referat kartika dian 1-3
DESCRIPTION
referat anakTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, terutama
diperlukan dalam hematopoiesis(pembentukan darah) yaitu dalam sintesa hemoglobin
(Hb).1 Besi dibutuhkan oleh hampir seluruh organisme sebagai kofaktor esensial
dalam banyak proses biologis penting. Besi dapat berperan sebagai pembawa oksigen
dan elektron serta sebagai katalisator untuk oksigenisasi, hidroksilasi dan proses
metabolik lainnya, melalui kemampuannya berubah bentuk antara fero (Fe2+) dan
fase oksidasi Fe3+.2
Defisiensi besi merupakan masalah utama mikronutrien di dunia, terutama di
negara tropis.3 Hal ini merupakan masalah defisiensi nutrien tersering pada anak di
seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia.4 Secara
epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa
kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan
percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari
makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu
ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan
besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada
remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian
anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada
bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8%
dan 48,1%.2 Data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan
(P3GM) Depkes RI Tahun 2006 tentang studi gizi mikro di 10 Propinsi, menemukan
bahwa prevalensi anemia gizi besi balita adalah sebesar 26,3%. Dan data terakhir dari
Departemen Kesehatan RI Tahun 2011, menunjukan prevalensi anemia pada anak
mengalami penurunan, yakni menjadi 17,6% di bandingkan sebelumnya 51,5% (1995)
dan 25,0% (2006). Berdasarkan kategori yang dikeluarkan oleh World Health
Organization Tahun 2000 menyatakan bahwa prevalensi anemia mencapai 40% maka
digolongkan masalah berat, prevalensi 10-39% tergolong sedang dan kurang dari 10%
tergolong masalah ringan. Jadi berdasarkan kategori tersebut, prevalensi anemia di
Indonesia sekarang termasuk kategori sedang, tetapi tetap menjadi masalah kesehatan
nasional karena masih di atas angka cut of point prevalensi anemia (>15%).1
Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)
yang meneliti 661 anak di lima sekolah dasar negeri di Jakarta Timur menunjukkan
85% anak sekolah mendapatkan asupan zat besi hanya 80% dari rekomendasi harian
yang dianjurkan (8). Dan penelitian yang dilakukan di Desa Minaesa Kecamatan Wori
Kabupaten Minahasa Utara oleh Aaltje E. Manampiring Tahun 2008 menunjukkan
prevalensi anemia pada anak sekolah sebesar 39,42%, penelitian di Propinsi Sulawesi
Utara oleh Matondan Tahun 2004 menunjukkan prevalensi anemia pada anak panti
asuhan usia sekolah dasar sebesar 62,8%, sedangkan penelitian oleh RB. Purba Tahun
1995 di Desa Bolaang Mongondow menemukan pravelensi anemia pada anak sekolah
dasar sebesar 18,33% di daerah penghasil sayur dan 28,33% di daerah bukan
penghasil sayuran.1
Defisiensi besi dalam tubuh dapat lebih meningkatkan kerawanan terhadap
Penyakit infeksi. Seseorang yang menderita defisiensi besi (terutama balita) lebih
mudah terserang mikroorganisme, karena kekurangan zat besi berhubungan erat
dengan kerusakan kemampuan fungsional dari mekanisme kekebalan tubuh yang
penting untuk menahan masuknya penyakit infeksi.5
Hal ini menunjukkan bahwa status besi pada tubuh baik kurang maupun
berlebih memiliki pengaruh terhadap sistem imun. Selain itu dalam beberapa
penelitian dijelaskan tentang hal sebaliknya, dimana sistem imun atau respon imun
memiliki pengaruh terhadap status besi dalam tubuh melalui perubahan pada
homeostasis besi.
