referat isi eric

19

Click here to load reader

Upload: yowendrujun

Post on 10-Sep-2015

7 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANRinitis atropik pertama kali dikenal sejak zaman Pharaoh 1700 BC . Penyakit ini dijelaskan lebih dalam oleh Fraenkel di era modern dengan triase gejala yang khas yaitu sekret berbau , atropi membran mukosa hidung , dan terbentuknya krusta.Istilah rinitis atropik , rinitis sicca , dan ozena sering tertukar sampai pada akhirnya Ruskin membaginya menjadi primer dan sekunder rinitis atropik.[1]Rinitis atropik merupakan infeksi hidung kronik yang ditandai oleh adanya atropi progresif pada mukosa dan tulang konka.[1]Wanita lebih sering terkena , terutama usia dewasa muda.Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk.Penyakit ini sering dikelompokkan menjadi 2 bentuk yaitu rinitis atrofi primer (ozena) dan rinitis atrofi sekunder akibat trauma operasi hidung , efek samping radiasi , atau penyakit infeksi hidung kronik yang spesifik.Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel bergepeng lapis , silia menghilang , lapisan submukosa menjadi lebih tipis , kelenjar kelenjar berdegenerasi atau atrofi.Oleh karena etiologinya masih belum jelas, maka pengobatannya belum ada yang baku.[2] Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala.Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif atau dapat dilakukan pembedahan.

BAB IIANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

A. Anatomi

Hidung luar berbentuk piramid dari atas ke bawah yang terdiri dari : 1. pangkal hidung, 2. batang hidung , 3. puncak hidung, 4. ala nasi , 5. kolumela dan 6. lubang hidung (nares anterior).[2] (Gambar 1.2)Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit , jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.Kerangka tulang terdiri dari 1. tulang hidung (os nasal) ; 2. prosesus frontalis os maksila dan ; 3. prosesus nasalis os frontal.(Gambar 1.1)Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk seperti terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya dan dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri . Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi , tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum nasi . Vestibulum nasi dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding yaitu dinding media , lateral , inferior dan superior.Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.Bagian tulang adalah : 1. lamina perpendikularis os etmoid ; 2. vomer ; 3. krista nasalis os maksila dan ; 4. krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1. kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2. kolumela.(Gambar 1.3)Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang , sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.Pada dinding lateral terdapat 3 buah konka . Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior , kemudian yang lebih kecil adalah konka media , dan yang sangat kecil adalah konka superior (Gambar 1.5)Di antara konka-konka dan dinding lateral terdapat rongga sempit yang disebut meatus . Tergantung dari letak meatus , ada tiga meatus yaitu meatus inferior , medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung.Pada meatus inferior terdapat duktus nasolakrimalis.Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal , sinus maksila dan sinus etmoid anterior . Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.Perdarahan hidung (Gambar 1.6).Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.[2]Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna , di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan masuk rongga hidung di belakang ujung posterior konka media Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis.Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina , a.etmoid anterior , a.labialis superior dan a.palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma , sehingga merupakan sumber epistaksis ( perdarahan hidung) terutama pada anak.Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.Vena-vena di hidung tidak memiliki katup , sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.(Gambar 1.8)Persarafan hidung (Gambar 1.7).Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior , yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1)[2] Rongga hidung yang lainnya , sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina.Ganglion sfenopalatina , selain memberikan persarafan sensoris , juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2) , serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisilais mayor dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius.Saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

B.FisiologiHidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan.Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu : 1.Sebagai jalan nafas; 2. Alat pengatur kondisi udara ; 3. Penyaring udara ; 4. Sebagai indra penghidu; 5. Reflek nasal.[2]Penghidu.Hidung merupakan indera penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung , konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas yang kuat.Fungsi hidung sebagai indera pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti perbedaan rasa manis strawberi , jeruk , pisang atau coklat.Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka.Jalan nafas.Hidung dengan berbagai mekanisme insipirasi dan ekspirasi berfungsi menghaluskan dan membentuk aliran udara , mengatur volume dan tekanan udara yang lewat serta penyesuain udara ( filtrasi , pengaturan suhu , dan kelembaban udara).Selama respirasi tenang , perubahan tekanan udara di dalam hidung minimal dan normalnya tidak lebih dari 10-15 mm h2O , dengan kecepatan aliran udara bervariasi antara 0 sampai 140 ml / menit . Pada inspirasi , terjadi penurunan tekanan karena udara keluar dari sinus.Pertukaran udara sinus sangat kecil , kecuali pada saat mendengus , suatu mekanisme dimana hantaran udara ke membran olfaktorius yang melapisi sinus meningkat.Terjadi perubahan dari pernafasan hidung menjadi pernafasan hidung-mulut selama berolahraga dengan meningkatnya kebutuhan udara.Apabila terjadi deviasi septum nasi sering kali makin menyempitkan menyempitkan jalan napas dengan akibat gejala-gejala sumbatan jalan napas. Deviasi ini dapat disebabkan trauma atau pertumbuhan tidak teratur.Pengatur kondisi udara.Udara inspirasi akan dihangatkan atau didinginkan mendekati suhu tubuh dan kelembaban relatifnya dibuat mendekati 100 persen.Penyaring udara.Rambut hidung pada vestibulum nasi yang berlapis kulit berperan dalam filtrasi udara.Benda asing , termasuk bakteri dan virus akan diangkut melalui transport mukosiliar ke dalam lambung.Gas-gas yang larut juga dikeluarkan dari udara saat melewat hidung.Makin larut air suatu gas , makin sempurna pengeluarannya oleh mukosa hidung. Polutan seperti hydrogen klorida , sulfur dioksida dan ammonia semuanya sangat larut sehingga dapat dibersihkan sepenuhnya dari udara inspirasi sedangkan karbon monoksida dan hidrokarbon mempunyai kelarutan yang sagat rendah dan langsung menuju paru paru.Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar.Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium. Keadaan yang mempengaruhi transportasi mukosiliar adalah faktor fisiologis atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, dan tindakan operasi.

