referat okular toxoplasma
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
OKULAR TOXOPLASMOSIS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya
di SMF. Ilmu Kesehatan Mata RSD dr.Soebandi Jember
Oleh:
Intan Nohabrilyanti, S.Ked NIM. 062011101028
Imas Resa Palupi, S.Ked NIM. 072011101019
Pembimbing:
dr.Bagas Kumoro, Sp.M
LAB/SMF. ILMU KESEHATAN MATA RSD dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2011
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................2
1.3 Tujuan .......................................................................................2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................3
2.1 Definisi ......................................................................................3
2.2 Etiologi ......................................................................................3
2.3 Patofisiologi ..............................................................................3
2.4 Epidemiologi .............................................................................5
2.5 Anamnesis .................................................................................6
2.6 Pemeriksaan Fisik .....................................................................7
2.7 Diagnosis ...................................................................................12
2.8 Pencegahan ................................................................................14
2.9 Tatalaksana ................................................................................14
2.10 Komplikasi ..............................................................................17
2.11 Prognosis .................................................................................17
BAB 3. KESIMPULAN ..........................................................................18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................19
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Makular scar sekunder ....................................................................................8
2.2 Akut macular retinitis .....................................................................................9
2.3 Chorioretinal scar infaktif ...............................................................................10
2.4 Neuritis Optik .................................................................................................11
iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan
yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang
dikenal dengan nama Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit intraselluler yang
banyak terinfeksi pada manusia dan hewan peliharaan. Penderita toxoplasmosis
sering tidak memperlihatkan suatu gejala klinis yang jelas sehingga dalam
menentukan diagnosis penyakit toxoplasmosis sering terabaikan dalam praktek
dokter sehari-hari. Apabila penyakit toxoplasmosis mengenai wanita hamil
trismester ketiga dapat mengakibatkan hidrochephalus, khorioretinitis, tuli atau
epilepsi.
Penyakit toxoplasmosis biasanya ditularkan dari kucing atau anjing tetapi
penyakit ini juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, sapi, domba, dan
hewan peliharaan lainnya. Walaupun sering terjadi pada hewan-hewan yang
disebutkan di atas penyakit toxoplasmosis ini paling sering dijumpai pada kucing
dan anjing. Untuk tertular penyakit toxoplasmosis tidak hanya terjadi pada orang
yang memelihara kucing atau anjing tetapi juga bisa terjadi pada orang lainnya
yang suka memakan makanan dari daging setengah matang atau sayuran lalapan
yang terkontaminasi dengan agent penyebab penyakit toxoplasmosis.
Dewasa ini setelah siklus hidup toxoplasma ditemukan maka usaha
pencegahannya diharapkan lebih mudah dilakukan. Pada saat ini diagnosis
toxoplasmosis menjadi lebih mudah ditemukan karena adanya antibodi IgM atau
IgG dalam darah penderita. Diharapkan dengan cara diagnosis maka pengobatan
penyakit ini menjadi lebih mudah dan lebih sempurna, sehingga pengobatan yang
diberikan dapat sembuh sempurna bagi penderita toxoplasmosis. Dengan jalan
tersebut diharapkan insidensi keguguran, cacat kongenital, dan lahir mati yang
disebabkan oleh penyakit ini dapat dicegah sedini mungkin. Pada akhirnya
kejadian kecacatan pada anak dapat dihindari dan menciptakan sumber daya
manusia yang lebih berkualitas.
1
1.2 Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan okular toxoplasmosis?
b. Apakah yang menjadi penyebab okular toxoplasmosis ?
c. Bagaimanakah patofisiologi terjadinya okular toxoplasmosis ?
d. Bagaimana epidemiologi okular toxoplasmosis?
e. Gejala apa sajakah yang muncul pada orang yang menderita okular
toxoplasmosis?
f. Pemeriksaan apa saja yang bisa dilakukan untuk menegakkan
diagnosis okular toxoplasmosis?
g. Terapi apa saja yang bisa diberikan untuk mengobati okular
toxoplasmosis?