Oleh karena masih tingginya insidensi kekurangan besi pada anak, dan peran
status besi sangat berpengaruh terhadap status imun seseorang, penulis ingin
membahas besi dan sistem imun yang ditugaskan sebagai syarat ujian akhir di Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menguraikan hal-hal yang berkenaan
dengan hubungan antara besi terhadap sistem imun. Referat ini ditulis juga sebagai
syarat mengikuti ujian akhir di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
C. Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat memberikan tambahan khazanah ilmu bagi
penulis sendiri dan kepada teman-teman kepaniteraan klinik dokter muda dan
pembaca lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. BESI
Besi adalah nutrien esensial yang diperlukan oleh setiap sel manusia. Sebagai
logam transisi dengan nomor atom 26 dan berat atom 55,85, besi dapat berperan
sebagai pembawa oksigen dan elektron serta sebagai katalisator untuk oksigenisasi,
hidroksilasi dan proses metabolik lainnya, melalui kemampuannya berubah bentuk
antara fero (Fe2+) dan fase oksidasi Fe3+. Besi ditransportasi dan disimpan bukan
sebagai kation bebas tapi dalam bentuk Fe yang terikat. Besi ionik dapat berpartisipasi
dalam berbagai reaksi yang menghasilkan radikal bebas yang selanjutnya dapat
merusak sel. Adanya penurunan atau peningkatan besi dalam tubuh mungkin
menghasilkan efek yang signifikan secara klinis. Jika terlalu sedikit besi yang ada
(defisiensi besi) akan terjadi pembatasan sintesis komponen yang mengandung besi
aktif sehingga secara normal mungkin berbahaya. Demikian pula jika terlalu banyak
besi terakumulasi (kelebihan besi) dan melebihi kapasitas tubuh untuk mentransport
dan menyimpannya akan menimbulkan toksisitas besi yang selanjutnya memicu
terjadinya kerusakan dan kematian organ yang luas. Besi di alam berasal dari sumber
hewani dan nabati. Kualitas atau bioavailibilitas besi yang dihasilkan dari kedua
sumber zat besi tersebut juga berbeda oleh karena kemampuan tubuh manusia untuk
menyerap besi ikut dipengaruhi. Bagaimana besi di alam dapat diserap oleh tubuh
manusia, dialirkan, disimpan serta digunakan, kemudian di ekskresikan, akan dibahas
dalam makalah ini.2
Metabolisme Besi
Besi dalam tubuh manusia terbagi dalam 3 bagian yaitu senyawa besi fungsional, besi
cadangan dan besi transport. Besi fungsional yaitu besi yang membentuk senyawa
yang berfungsi dalam tubuh terdiri dari hemoglobin, mioglobin dan berbagai jenis
ensim. Bagian kedua adalah besi transportasi yaitu transferin, besi yang berikatan
dengan protein tertentu untuk mengangkut besi dari satu bagian ke bagian lainya.
Bagian ketiga adalah besi cadangan yaitu feritin dan hemosiderin, senyawa besi ini
dipersiapkan bila masukan besi diet berkurang.2
Absorbsi Besi
Manusia tidak mempunyai mekanisme khusus yang efektif untuk mengeluarkan besi
tubuh yang berlebihan, sehingga keseimbangan besi dalam tubuh secara fisiologis
diatur dengan mengendalikan absorpsinya, yaitu bila cadangan besi tubuh sudah
cukup maka absorpsinya akan menurun, dan sebaliknya bila cadangan besi tubuh
menurun absorpsinya akan segera meningkat beberapa kali lipat. Secara normal
pertukaran besi dengan lingkungan sangat terbatas yaitu kurang dari 0,05% dari besi
tubuh total, baik yang diserap ataupun yang hilang tiap hari melalui deskuamasi epitel
kulit, saluran gastrointestinal dan traktus urinarius. Regulasi absorpsi besi terjadi pada
2 permukaan enterosit, yaitu membran apikal dan membran basolateral. Membran
apikal enterosit berperan untuk transpor besi dari lumen intestinal ke dalam sel
enterosit, di mana molekul transporter yang terpenting adalah DMT1 (yang
sebelumnya dikenal sebagai Nramp2 dan DCT1). Dalam sel enterosit, besi dapat
disimpan dalam enterosit sebagai ferritin atau ditranspor ke plasma melalui membran
basolateral. Membran basolateral enterosit berperan untuk transpor besi dari sel epitel
duodenum ke seluruh tubuh, di mana ferroportin (Ireg1) adalah molekul transporter
yang penting.6
Proses absorbsi besi dalam usus terdiri atas 3 fase yaitu fase luminal, fase
mukosal dan fase sistemik atau korporeal. Pada fase luminal ikatan besi dari bahan
makanan dilepaskan atau dirubah menjadi bentuk terlarut dan terionisasi. Kemudian
besi dalam bentuk feri (Fe3+)direduksi menjadi bentuk fero (Fe2+) sehingga siap
diserap usus. Dalam proses ini getah lambung dan asam lambung memegang peranan
penting. Absorbsi paling baik terjadi pada duodenum dan jejenum proksimal. Hal ini
dihubungkan dengan jumlah reseptor pada permukaan usus dan pH usus.2
Fase absorbsi yang ke dua adalah fase mukosal. Pada fase mukosal besi
diserap secara aktif melalui reseptor. Dalam sel enterosit besi akan diikat oleh suatu
karier protein spesifik dan ditransfer melalui sel ke kapiler atau disimpan dalam
bentuk feritin dalam enterosit kemudian dibuang bersamaan dengan deskuamasi epitel
usus.
Pada fase sistemik (korporeal) besi yang masuk ke plasma diikat oleh
apotransferin menjadi transferin dan diedarkan ke seluruh tubuh, terutama ke sel
eritroblast dalam sumsum tulang. Transferin merupakan protein pembawa yang
mengangkut besi plasma dan cairan ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Reseptor transferin adalah suatu glycoprotein yang terletak pada membran sel,
berperan mengikat transferin-besi komplek dan selanjutnya diinternalisasi ke dalam
vesikel untuk melepaskan besi ke intraseluler. Semua sel mempunyai reseptor
transferin pada permukaannya. Transferin ditangkap oleh reseptor ini dan kemudian
melalui proses pinositosis (endositosis) masuk dalam vesikel (endosome) dalam sel.