BAB IIIRINITIS ATROPIKA. EtiologiTerdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atropik.Trauma dapat karena kecelakaan, yaitu efek lanjut dari pembedahan.Terapi radiasi pada hidung umumnya merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atropik.Juga diamati perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan system saraf otonom.[3]Berbagai infeksi seperti eksantema akut , scarlet fever , difteri dan infeksi kronik telah dianggap sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa . Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insidens yang lebih tinggi pada masyarakat sosioekonomi rendah . B. PatogenesisRinitis atropik tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar terutama melibatkan suplai darah epitel hidung , secara perlahan memperbesar rongga hidung ke segala epitel dengan semakin tipisnya epitel.Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang , sementara jaringan subepitel perlahan-lahan fibrosis menyeluruh.[3] Jaringan mukosa di sekitar mukosa hidung juga ikut terlihat , termasuk kartilago , otot dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan , pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring,hipofaring,dan laring.Histopatologi rinitis atrofi ditandai dengan adanya perubahan epitel respirasi normal menjadi epitel kubus atau epitel gepeng skuamosa bertingkat(metaplasia) , dengan atau tanpa keratinisasi.Atrofi pada silia , mukosa dan kelenjar submukosa , dimana mukosa menjadi tampak lengket , terdapat sekret yang mengering membentuk krusta berwarna hijau kekuningan.Bau yang tercium merupakan akibat terjadinya infeksi sekunder.Keluhan anosmia terjadi karena proses atrofi juga mengenai epitel olfaktorius , sel saraf bipolar , dan serat saraf , ditambah dengan insufisiensinya udara untuk mencapai area olfaktorius karena terdapat krusta yang menghalangi.C. DiagnosisAnamnesisKeluhan secara umum biasanya berupa napas berbau , ada ingus kental , yang bewarna hijau . ada kerak (krusta) hijau , ada gangguan penghidu , sakit kepala dan hidung merasa tersumbat.[2]Rinitis atropik primer merupakan suatu proses degeneratif kronik mukosa hidung tanpa penyebab yang jelas.Terjadinya atrofi yang progresif pada semua bagian-bagian mukosa ( epitel , kelenjar , dan pembuluh darah) disertai juga dengan adanya osteoklasis , dimana sangat berpengaruh terhadap turbinasi udara di dalam hidung.Secara histologi dapat dilihat adanya atrofi dari kelenjar serosa dan mukus , hilangnya silia dan sel goblet , infiltrasi kronik pada lamina propria dengan granulasi dan luka.Perubahan ini yang menyebabkan terjadnya gangguan pada sistem transport mukosilier hidung.Sekret yang menebal tidak dapat diangkut sehingga menyebabkan penumpukan bakteri menjadi infeksi bakteri berulang dan terbentuk krusta.Jika pada rinitis atrofi didapatkan krusta yang menimbulkan bau busuk maka rhinitis tersebut dapat disebabkan oleh kuman Klebsiella Ozaena.Pasien biasanya mengeluh terdapat hiposmia atau anosmia.Rinitis atropik sekunder merupakan kondisi dimana terjadinya destruksi pada mukosa hidung yang diikuti sejumlah proses peradangan termasuk penyakit-penyakit radang pada hidung / pembedahan sinus dan terapi anti angiogenik.Kriteria diagnosis mencakup epistaksis pada pasien yang rekuren / anosmia episodik ; sekret hidung yang purulen , krusta hidung , peradangan kronis yang melibatkan saluran pernapasan atas atau dua / lebih pembedahan sinus.

PemeriksaanDiagnosis untuk rinitis atropik diikuti dengan pemeriksaan berikut : 1. Riwayat medis pasien ; 2. Inspeksi hidung bagian luar dan dalam ; 3.Endoskopi kavitas nasal dan nasofaring , bila ada indikasi dapat juga pada sinus paranasal (CT) ; 4. Tes Alergi ; 5.Swab mikrobiologi.[4] Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang , konka inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi ,mukosa hidung yang kering , ada sekret purulen dan krusta berwarna kuning kehijauan . Pada pemeriksaan histopatologik dapat berasal dari biopsi konka media.

