengerutkan dahi
ke atas, tidak dapat memejamkan mata, dan tidak dapat menaikkan sudut mulut
pada sisi saraf yang paresis. Pada tipe sentral hanya terkena otot-otot wajah bagian
bawah, sehingga sudut mulut turun ke bawah, lipatan nasolabialis mengurang atau
menghilang, dan fisura palpebra bertambah. Otot dahi yang mendapat dua pertiga
lidah bagian depan juga terganggu.
Pemeriksaan untuk saraf otak VII dilakukan dengan menyuruh pasien
tersenyum, meringis, bersiul, membuka dan memejamkan mata, serta refleks
kornea dan uji pengecap (sensori pengecap). Bila terdapat paresis N. VII, akan
terlihat mulut pasien moncong ke sisi yang sehat, dan mata pada sisi lesi tidak
dapat menutup dengan rapat (lagoftalmus). Uji sensori pengecap dilakukan
dengan meminta pasien menjulurkan lidah, pemeriksa memegang ujung lidah
dengan kain kasa dan meletakkan gula atau garam atau asam sitrat atau kina.
Lidah harus tetap di luar sampai uji sensori pengecap selesai, dan pasien diminta
menyebutkan bahan uji yang digunakan dengan mata tertutup.
6. N. Akustikus
Saraf otak ini terdiri atas N. Koklearis untuk pendengaran dan N.
Vestibularis untuk keseimbangan. Uji pendengaran sebenarnya sudah dapat
dilakukan pada waktu wawancara, yaitu reaksi pasien terhadap suara. Pada anak
kecil uji pendengaran dapat pula dilakukan dengan bel, pada anak besar dengan
diminta menirukan bisikan, bunyi jam atau dengan garpu tala. Alat uji
pendengaran yang paling akurat adalah dengan alat evoked potential yaitu
brainstem auditory-evoked potential (BAEP). Uji pendengaran dilakukan
bergantian pada kedua telinga.
Uji keseimbangan pada bayi dapat dilakukan dengan memegang pasien
vertikal berhadapan dengan pemeriksa, kemudian diputar beberapa kali searah
jarum jam, dan berlawanan arah jarum jam. Perhatikan matanya, pada bayi normal
matanya melirik ke arah putaran diikuti dengan nistagmus cepat kembali. Pada
waktu putaran dihentikan akan terjadi sebaliknya.
-
Uji keseimbangan juga dapat dilakukan dengan uji kalorik. Pasien
dibaringkan telentang, dan kepala difleksikan 30 derajat, kemudian 10 ml air es
disemprotkan ke dalam liang telinga selama 30 detik, maka pada anak sadar akan
terjadi nistagmus kasar ke arah telinga yang diuji tanpa deviasi mata. Pada pasien
dengan kesadarn menurun akan terjadi deviasi mata ke sisi yang sama dan
nistagmus ke kontralateral. Pada pasien dengan koma akan terjadi deviasi tonik ke
sisi sama tanpa nistagmus, dan pada koma yang dalam tidak ada perubahan pada
mata sama sekali. Uji kalorik tidak boleh dilakukan pada pasien dengan perforasi
membran timpani, dan pada telinga dengan sumbatan serumen, harus dibersihkan
lebih dahulu. Uji kalorik dilakukan bergantian pada kedua telinga.
7. N. Glosofaringeus
Pemeriksaan saraf otak ini ditujukan untuk menilai kelainan yang timbul,
berupa:
Hilangnya refleks muntah (gag reflex)
Disfagia ringan
Hilangnya sensori pengecap
Deviasi uvula ke sisi yang baik
Hilangnya sensori pada faring, tonsil, tenggorok bagian atas dan lidah
bagian belakang
Hilangnya konstriksi dinding posterior farings saat bersuara ah
Hipersalivasi
8. N. Vagus
Gangguan saraf otak ini berupa gangguan motor, sensori dan vegetatif.