Kompleks transferin-reseptor transferin selanjutnya kembali ke dinding sel, dan
apotransferin dibebaskan ke dalam plasma. Akibat penurunan pH, besi, transferin dan
reseptor akan terlepas dari ikatannya. Besi akan dipakai oleh sel sedangkan reseptor
dan transferin dikeluarkan dan dipakai ulang.
Besar kecilnya penyerapan besi oleh usus ditentukan oleh faktor intraluminal
dan faktor regulasi eksternal. Faktor intraluminal ditentukan oleh jumlah besi dalam
makanan, kualitas besi (besi haem atau non haem), perbandingan jumlah pemacu dan
penghambat dalam makanan. Faktor regulasi luar ditentukan oleh cadangan besi tubuh
dan kecepatan eritropoesis. Untuk dapat berfungsi bagi tubuh manusia, besi
membutuhkan protein transferin, reseptor transferin dan feritin yang berperan sebagai
penyedia dan penyimpan besi dalam tubuh dan iron regulatory proteins (IRPs) untuk
mengatur suplai besi.2
Keseimbangan Besi dalam Tubuh
Keseimbangan besi ditentukan oleh perbedaan antara asupan besi dan keluaran
besi dari tubuh. Jika persediaan besi tubuh menurun maka absorpsinya meningkat,
sebaliknya absorbsi akan meningkat jika persediaan besi tubuh menurun.2 Sebagai
nutrien esensial yang diperiukan oleh semua sel-sel tubuh manusia, bes mempunyai
kemampuan untuk mengikat oksigen, sebagai katalisator untuk oksigenasi,
hidroksilasi dan proses metabolisme penting lainnya, serta mampu menerima atau
melepaskan electron dengan cepat seperti perubahan dari Ferri (Fe2+) menjadi
Ferrous (Fe3+) atau sebaliknya. Kemampuan tersebut membuatnya menjadi
komponen sitokrom yang berguna untuk metabolisme oksidatif, pertumbuhan dan
proliferasi sel-sel tubuh. Besi bebas sangat toksik terhadap sel karena dapat
mengkatalisis perubahan H202 menjadi radikal bebas yang merusak membran sel,
protein dan DNA sehingga besi yang disimpan tidak dalam bentuk kation bebas, tetapi
sebagai kompleks besi. 6
Ketersediaan besi juga dipengaruhi oleh faktor gastrointestinal seperti sekresi
gaster, gerakan usus dan akibat dari operasi atau penyakit usus. Absorpsi besi diatur
oleh sel mukosa usus kecil bagian proksimal. Regulasi mokusal dari absorpsi besi
mungkin terjadi melalui satu atau lebih langkah berikut ini yaitu: (1) mukosa
mengambil besi yang melewati vili dan membran, (2) retensi besi dalam mukosa, (3)
pemindahan besi dari sel mukosa ke plasma. Secara umum mekanisme absorpsi besi
melalui sel mukosa ini mampu memenuhi kebutuhan cadangan besi dan tingkat
eritropoesis dimana absorpsi meningkat jika cadangan besi menurun dan aktivitas
eritropoesis meningkat.2
Selain oleh karena penyerapan, sumber besi tubuh juga diperoleh dari hasil
pemecahan eritrosi oleh makrofag.2 Siklus hidup eritrosit umumnya, terdiri dari 6
tahap maturasi sel induk eritroid yaitu pronormoblas, basofilik normoblas,
polikromatik normoblas, ortokromatik normoblas, retikulosit dan eritrosit matur.
Diawali dengan perkembangan dan proliferasi sel induk eritroid dalam proses yang
tergantung eritropoetin, yang diikuti oleh fase yang tidak tergantung eritropoetin yang
terutama berfokus pada produksi hemoglobin. Eritroblas (normoblas), sel prekursor
eritroid berinti, mengekspresikan reseptor transferin dalam kadar yang tinggi, dimana
reseptor ini dibutuhkan untuk mengikat besi dari transferin serum. Setelah tercapai
kadar hemoglobin yang cukup, reseptor transferin dipecah membentuk reseptor
transferin yang larut dalam plasma, diikuti oleh pengeluaran nukleus dari eritroblas
dan selanjutnya memasuki sirkulasi sebagai retikulosit. Maturasi retikulosit berlanjut
di sirkulasi dengan hilangnya mitokondria dan penurunan kadar mRNA, sehingga
terbentuk eritrosit yang klasik yang akan bersirkulasi di darah manusia selama 120
hari.6
Proses fagositosis oleh makrofag, khususnya di limpa lebih ditujukan untuk
eritrosit yang tua. Karena masukan besi yang berasal dari diet (1 . 2 mg/hari) tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan eritropoesis (20 mg/hari), maka besi yang
terkandung dalam eritrosit yang tua yang akan difagosit oleh makrofag harus diproses
ulang untuk menghasilkan besi sekitar 20-25 mg/hari. Sebagian besar heme
didegradasi oleh enzim heme oksigenase, selanjutnya besi yang diproduksi dapat
disimpan di feritin makrofag atau dilepaskan ke plasma. Besi di feritin makrofag
kemudian akan dilepaskan dalam bentuk Fe2+, sehingga di sini dibutuhkan peran
seruloplasmin untuk mengubah Fe2+ menjadi Fe3+ yang dapat terikat pada transferin.