Pada foto rontgen ditemukan : 1. Penebalan mukoperiostal pada SPN ; 2. Hipoplasia sinus maksilaris ; 3. Pembesaran kavum nasi dengan erosi pada dinding lateralnya ; 4. Resorpsi tulang dan atrofi mukosa konka inferior dan konka media.Pada pemeriksaan mikrobiologi ditemukan kuman Klebsiella Ozaena , Pseudomonas Aeruginosa dan lainnya seperti yang tertera di etiologi hasil kultur bakteri.D. TatalaksanaPengobatan Konservatif. Diberikan anti-biotika berspektrum luas atau sesuai dengan kuman dengan dosis yang adekuat.Lama pengobatan bervariasi tergantung dan hilangnya tanda klinis berupa sekret purulen kehijauan.[2] Pada kasus dengan infeksi bakteri ozena membutuhkan terapi dalam jangka waktu yang cukup panjang , dapat menggunakan Rifampisin 600mg/ hari selama 12 minggu , Siprofloksasin 2x500-750mg selama 8 minggu.[4]Untuk menghilangkan bau busuk akibat hasil proses infeksi serta sekret purulen dan krusta , dapat dipakai obat cuci hidung.Larutan yang dapat digunakan adalah larutan garam hipertonik.Larutan tersebut harus diencerkan dengan perbandingan 1 sendok makan larutan dicampur 9 sendok makan air hangat . Larutan dimasukkan ke dalam rongga hidung dan saat prosedur berlangsung , pasien diminta untuk mengucapkan K,K,K, untuk menutup nasofaringeal isthmus, sehingga risiko aspirasi jadi semakin kecil.Larutan dihitup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat kuat , air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan 2 kali sehari.[2]Dapat juga dilakukan pencucian rongga hidung dengan 100cc air hangat yang dicampur dengan 1 sendok makan (15cc) larutan betadin , atau larutan garam dapur setengah sendok the dicampur segelas air hangat.[2]Pengobatan Operatif.Jika dengan pengobatan konservatif tidak ada perbaikan maka dilakukan operasi.Teknik operasi antara lain operasi penutupan lubang hidung atau penyempitan lubang hidung.[2]Tindakan ini diharapkan akan mengurangi turbulensi udara dan pengeringan sekret , inflamasi mukosa berkurang , sehingga mukosa akan kembali normal.Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana selama 2 tahun.Teknik operasi yang dilakukan adalah Youngs operation yaitu dengan menutup total rongga hidung dengan flap. Tindakan operatif ditujukan untuk mengurangi turbulensi udara dan pengeringan sekret , meningkatkan regenerasi mukosa hidung , sehingga mukosa akan kembali normal dan meningkatkan lubrikasi pada mukosa hidung yang kering serta meningkatkan vaskularisasi di kavum nasal.[5]E.PrognosisPrognosis rinitis atropik tergantung dari etiologi dan progresifitas penyakitnya , jika cepat ditangani umumnya akan berakhir baik . Jika penyakit didiagnosa pada tahap awal dan penyebabnya dapat dipastikan bakteri , maka terapi antimikrobial yang adekuat serta cuci hidung yang rutin diharapkan dapat mengembalikan fungsi hidung kembali . Jika penyakit ini didapati dengan gejala klinis yang parah tetap dicoba dengan terapi medikamentosa , dan jika tidak berhasil perlu dipikirkan untuk melakukan tindakan bedah.

BAB IVRESUMERinitis atropik adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka.Etiologi penyakit ini masih belum jelas.Beberapa hal dianggap sebagai penyebab seperti infeksi oleh kuman spesifik , seperti Klebsiela Ozaena , Pseudomonas Aeruginosa , dan Stafilokokus atau mungkin berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi.Gejala klinis adalah berupa keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya nafas berbau , ingus kental hijau , krusta , gangguan penciuman , sakit kepala dan hidung tersumbat. Pada pemeriksaan THT ditemukan rongga hidung sangat lapang , konka inferior dan media hipertrofi atau atrofi , sekret purulen hijau , dan krusta berwarna hijau.Terapi hingga saat ini belum ada yang baku , ditujukan untuk menghilangkan etiologi dan gejala dapat dilakukan secara konservatif ataupun operatif.DAFTAR PUSTAKA1. D.deShazo , Richard & P.Stringer,Scott.2011.Atrophic Rhinosinusitis : Progress Toward Explanation of an Unsolved Medical Mystery,www.medscape.com/viewarticle/7350512. S.Wardani,Retno & Mangunkusumo,Endang.2011.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.Edisi VI.Jakarta: Badan Penerbit FKUI.p140-13. George L.A..Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke 6. Jakarta: EGC; 1997. p.263-64.Hildenbrand,Tanja , K.Weber,Rainer & Brehmer,Detlef.2010.Rhinits sicca, Dry Nose and Atrophic Rhinitis : a review of the literature:p5-6.5. Mishra , Anupam & Kawatra , Rahul . 2012.Interventions for Atrophic Rhinitis , http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/14651858.CD008280.pub2/abstract;jsessionid=0B4F6A758F7F3AC5B2AE57B81EEE59F5.f01t01?deniedAccessCustomisedMessage=&userIsAuthenticated=false

12