h. Bagaimana komplikasi dan prognosis okular toxoplasmosis ?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan refrat ini adalah untuk mengetahui tentang okular
toxoplasmosis, penyebab, patofisiologi, epidemiologi, gejala klinis yang muncul,
pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis, terapi, komplikasi, dan
prognosis dari okular toxoplasmosis.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Toxopasmosis adalah penyakit zoonosis yang secara alami dapat
menyerang manusia, ternak, hewan peliharaan yang lain seperti hewan liar,
unggas dan lain-lain. Protozoa toxoplasma gondii merupakan salah satu parasit
coccidian, obligate, intracellular, yang berperan terhadap infeksi yang terjadi pada
manusia dan mamalia lain. Toxoplasma gondii merupakan penyebab yang umum
terhadap terjadinya inflamasi intraocular di dunia. Kucing merupakan host
definitive yang terinfekasi akibat memakan ikan mentah, burung liar, atau tikus.
Tiga bentuk protozoa yang hanya terjadi pada tubuh kucing adalah tachyzoit,
bradyzoit, dan sporozoit. Manusia dan mamalia hanya terinfeksi oleh tachyzoit
dan bradyzoit.
2.2 Etiologi
Kongenital toksoplasmosis
Ketika wanita dengan pertahanan tubuh yang lemah terinfeksi saat kehamilan,
terjadi tranmisi transplacenta dari T. gondii kepada fetus dan menyebabkan
terjadinya congenital toksoplasmosis
Toksoplamosis didapat
o Memakan kista jaringan yang berasal dari daging sapi, daging
kambing, atau daging babi yang mentah atau setengah matang.
o Memakan ookista yang berasal dari susu, air, atau sayuran.
o Menghirup ookista
o Transfuse darah yang terkontaminasi, transplantasi organ, dan
inokulasi yang tidak disengaja saat berada di laboratorium
2.3 Patofisiologi
Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista,
dan Ookista. Trofozoit berbentuk oval dengan ukuran 3 – 7 um, dapat menginvasi
semua sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan
3
selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis trofozoit dalam
jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit. Bentuk kedua adalah
kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan berukuran 10 – 100 um.
Kista penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat dalam otot rangka, otot
jantung dan susunan syaraf pusat. Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista
yang berukuran 10-12 um. Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan
dikeluarkan bersamaan dengan feces kucing.
Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni dan
siklus atau gametogeni dan sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan
dikeluarkan bersama feces kucing. Kucing yang mengandung toxoplasma gondii
dalam sekali exkresi akan mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan
oleha hospes perantara seperti manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada
berbagai jaringan hospes perantara akan dibentuk kelompok-kelompok trofozoit
yang membelah secara aktif. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium
seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang
mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus
kucing tersebut.
Infeksi dapat terjadi bila manusia makan daging mentah atau kurang
matang yang mengandung kista. Infeksi ookista dapat ditularkan dengan vektor
lalat, kecoa, tikus, dan melalui tangan yang tidak bersih. Transmisi toxoplasma ke
janin terjadi utero melalui placenta ibu hamil yang terinfeksi penyakit ini. Infeksi
juga terjadi di laboratorium, pada peneliti yang bekerjad dengan menggunakan
hewan percobaan yang terinfeksi dengan toxoplasmosis atau melalui jarum suntik
dan alat laboratorium lainnya yang terkontaminasi dengan toxoplasma gondii.
Infeksi akut ditandai oleh tachyzoit yang menginvasi dan berproliferasi
pada hampir semua tipe sel mamalia kecuali eritrosit yang tidak mempunyai inti.
Saat organism mencapai mata melalui aliran darah, tergantung pada status imun
host, akan dimulai fase klinis atau subklinis yang terjadi di retina. Jika imun host
memberi respon maka takizoit akan merubah dirinya menjadi bradizoit dan
terbentuklah kista. Kista sangat resisten terhadap pertahanan tubuh host, dan akan
terjadi infeksi laten yang menjadikannya kronis.
4
Jika terjadi infeksi subklinis, tidak ada perubahan yang terjadi pada
pemeriksaan funduskopi. Kista akan menetap pada retina yang nampaknya
normal. Saat status imun host menurun oleh karena sebab apapun, dinding kista
akan hancur, melepaskan organism-organisme tersebut ke retina, dan proses
inflamasi pun dimulai kembali. Jika terjadi lesi klinis aktif, terjadi proses
penyembuhan dan terbentuk chorioretinal scar. Kista seringkali tetap inaktif
diantara atau menempel pada scar.