Daur ulang besi dari eritrosit yang sudah tua merupakan sumber utama besi untuk
proses eritropoesis.6
Hepcidin
Hepcidin yang ditemukan oleh Nicholas, et al. tahun 2001, merupakan
molekul yang bekerja sebagai alat komunikasi antara cadangan besi tubuh dengan sel
entrosit, yang juga pada awalnya dikenal sebagai peptide antimikroba.6 Dalam hal ini
Hepsidin menjadi regulator utama bagi metabolisme zat besi.7 Penemuan hepcidin
merupakan hal yang penting sebagai suatu penjelasan molekuler tentang regulasi
absorpsi dan distribusi besi khususnya pada anemia penyakit kronik. Meskipun
hepcidin yang pertama diisolasi dari urine dan plasma, namun ekspresi mRNA
hepcidin terutama dijumpai di hati baik pada tikus maupun manusia. Studi oleh Pinto,
et al yang dikutip oleh Suega, juga mendapatkan bahwa sel limfosit ternyata
mengekspresikan hepcidin dan ekspresi ini akan meningkat setelah limfosit ini
teraktivasi. Hal ini pula yang menjelaskan komunikasi antara simpanan besi tubuh dan
kemampuan absorpsi besi di duodenum bisa dikerjakan dengan lebih efektif dan
efisien mengingat sel limfosit merupakan sel yang dapat beredar kemana-mana
termasuk kedalam jaringan.6
Hepcidin merupakan suatu hormon pengatur metabolisme besi. Mengingat
lokasi organ tubuh tempat terjadinya absorpsi, daur ulang, penyimpanan dan
penggunaan besi, saling berjauhan, maka dibutuhkan suatu bahan yang larut dalam
plasma, yang berfungsi sebagai sarana komunikasi antara masing-masing organ
tersebut.6 Sintesis hepsidin terutama dikontrol oleh aktivitas eritropoiesis sumsum
tulang, penyimpanan zat besi, dan adanya inflamasi dalam tubuh; juga telah
dibuktikan merupakan protein fase akut tipe II.7
Sebagai peptida antimikroba, hepcidin dapat merusak membran sel bakteri dan
menyediakan lingkungan pertumbuhan yang tidak sesuai untuk mikroorganisme.
Mikroorganisme membutuhkan besi untuk memproduksi enzim superoxide dismutase
yang dapat melindungi mereka terhadap radikal oksigen dari host. Dengan
merangsang sekuestrasi besi di makrofag, hepcidin mengurangi ketersediaan besi
untuk mikroorganisme, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri intraseluler
maupun bakteri di aliran darah. Salah satu bukti yang telah dilaporkan adalah
hubungan terbalik antara insiden tuberkulosis dan RA (Rheumatoid Arthritis), dimana
keterbatasan penyediaan besi pada RA akan melindungi terhadap infeksi tuberkulosis.
Pada studi lain tikus transgenik dengan peningkatan ekspresi hepcidin di hati
ditemukan meninggal saat lahir dengan defisiensi besi berat, hal ini menunjukkan
peran hepcidn sebagai regulator negatif pada transpor besi melalui plasenta menuju
janin. Oleh karena itu hepcidin dianggap sebagai regulator negatif dari homeostasis
besi.6
Berbagai sel tubuh, seperti enterosit duodenum, sinsitiotrofoblas plasenta,
hepatosit, makrofag di hati dan limpa, dapat mengekspor besi intraseluler ke plasma.
Ferroportin adalah satu-satunya molekul transmembran untuk mengekspor besi pada
mamalia. Ferroportin berperan untuk mengekspor besi intraseluler ke plasma dan
diekspresikan dalam konsentrasi tinggi di sel-sel tubuh yang mampu mengekspor besi.
Studi pada tikus menunjukkan peran penting ferroportin untuk transpor besi dari ibu
ke janin, absorpsi besi di duodenum, dan ekspor besi dari makrofag ke plasma.