Gangguan motor berupa berupa afonia (siklus menghilang), disfonia (gangguan
suara), disfagia (kesukaran menelan, biasanya kalau minum kembali melalui
hidung), spasme esofagus, paralisis palatum mole (refleks muntah negatif dan
palatum sisi yang sakit tidak dapat terangkat pada waktu bersuara). Gangguan
sensori berupa nyeri dan parestesia pada faring dan laring, batuk, sesak napas dan
pseudoasma. Gangguan vegetatif berupa bradikardi, takikardi, dan dilatasi
lambung.
32
-
9. N. Aksesorius
Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini ialah uji kemampuan untuk
mengangkat bahu dan memutar kepala melawan tahanan pemeriksa. Pasien tidak
dapat mengangkat bahu yang terkena, dan tidak mampu memutar kepala ke sisi
yang sehat.
10. N. Hipoglosus
Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini ialah uji untuk menilai kekuatan
lidah dengan menyuruh pasien menyorongkan ujung lidah ke tepi pipi kanan dan
kiri melawan tahanan jari tangan pemeriksa. Perhatikan deviasi lidah pada waktu
dijulurkan, lidah akan deviasi ke sisi lesi dan lidah juga tampak atrofi disertai
tremor.
2.2.6 Tanda Rangsang Meningeal
A. Kaku Kuduk
Terdapatnya rangsang meningeal dapat diperiksa dengan beberapa parasat,
antara lain pemeriksaan kaku kuduk, tanda Brudzinski I, Brudzinski II dan Kernig.
Jangan dikacaukan perasat-perasat tersebut dengan refleks patologis yang
menunjukkan terdapatnya lesi upper motor neuron.
Kaku kuduk (nuchal rigidity). Bila leher ditekuk secara pasif terdapat
tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel pada dada, maka dikatakan kaku
kuduk positif (Lihat gambar). Tahanan juga terasa apabila leher dibuat
hiperekstensi diputar atau digerakkan ke samping. Kadang-kadang kaku kuduk
disertai dengan hiperekstensi tulang belakang, keadaan ini disebut opistotonus.
Di samping menunjukkan adanya rangsang meningeal (pada meningitis),
kaku kuduk juga terdapat pada tetanus, abses retrofaringeal, abses peritonsilar,
ensefalitis virus, keracunan timbul, dan artritis reumatoid, tetapi pada meningitis
(rangsang meningeal) pemeriksaan kaku kuduk cukup dengan menekuk leher ke
depan dan ke belakang.
-
B. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala pasien dan tangan
lainnya di dada pasien untuk mencegah agar badan tidak terangkat, kemudian
kepala pasien difleksikan ke dada secara pasif (jangan dipaksa). Bila terdapat
rangsang meningeal maka kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul
dan sendi lutut (Gambar).
C. Tanda Brudzinski II
Fleksi tungkai pasien pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh
fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan sendi lutut. Hasil akan lebih jelas
apabila pada waktu fleksi panggul, sendi lutut tungkai lain dalam keadaan ekstensi
(Gambar)
34
-
D. Tanda Kernig
Pemeriksaan tanda Kernig ini ada bermacam-macam cara, tetapi yang
biasa dipergunakan ialah pada pasien dalam posisi telentang dilakukan fleksi
tungkai atas tegak lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi
lutut.
Dalam keadaan normal tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih 135
derajat terhadap tungkai atas (Gambar). Pada iritasi meningeal ekstensi lutut
secara pasif ini akan menyebabkan rasa sakit dan terdapat hambatan. Pemeriksaan
ini sukar dilakukan pada bayi di bawah umur 6 bulan.
-
DAFTAR PUSTAKA
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. Philadelphia: Elsevier. 2007
Sidharta, P., Pemeriksaan Neurologik Pada Bayi dalam Tata Pemeriksaan Klinis
Dalam Neurologi, Cetakan keempat, Dian Rakyat, Jakarta, 1999.
Soetomenggolo TS & Ismael S., Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan ke-2.
Jakarta: IDAI. 2000
Szilagyi P., Techniques of Examination for Newborns and Infants: The Nervous
System dalam Bates Guide to Physical Examination abd History, Edisi
ke-9, Lippincott Williams & Wilkins, New York, 2007.
World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman
Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. World
Health Organization. Jakarta. 2009
36