Parasit toxoplasma jarang teridentifikasi pada sampel aqueous humor dari
pasien dengan ocular toxoplasmosis aktif. Hal ini menunjukkan bahwa
proliferasi parasit terjadi hanya pada fase awal infeksi dan bahwa retinal damage
mungkin disebabkan oleh respon inflamasi lanjutan.
Saat sel epitel berpigmen retina terinfeksi oleh toxoplasma gondii, terdapat
peningkatan produksi sitokin – sitokin tertentu termasuk interleukin 1 beta (IL-
1β), interleukin 6 (IL-6). Granulocyte – macrophage colony – stimulating factor
(GM-CSF), dan molekul adhesi intercellular (ICAM). Pasien dengan toxoplasmic
retinochoroiditis didapat mempunyai level IL-1 yang lebih tinggi dibanding
pasien – pasien asimptomatis.
2.4 Epidemiologi
Frekuensi
Amerika Serikat
Berdasarkan studi serologis, diperkirakan seperempat hingga setengah
populasi Amerika serikat telah terinfeksi oleh toxoplasma. Di Amerika serikat, 2 –
6 dari 1000 ibu hamil menderita toxoplasmosis. Prevalensi toxoplasmosis
kongenital berkisar 1 tiap 10.000 kelahiran hidup.
Manifestasi intraokular toxoplasmosis akibat necrotizing retinochoroiditis
telah dilaporkan pada 1 – 21 % pasien dengan infeksi sistemik yang didapat. Pada
studi populasi 0,6% penduduk maryland mempunyai scar yang diduga diakibatkan
oleh okular toxoplasmosis.
5
Internasional
Prevalensi serum antibodi melawan toxoplasmosis bervariasi di seluruh
dunia dan tergantung pada kebiasaan makan, hygiene, dan iklim. Toxoplasmosis
nampaknya lebih banyak terjadi pada iklim yang lembab.
Prevalensi toxoplasmosis kongenital berkisar 1 dalam 1000 kelahiran
hidup di Perancis. Dalam empat dekade pertama hidup, 90% populasi Perancis,
12,5% populasi Jepang, dan 60% Populasi Belanda dinyatakan seropositif untuk
toxoplasmosis. Rata- rata insiden di Inggris adalah 0,4 kasus tiap 100.000 orang
per tahun. Di Brazil selatan, hapir 18% penduduk dinyatakan memiliki lesi retina
yang diduga akibat okular toxoplasmosis. Di daerah Quindio Colombia, insidensi
yang dilaporkan berkisar 3 kasus tiap 100.000 penduduk per tahun.
Mortalitas / morbiditas
Toxoplasmosis merupakan penyebab yang umum dari imflamasi
intraokular dan uveitis posterior pada pasien imunokompeten di seluruh dunia.
Toxoplasmosis bertanggung jawab terhadap 30 – 50% dari semua kasus uveitis
posterior di Amerika serikat.
Ras / sex
Tidak ada predileksi rasial dari toxoplasmosis. Begitu pula dilihat dari segi
jenis kelamin.
Usia
Prevalensi reaksi seropositif bertambah sesuai umur. Di Amerika serikat, 5
– 30 % individu usia dua puluh tahunan dan 10 – 67% individu berumur lebih dari
lima puluh tahun memiliki antibodi antitoxoplasma.
Okular toxoplasmosis telah dilaporkan paling banyak bermanifestasi pada
individu berusia 20 – 40 tahun.
2.5 Anamnesis
Faktor resiko terjadinya toxoplasmosis:
Imunodefisiensi (misalnya AIDS), pasien dengan imunosupresi misalnya
pada pasien post transplantasi organ atau dengan penyakit keganasan.