Ferroportin bekerja dengan bantuan enzim ferroxidase (hephaestin di enterosit dan
seruloplasmin di makrofag) untuk mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ yang kemudian
ditranspor ke transferrin plasma. Studi terbaru menunjukkan bahwa hepcidin bekerja
mengatur homeostasis besi dengan terikat pada ferroportin.6 Hepsidin yang terikat
pada reseptor feroportin menyebabkan internalisasi dan degradasi feroportin dan
retensi besi dalam enterosit, makrofag dan hepatosit.7 Dengan menghilangnya
ferroportin dari membran sel, ekspor besi intraseluler ke plasma akan menurun.6
Dengan demikian, Hepsidin berperan sebagai regulator negatif absorpsi besi
usus dan pelepasan besi oleh makrofag dan hepatosit.7 Dimana pada kondisi cadangan
besi normal atau meningkat, hati akan memproduksi hepcidin, yang akan beredar di
sirkulasi menuju duodenum.6 Sintesis hepsidin dirangsang ketika saturasi transferin
tinggi (saat terdapat kelebihan besi dan inflamasi), sebaliknya sintesis hepsidin
dihambat ketika saturasi transferin rendah (pada anemia dan hipoksia). Kelebihan
hepsidin merupakan kontributor utama terhadap patogenesis anemia inflamasi, dan
kekurangan hepsidin bertanggung jawab pada sebagian besar kasus hemochromatosis
herediter.7.
B. SISTEM IMUN 7
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Sistem imun
dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau nonspesifik/ natural innate/ native/
nonaditif dan didapat atau spesifik/aditif / aquired.
Gambar 1. Gambaran umum sistem imun
SISTEM IMUN
NONSPESIFIK SPESIFIK
FISIK LARUT SELULAR HUMORAL SELULAR
-kulit Biokimia -Fagosit Sel B Sel T
-selaput lendir -Lisozim >Mononuklear -IgG -Th1
-silia -Sekresisebaseus >Polimorfonuklear -IgA -Th2
-batuk -Asam lambung -Sel NK -IgM -Ts/Tr/Th3
-bersin -Laktoferin -Sel mast -IgE -Tdth
-Asam neuraminik –Basofil -IgD -CTL/Tc
-Eosinofil Sitokin -NKT
Humoral -SD -Th17
-komplemen
-APP
-Mediator asal lipid
-Sitokin
Mekanisme imunitas spesifik timbul atau bekerja lebih lambat dibandingkan dengan
imunitas nonspesifik.
Tabel 1. Perbedaan sifat-sifat sistem imun nonspesifik dan spesifik
Nonspesifik Spesifik
Resistensi
Spesifitas
Sel yang penting
Tidak berubah oleh infeksi
Umumnya efektif terhadap semua mikroba Spesifik untuk molekul dan pola molekular berhubungan dengan patogen Dapat enjadi berlebihan
Fagosit, sel NK, monosit/makrofag, neutrofil, basofil, sel mast, eosinofil, sel
Membaik oleh infeksi berulang (memori)
Spesifik untuk mikroba yang sudah mensensitisasi sebelumnya,Sangat spesifik, mampu membedakan perbedaan minor dalam struktur molekul, detil struktur mikroba atau nonmikroba di kenali dengan spesifisitas tinggi
Th, Tdth, Tc, Ts/Tr/Th3Sel B
Molekul yang penting
Waktu respons
Pajanan
Diversitas
Respons memori
Diskriminasi self/nonself
Komponen cairan darah atau jaringan yang larut
Protein darah
Nonreaktif terhadap self
dendritik
Lisozim, sitokin, komplemen, APP, Lisozim, Crp, Kolektin, molekul adhesi
Menit/jam Selalu siap
Tidak perlu
Jumlah reseptor terbatas
Tidak ada
Sempurna, tidak ada pola spesifik mikroba pada pejamu
Banyak peptida antimikrobial dan protein
Komplemen, lain-lain
Ya
Antibodi, sitokin, mediator, molekul adhesi
Hari (lambat)Tidak siap sampai terpajan alergen
Harus ada pajanan sebelumnya
Reseptor sangat bervariasi, jumlahnya banyak, terbentuk oleh rekomendasi genetik dari gen reseptor
Memori menetap, respons lebih cepat atau lebih besar pada infeksi serupa berikutnya sehingga perlindungan lebih baik pada pajanan ulang
Sangat baik, adakalanya hasil diskriminasi self/nonself gagal (pada penyakit aoutoimun)
Antibodi
Limfosit
Ya
Sistem Imun Non spesifik
Imunitas nonspesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan
pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk kedalam tubuh dan dengan
cepat menyingkirkannya. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifisitas terhadap
bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial.
A. Pertahanan fisik/mekanik
Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik, kulit, selaput lendir, silia saluran
napas, batuk dan bersin merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi.
B. Pertahanan biokimia
Sebagai contoh pertahanan biokimia PH asam keringat dan sekresi sebasea,
berbagai asam lemak yang dilepas oleh kulit mempunyai efek denaturasi
terhadap protein membran sel sehingga dapat mencegah infeksi melalui kulit.
Lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan air susu ibu, melindungi tubuh
dari berbagai kuman positif-Gram oleh karena dapat menghancurkan lapisan
peptidoglikan dinding bakteri. Saliva mengandung enzim proteolitik, antibodi
dan empedu dalam usus halus membantu menciptakan lingkungan yang dapat
mencagah infeksi banyak mikroba.