Kontak dengan kucing
6
Riwayat memakan daging mentah atau setengah matang
Gejala:
o Pandangan kabur
o Floaters
o Nyeri
o Mata merah
o Metamorphopsia
o Fotofobia
2.6 Pemeriksaan fisik
Toxoplasmosis kongenital
Trias klasik yang menggambarkan toxoplasmosis kongenital adalah
retinochoroiditis, kalsifikasi serebral, dan kejang. Penemuan lainnya meliputi
hidosefalus, mikrosefalus, organomegali, ikterus, ruam, demam, dan retardasi
psikomotor. Penemuan tersebut didapatkan pada sedikit kasus, akan tetapi
menunjukkan infeksi akut dan fatal.
Saat seorang ibu hamil diduga terinfeksi selama kehamilannya, dapat
terjadi transmisi transplasental toxoplasma gondii ke dalam tubuh janin, yang
pada akhirnya dapat menyebabkan toxoplasmosis kongenital.
Jika seorang ibu terinfeksi selama trimester pertam kehamilannya, 17%
bayi mengalami toxoplasmosis kongenital, akan tetapi tingkat keparahan
penyakitnya lebih tinggi. Jika infeksi terjadi pada trimester ketiga, 65% bayi
menderita toxoplasmosis kongenital, tetapi kebanyakan dari mereka asimptomatis.
Sedangkan infeksi maaternal kronis tidak berhubungan dengan terjadinya
toxoplasmosis kongenital.
Antibodi antitoxoplasma immunoglobulin M (IgM) muncul pada 75% bayi
dengan toxoplasmosis kongenital.
Penemuan paling umum pada toxoplasmosis kongenital adalad retinochoroiditis
yang mempunyai tempat predileksi di kutub posterior. Penemuan ini didapat pada
75-80% kasus dan bilateral pada 85% kasus.
7
Makular scar sekunder akibat toxoplasmosis kongenital:
Gambar 1. macular scar sekunder akibat toxoplasmosis congenital
(Wu, 2011)
Toxoplasmosis didapat
Mengkonsumsi daging sapi, daging kambing atau daging babi yang
mengandung kista jaringan, ookista dari sayuran, atau transfusi darah yang
terkontaminasi, transplantasi organ, atau inokulasi yang tidak disengaja saat
berada di laboratorium dapat mengakibatkan terjadinya toxoplasmosis didapat.
Infeksi yang didapat biasanya subklinis dan asimptomatis. Pada 10 – 20% kasus
yang menjadi simptomatis, pasien mengalami gejala mirip flu, misalnya demam,
limfadenopati, malaise, mialgia, dan ruam kulit makulopapular yang tersebar di
telapak tangan dan kaki. Pada pasien yang imunokompeten, penyakit ini tidak
membahayakan dan self-limited.
Baru-baru ini diperkirakan hanya 1-3 % pasien dengan infeksi yang
didapat mengalami okular toxoplasmosis. Retinitis makular akut yang
dihubungkan dengan toxoplasmosis ditunjukkan dalam gambar berikut :
8
Gambar 2. Akut macular retinitis (Wu, 2011)
Toxoplasmosis pada pasien immunocompromise
Fungsi imun pasien sangat berperan penting pada patogenitas toxoplasma.
Pasien dengan immunocompromise seringkali menderita pneumonitis,
myocarditis, dan encephalitis yang mengancam nyawa, selain itu juga necrotizing
retinochoroiditis berat yang dapat mengakibatkan kebutaan.
Lesi multifokal, bilateral, dan terus menerus berkembang secara progresif
menunjukkan bahwa infeksi telah melibatkan mata. Karena immunosupresinya,
pasien – pasien ini seringkali memliki masalah dengan reaksi inflamasi yang
berlebih, sehingga mengakibatkan sulitnya pebentukan chorioretinal scar.
Pada pasien immunocompromise diagnosis serologis sangat sulit
ditegakkan.
9
Hanya 1-2% pasien dengan HIV menderita okular toxoplasmosis. Pasien –
pasien berusia tua yang terinfeksi toxoplasma memiliki resiko terjadinya
retinochoroiditis berat, mungkin disebabkan oleh status immune yang mulai
menurun sesuai dengan bertambahnya usia.
Okular toxoplasmosis
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hingga 75% pasien dengan toxoplasmosis
kongenital memiliki chorioretinal scar saat lahir. Sebaliknya, lesi okular pada
pasien yang terinfeksi toxoplasma setelah lahir jarang ditemukan. Oleh karena itu
pasien dengan chorioretinitis aktif yang memiliki chorioretinal scar dipercaya
merupakan reaktifasi dari infeksi sebelumnya. Chorioretinal scar inaktif
ditunjukkan dalam gambar berikut:
Gambar 3. Chorioretinal scar inaktif (Wu,2011)
Penelitian baru – baru ini bahwa hampir semua kasus okular
toxoplasmosis merupakan sekunder dari infeksi kongenital yang cenderung terjadi
selama fase kronis infeksi. Tetapi penelitian berikutnya menunjukkan peranan
infeksi yang didapat terhadap kejadian okular toxoplasmosis. Penelitian di brazil
10
menunjukkan hanya 1% dari anak – anak dengan toxoplasmosis memiliki lesi
okular, sedangkan 21% individu beusia lebih dari 13 tahun memiliki lesi okular.
Penanda yang menjadi ciri khas penyakit ini adalah necrotizing
retinochoroiditis, yang mungkin primer atau rekuren. Pada okular toxoplasmosis
primer, terdapat fokus necrotizing retinochoroiditis uniateral di kutub posterior
pada lebih dari 50% kasus. Area nekrotik biasanya meliputi lapisan dalam retina
dan disebut lesi Whitish fluffy yang dikelilingi oleh edema retina.
Retinas merupakan lokasi utama bagi parasit untuk bermultiplikasi,
sementara choroid dan sklera merupakan lokasi dimana inflaasi seringkali
menyebar.
Jika infeksi telah melibatkan nervus optikus, manifestasi khas adalah
neuritis optik atau papillitis ditandai dengan edema, yang ditunjukkan pada
gambar berikut:
Gambar 4. Neuritis optik (Wu, 2011)
Selubung nervus optikus dapat menjadi saluran yang memfasilitasi
penyebaran langsung dari organisme toxoplasma antara nervus optikus dengan
infeksi serebral.
11
Punctate outer toxoplasmosis telah dideskripsikan dalam literatur jepang
dan amerika. Bentuk penyakit ini unik, diana lesi atrofik besar di posterior tidak
didapatkan.
Sel – sel inflamasi terlihat pada vitreous menyertai retinochoroidal atau
lesi papillar. Pada banyak kasus, reaksi inflamasi berlangsung berat, dan detail
dari fundus tidak terlihat. Keadaan ini disebut sebagai “headlight in the fog”.
Seringkai pada pasien terbentuk presipitat sel – sel inflamasi pada vitreous. Pada
keadaan terbentuk untaian atau membran yang tebal di dalam vitreous maka
diperlukan vitrektomi.
Antigen toxoplasma bertanggung jawab akan terjadinya reaksi
hipersensitivitas yang pada akhirnya dapat menyebabkan retinal vaskulitis dan
granulomatous atau nongranulomatous uveitis anterior.
Jika terjadi uveitis anterior, dapat disertai komplikasi sinekia posterior dan
terbentuk keratic presipitat.
Saat lesi menyembuh, maka akan nampak sebagai gambaran punched-out
scar, sehingga nampak sklera putih yang dibawahnya.
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yang tampak dilihat dengan
funduskopi dan hasil pemeriksaan pada pemeriksaan penunjang.
Hasil laboratorium
Serology
o Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis pada pemeriksaan
fundus. Pemeriksaan serology hanya sebagai pemeriksaan tambahan
o Serum titer antibody antitoksoplasma dapat ditemukan dengan beberapa
tehnik :
Enzyme-Linked immunosorbent assay (ELISA)
Indirect fluorescent antibody test
Indirect hemagglutination test
Complement fixation
Sabin-feldman dye test
12
o Temuan serology penting untuk menentukan apakah infeksi ini termasuk
akut atau kronik. Infeksi akut didiagnosis dengan seroconversion. Titer
IgG menunjukkan 4-fold dan akan memuncak pada 6-8 minggu setelah
terjadinya infeksi, dan dapat bertahan selama lebih dari 2 tahun
selanjutnya. Antitoxoplasma IgM akan muncul pada minggu pertama
infeksi. Selain IgM yang akan muncul, pada infeksi yang akut juga akan
ditemukan peningkatan IgA dan IgA dapat bertahan hingga 1 tahun.