C. Pertahanan humoral
Sistem imun nonspesifik menggunakan molekul larut. molekul larut tertentu
diproduksi ditempat infeksi atau cedera dan berfungsi lokal. Molekul tersebut
antara lain adalah desenfin, katelisidin dan IFN dengan efek antiviral. Faktor
lainnya diproduksi ditempat yang lebih jauh dan dikerahkan ke jaringan
sasaran melalui sirkulasi seperti komplemen dan PFA.
1. Komplemen
Berbagai bahan dalam sirkulasi seperti lektin, interferon, CRP dan
komplemen berperan dalam pertahanan humoral. Komplemen terdiri atas
sejumlah besar protein yang bila diaktifkan akan meberikan proteksi
terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi. Komplemen
berperan sebagai opsonin yang eningkatkan fagositosis, sebagai faktor
kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit.
2. Protein fase akut
Selama fase akut infeksi, terjadi perubahan pada kadar beberapa protein
dalam serum yang disebut APP. Protein yang meningkat atau menurun
selam fase akut disebut APRP yang berperan dalam pertahanan dini. APRP
diinduksi oleh sinyal yang berasal dari tempat cedera atau infeksi melalui
darah. Hati merupakan tempat sintesis APRP. SitokinTNF-α, IL-1, IL-6
merupakan sitokin proinflamasi dan berperan dalam induksi APRP.
a. CRP
Merupakan salah satu PFA, salah satu protein yang kadarnya akan
meningkat pada fase akutsebagai respon imunitas spesifik. Adanya CRP
yang tetap tinggi menunjukkan infeksi persisten.
b. Lektin
Merupakan molekul larut dalam plasma yang mengikat manan/manosa
dalam polisakarida, yang merupakan banyak bakteri. lektin berperan
sebagai opsonin, mengaktifkan komplemen.
c. Protein fase akut lain
α1-anti tripsin, amiloid serum A, hepatoglobulin, C9, faktor B dan
Fibrinogen.
3. Mediator asal fosfolipid
Mediator fosfolipid diperlukan untuk produksi PG dan LTR. Keduanya
meningkatkan respons inflamasi melalui peningkatan permeabilitas
vaskular dan vasodilatasi.
4. Sitokin IL-1,IL6,TNF-α
Selama terjadi infeksi, produk bakteri seperti LPS mengaktifkan makrofag
dan sel lain untuk memproduksi dan melepas berbagai sitokin seperti IL-1
yang merupakan pirogen endogen, TNF-α, dan IL-6.
D. Pertahanan selular
Fagosit, sel NK, sel mast dan eosinofil berperan dalam sistem imun
nonspesifik selular.
Tabel 2. Komponen sistem imun nonspesifik
Komponen sistem imun nonspesifik Komponen Fungsi utama SawarLapisan epitel Defensin/katelisidinLimfosit intraepitelialSel efektor dalam sirkulasiNeutrofilMakrofag
Sel NKProtein efektor dalam sirkulasiKomplemen Ikatan manosa
CRP (pentraksin)SitokinTNF, IL-1,KemokinIFN-α,-βIFN-γIL-12IL-15
Mencegah minkroba masukMembunuh MikrobaMembunuh Mikroba
Fagositosis dini dan membunuh mikrobaFagositosis efisien dan membunuh mikroba, sekresi sitokin yang merangsang inflamasiLisis sel terinfeksi, aktivasi makrofag
Membunuh mikroba, opsonisasi mikrobaOpsonisasi mikroba, aktivasi komplemen (jalur lektin)Opsonisasi mikroba, aktivasi komplemen
InflamasiResistensi terhadap virusAktivasi makrofagProduksi IFN-γ oleh karena sel NK dan
IL-10,TGF-β sel TProliferasi sel NKKontrol inflamasi
Sistem Imun Spesifik
Imun spesifik mempenyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap
asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera
dikenal oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan sensitas, sehingga
antigen yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat dan
kemudian dihancurkan. Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem
selular. Pada imunitas humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba
ekstraselular. Pada selular, sel T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk
menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai efektor yang
menghancurkan sel terinfeksi.
A. Sistem imun spesifik humoral
Sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel B yang
dirangsang benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi
sel plasma yang memproduksi antibodi. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan
terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta di netralkan toksinnya.
B. Sistem imun spesifik selular
Limfosit T atau sel T berperan dalam sistem imun spesifik selular. Sel T terdiri
atas beberapa subset sel dengan fungsi berlainan yaitu CD4+ (Th1, Th2), CD8+ atau
CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik selular
ialah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit dan
keganasan. Sel CD4+ mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag
untuk menghancurkan mikroba. Sel CD8+ memusnahkan sel terinfeksi.