Imaging Studies
o Flourescein angiography (FA) dari lesi yang aktif akan menunjukkan
hypoflourescent selama infeksi, dan diikuti dengan kebocoran yang
progresif.
o USG diiindikasikan untuk memeriksa media penglihatan terutama badan
vitreous. Temuan yang paling banyak ditemukan adalah intravitreal
punctiform echoes, penebalan dari hyaloids posterior, parsial atau total
vitreous detachment, dan penebalan fokal retinokoroid.
Pemeriksaan Histopatologi
o Pemeriksaan ini adalah kriteria standar untuk diagnosis. Pada
pemeriksaan ditemukan, tachyzoite tampak oval atau bulan sabit.
Pewarnaan tachyzoite dengan menggunakan pewarnaan Giemsa. Pada
pewarnaan akan tampak sitoplasma berwarna biru dan nucleus berwarna
merah dan berbentuk sferis.
o Pada bentuk kista, pada dindingnya ditemukan eosinofil, argyrophilic dan
PAS positif. Bentuk kista terdiri dari 50-3000 bradyzoit.
o Peradangan tampak nyata pada retina, vitreous dan koroid. Koroid yang
berdekatan dengan retina menunjukkan inflamasi granulomatosa. Retina
mengalami parsial nekrosis dengan batas yang jelas. Setelah
menyembuh, area retina yang terinfeksi hancur dan terdapat adhesi
corioretina.
13
Staging
o Zona 1 penderita mempunyai resiko tinggi kehilangan penglihatan
secara permanen. Lesi berlokasi 2 diameter diskus dekat fovea centralis
atau 1500 µ dari tepi optik disk.
2.8 Pencegahan
Dalam hal pencegahan toxoplasmosis yang penting ialah menjaga
kebersihan, mencuci tangan setelah memegang daging mentah menghindari feces
kucing pada waktu membersihkan halaman atau berkebun. Memasak daging
minimal pada suhu 66oC atau dibekukan pada suhu –20oC. Menjaga makanan
agar tidak terkontaminasi dengan binatang rumah atau serangga.Wanita hamil
trimester pertama sebaiknya diperiksa secara berkala akan kemungkinan infeksi
dengan toxoplasma gondii. Mengobatinya agar tidak terjadi abortus, lahir mati
ataupun cacatbawaan.
2.9 Tatalaksana
Terapi Medikamentosa
Karena kondisi ini merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri,
sehingga tatalaksana sistemik dari toksoplasmosis didapat tidak
direkomendasikan. Terjadinya retinokoroiditis tidak selalu merupakan
indikasi pengobatan. Pada umumnya, lesi yang kecil di perifer dapat
menyembuh dengan spontan. Tetapi lesi pada arcade pembuluh darah, lesi
dekat optic disk, lesi dekat papil optic harus diberikan pengobatan.
Sedangkan pada Ocular toxoplasmosis, beberapa regimen terapi telah
direkomendasikan:
Terapi Triple drug antara lain pyrimethamine (dosis inisiasi 75-100mg
pada hari pertama dan diikuti 25-50mg pada hari selanjutnya), sulfadiazine
(dosis inisial 2-4 g selama 24 jam dilanjutkan dengan 1 g q.i.d) dan
prednison.
14
Terapi Quadruple adalah pyrimethamine, sulfadiazin, klindamycin dan
prednison. Pemakaian pyrimethamine seharusnya dikombinasikan dengan
asam folad untuk menghindari komplikasi hematologi.
Lama pengobatan tergantung pada respon dari tiap individu, tetapi pada
umumnya 4-6 minggu. Pemberian trimetoprim 60 mg dan sulfametoksazole
160mg selama 3 hari digunakan sebagai profilaksis toksoplamosis
retinokoroiditis. Setelah observasi selama 20 bulan, 6,6 % dari pasien
mengalami infeksi rekuren.