C. BESI DAN RESPON IMUN 6
Banyak studi pada binatang dan manusia yang menunjukkan adanya gangguan
imunitas seluler dan imunitas non-spesifik lainnya pada defisiensi besi, namun
hubungan antara defisiensi besi dan infeksi masih belum jelas sekali. Suseptibilitas
terhadap infeksi adalah sangat kompleks dan tergantung tidak saja pada kadar besi,
tapi juga pada faktor tubuh, parasit dan lingkungan. Termasuk antara lain paparan
mikroorganisme, adanya faktor defisiensi nutrisi lainnya, tipe populasi (bayi, anak-
anak, wanita, laki dan orang tua), beratnya dan lamanya defisiensi, tipe dan dosis dari
serta lamanya terapi besi dan adanya prakondisi lainnya. Tidak diragukan lagi bahwa
faktor-faktor ini akan mempengaruhi suseptibilitas dan beratnya infeksi tanpa melihat
kadar besinya. Defisiensi besi akan mempengaruhi kerentanan terhadap beberapa jenis
infeksi, dan beratnya serta lamanya infeksi akan tergantung pada tubuh dan parasitnya
(baik mikroorganisme intra maupun ekstraseluler).
Besi mempunyai peranan penting dalam sistem imunitas, terutama dalam hal
proliferasi dan aktifase imun host seperti sel T, B, sel natural killer dan interaksi
antara cell-mediated immunity dan sitokin. Tikus dengan kelebihan besi akan terjadi
peningkatan relatif ekspansi CD8+. Th-2 mcmiliki cadangan besi yang lebih besar dari
Th-1, oleh karena itu Th-1 lebih sensitif terhadap penurunan kadar besi host. Sehingga
pada defisiensi besi akan terjadi penurunan produksi interferon- α (IFN- α),
interleukin-2, tumour necrosis factor- α (TNF- α) dan TNF- α.
Mekanisme bagaimana defisiensi besi mengganggu respon imun seluler dan
non-spesifik belum seluruhnya diketahui, akan tetapi diduga bersifat multifaktorial.
Termasuk antara lain: berkurangnya aktivitas enzim yang mengandung besi seperti
enzim ribonukleotide reduktase, mieloperoksidase, berkurangnya produksi sitokin
berkurangnya jumlah sel T yang kompeten, dan kemungkinan adanya gangguan
transduksi sinyal. Tahapan dari transduksi sinyal yang dipengaruhi oleh besi masih
perlu diteliti, akan tetapi aktivitas protein kinase C dan translokasinya pada membran
plasma sel limfosit dan sel T lien diketahui terganggu. Hal ini ditemukan pada studi
binatang maupun pada manusia. Demikian pula, pengikatan besi akan menurunkan
produksi mRNA untuk protein kinase C.41 Pada awal proses aktivasi sel T, akan
terjadi gangguan hidrolisis Phosphatidyl Inositol 4,5-bisphosphate (PIP2) oleh
pospolipase C (suatu enzim yang mengandung seng), dimana hasil akhir dari enzim
ini adalah Inositol 1,3,5- triphophate (IP3) dan Diacylglycerol (DAG) yang akan
meregulasi aktivitas protein kinase C. Baik aktivasi PKC dan hidrolisis membran
fosfolipid adalah sangat penting sebagai proses awal dari suatu signal transduksi yang
akan menyebabkan terjadinya proses proliferasi sel T dan beberapa fungsi penting
lainnya. Adanya gangguan aktivasi PKC dan hidrolisis membran fosfolipid akan
menyebabkan gangguan respon imun pada mereka yang dengan desiensi besi.�
Penelitian mengenai efek dari anemia defisiensi besi pada fungsi imun
dilakukan pada 32 orang penderita ADB dan 29 orang sehat sebagai kontrol.
Dipelajari beda antara subset sel limfosit, aktivitas bakteriosidal dari netrofil, kadar
IL-6 plasma, kadar dari imunoglobulin. Studi menyimpulkan bahwa baik respon
humoral yang diwakili dengan pemeriksaan kadar IgG4, respon imun seluler dan juga
respon imun non-spesifik serta aktivitas sitokin mengalami gangguan pada penderita
ADB. Peneliti lain mendapatkan pada pasien dengan ADB terjadi penurunan kapasitas
pagositosisnya sehingga diduga hal ini menyebabkan penderita ADB rentan terhadap
timbulnya infeksi.
Pada anak dan dewasa, defisiensi besi akan menurunkan proporsi sel T dalam
darah, meskipun jumlah total sel T bisa tetap ataupun berubah. Namun demikian,
berdasarkan laporan Santos dan Falcao, angka absolut dan proporsi CD4+ dan CD8+
dapat menurun atau tetap tidak berubah pada defisiensi besi.39 Penelitian lainnya pada
tikus, defisiensi besi menurunkan sel T total, sel T helper dan sitotoksik/ supresor
pada limpa.Tapi tidak merubah rasio sel T helper dan sitotoksik, seperti yang terlihat
pada manusia.
Interaksi antara host dan agent infeksius merupakan fenomena yang komplek.
Yang paling penting dari interaksi itu adalah proses respon imunitas host terhadap
virulensi kuman. Defisiensi besi dapat menurunkan kcmungkinan terjadinya infeksi
karena keterbatasan besi tubuh yang diperlukan untuk pertumbuhan kuman.
Penelitian-penelitian lain justru mendapatkan sebaliknya, karena defisiensi besi dapat
menurunkan innate maupun adaptive immunity. Disamping hal itu infeksi atau
inflamasi bisa juga menyebabkan terjadinya anemia dan mengganggu metabolisme
besi melalui peran sitokin.
Penelitian eksperimental ensefalitis autoimun pada tikus menemukan
kecenderungan terjadinya ensefalitis autoimun pada tikus yang mengalami defisiensi
besi lebih rendah dibandingkan dari tikus tanpa defisiensi besi (0% berbanding 72%).
Gejala klinik ensefalitis autoimun juga lebih berat pada tikus dengan kadar besi yang
normal dibandingkan tikus dengan kadar besi yang rendah. Hal ini diduga karena
terjadi gangguan perkembangan sel TCD4 + pada defisiensi besi. Semua sel yang
berhubungan dengan CD4+ akan berkurang dengan akibat defesiensi besi tersebut.
Keadaan tersebut akan membaik apabila kadar besinya dinaikkan.
Penelitian tentang pengaruh suplementasi besi terhadap anak-anak yang
terinfeksi dan tidak terinfeksi di Sri Lanka rnenemukan bahwa terjadi penurunan
morbiditas dari upper respratory met infection pada anak-anak yang diberikan
suplemen besi. Peneliti menduga bahwa imunitas pada anak-anak yang mengalami
defisiensi besi menurun sehingga morbidititasnya lebih tinggi. Telaah terhadap
penelitian-penelitian pada manusia maupun binatang tentang pengaruh defisiensi besi
terhadap fungsi imunitas in vivo belum menghasilkan konsesus atau kesamaan
pendapat. Masalahnya adalah hampir semua penelitian tidak dapat mengontrol secara
baik defisiensi makro-nutrien dan mikronutrien yang ada bersama-sama dengan
defisiensi besi dan nutriennutrien tersebut belum jelas pengaruhnya terhadap
gangguan imunitas tubuh.
Selain pengaruh besi terhadap sistem imun seperti yang dijelaskan diatas, hal
berkebalikan bisa terjadi, yaitu pengaruh respon imun terhadap besi. Pada beberapa
sumber disebutkan bahwa respon imun seperti proses inflamasi diketahui dapat
mengakibatkan gangguan pada homeostasis besi. Hal ini dikaitkan atas respon imun
yang memicu terbentuknya Hepsidin yang akan mengakibatkan penurunan
pembentukan ferroportin yang berdampak pada penurunan kadar besi yang beredar di
sirkulasi. TNF-a yang merupakan sitokin pro-inflamasi memicu terjadinya
hipoferrimia melalui mekanisme independent yang mencetuskan terbentuknya
hepsidin. Interferon y yang merupakan modulator kunci dari status besi dan fungsi
imun menstimulasi sintesis dari nitrit oxide, inilah jalur mekanisme utama respon
immune non-selektif yang diperantarai oleh makrofag yang mengakibatkan inhibisi
dari pengeluaran besi. Selain itu fase akut terhadap respon inflamasi menunjukkan hal
serupa, dimana IL-6 sebagai regulator hepatik berikatan dengan reseptornya yang
mengakibatkan translokasi dari STAT3 yang meningkatkan ekspresi gen hepsidin,
sehingga berdampak pada penurunan aktivitas feroportin pada enterosit dan
makrofag.9
BAB III
KESIMPULAN
Besi adalah nutrien esensial yang diperlukan oleh setiap sel manusia yang
dapat berperan sebagai pembawa oksigen dan elektron serta sebagai katalisator untuk
oksigenisasi, hidroksilasi dan proses metabolik lainnya.
Keseimbangan besi ditentukan oleh perbedaan antara asupan besi dan keluaran
besi dari tubuh. Jika persediaan besi tubuh menurun maka absorpsinya meningkat,
sebaliknya absorbsi akan meningkat jika persediaan besi tubuh menurun.
Regulator utama pengaturan homeostasis besi di tubuh diatur oleh hepsidin,
yang merupakan hormon peptida antimikroba yang disintesis oleh hepar,
didistribusikan dalam plasma dan diekskresi melalui urin.
Hepsidin berperan sebagai regulator negatif absorpsi besi usus dan pelepasan
besi oleh makrofag dan hepatosit melalui ikatan pada reseptor feroportin yang
menyebabkan internalisasi dan degradasi feroportin dan retensi besi dalam enterosit,
makrofag dan hepatosit sehingga menyebabkan kadar besi di sirkulasi akan menurun.
Pengaruh besi terhadap sistem imun, terlihat dari peran hepsidin sebagai
hormon peptida antimikroba dan penurunan kadar besi yang mengakibatkan ambilan
besi oleh mikroorganisme patogen terhambat sehingga menghambat pertumbuhannya.
Sistem imun dapat berpengaruh terhadap homeostasis besi dalam tubuh,
melalui proses inflamasi yang melibatkan IFN-y dan TNF-a yang akan menginduksi
pengeluaran hepsidin.