Selama kehamilan, spiramycin dan sulfadiazine dapat dikonsumsi selama
trimester pertama. Sedangkan untuk trimester kedua spiramycin, sulfadiazine,
pyrimethamine dan asam folat direkomendasikan. Spiramycin,
pyrimethamine dan asam folat dapat digunakan hingga trimester ketiga.
Penggunaan kostikosteroid adalah sebagai berikut :
Kortikosteroid topikal digunakan apabila terdapat reaksi pada bilik
mata depan
Terapi depot steroid dikontaraindikasikan untuk terapi Ocular
toxoplasmosis. Steroid dosis tinggi yang diberikan pada jaringan mata
akan menekan sistem imun dari host, sehingga akan menimbulkan
nekrosis jaringan yang tak terkendali dan potensial menimbulkan
kebutaan.
Kostikosteroid sistemik digunakan sebagai terapi tambahan untuk
meminimalkan reaksi peradangan.
Pemberian terapi sikloplegik juga dapat diberikan apabila terjadi peradangan pada
bilik mata depan dan mengurangi nyeri serta mencegah terjadinya sinekia
posterior.
Agen antitoksoplasma adalah sebagai berikut :
Sulfadiazine
Klindamycin
15
o Terapi intraviteal klindamycin (0,1 mg/0,1 ml) dilaporkan
menguntungkan pada individu yang tidak berespon pada
pengobatan oral
o Pemberian intraviteal klindamycin (1mg) dan intraviteal
dexamethasone (400µg) dibandingkan dengan terapi triple
drug dari sulfadiazine (dosis inisial 4g/hari untuk dua hari
diikuti dengan 500mg qid), pyrimethamine (dosis inisial
75mg untuk 2 hari dan diikuti 25 mg/hari), asam folat (5mg
qd) dan prednisolon (1 mg/kg dimulai pada saat hari ketiga)
selama 6 minggu pengobatan retinokoroiditis toksoplasma.
Hasil yang didapatkan pada kedua pengobatan adalah
pengecilan ukuran lesi, inflamasi pada vitreous berkurang dan
peningkatan kemampuan penglihatan. Sedangkan intraviteal
klindamycin dan dexamethasone lebih menguntungkan pada
retinokoroiditis toksoplama dengan efek samping yang lebih
aman.
o Pyrimethamine
o Atovaquone (750 mg qid) : obat ini digunakan untuk terapi lini
kedua
o Azithromycin (250 mg/hari atau 500mg pada hari pertama
dengan pyrimethamine 100mg pada hari pertama diikuti
dengan 50mg/hari pada hari selanjutnya) dapat juga digunakan
sebagai alternatif.
o Kombinasi dari trimethropim (60mg) dan sulfamethoxsazole
(160mg) dapat mengurangi ukuran lesi.
Terapi bedah
Dapat dilakukan fotokoagulasi atau cryoterapi.
Komplikasi yang dapat timbul adalah perdarahan intraretina, perdarahan
badan vitreous, dan ablasio retina.
16
Pars plana vitrectomy dapat diindikasikan pada ablasio retina sekunder
dari traksi vitreous atau apabila ada kekeruhan pada badan kaca. Dan
dianjurkan dilakukan rawat bersama dengan spesialis penyakit dalam.
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi akibat okular toxoplasmosis antara lain:
Katarak
Glaukoma
Oklusi vena retina
Oklusi arteri retina
Tractional retinal detachment
2.11 Prognosis
Diperkirakan 40% dari pasien memiliki visus 20/100 atau mungkin lebih
buruk, dan 16% pasien memiliki visus antara 20/40 dan 20/80.
Retinitis toxoplasma seringkali kambuh, dan berulang dengan rata – rata
mencapai 80% dalam 5 tahun.
Pasien dengan penyakit yang rekuren nampaknya lebih beresiko memiliki
cacat visual permanen.
17
BAB 3. KESIMPULAN
Penyakit toxoplasmosis merupakan penyakit dengan frekuensi tinggi di
berbagai negara dan karena gejala klinisnya ringan maka sering kali luput dari
pengamatan dokter. Padahal akibat yang ditimbulkannya memberikan beban berat
bagi masyarakat seperti abortus, lahir mati, kebutaan maupun cacat kongenital
lain. Dianjurkan untuk memeriksakan diri secara berkala pada wanita hamil
trimester pertama akan kemungkinan terinfeksi dengan toxoplasmosis.
Dalam hal pencegahan toxoplasmosis yang penting ialah menjaga
kebersihan, mencuci tangan setelah memegang daging mentah menghindari feces
kucing pada waktu membersihkan halaman atau berkebun. Memasak daging
minimal pada suhu 66oC atau dibekukan pada suhu –20oC. Menjaga makanan agar
tidak terkontaminasi dengan binatang rumah atau serangga.Wanita hamil trimester
pertama sebaiknya diperiksa secara berkala akan kemungkinan infeksi dengan
toxoplasma gondii. Mengobatinya agar tidak terjadi abortus, lahir mati ataupun
cacat bawaan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Asyari, Fatma dan Lembah Redati. 2011. Management of Ocular Toxoplasmosis. Jakarta, Vol 32 (suppl) 2 2001 [5 Mei 2011].
Bellfort, Rubens N, et al,. 2009. Ocular Toxoplasmosis. Sao Paolo Brazil. [5 Mei 2011].
Bosch-Driessen LH, Plaisier MB, Stilma JS, et al. Reactivations of ocular toxoplasmosis after cataract extraction. Ophthalmology 2002;109:41–45[5 Mei 2011].
Brezin AP, Thulliez P, Couvreur J, et al. Ophthalmic Outcomes After Prenatal And Postnatal Treatment Of Congenital Toxoplasmosis. Am J Ophthalmol 2003;135:779–784 [5 Mei 2011].
Crosier, Yan Guex. 2009. Update on the Treatment of Ocular Toxoplasmosis. International Journal of Medical Science 2009; 6(3):140-142. http://www.medsci.org [5 Mei 2011].
Dyer, Neil W. 2011. Toxoplasmosis. North Dakota University Vol 1221 November 2011 [5 Mei 2011].
Holland GN, Muccioli C, Silveira C, et al. Intraocular Inflammatory Reactions Without Focal Necrotizing Retinochoroiditis In Patients With Acquired Systemic Toxoplasmosis. Am J Ophthalmol 1999;128:413–420 [5 Mei 2011].
Holland, Gary N. 2003. ocular Toxoplasmosis: A Global Reassessment. Part I: Epidemiology and Course of Disease. LX EDWARD JACKSONMEMORIAL LECTURE. AMERICAN JOURNAL OF OPHTHALMOLOGY Vol. 136, No. 6. December 2003.
Holland, Gary N. 2003. Ocular Toxoplasmosis: A Global Reassessment Part II: Disease Manifestations and Management. LX EDWARD JACKSONMEMORIAL LECTURE. AMERICAN JOURNAL OF OPHTHALMOLOGY Vol. 137, No. 1. January 2004.
Montoya JG, et al. 2004. Toxoplasmosis. Lanet, Juny 2004 363 : 1965-1976 [5 Mei 2011].
Labalette P, Delhaes L, Margaron F, et al. Ocular Toxoplasmosis After The Fifth Decade. Am J Ophthalmol 2002;133: 506–515 [5 Mei 2011].
19
Levinson, Ralph D., Rikkers, Sarah M. 2011. Free Medical Book Chapter 172 – Ocular Toxoplasmosis. http://free-medical-textbook.com/ [5 Mei 2011].
Ng, Paul. 2002. Treatment of ocular toxoplasmosis. Australian Prescriber Vol. 25 No. 4 2002.[24 November 2010].
Soheilian, Masoud et al. 2011. How To Diagnose And Treat Ocular Toxoplasmosis. Online ophtalmologi, Volume 11 No. 12 2011.[5 Mei 2011].
Stanford, MR., Gibert, RE. 2009. Treating ocular toxoplasmosis – current evidence. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, Vol. 104(2): 312-315, March 2009. [5 Mei 2011].
Wu, Lihteh. 2011. Ophthalmologic Manifestations of Toxoplasmosis. http://www.emedicine.com/. [5 mei 2011].
20